Anda di halaman 1dari 178

i UNPAD PRESS

Judul Buku:
Kapita Selekta: Pokok Pikiran Perikanan dan Kelautan Indonesia

Penyusun:
Yudi Nurul Ihsan, Bachrulhayat Koswara, Yayat Dhahiyat, Junianto, Dedi Supriadi, Roffi
Grandiosa, Donny Juliandri Prihadi, Achmad Rizal, Marine Kenzi Martasuganda, Widodo
Setiyo Pranowo, Nurfitri Syadiah, Erish Widjanarko, Romi Novriadi, Noir Primadona
Purba, Aulia Andhikawati, Alexander M. A. Khan

Editor:
Prof. Dr. Junianto, Dr. Achmad Rizal, dan Noir P. Purba, M.Si

Desain Sampul & Penata Isi:


Finri Sudarmo D.

Jumlah Halaman:
168 + xx Halaman Romawi

Edisi/Cetakan:
Cetakan 20 Juli 2020

Penerbit:
Unpad Press (Anggota IKAPI)
Grha Kandaga , Lt I, Jl. Raya Bandung-Sumedang km 21, Jatinangor-Sumedang 45363
http://press.unpad.ac.id
press@unpad.ac.id

ISBN: 978-602-439-821-7

Dicetak oleh Unpad Press, Jatinangor- Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan
©2020, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG. Dilarang mengutip
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit

i
DAFTAR ISI

Kata Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan iv

Kata Sambutan Rektor Universitas Padjadjaran v-vi

Kata Sambutan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan vii

Kata Pengantar Editor viii

1. Era Baru Perikanan Berkelanjutan 1-8


Yudi Nurul Ihsan

2. Isu Terkini Konflik Indonesia-Cina di Laut Natuna 9-14


Bachrulhajat Koswara

3. Pembangunan Perikanan Berkelanjutan 15-23


Yayat Dhahiyat

4. Tantangan dan Peluang Industri Pengolahan Hasil Perikanan di Indonesia 24-31


Junianto

5. Pengembangan Habitat Buatan Untuk Peningkatan dan Ketersediaan Ikan 32-49


Berkelanjutan Berbasis Partisipatori Masyarakat Nelayan
Dedi Supriadi

6. Peluang dan Tantangan Pengembangan Abalon untuk Menunjang 50-60


Perikanan Budidaya yang Berkelanjutan di Indonesia
Roffi Grandiosa

7. Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Pulau-pulau Kecil dan Wisata Bahari 61-70


di Indonesia
Donny Juliandri Prihadi

8. Reformasi Strategi Optimasi Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) Guna 71-81
Pengembangan Industri Perikanan Nasional
Achmad Rizal

9. Penerapan dan Identifikasi Wilayah Potensial OECM di Indonesia: Sebuah 82-95


Kajian Preliminer
Marine Kenzi Martasuganda

10. Anomali Kemunculan Orca di Perairan Kepulauan Anambas Ditinjau dari 96-108
Aspek Oseanografis Lingkungan
Widodo Setiyo Pranowo, Nurfitri Syadiah, Erish Wijanarko

ii
11. Strategi Produksi Pakan Ekonomis dan Berkualitas 109-124
Romi Novriadi

12. Mengelola Laut Indonesia di Era Mahadata: Satu Data, Satu Bahasa, Satu 125-134
Kebijakan
Noir Primadona Purba

13. Manfaat Konsumsi Ikan Terhadap Peningkatan Kesehatan Tubuh 135-146


Aulia Andhikawati, Junianto

14. Pengembangan Perikanan Tuna Huhate Skala Kecil di Kawasan Terpencil 147-161
dan Perbatasan Indonesia
Alexander M.A. Khan

Biografi Penulis 162-168

iii
KATA SAMBUTAN MENTERI KEL AUTAN DAN
PERIKANAN

Salam Bahari
Tantangan pembangunan di sektor kelautan dan
perikanan yang semakin kompleks mengharuskan kita
untuk turut andil dalam setiap kesempatan yang ada.
Buku Kapita Selekta: Pokok Pikiran Perikanan dan Kelautan
yang ditulis rekan dan sahabat di Universitas Padjadjaran ini
cukup gamblang mengulas beragam informasi dan analisa
aktual dalam menghadapi tantangan ini.
Buku ini juga menyajikan isu-isu terkini, aneka sumber daya yang masih
dapat dioptimalkan, pandangan tata kelola dan kebijakan pengelolaan sumber daya
kelautan dan perikanan, serta berbagai pengetahuan lain dengan pendekatan
saintifik.
Saya menyampaikan terima kasih kepada rekan dan sahabat yang telah ikut
berkontribusi memajukan sektor kelautan dan perikanan, kususnya di bidang ilmu
pengetahuan. Ini cukup memberikan pesan semangat kepada kita semua dalam
bekerja, berkarya, dan memberi manfaat bagi bangsa dan negara. Saya juga
berharap kekayaan sumber daya alam yang kita miliki mampu memberikan
kontribusi kepada negara, sekaligus meningkatkan kesejahteraan kepada seluruh
pelaku sektor kelautan dan perikanan, serta masyarakat Indonesia secara luas.
Mari berupaya untuk terus menerus berkontribusi dengan segenap
kemampuan terbaik kita, dan mendorong semakin baiknya usaha pada sektor
kelautan dan perikanan.

Jakarta, 26 Juni 2020


Dr. Edhy Prabowo

iv
KATA SAMBUTAN:
REK TOR UNIVERSITAS PADJADJARAN

Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga buku yang berjudul “Kapita Selekta: Pokok
Pikiran Perikanan dan Kelautan” dapat dipersembahkan kepada masyarakat
Indonesia.
Indonesia adalah negara yang besar dengan luas perairan sebesar 2/3 luas
daratan. Artinya, Indonesia menjadi habitat bagi berbagai macam biota laut dunia,
di mana banyak di antaranya memiliki nilai ekonomi tinggi sementara sebagian
lainnya terancam punah dan harus dilestarikan. Secara umum, buku ini
menggambarkan pentingnya memperhatikan perairan sebagai kekayaan alam
terbesar negara kita. Selanjutnya dalam kerangka besar tatanannya adalah
bagaimana tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan
perikanan di saat ini dan di masa mendatang.
Kekayaan alam di perairan Indonesia memegang peranan yang sangat
penting dalam perekonomian bangsa kita. Karena itu, sumber daya kelautan dan
perikanan harus dijaga untuk dieksplorasi dengan memperhatikan konsep
keberlanjutan. Selain itu, luasnya perairan yang mengelilingi negeri kepulauan ini
telah membuat Indonesia tercatat sebagai negara dengan garis pantai terpanjang.
Hal ini menjadi tantangan terbesar dalam memberdayakan sektor ini untuk
mendukung keberlanjutan jangka panjang, terutama dengan munculnya kebutuhan
peningkatan sumber daya manusia, pemberdayaan pulau-pulau kecil dan terpencil,
serta kebijakan satu data dalam hal pengolahan informasi. Tantangan lainnya
adalah upaya kita dalam mempertahankan kedaulatan serta batas laut negara kita,
di mana kekayaan laut yang melimpah telah menarik perhatian bangsa-bangsa lain
untuk mengeksploitasi, bahkan mengklaimnya sebagai milik mereka.
Dengan banyaknya potensi dan tantangan dalam sektor perikanan dan
kelautan di Indonesia, Saya sangat mengapresiasi kerja keras para penulis dan
peneliti Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dalam
menyusun buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi kontribusi positif Unpad bagi
masyarakat Indonesia, khususnya yang bergerak di sektor ini.

v
Akhir kata, saya berharap penerbitan buku ini dapat meningkatkan
perhatian, minat, dan apresiasi masyarakat terhadap sumberdaya perikanan dan
kelautan Indonesia, serta menginspirasi untuk melakukan pengelolaan sumber
daya dengan konsep keberlanjutan, demi kelestarian alam dan peningkatan
ekonomi Indonesia.

Jatinangor, 1 Juni 2020


Rektor,
Prof. Dr. Rina Indiastuti

vi
KATA SAMBUTAN:
DEKAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU
KEL AUTAN

Indonesia memiliki tantangan dalam mengelola sumberdaya perikanan dan


kelautan. Selain potensinya yang luar biasa, pada sisi lain kerusakan dapat timbul
akibat akumulasi berbagai kegiatan eksploitasi yang berlebihan. Keberadaan
sumberdaya perikanan baik di perairan umum dan lautan mempunyai nilai
strategis. Hal ini berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam yang lestari dan
berkesinambungan. Biodiversitas sumber daya ini memungkinkan pemanfaatan
ganda, dan oleh karena itu perlu ada kesatuan wawasan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya untuk kesejahteraan masyarakat.
Secara umum, buku ini merupakan sumbangsih pemikiran para ahli dari
berbagai bidang. Hasil tersebut disarikan dalam bentuk opini dan saran konstruktif
untuk membangun pengelolaan perikanan dan kelautan yang lebih baik. Kajian
akademik yang digunakan sebagai pertimbangan landasan filosofis, diperlukan
untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif.
Untuk itu, saya mengapresiasi kepada para penulis yang telah memberikan
waktu dan tenaganya untuk buku ini. Semoga sumbang saran pemikiran yang
positif dapat menjadi panduan dalam pengelolaan perikanan dan kelautan kearah
yang lebih baik.

Bandung, Juni 2020


Dekan FPIK-UNPAD
Dr.sc.agr. Yudi N. Ihsan

vii
PRAKATA EDITOR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-
Nya kami dapat menyelesaikan mereview dan melakukan kompilasi berbagai artikel
sehingga tersusun dalam buku Kapita Selekta “Pokok Pikiran Perikanan dan Kelautan”.
Secara umum, materi buku ini disusun dari hasil penelitian dan kajian pustaka oleh para
peneliti dan akademisi dari berbagai bidang ilmu.
Kami berharap buku ini dapat bermanfaat dalam menambah referensi tentang
sumber daya perikanan dan kelautan di Indonesia. Kami menyadari bahwa dengan
kompleksnya tantangan di bidang perikanan dan kelautan Indonesia, secara kuantitas
bahwa artikel dalam buku ini masih perlu diperbanyak. Untuk itu, kami berharap dapat
bekerjasama dengan banyak penulis dimasa depan untuk memberikan ide dan opini
konstuktif untuk membangun kelautan dan perikanan.
Atas selesainya buku ini, kami mengucapkan terima kasih kepada para rekan
akademisi dan peneliti yang telah menginspirasi dan saling berbagi informasi dan diskusi
sehingga tulisan ini dapat terwujud. Kemudian kepada pihak-pihak yang tidak dapat kami
sebutkan satu per satu, atas bantuan dan peran sertanya dalam penyusunan buku ini.
Akhirnya kami berharap semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Bandung, 17 Juni 2020


Editor
Prof. Dr. Junianto, MP
Dr. Achmad Rizal
Noir P Purba, M.Si

viii
ERA BARU PERIKANAN BERKEL ANJUTAN

Yudi Nurul Ihsan


Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran

J
umlah pulau yang lebih dari 17.000 pulau serta panjang garis pantai yang
lebih dari 91.000 km, menempatkan Indonesia sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia. Pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan
menjadikan Indonesia memiliki kesempatan untuk mengelola sumberdaya
baik didarat maupun laut yang berada diantara pulau serta laut yang megarah ke
luar sejauh 200 mil. Dengan wilayah yang begitu luas serta kekayaan sumberdaya
alam yang melimpah, maka semua ini merupakan karunia dari Allah swt untuk
bangsa Indonesia. Terletak di daerah tropis serta posisi yang sangat stragtegis,
yaitu diantara dua samudera, Pasific dan Hindia, Indonesia bukan hanya dikenal
sebagai negara yang memiliki potensi alam yang melimpah tetapi juga menjadi
rute utama untuk kepentingan jalur transportasi laut.
Sungguh besar jasa para the founding father yang telah menjadikan
Indonesia sebagai negara kepulauan. Deklarasi Djoeanda pada tanggal 13
Desember 1957 merupakan starting point yang menjadikan Indonesia memiliki
wilayah yang begitu luas yang meliputi daratan dan lautan. Keputusan yang
menempatkan Indoneisa sebagai negara kepulauan pun telah merubah posisi
Indonesia di mata dunia Internasional baik secara Geopolitik maupun
Geoekonomi. Didalam Deklarasi Djoeanda disebutkan bahwa Indonesia
merupakan Negara Kesatuan Republik RI beserta perairan nusantara, laut
wilayah, zona tambahan, ZEE, dan landas kontinennya disebut sebagai negara
kepulauan. Melalui perjalanan panjang dan perjuangan yang gigih di tingkat
forum internasional, akhinya pada tahun 1982 di Teluk Montego, Jamaika,
sebanyak 119 negara menandatangani United National Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS), yang didalamnya memuat sembilan buah pasal terkait ketentuan
tentang Prinsip Negara Kepulauan. Salah satu pasal yang diatur dalam UNCLOS
dan menguntungkan Indonesia adalah prinsip negara kepulauan. Menurut
UNCLOS prinsip negara kepulauan yaitu memandang laut bukanlah alat pemisah

1
atau batas spesifik, melainkan sebagai alat yang menyatukan pulau-pulau yang
satu dan pulau yang lainnya.
Mengingat sejarah perjuangan Indonesia yang begitu besar dalam
memperjuangkan hak kemaritimnya kini menjadi tanggung jawab dan tugas kita
bersama. Permasalahan kemaritiman yang terjadi kini adalah minimnya kesadaran
akan keberadaan laut kita, laut Indonesia. Kesadaran yang dimaksud yaitu
minimnya kesadaran akan pentingnya pemanfaatan sumberdaya laut untuk
kesejahteraan rakyat, minimnya pengetahuan dalam pengelolaan kelautan
berbasis ekonomi maritim dan minimnya rasa persatuan dan kesatuan untuk
mempertahanakan laut Indonesia dari tangan asing.
Di sektor perikanan, nelayan kita seumur-umur tetaplah “nelayan”.
Nelayan yang terus menerus sepanjang hidupnya terbenam (atau dibenamkan!)
d a l a m b u d a y a f e o d a l y a n g t i d a k m e r e l a ka n p a r a n e l a y a n u n t u k
mentransformasikan dirinya menjadi “pengusaha perikanan”. Kenyataan yang
terjadi di lapangan, untuk sebagian kasus, yang berhasil mereguk nikmatnya
bisnis produk-produk perikanan adalah para tengkulak, pengijon, bahkan pejabat
yang tinggal jauh dari wilayah laut. Sementara para nelayan tetap saja berkubang
di lumpur-lumpur kehidupannya yang tidak pernah berubah sepanjang hidupnya,
pada akhirnya kesenjangan sosial pun semakin parah. Dengan kenyataan seperti
ini tentu saja tidak perlu heran apabila sebagian besar penghuni kasta terendah
atau zona di bawah garis kemiskinan adalah para nelayan yang merupakan salah
satu masyarakat pesisir.
Kenyataan nasib pahit para nelayan dan potret muram dunia perikanan di
Indonesia harus segera diakhiri. Tentu saja bukan dengan program ala “Robin
Hood” beraroma politis seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai, yang telah
melucuti jiwa kemandirian para nelayan sekaligus menyeret ke gaya hidup
konsumtif. Saat ini yang diperlukan adalah inovasi dan kolaborasi sebagai upaya
untuk melakukan transformasi nelayan sebagai pengusaha perikanan dalam
rangka mewujudkan sumberdaya Kelautan dan Perikanan sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan untuk pembangunan bangsa.

