Anda di halaman 1dari 145

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Aceh adalah propinsi yang berada di ujung utara Pulau Sumatera dan merupakan
propinsi paling barat dalam wilayah Republik Indonesia dengan luas 56.758,8482 km 2.
Total panjang garis pantai 2.817,9 km yang tersebar di wilayah daratan dan gugusan
kepulauan diantaranya Kepulauan Banyak, Kepulauan Simeulue dan Gugusan Pulo Aceh.
Wilayah pesisir Aceh terbagi dalam 18 kabupaten/kota yaitu: Kota Sabang, Kota Banda
Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten
Bireuen, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kota
Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat,
Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan,
Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Simeulue.
Sumberdaya pesisir dan laut di Aceh memiliki potensi untuk perikanan tangkap,
wisata, perikanan budidaya, dan pertambangan. Potensi sumberdaya pesisir dan laut Aceh
belum dikelola secara optimal, sehingga belum dapat memberikan manfaat yang signifikan
bagi masyarakatnya. Sebagai contoh, total potensi perikanan tangkap sebesar 272.200
ton/tahun, namun tingkat pemanfaatan baru mencapai 60.72 % atau sebesar 165.778 ton
(DKP Aceh, 2016). Potensi sumberdaya ikan tersebut tersebar pada dua Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) yaitu WPP 571 dan 572. WPP 571 berada di Selat Malaka
sedangkan WPP 572 berada di perairan Samudera Hindia. Pusat pengembangan industri
perikanan tangkap terpusat di pelabuhan Lampulo, Idi dan Labuhanhaji.
Permasalahan dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau kecil antara lain
kurangnya koordinasi dan keterpaduan antar stakeholder dalam proses perencanaan,
kurangnya data dan informasi mengenai sumberdaya dan kebijakan yang tumpang-tindih.
Dampak yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut adalah pembangunan tidak
terintegrasi, kurang optimal dan tidak terdapatnya status pemanfaatan sumberdaya yang
ada.
Untuk itu penyusunan dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (RZWP-3-K) merupakan arahan dan acuan ruang laut bagi pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya. Penyusunan RZWP-3-K dimaksudkan untuk menciptakan

1
keseimbangan pemanfaatan ruang agar pembangunan dapat menopang kehidupan manusia
dengan memanfaatkan sumberdaya secara berkelanjutan. Pengendalian pemanfaatan ruang
untuk membangun keseimbangan aspek ekonomi, ekologi dan sosial.

1.2 Dasar Hukum Penyusunan RZWP-3-K


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang memberikan kekhususan dan
keistimewaan Aceh dan satuan-satuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya
sebagaimana diakui dan dihormati oleh konstitusi. Kewenangan sesuai Pasal 156 adalah
mengelola sumberdaya alam di Aceh baik di darat maupun di laut beserta kewenangan
untuk melakukan pengaturan tata ruang wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 junto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengamanatkan Pemerintah
Daerah yang memiliki wilayah pesisir wajib untuk menyusun Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) dan dilegalkan ke dalam Peraturan Daerah.
Penyusunan RZWP-3-K harus mempertimbangkan keterkaitan antara ekosistem darat dan
ekosistem laut dalam suatu bioekoregion, pemanfaatan ruang laut, penetapan prioritas
kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri
strategis, serta pertahanan dan keamanan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi
kewenangan pemerintah propinsi dalam mengelola ruang laut hingga sejauh 12 mil laut
kecuali untuk pengelolaan minyak dan gas bumi. Selanjutnya dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dinyatakan bahwa pembangunan kelautan adalah
pembangunan yang memberi arahan dalam pendayagunaan sumberdaya kelautan untuk
mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya
dukung ekosistem pesisir dan laut.

1.3 Profil Wilayah


1.3.1 Letak Geografis Wilayah
Aceh adalah propinsi yang terletak di ujung utara Pulau Sumatera dan berada di
ujung paling barat dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan peta
rupa bumi Badan Informasi Geospasial (BIG) skala 1:50.000, wilayah daratan Aceh secara
geografis terletak pada 020 00’ 00” – 060 00’ 00” LU dan 950 00’ 00” – 980 30’ 00” BT.
Dengan batas-batas wilayah adalah:

2
- Sebelah utara : Selat Malaka dan Laut Andaman/Teluk Benggala;
- Sebelah timur : Selat Malaka dan Propinsi Sumatera Utara;
- Sebelah selatan : Propinsi Sumatera Utara dan Samudera Hindia;
- Sebelah barat : Samudera Hindia.
Merujuk kepada Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan
Pulau-Pulau Kecil Terluar, terdapat 7 (tujuh) pulau yang berada dalam wilayah
administrasi Aceh yaitu berada di perairan Samudera Hindia: Pulau Simeulue Cut, Pulau
Salaut Besar, Pulau Raya, Pulau Rusa, Pulau Bateeleblah (Pulau Benggala), Pulau Rondo
dan Pulau Weh yang berada di perairan Laut Andaman.

1.3.2 Kondisi Wilayah


Wilayah Aceh memiliki luas daratan 57.365,67 km 2 dan perairan laut 42.665,67 km2
dengan garis pantai 2.817,9 km, 335 pulau yang terdiri dari 315 pulau tidak berpenghuni
dan 20 pulau telah berpenghuni (DKP Aceh, 2011). Secara administratif wilayah Aceh
terdiri dari 23 kabupaten/kota dimana 14 kabupaten dan 4 kota berada di wilayah pesisir.
Struktur perekonomian Aceh pada 2016 didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan,
dan perikanan dengan proporsi sebesar 27,85%. Sektor perdagangan besar-eceran dan
reparasi mobil sepeda motor yang masih berada pada posisi kedua dengan kontribusi
sebesar 15,59%, diikuti oleh sektor konstruksi dengan proporsi sebesar 10,31%.1
Masyarakat pesisir Aceh sejak lama mengenal tata aturan penangkapan ikan yang
diatur dan dijalankan oleh Lembaga Hukum Adat Panglima Laot, praktek ini telah
berlangsung secara turun temurun dan bersifat lokal. Adat laot mengandung adab sosial,
pemeliharaan lingkungan hingga pengaturan mengenai barang hanyut. Dalam pengelolaan
perikanan, hukum adat di Aceh mengatur hari pantangan, jenis alat tangkap yang dilarang
dan telah menetapkan beberapa lokasi larangan penangkapan. Lembaga Panglima Laot
terdapat di setiap kabupaten / kota yang memiliki wilayah laut di Aceh.
Berdasarkan data BPS Aceh tahun 2010 – 2016 penduduk Aceh tercatat sebanyak
5.096.248 jiwa yang tersebar di 23 kabupaten/kota. Jumlah penduduk yang berdomisili di
wilayah pesisir berjumlah 4.384.894 jiwa (86% dari total jumlah penduduk aceh secara
keseluruhan) yang tersebar di 18 kabupaten/kota. Sebagian besar penduduk di wilayah

1
Kajian ekonomi dan keuangan regional propinsi Aceh tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia. http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomi-regional/aceh/Documents/KEKR%20Propinsi
%20Aceh%20November%202016.pdf

3
pesisir bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan seperti nelayan
dan pembudidaya ikan. Sektor perikanan menyumbang 4,83 % dalam pendapatan daerah
regional bruto (PDRB) Aceh tahun 2016 dan mengalami kenaikan rata-rata 5% per tahun.
Kondisi ini menggambarkan perekonomian masyarakat pesisir yang semakin membaik
walaupun masih dalam pergerakan yang lambat.
Tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir Aceh sangat dipengaruhi oleh
faktor alam, salah satunya adalah bencana alam. Aceh merupakan daerah dengan potensi
rawan bencana gempa dan tsunami. Daerah rawan bencana tsunami terdapat di Kabupaten
Nagan Raya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Besar,
Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Simeulue, Kota
Lhokseumawe dan Kota Banda Aceh. Daerah rawan erosi terdapat di Kabupaten Aceh
Selatan dan Kabupaten Aceh Barat Daya. Sementara daerah gelombang pasang tinggi
terdapat di Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Singkil
dan Kota Banda Aceh.
Kondisi iklim Aceh dapat dilihat dari curah hujan rata-rata 250 mm, dengan rata-rata
kelembaban udara adalah 79,86 RH, kecepatan angin rata-rata sebesar 5,01 knot dan suhu
rata-rata 27,5 0C. Kedalaman perairan maksimal berada pada 5.500 m dibawah permukaan
laut terletak pada bagian barat Kepulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil.
Berdasarkan data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut (P3GL)
sedimen dasar laut di wilayah perairan Aceh terdiri atas batuan keras dan kerikil yang
terdapat di perairan Selat Malaka, lumpur terdapat di seluruh perairan Aceh kecuali
sebagian Aceh Utara dan Aceh Timur, selut gampingan terdapat di perairan kepulauan
antara daratan Sumatera dengan Kepulauan Simeulue serta pasir dan lanau terdapat di
Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang.

1.3.3 Kondisi Fisik Kimia Perairan


Kondisi fisik lingkungan perairan merupakan salah satu parameter yang digunakan
sebagai pertimbangan dalam pengelolaan wilayah perairan. Ketepatan informasi kondisi
fisik dapat membantu formulasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
tepat. Beberapa parameter fisika yang diukur di perairan Aceh adalah kecerahan, TDS,
TSS, dan suhu. Sedangkan parameter kimia yang diukur adalah salinitas, derajat keasaman,
kadar oksigen (DO), amonia, phospat, nitrit, nitrat, timbal dan klorofil.

4
Untuk mengetahui kualitas lingkungan perairan di lokasi pekerjaan perlu dilakukan
pengambilan data kualitas air. Pengambilan data kualitas air ini dilakukan dengan dua cara
yaitu pengambilan sampel air dan pengukuran kondisi air secara langsung (in situ).
Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan botol sampel, kemudian
dilakukan analisa laboratorium untuk mengetahui kondisi perairannya. Parameter lain yang
dapat diukur secara in situ yaitu: temperatur, salinitas, derajat keasaman (pH), kadar
oksigen terlarut (DO) dan kecerahan. Pengukuran sifat fisik dan pengambilan sampel kimia
air laut dilakukan pada titik-titik yang telah ditentukan dan mewakili seluruh karakteristik
lingkungan perairan di Aceh.
a. Kecerahan
Kecerahan perairan berdasarkan hasil pengamatan adalah berkisar pada kedalam
antara 0 – 16 meter. Tingkat kecerahan yang tinggi ditemui di lokasi yang jauh dari muara
sungai, hal ini terjadi karena perairan terbebas dari sedimen yang dibawa oleh aliran air.
Selain itu proses abrasi dan erosi juga memiliki peran dalam variasi tingkat kecerahan
perairan.
b. Temperatur
Kisaran temperatur di perairan Aceh baik di pesisir timur maupun pesisir barat yang
diukur pada kedalaman 1 m berkisar yaitu antara 26 – 31 0C. Temperatur di perairan ini
masih memenuhi baku mutu kisaran temperatur yang diperbolehkan untuk peruntukkan
biota laut, wisata bahari maupun pelabuhan. Temperatur terendah 26 0C terdapat di
perairan teluk, rendahnya nilai temperatur ini disebabkan oleh waktu pengukuran
temperatur yang dilakukan pada saat cuaca sedang hujan sehingga sangat mempengaruhi
hasil pengukuran yang dihasilkan. Secara umum hasil pengukuran suhu sangat dipengaruhi
oleh waktu, kondisi cuaca maupun kedalaman perairan yang mempengaruhi sebaran
temperatur di perairan.
c. TSS (Total Suspended Solid)
Sebaran konsentrasi TSS di perairan Aceh secara garis besar dibagi menjadi dua,
yaitu: pantai barat – selatan Aceh (Sabang, Banda Aceh sampai Aceh Singkil) dan pantai
timur Aceh (Pidie sampai Aceh Tamiang). Sebaran TSS di pantai Barat Aceh berkisar
antara 0.02 mg/L sampai dengan 13.96 mg/L. Nilai ini masih berada dibawah ambang
batas berdasarkan KepMen LH. No 51 Tahun 2004. Nilai TSS terendah terdapat di
perairan Aceh Besar, dan yang tertinggi terdapat di perairan Aceh Jaya dan Meulaboh
(Aceh Barat). Untuk pantai timur Aceh kandungan TSS nya berada pada kisaran 1,2

5
sampai 16,7 mg/L. Angka tertinggi terdapat pada perairan di Langsa dan Aceh Tamiang,
hal ini disebabkan karena banyaknya muara sungai yang membawa partikel lumpur
menuju laut.
Total suspended solid atau padatan tersuspensi total (TSS) adalah residu dari padatan
total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2μm atau lebih besar
dari ukuran partikel koloid. TSS memberikan kontribusi untuk kekeruhan (turbidity)
dengan membatasi penetrasi cahaya untuk fotosintesis dan visibilitas di perairan. Distribusi
TSS sangat dipengaruhi oleh masukan atau sumber yang berasal dari daratan melalui
sungai maupun udara serta perpindahan karena resuspensi endapan akibat pengikisan.
d. Salinitas
Sebaran salinitas permukaan laut umumnya tidak berfluktuasi besar di suatu perairan.
Menurut baku mutu air laut untuk biota laut, salinitas air laut permukaan umumnya alami
(Kep MenLH No. 51 Tahun 2004). Di perairan laut Aceh, salinitas (dalam psu)
permukaan laut berkisar antara 17,00 – 22,00 di perairan pantai Timur – Utara, dan
berkisar antara 24,00 - 28,50 di perairan pantai Barat – Selatan.
e. Derajat Keasaman (pH)
Sebaran pH di perairan Aceh berkisar antara 7,77 – 8,15. Derajat keasaman tertinggi
di perairan Pulau Tuangku, Pulau Ujung Batu, dan Pulau Bangkaru Kabupaten Aceh
Singkil. Sedangkan tingkat keasaman terendah yaitu 7,77 tercatat di perairan Krueng Surin,
Kabupaten Pidie Jaya. Kisaran pH tersebut masih memenuhi baku mutu yang
dipersyaratkan, selain itu tidak ada perbedaan pola sebaran pH yang mencolok. Kondisi pH
yang baik di dekat muara sungai maupun di perairan lepas adalah memiliki nilai pH pada
rentang yang kecil.
f. Oksigen Terlarut (DO)
Kisaran kelarutan oksigen pada perairan laut Aceh adalah 5,08 – 6,35 mg/L di
perairan pantai Barat – Selatan dan 5,85 – 6,43 mg/L di perairan pantai Timur – Utara.
Menurut baku mutu air laut untuk biota laut, oksigen terlarut pada permukaan air laut
umumnya lebih besar dari 5 mg/L (KepMenLH No. 51 Tahun 2004). Dengan demikian
kelarutan oksigen yang ada diperairan Aceh masih masuk dalam kondisi ideal.
g. Amonia
Hasil pengukuran konsentrasi amonia di perairan Aceh berada pada kisaran antara
0,038 – 0,046 mg/L di perairan pantai Barat – Selatan dan 0,042 – 0,060 mg/L di perairan
pantai Timur – Utara. Nilai tersebut menunjukkan bahwa keberadaan amonia di perairan

6
laut Aceh masih sangat rendah, namun demikian konsentrasi amonia masih sesuai dengan
baku mutu air laut (KepMenLH No. 51 Tahun 2004). Tingginya konsentrasi amonia di
perairan disebabkan adanya pengaruh kegiatan manusia dan proses alami. Amonia
merupakan senyawa nitrogen yang dapat bersifat toksik terhadap organisme perairan
apabila konsentrasinya tinggi. Sumber amonia pada air permukaan adalah air seni dan
tinja, serta hasil oksidasi senyawa organik secara mikrobiologis yang berasal dari air alam
atau air limbah industri dan domestik. Konsentrasi amonia yang tinggi dapat menimbulkan
pencemaran dan membahayakan kehidupan biota perairan.
h. Fosfat
Menurut baku mutu air laut untuk biota laut, kadar fosfat pada permukaan air laut
berada pada 0,015 mg/L (KepMenLH No. 51 Tahun 2004). Kisaran fosfat di perairan laut
Aceh adalah 0,160 – 0,180 mg/L di perairan pantai barat – selatan dan 0,165 – 0,240 mg/L
di perairan pantai timur – utara. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kadar fosfat di perairan
laut Aceh berada dalam kondisi membatasi terjadinya ledakan populasi fitoplankton.
Tingginya konsentrasi fosfat di perairan merupakan salah satu indikasi adanya pencemaran
yang diakibatkan aktivitas manusia. Fosfat di perairan mengindikasikan tingkat kesuburan
perairan, semakin tinggi konsentrasi fosfat maka perairan tersebut semakin subur namun
perlu diwaspadai munculnya blooming alga jika konsentrasi fosfat terlalu tinggi.
i. Nitrat
Menurut baku mutu air laut untuk biota laut, kadar nitrat pada permukaan air laut
berada pada 0,008 mg/L (KepMenLH No. 51 Tahun 2004). Kisaran nitrat di perairan laut
Aceh adalah 0,451 – 0,469 mg/L di perairan pantai Barat – Selatan dan 0,450 – 0,472 mg/L
di perairan pantai Timur – Utara. Nilai tersebut menunjukkan bahwa perairan laut Aceh
berada dalam kondisi subur.
j. BOD (Biological Oxygen Demand)
Parameter BOD secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran
air. Parameter ini digunakan untuk mengukur jumlah oksigen
yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai
respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dengan kata lain, nilai BOD
menyatakan jumlah bahan organik yang mudah terurai yang ada di suatu perairan. Menurut
baku mutu air laut untuk biota laut, BOD permukaan air laut berada pada 20 mg/L
(KepMenLH No. 51 Tahun 2004). Kisaran BOD di perairan laut Aceh adalah 0,36 – 0,41
mg/L di perairan pantai Barat – Selatan dan 0,38 – 0,54 mg/L di perairan pantai Timur –

7
Utara. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat pencemaran limbah organik di perairan
laut Aceh masih sangat rendah.
k. COD (Chemical Oxygen Demand)
Kebutuhan oksigen secara kimia atau COD (Chemical Oxygen Demand) adalah
jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam
wahana air. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang
secara alamiah dapat dioksidasikan baik melalui reaksi kimia maupun yang sukar
didegradasi secara biologis. Proses oksidasi ini mengakibatkan berkurangnya oksigen
terlarut di dalam air. Perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan
perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar umumnya kurang
dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/L, dan pada
limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L (Chapman, 1996). Perairan laut Aceh
menunjukkan kisaran nilai COD sebesar 12,05 – 13,25 mg/L di pantai Barat – Selatan dan
sebesar 12,40 – 13,60 mg/L di pantai Timur – Utara. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
perairan laut Aceh berada dalam status belum tercemar.
l. Timbal (Pb)
Logam Pb yang terdapat dalam badan perairan pada konsetrasi tertentu berubah
menjadi sumber racun bagi kehidupan perairan. Meskipun daya racun yang ditimbulkan
oleh Pb terhadap semua biota perairan tidak sama, namun kehancuran dari satu kelompok
dapat menjadikan terputusnya satu mata rantai kehidupan yang dapat menghancurkan satu
tatanan ekosistem perairan. Toksisitas Pb bersifat kumulatif yang dapat menyebabkan
gangguan sintesis hemoglobin darah, gangguan neurologi (susunan syaraf), gangguan pada
ginjal, sistem reproduksi, penyakit akut atau kronik sistem syaraf, dan gangguan fungsi
paru-paru.
Menurut baku mutu air laut untuk biota laut, kadar Pb pada permukaan air laut
berada pada 0,008 mg/L (KepMenLH No. 51 Tahun 2004). Kisaran Pb di perairan laut
Aceh adalah 0,04 – 0,008 mg/L baik di perairan pantai Barat – Selatan maupun di perairan
pantai Timur – Utara. Nilai tersebut menunjukkan bahwa perairan laut Aceh berada dalam
kondisi tidak tercemar.
m. Klorofil
Kandungan klorofil-a di perairan dapat digunakan sebagai ukuran banyaknya
fitoplankton dan sebagai petunjuk produktivitas perairan. Ritchie (2008) mengemukakan

8
bahwa klorofil-a merupakan pigmen utama Cyanophyceae yang dibentuk dari fotosintesis,
sedangkan klorofil-b dan klorofil-c sebagai pigmen tambahan.
Secara umum kondisi klorofil-a di perairan Aceh tergolong rendah yaitu berkisar
0,0186 – 0,3845 µg/L, hal ini diduga dipengaruhi beberapa faktor diantaranya keberadaan
jenis fitoplankton, intensitas cahaya dan unsur hara. Kajian ini sebatas kedalaman
permukaan sehingga umumnya kandungan klorofil-a rendah pada lapisan kedalaman.
Sesuai dengan pendapat Ritchie (2008) bahwa pada kedalaman permukaan kandungan
klorofil-a pada umumnya rendah, hal ini dipengaruhi oleh intensitas cahaya di permukaan.
Beberapa fitoplankton tidak menyukai intensitas cahaya matahari yang cukup tinggi di
lapisan permukaan sehingga keberadaan fitoplankton sedikit, terutama dari kelas
Bacillariophyceae dan Dinophyceae.

1.4 Peta dan Ruang Lingkup Perencanaan


Wilayah perencanaan yang dimaksud meliputi kearah darat mencakup batas wilayah
administrasi kecamatan di wilayah pesisir dan kearah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai pada saat pasang tertinggi. Adapun ruang lingkup wilayah
perencanaan RZWP-3-K dapat dilihat pada Gambar 1.

9
BAB II
DESKRIPSI POTENSI SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DAN KEGIATAN PEMANFAATAN

2.1 Sumberdaya Hayati


Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh memiliki keanekaragaman hayati laut
yang tersebar pada ekosistem terumbu karang (coral reefs), padang lamun (seagrass bed),
mangrove, ikan, krustasea dan moluska. Kegiatan utama di kawasan ini adalah perikanan
tangkap dan budidaya laut, kegiatan industri, perdagangan, permukiman, serta
pengembangan wisata bahari.
a. Terumbu karang
Sebaran terumbu karang di perairan Aceh mencapai ± 12.037 Ha (SLHD Aceh,
2014). Sebaran terumbu karang terkonsentrasi di pesisir barat yang meliputi wilayah
daratan Kabupaten Aceh Besar, Kota Sabang, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh
Selatan dan Kabupaten Aceh Barat Daya dan wilayah kepulauan meliputi Kepulauan
Banyak, Kepulauan Simeulue, Gugusan Pulo Aceh dan Pulau Weh. Sedangkan di pesisir
timur Aceh tersebar di Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara,
Kabupaten Pidie, dan Kabupaten Aceh Tamiang. Kondisi perairan di wilayah pesisir timur
Aceh banyak dipengaruhi oleh aliran sungai sehingga sebaran terumbu karang hanya
terdapat di daerah tertentu.
Hasil survei menunjukkan bahwa tutupan karang hidup di perairan Aceh berada pada
kategori baik dengan tingkat persentasi, baik 51%, sedang 18% dan rusak 31%.
Selanjutnya hasil survei juga menunjukkan bahwa penutupan karang keras rata-rata 25 -
50%, nilai ini belum dapat disimpulkan bahwa terumbu karang dalam kondisi buruk,
karena nilai ini merupakan nilai rata-rata dari seluruh wilayah survei di Aceh. Daerah
dengan keragaman terumbu karang yang tinggi terdapat di Pulau Weh dan pesisir Utara
Aceh, ditemukan 42 genus karang dan 343 jenis ikan karang dan penutupan karang hingga
54%.
b. Mangrove
Ekosistem hutan mangrove Aceh dengan luas sekitar 309,07 km2 mayoritas tersebar
di wilayah pesisir timur terutama Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Tamiang.
Sebaran mangrove di pesisir barat terdapat di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Selatan dan

10
Aceh Singkil. Selama ini tercatat ada 30 jenis mangrove yang teridentifikasi di Aceh
dengan kondisi rata-rata kerapatan pohon mangrove 1.811 ind/ha, 30 jenis mangrove
tersebut, yaitu Aegiceras corniculatum, Aegiceras floridum, Avicennia alba, Avicennia
marina, Avicennia officinalis, Barringtonia asiatica, Bruguiera agallocha, Bruguiera
cylindrica, Bruguiera gymnorhiza, Bruguiera sexangula, Cerbera manghas, Ceriops tagal,
Dolichandrone spathacea, Excoecaria agallocha, Hibiscus tiliaceus, Lumnitzera littorea,
Melastoma candidum, Nypa fruticans, Pandanus sp, Pandanus tectorius, Phoenix
palludosa, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Scaevola
taccada, Scyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, Xylocarpus
granatum dan Xylocarpus molluccensis. Dari 30 jenis mangrove tersebut ada tiga jenis
mangrove yang paling dominan ditemukan, yaitu: Rhizopora apiculate, Sonneratia
caseolaris dan Rhizopora mucronate.
c. Lamun
Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang telah sepenuhnya beradaptasi dalam
lingkungan laut. Sebaran ekosistem padang lamun terpusat di Kepulauan Banyak
Kabupaten Aceh Singkil dengan luas sebaran sebesar 44,12 ha. Selain itu ekosistem
padang lamun juga ditemukan dengan area yang lebih kecil di Pulau Aceh Kabupaten
Aceh Besar dan Pulau Simeulue. Jenis lamun yang banyak ditemui adalah Thalassia
hemprichii dari total 3 jenis lamun dari 12 jenis lamun yang ditemukan di Indonesia.
Kondisi padang lamun di Aceh berada kondisi baik. Untuk tutupan lahan lamun
dikategorikan pada kategori kaya yaitu mencapai 42 % dari jenis Thalassia hempirichii.
Sedangkan untuk tutupan lamun terendah berasal dari jenis Cymodocea serrulata dan
Syringodium isoetifolium dengan tutupan lahan hanya mencapai 3% dan tutupan lamun
jenis ini dikategorikan miskin sejauh ini potensi pemanfaatan padang lamun hanya
dimanfaatkan sebagai obyek penelitian dan pemanfaatan sumberdaya ikan.
d. Sumberdaya Ikan
Potensi lestari atau maximum sustainable yield (MSY) adalah sebesar 272.701
ton/tahun terdiri dari potensi perairan teritorial dan kepulauan diperkirakan sebesar
110.045 ton/tahun dan potensi di ZEE sebesar 162.656 ton/tahun. Tingkat pemanfaatan
keseluruhan mencapai 182.464 ton/tahun atau 66,91% (Statistik Perikanan Tangkap Aceh,
2016). Potensi sumberdaya ikan tersebut terdiri dari beberapa jenis ikan ekonomis penting
antara lain lisong, tongkol kral, tongkol komo, cakalang, madidihang, tuna mata besar,
tongkol abu-abu, cucut, kuwe, bawal hitam, bawal putih dan tenggiri.