Isu Dan Masalah Kelautan Dan Perikanan: 1. Tata Kelola


Pengelolaan kawasan pesisir yang tidak terpadu dan terintegrasi serta
adanya tumpang tindih kewenangan antar sektor ditambah dengan lemahnya

2
kelembagaan nelayan dan dukungan lembaga keuangan telah mengakibatkan
kerugian besar bagi sektor ini. Sampai saat ini telah terjadi penurunan laju
tangkapan (fish landing), adanya penurunan dalam panjang ikan yang ditangkap,
adanya peningkatan komponen ikan yang tidak diinginkan, hilangnya beberapa
ikan komersil tertentu, sampai rendahnya permintaan tenaga kerja sektor
perikanan.
1. Tata Niaga
Sampai saat ini distribusi hasil perikanan di Indonesia tidak merata dan sulit
dikendalikan. Umumnya yang meraup keuntungan dari sektor perikanan
adalah para tengkulak atau pengijon. Akibatnya pendapatan para nelayan terus
menurun, harga ikan sulit dikendalikan, serta nilai tambah sektor perikanan
kecil
2. Sosial
Isu dan masalah yang berkaitan dengan tata kelola dan tata niaga sektor
perikanan mengakibatkan kompetisi yang tinggi dan konflik antar nelayan. Saat
ini penghuni zona di bawah garis kemiskinan adalah para nelayan. Nilai tukar
nelayan menjadi rendah, tidak memiliki jaminan kesehatan dan sosial
3. Lingkungan
• Wilayah pesisir merupakan salah satu wilayah yang sangat rentan terhadap
dampak perubahan iklim serta kegiatan industri di daratan. Dampak
tersebut meliputi tingginya tingkat pencemaran serta kenaikan muka air
laut, perubahan suhu muka air laut, perubahan pola cuaca dan iklim
setempat. Hal ini semakin diperparah dengan kenyataan adanya potensi
bahaya alam lainnya seperti banjir, gempa bumi, tsunami, dan badai tropis
yang datang silih berganti.
• Kondisi-kondisi tersebut memicu pada permasalahan lain seperti
meningkatnya erosi pantai, intrusi air laut, penggenangan lahan-lahan
produktif dan fasilitas publik, hilangnya ekosistem lahan basah, perubahan
pola hujan, dan meningkatnya intensitas dan frekuensi badai. Dengan
demikian, perubahan iklim yang dikombinasikan dengan berbagai faktor
anthropogenic telah dan akan menjadi faktor utama dalam meningkatkan
kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Upaya-upaya adaptasi
dan mitigasi terhadap dampak-dampak tersebut harus dilakukan agar
keberlanjutan kegiatan sosial ekonomi dapat dijaga.

3
4. Kebijakan/Regulasi
Adanya Undang-undang dan peraturan yang ada di tingkat pemerintah pusat
yang tidak singkron dengan keadaan yang ada di daerah. Sebagai contoh UU no
23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur tentang
kewenangan pengelolaan perikanan telah membatasi kewenangan Kabupaten
atau kota untuk mengelola laut sampai 4 mil, disatu sisi Provinsi tidak siap
mengelola kawasan yang selama ini menjadi kewenangan Kabupaten /Kota.
Juga hilangnya Kewenangan Provinsi didalam mengelola perairan umum saat
ini, di satu sisi pihak kabupaten atau kota tidak siap mengelola perairan
umum.

Tiga Pilar Kebijakan Pembangunan Kelautan Dan Perikanan


Dalam konteks penyusunan program pembangunan terdapat tiga pilar
kebijakan utama yang digunakan sebagai pedoman. Pertama bahwa sektor
kelautan dan perikanan harus mampu berkontribusi pada percepatan pemulihan
dan pertumbuhan ekonomi, antara lain berupa peningkatan volume produksi,
nilai ekspor, pajak, sumbangan terhadap PDB daerah, penyediaan lapangan kerja
dan kemakmuran masyarakat secara berkelanjutan (on a sustainable basis).
Kedua, bahwa kontribusi ekonomi diperoleh dengan menganut prinsip
kemandirian dimana pembangunan kelautan dan perikanan beserta hasil
ekonominya dilakukan dan dinikmati oleh masyarakat secara adil, dan pada saat
yang sama tetap menjalin kerja sama dengan berbagai pihak termasuk dengan
pihak asing secara rasional dengan saling menguntungkan dan bertanggungjawab.
Muara dari pilar kebijakan kedua adalah distribusi kesejahteraan (welfare
distribution) yang dinikmati oleh seluruh masyarakat secara keadilan.
Ketiga, bahwa kegiatan berbasis sumber daya kelautan dan perikanan
dilakukan dengan tetap mempertimbangkan secara rasional daya dukung
ekosistem laut, pesisir dan perairan tawar dalam menyediakan sumber daya
tersebut. Dengan kata lain, keberlanjutan ekologi menjadi pilar penting sebagai
tujuan dari pelaksanaan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan, demi
terwujudnya keberlanjutan pembangunan kelautan dan perikanan (sustainability
marine and fisheries development).

4
Program Kerja Pembangunan Sektor Kelautan Dan Perikanan Skala Kecil
Secara garis besar program kerja pembangunan sektor kelautan dan
perikanan terdiri dari 7 kelompok program, yaitu :
• Program Nelayan Unggul yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat
nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir lainnya;
• Program Gudang Ikan Merata yaitu penyerasian pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan untuk peningkatam produksi dan konsumsi ikan
sampai tiap desa;
• Program E-Commerce yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi sektor kelautan
dan perikanan berbasis bisnis perikanan dan kelautan secara online, terpadu
dan berkelanjutan;
• Program Desa Wisata yaitu rehabilitasi dan konservasi sumberdaya kelautan
dan perikanan beserta ekosistemnya;
• Program New Enterpreuneur yaitu pengembangan sumberdaya manusia,
aparatur, nelayan, pembudidaya ikan, masyarakat pesisir, dan penguatan
kelembagaan;
• Program Kolaborasi yaitu pengembangan kerja sama regional dan
internasional kelautan dan perikanan;
• Program Innovasi yaitu pengembangan teknologi digital dan sistem informasi
sumberdaya kelautan dan perikanan.
Program-program ekonomi tersebut tentunya dapat berjalan dengan
sukses melalui dukungan pendanaan, infrastruktur, dan kebijakan pemerintah.
Pendanaan dapat bersumber dari pusat yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maupun
dari swasta. Sementara kebijakan yang dimaksud tentunya menyangkut kebijakan
pembangunan sektor kelautan dan perikanan dari pemerintah pusat dan daerah.
Kebijakan pemerintah dikembangkan untuk mendukung secara kondusif tujuh
program ekonomi tersebut.
Ketujuh program ekonomi tersebut difokuskan untuk meningkatkan
kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap perekonomian. Kontribusi
yang diharapkan adalah terjadinya peningkatan pada: (i) produksi perikanan; (ii)
ekspor komoditi perikanan; (iii) produk domestik bruto dari sektor kelautan dan
perikanan; (iv) pungutan atau pajak dari sektor kelautan dan perikanan; (v)

5
lapangan dan penyerapan tenaga kerja dari sektor kelautan dan perikanan; dan
(vi) pendapatan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir
lainnya.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka arah pembangunan perikanan lima
(5) tahun mendatang dan pada masa-masa selanjutnya diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan dan program pemerintah yang diharapkan dapat mensejahterakan
rakyat khususnya masyarakat perikanan. Adapun program penting yang harus
dicapai antara lain:
a. Dalam lima tahun atau sepuluh tahun mendatang harus mampu memproduksi
sejumlah komoditas perikanan yang secara kuantitas maupun kualitas dapat
memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri (swasembada) dan sekaligus
menjadi net exporter produk perikanan terbesar di dunia.
b. Manfaat ekonomi yang dihasilkan oleh geliat pembangunan kelautan dan
perikanan hendaknya terdistribusikan secara adil kepada segenap pelaku usaha
perikanan, khususnya para nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah serta
pedagang hasil perikanan berskala kecil.
c. Pertumbuhan ekonomi melalui penerapan IPTEK dan manajemen professional
harus dirancang sedemikian rupa, sehingga tingkat pemanfaatan tidak
melampaui daya dukung dan potensi lestari ekosistem perikanan tangkap
maupun perikanan budidaya. Dengan demikian, pembangunan sektor kelautan
dan perikanan dapat berlangsung secara berkelanjutan (on sustainable basis).
d. Modernisasi armada nelayan tradisional di daerah-daerah yang telah
mengalami overfishing, seperti di Pantura, dengan cara memberi pinjaman
modal berikut pelatihan teknis serta pendampingan manajemen, agar para
nelayan ini mampu menangkap ikan di daerah-daerah perairan laut yang
potensinya masih besar, seperti perairan KTI, Laut Cina Selatan, ZEEI
Samudera Pasifik dan ZEEI Samudera Hindia, sehingga hasil tangkapannya
besar dan lestari. Dengan mengalihkan sebagian nelayan dari daerah
overfishing ke daerah underfishing, maka dapat diperoleh keuntungan ganda.
Di satu pihak, kita akan memberi kesempatan pulih bagi stok-stok ikan di
daerah overfishing, sehingga hasil tangkapan di daerah tersebut akan meningkat.
Pada saat yang sama, kita dapat memanfaatkan SDI di daerah underfishing yang
selama ini justru belum banyak dimanfaatkan.

6
e. Relokasi nelayan dari daerah-daerah overfishing ke daerah-daerah underfishing.
Armada nelayan yang sudah dimodernisasi sebaiknya juga melakukan relokasi.
Pemerintah harus memfasilitasi proses relokasi ini secara partisipatif, dengan
pengertian antar nelayan yang mau pindah dengan masyarakat daerah yang
akan menerima benar-benar saling menghargai tidak ada paksaan. Para nelayan
yang hijrah pun harus memiliki keterampilan memadai, produktif, dan beretos
kerja tinggi. Selain itu, pembangunan pemukiman untuk nelayan yang pindah
dilengkapi dengan prasarana pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) yang
berfungsi sebagai industri kawasan terpadu; prasarana ekonomi seperti pasar
dan bank; prasarana pembangunan seperti jalan, air bersih, listrik, dan jaringan
telekomunikasi; fasilitas sosial dan fasilitas umum. Dengan demikian, program
relokasi nelayan akan menciptakan kemakmuran di daerah baru, bukan
memindahkan kemiskinan seperti kesan umum program transmigrasi di masa
lalu.
f. Penerapan sistem rantai dingin dalam penanganan hasil tangkapan ikan dari
mulai ikan disimpan dalam kapal, tempat pendaratan ikan, distribusi, sampai
ke tangan konsumen akhir produk perikanan.
g. Revitalisasi pelabuhan perikanan yang ada dan pembangunan pelabuhan
perikanan baru sesuai kebutuhan dan kriteria untung rugi menjadi kawasan
industri perikanan terpadu yang efisien, produktif, dan ramah lingkungan yaitu
: sebuah pelabuhan perikanan terpadu yang mampu menyediakan semua factor
produksi seperti mesin kapal, alat tangkap ikan, BBM, beras. Dengan harga
relatif murah serta supply kontinyu; dan mampu membeli hasil tangkapan
nelayan dalam jumlah berapa saja dan kapan saja dengan harga yang
menguntungkan nelayan.
h. Program perikanan Budidaya supra-intensive berbasis rumah tangga. Sebagai
negara dengan kekayaan hayati yang begitu tinggi, Indonesia memiliki
kesempatan untuk mengembangkan produk perikanan budidaya. Dilengkapi
dengan teknologi, innovasi, serta etos kerja yang tinggi, program perknan
budiaya dapat diterapkan dengan pendekatan supra intensive skala rumah
tangga. Program ini merupakan program padat karya dengan memanfaatkan
sumberdaya alam sebagai objek ekonomi. Tiap rumah tangga dapat mengelola
2-3 Kolam budidaya supraintensive, kemudian hasil produk dapat ditampung

7
oleh industri pengumpul hasil perikanan untuk diolah menjadi produk yang
memiliki nilai tambah.

Penutup
Mengingat potensi Indonesia dalam hal sumberdaya dan jasa-jasa kelautan
dan perikanan sangat besar, serta permintaan terhadap sumberdaya alam dan jasa-
jasa lingkungan kelautan dan perikanan tersebut terus meningkat, maka kekayaan
laut kita sesungguhnya dapat menjadi keunggulan kompetitif bangsa yang dapat
menghantarkan kita sebagai masyarakat yang maju dan makmur serta juara lahir
dan bathin. Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut dalam waktu tidak terlalu
lama, maka seyogyanya kita sebagai bangsa melakukan perubahan paradigma
pembangunan, dari land-based socio economy development menjadi ocean-based economy
development dengan memanfaatkan teknologi revolusi industri 4.0. Dalam rangka
merealisasikan misi ini maka diperlukan kebijakan terobosan yakni dengan
memposisikan innovasi dan kolaborasi dalam pembangunan kelautan dan
perikanan sebagai platform pembangunan ekonomi.

8
ISU TERKINI KONFLIK INDONESIA -CIN A DI L AUT
NATUNA

Bachrulhajat Koswara
Guru besar Emeritus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran

K
onflik Indonesia dan Cina di Laut Natuna memasuki babak baru ketika
sejumlah kapal penangkap ikan asing milik Cina masuk Perairan Natuna,
Kepulauan Riau. Kapal-kapal Cina yang masuk perairan Indonesia pada
19 Desember 2019 itu, dinyatakan telah melanggar Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) dan melakukan kegiatan illegal fishing. Selain itu, kapal penjaga
pantai (Coast Guard) Cina yang mengawal kapal-kapal penangkap ikan illegal itu,
juga dinyatakan melanggar kedaulatan di perairan Natuna. Terkait dengan hal ini,
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan, pihaknya masih membahas
untuk mencari solusi dengan kementerian lain, termasuk berkoordinasi dengan
Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.

Bukan yang pertama


Kasus pencurian ikan oleh kapal-kapal Cina, ternyata bukan yang pertama.
Pada bulan Juni 2009, delapan kapal Cina menangkap ikan di ZEEI di sekitar
Kepulauan Natuna. Pada bulan Maret 2013, ketika Kapal Pengawas Indonesia, Hiu
Macan, sedang menggiring kapal Cina yang terlihat mencuri ikan di Natuna, dua
kapal militer Cina mengejar dan mengancam, sehingga Hiu Macan terpaksa
melepas kapal tawanan demi keselamatan. Pada pada akhir 2014, aparat
keamanan menangkap kapal MV. Hai Fa, kapal Cina yang berbendera Panama di
Pelabuhan Umum Wanam, Kabupaten Merauke, Papua. Melalui surat, pihak Cina
meminta kepada Kedutaan Besar Indonesia di Beijing agar kapal tersebut dan
kapal-kapal Cina lainnya yang ditangkap tidak ditenggelamkan. Namun Menteri
Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menolak permintaan tersebut, karena
banyak kapal Cina yang mengambil hasil laut Indonesia secara illegal, misalnya
dengan menangkap ikan tanpa izin dan menggunakan alat tangkap terlarang, yaitu
jenis trawl yang merusak lingkungan. Bahkan Susi berencana menenggelamkan 20
kapal pencuri ikan pada 20 Mei 2016 untuk menimbulkan efek jera.

9
Isu Illegal Fishing
Bagi masyarakat perikanan dunia, isu illegal fishing baru dirumuskan dan
dibahas usulan pemecahannya pada tahun 1997, di mana secara resmi isu
tersebut menjadi agenda pembahasan dalam pertemuan negara-negara anggota
CCAMLR (Convention on the Conservation of Antarctic Marine Living Resources).
Keseriusan pembahasan mengenai hal tersebut bertolak dari besarnya jumlah
tangkapan akibat illegal fishing tersebut, sehingga dikhawatirkan mengganggu
kelestarian ikan di Lautan Atlantik. Isu tersebut terus mendapat respon
internasional, bahkan terminologi yang dipergunakan juga menjadi lebih luas,
yaitu Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Perhatian FAO (Food
Agricultural Organization) terhadap isu tersebut terlihat dalam laporan pada tahun
2000 mengenai kondisi perikanan dunia. Usaha-usaha mengatasi IUU terus
menjadi perhatian FAO, hingga pada tahun 2001 disusun International Plan of
Action (IPOA) on Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing.
Namun rencana aksi tersebut sifatnya tidak memaksa negara-negara yang
tergabung didalamnya untuk meratifikasinya. Menurut FAO (2001), kerugian
yang diderita Indonesia akibat illegal fishing yang dilakukan Thailand saja
mencapai 1,5 juta ton per tahun dan menurut perhitungan Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) bahwa kerugian yang diderita Indonesia mencapai US$ 1.92
milyar. Bandingkan dengan nilai ekspor perikanan Indonesia pada tahun 1998
yang hanya mencapai US$ 1.63 milyar. Namun demikian, illegal fishing sepertinya
tetap menjadi masalah di Laut Natuna dikarenakan suburnya perairan dan
banyaknya negara yang berbatasan dengan wilayah perairan ini.

Perubahan Nama “Laut Cina Selatan” Menjadi “Laut Natuna Utara”


Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Kemaritiman
pada 14 Juli 2017 mengumumkan secara resmi nama baru perairan di utara
Kepulauan Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, yang
diberi nama Laut Natuna Utara. Menanggapi hal ini, pemerintah Cina mengkritik
keputusan pemerintah Indonesia yang mengubah nama laut tersebut sebagai hal
yang tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan upaya standarisasi internasional.
Juru bicara Kementerian Luar negeri Cina, Geng Shuang menyatakan, nama Laut
Cina Selatan telah mengacu pada zona geografis yang jelas, yang telah diakui dan
diterima secara luas oleh masyarakat internasional.

10
Dalam Demarche No. 62/2017 yang dikeluarkan pada 25 Agustus 2017,
Cina menyampaikan tiga butir pernyataan sikapnya. Pertama, pengubahan nama
Laut Cina Selatan (LCS) secara sepihak oleh Indonesia, selain tidak ada gunanya
sama sekali, juga berdampak tidak positif terhadap standarisasi penggunaan nama
tersebut di dunia internasional. Kedua, Cina dan Indonesia punya klaim hak
maritim yang tumpah tindih di bagian barat laut. Pengubahan nama secara
sepihak oleh Indonesia, disamping tidak akan mengubah fakta objektif juga
berdampak tidak positif terhadap stabilitas hubungan Cina-Indonesia dan LCS.
Ketiga, Cina menolak sekaligus tak mengakui nama Laut Natuan Utara (LNU)
dan meminta Indonesia mencabut keputusan dimaksud, mendesak Indonesia
lebih mementingkan stabilitas relasi kedua negara dan kawasan dengan tidak
menyebarluaskan nama baru itu dan/atau tindakan unilateral lain yang dapat
memperumit dan/atau memperbesar sengketa LCS, serta yang dapat
memengaruhi stabilitas hubungan Cina-Indonesia.
Dari ketiga poin tersebut, khusus menyangkut relasi bilateral, Cina
memperingatkan Indonesia dua hal: Pertama, walau wilayahnya berganti nama,
Cina tetap punya “hak maritim” yang tumpang tindih dengan Indonesia, dan
kedua, jika Indonesia bersikukuh mempertahankan nama LNU, stabilitas
hubungan Indonesia-Cina menjadi taruhannya. Dalam hal ini mungkin konflik
yang terjadi bisa dalam bidang apa saja.

Bagaimana sikap Indonesia?


Indonesia tak hanya harus terus menyatakan tak punya masalah
kedaulatan, tapi harus pula mempertegas tak punya masalah tumpang tindih hak
berdaulat di zona maritim manapun di LCS dengan Cina. Sebab, di satu sisi,
sekalipun mulai 12 November 2015 Cina terbuka mengakui kedaulatan
Kepulauan Natuna sepenuhnya berada pada Indonesia, di sisi lain, sejak 18 Juni
2016, Cina selalu menyatakan punya “hak maritim” seluas 50.000 km2 yang
berada di perairan Natuna sebagai hak historisnya. Rumitnya, Cina hingga kini
tidak rinci menjelaskan apa dan bagaimana metode pengukuran “hak maritim”
itu. Namun, kemungkinan besar mereka merujuk kepada “hak berdaulat” yang
diamanatkan hukum laut internasional, yaitu hak memanfaatkan dan mengelola
sumber daya di zona maritim tertentu yang luasnya diukur dari garis pangkal

11
pulau terluar negara pantai. Zona maritim tempat berlakunya “hak berdaulat” ini
meliputi zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.
Ringkasnya, menurut logika Cina, kedaulatan Kepulauan Natuna benar punya
Indonesia, tapi Cina juga berhak menikmati kekayaan alam di dalam zona
maritimnya. Cina tampaknya memanfaatkan terminologi “kedaulatan” dan “hak
berdaulat” yang dibedakan UNCLOS (United Nations Convention for the the Law of the
Sea) sebagai celah melegitimasi klaimnya di perairan Natuna. Namun, dari
perspektif hukum, posisi Indonesia lebih kuat dibandingkan Cina. Pasalnya, klaim
“hak maritim” Cina di LNU didasarkan pada sembilan garis putus-putus (nine-
dashed line) yang sudah divonis illegal oleh Mahkamah Arbitrase Internasional
(PCA = Permanent Court of Arbitration). Sementara Indonesia bersandar pada
UNCLOS. Hanya saja, untuk pengesahannya, Indonesia perlu bernegosiasi dengan
Vietnam dan Malaysia yang zona maritimnya memang diakui tumpang tindih
dengan LNU. Karena itu, kedua perundingan penetapan batas (delimitasi) zona
maritim LNU dengan dua negara di atas harus segera dituntaskan. Delimitasi
sudah dilakukan dengan Malaysia pada 1969, menyusul dengan Vietnam pada
2003. Sampai sekarang yang berhasil ditetapkan hanya landas kontinennya, bukan
kolom air yang ada di atasnya, yang kini dinamai LNU itu.

Sembilan garis putus-putus (nine-dashed line) di Laut Cina Selatan yang diklaim
Cina1

1 DW News: https://news.detik.com/berita/d-4859904

12
Mengantisipasi Ancaman Cina atas Kepulauan Natuna
Dinamika konflik Laut Cina Selatan yang melibatkan beberapa negara
seperti Cina, Filipina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam telah
membawa implikasi terhadap stabilitas kawasan. Eskalasi konflik tersebut juga
berdampak meluas hingga berpotensi mengganggu kepentingan nasional negara-
negara yang bahkan tidak terlibat secara langsung dalam konflik tersebut.
Pemberitaan mengenai isu klaim Cina atas kepulauan Natuna juga semakin
memperkeruh permasalahan yang telah terjadi di kawasan tersebut. Meskipun
kebenaran dari pemberitaan tersebut masih menjadi perdebatan hingga saat ini,
namun isu klaim Cina atas kepemilikan kepulauan Natuna patut disikapi dan
diantisipasi oleh Pemerintah RI karena menyangkut kedaulatan dan keutuhan
wilayah Indonesia yang patut diantisipasi oleh Pemerintah RI.

Lima Kekuatan TNI Siaga di Natuna


Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan paling keras terkait
sengketa wilayah LCS. Manuver geopolitik Republik Rakyat Cina berpotensi
mencaplok sebagian wilayah Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Sembilan titik garis yang selama ini diklaim Cina dan menandakan batas
maritimnya tidak memiliki dasar hukum internasional apapun. Tentara Nasional
Republik Indonesia bukannya tidak bersiap sejak jauh-jauh hari menghadapi
potensi konflik apapun terkait Cina. Sejak 1996, ribuan personil TNI sudah
disiagakan di Natuna, maupun di Kepulauan Anambas yang lokasinya tidak jauh
dari daerah kaya minyak itu.

Jokowi Minta Kedaulatan Natuna Dijaga


Presiden Joko Widodo juga meminta agar pengembangan ekonomi di
wilayah Kepulauan Natuna dan sekitarnya dipercepat. Langkah itu merupakan
salah satu bagian dari penegasan bahwa Indonesia akan menegakkan kedaulatan
di Natuna. Secara khusus, Presiden juga meminta TNI dan badan keamanan laut
lebih meningkatkan penjagaan dan pengamanan. Peningkatan termasuk dalam hal
kelengkapan teknologi radar maupun kesiapannya. Selain itu, beberapa
kementerian termasuk KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) melakukan
program-program untuk meningkatkan aktivitas penangkapan ikan dan
pemanfaatan sumber daya laut di wilayah perairan tersebut. Hal ini berguna

13
untuk meningkatkan aktivitas dan juga dapat mensejahterakan masyarakat
Indonesia.

Gambaran Singkat Tentang Natuna


Sebagai penutup dari artikel singkat ini, dapat dikemukakan bahwa secara
hukum internasional, Kepulauan Natuna diakui sebagai salah satu wilayah di Laut
Cina Selatan yang termasuk wilayah Republik Indonesia. Secara administratif,
Kepulauan Natuna juga merupakan salah satu kabupaten yang termasuk Provinsi
Kepulauan Riau. Kepulauan Natuna berada paling utara di selat Karimata. Di
sebelah utara, Kepulauan Natuna berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja, di
selatan berbatasan dengan Sumatera Selatan dan Jambi, di bagian barat dengan
Singapura, Malaysia, Riau dan di bagian timur dengan Malaysia Timur dan
Kalimantan Barat. Kepulauan Natuna berada pada jalur pelayaran internasional.
Kabupaten ini terkenal dengan penghasil minyak dan gas. Cadangan minyak bumi
Natuna diperkirakan mencapai 1.400.386.470 barel, sedangkan gas bumi
112.356.680.000 barel. Selain letaknya yang strategis, kawasan Pulau Natuna dan
sekitarnya pada hakikatnya dikaruniai serangkaian potensi sumber daya alam yang
belum dikelola secara memadai, yaitu: (1) Sumber daya perikanan laut yang
mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun dengan total pemanfaatan hanya 36
persen; (2) Pertanian dan perkebunan seperti ubi-ubian, kelapa, karet, sawit, dan
cengkeh; (3) Obyek wisata bahari (pantai, pulau selam), gunung, air terjun, gua,
dan budidaya; (4) Ladang gas D-Alpha yang terletak 225 km di sebelah utara
Pulau Natuna (di ZEEI) dengan total cadangan 222 trillion cubic feet (TCT) dan
gas hidrokarbon yang bisa didapat sebesar 46 TCT merupakan salah satu sumber
terbesar di Asia. Secara topografis, Kabupaten Natuna merupakan tanah berbukit
dan bergunung batu. Dataran rendah dan landai banyak ditemukan di pinggir
pantai. Ketinggian wilayah antara kecamatan cukup beragam, yaitu berkisar antara
3 sampai dengan 959-meter dari permukaan laut dengan kemiringan antara 2
sampai 5 meter. Pada umumnya struktur tanah terdiri dari tanah podsolik merah
kuning dari batuan yang tanah dasarnya mempunyai bahan granit, dan alluvial
serta tanah organosol dan gley humus.