11
Berdasarkan hasil survei BPSPL Padang Tahun 2007- 2014, penyebaran gerombolan
ikan pelagis (schooling) di perairan Aceh berada pada arah utara perairan Aceh yaitu
menuju WPP 571 Selat Malaka.
Luas daerah penangkapan (fishing ground) ikan merupakan area laut kewenangan
Aceh yaitu sebesar 74.798 km2 yang tersebar pada WPP RI 571 dan 572. WPP RI 571
terdapat di Selat Malaka sedangkan WPP RI 572 terdapat di perairan Samudera Hindia.
e. Sumberdaya Perikanan Budidaya
Potensi lahan untuk pengembangan budidaya air payau (tambak) di Aceh
diperkirakan sebesar 90.000 Ha dan yang telah dikelola sampai saat ini sekitar 40.000 Ha
(DKP Aceh 2016), artinya masih terdapat 50.00 Ha tambak di Aceh yang belum dikelola.
Komoditas utama yang dibudidayakan adalah bandeng, udang windu dan udang vaname.
Potensial untuk budidaya payau dan budidaya laut yang lain adalah ikan kerapu, teripang,
rumput laut, lobster dan kerang-kerangan. Kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan untuk
kegiatan budidaya laut tersebar di tersebar di kabupaten/kota yang terletak di pesisir timur
Aceh yaitu Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara,
Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang.
f. Biota laut lainnya
Biota laut yang dapat ditemui di Aceh antara lain penyu, lumba-lumba, hiu dan paus.
Sebaran penyu di pesisir Aceh dapat dijumpai di Kabupaten Aceh besar (Gugusan Pulo
Aceh, Lhoong dan Lange), selanjutnya di Kabupaten Aceh Jaya (Lamno, Lageun dan
Panga), kemudian di Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Barat Daya, kemudian di Kabupaten
Simeulue tepatnya di daerah Teupah Selatan dan yang terakhir di Pulau Bangkaru
Kabupaten Aceh Singkil. Ada empat jenis penyu yang sering dijumpai di Aceh, yaitu
penyu hijau, penyu belimbing, penyu sisik dan penyu tempayan.
Mamalia laut yang sering dijumpai di Aceh adalah lumba-lumba dan paus. Perairan
Aceh memiliki beberapa jenis lumba-lumba yaitu Spinner dolphin, Bottle nose dolphin,
Spotted dolphin dan Rissso’s dolphin, jenis lumba-lumba ini banyak dijumpai di perairan
pesisir barat Aceh. Paus yang sering dijumpai di perairan barat Aceh adalah paus sperma,
paus bungkuk, dan paus bryde. Aceh memiliki sekitar 22 spesies hiu yang termasuk ke
dalam daftar ikan komersial. Hiu yang menjadi target tangkapan adalah hiu beton
(Carcharhinus leucas atau Carcharhinus albimarginatus), hiu duamin atau hiu nawan
(Galeocerdo cuvier) dan hiu pesawat (Alopias pelagicus).

12
2.2. Sumberdaya Non-Hayati
Sumberdaya non hayati meliputi pasir, air laut, dan mineral dasar laut. Jenis
sumberdaya non hayati wilayah pesisir yang terdapat di Aceh berupa pasir besi yang
terdapat di Kabupaten Aceh Besar. Total luas lahan penambangan pasir besi 4.000 ha
(Sumber Dinas ESDM Aceh, 2015).
Sektor energi yang merupakan sumber energi alternatif yang belum banyak
dimanfaatkan adalah energi gelombang laut, pasang surut/arus, migas dan energi panas.
Blok migas di Aceh terdapat di wilayah Kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat, Nagan Raya
dan Aceh Selatan. Sedangkan sumberdaya mineral yang potensial di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil Aceh adalah bijih besi, dengan potensi pertambangan terbesar di wilayah
Kabupaten Aceh Besar. Berdasarkan data, kawasan pertambangan di Aceh tahun 2016
terdapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) Kabupaten Aceh Besar seluas 64,9 Km2,
Kabupaten Aceh Barat seluas 7,7 Km2, Kabupaten Nagan Raya seluas 84 Km2 dan
Kabupaten Aceh Selatan seluas 16,1 Km2.

2.3. Sumberdaya Buatan dan Jasa kelautan


Sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan
perikanan, jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar tempat instalasi
bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang
terdapat di wilayah pesisir.
 Pelabuhan Perikanan
Aceh memiliki beberapa tipe pelabuhan yaitu: Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS),
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan
Pendaratan Ikan (PPI). Fasilitas Pelabuhan Perikanan Samudera di Aceh terdapat 1 (satu)
unit yaitu PPS Kutaradja. Kegiatan penangkapan ikan di wilayah Lampulo menggunakan
kapal berukuran besar. Terdapat pula 1 (satu) unit Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
yaitu PPN Idi Aceh Timur dan 1 (satu) unit Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yaitu di
Labuhanhaji Aceh Selatan, ditambah 31 unit titik pelabuhan perikanan lainnya yang
didorong untuk ditetapkan kelasnya (berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 6/KEP-MEN KP/2018 tentang Rencana Induk Pelabuhan Nasional)
Titik-titik lokasi pelabuhan perikanan ini tersebar di wilayah pesisir Aceh.

13
Pelabuhan umum merupakan pelabuhan penumpang dan pelabuhan kargo laut yang
menjadi akses masuk dan keluar di wilayah Aceh. Pelabuhan umum terdapat di Kota
Banda Aceh, Kota Sabang, Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Simeulue.
Pelabuhan kelas II terdapat di Kota Lhokseumawe. Pelabuhan kelas III terdapat di
Kota Sabang. Pelabuhan kelas IV terdapat di Kota Langsa. Pelabuhan kelas V terdapat di
Kabupaten Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh
Singkil dan Simeulue. Fungsi pelabuhan kelas II adalah pengumpul, pelabuhan kelas III
adalah pengumpul, pelabuhan kelas IV adalah pengumpul, pelabuhan kelas V adalah
pengumpul, pengumpan regional dan pengumpan lokal.
Terdapat 1 (satu) pelabuhan utama yaitu pelabuhan Sabang yang di kelola oleh
BPKS. Pelabuhan kelas II yaitu Krueng Geukueh Aceh Utara dikelola oleh PT. Pelindo I,
kelas III yaitu Malahayati oleh PT. Pelindo I, kelas IV yaitu Kuala Langsa oleh PT.
Pelindo I, dan kelas V yaitu Meulaboh di kelola oleh PT. Pelindo I, Idi oleh UPP Idi,
Calang oleh UPP Calang, Susoh oleh UPP Susoh, Tapaktuan oleh UPP Tapaktuan, Aceh
Singkil oleh UPP Aceh Singkil, dan Sinabang oleh UPP Simeulue.
 Sarana dan Prasarana Lainnya
Sarana dan prasarana lain yang menunjang pembangunan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil merupakan sumberdaya buatan yang mempunyai peranan yang sangat penting
dalam meningkatkan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati dan akses dari sentra-
sentra produksi ke pusat pemasaran. Beberapa sumberdaya buatan di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil meliputi ruang dingin (cold storage): 2 unit, Pabrik Es: 24 unit, galangan
kapal: 6 unit, bengkel nelayan: 18 unit, SPDN/SPBN: 20 unit, unit usaha pemasaran
perikanan: 18 unit, Pasar ikan: 25 unit, kedai pesisir: 250 unit, sarana air bersih: 25 unit,
Jetty: 25 unit, TPI/PPI: 85 unit dan KKPD sebanyak 8 Kawasan.
Sektor pariwisata bahari merupakan penyumbang urutan ke-4 (empat) di Aceh. Aset
penting pariwisata bahari berada di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh
Barat, kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Jaya,
Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten
Aceh Timur, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe, Kabupaten
Nagan Raya, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Simeulue. Dalam skema
pengembangan Destinasi Pariwisata Nasional, Aceh masuk dalam Kawasan Strategis
Pariwisata Nasional (KSPN) Pulau Weh dan Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional
(KPPN) yakni Banda Aceh.

14
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh yang potensial dikembangkan sebagai
kawasan wisata bahari yaitu di Kabupaten Aceh Barat Daya 5 lokasi, Kabupaten Aceh
Besar 7 lokasi, Kabupaten Aceh Jaya 1 lokasi, Kabupaten Aceh Selatan 12 lokasi,
Kabupaten Aceh Singkil 10 lokasi Kabupaten Aceh Tamiang 3 lokasi Kabupaten Aceh
Timur 7 lokasi Kabupaten Aceh Utara 6 lokasi, Kabupaten Bireuen 6 lokasi, Kota Banda
Aceh 4 lokasi, Kota Lhokseumawe 5 lokasi Kota Sabang 12 lokasi Kabupaten Nagan Raya
4 lokasi Kabupaten Pidie 9 lokasi Kabupaten Pidie Jaya 7 lokasi dan Kabupaten Simeulue
11 lokasi.

2.4 Deskripsi Kegiatan Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil


2.4.1 Kawasan Konservasi
Pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Aceh cukup besar, yang
dilakukan oleh penduduk yang mayoritas tinggal di wilayah pesisir. Berbagai aktitivitas
dilakukan oleh masyarakat baik untuk permukiman, perikanan budidaya, perikanan
tangkap maupun akvitas lainnya.
Kawasan konservasi perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh tersebar
di beberapa lokasi seperti Kawasan Hutan Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam
Laut Kepulauan Banyak (178.317,86 ha) yang terletak di Kabupaten Aceh Singkil,
Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Pulau Weh (5.280,20 ha) di Kota Sabang, Kawasan
Konservasi Perairan Pesisir Timur Pulau Weh (3.207,98 ha). Terdapat alokasi kawasan
konservasi perairan sebesar (211.128 Ha) yang telah dialokasikan dalam Tata Ruang Aceh
tahun 2013. Terdapat usulan KKPD yang diinisiasi oleh kabupaten diantaranya adalah
Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Simeulue dan Aceh Tamiang.

2.4.2 Kawasan Industri Perikanan dan Kelautan Aceh


Kawasan industri perikanan terpadu di Aceh adalah Pelabuhan Perikanan Samudera
di wilayah Kota Banda Aceh, Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Kota
Sabang, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Idi, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Labuhanhaji di Kabupaten Aceh Selatan.
Kegiatan budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung di Kabupaten Aceh
Utara, Kabupaten Simeulue, Kabupaten Aceh Singkil, Kota Sabang dan Kota

15
Lhokseumawe. Budidaya udang dengan sistem tambak tersebar di Kabupaten Aceh Timur,
Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Aceh
Tamiang, Kota Lhokseumawe dan Kota Langsa. Budidaya ikan kakap dengan sistem
tambak tersebar di Kabupaten Aceh Utara, Bireuen, Aceh Tamiang, Kota Lhokseumawe
dan Kota Langsa. Budidaya ikan kerapu dengan sistem tambak tersebar di Kabupaten Aceh
Timur, Pidie, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, Kota Lhokseumawe
dan Kota Langsa. Sementara budidaya ikan bandeng dengan sistem tambak ada di
Kabupaten Aceh Timur, Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Jaya, Aceh
Tamiang, Bener Meriah, Kota Lhokseumawe dan Kota Langsa.
Potensi budidaya ikan kerapu 830 ton/tahun, udang windu 8.320,313 ton/tahun,
udang vaname 11.679,12 ton/tahun, ikan bandeng 29.897,96 ton/tahun, dan ikan kakap
287,1 ton/tahun.
Wilayah yang dimanfaatkan untuk perikanan tangkap meliputi seluruh perairan
kabupaten/kota yang tidak digunakan untuk pemanfaatan lainnya. Nelayan dibeberapa
sentra perikanan tangkap melakukan penangkapan ikan hingga melewati batas 12 mil laut.
Pengembangan garam rakyat di Aceh cukup luas dimana terdapat seluas 116,86 ha
lahan tambak garam dengan 1.398 orang petani. Lahan ini tersebar di 8 kabupaten dengan
luasan masing-masing yaitu 6 kecamatan di Kabupaten Pidie seluas 15,13 ha, 3 kecamatan
di Kabupaten Pidie Jaya seluas 31,35 ha, 3 kecamatan di Kabupaten Bireuen seluas 15,68
ha, 4 kecamatan di Kabupaten Aceh Utara seluas 16,89 ha, 2 kecamatan di Kabupaten
Aceh Timur seluas 18,98 ha, 3 kecamatan di Kabupaten Aceh Besar seluas 18,83 ha, 2
kecamatan di Kabupaten Aceh Barat Daya dan 3 kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan.

2.4.3 Pariwisata
Kegiatan pariwisata bahari yang merupakan andalan wilayah ini telah dikunjungi
oleh wisatawan baik lokal, nasional maupun international. Wisata alam olah raga air,
bawah air, pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil di wilayah pesisir dan laut Aceh meliputi:
 Kabupaten Aceh Singkil: Wisata pantai
 Kabupaten Aceh Selatan: Wisata pantai, olah raga air dan bawah air.
 Kabupaten Nagan Raya: Wisata pantai.
 Kabupaten Aceh Barat Daya: Wisata pantai.
 Kabupaten Aceh Jaya: Wisata pantai.
 Kabupaten Aceh Besar: Wisata pantai, olah raga air dan bawah air.

16
 Kota Sabang: Wisata pantai, olah raga air dan bawah air
 Kota Banda Aceh: Wisata pantai dan olah raga air.
 Kabupaten Pidie: Wisata pantai.
 Kabupaten Pidie Jaya: Wisata pantai.
 Kabupaten Bireuen: Wisata pantai;
 Kabupaten Aceh Utara: Wisata pantai.
 Kota Lhokseumawe: Wisata pantai.
 Kabupaten Aceh Timur: Wisata pantai.
 Kabupaten Aceh Tamiang: Wisata pantai.
 Kabupaten Simeulue: Wisata pantai, olah raga air dan bawah air.

2.4.4 Pelabuhan
Kegiatan kepelabuhanan yang berkembang di Aceh antara lain: Pelabuhan Ulee
Lheue di Banda Aceh, Pelabuhan Labuhanhaji di Aceh Selatan dan Pelabuhan Sinabang di
Kabupaten Simeulue.
Pelabuhan penyeberangan yang terdapat di Aceh yaitu : Pelabuhan Balohan di Kota
Sabang yang kelola oleh UPTD Dishub Kota Sabang, Pelabuhan Ulee Lheue di Kota
Banda Aceh yang dikelola oleh UPTD Dishub setempat, Pelabuhan Lamteng di Kabupaten
Aceh Besar dikelola oleh UPTD Dishub Kabupaten Aceh Besar, Pelabuhan Meulaboh di
Kabupaten Aceh Barat oleh UPTD Dishub setempat, Pelabuhan Labuhanhaji di Kabupaten
Aceh Selatan oleh UPTD Dishub setempat, Pelabuhan Aceh Singkil dan Pulau Banyak di
Aceh Singkil oleh UPTD Dishub Aceh Singkil, serta Pelabuhan Sinabang di Kabupaten
Simeulue oleh UPTD Dishub Simeulue.
2.4.5 Pipa dan Kabel Bawah Laut
Kabel bawah tanah eksisting yang saat ini terpasang di wilayah Propinsi Aceh
terbagi menjadi dua lintasan, yaitu lintas timur dan lintas barat dengan total panjang sejauh
1.600 km. Sementara kabel bawah laut eksisting terdiri dari dua rute yaitu rute Banda Aceh
hingga Sabang sepanjang 142 km dan rute Sinabang hingga Bakongan sepanjang 148 km.
Pada tahun 2018 direncanakan akan di bangun kabel bawah laut dengan rute Banda Aceh
hingga Propinsi Sumatera Utara melalui pantai timur Aceh (PT. Telekomunikasi Indonesia,
Kantor WITEL Aceh, 2017).

17
18
BAB III
ISU-ISU STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Aceh sangat beragam dan
bernilai ekonomis. Untuk itu diperlukan upaya pemanfaatan dengan memperhatikan
keseimbangan ekonomi dan ekologi untuk keberlanjutan usaha tersebut. Kegiatan utama
yang dapat menimbulkan degradasi ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil antara
lain:
a. konversi hutan mangrove untuk tambak di pesisir timur aceh yang meliputi kabupaten
Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Pidie, Pidie Jaya, dan Aceh Besar.
Konversi mangrove pada pesisir barat terjadi di kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya dan
Aceh Singkil.
b. pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau kecil yang berlebihan dan penggunaan
metode pemanfaatan yang merusak di wilayah kepulauan.
c. aktivitas pertambangan, perkebunan dan aktivitas lain di lahan daratan yang
mengabaikan prinsip-prinsip pengendalian erosi sehingga menimbulkan sedimentasi
dan kekeruhan air sungai, estuaria dan perairan pantai.
Akibat yang ditimbulkan dari degradasi ekosistem di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil di Aceh adalah:
a. penurunan luasan dan kualitas ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang.
seiring penurunan luasan mangrove, terdapat peningkatan luas tambak sebesar 3.000
hektar sejak tahun 2012
b. perubahan geomorfologi pesisir karena pengaruh abrasi dan sedimentasi
c. kerusakan habitat yang menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan,
berkurangnya keanekaragaman hayati dan menurunnya hasil tangkapan nelayan di
wilayah pesisir
d. menguatnya isu penegakan hukum yang kuat untuk melindungi sumberdaya dan
pemanfaatan berkelanjutan

3.1 Degradasi Sumberdaya Alam dan Kehilangan Hasil yang Masih Tinggi.
Beberapa permasalahan utama terjadinya degradasi sumberdaya alam dan
kehilangan hasil yang masih tinggi antara lain:
a. sedimentasi muara dan abrasi pantai yang terus meningkat
19
b. kerusakan kawasan lamun, mangrove dan terumbu karang serta alih fungsi lahan di
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
c. masih tingginya perikanan yang ilegal, tidak tercatat dan belum diatur termasuk
penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem
d. ekstraksi berlebihan dan metode pengambilan sda di alam cenderung merusak

3.2 Penegakan Hukum dan Struktur Kewenangan Pengelolaan Masih Lemah.


Beberapa permasalahan menyangkut hal tersebut antara lain:
a. pengawasan dan penegakan hukum masih lemah
b. pengakuan terhadap hukum adat dalam mekanisme penegakan hukum belum kuat.
c. instrumen pengawasan dan penegakan hukum belum memadai
d. pembagian urusan penegakan hukum lintas kewenangan belum tegas diatur
e. akurasi data dan akses informasi perizinan lintas instansi belum terintegrasi

3.3 Pengakuan Formal Wilayah Kelola dan Partisipasi Masyarakat Masih Lemah.
Beberapa permasalahan menyangkut hal tersebut antara lain:
a. belum semua kawasan konservasi perairan berbasis masyarakat ditetapkan
b. batas wilayah kelola adat panglima laot lhok belum dikukuhkan
c. belum semua kawasan konservasi perairan berbasis masyarakat memiliki rencana
pengelolaan
d. belum semua kawasan konservasi perairan berbasis masyarakat memiliki lembaga
pengelola
e. mekanisme partisipasi dan pengaduan masyarakat dalam pengelolaan WP-3-K belum
terbangun

3.4 Integrasi dan Harmonisasi Ruang Belum Terbangun


Beberapa permasalahan menyangkut hal tersebut antara lain:
a. koordinasi pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang lintas stakeholders lemah
b. indikasi tumpang-tindih pemanfaatan ruang dan intensitas konflik pemanfaatan semakin
tinggi
c. keterpaduan dalam aksi pembangunan masih sulit dicapai sehigga hasilnya berdampak
kecil

20
d. konsep ruang atau kluster unggulan belum menjadi basis pembangunan kelautan dan
perikanan
e. penataan ruang (zonasi) dan rencana kelola terpadu kawasan belum tersusun

3.5 Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya yang Belum Optimal.
Beberapa permasalahan menyangkut hal tersebut antara lain:
a. tingkat pemanfaatan kawasan budidaya dan diversifikasi usaha masih rendah
b. eksploitasi kawasan penangkapan dan pemanfaatan potensi lestari belum optimum
c. pelabuhan perikanan dan fasilitas pendukung belum memadai

3.6 Pemanfaatan Potensi Sumberdaya yang Masih Rendah.


Beberapa permasalahan menyangkut hal tersebut antara lain:
a. potensi lestari sumberdaya belum diketahui secara akurat
b. rencana zonasi dan alokasi ruang untuk pemanfaatan ruang belum ditetapkan
c. potensi sosial-budaya dan karakter maritim spesifik belum dikembangkan
d. potensi kawasan lindung, konservasi dan jasa lingkungan belum dikembangkan
e. potensi hidrokarbon, mineral dan batubara di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil
yang diekplorasi masih sedikit
f. potensi energi baru terbarukan serta potensi kemaritiman belum teridentifikasi

3.7 Pariwisata, Jasa dan Industri Maritim Belum Menjadi Sektor Unggulan.
Beberapa permasalahan menyangkut hal tersebut antara lain:
a. peta dan data akurat tentang kawasan pengembangan pariwisata potensial belum
tersedia
b. jasa perdagangan dan jasa kemaritiman lainnya belum berkembang
c. pemanfaatan potensi jasa lingkungan dan konservasi belum dikembangkan
d. industri dan jasa pariwisata masih sangat terbatas
e. industri pendukung untuk pengembangan perikanan tangkap masih konvensional dan
belum mampu menyuplai kebutuhan saat ini
f. industri pendukung kegiatan budidaya perikanan belum berkembang
g. jasa dan armada perhubungan belum mencukupi

3.8 Realisasi Investasi Sektor Kelautan dan Perikanan Masih Rendah


Beberapa permasalahan menyangkut hal tersebut antara lain:
21
a. regulasi dan sistem kemitraan dan fasilitasi investasi belum terbangun
b. ketersedian infrastruktur dasar dan penunjang untuk pengembangan investasi belum
cukup
c. data dan informasi yang akurat untuk kelayakan investasi masih belum terintegrasi
dalam sistem perizinan
d. rencana zonasi dan alokasi ruang untuk investasi pemanfaatan ruang belum ditetapkan
e. kesiapan sosiokultural dan keahlian penunjang investasi belum terpetakan
f. rencana induk investasi sektor kelautan dan perikanan belum tersusun
g. perspektif dan pemahaman pemangku kepentingan terhadap pengelolaan kawasan
belum terpadu

3.9 Upaya Pengurangan Resiko Bencana dan Perlindungan Aset Masih Minim
Beberapa permasalahan menyangkut hal tersebut antara lain:
a. sistem perlindungan dan keselamatan kegiatan maritim belum terbangun
b. tata ruang kawasan dan permukiman nelayan masih belum terstruktur dan terpola
c. kawasan plasma nutfah dan protokol perlindungan keragaman hayati serta habitat asli
belum terbangun
d. identifikasi bencana dan kharakteristiknya di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau
kecil belum seluruhnya dipetakan
e. skenario adaptasi dan mitigasi bencana dan perubahan iklim belum tersusun
f. unit perlindungan dan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
beserta standar pelayan minimalnya belum terbentuk

BAB IV
TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL

22
4.1 Tujuan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Sumberdaya alam semakin lama semakin berkurang sementara jumlah kebutuhan
sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus bertambah memerlukan
pengelolaan untuk memastikan adanya pengelolaan yang memberikan manfaat secara
berkelanjutan. Manfaat berkelanjutan dapat tercapai jika pemanfaatan tidak melebihi
kapasitas daya dukung dari sumberdaya. Beberapa potensi sumberdaya alam pesisir dan
pulau-pulau kecil di Aceh belum termanfaatkan secara optimal. Salah satu tantangan dalam
pengelolaan sumberdaya alam adalah membangun kesejahteraan dari sumberdaya alam
yang semakin menipis dengan jumlah manusia yang terus bertambah. Kontrol atas
sumberdaya wilayah pesisir dan pulau pulau kecil melalui pengelolaan berkelanjutan perlu
didasarkan pada resources based dengan mendorong penerapan harvest control rules
(batasan aturan pemanfaatan).
Rumusan Visi-Misi dan Kebijakan serta Strategi Pembangunan untuk menjawab
berbagai isu sesuai konteks dokumen rujukan adalah dasar untuk perumusan visi misi
pengelolaan dan pembangunan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil Aceh 20 tahun
kedepan. Demikian halnya dengan upaya membangun relasi programatik dan harmonisasi
ruang sebagai referensi kontekstual untuk perumusan kebijakan strategis pengelolaan dan
pembangungan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil Aceh. Visi pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan pernyataan harapan tentang masa depan
sumberdaya wilayah pesisir dan pulau pulau kecil Aceh. Mengacu pada Rencana Strategis
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Aceh, visi pengelolaan wilayah pesisir adalah:
“TERWUJUDNYA KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI SEBAGAI
BASIS KEMANDIRIAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DAN PULAU-
PULAU KECIL UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN ACEH YANG
BERKELANJUTAN, BERKEADILAN DAN BERMARTABAT”
Beberapa kata kunci yang terdapat dalam visi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil dalam pembangunan sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari, Berkeadilan,
Sejahtera, Berkelanjutan, Bermartabat, Mandiri, Berwawasan Lingkungan,
Keterbukaan, Akuntabilitas, Kearifan Lokal, Keterpaduan, Kemitraan dan
Partisipatif yang mengandung makna sebagai berikut:
Berkeadilan adalah terwujudnya pembangunan yang adil dan merata yang dilakukan
secara partisipatif, proporsional dan berkelanjutan berdasarkan prinsip kebutuhan dan azas
manfaat bagi masyarakat Aceh.