14
PEMBANGUNAN PERIKANAN BERKEL ANJUTAN

Yayat Dhahiyat
Guru besar Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan,
Universitas Padjadjaran

P
erikanan merupakan sub sektor dari kelautan dan perikanan ataupun
utama perikanan, yang termasuk diandalkan, karena banyak menghasilkan
devisa terutama dari penangkapan ikan dan tambak (terutama udang),
dengan berkembangnya budidaya perikanan baik di laut maupun perairan tawar.
Seperti halnya sektor pertanian secara umum, untuk peningkatan produksi
perikanan perlu adanya intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi, rehabilitasi dan
konservasi sumberdaya alam dan lingkungan serta adanya pengembangan
sumberdaya manusia, kelembagaan serta sarana dan prasarana perikanan. Adapun
tujuan pembangunan perikanan adalah meningkatkan pendapatan dan
kemandirian petani nelayan, penyediaan ikan untuk bahan pangan dan bahan
industri, meningkatkan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan
devisa dan meningkatkan kelestarian sumberdaya perikanan.
Walaupun demikian seperti halnya sektor perikanan secara umum,
perikanan pun terdapat adanya kendala misalnya menurunnya daya dukung
lingkungan yang diakibatkan tumbuhnya kawasan industri dan pemukiman.
Khusunya limbah industri menghasilkan limbah industri atau pencemaran,
demikian juga pencemaran minyak bumi dan plastik (yang terbanyak di China
dan Indonesia, selain di ASEAN, yaitu Filipina, Vietnam dan Sri Lanka) yang
sangat berbahaya bagi kehidupan biota air termasuk ikan dan pakan alami ikan
(Kompas, Selasa, 3 April 2018, halaman 14). Walaupun ada usaha pengolahan
limbah industri dengan IPAL. Sampah plastik mengapung di Samudera Pasifik
bagian utara khatulistiwa membesar hingga mencapai 1,6 juta kilometer persegi
atau 12,5 kali P. Jawa, konsumsi plastik dunia saat 8.300 juta metrik (Kompas,
Selasa, 3 April 2018, halaman 14).
Selain itu, seperti telah diuraikan di muka, hutan mangrove telah berubah
fungsi, yang menyebabkan hilangnya daerah ruaya (pemijahan atau nursery ground)
bagi ikan dan udang serta berkurangnya fungsi hutan mangrove untuk menahan
abrasi dan intrusi air laut. Kendala lainnya adalah permodalan bagi petani dan

15
nelayan, serta kurangnya keterampilan petani dan nelayan khususnya dalam
bioteknologi perikanan. Selain itu, terjadinya pergeseran musim, sering terjadi
kekeringan menyebabkan banyak kolam ikan tidak berproduksi.

Intensifikasi Perikanan: Intensifikasi Tambak


Dalam intensifikasi tambak ini dikenal adanya pola tunggal udang (udang
windu = Penaeus monodon dan udang putih = Penaeus merguensis/Penaeus
indicus), pola ganda udang bandeng dan pola tunggal bandeng (Chanos chanos),
sebagai contoh di Waduk Cirata dan Jatigede. Intensifikasi tambak ini ada yang
bersifat sederhana (padat penebaran udang 12.000 ekor benur/Ha/semester,
produksi 240 Kg/Ha/semester), intensifikasi madya (60.000 ekor benur/Ha/
semester, produksi 1.200 Kg/Ha/semester), teknologi sederhana udang dan
bandeng (9.000 ekor benur/Ha/semester dan 2.000 ekor nener/Ha/semester,
produksi 180 kg udang/Ha/semester dan 300 kg bandeng/Ha/semester),
intensifikasi bandeng (ukuran 13-14 cm, 20.000 ekor nener/Ha/semester,
produksi 2.000 kg/Ha/semester).
Untuk menghasilkan udang sesuai dengan produksi yang diharapkan
diperlukan pemberian pupuk, kapur, penggunaan pestisida harus sesuai dengan
anjuran agar tidak menimbulkan masalah lingkungan. Demikian juga halnya
dengan pemberian pakan udang. Selain itu diperlukan saluran irigasi/pengairan
dengan kualitas dan kuantitas air yang sesuai dengan kebutuhan udang. Pompa
air, kincir, alat pengukuran kualitas air (salinometer) dan jaring sangat diperlukan
dalam budidaya udang yang penyediaannya melalui produsen, koperasi atau
kelompok tani. Hal yang penting lagi adalah pengendalian hama penyakit, yaitu
yang biasa muncul misalnya jenis siput, ikan liar, kepiting, serta penyakit yang
disebabkan oleh protozoa, cendawan dan bakteri, dimana pengendaliannya harus
dilakukan sedini mungkin.

Intensifikasi Mina Padi


Pola budidaya mina padi diselenggarakan dalam bentuk kegiatan
penyelang yaitu pemeliharaan menjelang penanaman padi, tumpangsari yaitu
pemeliharaan ikan bersama tanaman padi pada satu hamparan dan dilaksanakan
pada saat bersamaan dan palawija, yaitu pemeliharaan dimana dua masa
penanaman padi. Adapun jenis ikan air tawar yang dibudidayakan antara lain ikan
mas (Cyprinus carpio), tawes (Puntius gonionatus), nila (Oreochromis niloticus), nilem

16
(Ostheochillus hasselti), dan pangasius (Pangasius hypothalmus). Padat penebaran
pada masing-masing pola berbeda yaitu pada pola penyelang 30.000 ekor/Ha/
semester, dengan ukuran benih 1-3 cm; tumpangsari 15.000 ekor/Ha/semester,
dengan ukuran 3-5 cm; dan palawija 5.000 ekor/Ha/semester, dengan ukuran
benih 5-8 cm. Dalam budidaya minapadi ini terdapat juga adanya hama penyakit
misalnya sero dan ikan liar serta penyakit yang disebabkan oleh protozoa, bakteri
dan jamur, yang pengendaliannya harus secara dini. Selain itu agar diperhatikan
pengendalian hama/penyakit dengan cara yang tepat tidak menimbulkan dampak
bagi pertumbuhan ikan dan perkembangan pakan alami serta terjadi pencemaran
lingkungan perairan.

Intensifikasi budidaya ikan air tawar


Budidaya ikan air tawar ini meliputi budidaya ikan di kolam air tenang,
kolam air deras (running water system), karamba jaring apung (floating net
cages) dan perbenihan ikan. Jenis ikan yang umum pada budidaya air tawar ini
adalah antara ikan mas, gurame, nila, tawes, mujaer dan nilem, serta belakangan
ini patin, bawal dan jambal. Kolam air tenang biasanya merupakan kolam ikan
tradisional yang dimiliki oleh masyarakat luas. Di Jawa Barat misalnya, banyak
ditemukan di Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Sumedang, Cianjur dan
Bandung, serta tersebar hampir di seluruh daerah ini.
Budidaya ikan di kolam air deras memerlukan debit air yang banyak
dengan bentuk kolam umumnya segi empat, segitiga dan oval. Umumnya kolam
ikan deras ditembok/beton, karena airnya deras akan memerlukan kolam yang
kuat. Ikan yang sering dibudidayakan adalah ikan mas dan nila. Di Jawa Barat
kolam air deras banyak dijumpai di Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Subang,
walaupun di Kabupaten lain pun terdapat juga walaupun aktivitas kolam air deras
kurang berkembang.
Budidaya ikan pada Karamba Jaring Apung dilakukan di danau atau
waduk. Dengan makin banyaknya waduk dibangun dengan ukuran yang besar,
misalnya Jatiluhur, Cirata dan Saguling di DAS Citarum di Jatigede dan Darma
(Kuningan), juga beberapa waduk di Jawa Tengah (Gajah Mungkur, Mrica dan
Kedung Ombo) dan Jawa Timur (Selorejo) serta danau dan waduk di Sumatera
(Singkarak dan Maninjau), Danau Toba. Karamba jaring apung ini makin
berkembang, yaitu Danau Kerinci (Jambi) dan Waduk Kotopanjang (Riau). Danau

17
lainnya adalah Tondano pada tahun 2009, 2.849 unit KJA (Dhahiyat, 2011). Di
sisi lain, terjadi kecenderungan tidak terkendali, sehingga menimbulkan dampak
lingkungan terhadap perairan itu sendiri.
Karamba jaring apung sangat berkembang pesat di tiga waduk di Sungai
Citarum, yaitu Saguling (Kabupaten Bandung), Cirata (Kabupaten Bandung Barat,
Cianjur dan Purwakarta) dan Jatiluhur (Kabupaten Purwakarta), yang pada tahun
2001 ini sasaran produksi adalah 14.220,00 ton, pakan yang dilaporalkan
28.440.000 kg/musim tanam, dan mengendaphalaman 10). Menurut Dinas
Perikanan dan Kelautan Jawa Barat, jumlah KJA Jatiluhur 33.888 petak, padahal
daya dukung maksimum 2.100 petak, di Cirata 93.641 petak dari kapasitas 12.000
petak (paling luas dan jumlah petak terbesar KJA di Jabar), di Saguling 32.000
petak dari dukung 2.800 petak.
Pada tahun 2017 (Kompas, Rabu, 15 Februari 2017) potensi busidaya ikan
terancam hancur kematian ikan di Waduk Jatiluhur dan Cirata, hampir setahun
budidaya ikan serang virus sehingga mematikan hampir seluruh ikan. Kondisi
virus ikan, diperparah oleh kematian massal akibat umbalan (over turn), yakni
pergerakan massal ikan ke atas membawa serta limbah beracun yang mengendap
di dasar waduk sehingga mematikan seluruh ikan di KJA. Akibat adanya oper tern
(umbalan) biaya terjadi awal tahun akibat terus menerus di hulu S. Citarum,
sumber air waduk Cirata dan Jatiluhur. Budidaya ikan di Waduk Cirata dan
Jatiluhur, tidak terkendali sehingga menimbulkan pencemaran dam sedimen
tinggi. Kondisi, sangat merugikan para pihak, baik puluhan ribu pembudidaya
ikan mauoub PLTA Cirata dan Jatiluhur.
Peneliti pengelolaan sumberdaya perikanan dan ekonomi di Balai Riset
Pemulihan Sumberdaya Ikan, menyebut tingginya kandungan nitrogen (N) dan
fosfor (P) dari pakan memicu kenaikan kategori subur sampai amat subur
(eutrofik-hipereutrofik) tanaman air dan fitoplankton, sehingga mutu air dan
ekosistem periran menurun (Nurfiarini, 2020/Kompas 2020). Seperti
dikemukakan sebelumnya, dampak lingkungan yang terjadi akibat tak
terkendalinya jumlah jaring apung di suatu waduk, adalah kualitas air waduk itu
sendiri, akibat sisa pakan dan sisa metabolism ikan itu sendiri. Dilaporkan bahwa
kematian ikan massal adanya pembalikan/umbalan massa air (overturn) di
Saguling dan Cirata pada tahun 1997 adalah masing-masing sebanyak 809,70 ton
dan 209,30 ton dengan kerugian masing-masing sebesar Rp. 3,90 milyar

18
(Koswara, 1999). Pada tahun 2011 KJA di Waduk Cirata sekitar 56.000 unit, dan
pada 2017 sekitar 77.000 unit (PPSDAL, 2017), sedangkan di Danau Maninjau
pada tahun 1997 2000 an unit- tahun 2008, 16.000 unit (Badrudin dan Dhahiyat,
2008). Walaupun kematian ikan ini bukan semata-mata akibat dari limbah
perikanan, akan tetapi termasuk limbah yang masuk ke luar ke dalam waduk.
Oleh Karena itu diperlukan upaya penanggulangan antara lain pengaturan jumlah
KJA pada suatu waduk sesuai dengan luasan waduk, tata letak KJA, jarak antar
KJA, jenis pakan (melayang/terapung) yang diberikan, pergiliran waktu tanam
ikan serta pengelolaan dari luar waduk itu sendiri antara lain pengelolaan DAS,
penggunaan IPAL pada suatu industri, pengolahan limbah domestik penduduk
Kota Bandung. Mengenai kematian ikan di Saguling, Cirata, Jatiluhur. Jenis juga
laporan Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purwakarta, data produksi
turun pada tahun 2016-2018, tital produksi 63.290 ton pada tahun 2016, turun
pada 2017 sebesar 58.396 ton dan 53.390 ton tahun 2018. Hal ini adanya
penertiban KJA dan kematian massal ikan.
Danau Maninjau akan dijelaskan selanjutnya, adanya kematian sampai
tahun 2008- 2016, mencatat periode 2008-2016, 32.803 ton (Kompas,
2/10/2016). Pada Januari-Agustus 2016, jumlah ikan mati di Danau Maninjau
mencapai 620 ton. Sementara Kompas 1/11/1997, ikan mati 950 ton. Pada tahun
2020 (Kompas, 7/2/2020), hari Jumat jumlah ikan mati mencapai 79,5 ton.
Sebagian besar ikan mati merupakan jenis ikan nila dan ikan mas Majalaya.
Kematian ikan di Danau Maninjau kembali terulang, yaitu di Kecamatan Tanjung
Raya, Kabupaten Agam di Provinsi Sumatera Barat, akibat badai di Danau
Maninjau yang membuat belerang, limbah ikan pakan, dan sampah rumah tangga
terangkat ke permukaan, akibat ikan kekurangan oksigen. Kondisi itu diperparah
oleh terlalu oleh terlalu banyaknya jumlah KJA di Maninjau dan jumlah ikan
karamba yang melampaui kapasitas, Idealnya, jumlah KJA di danau tersebut
hanya 6.000 unit dan jumlah ikan KJA ukuran 5 m x 5 m, sebanyak 3.000-4.000
ekor. Dewasa ini, jumlah KJA mencapai 16.000 petak, atau sekitar jumlah ikan
KJA sampai 12.000 ekor. Kerugian pemilik KJA Danau Maninjau dengan jumlah
79,5 ton ikan, diperkirakan Rp.1,55 miliar atau harga ikan nilai saat Rp. 19.500/
kg (Kompas, 11 Februari 2020, halaman 16).
Pada tahun 2018 (Kompas, Jumat 24 Agustus 2018), sebanyak 180 ton
ikan mas dan ikan nila budidaya mati massal di KJA di Danau Toba, Kecamatan

19
Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Kematian ikan diduga karena
oksigen terlarut air berkurang dan naiknya limbah pakan ke permukaan. Pada
tahun 2016, kematian ikan massal, penyebab, kandungan oksigen berkurangg dan
naiknya limbah ke permukaan. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumut
No. 188.34/213/KP-TS/2017, daya dukung dan daya tampung lingkungan
produksi ikan budidaya di Danau Toba ditetapkan 10.000 ton per tahun. Saat ini
produksi sekitar 50.000 ton per tahun. Pemangkasan produksi akan dilakukan
secara bertahap agar melebihi daya dukung lingkungan.