23
Sejahtera adalah sebuah kondisi yang diharapkan setiap masyarakat mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya dalam aspek ekonomi, sosial dan spiritual. Masyarakat
Aceh yang sejahtera merupakan masyarakat yang makmur, berpenghasilan yang cukup,
memiliki pendidikan, lapangan usaha dan lapangan kerja yang layak, terbebas dari
kemiskinan, memiliki rasa kepedulian yang tinggi, memiliki kualitas kesehatan dan
didukung oleh kondisi lingkungan dan perumahan yang baik. Selain memiliki berbagai
indikator ekonomi, sosial dan spritual yang lebih baik, masyarakat yang sejahtera juga
harus memiliki sistem dan kelembagaan politik, termasuk kepastian hukum. Lembaga
politik dan kemasyarakatan berfungsi sesuai konstitusi yang ditetapkan oleh rakyatnya.
Masyarakat yang sejahtera juga ditandai dengan adanya peran serta secara nyata dan
efektif dalam segala aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, maupun pertahanan
dan keamanan. Kesejahteraan masyarakat tidak hanya dicerminkan oleh perkembangan
ekonomi semata, tetapi mencakup aspek yang lebih luas.
Berkelanjutan: dimaksudkan bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi, untuk menjamin keutuhan
lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi
masa kini dan generasi masa depan.
Bermartabat kondisi masyarakat Aceh yang dicirikan dengan ketahanan dan daya
juang yang tinggi, cerdas, taat aturan, kooperatif dan inovatif yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia berlandaskan penerapan syariat Islam yang kaffah.
Perwujudannya antara lain melalui penuntasan peraturan-peraturan hasil turunan Undang-
Undang Pemerintah Aceh (UUPA) dan peraturan perundangan lainnya, pelaksanaan tata
kelola pemerintahan yang baik dan bersih, bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta penegakan supremasi hukum dan HAM, mengangkat kembali budaya
Aceh yang islami dan pelaksanaan nilai-nilai Dinul Islam dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat.
Mandiri adalah Aceh mampu memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang
melimpah dan keunggulan geostrategis melalui penguatan kapasitas sumberdaya manusia,
efisiensi dan efektifitas anggaran, serta penguasaan teknologi informasi, sehingga
bermanfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat Aceh.
Berwawasan Lingkungan adalah bahwa dokumen RZWP-3-K memperhatikan
keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan.
Keterbukaan adalah dilakukan secara terbuka dan transparan.

24
Akuntabilitas adalah pelaksanaan RZWP-3-K yang dilakukan secara bertanggung
jawab.
Kearifan Lokal adalah dalam pelaksanaan RZWP-3-K harus memperlihatkan nilai-
nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Keterpaduan adalah adalah pelaksanaan RZWP-3-K memiliki keharmonisan dan
saling menunjang dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor lain, dan
masyarakat setempat.
Kemitraan adalah pelaksanaan RZWP-3-K dilakukan berdasarkan kesepakatan
kerjasama antar pemangku kepentingan yang berkaitan dengan wilayah perencanaan.
Partisipatif adalah pelaksanaan RZWP-3-K melibatkan masyarakat dalam proses
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
Kandungan makna dalam visi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di
Aceh adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan berkelanjutan
dari sumberdaya alam yang berlimpah dan dijaga keberadaanya. Kemanfaatan yang besar
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera, aman, nyaman dan tentram bagi
masyarakat secara langsung maupun pemerintah secara tidak langsung. Pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh harus diarahkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan konstitusi bahwa
“bumi dan air beserta segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Misi:
Untuk mewujudkan visi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
sebagaimana dimaksud, maka ditetapkan beberapa misi atau agenda utama yang harus
dicapai yaitu:
 Meningkatkan kualitas ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
 Meningkatkan pemanfaatan potensi dan nilai tambah sumberdaya pesisir dan pulau-
pulau kecil serta jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan
 Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang handal dan berdaya sain
 Memperkuat sistem tata kelola sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
 Mempercepat pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang berwawasan lingkungan

25
 Mewujudkan penegakan peraturan dan penerapan kebijakan secara konsisten dalam
rangka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
 Membangun tatakelola sumberdaya alam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
berkelanjutan dan berkeadilan
Tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh berorientasi pada
visi, misi dan isu strategis pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Adapun
tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh adalah:

A. Isu Degradasi Sumberdaya dan Kehilangan Hasil yang Masih Tinggi


 melindungi kestabilan ekosistem pesisir
 menyadarkan masyarakat untuk pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan
khususnya di WP-3-K
 meningkatkan hasil dan keberlanjutan usaha budidaya
 melindungi ekosistem pesisir dan keanekaragaman hayati
 meningkatkan kepatuhan hukum dan mencegah kehilangan hasil tangkapan
 mengendalikan eksploitasi untuk keberlanjutan sumberdaya
B. Isu Tingkat Kemiskinan dan Kualitas Sumberdaya Manusia yang Rendah di
Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
 meningkatkan pendapatan bersih masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
 meningkatkan keahlian dasar untuk mengelola usaha di pesisir dan pulau-pulau
kecil
 meningkatkan kualitas infrastruktur dasar dan penyehatan lingkungan permukiman
 meningkatkan akses layanan dasar masyarakat
 meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat

C. Isu Penegakan Hukum dan Struktur Kewenangan Pengelolaan Masih Lemah


 meningkatkan upaya penegakan hukum
 merumuskan payung hukum penegakan hukum berbasis hukum adat
 memperkuat instrumen pengawasan dan penegakan hukum
 mempertegas batasan kewenangan penegakan hukum
 meningkatkan akurasi dan ketepatan data perijinan terpadu lintas instansi, dan
 meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap produk hukum yang berlaku

26
D. Isu Pengakuan Formal Wilayah Kelola dan Partisipasi Masyarakat Masih Lemah.
 mewujudkan kepastian hukum wilayah kelola panglima laot lhok
 mewujudkan tata batas kawasan kelola dan wilayah kewenangan panglima laot lhok
 mewujudkan pengelolaan kawasan kelola panglima laot lhok
 membangun kelembagaan adat pengelola kawasan kelola panglima laot lhok
 membangun mekanisme dan unit pengaduan masyarakat dalam pengelolaan WP-3-
K
E. Isu Integrasi dan Harmonisasi Ruang Belum Terbangun
 membangun koordinasi pemanfaatan ruang lintas sektor
 mengantisipasi konflik dan tumpang tindih pemanfaatan ruang
 harmonisasi ruang di WP-3-K, perbatasan dan kawasan tertentu
 melaksanakan pembangunan terintegrasi berbasis ruang/klaster yang berkelanjutan
 melaksanakan rencana pemanfaatan dan pengendalian ruang yang terintegrasi untuk
pengelolaan WP-3-K berkelanjuta

F. Isu Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya yang Belum


Optimal.
 melakukan optimalisasi lahan dan pengembangan klaster unggulan budidaya
 meningkatkan produktivitas hasil tangkapan
 melakukan pendugaan dan perencanaan pemanfaatan potensi lestari
 membangun sistem penyediaan teknologi dan sarana pendukung yang mudah
diakses nelayan
 membangun akses dan kemitraan dalam penanganan hasil dan kepastian pasar
 melaksanakan pembangunan dan penyempurnaan fasilitas pelabuhan perikanan
yang memadai
 membangun kemandirian ekonomi dan sistem kemitraan pengelolaan WP-3-K
G. Isu Pemanfaatan Potensi Sumberdaya yang Masih Rendah
 melakukan identifikasi dan pemetaan potensi lestari sumberdaya alam di WP-3-K
 melakukan identifikasi dan pemetaan potensi sosial budaya maritim Aceh yang
pernah berjaya secara historis
 menyusun rencana pengelolaaan kawasan lindung berbasis konservasi dan jasa
lingkungan

27
 melakukan pemetaan potensi energi maritim dan potensi lainnya yang belum
dikembangkan
H. Isu Pariwisata, Jasa dan Industri Maritim Belum Menjadi Sektor Unggulan
 melakukan identifikasi dan pemetaan potensi pariwisata di WP-3-K
 mengembangkan kawasan lindung dan konservasi perairan dengan pemanfaatan
jasa lingkungan
 membangun kerangka terpadu pengembangan pariwisata di WP-3-K sebagai
keunggulan ekonomi non ekstraktif
 membangun dan memperkuat jasa dan armada perhubungan untuk mendukung
transportasi logistik dan hasil perikanan dan kelautan

I. Isu Realisasi Investasi Sektor Kelautan dan Perikanan Masih Rendah


 membangun kerangka regulasi dan sistem kemitraan untuk fasilitasi investasi
sektor maritim
 meningkatkan kualitas infrastruktur dasar pendukung investasi
 membangun sistem informasi yang akurat dan terintegrasi dalam proses perijinan
terpadu
 membangun kepastian hukum untuk menjamin keamanan dan keberlanjutan
investasi
 membangun sistem registrasi dan sertifikasi keahlian untuk mendukung investasi
dan penyadaran masyarakat akan pentingnya investasi dalam percepatan
pembangunan
 menyusun rencana induk pengembangan investasi sektor maritim
 membangun keterpaduan lintas sektor dalam pengelolaan WP-3-K secara
berkelanjutan
J. Isu Upaya Pengurangan Resiko Bencana dan Perlindungan Aset Masih Minim
 membangun sistem perlindungan dan keselamatan kegiatan maritim di Aceh
 melaksanakan penataan kawasan permukiman yang berbasiskan pada pengurangan
resiko bencana dan lingkungan sehat
 membangun protokol perlindungan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati
beserta habitat asli
 melakukan identifikasi dan pemetaaan ancaman dan resiko bencana di WP-3-K

28
 menyusun kerangka kebijakan dan regulasi sebagai basis strategi pengurangan
resiko bencana di WP-3-K
 membentuk unit mitigasi bencana dan menyusun standar pelayanan minimal
kebencanaan di WP-3-K
 melakukan upaya penyadaran masyarakat tentang aturan keselamatan dan bencana
di WP-3-K

4.2 Strategi dan Arah Kebijakan


4.2.1 Isu Degradasi Sumberdaya dan Kehilangan Hasil yang Masih Tinggi
A. Arah Kebijakan :
 pengendalian pemanfaatan ruang
 peningkatan tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pengelolaan
sumberdaya alam berkelanjutan
 pengembangan teknologi budidaya ramah lingkungan
 pengendalian pemanfaatan kawasan dan perlindungan plasma nutfah di ekosistem
pesisir
 pengembangan sistem registrasi dan perizinan serta pelaporan terpadu
 pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan dengan pemanfaatan tidak melebihi
daya dukung lingkungan
 meningkatkan kesadaran masyarakat dan mitra perikanan tangkap tentang
perikanan ilegal, tidak tercatat dan belum diatur
B. Strategi :
 menyusun kerangka strategi dan aksi mitigasi dan adaptasi terhadap kerusakan
pantai dan muara
 kampanye dan penyuluhan reguler tentang pentingnya menjaga sumberdaya dan
mengurangi kehilangan hasil
 menerapkan sistem pasca panen yang baik pada perikanan tangkap dan budidaya
 mengembangkan teknologi budidaya sesuai dengan karakter kawasan
 mengendalikan konversi lahan hutan mangrove di WP-3-K
 melakukan rehabilitasi ekosistem pesisir yang terdegradasi
 mencegah kerusakan ekosistem pesisir

29
 meningkatkan kesadaran masyarakat dan mitra perikanan tangkap tentang
perikanan ilegal, tidak tercatat, dan belum diatur
 membatasi ijin dan kuota ekstraksi sumberdaya alam di WP-3-K
 menetapkan jenis peralatan dan teknik ekstraksi yang boleh dilakukan di Aceh

4.2.2 Isu Tingkat Kemiskinan dan Kualitas Sumberdaya Manusia yang Rendah di
Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

A. Arah Kebijakan
 pengembangan komoditas unggulan dan perbaikan teknologi produksi
 perbaikan kualitas sumberdaya manusia melalui peningkatan keahlian dasar dan
intervensi teknologi produksi
 peningkatan kualitas infrastruktur dasar permukiman dan penyehatan lingkungan
permukiman
 pembangunan terpadu untuk kawasan terpencil dan perbatasan
 penguatan pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
B. Strategi
 mengembangkan komoditas unggulan yang ekonomis
 melakukan perbaikan keahlian dasar usaha sesuai dengan potensi unggulan
 melakukan intervensi teknologi tepat guna pendukung usaha
 mengembangkan sistem perbaikan infrastruktur dasar berbasis masyarakat
 meningkatkan akses terhadap layanan masyarakat terpencil dan perbatasan
 membangun sistem layanan terpadu dilokasi yang dapat diakses masyarakat
 melakukan penguatan pemberdayaan masyarakat
 dukungan dan fasilitasi proses produksi yang efisien dan ekonomis

4.2.3 Isu Penegakan Hukum dan Struktur Kewenangan Pengelolaan Masih Lemah

A. Arah Kebijakan
 penegakan hukum yang konsisten dan terukur
 pembentukan payung hukum formal untuk penegakan hukum berbasis adat
 penguatan sarana dan prasarana penegakan hukum
 pengembangan sistem penegakan hukum terpadu untuk pengelolaan WP-3-K

30
 penyediaan data yang akurat dan terintegrasi dalam sistem perizinan pengelolaan
WP-3-K
 penguatan kesadaran masyarakat terhadap aturan hukum pengelolaan WP-3-K
B. Strategi
 meningkatkan kesadaran hukum masyarakat untuk pencegahan
 melakukan penegakan hukum secara konsisten dan terukur
 mengembangkan sistem dan perangkat penegakan hukum berbasis adat
 memperkuat struktur dan fungsi kelembagaan adat untuk penegakan hukum
 memperkuat instrumen penegakan hukum melalui kerangka regulasi
 memperkuat infrastruktur dan kelembagaan penegakan hukum
 melakukan harmonisasi dan sinkronisasi penegakan hukum
 merumuskan mekanisme koordinasi dan protokol penegakan hukum terpadu
 mengembangkan sistem informasi perijinan terintegrasi

4.2.4 Isu Pengakuan Formal Wilayah Kelola dan Partisipasi Masyarakat Masih
Lemah.

A. Arah Kebijakan
 pengukuhan dan penetapan wilayah kelola panglima laot di WP-3-K
 identifikasi tata batas dan kewenangan pengelolaan kawasan panglima laot lhok
 fasilitasi dan pendampingan dalam penyusunan rencana pengelolaan kawasan
 fasilitasi dan pendampingan dalam pembentukan kelembagaan pengelola kawasan
 pembangunan unit layanan pengaduan dan protokol mekanisme pengaduan
masyarakat WP-3-K
B. Strategi
 melakukan fasilitasi dan pendampingan masyarakat untuk pengelolaan kawasan
 melakukan penataan batas wilayah kelola panglima laot lhok diseluruh Aceh
 memfasilitasi lembaga panglima laot lhok untuk identifikasi kawasan kelolanya
 melakukan fasilitasi untuk penyusunan rencana pengelolaan wilayah kelola
panglima laot lhok diseluruh Aceh
 memberikan asistensi teknis dalam proses penyusunan rencana pengelolaan
 melakukan fasilitasi untuk penguatan kelembagaan pengelola kawasan

31
 memberikan asistensi teknis dalam proses penguatan struktur dan fungsi
kelembagaan
 merumuskan dokumen kebijakan dan payung hukum untuk mekanisme pengaduan
 membangun unit pengaduan dan sistem pendukung dalam tata kelola pemerintahan
4.2.5 Isu Integrasi dan Harmonisasi Ruang Belum Terbangun
A. Arah Kebijakan
 sistem perijinan pemanfaatan ruang laut sesuai RZWP-3-K dan aturan perundang
undangan
 regulasi dan pengaturan pemanfaatan ruang laut di WP-3-K, perbatasan dan
kawasan tertentu
 pengelolaan WP-3-K yang terintegrasi dan berkelanjutan
 pengembangan kawasan cepat tumbuh terpadu WP-3-K
B. Strategi
 melakukan inventarisasi pemanfaatan ruang laut untuk pencegahan dan resolusi
konflik ruang
 menyusun rencana aksi pembangunan perikanan berbasis klaster/ruang
 menyusun rencana pengelolaan dan program unggulan terpadu pengelolaan WP-3-
K
 membangun kerangka strategi dan aksi pengelolaan kawasan terpadu cepat tumbuh
WP-3-K
4.2.6. Isu Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya yang Belum
Optimal

A. Arah Kebijakan
 pengembangan klaster unggulan terpadu budidaya perikanan
 peningkatan produktivitas hasil perikanan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat
 pengembangan perikanan tangkap sesuai potensi lestari kawasan
 penyediaan teknologi dan sarana pendukung untuk nelayan
 pengembangan industri pengolahan dan akses pasar produk perikanan
 pengembangan pelabuhan perikanan yang representatif dan pemenuhan layanan
pendukung kepelabuhanan
 pemberdayaan ekonomi nelayan

32
B. Strategi
 menyusun rencana pengembangan klaster unggulan terpadu budidaya perikanan
 mengembangkan model dan sistem budidaya untuk kemandirian ekonomi
masyarakat
 mengembangkan model intervensi teknologi untuk peningkatan produktivitas
 menyesuaikan sistem budidaya dan komoditas unggulan yang sesuai dengan daya
dukung optimum kawasan
 melaksanakan inventarisasi kawasan dan pendugaan potensi lestari untuk
pengembangan klaster perikanan tangkap
 menyusun rencana pengelolaan perikanan
 membangun sistem penyediaan teknologi pendukung perikanan
 mengembangkan model pendataan dan pelaporan data perikanan
 memfasilitasi akses teknologi dan keahlian bagi nelayan
 membangun pelabuhan perikanan yang representatif
 membangun kemitraan untuk pengelolaan perikanan
4.2.7 Isu Pemanfaatan Potensi Sumberdaya yang Masih Rendah
A. Arah Kebijakan
 pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan sesuai potensi lestari yang
terkendali untuk keberlanjutan pemanfaatan
 penataan ruang dalam pemanfaatan kawasan yang terkoordinasi dan berkelanjutan
 pengembangan jasa lingkungan sebagai substitusi sumber ekonomi dari kawasan
lindung dan konservasi
 pemanfaatan potensi optimum untuk kemandirian energi dan ekonomi sebagai
bentuk kesejahteraan
 pengembangan energi baru terbarukan dan potensi maritim lainnya untuk
kemandirian ekonomi berbasis energi terbarukan

B. Strategi
 menyusun skenario pemanfaatan secara lestari
 membangun sistem pengendalian untuk keberlanjutan
 melakukan valuasi sumberdaya perikanan
 mengembangkan konsep pemanfaatan jasa lingkungan kawasan konservasi

33
 melakukan analisis kelayakan pengembangan potensi

4.2.8 Isu Pariwisata, Jasa dan Industri Maritim Belum Menjadi Sektor Unggulan

A. Arah Kebijakan

 pemetaan potensi untuk pengembangan pariwisata maritim


 penguatan kebijakan untuk pengembangan jasa perdagangan dan jasa maritim
lainnya
 pengembangan jasa lingkungan sebagai basis ekonomi unggulan dikawasan lindung
dan konservasi
 pengembangan jasa dan industri pariwisata maritim
 pengembangan mekanisme insentif untuk investasi bidang industri pendukung
perikanan tangkap
 pengembangan mekanisme insentif untuk investasi bidang industri pendukung
perikanan budidaya
 pengembangan sistem transportasi antar moda
B. Strategi
 mengembangkan mekanisme insentif untuk kemudahan investasi pariwisata
 mengembangkan model pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi
 menyusun mekanisme pemanfaatan kawasan
 melakukan asessment untuk pengembangan jasa dan industri pariwisata prioritas
 membangun sistem kemitraan yang adil antar pelaku industri pendukung pariwisata
 mengembangkan sistem dan mekanisme insentif kemudahan investasi untuk
industri perikanan tangkap dan budidaya
 membangun kemitraan yang adil antar pelaku industri pendukung input produksi
4.2.9 Isu Realisasi Investasi Sektor Kelautan dan Perikanan Masih Rendah
A. Arah Kebijakan
 jaminan kepastian hukum dalam mekanisme kemitraan yang adil dan konsisten
 arahan prioritas pembangunan infrastruktur pendukung investasi
 kebijakan perijinan satu pintu dan terintegrasi
 kepastian hukum untuk keberlanjutan dan keamanan investasi
 penguatan kompetensi keahlian dan penyadaran masyarakat untuk investasi

34
 kebijakan umum dan arahan pengembangan investasi ditetapkan
B. Strategi
 membangun sistem kemitraan untuk fasilitasi investasi
 menyusun kerangka regulasi untuk kepastian hukum investasi
 menentukan skala prioritas pembangunan infrastruktur dasar pendukung investasi
 mengembangkan infrastruktur pelengkap untuk mendukung investasi tambahan
 mengembangkan sistem informasi pelayanan investasi yang akurat
 menerapkan sistem perizinan terintegrasi
 menyusun dan menetapkan alokasi ruang untuk investasi
 memberikan kepastian hukum dan jaminan keamanan investasi
 mengembangkan sistem sertifikasi keahlian
 mengembangkan kesadaran masyarakat untuk investasi
 menetapkan kegiatan prioritas pengembangan investasi
 menetapkan kawasan unggulan untuk investasi
 membangun pemahaman pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil
terpadu
 membangun koordinasi dan sinkronisasi program lintas sektor dan pemangku
kepentingan

4.2.10. Isu Upaya Pengurangan Resiko Bencana dan Perlindungan Aset Masih Minim

A. Arah Kebijakan
 pembangunan sistem perlindungan dan keselamatan kegiatan maritim
 penataan ruang kawasan permukiman berbasis pengurangan resiko bencana dan
nyaman
 perlindungan kawasan plasma nutfah dan keragaman hayati tinggi
 pendataan dan karakterisasi bencana dikawasan kelautan, pesisir dan pulau-
pulau kecil
 penetapan skenario adaptasi dan mitigasi bencana dan perubahan iklim di
kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil
 pembentukan unit reaksi cepat dan mitra masyarakat dalam pengurangan resiko
bencana

35
 penyadaran masyarakat terhadap bencana dan penguatan partisipasi dalam
kegiatan pengurangan resiko bencana

B. Strategi
 meningkatkan kesadaran masyarakat dan pelaku usaha maritim tentang
pengurangan resiko bencana dan perlindungan aset
 membangun sistem perlindungan dan keselamatan dilaut
 pengarusutamaan agenda pengurangan resiko bencana dalam penataan kawasan
permukiman
 menentukan kawasan prioritas untuk konservasi
 mengidentifikasi dan menentukan kawasan perlindungan barang muatan kapal
tenggelam
 menyusun rencana perlindungan kawasan keanekaragaman hayati tinggi
 melakukan identifikasi dan deliniasi batas tematik kebencanaan di WP-3-K
 melakukan karakterisasi kebencanaan di WP-3-K
 menyusun kerangaka mitigasi dan adaptasi bencana dan perubahan iklim
 pengarusutamaan Pengurangan Resiko Bencana (PRB) dan perubahan iklim dalam
setiap kegiatan di WP-3-K
 melakukan kegiatan sosialisasi dan kampanye sadar bencana
 meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengurangan resiko bencana

36
BAB V
RENCANA ALOKASI RUANG

Pengertian alokasi ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi konservasi,
peruntukan ruang untuk fungsi pemanfaatan umum, peruntukan ruang untuk fungsi
strategis nasional tertentu dan peruntukan ruang untuk fungsi alur laut. Sedangkan
penentuan alokasi ruang didasarkan pada analisis kesesuaian perairan, harmonisasi zona
dan subzona dari beberapa dokumen RZWP-3-K Kabupaten/Kota, dan paket sumberdaya.
Alokasi ruang terbentuk dari distribusi peruntukan ruang yang terdiri dari alokasi-alokasi
ruang dengan fungsi-fungsi tertentu.

Alokasi ruang RZWP-3-K memuat:


a. pengalokasian ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi,
Kawasan Strategis Nasional Tertentu, Alur Laut, Kawasan Strategis Nasional dan
Wilayah Kelola Panglima Laot
b. keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam suatu bioekoregion
c. penetapan pemanfaatan ruang laut
d. penetapan prioritas kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi,
transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan.
Apabila dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam RZWP-3-K terdapat
Kawasan Strategis Nasional, maka pengalokasian ruang harus mengacu pada Rencana
Zonasi Kawasan Strategis Nasional.
Rencana alokasi ruang WP-3-K berfungsi:
- Sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat dan
kegiatan pelestarian lingkungan dalam WP-3-K
- Sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan terkait dengan kedaulatan negara,
pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia yang
pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional
- Sebagai alokasi ruang untuk kepentingan perlindungan cadangan sumberdaya ikan
- Mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang darat – laut dan di ruang
pesisir itu sendiri

- Mengatur keseimbangan, keserasian, dan sinergi peruntukan ruang di laut

37
Alokasi ruang di dalam Kawasan Pemanfaatan Umum (KPU), Kawasan Konservasi
(KK), Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), Alur Laut, Kawasan Strategis
Nasional (KSN) dan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat dijabarkan dalam zona, sub
zona, dan arahan pemanfaatan zona pada masing-masing kawasan.

Rencana alokasi ruang WP3K dirumuskan dengan memperhatikan:

- Kebijakan dan strategi Pengelolaan WP-3-K


- Kesesuaian dan Keterkaitan antar kegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
- Ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait
- Data dan informasi WP3K
- Kesesuaian lahan/perairan terhadap kawasan/zona
- kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional yang berada di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil yang bersangkuta
- Rencana alokasi ruang di wilayah pesisir daratan mengikuti nomenklatur RTRW,
sedangkan di wilayah perairan mengikuti RZWP-3-K
- Rencana alokasi ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbatasan dengan
yang bersangkutan
- Sistem klaster dengan mempertimbangkan keterkaitan ekologi, ekonomi, dan sosial
budaya
Rencana alokasi ruang RZWP-3-K di perairan ditetapkan sebagai hasil analisis tiga
dimensi ruang yaitu permukaan, kolom, dan dasar laut. Pada setiap dimensi, alokasi ruang
laut dapat mengakomodasi kegiatan yang multifungsi pada zona tertentu.