Hasil Kajian Daya Dukung Budidaya Ikan di Danau/Waduk di Indonesia


Daya Dukung (ton/
Danau/Waduk Produksi (ton/tahun)
tahun)
Juanda /Jatiluhur 5.676 52.102
(Jabar)
Cirata (Jabar) 5.967 35.359
Saguling (Jabar) 3.074 5.919
Darma/Kuningan 651 4.000
(Jabar)
Wonogiri (Jateng) 14.673 5.445
Wadas Lintang (Jateng) 4.439 4.179
Kota Panjang (Riau) 27.929 3.240
Danau Maninjau 1.080 2.702
(Sumbar)
Danau Toba (Sumut) 50.000 75.559

Intensifikasi Perbenihan Ikan


Benih merupakan komponen yang penting dalam usaha budidaya ikan.
Untuk menghasilkan benih yang unggul/berkualitas diperlukan induk yang
unggul pula. Selain induk diperlukan yang lain misalnya pakan, pupuk, kapur dan
pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit ikan. Sebagai gambaran di
Jawa Barat untuk budidaya perikanan perlu dihasilkan benih sekitar
3.332.606.000 ekor per tahun yaitu benih ikan mas, nila, lele, dan gurame.

20
Perikanan Laut
Potensi perikanan laut Indonesia atau potensi sumberdaya hayati ikan di
laut sebagian besar (53,6%) berada di Kawasan Indonesia Timur, yaitu di perairan
Irian Jaya dan Maluku (30,9%) dan perairan sekitar Kalimantan dan Sulawesi
(22,7%). Potensi lainnya berada di wilayah zone ekonomi ekslusif samudra
Hindia, Laut China Selatan dan Samudra Pasifik. Apabila dilihat dari kuantitasnya
potensi lestari sumberdaya ikan di laut Indonesia diperkirakan mencapai 7,7 juta
ton, yang terdiri dari potensi perairan wilayah sekitar 4,4 juta ton dan perairan
ZEEI sekitar 3,3 juta ton per tahun. Sedangkan dari jenis ikannya, potensi
sumberdaya perikanan laut terdiri dari ika pelagis 4,04 juta ton/tahun, ikan
demersal 1,59 juta ton/tahun, cakalang 0,3 juta ton/tahun, tuna 0,18 juta ton/
tahun, udang 0,11 juta ton/tahun dan jenis komoditas lainnya sekitar 0,50 juta
ton/tahun (Mardjijo, 1998).
Volume ekspor hasil perikanan meningkat dari 545,371 ton menjadi
606.890 ton atau naik rata-rata sebesar 5,49% per tahun. Komoditas ekspor
perikanan sampai sekarang ini yang terbesar adalah uang (60%), tuna/cakalang
(14%), komoditas ikan laut lainnya (14%). Selain itu prospek hasil perikanan
yang cukup baik adalah rumput laut, ikan hias, kerupuk udang. Adapun Negara
tujuan ekspor hasil perikanan yang utama adalah Jepang, Hongkong, Korea
Selatan, Singapura, Thailand dan Amerika Serikat (Murdjijo, 1998).

Kendala Dan Tantangan


Walaupun volume ekspor meningkat, budidaya ikan air tawar meningkat
yang diikuti dengan peningkatan produksi perikanan, serta adanya peningkatan
konsumsi ikan, akan tetapi menurut Murdjijo (1998) masih banyak kendala dan
tantangan untuk pengelolaan hasil perikanan yang lebih baik di masa mendatang,
antara lain meliputi:
1. Usaha perikanan di Indonesia masih termasuk usaha perikanan dengan skala
kecil dengan tingkat pendidikan, keterampilan SDM yang masih rendah,
penguasaan teknologi dan modal yang terbatas.
2. Tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan yang tidak merata, di perairan
Kawasan Timur Indonesia, perairan lepas pantai dan perairan ZEEI relatif
belum dimanfaatkan. Pemanfaatan sumber daya perikanan intensif di daerah
pantai yang padat penduduknya.

21
3. Pemanfaatan sumber daya perikanan tidak berwawasan lingkungan misalnya
penggunaan bahan peledak atau racun, pengambilan terumbu karang serta
pelanggaran dan penyimpangan lainnya.
4. Masih terbatasnya prasarana perikanan, misalnya pelabuhan perikanan,
pangkalan pendaratan ikan dan saluran tambak.
5. Penanaman modal disektor perikanan dianggap berisiko tinggi, sehingga
banyak bank tidak mau membiayai usaha perikanan.
6. Terbatasnya kemampuan dalam penanganan pascapanen, sehingga tidak
dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh Negara tujuan ekspor.
7. Beberapa kendala dalam pemasaran yaitu: a) Pola produksi belum
berorientasi pasar, b) Kualitas produksi belum bermutu tinggi, c) Struktur
pasar yang panjang, sehingga konsumen harus menanggung biaya, dan d)
Kurangnya fasilitas penyimpanan hasil perikanan sehingga tidak dapat
meredam fluktuasi harga musiman.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Demikian pula
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan,
telah memperhatikan UU No. 4/1982. Oleh karena itu pembangunan pertanian
umumnya khususnya perikanan telah berwawasan lingkungan. Demikian juga
halnya pada UU RI No. 9/Tahun 1985, yang berhubungan dengan lingkungan
hidup antara lain Bab III (Pengelolaan sumber daya ikan), pasal 3 ayat 2, pasal 4
ayat 5 (pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan
sumber daya ikan serta lingkungannya, pasal 6 ayat 1, pasal 7 ayat 1 (dilarang
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumber
daya ikan dan/ atau lingkungannya. Beberapa pencemaran, budidaya ikan di
waduk melalui PP 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air, UU No.1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup No. 17/2009 tentang Pedoman Penentuan Daya
Dukung Lingkungan Hidup, dan UU No. 12/2012 tentang pangan.
Pembangunan perikanan khususnya yang berwawasan lingkungan telah
merupakan suatu keharusan. Hal ini didukung juga dengan berbagai peraturan

22
perundangan dan juga merupakan visi dan misi pemerintah. Walaupun demikian
yang paling penting adalah pelaksanaannya di lapangan. Karena pada
kenyataannya kadang-kadang dapat bertolak belakang antara konsep dan
pelaksanaan, sehingga diperlukan komitmen berbagai pihak baik itu pemerintah,
pihak swasta termasuk petani nelayan itu sendiri untuk melaksanakan
pembangunan perikanan yang berwawasan lingkungan ini. Kematian ikan
beberapa danau dan waduk misalnya di Danau Toba, Danau Maninjau, Waduk
Saguling, Cirata, Jatiluhur dan Darma serta waduk-waduk yang ada di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Sedemikian jumlah KJA, ideal luasan danau dan waduk.
Jangan sampai kematian ikan akibat oksigen turun, dan kematian ikan ataupun
serang virus sehingga mematikan hampir seluruh ikan. Kerugian beberapa di
danau dan waduk jumlah ratusan miliar, masyarakat agar berubah jumlah terlalu
banyak. Walaupun KJA masih menguntungkan budidaya ikan Majalaya dan nila di
waduk dan danau.

23
TANTANGAN DAN PELUANG INDUSTRI
PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN DI INDONESIA

Junianto
Guru besar Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Departemen Perikanan, Universitas
Padjadjaran

I
ndustri pengolahan hasil perikanan di Indonesia memiliki peran nyata dalam
ikut serta mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang marata
material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Industrialisasi pengolahan hasil perikanan harus menjadi objek kegiatan utama di
sektor perikanan dalam penanganan dan pengembangannya. Penanganan industri
pengolahan hasil perikanan hendaknya dilakukan dengan baik dan benar, begitu
pula dengan arah pengembangannya. Produk yang dihasilkan dari industri
pengolahan hasil perikanan tersebut haruslah berkualitas tinggi, aman, dapat
ditelusuri baik terhadap bahan baku dan prosenya, serta kompotitif dalam nilai gizi
dan harga jualnya.
Peran nyata industri pengolahan hasil perikanan adalah peningkatan
konsumsi protein masyarakat, peningkatan nilai tambah produk hasil perikanan,
dan penyebaran produk hasil perikanan. Peran nyata industri pengolahan hasil
perikanan tersebut berefek domino terhadap kesehatan dan kecerdasan
masyarakat, tingkat pendapatan masyakat perikanan dan devisa negara serta
pemerataan hasil produk perikanan.
Kenyataan yang dihadapi saat ini oleh industri pengolahan hasil perikanan
di Indonesia memiliki banyak tantangan atau problem disamping peluang yang
ada. Tantangan untuk industri pengolahan ikan di Indonesia antara lain: (1)
Terjadinya kelangkaan bahan baku sehingga ada persaingan yang sangat ketat
dalam mendapatkan bahan baku ikan segar. (2) Masih adanya persepsi negatif
masyarakat lokal terutama internasional atas penggunaan bahan pengawet yang
tidak aman pada produk olahan hasil perikanan. (3) Kurang optimalnya utilisasi
kapasitas produksi terpasang. (4) Sebagian besar unit pengolahan ikan di
Indonesia belum menerapkan produksi yang baik yang mengacu pada standar
nasional maupun internasional seperti Standar Nasional Indonesia (SNI), Good

24
Manufacturing Process (GMP) dan CODEX yaitu badan antar pemerintah yang
bertugas melaksanan Joint Food and Agriculture Organization (FAO)/World
Health Organization WHO Food Standard Programme (program standar pangan
FAO/WHO). (5) Sumber daya manusia (SDM) yang bergerak disektor pengolahan
masih terbatas dalam kualitas. (6) Sarana dan prasana yang dimiliki oleh unit
pengolahan ikan (UPI) sebagian besar masih sangat sederhana dan tradisional. Dan
terakhir (7) Adanya isu-isu lingkungan seperti pencemaran badan perairan oleh
logam berat, lingkungan pengolahan yang tidak hieginis sehingga disenarai adanya
histamin dan lain sebagainya.
Tantangan atau problem tersebut di atas tentu harus diselesaikan tidak
hanya oleh pemerintah tetapi juga pengusaha, akademisi, lembaga swadaya
masyarakat dan pihak-pihak yang terkait langsung dan tidak langsung dengan
industri pengolahan hasil perikanan. Keikut sertaan semua pihak untuk bersinergi
dalam mengatasi tantangan ini tidak hanya akan menyelesaikan masalah tetapi
juga akan terbagun pengembangan industri pengolahan hasil perikanan yang
berkelanjutan.
Kebijakan impor ikan untuk mengatasi ketersediaan bahan baku dalam
industri pengolahan hasil perikanan adalah langkah yang kurang pas. Langkah
tersebut hanya dapat mengatasi masalah sementara saja, tidak dapat menyentuh
akar permasalahan. Kebijakan tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah secara
tuntas, dikarenakan faktor potensi perikanan Indonesia dari segi luasnya wilayah
perairan, baik laut maupun darat. Ironis, wilayah perairan yang luas tetapi tidak
dapat menyediakan bahan baku untuk industri pengolahan ikannya.
Langkah yang dapat ditawarkan dalam mengatasi ketersediaan bahan baku
adalah perlunya penambahan kapal penangkap ikan yang bertonase 200 Gross Ton
(GT) lebih. Berdasarkan Data Statistik Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2018,
pada tahun 2016 Indonesia memiliki kapal penangkap ikan berukutan 200 GT
lebih hanya 11 kapal, berukuran antara 100 sampai 200 GT ada 847 kapal,
berukuran 50 – 100 GT ada 2.008 buah dan di bawah 50 GT ada 168.878 buah.
Sementara itu, kapal motor tempel dan kapal non motor yang nota bene hanya
memiliki kemampuan menangkap ikan sekitar bibir pantai jumlahnya jauh lebih
banyak lagi yaitu ada sekitar 372.101 buah. Dampak yang dirasakan dengan
komposisi keberadaan kapal penangkap ikan tersebut di atas adalah terjadinya
penangkapan lebih atau overfishing sekitar pantai saja, sedangkan potensi

25
sumberdaya ikan yang ada ditengah laut yang sangat melimpah dibandingkan
sekitar pantai tidak tertangkap secara optimal. Dampak lainnya adalah membuka
peluang terjadinya pencurian ikan atau illegal fishing oleh kapal-kapal asing.
Akibat lainnya adalah penanganan ikan kurang optimal sehingga banyak ikan hasil
tangkapan tidak layak sebagai bahan baku industri modern seperti pengalengan
atau pembekuan. Saat ini di masa pandemic covid 19, permintaan ikan kaleng
baik untuk pasar domistik maupun internasional meningkat tajam, dan permintaan
tersebut tak dapat dipenuhi seluruhnya karena ketersedian bahan baku baik dari
segi jumlah maupun kuantitasnya.
Peningkatan armada penangkap ikan yang berskala besar ini harus diikuti
dengan pemberian pelatihan teknik pengoprasian dan pemeliharaannya. Selain itu
pula harus dipenuhi sarana dan prasana pelabuhan untuk kapal-kapal berukuran
besar tersebut.
Selanjutnya terkait dengan tingkat kepercayaan konsumen yang rendah
terhadap produk olahan hasil perikanan, solusi yang dapat ditawarkan adalah
perlunya peningkatan pemberlakuan atau penerapan Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP) bagi unit pengolahan ikan (UPI) atau industri pengolahan ikan.
Pemberlakuan HACCP dalam UPI bertujuan untuk menjamin mutu dan keamanan
konsumen. Jika produk yang dihasilkan oleh UPI bermutu dan aman akan
meningkatkan kepercayaan konsumen sehingga akan terjadi peningkatan jumlah
produk terjual melalui peningkatan pembelian dan penambahan konsumen baru.
Penerapan HACCP tidak saja di UPI tetapi perlu juga dilakukan di pelabuhan
perikanan.
Penerapan atau pemberlakuan HACCP bagi UPI sudah dilakukan dan terus
dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Perikanan dan Kelautan jika
melihat peraturan-peraturan yang ada saat ini. Peraturan-peraturan tersebut adalah
1. CAC/RCP 1-1969-rev4 2003 General Principles of Food Hygiene;

2. SNI 19-19011-2005 Panduan Audit Sistem Manajemen Mutu dan atau


Lingkungan.