5.1 KAWASAN PEMANFAATAN UMUM

Berdasarkan hasil analisis kesesuaian dalam kawasan pemanfaatan umum di Aceh


yang terdiri dari zona pariwisata, zona permukiman, zona pelabuhan, zona hutan
mangrove, zona perikanan budidaya, zona perikanan tangkap, zona pergaraman, dan zona
energi. Adapun penyajian zona-zona secara detail diuraikan sebagai berikut ini:

5.1.1 Zona Pariwisata


Zona pariwisata adalah perairan laut yang diperuntukan bagi kegiatan pariwisata
karena memiliki panorama yang indah, keunikan bentang alam dan /atau adanya situs

38
peninggalan sejarah. Zona pariwisata seluas 4.824,61 Ha, terbagi dalam pemanfaatan
sebagai:

a. Sub Zona Wisata Alam Bawah Laut (1.555,34 Ha), yaitu ruang dalam zona pariwisata
yang dimanfaatkan untuk wisata alam bawah laut seperti snorkling, dan selam (KPU-
W-ABL-01 – 13). Arahan penetapan Sub Zona Wisata Alam Bawah Laut dilakukan di
Kota Sabang, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Selatan, dan Kabupaten
Simeulue

b. Sub Zona Wisata Alam Pantai/Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (2.177,05 Ha), yaitu
ruang dalam zona pariwisata yang dimanfaatkan untuk wisata pantai/pesisir dan pulau-
pulau kecil seperti berjemur, olahraga pantai, dan lain sebagainya (KPU-W-P3K-01 –
85). Arahan penetapan Sub Zona Wisata Alam Pantai/Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dilakukan di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten
Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kota
Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh
Jaya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan,
Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Simeulue

c. Sub Zona Wisata Olahraga Air (1.092,22 Ha), yaitu ruang dalam zona pariwisata yang
dimanfaatkan untuk wisata olah raga seperti olahraga air, selancar, dan lain sebagainya
(KPU-W-OR-01 – 10). Arahan penetapan sub zona wisata olahraga air dilakukan di
Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Selatan, dan
Kabupaten Simeulue

5.1.2 Zona Permukiman


Zona Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung,
baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Permukiman nelayan di Aceh yang berupa rumah yang
dibangun di atas badan air diarahkan menjadi zona permukiman dengan luas 9,42 Ha dan
terletak di Pulau Pusong Kota Langsa (KPU-PM-N-01).

5.1.3 Zona Pelabuhan


Zona Pelabuhan adalah ruang yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan
batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang

39
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar
muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai
tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi. Jenis pelabuhan yang terdapat di
Aceh, diantaranya Pelabuhan Utama, Pelabuhan Pengumpan Lokal, Pelabuhan Pengumpul,
Terminal Khusus, Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS), Pangkalan Pendaratan
Ikan (PPI), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), dan Pelabuhan Perikanan Samudera
(PPS).

Zona Pelabuhan terbagi menjadi 2 Sub Zona, yaitu Sub Zona DLKr-DLKp (KPU-
PL-DLK-01 – 43) dan Sub Zona Wilayah Kerja dan Pengoperasian Pelabuhan Perikanan
(KPU-PL-WKO-01 – 28). Zona ini merupakan kawasan yang berpotensi untuk
pengembangan ekonomi karena memiliki daya tarik bagi investasi, yaitu kemudahan akses
distribusi barang dan jasa yang diharapkan menggairahkan investasi di berbagai sektor
ekonomi baik industri, pertambangan, pariwisata dan lain sebagainya. Kawasan ini
mencakup pelabuhan pengumpan lokal, pelabuhan utama, terminal khusus navigasi,
terminal khusus pertambangan, terminal khusus PLTU/PLN, pelabuhan perikanan ikan,
pelabuhan perikanan nusantara, dan pelabuhan perikanan samudera. Zona pelabuhan di
Aceh dimanfaatkan untuk:

a. daerah lingkungan kerja pelabuhan/ DLKr pelabuhan pengumpul

b. daerah lingkungan kepentingan pelabuhan/ DLKp pelabuhan pengumpul

DLKr pelabuhan pengumpul adalah ruang di dalam zona pelabuhan yang


digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan, sedangkan DLKp adalah ruang di
dalam zona pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran.
Rencana Pengembangan Pelabuhan diarahkan pada peningkatan pelayanan dan pergerakan
barang dari dan ke Aceh. Dengan meningkatnya pelayanan di kawasan pelabuhan akan
memerlukan alokasi ruang untuk zona pelabuhan, terutama dalam pengembangan
infrastruktur pelabuhan (peningkatan alur, tanda-tanda lalu lintas laut dan lain-lain).
Arahan zona pelabuhan seluas 8.253,19 Ha (Sub Zona DLKr DLKp sebesar 6.997,54 Ha
dan Sub Zona Wilayah Kerja dan Pengoperasian Pelabuhan Perikanan sebesar 1.255,65
Ha), terbagi dalam pemanfaatan sebagai:

40
 Pelabuhan yang terdapat di Aceh diantaranya adalah Pelabuhan Utama Sabang;
Pelabuhan Pengumpul Lhokseumawe/Krueng Geukeuh, Meulaboh, Malahayati,
Calang, Singkil, Kuala Langsa dan Sinabang; Pelabuhan pengumpan regional: Susoh
dan Teluk Surin; Pelabuhan pengumpan lokal: Gugop, Meulingge, Rinon,
Lampuyang, Deudap, Kuala Raja, Idi, Lhok Kruet, Labuhanhaji, Tapaktuan dan
Sibigo
 Pelabuhan angkutan penyeberangan: Balohan, Ulee Lheu, Lamteng, Labuhanhaji,
Singkil, Pulau Balai, Pulau Tuangku, Sinabang dan Kuala Bubon
 Terminal Khusus : Terminal Khusus Minerba I di Kabupaten Aceh Besar, Terminal
Khusus Semen I di Kabupaten Aceh Besar, Terminal Khusus Migas IV di Kota
Lhokseumawe, Terminal Khusus Migas V di Kota Lhokseumawe, Terminal Khusus
Energi Listrik II di Kota Lhokseumawe, Terminal Khusus Minerba II di Kabupaten
Aceh Barat dan Terminal Khusus Energi Listrik III di Kabupaten Nagan Raya
 Terminal Untuk Kepentingan Sendiri: Terminal Untuk Kepentingan Sendiri Dermaga
I di Kota Sabang, Terminal Untuk Kepentingan Sendiri Dermaga II di Kota Sabang,
Terminal Untuk Kepentingan Sendiri Migas I di Kota Sabang, Terminal Untuk
Kepentingan Sendiri Migas II di Kabupaten Aceh Besar, Terminal Untuk Kepentingan
Sendiri Semen II di Kabupaten Aceh Besar, Terminal Untuk Kepentingan Sendiri
Energi Listrik I di Kabupaten Aceh Besar, Terminal Untuk Kepentingan Sendiri
Semen III di Kabupaten Pidie, Terminal Untuk Kepentingan Sendiri Pupuk di Kota
Lhokseumawe, Terminal Untuk Kepentingan Sendiri Energi Listrik IV di Kabupaten
Simeulue, Terminal Untuk Kepentingan Sendiri Migas III di Kabupaten Simuelue dan
Terminal Untuk Kepentingan Sendiri Minerba III di Kabupaten Aceh Selatan
 Pelabuhan Perikanan yang terdapat di Aceh diantaranya adalah : Pelabuhan Perikanan
Samudera (PPS) Kutaradja di Kota Banda Aceh, Pelabuhan Perikanan Nusantara
(PPN) Idi di Kabupaten Aceh Timur, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuhanhaji
di Kabupaten Aceh Selatan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Keuneukai dan PPI
Ie Meulee di Kota Sabang, PPI Ulee Lheue di Kota Banda Aceh, PPI Lambada dan
PPI Lhok Seudu di Kabupaten Aceh Besar, PPI Kuala Gigieng, PPI Kuala Peukan
Baroe dan PPI Kuala Tari di Kabupaten Pidie, PPI Meureudu dan PPI Pante Raja di
Kabupaten Pidie Jaya, PPI Peudada dan PPI Kuala Jangka di Kabupaten Bireuen, PPI
Krueng Mane, PPI Blang Mee dan PPI Kuala Cangkoy di Kabupaten Aceh Utara, PPI
Pusong dan PPI Ujung Blang di Kota Lhokseumawe, PPI Seuneubok Baroh di

41
Kabupaten Aceh Timur, PPI Kuala Langsa di Kota Langsa, PPI Calang di Kabupaten
Aceh Jaya, PPI Ujong Baroeh di Kabupaten Aceh Barat, PPI Kuala Tadu dan PPI
Kuala Tuha di Kabupaten Nagan Raya, PPI Ujung Serangga di Kabupaten Aceh Barat
Daya, PPI Keude Meukek, PPI Sawang Ba’u dan PPI Lhok Bengkuang di Kabupaten
Aceh Selatan, dan PPI Teluk Sinabang di Kabupaten Simeulue.
5.1.4 Zona Hutan Mangrove
Zona hutan mangrove (KPU-M-01 – 208) adalah hutan yang tumbuh di air payau
dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat
di mana terjadi sedimentasi dan akumulasi bahan organik, baik di teluk-teluk yang
terlindung dari ombak maupun di sekitar muara sungai di mana air mengendapkan ya
lumpur dari hulu. Arahan penetapan zona hutan mangrove seluas 184,86 Ha tersebar di
Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten
Pidie Jaya, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang, dan
Kabupaten Simeulue.

5.1.5 Zona Perikanan Budidaya


Zona perikanan budidaya adalah zona yang diperuntukkan bagi kegiatan
memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam
lingkungan terkendali, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani mengolah dan/atau mengawetkan
hasil budidaya.
Adapun tujuannya adalah untuk menyediakan ruang bagi kelangsungan mata
pencaharian pembudidaya air laut dan menjadikan kegiatan perikanan budidaya sebagai
salah satu penggerak ekonomi Aceh. Sedangkan sasarannya adalah membangun usaha
perikanan budidaya berbasis potensi wilayah, penguatan dan pengembangan teknologi
usaha perikanan budidaya dan penguatan dan pengembangan kapasitas sarana prasarana
budidaya laut.
Arahan penetapan sub zona budidaya laut (KPU-PB-BL-01 – 26) dilakukan di Kota
Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara,
Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang,
Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten
Aceh Singkil dan Kabupaten Simeulue. Arahan Pengembangan Zona perikanan budidaya
memiliki total luasan area sebesar 61.436,81 Ha.

42
5.1.6 Zona Perikanan Tangkap
Zona perikanan tangkap adalah ruang wilayah laut yang dialokasikan untuk
kegiatan penangkapan ikan (skala kecil, modern, dan skala besar). Adapun tujuan dari zona
perikanan tangkap ini adalah untuk menyediakan ruang bagi kelangsungan mata
pencaharian nelayan, pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan, partisipasi
pengelolaan perikanan lokal oleh masyarakat dan menjadikan kegiatan perikanan tangkap
sebagai salah satu penggerak ekonomi di Aceh. Berdasarkan ketentuan Permen KP
23/2016, pengalokasian peruntukan ruang perairan laut sampai dengan 2 (dua) mil laut
agar diutamakan untuk keperluan konservasi, ruang penghidupan dan akses kepada
nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudidaya ikan kecil dan petambak garam kecil,
wisata bahari berkelanjutan, infrastruktur publik, dan obyek vital negara.
Sasaran pengelolaan zona ini adalah membangun usaha perikanan tangkap berbasis
potensi wilayah, penguatan dan pengembangan teknologi penangkapan ikan, penguatan
dan pengembangan kapasitas pengelolaan perikanan masyarakat, penguatan dan
pengembangan kapasitas sarana prasarana penangkapan ikan dan pengembangan industri
pengolahan hasil perikanan.
Zona perikanan tangkap terbagi menjadi 3 Sub Zona, yaitu Sub Zona Perikanan
Demersal (KPU-PT-D-01 – 41), Sub Zona Perikanan Pelagis (KPU-PT-P-01 – 20), dan
Sub Zona Perikanan Pelagis dan Demersal (KPU-PT-PD- 01 – 33). Pembagian zona
perikanan tangkap diarahkah berdasarkan 8 NLP yang terdapat di Aceh. Arahan penetapan
zona perikanan tangkap mempunyai total luasan area sebesar 3.909.413,41 Ha (Sub Zona
Perikanan Demersal sebesar 351.798,65 Ha; Sub Zona Perikanan Pelagis sebesar
2.510.684,67 Ha; Sub Zona Perikanan Pelagis dan Demersal sebesar 1.046.930,09 Ha).
Subzona Perikanan Demersal (KPU-PT-D-01 – 41) tersebar di perairan Aceh, yaitu
di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten
Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kabupaten
Aceh Timur, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya,
Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil dan
Kabupaten Simeulue.
Subzona Perikanan Pelagis (KPU-PT-P-01 – 20) tersebar di di Kota Sabang, Kota
Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten
Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Timur, Kota
Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat,

43
Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan,
Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Simeulue.
Subzona Perikanan Pelagis dan Demersal (KPU-PT-PD-01 – 33) tersebar di semua
perairan Aceh, yaitu di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar,
Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kota
Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang,
Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh
Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Simeulue.

5.1.7 Zona Pergaraman

Zona pergaraman adalah zona yang diperuntukkan bagi kegiatan yang berhubungan
dengan pra produksi, produksi, pasca produksi, pengolahan, dan pemasaran garam.
Adapun tujuannya adalah untuk menyediakan ruang bagi kelangsungan matapencaharian
usaha pergaraman dan menjadikan kegiatan pergaraman sebagai salah satu penggerak
ekonomi Aceh. Sedangkan sasarannya adalah membangun usaha pergaraman berbasis
potensi wilayah, penguatan dan pengembangan teknologi usaha pergaraman dan penguatan
dan pengembangan kapasitas sarana prasarana pergaraman air laut.
Arahan penetapan zona pergaraman (KPU-G-GR-01 – 06) dilakukan di Kabupaten
Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh
Utara dan Kabupaten Aceh Timur. Arahan pengembangan zona pergaraman sebesar
116,86 Ha.

5.1.8. Zona Energi


Zona energi adalah wilayah yang digunakan sebagai penghasil atau pengolah energi
besar. Zona Energi di wilayah pesisir yang diperbolehkan untuk dilakukan, adalah instalasi
pembangkit listrik. Adapun arahan penetapan zona energi (KPU-E-01) meliputi Kabupaten
Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat, dengan luasan 304,29 Ha.

44
5.2. KAWASAN KONSERVASI
Kawasan Konservasi adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan
sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan. Kawasan konservasi merupakan suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan
ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan
daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan
ekosistem. Kawasan konservasi yang efektif perlu diwujudkan guna memberikan manfaat
sosial ekonomi budaya bagi masyarakat dan keberlanjutan sumberdaya.

Berdasarkan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan


kawasan konservasi oleh Pemerintah Propinsi. Kategori pembagian kawasan konservasi
disesuaikan dengan PerMen KP No 23 Tahun 2016, kawasan konservasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dikategorikan atas Kawasan Konservasi
Perairan, yang selanjutnya disebut KKP dan dijabarkan dalam zona:

1) zona inti
2) zona perikanan berkelanjutan
3) zona pemanfaatan
4) zona lainnya
Selain kawasan konservasi perairan, kawasan konservasi dapat berupa kawasan
lindung yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pada kawasan konservasi perairan dilakukan penataan berdasarkan fungsi dengan


mempertimbangkan potensi sumberdaya, daya dukung, dan proses-proses ekologis. Setiap
kawasan konservasi dapat memiliki satu atau lebih zona inti sesuai dengan luasan,
karakteristik biofisik, biologis, kondisi sosial ekonomi dan budaya.
Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh meliputi kawasan
dengan total luasan sebesar 357.921,88 ha. Kawasan konservasi terdiri atas kawasan
konservasi perairan dan kawasan lindung lainnya. Kawasan konservasi perairan tersebar di
7 kabupaten/kota (Kota Sabang, Kab. Aceh Besar, Kab. Aceh Jaya, Kab. Aceh Barat Daya,
Kab. Aceh Selatan, Kab. Simeulue dan Kab. Aceh Tamiang). Sementara kawasan lindung
lainnya terdapat di 2 kabupaten / kota (Kab. Aceh Singkil dan Kota Sabang). Secara lebih
detail kawasan konservasi tersebut dijelaskan sebagai berikut.

45
5.2.1 Kawasan Konservasi Perairan
5.2.1.1 Kawasan Konservasi Perairan Pesisir Timur Pulau Weh, Kota Sabang
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Pesisir Timur Pulau Weh berada di bagian
timur Pulau Weh dengan panjang garis pantai ± 15.8 km mulai dari Pantai Paradiso hingga
ke Ujung Seukee. Lokasi Kawasan Konservasi Perairan Pesisir Timur Pulau Weh ini
berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Selat Malaka
Sebelah Timur : Selat Malaka
Sebelah Barat : Kecamatan Sukajaya
Sebelah Selatan : Selat Benggala
Kawasan Konservasi Perairan Pesisir Timur Pulau Weh Kota Sabang dicadangkan
melalui Surat Keputusan (SK) Walikota Sabang nomor 729/Kpts/2010, seluas 3.207,98 ha.
Kawasan ini meliputi wilayah perairan Lhok Ie Meulee, Lhok Ujung Kareung yang
dimekarkan dari Lhok Ie Meule pada tahun 2016 dan Lhok Anoi Itam yang meliputi 4
(empat) gampong (desa) di Pesisir Timur Pulau Weh, Kota Sabang. Setelah melalui proses
yang panjang maka pada tahun 2013 melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor 57/Kepmen-KP/2013 Tentang Kawasan Konservasi Perairan
Pesisir Timur Pulau Weh Kota Sabang di Propinsi Aceh, seperti pada gambar di bawah ini:

Secara geografis KKP Pesisir Timur Pulau Weh terletak pada koordinat 05 0 47’ LU
- 050 55’ LU dan 950 19’ BT - 950 23’ BT. Secara administratif KKP Pesisir Timur Pulau
Weh Kota Sabang terletak di bagian timur Kota Sabang, meliputi wilayah perairan di 4
(empat) Gampong; Gampong Kuta Ateuh (Kec.Sukakarya), Gampong Ie Meulee, Ujong
Kareung dan Anoe Itam (Kec. Sukajaya).

Berbeda dengan Taman Wisata Alam Pulau Weh yang terdapat di Iboih, di dalam
kawasan konservasi perairan pesisir timur Pulau weh masih dapat dilakukan aktifitas
pemanfaatan, baik itu eksplorasi maupun eksploitasi dengan batasan tertentu.

5.2.1.2 Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Aceh Besar

Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Aceh Besar dicadangkan


melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Aceh Besar nomor 190/2011. Namun pada
perkembangannya telah dilakukan perbaikan/ revisi atas luasannya. Berdasarkan hasil
kajian dan telaah tim fasilitasi KKPD Aceh Besar pada tahun 2016, maka luasan KKPD

46
Aceh Besar berubah menjadi 29.615,63 ha, dari sebelumnya seluas 58.850,35 ha. Kawasan
ini meliputi Kecamatan Pulo Aceh, Peukan Bada, Lhoknga, Mesjid Raya dan Seulimeum.

Kabupaten Aceh Besar pada awalnya membentuk kawasan Lhok Lampuuk sebagai
Kawasan Konservasi Daerah dengan nama Kawasan Bina Bahari (KABARI) Lhok
Lampuuk Kabupaten Aceh Besar melalui SK Bupati Aceh Besar nomor 43 tahun 2010.
Kemudian pada tahun 2011, Kabupaten Aceh Besar membentuk kembali Kawasan
Konservasi di seluruh kawasan Lhok pesisir Aceh Besar sebagai KKPD. Kawasan
Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Aceh Besar tersebut dicadangkan melalui
Surat Keputusan (SK) Bupati Aceh Besar nomor 190/2011.
Tipe Kawasan Konservasi Perairan Aceh Besar (pesisir barat Aceh Besar) adalah
Suaka Alam Perairan (SAP) yang bertujuan untuk melindungi habitat dan sumberdaya
perairan di kawasan tersebut, namun masih memungkinkan pemanfaatan perikanan dan
wisata di dalamnya. Adapun batas wilayahnya yaitu:
Sebelah Utara : Samudera Hindia dan Teluk Benggala
Sebelah Selatan : Daratan Pulau Sumatera
Sebelah Barat : Samudera Hindia
Sebelah Timur : Selat Malaka
Arah pengelolaan dari KKPD Kabupaten Aceh Besar adalah perikanan
berkelanjutan dengan mempertimbangkan kearifan lokal, pelestarian spesies-spesies
penting seperti dugong dan pari manta serta pengembangan wisata bahari di dalam
kawasan. Dari segi sosial dan ekonomi strategi yang dijalankan adalah melakukan
penguatan adat (sosial-budaya), penguatan ekonomi dan pemanfaatan kawasan untuk jasa
lingkungan dan ekowisata serta pelaksanaan rencana pengelolaan dan zonasi SAP Pesisir
Barat Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan dari segi ekologi yakni perlindungan ekosistem
dan biota, rehabilitasi ekosistem dan biota, pengembangan sistem pengawasan
pemanfaatan sumberdaya, koordinasi pengawasan, penguatan penyadaran masyarakat dan
pelaksanaan rencana pengelolaan dan zonasi SAP Pesisir Barat Kabupaten Aceh Besar.
Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Pesisir Barat Aceh Besar ini sekarang
masih dalam proses pencadangan ulang oleh Gubernur Aceh setelah dilakukan revisi dan
rasionalisasi dari KKPD awal yang tercantum dalam SK No 190 Tahun 2011, sedangkan
untuk KKPD pesisir timur Aceh Besar, secara hukum sekarang masih termasuk dalam SK
No 190 Tahun 2011.