3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER19/MEN/2010


tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan;

4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.19/MEN/2010 tentang


Pengendalian Sistem Jaminan mutu dan Keamanan Hasil Perikanan;

26
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.25/MEN/2011 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan;

6. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.052A/MEN/2013


tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Pada
Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi;

7. Peraturan Presiden No. 57 Tahun 2015 tentang Sistem Jaminan Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan Serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil
Perikanan;
Berdasarkan laporan kinerja 2018 Direktorat Jenderal Penguatan Daya
Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan Perikanan,
dinyatakan telah mengeluarkan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) sebesesar
2872 buah, tentu ini untuk 2872 unit pengolahan ikan. Hal ini merupakan suatu
usaha yang sangat baik untuk memberikan jaminan perlindungkan terhadap
kesehatan konsumen yang akan mengkonsumsi produk perikanan. Namun jumlah
sebanyak itu jika dibandingkan dengan jumlah puluhan ribu UPI yang ada di
Indonesia tentu masih sangat kecil. Perlu kerja keras lagi. Upaya untuk mendorong
percepatan pemberian SKP adalah partisipasi aktif pengolahan yang diikuti dengan
pemberian motivasi, pendampingan dan pelatihan terhadap Standar Prosedur
Operasi Sanitasi dan Teknik Pengolahan yang Baik.
Utilisasi UPI di Indonesia masih belum optimal. Dilaporkan oleh Jenderal
Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan dalam kinerjanya pada
Tahun 2018 bahwa capaian utilitas unit pengolahan ikan baru mencapai 62,40%.
Persoalan terkait kurang optimalnya utilisasi kapasitas produksi terpasang UPI di
Indonesia dapat disebabkan beberapa faktor diantaranya pasokan bahan baku,
manejemen pengadaan bahan baku seperti pembayaran yang tidak lancer, dan lain
sebagainya. Pelarangan ekspor ikan utuh tanpa diolah adalah salah satu cara untuk
mengatasi persoalan rendahnya utilisasi UPI ini. Komoditas beberapa jenis ikan
yang banyak dibutuhkan sebagai bahan baku UPI di Indonesia sebaiknya dilarang
untuk diekspor utuh baik dalam keadaan hidup atau beku. Pemerintah dan pelaku
usaha pengolahan ikan bersinergi untuk membuat daftar komoditas perikanan apa
saja yang tidak boleh diekspor utuh tersebut. Ekspor ikan beku dan dalam keadaan
hidup dalam jangka pendek memang mudah dan memberikan margin keuntangan

27
baik tetapi dalam jangka panjang tidak memberikan nilai tambah yang maksimal
dan mematikan industri pengolahan dalam negeri.
Untuk menjawab tantangan atau persoalan berikut adalah perlu adanya
peningkatan pendidikan dan pelatihan atau perekrutan tenaga kerja yang memiliki
kompetensi sesuai dengan yang dibutuhkan. Tenaga kerja terdidik dan terlatih ini
dapat lahir dari lembaga-lembaga pelatihan dan pendidikan formal. Kerjasama
antara lembaga pemerintah, perguruan tinggi, yayasan dan perusahan sangat perlu
dilakukan untuk melahirkan tenaga kerja yang terdidik dan terlatih atau terampil.
Pendidikan dan pelatihan dapat berdampak terhadap peningkatan kualitas tenaga
kerja. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional saat ini sedang dan akan
meningkatkan jumlah pendididikan vakasionalnya. Semoga ini menjadi pintu
penyediaan tenaga kerja yang berkualitas. Ketersediaan tenaga kerja tidak hanya
kuantitasnya yang harus diperhatikan tetapi juga kualitasnya. Tenaga kerja yang
berkualitas dapat mendorong terciptanya produk yang memiliki daya saing tinggi.
Selanjutnya penting juga adanya peningkatan sarana dan prasarana di
tempat-tempat pendaratan ikan yang berkaitan dengan rantai dingin. Pelabuhan-
pelabuhan pendaratan ikan dan tempat pelelangan ikan (TPI) perlu dilengkapi
dengan tempat pembekuan ikan atau cold storage, pabrik es atau penyalur es batu,
penyediaan air bersih yang cukup dan penyediaan motor atau mobil berpendingin.
Pasokan listrik yang optimal untuk daerah pelabuhan dan TPI perlu terus dijaga,
begitu pula dengan keberadaan jalan yang mulus dan sinyal yang kuat sangat
penting adanya.
Ikan dan hasil perikanan lainnya sebagaimana diketahui cepat mengalami
kerusakan bakteriologis, fisik dan kimia. Oleh karena itu, penurunan suhu tubuh
ikan sesegera mungkin dapat mempertahankan kesegaran semaksimal mungkin
sampai ikan tersebut diolah. Kesegaran ikan sebagai bahan baku pengolahan
sangat berpengaruh sekali terhadap mutu atau kualitas produk yang akan
dihasilkan. Mutu produk pengolahan ikan merupakan salah satu parameter yang
berpengaruh terhadap besarnya nilai tambah yang akan diperoleh.
Tantangan yang terjadi pada sektor pengolahan hasil perikanan yang terkait
dengan isu lingkungan tidak dapat diselesaikan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan saja, Penolakan produk perikanan di luar negeri yang hampir terjadi
setiap tahun adalah merkuri. Logam berat ini adanya di produk perikanan
sumbernya berasal dari badan perairan dimana ikan atau komoditas perikanan itu

28
ditangkap. Merkuri yang ada dalam badan perairan disebabkan limbah industri
yang dibuang langsung ke laut tanpa treatmen (pengolahan limbah). Jadi,
usulannya agar tidak terjadi pembuangan limbah industri ke laut adalah kerjasama
antar semua pihak yaitu kementerian perindustrian, penegak hukum dan
pengusaha atau industrian perlu dilakukan dan disinergikan.
Disamping problem yang ada dan perlu untuk diselesaikan, industri
pengolahan ikan di Indonesia memiliki banyak peluang untuk terus maju dan
berkembang. Peluang tersebut adalah masih terbuka luasnya pasar domestik,
permintaan produk olahan yang siap saji, ketersediaan tenaga kerja secara
kuantitatif melimpah dengan upah yang bersaing dan dukungan pemerintah
terhadap industri pengolahan produk hasil perikanan.
Pasar domestik dan ekspor bagi produk olahan ikan untuk saat ini dan
masa-masa yang akan datang masih terbuka luas dan terus meningkat.
Keterbukaan pasar untuk produk olahan ikan ini dapat disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan kesadaran manusia akan bahan
pangan yang bernutrisi dan tidak membahayakan kesehatan.
Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 268 juta jiwa pada tahun
2019 merupakan pasar yang amat besar bagi penyerapan produksi industri
pengolahan hasil perikanan untuk pasar domestik. Produk olahan ikan merupakan
produk pangan yang menyediakan kebutuhan nutrisi manusia yang penting untuk
pertumbuhannya. Nutrisi penting tersebut adalah protein, lemak, mineral, dan
vitamin. Protein ikan menyediakan asam amino esensial lengkap yang sangat
penting untuk pertumbuhan manusia. Asam lemak pada ikan berupa asam lemak
omega3, 6 dan 9 yang sangat penting untuk proses pertumbuhan, imunitas dan
perkembangan sel-sel syaraf termasuk sel otak dan retina. Mineral yang banyak
dikandung oleh ikan adalah iodium, kalsium dan besi, sedangkan vitamin yang
banyak dikandung adalah vitamin A dan D. Mengingat besarnya peranan gizi bagi
kesehatan, ikan merupakan pilihan tepat untuk diet di masa yang akan datang.
Kesadaran dalam mengkonsumsi ikan dapat dilihat dari adanya peningkatan
konsumsi ikan di Indonesia yang tiap tahunnya terus meningkat. Konsumsi ikan
oleh penduduk seluruh dunia juga diperkirakan akan terus meningkat.
Permintaan akan produk olahan pangan termasuk olahan hasil perikanan
siap saji saat ini dan masa depan akan terus meningkat. Hal ini sejalan dengan
pola perubahan kehidupan sosial masyarakat, dimana banyak wanita yang berperan

29
ganda baik sebagai ibu rumah tangga maupun pencari nafkah yang bekerja diluar
rumah sehingga mereka memerlukan produk olahan pangan siap saji. Selain itu,
kecenderungan bertambahnya jumlah keluarga kecil dalam rumah tangga juga
mendorong permintaan olahan pangan siap saji, karena umumnya mereka lebih
suka untuk membeli produk “pangan jadi” daripada memasak.
Peluang yang lain dalam industrialisasi pengolahan hasil perikanan di
Indonesia adalah ketersedian tenaga kerja yang cukup banyak. Hasil Sensus
Penduduk 2019 jumlah penduduk Indonesia dapat dipastikan telah menjadi sekitar
268 juta jiwa. Jumlah penduduk yang besar ini telah membawa Indonesia
menduduki posisi ke-4 sebagai negara dengan penduduk terbesar di dunia setelah
China, India, dan Amerika Serikat Usia produktif menurut beberapa sumber
literature diperkirakan sebesar 55 persen dari jumlah penduduk saat ini yang
merupakan usia yang diperbolehkan bekerja.
Pemerintah memberikan dukungan yang sangat berarti dalam mendorong
pertumbuhan industri pengolahan hasil perikanan di Indonesia melalui berbagai
kebijakan, perundangan-undangan dan peraturan pemerintah yang telah dibuat.
Gemar makan ikan merupakan salah satu kebijakan dalam meningkatkan industri
pengolahan ikan. Ikan akan lebih dapat digemari untuk dikonsumsi jika melalui
suatu proses pengolahan. Selanjutnya dalam peraturan pemerintah No. 28 tahun
2008 tentang kebijakan industri nasional yang menetapkan industri pengolahan
sebagai industri prioritas. Kebijakan pemerintah dalam penguatan industri
pengolahan hasil perikanan adalah mengendalikan ekspor ikan dalam keadaan
utuh. Selain itu pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden No. 7 tahun
2017 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan dan Peraturan Presiden
No. 3 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri
Perikanan Nasional”.

Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan. 2019. Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk
Kelautan dan Perikanan (Ditjen PDSPKP) Tahun 2018. Jakarta.
Irawati H, Kusnandar F, dan Kusumaningrum H D. 2019. Analisis Penyebab Penolakan Produk
Prikanan Indonesia oleh Uni Eropa Periode 2007 – 2017 Dengan Pendekatan Root Cause
Analysis. Jurnal Standardisasi Volume 21 (2) : 149 – 160.
Junianto. 2016. Manajemen Industri Hasil Perikanan. Unpad Press, Bandung

30
Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2019. Kelautan dan
Perikanan dalam Angka Tahun 2018. Jakarta.
Wijaya D, Mandey S dan Sumara J S B. 2016. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Ikan
pada PT. Celebes Mina Pratama Bitung. Jurnal EMBA, Volume 4 (2) : 578-591.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_jumlah_penduduk).

31
PENGEMBANGAN HABITAT BUATAN UNTUK
PENINGKATAN DAN KETERSEDIAAN IKAN
BERKEL ANJUTAN BERBASIS PARTISIPATORI
M A S YA R A K A T N E L AYA N

Dedi Supriadi
Manajemen Sumberdaya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Perikanan dan
Kelautan, Universitas Padjadjaran

Pendahuluan

U
saha perikanan tangkap merupakan salah satu usaha sektor perikanan
yang berpotensi dalam pembangunan makro dan mikro ekonomi
bangsa. Usaha perikanan tangkap nasional masih dicirikan oleh
perikanan tangkap skala kecil. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan
perikanan tangkap di Indonesia yang masih didominasi oleh usaha perikanan
tangkap skala kecil yaitu sekitar 96%, dan hanya sekitar 4% dilakukan oleh usaha
perikanan skala yang lebih besar (Ditjen Tangkap, 2012). Pembangunan perikanan
tangkap pada hakekatnya ditujukkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, khususnya nelayan dan sekaligus untuk menjaga kelestarian
sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Perairan Laut Jawa dan Selat Malaka merupakan perairan yang telah
mengalami lebih tangkap (over exploited) dan di perairan ini pula merupakan
sentra aktivitas nelayan tradisional maupun industri. Penggunaan alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan
terhadap sumberdaya perikanan, tidak terkecuali rajungan. Kecendrungan
masyarakat nelayan untuk memaksimalkan hasil tangkapan dengan menggunakan
alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti arad (mini Trawl), garok (dredge)
dan pukat appolo (mini trawl) akan menimbulkan permasalahan terhadap
penurunan stok diperairan.
Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu contoh peran dari Rukun
Nelayan Himpunan Nelayan Cangkol Tengah (HNCT) Kota Cirebon, yang dalam
hal ini ikut berpartisipasi dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan dengan
melestarikan sumberdaya hayati perairan adalah mendukung dan memfasilitasi

32
melalui program perbaikan habitat dengan cara mengembangkan habitat buatan
(rumpon dasar dan rumah ikan) berfungsi sebagai alat bantu mengumpulkan ikan
atau gerombolan ikan, juga sebagai tempat konservasi sumberdaya ikan serta
diimbangi dengan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, seperti
pancing ulur (hand line) dan pancing ulur berjoran (stick hand line). Partisipasi
menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah observasi kegiatan dalam riset,
berupa pengamatan yang aktif dan turut serta dalam kehidupan lapangan atau
objek yang diamati atau turut berperan serta dalam suatu kegiatan (https://
kbbi.web.id/partisipasi). Desain dan konstruksi yang dipakai rumah ikan
berbentuk seperti appartemen dari bahan partisi plastik, sedangkan rumpon dasar
biasanya untuk bahan yang menggunakan beton, desainnnya berbentuk kubus,
sedangkan yang menggunakan, bambu dan ban bekas desainnya berbentuk
pyramid.

Alasan Pentingnya Usaha Tersebut Dikembangkan


Beberapa alasan pentingnya dalam rangka Pengembangan Habitat Buatan
Untuk Peningkatan dan Ketersediaan Ikan yang Berkelanjutan Berbasis
Partispatori Masyarakat Nelayan adalah: 1) Meningkatnya produktifitas nelayan
dalam mencari ikan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan, 2)
Meningkatkan hasil produksi perikanan tangkap di Kota Cirebon, 3)
Meningkatkan mutu hasil ikan yang didaratkan, 4) Keberlanjutan usaha
penangkapan ikan, dan 5) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para
nelayan. Selain itu manfaat yang dapat dirasakan baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang diantaranya adalah 1) Melestarikan sumberdaya ikan
yang ada dengan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan, 2) Terciptanya
wisata mancing (eko-wisata), 3) Menciptakan Lapangan Pekerjaan, dan 4).
Penerapan konsep ekonomi biru (blue Economy) yaitu : Biologis, Ekologis,
Ekonomis dan Sosial.