47
Secara geografis KKPD Kab.Aceh Besar terletak dalam titik koordinat sebagai
berikut:
No Kawasan Bujur Lintang

1 Pulau Breuh Utara 95° 03' 17.545" BT 5° 38' 57.635" LU

2 Pulau Breuh Utara 95° 02' 14.237" BT 5° 38' 20.559" LU

3 Pulau Breuh Utara 94° 58' 33.364" BT 5° 45' 42.776" LU

4 Pulau Breuh Utara 95° 03' 10.897" BT 5° 47' 30.088" LU

5 Pulau Breuh Utara 95° 08' 18.034" BT 5° 42' 22.952" LU

6 Pulau Breuh Utara 95° 07' 31.357" BT 5° 41' 31.286" LU

7 Pulau Breuh Selatan 95° 06' 26.327" BT 5° 40' 04.383" LU

8 Pulau Breuh Selatan 95° 06' 26.547" BT 5° 39' 48.157" LU

9 Pulau Breuh Selatan 95° 08' 19.058" BT 5° 39' 47.812" LU

10 Pulau Nasi 95° 09' 27.396" BT 5° 38' 34.317" LU

11 Pulau Nasi 95° 09' 59.920" BT 5° 38' 46.662" LU

12 Pulau Nasi 95° 10' 06.962" BT 5° 39' 03.238" LU

13 Pulau Nasi 95° 09' 28.451" BT 5° 39' 52.245" LU

14 Pulau Nasi 95° 09' 01.563" BT 5° 39' 41.164" LU

15 Pulau Nasi 95° 09' 30.845" BT 5° 38' 25.691" LU

16 Pulau Nasi 95° 10' 05.475" BT 5° 38' 38.788" LU

17 Pulau Nasi 95° 11' 32.331" BT 5° 38' 10.116" LU

18 Pulau Nasi 95° 12' 34.741" BT 5° 36' 34.244" LU

19 Pulau Nasi 95° 08' 20.281" BT 5° 34' 42.570" LU

20 Pulau Nasi 95° 07' 21.899" BT 5° 34' 41.860" LU

21 Pulau Nasi 95° 06' 19.550" BT 5° 35' 30.367" LU

22 Pulau Nasi 95° 06' 23.751" BT 5° 38' 05.187" LU

23 Pulau Nasi 95° 08' 13.088" BT 5° 39' 21.332" LU

48
24 Pulau Batee 95° 16' 58.690" BT 5° 33' 09.112" LU

25 Pulau Batee 95° 16' 00.589" BT 5° 33' 57.841" LU

26 Pulau Batee 95° 16' 07.990" BT 5° 35' 10.000" LU

27 Pulau Batee 95° 13' 16.063" BT 5° 35' 56.288" LU

28 Pulau Batee 95° 09' 10.289" BT 5° 34' 12.604" LU

29 Pulau Batee 95° 08' 34.686" BT 5° 32' 29.031" LU

30 Pulau Batee 95° 14' 39.738" BT 5° 27' 20.888" LU

31 Lhok Nga 95° 14' 32.668" BT 5° 26' 45.292" LU

32 Lhok Nga 95° 11' 35.761" BT 5° 29' 17.421" LU

33 Lhok Nga 95° 10' 55.963" BT 5° 28' 46.426" LU

34 Lhok Nga 95° 11' 52.659" BT 5° 25' 17.929" LU

35 Lhok Nga 95° 13' 59.840" BT 5° 25' 47.434" LU

KKP Amad Rhang


36 95° 31' 47.161" BT 5° 36' 48.521" LU
Manyang

KKP Amad Rhang


37 95° 31' 47.045" BT 5° 37' 47.944" LU
Manyang

KKP Amad Rhang


38 95° 32' 39.749" BT 5° 37' 47.894" LU
Manyang

KKP Amad Rhang


39 95° 32' 39.669" BT 5° 37' 00.224" LU
Manyang

40 KKP Lhok Lampanah 95° 36' 24.766" BT 5° 37' 38.833" LU

41 KKP Lhok Lampanah 95° 36' 25.715" BT 5° 40' 39.732" LU

42 KKP Lhok Lampanah 95° 37' 21.279" BT 5° 40' 35.331" LU

43 KKP Lhok Lampanah 95° 36' 54.528" BT 5° 37' 35.726" LU

44 KKP Lhok Leungah 95° 40' 38.585" BT 5° 35' 19.002" LU

45 KKP Lhok Leungah 95° 41' 06.656" BT 5° 38' 17.912" LU

46 KKP Lhok Leungah 95° 43' 02.462" BT 5° 37' 36.187" LU

47 KKP Lhok Leungah 95° 42' 32.447" BT 5° 34' 42.862" LU

49
5.2.1.3 Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Aceh Jaya
Kawasan konservasi perairan Aceh Jaya telah dilakukan rasionalisasi dan telah
digabungkan menjadi KKP Aceh Jaya seluas 45.429,75 ha. Total luas kawasan konservasi
perairan/pesisir di Aceh Jaya seluas 50.041,44 ha, setelah ditambahkan kawasan
konservasi penyu Panga (4.611,68 ha) dengan bentuk berupa Taman Pesisir.
Arah pengelolaan dari KKPD Kabupaten Aceh Jaya adalah pengembangan
perikanan berkelanjutan dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan adat istiadat
setempat, pelestarian spesies-spesies penting seperti hiu martil, udang, lobster, dan kakap
putih serta pengembangan wisata bahari di dalam kawasan.
Selain itu di Kabupaten Aceh Jaya juga terdapat Kawasan Konservasi Penyu yang
dikelola oleh kelompok masyarakat dengan nama Kelompok Aroen Meubanja Kecamatan
Panga Kabupaten Aceh Jaya. Dasar hukum pembentukkan kelompok ini Surat Keputusan
Bupati Aceh Jaya nomor 378 tahun 2015 pada tanggal 08 September 2015 tentang Tim
Pengelola Kawasan Konservasi Penyu Aroen Meubanja Kecamatan Panga Kabupaten
Aceh Jaya.
Kawasan konservasi pesisir untuk konservasi penyu seluas 4.611,68 ha berada di
kecamatan Panga. Kawasan konservasi ini lebih dikenal dengan nama Aron Meubanja.
Kecamatan Panga terbentang sepanjang 15,5 km berbatasan dengan Gampong Kabong,
Kecamatan Krueng Sabee dan Gampong Seuneubok Padang, Kecamatan Teunom. Secara
geografis Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Aceh Jaya adalah sebagai
berikut:

No Kawasan Bujur Lintang

1 KKP Aceh Jaya 95° 18' 21.213" BT 5° 10' 05.478" LU

2 KKP Aceh Jaya 95° 14' 48.179" BT 5° 09' 20.652" LU

3 KKP Aceh Jaya 95° 15' 32.430" BT 5° 03' 49.084" LU

4 KKP Aceh Jaya 95° 18' 18.577" BT 5° 00' 17.732" LU

5 KKP Aceh Jaya 95° 19' 33.397" BT 4° 54' 39.637" LU

6 KKP Aceh Jaya 95° 21' 45.106" BT 4° 48' 42.644" LU

7 KKP Aceh Jaya 95° 30' 03.573" BT 4° 37' 30.210" LU


50
8 KKP Aceh Jaya 95° 32' 23.823" BT 4° 36' 22.583" LU

9 KKP Aceh Jaya 95° 33' 58.848" BT 4° 37' 46.963" LU

10 KKP Aceh Jaya 95° 33' 54.517" BT 4° 37' 57.936" LU

11 KKP Aceh Jaya 95° 33' 27.388" BT 4° 38' 00.463" LU

12 KKP Aceh Jaya 95° 33' 30.427" BT 4° 38' 30.164" LU

13 KKP Aceh Jaya 95° 33' 32.337" BT 4° 38' 36.884" LU

14 KKP Aceh Jaya 95° 33' 32.338" BT 4° 38' 37.998" LU

15 KKP Aceh Jaya 95° 33' 46.985" BT 4° 38' 36.788" LU

16 KKP Aceh Jaya 95° 33' 55.301" BT 4° 38' 36.101" LU

17 KKP Aceh Jaya 95° 34' 31.259" BT 4° 38' 33.131" LU

18 KKP Aceh Jaya 95° 34' 42.097" BT 4° 38' 31.264" LU

19 KKP Aceh Jaya 95° 35' 08.113" BT 4° 39' 03.690" LU

20 Kawasan Konservasi
95° 40' 28.283" BT 4° 33' 51.417" LU
Penyu Aron Meubanja

21 Kawasan Konservasi
95° 39' 17.463" BT 4° 32' 32.596" LU
Penyu Aron Meubanja

22 Kawasan Konservasi
95° 44' 43.448" BT 4° 27' 35.646" LU
Penyu Aron Meubanja

23 Kawasan Konservasi
95° 45' 52.798" BT 4° 28' 55.549" LU
Penyu Aron Meubanja

5.2.1.4 Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) PISISI

Kabupaten Simeulue merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Aceh yang


berjarak 150 km lepas pantai barat Aceh. Kabupaten Simeulue dengan ibukota Sinabang
memiliki luas daratan 182.721,93 ha dan merupakan salah satu kabupaten kepulauan di
Propinsi Aceh dengan garis pantai terpanjang yaitu 762,23 km. Kabupaten ini memiliki
kawasan konservasi perairan yang diberi nama “Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau
Pinang, Siumat dan Simanaha (KKLD PISISI) Kabupaten Simeulue, Propinsi Aceh” yang

51
dibentuk berdasarkan Keputusan Bupati Simeulue Nomor 523/340/2014 tentang Penetapan
Lembaga Pengelola Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Pinang, Siumat dan Simanaha
(KKLD PISISI). Luas kawasan KKLD PISISI Simeulue seluas luas 444,01 km2 atau
44.404,10 ha, namun belum memiliki rencana pengelolaan dan zonasi wilayah kawasan
konservasi. Setelah dirasionalisasikan maka luasan KKLD di Simeulue bertambah menjadi
69.053,78 ha, dengan penambahan KKLD Teupah Selatan (2.914,20 ha), KKLD Simeulue
Barat (8.233,39 ha), dan KKLD Simeulue Tengah, Simeulue Cut dan Salang (13.502,09
ha), dengan bentuk Suaka Alam Perairan.
Secara geografis KKLD Simeulue terletak dalam titik koordinat sebagai berikut:

No Kawasan Bujur Lintang

1 KKP Pisisi (Pinang, Siumat,


96° 08' 45.600" BT 2° 42' 23.034" LU
Simanaha)

KKP Pisisi (Pinang, Siumat,


2 96° 12' 1.400" BT 2° 43' 07.100" LU
Simanaha)

KKP Pisisi (Pinang, Siumat,


3 96° 20' 29.100" BT 2° 41' 11.800" LU
Simanaha)

KKP Pisisi (Pinang, Siumat,


4 96° 24' 14.000" BT 2° 39' 18.500" LU
Simanaha)

KKP Pisisi (Pinang, Siumat,


5 96° 27' 11.800" BT 2° 31' 47.900" LU
Simanaha)

KKP Pisisi (Pinang, Siumat,


6 96° 26' 43.800" BT 2° 30' 31.600" LU
Simanaha)

KKP Pisisi (Pinang, Siumat,


7 96° 25' 41.417" BT 2° 29' 28.623" LU
Simanaha)

8 KKP Teupah Selatan 96° 28' 13.265" BT 2° 26' 47.910" LU

9 KKP Teupah Selatan 96° 31' 05.238" BT 2° 26' 55.016" LU

10 KKP Teupah Selatan 96° 32' 17.716" BT 2° 23' 41.975" LU

11 KKP Teupah Selatan 96° 29' 23.680" BT 2° 23' 21.431" LU

12 KKP Simeulue Barat 95° 54' 23.709" BT 2° 53' 24.070" LU

13 KKP Simeulue Barat 95° 55' 40.819" BT 2° 54' 23.316" LU

14 KKP Simeulue Barat 96° 00' 48.415" BT 2° 49' 18.789" LU

52
15 KKP Simeulue Barat 95° 59' 06.481" BT 2° 47' 19.392" LU

16 KKP Salang, Simeulue


95° 59' 39.795" BT 2° 33' 58.453" LU
Tengah, Simeulue Cut

17 KKP Salang, Simeulue


95° 58' 28.952" BT 2° 30' 4.601" LU
Tengah, Simeulue Cut

18 KKP Salang, Simeulue


95° 49' 37.828" BT 2° 33' 33.523" LU
Tengah, Simeulue Cut

19 KKP Salang, Simeulue


95° 50' 21.424" BT 2° 37' 19.012" LU
Tengah, Simeulue Cut

KKP PISISI dengan batas yaitu:

-. Sebelah Utara : Samudera Hindia dan perairan Kabupaten Aceh Barat.


-. Sebelah Selatan : Daratan Kabupaten Simeulue
-. Sebelah Timur : Samudera Hindia dan perairan Kabupaten Aceh Selatan
-. Sebelah Barat : Daratan Kabupaten Simeulue.
KKP Teupah Selatan dengan batas yaitu:
-. Sebelah Utara : Samudera Hindia dan perairan Kabupaten Aceh Barat.
-. Sebelah Selatan : Daratan Kabupaten Simeulue
-. Sebelah Timur : Samudera Hindia dan perairan Kabupaten Aceh Singkil
-. Sebelah Barat : Daratan Kabupaten Simeulue.
KKP Simeulue Barat dengan batas yaitu:
-. Sebelah Utara : Samudera Hindia dan perairan Kabupaten Aceh Barat.
-. Sebelah Selatan : Daratan Kabupaten Simeulue
-. Sebelah Timur : Samudera Hindia dan perairan Kabupaten Aceh Selatan
-. Sebelah Barat : Daratan Kabupaten Simeulue.
KKP Salang, Simeulue Tengah, Simeulue Cut dengan batas yaitu:
-. Sebelah Utara : Daratan Kabupaten Simeulue
-. Sebelah Selatan : Samudera Hindia
-. Sebelah Timur : Daratan Kabupaten Simeulue
-. Sebelah Barat : Samudera Hindia

53
5.2.1.5 Kawasan Konservasi Perairan Daerah Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan
Aceh Tamiang.

Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Aceh Tamiang merupakan beberapa
kabupaten di Aceh yang telah menetapkan daerah konservasi perairan di daerahnya
masing-masing, dan telah dilakukan verifikasi atas kelayakan untuk ditetapkan menjadi
Kawasan Konservasi Perairan (KKP).
Sementara verifikasi di Kabupaten Aceh Barat Daya, didapat hasil bahwa Karang
Gergaji dan Karang Panjang di Kecamatan Kuala Batee (awalnya disebut Karang Surin di
Kec. Babah Rot) direkomendasikan menjadi zona inti, serta Gosong Sangkalan di
Kecamatan Susoh direkomendasikan menjadi zona pemanfaatan wisata. Luas usulan
kawasan konservasi yang terdapat di Aceh Barat Daya seluas 16.017,45 ha, berupa Suaka
Alam Perairan yang meliputi Kecamatan Kuala Batee, Susoh, Setia, Tangan-Tangan,
Manggeng dan Lembah Sabil. Adapun batas wilayah yaitu:
Sebelah Utara : daratan Kab.Aceh Barat Daya
Sebelah Selatan : Samudera Hindia dan perairan Pulau Simeulue
Sebelah Barat : Samudera Hindia
Sebelah Timur : daratan Kab.Aceh Barat Daya.

Secara geografis terletak di titik koordinat sebagai berikut:


No Kawasan Bujur Lintang

1 KKP Kuala Batee 96° 39' 29.354" BT 3° 44' 43.204" LU

2 KKP Kuala Batee 96° 39' 27.547" BT 3° 43' 06.428" LU

3 KKP Kuala Batee 96° 45' 54.664" BT 3° 42' 39.475" LU

4 KKP Kuala Batee 96° 46' 17.945" BT 3° 44' 21.366" LU

5 KKP Susoh 96° 49' 12.052" BT 3° 42' 58.513" LU

6 KKP Susoh 96° 48' 39.045" BT 3° 41' 27.207" LU

7 KKP Susoh 96° 50' 14.812" BT 3° 40' 43.253" LU

8 KKP Setia 96° 50' 14.812" BT 3° 40' 43.253" LU

9 KKP Setia 96° 51' 50.460" BT 3° 38' 45.510" LU

10 KKP Setia 96° 52' 33.619" BT 3° 39' 01.228" LU

54
11 KKP Tangan-Tangan 96° 52' 33.619" BT 3° 39' 01.228" LU

12 KKP Tangan-Tangan 96° 52' 54.395" BT 3° 37' 56.158" LU

13 KKP Manggeng 96° 52' 54.395" BT 3° 37' 56.158" LU

14 KKP Manggeng 96° 49' 41.162" BT 3° 37' 11.534" LU

15 KKP Manggeng 96° 51' 50.934" BT 3° 32' 57.492" LU

16 KKP Lembah Sabil 96° 51' 50.934" BT 3° 32' 57.492" LU

17 KKP Lembah Sabil 96° 54' 51.777" BT 3° 30' 49.323" LU

18 KKP Lembah Sabil 96° 56' 36.428" BT 3° 34' 24.363" LU

Verifikasi di Kabupaten Aceh Selatan diperoleh hasil bahwa kawasan Gosong


Sinebong di Trumon dan Kubaha di Kecamatan Labuhanhaji sesuai dijadikan kawasan inti.
Luas usulan kawasan konservasi yang terdapat di Aceh Selatan seluas 3.590,34 ha.
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kabupaten Aceh Selatan berupa Suaka Alam
Perairan yang meliputi wilayah Kecamatan Labuhanhaji, Samadua-Tapak Tuan,
Bakongan, Bakongan Timur dan Trumon. Adapun batas wilayah dikelilingi oleh Samudera
Hindia dan sebelah timur berdekatan dengan daratan Pulau Sumatera. Secara geografis
terletak pada titik koordinat sebagai berikut:
No Kawasan Bujur Lintang

1 KKP Labuhan Haji 96° 57' 56.970" BT 3° 31' 42.524" LU

2 KKP Labuhan Haji 96° 57' 09.574" BT 3° 31' 05.559" LU

3 KKP Labuhan Haji 96° 58' 24.324" BT 3° 29' 31.942" LU

4 KKP Labuhan Haji 96° 59' 12.075" BT 3° 30' 08.464" LU

5 KKP Samadua Tapaktuan 97° 06' 12.790" BT 3° 17' 44.916" LU

6 KKP Samadua Tapaktuan 97° 04' 39.014" BT 3° 16' 29.785" LU

7 KKP Samadua Tapaktuan 97° 05' 57.112" BT 3° 14' 58.305" LU

8 KKP Samadua Tapaktuan 97° 07' 30.974" BT 3° 16' 13.520" LU

9 KKP Bakongan 97° 26' 25.610" BT 2° 54' 51.388" LU

10 KKP Bakongan 97° 26' 02.749" BT 2° 54' 28.330" LU

55
11 KKP Bakongan 97° 26' 25.667" BT 2° 54' 05.330" LU

12 KKP Bakongan 97° 26' 48.543" BT 2° 54' 28.373" LU

13 KKP Bakongan 97° 26' 55.419" BT 2° 54' 21.473" LU

14 KKP Bakongan 97° 26' 32.542" BT 2° 53' 58.430" LU

15 KKP Bakongan 97° 27' 00.044" BT 2° 53' 30.830" LU

16 KKP Bakongan 97° 27' 22.905" BT 2° 53' 53.887" LU

17 KKP Bakongan Timur 97° 30' 22.289" BT 2° 53' 35.714" LU

18 KKP Bakongan Timur 97° 29' 54.274" BT 2° 53' 08.666" LU

19 KKP Bakongan Timur 97° 30' 54.877" BT 2° 51' 52.381" LU

20 KKP Bakongan Timur 97° 31' 22.893" BT 2° 52' 19.429" LU

21 KKP Trumon 97° 35' 47.226" BT 2° 48' 52.584" LU

22 KKP Trumon 97° 34' 45.041" BT 2° 48' 34.499" LU

23 KKP Trumon 97° 34' 44.292" BT 2° 45' 51.732" LU

24 KKP Trumon 97° 35' 46.475" BT 2° 46' 09.815" LU

Untuk kawasan konservasi perairan di Kabupaten Aceh Tamiang terdapat di


Kecamatan Seruway dan Pulau Rukui Kecamatan Manyak Payed. Luas usulan kawasan
konservasi perairan yang terdapat di Aceh Tamiang 2.797,21 ha berupa Taman Pesisir.
Secara geografis terletak pada titik koordinat sebagai berikut:
No Kawasan Bujur Lintang

1 KKP Pulau Rukui 98° 10' 20.724" BT 4° 29' 59.446" LU

2 KKP Pulau Rukui 98° 10' 57.873" BT 4° 30' 34.041" LU

3 KKP Pulau Rukui 98° 11' 14.935" BT 4° 30' 15.718" LU

4 KKP Pulau Rukui 98° 10' 37.978" BT 4° 29' 41.302" LU

5 KKP Seruway 98° 16' 40.018" BT 4° 25' 16.621" LU

6 KKP Seruway 98° 17' 25.021" BT 4° 25' 56.321" LU

56
7 KKP Seruway 98° 17' 51.973" BT 4° 25' 36.977" LU

8 KKP Seruway 98° 17' 35.011" BT 4° 22' 41.813" LU

9 KKP Seruway 98° 17' 47.985" BT 4° 20' 46.107" LU

10 KKP Seruway 98° 17' 24.242" BT 4° 19' 16.220" LU

11 KKP Seruway 98° 15' 55.537" BT 4° 17' 4.011" LU

12 KKP Seruway 98° 15' 8.601" BT 4° 17' 19.486" LU

13 KKP Seruway 98° 15' 7.949" BT 4° 17' 20.997" LU

Adapun batas wilayah KKP Pulau Rukui (Kec.Manyak Payed) yaitu:


Sebelah Utara : Selat Malaka
Sebelah Timur : Selat Malaka
Sebelah Barat : Selat Malaka dan Daratan Aceh Tamiang
Sebelah Selatan : Daratan Kab. Aceh Tamiang
Adapun batas wilayah KKP Seruway yaitu:
Sebelah Utara : Selat Malaka
Sebelah Timur : Selat Malaka
Sebelah Barat : Daratan Aceh Tamiang
Sebelah Selatan : Sumatera Utara

5.2.2 Kawasan Lindung Lainnya


5.2.2.1 Penetapan Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Pulau Weh
Taman Wisata Alam Pulau Weh ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No. 928/Kpts/Um/12/1982 tanggal 27 Desember 1982 yang memiliki luas
daratan seluas 1.300 hektar dan luas perairan seluas 2.600 hektar. Selanjutnya pada tanggal
14 Mei 2014 kawasan tersebut ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor: SK. 3919/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan pada
Kelompok Hutan Pulau Weh di Kota Sabang Provinsi Aceh yaitu Kawasan Hutan Taman
Wisata Alam seluas 1.201,10 hektar dan Kawasan Taman Wisata Alam Laut seluas
5.280,20 hektar sehingga keseluruhan luas kawasan tersebut menjadi 6.481,30 hektar.
Dalam pengelolaannya BKSDA Aceh telah melakukan penataan blok untuk kawasan
tersebut dibagi dalam 3 (tiga) blok berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal

57
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor: SK.
38/KSDAE/SET/KSDAE.0/2/2016 tentang Blok Pengelolaan Taman Wisata Alam Pulau
Weh, Kota Sabang, Provinsi Aceh yaitu blok perlindungan seluas 4.465,7 hektar, blok
pemanfaatan seluas 2.007,6 hektar dan blok khusus seluas 8 hektar.
Potensi yang mendasari ditetapkannya Iboih sebagai wilayah konservasi adalah
keberadaan terumbu karang, vegetasi mangrove dan biota-biota unik seperti ikan
Napoleon. Pengelolaan wilayah ini pada saat ini berada dibawah Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Seksi
Wilayah Konservasi I Propinsi Aceh.
Secara geografis Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Pulau Weh terletak pada
050 52’ LU dan 950 52’ BT. Secara administratif, Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan
Pulau Weh termasuk dalam Gampong Iboih, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang dengan
batas sebagai berikut:
Sebelah Utara : Selat Malaka
Sebelah Selatan : Gampong Iboih
Sebelah Timur : Selat Malaka
Sebelah Barat : Samudera Hindia
Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Pulau Weh diperuntukkan untuk
perlindungan dan pengembangan yang terkait dengan aktifitas pariwisata. Pada prinsipnya,
di Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Pulau Weh berlaku aturan konservasi secara
umum, dalam arti pengunjung tidak diizinkan melakukan pengambilan spesimen satwa
atau tumbuhan, baik hidup maupun mati, atau dilarang adanya kegiatan perburuan
(memancing), dilarang merusak, dilarang menambah dan mengurangi, serta mencemari
lingkungan di dalam kawasan.

5.2.2.2 Kawasan Hutan Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam Laut
Kepulauan Banyak
Kawasan Hutan Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam Laut Kepulauan
Banyak merupakan salah satu Taman Wisata Alam di Provinsi Aceh yang terletak di
Kabupaten Aceh Singkil ditunjuk pada tahun 1996 berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: 596/Kpts-II/1996 pada tanggal 16 September 1996 seluas 227.500 ha.
Selanjutnya pada tahun 2014 kawasan tersebut telah ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Penetapan Menteri Kehutanan Nomor: 5347/ Menhut-VII/KUH/2014 tanggal
11 Agustus 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan Taman Wisata Alam dan Taman

58
Wisata Alam Laut Kepulauan Banyak seluas 205.720,24 Hektar di Kabupaten Aceh
Singkil Provinsi Aceh, dengan luas perairan mencapai 178.317,86 Hektar dan luas daratan
mencapai 27.402,53 Hektar. Berdasarkan Penataan Blok yang telah disusun oleh BKSDA
Aceh pada tahun 2015 dan telah disahkan sesuai Keputusan Direktur Jenderal Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor: SK. 162/KSDAE/Set/KSA.0/6/2016 tentang
Blok Pengelolaan Taman Wisata Alam Kepulauan Banyak, Kabupaten Aceh Singkil,
Provinsi Aceh, terdiri dari blok perlindungan dengan luas 20.920,39 Ha, blok perlindungan
bahari dengan luas 87.464,05 Ha, blok pemanfaatan dengan luas 56.863,95 Ha dan blok
tradisional dengan luas 90.337 Ha (penataan blok merujuk pada luas kawasan berdasarkan
SK 103/MenLHK-II/2015 tanggal 2 April 2015 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor SK. 865/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 tentang Kawasan
Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Aceh).

Kawasan Hutan Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam Laut Kepulauan
Banyak diinisiasi dan dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
melalui BKSDA. Konservasi penyu hijau sebagai spesies yang dilindungi mendasari
ditetapkannya Pulau Banyak menjadi kawasan konservasi.

5.3. KAWASAN STRATEGIS NASIONAL TERTENTU

Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah kawasan yang terkait dengan


kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia. Aceh
merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki pulau kecil terluar yang menjadi
salah satu referensi penghitungan batas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Pulau terluar tersebut bernama Pulau Rondo dan Pulau Weh, Kecamatan Suka
Karya dan Kecamatan Suka Jaya, Kota Sabang; Pulau Bateeleblah dan Pulau Rusa,
Kecamatan Pulo Aceh dan Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar; Pulau Raya,
Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya; Pulau Salaut Besar dan Pulau Simeulue
Cut, Kecamatan Simeulue Utara, Kabupaten Simeulue. Kedudukan pulau-pulau ini
disebutkan dalam Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-
Pulau Kecil Terluar, sebagai pulau terluar Indonesia yang terdapat di Aceh. Total luas
kawasan strategis nasional tertentu adalah sebesar 658.321,11 Ha, dan secara geografis
berada di perairan Samudera Hindia dan Selat Malaka (KSNT-PKT 01 – 07).

59
5.4. ALUR LAUT

Alur laut (penjelasan Pasal 10 huruf (a), UU-RI 27/2007), merupakan perairan yang
dimanfaatkan, antara lain untuk: alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan perlintasan
migrasi biota laut. Kesesuaian untuk peruntukan alur laut ini didasarkan pada kondisi
eksisting alur laut yang ada di WP-3-K Aceh.