Permasalahan Kegiatan Penangkapan Ikan yang dihadapi


Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Cirebon telah
mengalami fully exploited. Tingkat pemanfaatan ikan demersal yang fully exploited
tersebut terjadi pada jalur 1 (0 – 4 mil), dimana nelayan skala kecil banyak
beroperasi. Peningkatan upaya penangkapan ikan pada jalur tersebut akan

33
semakin menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya ikan demersal di
perairan Cirebon. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang masih terbuka adalah pada
jalur 2 dan 3, yang berdasarkan keragaman ikan demersal ditemukan lebih tinggi
dibandingkan jalur penangkapan yang relatif pendek (jalur 1). Selain itu adanya
kecenderungan masyarakat nelayan untuk memaksimalkan hasil tangkapan
dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti arad (mini
Trawl), garok (dredge) dan pukat appolo (mini trawl) akan menimbulkan
permasalahan terhadap penurunan stok diperairan.

Kontribusi dan Solusi yang dilakukan


Pemanfaatan sumberdaya optimal dan berkelanjutan memiliki arti bahwa
pemanfaatan sumberdaya tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan
kemampuan pulihnya untuk memenuhi kebutuhan saat kini tanpa mengabaikan
kepentingan generasi mendatang, agar pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir
dan lautan dilakukan secara optimal yang mampu menjamin pengelolaan secara
optimal dan berkelanjutan harus melibatkan semua sektor yang memiliki
kepentingan terhadap sumberdaya laut. Sehingga tujuan akhir dari penerapan
kebijakan yang bertumpu pada peningkatan pendapatan nelayan dan kelestarian
sumberdaya ikan yang berkelanjutan dapat dicapai. Kegiatan di masyarakat
nelayan ini terus dilakukan dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan dengan
melestarikan sumberdaya hayati perairan, yaitu mendukung dan memfasilitasi
melalui program perbaikan habitat dengan cara mengembangkan habitat buatan
(rumpon dasar dan rumah ikan) berupa rumpon karena berfungsi sebagai alat
bantu mengumpulkan ikan atau gerombolan ikan (Fish Agregating Device) dan
Rumah Ikan (Fish Appartement) serta diimbangi dengan penggunaan alat tangkap
yang ramah lingkungan, seperti pancing ulur serta penggunaan teknologi Global
Positioning System (GPS). Rumpon dasar dan rumah ikan memiliki perbedaan
dalam penempatan dan pengelolaannya, yaitu : rumpon dasar adalah bangunan di
dasar perairan yang berfungsi sebagai alat bantu pengumpul ikan dalam operasi
penangkapan ikan yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
operasi penangkapan ikan; pada areal rumpon dasar boleh dilakukan operasi
penangkapan ikan, rumpon dasar dipasang di perairan yang mempunyai dasar
perairan berupa lumpur, pasir, berbatu; Rumpon dasar tidak boleh dipasang pada
areal perairan karang. Rumah ikan adalah : bangunan di dasar perairan yang

34
berfungsi sebagai areal pemijahan dan asuhan anak ikan (larva dan juvenil) yang
bertujuan untuk meningkatkan produktivitas perairan/sumberdaya ikan; pada
areal rumah ikan tidak boleh dilakukan aktivitas penangkapan ikan; rumah ikan
dipasang di perairan yang mempunyai dasar perairan berupa lumpur, pasir,
lumpur berpasir, berbatu; rumah ikan dipasang di areal spawning dan nursery
ground.
Pengembangan program ini terus dilakukan dan pada tahun 2012 untuk
tetap menjaga Kelestarian Sumber Daya Ikan yang ada dengan kontribusi dan
solusi, yaitu : 1) Meningkatnya produktifitas nelayan dalam mencari ikan melalui
penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, 2) Terjaganya kelestarian
sumber daya ikan, 3) Meningkatkan mutu hasil ikan yang didaratkan, 4)
Keberlanjutan usaha penangkapan ikan, dan 5) Meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan para nelayan. Melalui pemberdayaan masyarakat nelayan dengan
pengembangan rumpon dasar dan rumah ikan diantaranaya adalah terkait 4
(empat) aspek yang sangat berperan dalam suatu kegiatan usaha penangkapan
ikan, diantaranya: 1) Biologis: mempertahankan target species pada level yang dapat
menjamin produksi yang berkesinambungan (continued productivity), 2) Ekologis:
meminimalisir dampak fisik pada lingkungan, non-target (bycatch), serta associated
and dependent species, 3) Ekonomis: memaksimalkan pendapatan nelayan, dan 5)
Sosial (termasuk aspek politik dan budaya): menciptakan kesempatan kerja.

Karakteristik Usaha Nelayan: Kondisi Usaha Penangkapan Ikan dan Volume


Usaha
Kondisi usaha penangkapan ikan di Kampung Nelayan Cangkol, mereka
mengoperasikan sarana penangkapan dengan perahu motor tempel (PMT)
berkapasitas 2-5 GT dan kekuatan mesin 20-24 DK berjumlah 40 Perahu Motor
Tempel (PMT). Adapun alat penangkapan dan alat bantu penangkapan ikan yang
biasa digunakan oleh Nelayan Cangkol Tengah dalam kegiatan usaha penangkapan
ikan adalah pancing ulur berjoran dan tidak berjoran dengan pemanafaatan
habitat buatan (rumpon dasar dan rumah ikan) dengan pemanfaatan teknologi
GPS.

35
Teknologi Yang Digunakan Dalam Proses Produksi Dan Pasca Panen
Teknologi yang digunakan dalam kegiatan usaha penangkapan tersebut,
meliputi beberapa peralatan diantaranya adalah :
a. Rumpon dasar/ Rumah Ikan dengan struktur semen cor bentuk kubus dengan
dilengkapi tiang bambu dan daun kelapa (blarak), sebagai alat bantu
penangkapan ikan dan upaya perbaikan ekosistem. Sedangkan rumah ikan dari
bahan partisi plastik mempunyai tinggi sekitar 2 meter. Ukuran rumpon dasar
adalah : P : 80 cm, L : 80 cm, T : 100 cm dan Tebal Lis : 10 cm dilengkapi
dengan sebanyak 4 buah dengan panjang @ 200 cm dan Daun Kelapa (Blarak)
sebanyak 4 buah.
b. Rumpon dasar terbuat dari bambu-bambu berbentuk rumah dan pyramid yang
diatur ukurannya. Ukuran tinggi rumpon ± 1 m, lebarnya ±1 m, dan dalam
bembuatannya memerlukan 9 bambu dengan ukuran 1 m dan 2 bambu
dengan ukuran 40 cm, pelengkap lainnya dalam pembuatan rumpon bambu
adalah daun pelepah kelapa sebanyak 4 buah yang diikatkan pada bagian
rumpon bambu dan pemberat dari batu kali.
c. GPS yang berfungsi sebagai penentu arah, dan posisi kapal. Pancing Ulur
Berjoran (Stick Hand line), yaitu berupa rangkaian joran dengan panjang
berkisar 1- 2 meter yang dilengkapi dengan tali senar dan pancing, serta diberi
umpan biasanya udang hidup.
d. Perahu nelayan yang biasa digunakan untuk nelayan kecil adalah berbahan
dasar kayu jati dengan Panjang (LOA) 8 – 10 m, Lebar (B) 2,50 – 3 m, Tinggi
(D) 0,85 – 1,25 m dan draft (d) 0.75 – 1,25 m serta menggunakan mesin
motor tempel berkekuatan 20- 25 DK.

36
Rumpon Dasar/ Rumah Ikan Bahan Kubus Beton, b. Pemikat (Attractor) Berupa
Daun Kelapa c. Jenis dan Macam GPS Milik Rukun Nelayan Cangkol Tenga, d. Perahu
Motor Tempel (PMT) Milik Nelayan Cangkol, e. Rumah Ikan Bahan Partisi Plastik, f.
Rumpon Dasar Bentuk Rumah/Piramida Bambu g. Pancing Ulur Berjoran (Stick Hand
line)

Strategi Pemasaran Hasil Usaha Nelayan Yang Dikembangkan


Jenis ikan hasil tangkapan nelayan Cangkol sebagian besar adalah ikan
demersal dan sedikit ikan pelagis yang didaratkan di PPI Cangkol. Hasil

37
tangkapan dijual dalam kondisi segar, target pemasarannya selain di Kota Cirebon
juga sebagian besar di luar Kota Cirebon seperti Jakarta dan kemudian dapat di
ekspor. Hasil tangkapan jenis-jenis Ikan demersal di sekitar rumpon dasar yang
diperoleh Nelayan Cangkol Tengah tiap harinya dapat mencapai 20-50 kg per
perahu dengan harga jual per kg sebesar Rp.40.000.- sampai dengan Rp.55.000,-.
Pedagang pengumpul ini dilakukan langsung oleh pengurus Rukun Nelayan yang
ada, sehingga harga adalah mengikuti harga pasar yang berlaku, untuk selanjutnya
dikumpulkan dan dipasarkan dalam bentuk ikan segar (fresh fish).

Permodalan Usaha Nelayan


Nelayan Kampung Cangkol dalam mengalokasikan waktu melautnya,
sangat di pengaruhi oleh musim/cuaca dan alat tangkap yang dimiliki.
Permodalan nelayan biasanya dari modal sendiri ataupun ada beberapa nelayan
yang meminjam dari perbankkan yang ada. Permodalan dibutuhkan nelayan
biasanya untuk biaya operasional melaut yang rata-rata berkisar antara
Rp.250.000,- sampai dengan Rp.300.000,- baik untuk membeli solar, umpan
udang hidup maupun ransum awak kapal. Selain itu, permodalan juga dibutuhkan
untuk biaya perawatan kapal, pembuatan rumpon dasar baru maupun
penambahan rumpon dasar yang sudah ada pada titik koordinat yang sama.

Keunggulan Usaha Nelayan


Keunikan/ Keunggulan Usaha Nelayan yang Dikembangkan
Peningkatan kualitas sumberdaya ikan serta Kelestarian lingkungan laut
yang dilakukan Rukun Nelayan Cangkol Tengah yang berbasis kearifan lokal
“dedi-dedi” memiliki keunikan dan keunggulan yang telah memberikan pengaruh
dan peran besar kepada Masyarakat Nelayan Cangkol Tengah untuk berperan aktif
dalam melestarikan lingkungan laut yang secara tidak langsung memberikan nilai
ekonomi biru. Hasil kajian teknis luasan area rumpon dasar dan rumah ikan
selama 15 tahun di Perairan Cirebon adalah 6.279 m2 dan memberikan
sumbangan biodiversity ikan demersal sekitar 7.075.500.000 ekor ikan. Konsep
kearifan lokal berbasis masyarakat nelayan dengan sebutan “dedi-dedi”
diantaranya memuat beberapa kesepakatan yang telah disepakati oleh masyarakat
nelayan Kampung Cangkol Tengah diantaranya adalah :

38
1. Dalam kegiatan penangkapan ikan tidak boleh menggunakan alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan, seperti : arad/pukat appollo (mini trawl) dan
garok (dradge). Untuk itu dalam kegiatan penangkapan ikan di sekitar rumpon
dasar menggunakan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan seperti pancing
ulur berjoran dan trammel net (pada saat musim udang).
2. Dalam pengembangkan rumpon dasar sebagai alat bantu penangkapan ikan
harus mematuhi ketentuan dan aturan yang ada serta berkoordinasi dengan
KUB, Rukun Nelayan, HNSI maupun Dinas terkait.
3. Dalam kegiatan penangkapan ikan baik nelayan ataupun pemancing (hobbies),
apabila mendapatkan ikan hasil tangkapan dengan bobot kurang dari 1 ons
(100 gram), maka harus/ wajib dilepas kembali (catch release), hal ini
dikecualikan bagi ikan-ikan yang memang memiliki bobot kecil seperti ikan
Kuniran (Upeneus sulphureus) dan jenis ikan demeral lainnya.
4. Dalam rangka keberlanjutan usaha penangkapan ikan dan kelestarian
sumberdaya ikan dan lingkungannya, maka anggota KUB wajib menyisihkan
dana dari hasil pendapatannya untuk pengembangan rumpon dasar dan
kegiatan sosial lainnya yang nilainya disepakati bersama.
5. Apabila ada nelayan/pemancing yang melanggar dalam ketentuan ini, maka
akan dikenakan denda yang besarnya berdasarkan kesepakatan yang telah
ditentukan oleh Rukun Nelayan Cangkol Tengah.

Inovasi Teknologi Baru yang Sedang Dikembangkan


Inovasi dari Himpunan Nelayan Cangkol Tengah (HNCT) memiliki inovasi
dan teknologi baru dalam pemberdayaan nelayan skala kecil dengan ukuran kapal
2-5 GT dalam bentuk komitmen terhadap tentang perlunya pemanfaatan habitat
buatan berupa rumpon dasar dan rumah ikan yang dikembangkan dengan
penggunaan pancing ulur berjoran serta penerapan teknologi GPS:
1. Dengan pemanfaatan rumpon dasar nelayan tidak perlu lagi memburu
(hunting) untuk usaha penangkapan ikan,
2. Penghematan biaya operasional melaut, dikarenakan adanya kepastian lokasi
penangkapan ikan (fishing ground),
3. Sebagai salah satu upaya perbaikan ekosistem dalam rangka usaha
penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (blue economy),

39
4. Mengurangi merajalelanya penggunaan alat tangkap yang merusak (destructive
fishing) seperti arad dan garok rajungan khususnya diperairan Utara Jabar,
5. Terciptanya habitat buatan dan peluang pengembangan wisata bahari dan
wisata mancing (eko wisata).