5.4.1 Alur Pelayaran dan/atau Perlintasan


Alur pelayaran, mengacu pada kondisi alur pelayaran yang sering digunakan baik
secara lokal, regional/nasional maupun internasional yang dapat diperoleh dari
Kementerian Perhubungan (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut), Dinas Kelautan dan
Perikanan Aceh serta Bappeda Aceh. Pada zona alur pelayaran ini dibagi menjadi:

a. pelayaran internasional, yang berfungsi sebagai alur pelayaran yang terdapat di


pelabuhan pengumpul
b. pelayaran nasional, yang berfungsi sebagai alur pelayaran yang terdapat di
pelabuhan pengumpan regional
c. pelayaran regional, yang berfungsi sebagai alur pelayaran yang terdapat di
pelabuhan pengumpan

Alur-alur yang telah ditetapkan, telah dibuatkan sempadan alur dengan ketentuan
pada sisi kiri dan kanan alur dibuatkan sempadan masing-masing 500 meter atau dua kali
panjang kapal yang melintasi kapal tersebut.
Alur-alur pelayaran di Aceh yang diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil adalah alur pelayaran yang berada di perairan laut 0-12 mil laut
saja. Alur-alur pelayaran di Aceh meliputi alur dari dan menuju ke pelabuhan-pelabuhan di
seluruh wilayah propinsi ini. Zona pelayaran yang dimaksud meliputi sub zona alur
pelayaran internasional, alur pelayaran nasional, dan alur pelayaran regional. Alur
pelayaran internasional yang bersinggungan dengan wilayah laut Aceh (AL-AP-01) adalah
alur pelayaran Sabang – Laut Andaman.
Alur pelayaran nasional meliputi:
a. Alur pelayaran Aceh Barat – Samudera Hindia (AL-AP-02)
b. Alur pelayaran Aceh Besar – Selat Malaka (AL-AP-03)
c. Alur pelayaran Langsa – Medan (AL-AP-04)
d. Alur pelayaran Lhokseumawe – Selat Malaka (AL-AP-05)

60
Alur pelayaran regional di Aceh meliputi alur layar:
a. Alur pelayaran Aceh Barat – Aceh Barat Daya (AL-AP-06)
b. Alur pelayaran Aceh Barat - Simeulue (AL-AP-07)
c. Alur pelayaran Aceh Barat Daya - Aceh Selatan (AL-AP-08)
d. Alur pelayaran Aceh Besar – Aceh Jaya (AL-AP-09)
e. Alur pelayaran Aceh Besar - Aceh Utara (AL-AP-10)
f. Alur pelayaran Aceh Besar – Pidie (AL-AP-11)
g. Alur pelayaran Aceh Besar - Sabang (AL-AP-12)
h. Alur pelayaran Aceh Jaya - Aceh Barat (AL-AP-13)
i. Alur pelayaran Aceh Selatan – Simeulue (AL-AP-14 dan AL-AP-15)
j. Alur pelayaran Aceh Singkil – Simeulue (AL-AP-16 dan AL-AP-17)
k. Alur pelayaran Aceh Timur – Langsa (AL-AP-18)
l. Alur pelayaran Aceh Utara – Aceh Timur (AL-AP-19)
m. Alur pelayaran Banda Aceh - Aceh Besar (AL-AP-20)
n. Alur pelayaran Banda Aceh - Aceh Jaya (AL-AP-21)
o. Alur pelayaran Banda Aceh – Sabang (AL-AP-22 dan AL-AP-23)
p. Alur pelayaran Pidie - Aceh Utara (AL-AP-24)
q. Alur pelayaran Pidie - Bireuen (AL-AP-25)
r. Alur pelayaran Pulau Balai – Pulau Tuangku (AL-AP-26)
s. Alur pelayaran Simeulue - Aceh Barat (AL-AP-27)

5.4.2 Migrasi Biota Laut


Migrasi biota laut di wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil Aceh terdiri dari
migrasi hiu martil, pari manta, lumba-lumba, pari manta, paus, penyu, sidat, tuna, dan
dugong.
Migrasi biota laut terdiri dari :
a. Migrasi ikan tertentu (hiu martil, pari manta, sidat dan tuna) berada di Selat Malaka
dan Samudera Hindia (AL-AMB-01 sampai dengan AL-AMB-04)
b. Migrasi mamalia laut (lumba - lumba, paus dan dugong) di Selat Malaka dan
Samudera Hindia (AL-AMB-05 sampai dengan AL-AMB-07)
c. Migrasi penyu di Selat Malaka dan Samudera Hindia (AL-AMB-08)

61
5.4.3 Pipa/Kabel Bawah Laut

Pipa/kabel bawah laut di wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil di Aceh terdiri
dari:

a. Kabel telekomunikasi dari Bakongan – Simeulue (AL-APK-01)


b. Kabel telekomunikasi dari Banda Aceh – Sabang (AL-APK-02)
c. Kabel telekomunikasi dari Sabang – Lhokseumawe – Medan (AL-APK-03)
d. Pipa minyak dan gas dari Lhokseumawe – Selat Malaka (AL-APK-04)

5.5. KAWASAN STRATEGIS NASIONAL

Penetapan kawasan strategis nasional di wilayah Aceh sebagaimana tertuang dalam


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang RTRW Nasional
ditinjau dari beberapa kepentingan yaitu: pertahanan dan keamanan, pertumbuhan
ekonomi, sosial dan budaya, pendayagunaan sumberdaya alam dan/atau teknologi tinggi
serta fungsi dan daya dukung lingkungan.
Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara,
pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk
wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. Kawasan militer di Aceh digunakan
sebagai kepentingan pertahanan negara (TNI). Kawasan yang digunakan dengan fungsi
kegiatan militer dikategorikan sebagai kawasan strategis mencakup daerah pangkalan,
lokasi latihan, obyek vital, basis dan daerah demobilisasi. Namun demikian penetapan
kawasan militer sebagai kawasan pertahanan dan keamanan merupakan kewenangan
pemerintah.
Arahan penetapan kawasan perbatasan (KSN-WP-01) seluas 8.106,02 Ha di Kota
Sabang. Arahan penetapan kawasan pertahanan negara untuk daerah latihan militer (KSN-
DLA-01 – 03) dengan total seluas 26.996,37 Ha yang tersebar di Kabupaten Aceh Besar
seluas 6.696,31 Ha, Kabupaten Bireuen seluas 12.797,02 Ha dan Kabupaten Aceh Barat
seluas 7.503,04 Ha.
Arahan daerah ranjau (KSN-R-01 – 02) seluas 3.227,08 Ha di Kota Sabang. Daerah
pembuangan amunisi (KSN-PA-01) terdapat di Kota Sabang dengan kawasan seluas 216,16
Ha.
62
Arahan daerah pangkalan TNI AL (Lanal) terletak di Kota Lhokseumawe (KSN-L-
01), Kota Sabang (KSN-L-02), dan Kabupaten Simeulue (KSN-L-03) dengan total area
seluas 2,97 Ha. Adapun rencana pembangunan Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut
(Lantamal) seluas 29,04 Ha di Kabupaten Aceh Besar (KSN-RL-01).
Arahan daerah fasilitas pemeliharaan dan perbaikan (fasharkan) terletak di Kota
Sabang (KSN-FS-01) seluas 0,99 Ha.
Arahan daerah KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) Bandar Aceh
Darussalam (KSN-BAD-01) terletak di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh
Besar dan Kabupaten Pidie, seluas 390.948,08 Ha.
Arahan daerah kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Sabang (KSN-KPPBS-
01) di Kota Sabang dan Kabupaten Aceh Besar seluas 484.961,88 Ha.

5.6 WILAYAH KELOLA PANGLIMA LAOT

Panglima Laot adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik
berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan. Penerbitan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil, yang menyepakati 4 (empat) norma hukum penting, yakni: (i) pemberdayaan
masyarakat hukum adat dan nelayan tradisional; (ii) penataan investasi; (iii) sistem
perizinan; dan (iv) pengelolaan kawasan konservasi laut nasional. Pemberdayaan
masyarakat diperkuat dalam inisiasi penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil beserta dengan pemerintah dan dunia usaha. Dengan norma hukum ini, maka
masyarakat dapat mengambil inisiatif mengusulkan rencana zonasi.
Arahan penetapan kawasan Panglima Laot seluas 1.525.876,76 Ha tersebar di
Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten
Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kabupaten
Aceh Timur, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten
Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh
Selatan, Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Simeulue.

63
64
BAB VI
PERATURAN PEMANFAATAN RUANG

Peraturan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengkaji


seluruh opsi pemanfaatan sumberdaya. Keputusan penggunaan sumberdaya yang tidak
dapat pulih harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangan kemanfaatan dan
dampak jangka panjang. Ketentuan pengaturan kawasan adalah ketentuan yang
diperuntukan sebagai alat pengaturan pengalokasian ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, meliputi pernyataan maksud pengelolaan kawasan, ketentuan perizinan, ketentuan
pemberian insentif dan disinsentif, serta arahan pengenaan sanksi dalam rangka
perwujudan rencana alokasi ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Arahan pemanfaatan ruang dibagi dalam 4 (empat) kawasan yakni; kawasan
pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu dan alur laut.
Selain alokasi ruang yang dimaksud, pada sebagian di WP-3-K daerah dapat dialokasikan
KSN sesuai dengan peraturan perundang-undangan Setiap kawasan tersebut masih terbagi
dalam beberapa zona dan subzona sesuai dengan rencana alokasi ruang yang ditetapkan.
Untuk memberikan arahan peraturan zonasi, maka pada setiap subzona terdapat aturan-
aturan dasar antara lain:
1. Kegiatan yang boleh dilakukan ( I )
Segala kegiatan yang akan dialokasikan pada suatu ruang, tidak mempunyai
pengaruh dan dampak sehingga tidak mempunyai pembatasan dalam
implementasinya, karena baik secara fisik dasar ruang maupun fungsi ruang sekitar
saling mendukung dan terkait.
2. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan (X)
Kegiatan yang sama sekali tidak diperbolehkan pada suatu ruang, karena
dapat merusak lingkungan dan mengganggu kegiatan lain yang ada disekitarnya.
3. Kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin (B)
Setiap kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin dialokasikan
pada suatu ruang dengan pengalokasian bersyarat dan batasan tertentu yang telah
ditetapkan.

Secara rinci kegiatan-kegiatan yang diatur dalam setiap kawasan, disajikan pada
Tabel 6.2

65
Tabel 6.2. Kegiatan yang Diatur Dalam Setiap Kawasan
KAWASAN
KEGIATAN PEMANFAATAN ALUR
KONSERVASI KSNT
UMUM LAUT
Pariwisata I B B B
Permukiman I X B X
Pelabuhan I B B X
Hutan mangrove I B B X
Perikanan budidaya I B I X
Perikanan tangkap I B B X
Pergaraman I B B X
Energi I X B X
Konservasi perairan B I I B
Konservasi pesisir
dan pulau-pulau B I I B
kecil
Konservasi maritim B I I B
Sempadan pantai B I I B
Mitigasi bencana
B I I B
alam
Pipa/kabel bawah
X B B I
laut
Alur pelayaran I X B I
Migrasi biota laut B I B I
Perbatasan dan PPK
B I I B
terluar
I= diperbolehkan, B= dengan izin, X= tidak diperbolehkan

6.1 KETENTUAN PERATURAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PESISIR


DAN PULAU-PULAU KECIL

6.1.1 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Kawasan/Zona


Ketentuan umum pernyataan pemanfaatan kawasan/zona sebagaimana
dimaksudkan untuk menjabarkan secara umum ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya yang mencakup seluruh
wilayah administratif. Ketentuan umum pernyataan pemanfaatan kawasan/zona terdiri dari:
a. penjelasan/deskripsi/definisi alokasi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana
alokasi ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
b. ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan, tidak boleh dilakukan dan
kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin

66
c. ketentuan tentang prasarana minimum yang dipersyaratkan terkait dengan
pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
d. ketentuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan untuk
mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Ketentuan umum pernyataan pemanfaatan kawasan/zona sebagaimana dimaksud,
berfungsi sebagai:
a. landasan bagi penyusunan peraturan zonasi untuk pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap zona/ subzona
b. dasar pemberian izin pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
c. pertimbangan dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil

6.1.2 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Kawasan Pemanfaatan Umum.

6.1.2.1 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Zona Pariwisata


Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di zona pariwisata/sub zona wisata
bawah laut/ sub zona wisata alam pantai/pesisir dan pulau-pulau kecil/ sub zona olahraga
air, yaitu:
a. kegiatan pengembangan sarana penunjang kegiatan wisata bahari yang tetap
memperhatikan keasrian lingkungan pantai dan tatanan sosial budaya masyarakat
setempat
b. kegiatan penyediaan sarana dan prasarana wisata bahari yang tidak berdampak pada
kerusakan lingkungan
c. kegiatan penangkapan ikan dengan alat pancing tangan pada saat tidak ada kegiatan
wisata bahari
d. kegiatan penangkapan ikan dengan jumlah terbatas
e. kegiatan pendidikan dan penelitian
f. kegiatan monitoring dan evaluasi

Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di zona
pariwisata/sub zona wisata bawah laut/ sub zona wisata alam pantai/pesisir dan pulau-
pulau kecil/ sub zona olahraga air, yaitu membangun sarana dan prasarana wisata sesuai
dengan kategori kegiatan atau jenis wisatanya.

67
Ketentuan tentang prasarana minimum yang dipersyaratkan terkait dengan
pemanfaatan ruang di zona pariwisata adalah:
a. fasilitas informasi cuaca dan mitigasi bencana
b. fasilitas keamanan dan keselamatan berwisata & rekreasi
c. tersedia fasilitas dan infrastruktur pendukung kegiatan wisata, tempat parkir, tanda
batas zona, tambat kapal/perahu dan fasilitas umum lainnya
Ketentuan khusus sebagaimana dimaksud di zona pariwisata adalah:
a. pengendalian kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan di daratan maupun
perairan
b. melakukan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
c. tersedia tim keamanan dan penyelamatan wisatawan

6.1.2.2 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Zona Permukiman


Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di zona permukiman adalah:
a. Kegiatan ritual adat/agama
b. Atraksi budaya/kegiatan penunjang budaya
c. Pelestarian budaya
d. Pembangunan fasilitas keselamatan wisata

Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di zona
permukiman, yaitu:
a. penelitian dan pendidikan
b. wisata bahari
c. membangun sarana dan prasarana permukiman
d. pengerukan alur pelabuhan
e. kegiatan pemanfaatan zona sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kapasitas,
sarana dan prasarana, dan pendukung pelabuhan lainnya
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di zona permukiman adalah
pengerukan pasir laut dan semua jenis kegiatan pertambangan. Ketentuan tentang
prasarana minimum yang dipersyaratkan terkait dengan pemanfaatan ruang di zona
permukiman adalah berupa pembangunan fasilitas mitigasi bencana.

6.1.2.3 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Zona Pelabuhan

68
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di zona pelabuhan, yaitu:
a. pembangunan terminal untuk kepentingan sendiri
b. kegiatan lalu lintas kapal yang masuk dan keluar terminal untuk kepentingan sendiri dan
terminal khusus
c. kegiatan bongkar muat barang dan penumpang
d. kegiatan pengembangan pelabuhan dan pengembangan ekonomi masyarakat sesuai
dengan konsep kegiatan pelabuhan pembanguan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang
yang sudah tercantum dalam rencana induk pelabuhan
e. kegiatan penambatan kapal dan perahu
f. kegiatan kepelabuhanan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di zona
pelabuhan adalah:
a. penelitian dan pendidikan
b. wisata bahari
c. pengerukan alur pelabuhan
d. kegiatan pemanfaatan zona sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, kapasitas, sarana dan prasarana, dan pendukung pelabuhan
lainnya.
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di zona pelabuhan adalah:
a. penangkapan ikan dengan alat menetap dan/atau bergerak yang mengganggu kegiatan
kepelabuhanan
b. penangkapan ikan yang menggunakan bom dan atau bahan peledak, potas dan atau
bahan beracun, serta menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di
WP-3-K
c. semua jenis kegiatan perikanan budidaya
d. pemasangan rumah ikan dan alat bantu penangkapan ikan seperti rumpon serta terumbu
karang buatan
e. pembuangan sampah dan limbah
f. kegiatan yang mengganggu kegiatan kepelabuhanan
Ketentuan tentang prasarana minimum yang dipersyaratkan terkait dengan
pemanfaatan ruang di zona pelabuhan adalah:
a. alur pelayaran

69
b. perairan tempat labuh
c. kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal
d. perairan tempat alih muat kapal
e. perairan untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3)
f. perairan untuk kegiatan karantina
g. perairan alur penghubung intrapelabuhan
h. perairan pandu
i. perairan untuk kapal pemerintah
j. tanda batas sesuai dengan batas yang telah ditetapkan
Ketentuan tentang prasarana minimum yang dipersyaratkan terkait dengan
pemanfaatan ruang di zona pelabuhan adalah:
a. fasilitas pokok terdiri dari dermaga, kolam pelabuhan, jalan komplek dan drainase
b. fasilitas fungsional terdiri dari kantor administrasi pelabuhan, TPI, suplai air bersih,
instalasi listrik dan stasiun pengisian bahan bakar nelayan
c. fasilitas penunjang terdiri dari pos jaga dan MCK
Ketentuan khusus di zona pelabuhan adalah:
a. kegiatan kepelabuhanan harus menjamin kelestarian lingkungan
b. kegiatan kepelabuhanan harus mempertimbangkan pengendalian pencemaran dan
mitigasi bencana

6.1.2.4 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Zona Hutan Mangrove


Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di zona hutan mangrove adalah:
a. budidaya dengan metode, alat dan teknologi yang tidak merusak ekosistem di wilayah
pesisir
b. kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan kecil dengan alat yang ramah lingkungan
c. pariwisata yang tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan
d. rehabilitasi mangrove
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di zona hutan mangrove
adalah:
a. kegiatan budidaya yang menggunakan metode, alat dan teknologi yang dapat merusak
ekosistem mangrove
b. penangkapan ikan dengan alat menetap dan/atau yang dapat merusak ekosistem
mangrove

70
c. memanfaatkan kayu hidup yang berasal dari kawasan hutan mangrove untuk
kepentingan komersial
d. pembuangan sampah dan limbah
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di zona
hutan mangrove adalah:
a. kegiatan penelitian dan pendidikan
b. alih fungsi lahan
c. pengembangan sarana dan prasarana pariwista dan rekreasi
d. monitoring dan evaluasi

6.1.2.5 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Zona Perikanan Tangkap


Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di zona perikanan tangkap adalah:
a. kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan peralatan yang ramah lingkungan
b. kegiatan penangkapan ikan yang mempertimbangkan perlindungan habitat dan populasi
ikan
c. penangkapan ikan skala kecil yang menggunakan perahu tanpa motor dengan alat
tangkap yang bersifat pasif, seperti bubu, jaring insang, dan pancing pada perairan 0-2
mil dari garis pantai
d. penangkapan ikan skala kecil yang menggunakan perahu motor tempel bermesin kurang
dari 25 (dua puluh lima) PK dengan alat tangkap yang bersifat pasif, seperti bubu, jaring
insang, dan pancing pada perairan 0-2 mil dari garis pantai
e. penangkapan ikan yang menggunakan kapal motor dengan alat tangkap mengacu pada
peraturan perundangan
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di zona perikanan tangkap
adalah:
a. penangkapan ikan yang menggunakan bom dan atau bahan peledak, potas dan/atau
bahan beracun, serta menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di
WP-3-K
b. penangkapan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran lebih dari 5 (lima)
Gross Ton (GT) pada perairan 0-2 mil dari garis pantai
c. penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai dengan jalur
penangkapan ikan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku
d. pembuangan sampah dan limbah

71
e. segala jenis kegiatan perikanan budidaya
f. penangkapan ikan pada wilayah perairan yang tidak sesuai dengan ketentuan
masyarakat adat atau masyarakat lokal yang disepakati dalam rangka pengelolaan
sumberdaya secara berkelanjutan
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di zona
perikanan tangkap adalah:
a. penelitian dan pendidikan
b. pemasangan rumah ikan dan alat bantu penangkapan
ikan seperti rumpon serta terumbu karang buatan
c. pariwisata dan rekreasi
d. monitoring dan evaluasi
Ketentuan tentang prasarana minimum yang dipersyaratkan terkait dengan
pemanfaatan ruang di zona perikanan tangkap adalah tempat tambat kapal/perahu.
Ketentuan khusus di zona perikanan tangkap adalah:
a. kegiatan penangkapan ikan harus menggunakan peralatan yang ramah lingkungan
b. kegiatan penangkapan ikan harus mempertimbangkan perlindungan habitat dan populasi
ikan dan hukum adat laot

6.1.2.6 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Zona Perikanan Budidaya


Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di zona perikanan budidaya
adalah:
a. budidaya laut skala kecil dengan metode, alat dan teknologi yang tidak merusak
ekosistem di WP-3-K
b. kegiatan penangkapan ikan skala kecil pada area yang tidak terdapat kegiatan budidaya
c. kegiatan masyarakat non nelayan yang tidak mempunyai akses untuk mengembangkan
budidaya laut (mariculture)
d. budidaya laut dengan teknologi tradisional dan semi intensif
e. budidaya laut dengan keramba jaring apung
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di zona perikanan budidaya
adalah:
a. kegiatan budidaya yang menggunakan metode, alat dan teknologi yang dapat merusak
ekosistem di WP-3-K

72
b. menempatkan rumah ikan dan alat bantu penangkapan ikan seperti rumpon serta
terumbu karang buatan
c. menangkap ikan dengan alat menetap dan/atau bergerak yang mengganggu kegiatan
budidaya laut
d. menangkap ikan yang menggunakan bahan peledak, bius dan atau bahan beracun, serta
menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di WP-3-K
e. kegiatan pertambangan
f. kegiatan non perikanan serta lintas kapal yang dapat mengganggu kegiatan budidaya
g. penggunaan pakan biota budidaya secara berlebihan pada zona pemanfaatan umum dan
zona perikanan berkelanjutan
h. pembuangan sampah dan limbah
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di zona
perikanan budidaya adalah:
a. budidaya laut skala menengah sampai skala besar dengan metode, alat dan teknologi
yang tidak merusak ekosistem di wilayah pesisir
b. kegiatan penelitian dan pendidikan
c. kegiatan pengembangan wisata bahari dan rekreasi
Ketentuan tentang prasarana minimum yang dipersyaratkan terkait dengan
pemanfaatan ruang di zona perikanan budidaya adalah:
a. koefisien pemanfaatan perairan untuk budidaya adalah 80%, dimana terdapat ruang
sebesar 20% untuk alur-alur/lalu lintas perahu yang mendukung kegiatan budidaya
b. prasarana budidaya laut yang tidak bersifat permanen
Ketentuan khusus di zona perikanan budidaya adalah:
a. kegiatan budidaya harus menghindari areal ekosistem pesisir
b. pengembangan budidaya laut disertai dengan kegiatan pengembangan/ peremajaan bibit

6.1.2.7 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Zona Pergaraman


Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di zona pergaraman adalah
membangun saluran air, dan melakukan perlindungan di zona pergaraman dari pencemaran
air laut.
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di zona pergaraman adalah
segala bentuk kegiatan yang mencemari air laut.

73
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di zona
pergaraman adalah kegiatan penangkapan ikan skala kecil dan rehabilitasi ekosistem
pesisir.

6.1.2.8 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Zona Energi


Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di zona energi adalah instalasi
pembangkit listrik, kegiatan lalu lintas kapal yang masuk dan keluar terminal khusus dan
pemanfaatan dan pengoperasian terminal khusus.
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di zona energi adalah
pembangunan bandar udara, pelabuhan rakyat dan kegiatan pembangunan fisik lainnya
yang dapat mengganggu kegiatan pembangkit listrik.
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di zona
energi adalah kegiatan bongkar muat dan pemantauan lingkungan.

6.1.2.9 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Kawasan Konservasi


Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan konservasi adalah:
a. kegiatan kepelabuhanan perikanan yang dikelola oleh pemerintah
b. kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan peralatan yang ramah lingkungan
sesuai dengan ketentuan zonasi kawasan konservasi
c. kegiatan lalu lintas pelayaran yang melintasi kawasan konservasi
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di kawasan konservasi
adalah:
a. penangkapan ikan yang menggunakan bom dan atau bahan peledak, potas dan atau
bahan beracun, serta menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
b. pembuangan sampah dan limbah
c. kegiatan penangkapan ikan di zona inti
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di
kawasan konservasi adalah:
a. penelitian dan pendidikan
b. pemasangan rumah ikan dan alat bantu penangkapan
ikan seperti rumpon serta terumbu karang buatan
c. pariwisata dan rekreasi

74
d. monitoring dan evaluasi
e. pengelolaan sebagian zona perikanan berkelanjutan atau zona pemanfaatan terbatas
pada kawasan konservasi untuk kegiatan penangkapan ikan oleh masyarakat hukum
adat, masyarakat lokal dan/atau masyarakat tradisional dapat dilakukan melalui
perjanjian kemitraan dengan unit organisasi pengelola
f. pemanfaatan sumberdaya perairan pada kawasan konservasi oleh kelompok
masyarakat pada lokasi yang memiliki fungsi atau peruntukan pemanfaatan tradisional
dapat dilakukan melalui perjanjian kemitraan dengan unit organisasi pengelola

6.1.2.10 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Wilayah Kelola Panglima Laot


Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di wilayah kelola Panglima Laot
adalah kegiatan perikanan tradisional.
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di zona masyarakat hokum
adat adalah kegiatan perikanan industri skala besar.
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di zona
masyarakat hukum adat adalah:
a. penelitian dan pendidikan
b. penangkapan ikan oleh nelayan luar
c. monitoring dan evaluasi

6.1.2.11 Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Alur Laut


A. Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Alur Pelayaran/Pelayaran
Internasional/ Pelayaran Nasional/Pelayaran Regional

Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di alur pelayaran/ pelayaran


internasional/ pelayaran nasional/ pelayaran regional adalah:
a. lalu lintas kapal dari dan/atau menuju pelabuhan pengumpul/ pelabuhan
pengumpan/pelabuhan penyeberangan
b. tindakan penyelamatan atau salvage
c. kegiatan yang selaras dengan pelestarian/perlindungan lingkungan.
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di alur pelayaran/ pelayaran
internasional/ pelayaran nasional/ pelayaran regional adalah:
a. semua jenis kegiatan perikanan budidaya
b. penangkapan ikan dengan alat menetap

75
c. pemasangan rumah ikan dan alat bantu penangkapan ikan seperti rumpon serta terumbu
karang buatan
d. penangkapan ikan yang menggunakan bom dan atau bahan peledak, potas dan atau
bahan beracun, serta menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di
wilayah pesisir
e. pariwisata dan rekreasi
f. pembuangan sampah dan limbah
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di alur
pelayaran/ pelayaran internasional/ Pelayaran nasional/ pelayaran regional adalah:
a. penelitian dan pendidikan
b. monitoring dan evaluasi
c. pengerukan alur pelayaran

B. Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan di Alur Kabel / Pipa Bawah Laut


Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di alur kabel/pipa bawah laut
adalah kegiatan yang selaras dengan pelestarian/perlindungan lingkungan.
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di alur kabel/pipa bawah laut
antara lain:
a. lalu lintas kapal dari dan/atau menuju pelabuhan pengumpul/pelabuhan pengumpan
b. pengerukan alur pelayaran
c. semua jenis kegiatan perikanan budidaya
d. penangkapan ikan dengan alat menetap
e. pemasangan rumah ikan dan alat bantu penangkapan ikan seperti rumpon serta terumbu
karang buatan
f. penangkapan ikan yang menggunakan bom dan atau bahan peledak, potas dan atau
bahan beracun, serta menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di
WP-3-K
g. pariwisata dan rekreasi yang menetap
h. pembuangan sampah dan limbah
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di alur
kabel/pipa bawah laut antara lain:
a. penelitian dan pendidikan
b. monitoring dan evaluasi

76
C. Ketentuan Umum Pernyataan Pemanfaatan Alur Laut/ Migrasi Biota
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di alur laut/migrasi biota adalah:
a. kegiatan yang selaras dengan pelestarian/perlindungan lingkungan
b. perlindungan vegetasi pantai
c. ekowisata
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di alur laut/migrasi biota
adalah:
a. semua jenis kegiatan perikanan budidaya
b. penangkapan ikan skala kecil dengan alat bergerak
c. penangkapan ikan dengan alat menetap
d. pemasangan rumah ikan dan alat bantu penangkapan ikan seperti rumpon serta
terumbu karang buatan
e. penangkapan ikan yang menggunakan bom dan atau bahan peledak, potas dan atau
bahan beracun, serta menggunakan alat tangkap yang bersifat merusak ekosistem di
wilayah pesisir
f. pembuangan sampah dan limbah
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan izin di alur
laut/migrasi biota adalah:
a. penelitian dan pendidikan
b. monitoring dan evaluasi

6.1.3 Peraturan Pemanfaatan Wilayah Kelola Panglima Laot


Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan di wilayah kelola panglima laot
adalah kegiatan perikanan tradisional.
Ketentuan umum kegiatan yang tidak boleh dilakukan di wilayah masyarakat
hukum adat adalah kegiatan perikanan industri skala besar.
Ketentuan umum kegiatan yang boleh dilakukan setelah mendapatkan ijin di
wilayah kelola panglima laot antara lain:
a. penelitian dan pendidikan
b. penangkapan ikan oleh nelayan luar
c. monitoring dan evaluasi

77
6.1.4 Ketentuan Perizinan
Ketentuan perizinan merupakan alat pengendali pemanfaatan ruang yang menjadi
kewenangan pemerintah Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku melalui proses administrasi dan teknis yang harus dipenuhi sebelum kegiatan
pemanfaatan WP-3-K dilaksanakan, untuk menjamin kesesuaian pemanfaatan ruang WP-
3-K.
Ketentuan perizinan terdiri atas izin lokasi perairan pesisir dan izin pengelolaan.
Izin lokasi perairan pesisir diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yang berlaku.
Setiap pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian
pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki izin, sesuai dengan syarat dan tata cara
pemberian izin yang berlaku.

6.1.5 Ketentuan Insentif


Ketentuan insentif adalah ketentuan yang mengatur tentang pemberian imbalan
terhadap pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan kegiatan yang didorong perwujudannya
dalam rencana tata ruang dan rencana zonasi. Ketentuan insentif disusun berdasarkan:
a. rencana pemanfaatan ruang WP-3-K
b. ketentuan umum pernyataan pemanfaatan kawasan/zona/sub zona
c. kriteria pemberian akreditasi
d. peraturan perundang-undangan sektor terkait lainnya
Standar dan pedoman pemberian insentif mencakup:
a. relevansi isu prioritas
b. proses konsultasi publik
c. dampak positif terhadap pelestarian lingkungan
d. dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat
e. kemampuan implementasi yang memadai
f. dukungan kebijakan dan program pemerintah
Ketentuan mengenai tata cara pemberian insentif, diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Gubernur. Pemberian insentif dapat diberikan oleh Pemerintah Aceh kepada
Pemerintah Kabupaten /Kota baik masyarakat perorangan maupun lembaga. Insentif dapat
berupa pemberian kompensasi, urun saham, pembangunan serta pengadaan infrastruktur,

78
penghargaan, keringanan pajak, imbalan, sewa ruang, penyediaan infrastruktur, dan
kemudahan prosedur perizinan.

6.1.6 Ketentuan Disinsentif


Ketentuan disinsentif adalah ketentuan yang mengatur tentang pengenaan bentuk-
bentuk kompensasi dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang
berfungsi sebagai perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi
kegiatan yang tidak sejalan dengan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil. Ketentuan disinsentif disusun berdasarkan:
a. rencana pemanfaatan ruang WP-3-K
b. ketentuan umum pernyataan pemanfaatan
kawasan/zona/ subzona
c. peraturan perundang-undangan sektor terkait
lainnya
Tata cara dan mekanisme pemberian disinsentif diatur dengan Peraturan Gubernur.
Ketentuan mengenai tata cara pemberian disinsentif, diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Gubernur. Pemberian disinsentif dapat diberikan oleh Pemerintah Aceh kepada Pemerintah
Kabupaten /Kota baik masyarakat perorangan maupun lembaga. Disinsentif dapat berupa
pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, penalti, pengenaan pajak
yang tinggi, dan pembatasan kompensasi

6.1.7 Arahan Pengenaan Sanksi


Arahan pengenaan sanksi adalah merupakan tindakan penertiban yang dilakukan
terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran di bidang perencanaan zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil. Pelanggaran di bidang perencanaan zonasi wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil meliputi:
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana zonasi WP-3-K Aceh
b. pemanfaatan ruang WP-3-K yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang
WP-3-K yang diberikan oleh pejabat yang berwenang
c. menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh peraturan
perundang-undangan sebagai milik umum
Pelanggaran dalam penyelenggaraan perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil, pihak yang melakukan penyimpangan dikenakan sanksi meliputi sanksi

79
administrasi maupun sanksi pidana. Pengenaan sanksi diberikan kepada pemanfaat ruang
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan
pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan kepada pejabat pemerintah
yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana
zonasi. Arahan pengenaan sanksi administratif ditetapkan berdasarkan:
a. hasil pengawasan pemanfaatan ruang WP-3-K
b. tingkat simpangan implementasi rencana zonasi WP-3-K
c. kesepakatan antar instansi yang berwenang
d. peraturan perundang-undangan sektor terkait lainnya
Setiap orang yang melanggar ketentuan, dikenai sanksi administratif berupa:
a. Peringatan, peringatan diberikan oleh Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melalui
penerbitan surat peringatan tertulis sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali
b. Penghentian sementara, pembekuan sementara dilakukan melalui langkah-
langkah sebagai berikut:
 penerbitan surat perintah penghentian kegiatan sementara dari Gubernur atau
pejabat yang ditunjuk
 apabila pelanggar mengabaikan perintah penghentian kegiatan sementara,
Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, menerbitkan surat keputusan pengenaan
sanksi penghentian sementara secara paksa terhadap kegiatan pemanfaatan ruang
 Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, memberitahukan kepada pelanggar
mengenai pengenaan sanksi penghentian kegiatan pemanfaatan ruang dan akan
segera dilakukan tindakan penertiban oleh aparat penertiban
 berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, Gubernur atau pejabat yang
ditunjuk, dengan bantuan aparat penertiban melakukan penghentian kegiatan
pemanfaatan ruang secara paksa
 setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, Gubernur atau pejabat yang
ditunjuk melakukan pengawasan agar kegiatan pemanfaatan ruang yang
dihentikan tidak beroperasi kembali sampai dengan terpenuhinya kewajiban
pelanggar untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan RZWP-3-K
dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku
c. Denda administratif, denda administratif dikenakan secara tersendiri atau
bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif.

80
d. Pencabutan izin, pencabutan izin dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
 penerbitan surat perintah penghentian kegiatan sementara dari Gubernur atau
pejabat yang ditunjuk
 apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan,
Gubernur atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan surat keputusan pengenaan
sanksi pencabutan izin pemanfaatan ruang
 Gubernur atau pejabat yang ditunjuk memberitahukan kepada pelanggar
mengenai pengenaan sanksi pencabutan izin
 Gubernur atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan keputusan pencabutan izin
 memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah
dicabut, sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang
secara permanen yang telah dicabut izinnya
 apabila pelanggar mengabaikan perintah untuk menghentikan kegiatan
pemanfaatan yang telah dicabut izinnya, Gubernur atau pejabat yang ditunjuk
melakukan penertiban kegiatan tanpa izin sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku

6.1.8 Gugatan Perwakilan


Dalam rangka memberikan rasa keadilan, masyarakat berhak mengajukan gugatan
perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan atas rencana zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai peraturan perundang-undangan. Gugatan terbatas pada
tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti kerugian kecuali
penggantian biaya atau pengeluaran yang nyata-nyata dibayarkan.
Organisasi kemasyarakatan yang dapat mengajukan gugatan perwakilan adalah
organisasi resmi di wilayah tersebut atau organisasi nasional yang berbadan hukum,
memiliki anggaran dasar yang dengan tegas menyebutkan dengan tujuan didirikannya
organisasi untuk kepentingan pelestarian lingkungan, telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.

6.2 ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PESISIR DAN PULAU-


PULAU KECIL

81
6.2.1 Arahan Pemanfaatan Zona Pariwisata
Arahan pemanfaatan zona pariwisata dilakukan dengan cara:
a. meningkatkan daya tarik dan destinasi wisata
b. meningkatkan sarana dan prasarana kepariwisataan
c. meningkatkan produk wisata yang sesuai dengan sifat dan karakteristik
d. meningkatkan manajemen kepariwisataan
e. mengendalikan dampak negatif kegiatan pariwisata di wilayah pesisir.

6.2.2 Arahan Pemanfaatan Zona Permukiman


Arahan pemanfaatan zona permukiman dilakukan dengan cara:
a. menyediakan area tempat tinggal yang nyaman dan ramah lingkungan
b. meningkatkan sarana & prasarana infrastruktur dasar penunjang permukiman
c. pengendalian perkembangan permukiman
d. meningkatkan penerapan mitigasi bencana

6.2.3 Arahan Pemanfaatan Zona Pelabuhan


Arahan pemanfaatan zona pelabuhan dilakukan dengan cara:
a. meningkatkan pelayanan kepelabuhanan
b. merevitalisasi sarana dan prasarana pelabuhan
c. meningkatkan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang pelabuhan
d. mengatur dan membina, mengendalikan dan melaksanakan pengawasan kegiatan
kepelabuhanan
e. meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran

6.2.4 Arahan Pemanfaatan Zona Hutan Mangrove


Arahan pemanfaatan zona hutan mangrove dilakukan dengan cara:
a. pengembangan budidaya dengan metode, alat dan teknologi yang tidak merusak
eksosistem pesisir dengan mempertimbangkan aspek ekologis dan aspek teknis
lainnya khususnya lingkungan;
b. pengembangan penangkapan ikan oleh nelayan kecil dengan alat yang ramah
lingkungan
c. pengembangnan pariwisata yang tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan
d. pengembangan rehabilitasi mangrove
82
e. pengembangan kegiatan penelitian dan pendidikan
f. pengembangan sarana dan prasarana dasar untuk kegiatan ekowisata

6.2.5 Arahan Pemanfaatan Zona Perikanan Tangkap


Arahan pemanfaatan zona perikanan tangkap dilakukan dengan cara:
a. memanfaatkan sumberdaya ikan secara lestari dan berkelanjutan
b. menjaga keamanan matapencaharian (livelihood security) masyarakat pesisir
c. melaksanakan revitalisasi alat tangkap yang produktif dan ramah lingkungan untuk
meningkatkan produksi tangkapan
d. meningkatkan kemampuan dan keterampilan nelayan kecil
e. meningkatkan pengelolaan tempat pelelangan ikan
f. menerapkan teknologi rantai dingin pasca tangkap untuk menjaga kualitas hasil
tangkapan.

6.2.6 Arahan Pemanfaatan Zona Perikanan Budidaya


Arahan pemanfaatan zona perikanan budidaya dilakukan dengan cara:
a. pengembangan budidaya laut bagi kemaslahatan masyarakat pesisir
b. menata dan mengembangkan usaha perikanan budidaya berbasis kluster
c. meningkatkan sarana dan prasarana perikanan budidaya
d. mengembangkan sumberdaya manusia dan menerapkan teknologi budidaya laut yang
produktif dan ramah lingkungan
e. mengendalikan dan/atau mencegah kegiatan yang mengakibatkan terjadinya
penurunan kualitas air dan mengganggu kegiatan perikanan budidaya

6.2.7. Arahan Pemanfaatan Zona Pergaraman


Arahan pemanfaatan zona pergaraman dilakukan dengan cara:
a. pengembangan produksi garam bagi masyarakat pesisir
b. menata dan mengembangkan usaha pergaraman berbasis kluster
c. meningkatkan sarana dan prasarana pergaraman rakyat
d. mengembangkan sumberdaya manusia dan menerapkan teknologi pergaraman yang
produktif dan ramah lingkungan
e. mengendalikan dan/atau mencegah kegiatan yang mengakibatkan terjadinya
penurunan kualitas air dan mengganggu kegiatan produksi garam

83
6.2.8. Arahan Pemanfaatan Kawasan Konservasi
Arahan pemanfaatan kawasan konservasi dilakukan dengan cara:
a. meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi yang adaptif, berbasis ekosistem,
keterpaduan dan kelestarian
b. meningkatkan kapasitas kelembagaan yang partisipatif dalam pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut
c. mengintegrasikan dan mensinergikan fungsi kawasan dengan pembangunan di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil
d. memberdayakan kelompok sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat kawasan
konservasi
e. mengendalikan aktivitas penangkapan ikan skala kecil di zona lainnya sesuai dengan
peruntukan kawasan konservasi
f. monitoring dan evaluasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di kawasan
konservasi
g. melindungi serta melestarikan sumberdaya dan ekosistemnya melalui pengendalian
pemanfaatan di kawasan konservasi
6.2.9. Arahan Pemanfaatan Kawasan Pengelolaan Panglima Laot
Arahan pemanfaatan zona panglima laot dilakukan dengan cara:
a. pengembangan dan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum yang
dilakukan dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan, keserasian wilayah dan
menunjang kegiatan perikanan masyarakat
b. kegiatan pembangunan yang memerlukan reklamasi harus disertai terlebih dahulu
dengan studi kelayakan (secara lingkungan, sosial, fisik dan ekonomi), studi analisis
mengenai dampak lingkungan, dan pengaruhnya dalam jangka pendek dan panjang
serta skala keluasannya sesuai peraturan perundangan yang berlaku
c. menghindari dan meminimalisir kemungkinan timbulnya dampak negatif dari kegiatan
lain yang berdampak terhadap perikanan masyarakat, diperlukan pengendalian yang
ketat bersama masyarakat

6.2.10 Arahan Pemanfaatan Alur Pelayaran


Arahan pemanfaatan alur pelayaran dilakukan dengan cara:
a. menetapkan sistem rute

84
b. menetapkan tata cara berlalu lintas
c. menetapkan daerah labuh jangkar sesuai dengan kepentingannya
d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengawasan dan mengendalikan alur
pelayaran
e. meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran
f. memasang tanda batas dan rambu pelayaran
g. melaksanakan pemeliharaan rutin dan/atau berkala alur pelayaran

6.3 PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN


Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan dan/atau pengendalian
terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, oleh pejabat tertentu yang berwewenang di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil sesuai dengan sifat pekerjaaannya dan diberikan wewenang kepolisian
khusus. Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan dan/atau pengendalian
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

6.3.1. Pembinaan
Untuk menjamin tercapainya tujuan RZWP-3-K dalam penyelenggaraan penataan
ruang di daerah, dilakukan pembinaan terhadap kinerja pengaturan dan pelaksanaan
RZWP-3-K oleh Pemerintah Aceh.
Pembinaan terdiri atas sosialisasi, pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan penertiban.
Pembinaan dilakukan oleh Pemerintah Aceh sesuai dengan kewenangannya, dengan
melibatkan peran serta masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan RZWP-3-
K diatur dalam Peraturan Gubernur.

6.3.2 Pengawasan
Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan dan/atau pengendalian
terhadap pelaksanaan ketentuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh
pejabat tertentu yang berwewenang sesuai dengan sifat pekerjaaannya dan diberikan
wewenang kepolisian khusus.

85
Pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi
perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil secara terkoordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan kewenangannya.
Pengawasan secara terkoordinasi dengan instansi terkait dilakukan dalam hal:
a. pengumpulan dan perolehan dokumen rencana pengelolaan
b. pertukaran data dan informasi
c. tindak lanjut laporan/pengaduan
d. pemeriksaan sampel
e. kegiatan lain untuk menunjang pelaksanaan pengawasan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil
Pengawasan terhadap pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan
berdasarkan alokasi ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah ditetapkan
dalam peraturan ini, yaitu kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan
strategis nasional tertentu dan alur laut serta kegiatan lain seperti rehabilitasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan
mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengawasan di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil harus memperhatikan kearifan lokal dan masyarakat adat.
Pengawasan oleh masyarakat dilakukan melalui penyampaian laporan dan/atau pengaduan
kepada pihak yang berwenang. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur dengan Peraturan Gubernur.

6.3.3 Pengendalian
6.3.3.1 Program Akreditasi
Dalam melaksanakan pengendalian pemerintah daerah wajib menyelenggarakan
akreditasi terhadap program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Akreditasi
harus memenuhi standar yang terdiri dari:
a. relevansi isu prioritas
b. proses konsultasi publik
c. dampak positif terhadap pelestarian lingkungan
d. dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat
e. kemampuan implementasi yang memadai
f. dukungan kebijakan dan program pemerintah dan pemerintah daerah

86
Pemerintah daerah memberikan insentif kepada pengelola program pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah mendapat akreditasi berupa:
a. bantuan program sesuai dengan kemampuan pemerintah daerah yang dapat diarahkan
untuk mengoptimalkan program akreditasi
b. bantuan teknis.
Gubernur berwenang menyusun dan/atau mengajukan usulan akreditasi program
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi kewenangannya kepada
gubernur dan/atau pemerintah sesuai dengan standar dan pedoman. Organisasi masyarakat
dan/atau kelompok masyarakat dapat menyusun dan/atau mengajukan usulan akreditasi
program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pemerintah dan/atau
pemerintah daerah sesuai dengan standar dan pedoman. Ketentuan lebih lanjut mengenai
program akreditasi diatur dengan Peraturan Gubernur.

6.3.3.2 Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil


Rehabilitasi dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan orang yang memanfaatkan
secara langsung atau tidak langsung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Rehabilitasi
wajib dilakukan apabila pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengakibatkan
kerusakan ekosistem atau populasi yang melampaui kriteria kerusakan ekosistem atau
populasi. Rehabilitasi dilakukan terhadap ekosistem terumbu karang, mangrove, lamun,
estuary, laguna, teluk, delta, gumuk pasir, pantai, dan/atau populasi ikan. Ketentuan lebih
lanjut mengenai kriteria kerusakan dan tata cara rehabilitasi diatur dengan Peraturan
Gubernur.

6.4 HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN SERTA MASYARAKAT


6.4.1 Hak Masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat
Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masyarakat dan
mempunyai hak untuk:
a. memperoleh akses terhadap bagian perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sudah
diberi izin lokasi dan izin pengelolaan
b. mengusulkan wilayah penangkapan ikan skala kecil ke dalam RZWP-3-K
c. mengusulkan wilayah masyarakat hukum adat ke dalam RZWP-3-K

87
d. melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
e. memperoleh manfaat atas pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil
f. memperoleh informasi berkenaan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil
g. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang
menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
h. melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang merugikan kehidupannya;
i. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yang merugikan kehidupannya; dan
j. mendapat pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi
dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan

6.4.2 Kewajiban Masyarakat


Masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berkewajiban:
a. memberikan informasi berkenaan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil
b. menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil
c. menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan
lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
d. memantau pelaksanaan rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
e. melaksanakan program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
disepakati di tingkat desa

6.4.3 Hak, Kewajiban dan Peran Serta Masyarakat


6.4.3.1. Hak

88
Pemerintah daerah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat
adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Pengakuan hak-hak masyarakat adat,
masyarakat tradisional, dan kearifan lokal dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. Dalam pengelolaan WP-3-K masyarakat
berhak untuk:
a. memperoleh akses terhadap bagian perairan pesisir yang sudah diberi izin lokasi dan
izin pengelolaan
b. mengetahui RZWP-3-K
c. memperoleh informasi berkenaan dengan pengelolaan WP-3-K
d. memperoleh manfaat atas pelaksanaan pengelolaan WP-3-K
e. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan sesuai dengan RZWP-3-K Aceh dengan cara musyawarah di
antara pihak yang berkepentingan
f. mengajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang
tidak sesuai dengan RZWP-3-K
g. mengajukan pembatalan izin dan permintaan penghentian pembangunan yang tidak
sesuai dengan RZWP-3-K kepada pejabat yang berwenang
h. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah/Pemerintah Aceh dan/atau
pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana
zonasi menimbulkan kerugian
Pemerintah Aceh melalui dinas/instansi yang tugas dan tanggungjawabnya
dibidang kelautan dan perikanan wajib mensosialisasikan RZWP-3-K melalui media
informasi dan/atau langsung kepada aparat dan masyarakat

6.4.3.2. Kewajiban
Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dalam
pengelolaan WP-3-K Aceh agar tetap berkenlanjutan memiliki, keewajiban antara lain:
a. berpartisipasi aktif dalam musyawarah untuk menentukan arah dan kebijakan
pengelolaan sumberdaya di WP-3-K
b. berperan serta dalam upaya perlindungan dan pelestarian serta rehabilitasi fungsi-
fungsi ekologis WP-3-K

89
c. menjaga dan mempertahankan objek-objek sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil
yang bernilai ekonomis dan bernilai ekologis
d. melindungi dan mempertahankan nilai ekonomis dan ekologis atas sumberdaya pesisir
dan pulau-pulau kecil
e. mencegah terjadinya kerusakan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil
f. menaati rencana zonasi yang telah ditetapkan
g. memanfaatkan zona sesuai dengan izin pemanfaatan zona dari pejabat yang
berwenang
h. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan zona
i. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai milik umum
6.4.3.3. Peran Serta Masyarakat
Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Penyusunan RZWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Aceh dengan melibatkan peran


serta masyarakat. Peran serta masyarakat dalam RZWP-3K dilakukan pada tahap:
a. perencanaan zonasi WP-3-K
b. pemanfaatan zona
c. pengendalian pemanfaatan zona

Bentuk peran serta masyarakat dalam penyusunan rencana zonasi dapat berupa
masukan mengenai:

a. persiapan penyusunan zonasi WP-3-K


b. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan
c. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan
d. perumusan rencana zonasi
e. penyusunan rencana alokasi ruang
f. Memberikan masukan untuk arahan kerjasama pemerintah dengan unsur masyarakat
Bentuk peran serta masyarakat dalam pemanfaatan zona dapat berupa:
a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan zona

90
b. kerja sama dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh dan/atau sesama unsur
masyarakat dalam pemanfaatan zona
c. kegiatan memanfaatkan zona yang sesuai dengan kearifan lokal dan RZWP-3K yang
telah ditetapkan
d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan WP-3-K dengan
memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
e. kegiatan menjaga kepentingan pertahananan negara serta memelihara dan
meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumberdaya alam
f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan WP-3-K sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan

Bentuk peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan zona dapat berupa:
a. masukan mengenai arahan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif serta
pengenaan sanksi
b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan kegiatan pemanfaatan
zona yang telah ditetapkan
c. pelaporan kepada instansi atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan
kegiatan pemanfaatan zona yang melanggar rencana zonasi yang telah ditetapkan dan
adanya indikasi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan, tidak memenuhi standar
pelayanan minimal dan/atau masalah yang terjadi di masyarakat dalam
penyelenggaraan zonasi WP-3-K
d. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat publik yang dipandang tidak sesuai
dengan rencana zonasi
Peran serta masyarakat dalam penyusunan RZWP-3-K dapat disampaikan secara
langsung dan/atau tertulis. Peran serta masyarakat dapat disampaikan kepada Gubernur
dan/atau pejabat berwenang. Peran serta masyarakat juga dapat disampaikan melalui unit
kerja terkait pada Gubernur.
Pelaksanaan peran serta masyarakat dilakukan secara bertanggung jawab sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan menghormati norma agama,
kesusilaan, dan kesopanan.
Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat, Pemerintah Aceh
melaksanakan pelayanan minimal dalam rangka pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
penataan ruang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

91
Pelaksanaan tata cara peran serta masyarakat dalam zonasi WP-3-K dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6.5 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


Pemerintah daerah berkewajiban memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan
kesejahteraannya. Pemerintah daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha masyarakat
melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan,
infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya. Dalam upaya
pemberdayaan masyarakat, pemerintah daerah mewujudkan, menumbuhkan, dan
meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam:
a. pengambilan keputusan
b. pelaksanaan pengelolaan
c. kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah daerah
d. pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup
e. penerapan upaya preventif dan proaktif untuk mencegah penurunan daya dukung
dan daya tampung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
f. pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan
g. penyediaan dan penyebarluasan informasi lingkungan
h. pemberian penghargaan kepada orang yang berjasa di bidang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemberdayaan masyarakat diatur dengan
Peraturan Gubernur.

6.6 PENYIDIKAN
Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam kitab undang-undang hukum acara pidana. Pejabat pegawai
negeri sipil tertentu adalah penyidik pegawai negeri sipil. Penyidik pegawai negeri sipil
berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana bidang
kelautan dan perikanan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

92
b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan tentang adanya tindak
pidana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam
perkara tindak pidana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
d. melakukan pemeriksaan prasarana wilayah pesisir dan menghentikan peralatan yang
diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil
e. menyegel dan/atau menyita alat-alat kegiatan yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai alat bukti
f. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
g. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan
h. melakukan penghentian penyidikan
i. mengadakan tindakan lain menurut hukum
j. menghentikan penyidikan
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
pelanggaran zonasi WP-3-K menuruthukum yang dapat dipertanggungjawabkan
Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan
kepada penyidik pejabat kepolisian negara Republik Indonesia. Penyidik pejabat pegawai
negeri sipil menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik
pejabat kepolisian negara Republik Indonesia.

6.7 KETENTUAN PIDANA


1. Setiap orang yang tidak mentaati RZWP-3-K Aceh dan memanfaatkan ruang yang
tidak sesuai dengan izin dipidana kurungan dan/atau denda sesuai dengan peraturan
perundang undangan
2. Dalam hal terjadi kerusakan akibat pelanggaran di wilayah pesisir karena kelalaian,
setiap orang yang tidak mentaati RZWP-3-K Aceh dan memanfaatkan ruang yang
tidak sesuai dengan izin dipidana kurungan dan/atau denda sesuai dengan peraturan
perundang undangan
3. Setiap orang yang memanfaatkan sumberdaya perairan pesisir dan perairan pulau-
pulau kecil yang tidak memiliki izin pengelolaan dipidana dengan kurungan
dan/atau denda sesuai dengan peraturan perundang undangan

93
4. Setiap orang yang karena kelalaiannya tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi
atau tidak melaksanakan kewajiban reklamasi sesuai dengan aturan dalam Qanun
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Aceh dipidana dengan
kurungan dan/atau denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan

6.8 PEMBIAYAAN

Pembiayaan pengelolaan RZWP-3-K Aceh dapat bersumber dari:


a. anggaran pendapatan dan belanja negara
b. anggaran pendapatan dan belanja Aceh
c. anggaran pendapatan dan belanja kabupaten/kota
d. sumber pembiayaan lainnya yang sah dan tidak mengikat

94
BAB VII
INDIKASI PROGRAM
Arahan pemanfaatan ruang wilayah Aceh disusun dengan kriteria:
1. Mendukung perwujudan rencana alokasi ruang dan pengembangan kawasan strategis
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
2. Mendukung program utama penataan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
wilayah nasional
3. Realistis, obyektif, terukur, dan dapat dilaksanakan dalam jangka waktu perencanaan
4. Konsisten dan berkesinambungan terhadap program yang disusun, baik dalam jangka
waktu tahunan maupun antar lima tahunan
5. Sinkronisasi antar program harus terjaga dalam satu kerangka program terpadu
pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Arahan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Aceh
memiliki beberapa fungsi diantaranya:
1. Sebagai acuan bagi pemerintah dan masyarakat dalam perencanaan, penataan dan
pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
2. Sebagai arahan dalam penyusunan program sektoral (besaran, lokasi, sumber
pendanaan, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan)
3. Sebagai dasar estimasi kebutuhan pembiayaan setiap jangka waktu 5 (lima) tahun.
4. Sebagai acuan bagi masyarakat dalam melakukan investasi
5. Sebagai arahan alokasi ruang yang lebih rinci
6. Sebagai alat pengendali pengembangan kawasan, menjamin agar pembangunan baru
tidak mengganggu pemanfaatan ruang yang telah sesuai dengan rencana alokasi ruang
dan menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana zonasi
7. Sebagai alat kontrol untuk mencegah dampak pembangunan yang merugikan
Penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh mencakup
berbagai aspek pemanfaatan sehingga perlu klasifikasi fungsi dari alokasi ruang yang
ditetapkan. Pemaparan zonasi dalam matrik disajikan dengan mempertimbangkan setiap
pemanfaatan ruang dan fungsi.
Arahan pemanfaatan pada rencana alokasi ruang Rencana Zonasi Wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil Aceh disajikan dalam Tabel 6.1

Tabel 6.1.
Arahan pemanfaatan kawasan RZWP – 3 – K Aceh
1
Pemanfaatan umum Konservasi Perairan
Kawasan Konservasi
Pariwisata
Perairan
Permukiman Kawasan Lindung Lainnya
Pelabuhan
Hutan Mangrove Strategis Nasional
Perikanan Budidaya Kawasan Perbatasan
Kawasan Pertahanan
Perikanan Tangkap
Negara
Pergaraman Daerah Ranjau
Daerah Pembuangan
Amunisi
Kawasan Lanal
Kawasan Lantamal
Daerah Fasilitas
Pemeliharaan dan
Perbaikan
KAPET Bandar Aceh
Darussalam
Kawasan Perdagangan dan
Pelabuhan Bebas Sabang

Strategis Nasional Tertentu


Pulau-pulau Kecil Terluar

Alur Laut
Alur Pelayaran
Migrasi Biota Laut
Kabel dan Pipa Bawah
Laut

2
BAB VII
INDIKASI PROGRAM

Indikasi prioritas program, skema tahun rencana pelaksanaan dan indikasi lokasi program pembangunan di wilayah pesisir
Aceh dapat dilihat pada Tabel 7.1.

Tabel 7.1
Indikasi Prioritas Program

I Pe TAH TAHA TAHA


S TAHAP
ns Besara ndanaa AP I P II P III
u IV (Tahun
ta n n (Rp. x (Tah (Tah (Tahu
m ke)
ns 1.000) un ke) un ke) n ke)
b
Progra i V S
Lok e
N m Pe o a
asi r
Utama la l t
D
ks u u 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
a
a m a
n
n e n
a
a    
A. RENCANA PEMANFAATAN KONSERVASI
1 Pemanfaatan Kawasan Konservasi
Pelaksa Pro A D 3 K                                        
naan vin P K e 1.500.0
P3D si B P g 00
Kawasa Ace N , i
n h , B a
Konserv i t

3
r
o
H
u
A
asi k
P a
Peraira u
B n
n m
A
,
B
K
A
Pemben Pro A D 5 k                                        
tukan vin P K e 1.500.0
Unit si B P g 00
Pengelo Ace N , i
la h B a
Kawasa , i t
n r a
Konserv A o n
asi P O
Peraira B r
n A g
a
n
i
s
a
s
i,
B

4
K
A
Evaluas Ka A D 7 k 2.1                                        
i bu P K e 00.000
Pencad pat B P g
angan en: N , i
Kawasa Ace B a
n h , P t
Konserv Bes S a
asi ar, A P n
Peraira Pid P L
n di ie, B P
Kabupa Pid A a
ten ie d
Aceh Jay a
Besar a, n
dan Bir g
wilayah eue
pesisir n,
Timur Ace
Aceh h
Uta
ra,
Ace
h
Ti
mu
r,
Ace
h

5
Ta
mi
ang
D
Ace
K
h
P
Pencad Ta
,
angan mi k
B
KKPD ang e
P
(Aceh , g
S
Tamian Ab i 2.0
  P 5                                    
g, dya a 00.000
L
Abdya, , t
P
Aceh Ace a
a
Selatan h n
d
) Sel
a
ata
n
n
g    
Penetap Si A D 3 k 90                                        
an mel P K e 0.000
Kawasa ue, B P g
n Ace N ¸ i
Konserv h S a
asi Jay , E t
Peraira a, T a
n Ace A D n
(PISISI h P A
(Simelu Bes B ,
e), Aceh ar A K
Jaya, K

6
Aceh
P
Besar)
Ka
bu
pat
en:
Ta
mi
ang
,
Ace A
Penyus
h P
unan D
Bes B
Rencan K
ar, N
a P
Ace ,
Pengelo , K
h 54
laan B 6 e
Jay A 0.000
dan P g
a, P
Zonasi S
Ace B
(RPZ) di P
h A
Kabupa L
Sel ,
ten
ata
n,
Ab
dya
,
Si
me
ulu
e

7
Penetap
Ace
an D
h
Kawasa A K
Ta
n P P
mi k
Konserv B ¸
ang e
asi N S
, g
Peraira E
Ab i 1.5
n , T 3                                  
dya a 00.000
( Aceh D
, t
Tamian A A
Ace a
g, P ,
h n
Abdya, B K
Sel
Aceh A K
ata
Selatan P
n
)      
A
P
Sosialis
Si B
asi
me N
penetap
ulu k
an D
e, , e
kawasa K
Ace g
n P
h A i 30
h konserv , 3                                  
Jay P a 0.000
asi K
a, B t
peraira K
Ace A a
n P
h , n
kepada
Bes
masyar
ar L
akat
S
M      

8
Integra
D
si tata
K
kelola
P
kelemb A
,
agaan P
Sel K
kawasa B k
ur K
n N e
uh P
konserv g
Ka ,
asi , i 1.0
bu K 7                                  
pesisir a 50.000
pat e
dan A t
en m
pulau- P a
Pes e
pulau B n
isir d
Kecil A
a
dengan ,
g
kelemb
r
agaan
i
adat      
Monitor Sel A D 4 k 20                                        
ing dan ur P K e 0.000
evaluas uh B P g
i Ka N , i
pengelo bu K a
laan pat , K t
kawasa en P a
n Pes A n
konserv isir P
asi B
pesisir A
dan ,

9
pulau-
pulau
Kecil
A
P
B
N
D k
, K e
Rehabil Pro
P g
itasi vin
A , 1 i 2.0
K ekosiste si                                        
P D 0 a 00.000
m Ace
B L t
pesisir h
A H a
, K n

L
S
M
Pengem Sel A D 8 k                                        
bangan ur P K e 800.000
pemanf uh B P g
aatan Ka N , i
jasa bu B a
lingkun pat , P t
gan en M a
pada Pes A , n
kawasa isir P D
n B I
konserv A N

10
,

S
w
a
S
s
asi O
t
S
a

L
S
M
2 Perlindungan Daerah Rawan Abrasi, Banjir dan Tsunami
Indentifikasi Selur A D 3 ke                                        
pesisir rawan uh P K gia450.000
bencana Kabu B P ta
(abrasi, banjir, pate A , n
gelombang n ,
dan tsunami) Pesis A D
ir P L
B H
N K

K
K
P
,

B
P

11
B
A
,

D
I
N
A
S

P
E
R
K
I
M
Pembangunan Pesis A D 20 M                                        
infrastruktur ir P I 00 20.000.
buatan rawa B N 000
pelindung n A A
pantai /alami abra , S
untuk si, A
penanggulang banji P S
an abrasi, r dan B D
banjir, dan tsun N A
tsunami ami
D
L
H
K
,

12
B
P
B
A
D
K
P
A ,
P
B D
A i
Rehabili tasi Selur
, n
pada kawasan uh
A a
rawan Kabu 10 He
P s
gelombang pate 00 kt1.000.0                                        
B
pasang, n 00 ar00
N S
abrasi, banjir, Pesis
, D
dan tsunami ir
A A
P ,
B
K B
P
B
A
Konservasi Selur A D 3 ke                                        
habitat uh P K gia3.000.0
(mangrove, Kabu B P ta00
terumbu pate A , n
karang, dan n ,

13
padang Pesis A D
lamun) ir P L
B H
N K
, ,
A
P D
B i
K n
a
s

S
D
A
,

B
P
S
P
L

P
a
d
a
n
g
,

14
B
K
S
D
A
3 Penguatan Kelembagaan Masyarakat Dalam Menjaga Dan Melestarikan Lingkungan
A
D
Selur P
Penguatan K
uh B
kelembaga P ke
Keca A
an pengelola , gia
mata , 9                                        
sumberdaya ta450.000
n A
alam berbasis K n
Pesis P
adat K
ir B
P
N
Peningkatan Selur A D 4 ke                                        
pengawasan uh P K gia800.000
pemanfaatan Keca B P ta
ruang mata A , n
n ,
Pesis A K
ir P K
B P
N ,

B
P
S
P
L

15
P
a
d
a
n
g
,

P
S
D
K
P
,

B
K
S
D
A
Integrasi Selur A D 72 Lo                                        
pengawasan uh P K ka3.600.0
(integrasi Keca B P si00
POKMASWAS mata A ,
dengan n ,
Panglima Laot) Pesis A K
ir P K
B P
N ,

16
P
o
l
a
i
r
u
d
,

B
K
S
D
A
,

P
S
D
K
P
,

L
S
M
Integrasi tata Selur A D 72 Lo                                        
kelola uh P K ka3.600.0
sumberdaya Keca B P si00
perikanan mata A ,

17
K
K
P
,

B
K
S
D
A
berbasis Lhok ,
,
(panglima laot)
n A
dengan tata D
Pesis P
kelola L
ir B
kawasan H
N
konservasi K
,
P
S
D
K
P
,

L
S
M
B RENCANA PEMANFAATAN KAWASAN PEMANFAATAN UMUM
1 Pengembangan Rencana Induk

18
menyusun Selu A D 1 ke                                        
rencana ruh P i gia500.000
induk Kab B s ta
pengembanga upa A b n
n investasi ten , u
sektor Pesi A d
maritim sir P p
B a
N r
,

D
K
P
,

B
a
i
n
p
r
o
m
,

B
a
p
p
e

19
d
a
2 Pemanfaatan Zona Pariwisata
D
i
s
Des
b
tina
u
si
A d
wisa
P p
ta
B a
Peningkatan pesi
A r
sarana sir, lok
, , 6 3.000.0                                        
prasarana dan asi
A 00
wisata Pula
P D
u-
B K
Pula
N P
u
,
Keci
l
K
K
P
Pengembanga Des A D 7 ke 3.0                                        
n destinasi tina P i gia00.000
pariwisata si B s ta
bahari wisa A b n
ta , u
pesi A d
sir, P p
dan B a

20
r
,

D
K
PPK N P
,

K
K
P
D
i
s
b
u
Des A d
Identifikasi tina P p
kondisi si B a
ke
sarana wisa A r
gia 3.3
prasarana ta , , 12                                        
ta 00.000
dermaga pesi A
n
daerah sir, P D
tujuan wisata dan B K
PPK N P
,

K
K
P

21
D
i
s
b
u
Des A d
tina P p
si B a
Perencanaan ke
wisa A r
kawasan gia 15
ta , , 1                                        
wisata bahari ta 0.000
pesi A
terpadu n
sir, P D
dan B K
PPK N P
,

K
K
P
E Pelibatan Selu A D 30 kel 90                                        
masyarakat ruh P i o 0.000
lokal dalam Kab B n m
pengelolaan upa A a po
zona/sub ten , s k
zona Pesi A
pariwisata sir P P
B a
N r
, i
S w
i

22
s
a
t
a

d
a
n

e
w k
a o
s n
t o
a m
, i
L
S k
M r
e
a
t
i
f
,

L
S
M
Pengendalian Selu A D lok 30
6                                        
dampak ruh P i asi 0.000

23
n
a
s
B
P
A
a
,
r
A
i
P
w
B
i
negatif N
Kab s
kegiatan ,
upa a
pariwisa ta di S
ten t
zona/sub w
Pesi a
zona a
sir ,
pariwisata s
t
D
a
K
,
P
L
,
S
M
D
L
H
K
3 Pemanfaatan Zona Permukiman
Peningkatan Kec A D 1 lo                                        
sarana ama P i k 12.000.
prasarana tan B n a 000
permukiman Pesi A a si

24
s

S
D
A
,

K
,
e
A
m
pesisir sir P
B
P
N
U
P
R
,

K
K
P
Pengawasan Kec A D 1 lo                                        
dan ama P i k 1.000.0
pengendalian tan B n a 00
pembanguna Pesi A a si
n perumahan sir , s
dan kawasan A
permukiman P P
pesisir B e
N r
k
i

25
m
4 Pemanfaatan Zona Pelabuhan
D
i
s
Keca h
A
Identifikasi mata u u
P
kondisi sarana n b 18 ni                                        
B 90.000
pelabuhan Pesis , t
A
ir
D
K
P
Pembangunan Keca A D 5 p                                        
dan mata P i el 5.000.0
pengembanga n B s a 00
n pelabu han Pesis A h b
pengumpan ir , u u
A b h
P , a
B n
N K
e
m

H
u
b
,

26
K
K
P
D
i
s
h
u p
b el
Penataan Keca
A , a
ruang mata
P b
kawasan n 8 8.000.0                                        
B P u
sekitar pelabu Pesis 00
A U h
han perikanan ir
P a
R n
,
D
K
P
Revitalisasi Selur A D 7 p                                        
sarpras uh P i el 7.000.0
pelabuhan Kabu B s a 00
pate A h b
n , u u
Pesis A b h
ir P , a
B n
N D
i
n

27
a
s

P
e
r
k
i
m
A
p
Selur P
D el
Peningkatan uh B
i a
fasilitas pokok Kabu A 7.
s b
dan fasilitas pate , 7 000.00                                        
h u
penunjang n A 0
u h
pelabuhan Pesis P
b a
ir B
n
N
A
Pengendalian Selur P
D
dan uh B
i lo
pelaksanaan Kabu A 12
s k
pengawasan pate , 61 .200.00                                        
h a
kegiatan n A 0
u si
kepelabuhana Pesis P
b
n ir B
N
Pembuatan Selur A D 16 lo 3.                                        
dan uh P K k 200.00
pengesahan Kabu B P a 0

28
dokumen A
,
WKOPP (untuk pate ,
pelabuhan n A
K si
perikanan Pesis P
K
yang belum ir B
P
menyusun) N
D
i
s
Pembuatan
A h
dan
Selur P u
pengesahan
uh B b
dokumen lo
Kabu A , 3.
DLKr dan k
h pate , 18 600.00                                        
DLKp (untuk a
n A K 0
pelabuhan si
Pesis P e
umum yang
ir B m
belum
N
menyusun)
H
u
b
Pengembanga Selur A D 18 lo 10                                        
n sistem uh P L k .000.00
pemantauan Kabu B H a 0
pelabuhan pate A K si
Aceh n , ,
Pesis A
ir P B
B K
N S

29
D
A
,

D
K
P
,

B
P
S
P
L

P
a
d
a
n
g
,

K
L
H
K
5 Hutan Mangrove
Sosialisasi Selu A D lok
18                                        
nilai penting ruh P K asi9.000.0

30
ekologi,
Kab B
ekonomi dan P
upa N
fisik dari ,
ten/ ,
kawasan
Kot A 00
hutan K
a P
mangrove K
Pesi B
kepada P
sir A
masyarakat
A              
D        
Selu P
K
ruh B
P
Rehabili tasi Kab N 31 He
,
ekosistem upa , 00 kt15.000.                  
D
mangrove ten A 0 ar000              
L
Pesi P
H
sir B
K
A        
6 Pemanfaatan Zona Perikanan Tangkap
Sosialisasi Selu A D 18 lo 3.                                        
zona ruh P K k 600.00
perikanan Kec B P a 0
tangkap ama A , si
tan ,
Pesi A K
sir P K
B P
N ,

P
S

31
D
K
P
,

P
O
L
A
I
R
D
K
P
,
A
P
K
Selu B
K lo
Rencana ruh A 1.
P k
pengelolaan Kec. , 18 000.00                                        
, a
perikanan Pesi A 0
si
sir P
S
B
w
N
a
s
t
a
Pedampingan Selu A D 36 k 3.                                        
kelompok ruh P K 0 el 600.00
nelayan Kec. B P o 0

32
A
,
, m
perikanan Pesi A p
K
tangkap sir P o
K
B k
P
N
A
D
Selu P
K
ruh B
Pembanguna P
Kab A ti 10
n tempat ,
upa , 10 ti .000.00                                        
pelelang
ten A k 0
an ikan K
Pesi P
K
sir B
P
N
A
D
Selu P
K
Pemeliharaan ruh B
P lo
berkala Kab A
, k
tempat upa , 18 900.00                                        
a
pelelang ten A 0
K si
an ikan Pesi P
K
sir B
P
N
Pembanguna Selu A D 8 ti                                        
n dan ruh P K ti 4.000.0
pengembanga Kab B P k 00
n sarpras upa A ,
produksi ten ,
perikanan Pesi A K

33
P
K
tangkap sir B
P
N
Kot
A
a D
P
Sab K
Peningkatkan B
ang, P lo
fungsi pelabu A
Kot , k
han , 2 2.000.0                                        
a a
perikanan A 00
Ban K si
samudera P
da K
B
Ace P
N
h
7 Pemanfaatan Zona Perikanan Budidaya
A
P D
18
Pengembanga B K
Kab
n komoditi N P Lo
upa
unggulan , , 65 ka64.600.                                        
ten
perikanan A K si000
Kot
budidaya P K
a
B P
A
Pemetaan 18 A D 65 Lo                                        
kesesuaian Kab P K ka30.500.
lahan upa B P si000
komoditi ten N ,
unggulan Kot , K
a A K
P P

34
B
A
A
P
B
N D
Pengembanga Kab
, K
n lokasi upa
A P
keramba ten/
P , lok 18.
jaring apung Kot 18
B asi000.000
di zona/sub a
A K
zona pesi
, K
budidaya sir
A P
P
B
K
8 Pemanfaatan Wilayah Kelola Panglima Laot
Sosialisasi Selu A S 18 lok                                        
RZWP-3-K ruh P K asi900.000
Aceh Kab B P
upa A A
ten
Pesi T
sir e
r
k
a
i
t
,

35
S
K
P
D

T
e
r
k
a
i
t
Membangun
SOP A
D
mekanisme Selu P
K
pemantauan ruh B
P
dan Kec A
, lok
pengawasan ama , 18 2.000.0                                        
asi
pemanfaatan tan A 00
K
wilayah Pesi P
K
kelola sir B
P
Panglima N
Laot
Pelatihan dan Selu A D 17 or                                        
pendampinga ruh P K 6 an1.000.0
n Panglima Kec B P g00
Laot dalam ama A ,
pemantauan tan ,
dan Pesi A K

36
pengawasan
pemanfaatan
P
wilayah K
sir B
kelola P
N
Panglima
Laot
Peningkatan Selu A D 17 lh                                        
operasional ruh P K 6 ok10.000.
pengawasan Kec B P 000
sumber daya ama A ,
perikanan tan ,
Pesi A K
sir P K
B P
N ,

B
P
S
P
L
,

P
S
D
K
P
,

37
K
S
D
A
,

L
S
M
Integrasi tata Selu A D 17 `lh                                        
kelola ruh P K 6 ok5.000.0
sumberdaya Kec B P 00
perikanan ama A ,
berbasis tan ,
Lhok Pesi A K
(panglima sir P K
laot) dengan B P
tata kelola N ,
kawasan
konserva si B
K
S
D
A
,

P
S
D
K
P

38
,

L
S
M
melakukan Selu A D 17 lh
fasilitasi ruh P K 6 ok500.000
untuk Kec B P .000
penyusunan ama A ,
rencana tan ,
pengelolaan Pesi A K
wilayah sir P K
kelola B P
panglima laot N ,
lhok
diseluruh B
Aceh P
S
P
L
,

P
S
D
K
P
,

B
K

39
S
D
A
,

L
S
M
Penyusunan Selu A D 17 lh
Peraturan ruh P K 6 ok500.000
Gubernur Kec B P .000
tentang ama A ,
mekanisme tan ,
tata cara Pesi A K
pengelolaan sir P K
wilayah B P
kelola N ,
Panglima
Laot B
P
S
P
L
,

P
S
D
K
P
,

40
B
K
S
D
A
,

L
S
M
C RENCANA PEMANFAATAN ALUR LAUT
1 Alur Pelayaran
Penetapan Selu A K 30 p 2.                                        
sistem alur ruh P e el 000.00
pelayaran Kab B m a 0
upa A e b
ten , n u
Pesi A h h
sir P u a
B b n
N ,

D
i
s
h
u
b
,

41
S
a
h
b
a
n
d
a
r
Peneta pan Selu A K 30 p 2.                                        
daerah labuh ruh P e el 000.00
kapal sesuai Kab B m a 0
dengan upa A e b
kepentingann ten , n u
ya Pesi A h h
sir P u a
B b n
N ,

D
i
s
h
u
b
,

S
a
h

42
b
a
n
d
a
r
Peningkatan Selu A K 30 p 2.                                        
peran serta ruh P e el 000.00
masyarakat Kab B m a 0
dalam upa A e b
pengawasan ten , n u
dan Pesi A h h
pengendalian sir P u a
alur B b n
pelayaran N ,
,
S D
w i
a s
s h
t u
a b
,

S
a
h
b
a
n

43
d
a
r
K
e
m
e
n
h
A
u
P
b
B
,
A
, p
Selu D
A el
ruh i
Pemasangan P a
Kab s 1.
tanda batas B b
upa h 30 000.00                                        
dan rambu N u
ten u 0
pelayaran , h
Pesi b
S a
sir ,
w n
a
S
s
a
t
h
a
b
a
n
d
a
r

44
K
e
m
e
n
h
A
u
P
b
B
,
A
, p
Selu D
A el
ruh i
P a
Pengembanga Kab s 4.
B b
n jalur dan upa h 50 000.00                                        
N u
pelayaran ten u 0
, h
Pesi b
S a
sir ,
w n
a
S
s
a
t
h
a
b
a
n
d
a
r
Peningkatan Selu A K p 8.
10
pemeliharaan ruh P e el 000.00                                        
0
rutin dan Kab B m a 0

45
e
n
h
u
b
,

D
i
A s
b
upa , h
atau berkala u
ten A u
alur h
Pesi P b
pelayaran a
sir B ,
n
N
S
a
h
b
a
n
d
a
r
2 Perlintasan Migrasi Biota Laut
Identifikasi Selu A D 18 lo 5.0                                        
perlintasan ruh P K ka00.000
biota (pola Kab B P si
migrasi, upa A ,
tingkah laku, ten , U

46
n
i
t

P
e
n
A
jenis-jenis g
Pesi P
biota laut e
sir B
migrasi) l
N
o
l
a

K
K
P
Peningkatan Selu A D 1 ke 3.0                                        
peran serta ruh P K gia00.000
masyarakat Kab B P ta
dalam upa A , n
monitoring ten ,
migrasi biota Pesi A U
sir P n
B i
N t

P
e
n
g

47
e
l
o
l
a

K
K
P
Intergrasi Selu A D 1 ke 3.0                                        
perlintasan ruh P K gia00.000
biota migrasi Kab B P ta
dengan upa A , n
aktivitas ten ,
pelayaran, Pesi A U
perikanan, sir P n
pariwisa B i
ta, dan N t
pemanfaatan
ruang laut P
lainnya e
n
g
e
l
o
l
a

K
K

48
P
,

D
i
n
a
s

P
a
r
i
w
i
s
t
a
,

D
I
S
H
U
B
,
P
S
D
K

49
P
,

S
a
h
b
a
n
d
a
r

50
1

Anda mungkin juga menyukai