Hasil Dan Dampak


Hasil dan dampak dalam pelaksanaan pengembangan habitat buatan
berbasis partisipatori masyarakat nelayan yang telah dilaksanakan adalah dapat
terlihat dari beberapa aspek perubahan positif diantaranya adalah :
1. Aspek Sikap. Peningkatan aspek sikap berupa kualitas sumberdaya manusia dari
Rukun Nelayan Cangkol adalah adanya kesadaran untuk tetap menjaga
kelestarian sumberdaya ikan yang ada dengan menggunakan alat penangkapan
ikan ramah lingkungan dalam kegiatan usaha penangkapannya serta patuh
pada aturan yang telah ditetapkan.Salah satu Kelompok nelayan, yaitu di
Nelayan Cangkol Tengah Kota Cirebon yang tergabung dalam tergolong sebagai
nelayan tradisional yang masih bertahan dengan kearifan lokalnya yaitu
penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan dan sistem larangan
penangkapan ikan ukuran di bawah satu ons dengan ketentuan apabila
melakukan pelanggaran maka dikenakan denda yang telah disepakati oleh
Nelayan Cangkol Tengah, sebagaimana hasil uang denda akan digunakan untuk
keperluan rumah tangga Nelayan Cangkol Tengah. Peningkatan kualitas
sumberdaya manusia dari Rukun Nelayan selain dari mengikuti berbagai
Diklat/ Pelatihan Teknis yang diadakan Dinas KP3 Kota Cirebon maupun
UPTD BPTP dan PK Provinsi Jawa Barat, juga dari beberapa instansi terkait
yang berhubungan dengan ekonomi kenelayanan. Dampak peningkatan SDM
dan pendapatan Nelayan wilayah nelayan Kampung Cangkol telah menjadi
tempat kunjungan dari Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan
dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam pelatihan penyuluh
tingkat ahli dan terampil. Selain itu nelayan wilayah Kampung Cangkol sering
dijadikan tempat penelitian oleh beberapa mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi negeri dan swasta, seperti : Universitas Padjadjaran, Universitas
Diponegoro Semarang, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto,
Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon, Universitas Nahdlatul Ulama (UNU)
Cirebon.

40
2. Aspek Perilaku. Adanya perubahan perilaku untuk tetap menjaga kelestarian
sumberdaya perikanan yang ada dan menularkannya pada kelompok rukun
nelayan lain baik yang ada di Kota Cirebon maupun wilayah
lainnya.Perkembangan ini terus berlanjut wilayah Kampung Cangkol diwakili
oleh Rukun Nelayan Cangkol Tengah menerima kunjungan lapangan dan studi
banding tentang pengembangan rumpon dasar berbasis partisipasi masyarakat
dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2012,
Kunjungan Gubernur Jawa Barat dan menjadi lokasi Kampung percontohan
dalam kegiatan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) se-Jawa
Barat.

Praktek Pembuatan Rumpon Dasar oleh Pokmaswas Se-Jawa Barat

3. Aspek Fisik. Pengembangan rumpon dasar terus dilakukan oleh Kelompok


Rukun Nelayan Cangkol Tengah Kota Cirebon dengan berbagai modul yang
ada, baik anggaran dari : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas
Perikanan dan kelautan Provinsi/ Kota Cirebon, CSR, Swadaya masyarakat
nelayan dan para hobbies mincing mania.
4. Aspek Lingkungan. Pemanfaatan sumberdaya optimal dan berkelanjutan
memiliki arti bahwa pemanfaatan sumberdaya tersebut harus dilakukan
dengan memperhatikan kemampuan pulihnya untuk memenuhi kebutuhan
saat kini tanpa mengabaikan kepentingan generasi mendatang, agar
pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan dilakukan secara optimal
yang mampu menjamin pengelolaan secara optimal dan berkelanjutan harus
melibatkan semua sektor yang memiliki kepentingan terhadap sumberdaya
laut.Sehingga tujuan akhir dari penerapan kebijakan yang bertumpu pada
peningkatan pendapatan nelayan dan kelestarian sumberdaya ikan yang

41
berkelanjutan dapat dicapai.Peningkatan kualitas sumberdaya ikan serta
Kelestarian lingkungan laut yang dilakukan Rukun Nelayan Cangkol Tengah
yang berbasis kearifan lokal telah memberikan pengaruh dan peran yang besar
kepada Masyarakat Nelayan Cangkol Tengah untuk berperan aktif dalam
melestarikan lingkungan laut yang secara tidak langsung memberikan nilai
ekonomi biru. Hasil kajian teknis luasan area rumpon dasar dan rumah ikan
selama 15 tahun di Perairan Cirebon adalah 6.279 m2 dan memberikan
sumbangan biodiversity ikan demersal sekitar 7.075.500.000 ekor ikan.
5. Aspek Teknis. Melalui penggunaan dan pemanfaatan rumpon dasar sebagai alat
bantu pengumpul ikan dan upaya perbaikan ekosistem dengan penggunaan
alat tangkap pancing ulur berjoran serta penerapan teknologi satellite (Global
Positioning System) GPS bagi nelayan skala kecil Kota Cirebon merupakan
salah satu langkah kontribusi dalam peningkatan produksi penangkapan,
penghematan biaya operasional melaut, dan mengurangi penggunaan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing) khususnya di
Perairan Utara Cirebon dan umumnya di perairan Utara Jawa Barat. Dalam
rangka mengimplementasikan hal tersebut di atas, maka salah satu kontribusi
dari Pemerintah Kota Cirebon melalui anggaran APBD II dan APBD I telah
dilakukan uji coba penempatan rumpon dasar dari struktur yang berbeda-beda
dalam kurun waktu tahun 2006 dan 2008 dengan lokasi titik penempatan yang
berbeda pula yang telah dikoordinasikan dengan kelompok nelayan yang ada.
Selain itu dukungan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat
melalui Dana Dekon tahun 2012 berupa Program Rumah Ikan (Fish
Appartement) sebanyak 100 modul partisi plastic. Berdasarkan masukan dari
kelompok nelayan yang ada, maka untuk selanjutnya akan dikembangkan jenis
rumpon dasar dengan struktur dan bentuk cetakan semen berbentuk kubus
beton dengan penambahan daun kelapa (blarak) dan tiang bambu serta
pemanfaatan GPS dan Fish Finder. Tentunya dengan menggunakan alat tangkap
yang ramah lingkungan seperti pancing ulur berjoran. Langkah ini
mendapatkan apresiasi positif dari manajemen Bank Mandiri, sehingga
mendapatkan program CSR Bank Mandiri pada tahun 2013 dengan
mendapatkan bantuan sebanyak 272 modul rumpon dasar dalam rangka
peningkatan pendapatan nelayan dan kelestarian sumberdaaya ikan.

42
6. Aspek Sosial. Salah satu bentuk inisiatif dalam pengelolaan dan pengembangan
usaha terhadap pemanfaatan rumpon dasar yang dilakukan oleh masyarakat
nelayan Kampung Cangkol Kelurahan Lemahwungkuk Kecamatan
Lemahwungkuk Kota Cirebon, yaitu penangkapan ikan dengan menggunakan
alat tangkap ikan yang ramah lingkungan seperti : pancing ulur (hand line)
dan jaring kantong (trammel net) dengan hasil tangkapan utama berupa ikan :
kakap, kerapu, jenaha, tenggiri, kwe, udang jerbung (Penaeus merguiensis)
dan jenis ikan demersal lainnya. Kegiatan ini sangat berdampak besar
terhadaap sosial/ budaya masyarakat nelayan setempat dalam menjaga
kelestarian sumberdaya ikan dan lingkunggannya. Kegiatan usaha tambahan
nelayan skala kecil diantaranya adalah penyewaan perahu mereka untuk
pemancingan di sekitar rumpon dasar.Kegiatan wisata mancing ini sangat
ramai pada akhir pekan yaitu pada hari Sabtu, dan Minggu. Dengan adanya
wisata mancing ini memberikan banyak manfaat kepada nelayan Cangkol pada
khususnya dan masyarakat pesisir Cangkol pada umumnya. Untuk wisata
mancing dikenakan biaya sebesar Rp. 800.000,- s/d Rp.1.000.000,-/ per
perahu dengan jumlah pemancing 5-7 orang dan besarnya biaya tersebut
tergantung jauhnya jarak lokasi pemancingan.
Pendapatan yang diperoleh dari penyewaan GPS yang dikumpulkan oleh
KUB, kemudian akan digunakan untuk : 1). Perawatan rumpon dasar, GPS dan
pengembangannya; 2). Simpanan nelayan pada musim paceklik; 3). Membantu
biaya pengobatan masyarakat pesisir Cangkol ; 4).Membantu biaya pembuatan
dan perawatan sarana prasarana desa; 5). Memberikan santunan kepada
keluarga yang terkena musibah ; 6). Perawatan prasarana tambat labuh
perahu; 7).Kegiatan sosial kemasyarakatan (kematian, rehab Masjid/
Musholla); dan 8). Acara Syukuran Sedekah Laut (Nadran).
Budaya pesisir tidak bisa dipisahkan dengan nelayan, maka dalam aktifitas
nelayanpun terkait dengan budaya tersebut, diantaranya adalah acara sedekah
laut, yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama NADRAN. Nadran
adalah merupakan salah satu wujud syukur kepada Sang Khalik atas rejeki
yang sudah mereka dapat dari laut. Budaya pesisir lainnya adalah Tari Topeng
Cirebon, yang oleh masyarakat nelayan Kampung Cangkol Tengah tetap
dilestarikan. Salah satu penghargaan adalah tampilnya Tari Topeng Cirebon

43
dari Masyarakat Nelayan Cangkol Tengah di Ajang Adibhakti Mina Bahari KKP
RI Tahun 2011 di Riau Sumatera Selatan.
7. Aspek Ekonomi. Upaya untuk meningkatkan potensi ekonomi yang tinggi
dalam hasil tangkapan, Nelayan Cangkol Tengah menggunakan alat bantu
penangkapan ikan berupa rumpon dasar sebagai alat bantu penangkapan yang
efektif. Rumpon yang digunakan yaitu berupa rumpon dasar berbahan baku
bambu ataupun beton dengan tambahan pemikat. Pemanfaatan rumpon
sebagai alat bantu penangkapan ikan sudah lama dikenal oleh nelayan
Indonesia. Keberhasilan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan tidak
perlu di sangsikan lagi karena rumpon sangat efektif berfungsi sebagai alat
untuk mengumpulkan ikan sehingga memudahkan dalam penangkapan.
Penggunaan rumpon dasar, maka ikan-ikan besar ukuran konsumsi yang
berada disekitar areal rumpon dasar dapat ditangkap oleh nelayan sedangkan
anakan ikan/udang/cumi/rajungan dapat terhindar dari jaring nelayan karena
berlindung di dalam celah-celah rumpon dasar. R u m p o n d a s a r s e b a g a i
terumbu buatan adalah suatu bangunan yang ditenggelamkan di dasar laut/
perairan, bentuknya dirancang /didesain agar secara ekologis diharapkan
berfungsi sebagai habitat alami yaitu sebagai tempat berlindung, mencari
makan, memijah, dan pada gilirannya akan mampu meningkatkan
produktivitas sehingga perairan tersebut dapat kembali menjadi daerah
penangkapan yang produktif terutama bagi nelayan skala kecil.

1800000
1600000
1400000

1200000
1000000
Rupiah

800000

600000
400000

200000
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Responden

Analisis Perbandingan pendapatan nelayan Cangkol Tengah sebelum (orange) dan


sesudah (abu) menggunakan Rumpon Dasar

44
Secara langsung rumpon dasar dapat meningkatkan taraf ekonomi nelayan
melalui hasil tangkapan yang didapatkan banyak atau melimpah. Adanya
pemanfaatan rumpon sebagai alat bantu penangkapan berdampak positif terhadap
ekonomi nelayan. Analisis perbandingan pendapatan Nelayan Cangkol Tengah
sebelum dan sesudah munggunakan rumah ikan (rumpon dasar) Supriadi (2012).
Pendapatan nelayan Kampung Cangkol berdasarkan jumlah trip
penangkapan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan nelayan
Kampung Kesenden dan Pesisir. Namun jika dilihat berdasarkan intensitas
penggunaan alat tangkap dan curahan kerja melaut dalam satu tahun, maka
pendapatan nelayan Kampung Cangkol lebih rendah daripada nelayan Kampung
Kesenden. Oleh karena itu, pendapatan nelayan dipengaruhi oleh jumlah trip
penangkapan, intensitas penggunaan alat tangkap dan curahan kerja melaut.

(kiri) Peserta Kehormatan dari Spanyol dalam Acara Lomba Mancing di Kampung
Nelayan Cangkol, (kanan) Lomba Mancing Sebagai Salah Satu Daya Tarik Wisata
Bahari Pemanfaatan Habitat Buatan di Kampung Nelayan Cangkol

Keunggulan nelayan Kampung Cangkol yang memanfaatkan rumpon dasar


dalam rangka pelestarian sumberdaya ikan adalah penggunaan alat tangkap yang
ramah lingkungan (pancing ulur berjoran), pelepasan kembali ikan yang
tertangkap (catch release) dengan memiliki bobot kurang dari 1 ons dalam artian
yang boleh diambil adalah yang memiliki bobot 1 ons keatas. Selain itu adanya
tabungan kelompok nelayan yang digunakan sebagai balas jasa terhadap kearifan
laut. yaitu dengan menanam kembali rumpon yang telah rusak dan
mengembangkannya secara berkelompok.
Dampak lainnya adalah tumbuhnya eko wisata melalui kegiatan wisata
bahari pemancingan ikan di sekitar rumah ikan, yang biasanya ramai dikunjungi

45
pada hari sabtu dan minggu. Beberapa acara lomba pemancingan pernah digelar
untuk tingkat wilayah Jawa Barat dan Jabotabek pada tahun 2010 sampai dengan
2012.

Kesimpulan dan Rekomendasi


Beberapa kesimpulan dan rekomendasi yang dapat diambil diantaranya
adalah sebagai berikut :
1) Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Cirebon telah
mengalami fully exploited. Tingkat pemanfaatan ikan demersal yang fully
exploited tersebut terjadi pada jalur 1 (0 - 4 mil), dimana nelayan skala kecil
banyak beroperasi. Peningkatan upaya penangkapan ikan pada jalur tersebut
akan semakin menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya ikan demersal
di perairan Cirebon. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang masih terbuka
adalah pada jalur 2 dan 3, yang berdasarkan keragaman ikan demersal
ditemukan lebih tinggi dibandingkan jalur penangkapan yang relatif pendek
(jalur 1).
2) Pendapatan nelayan Kampung Cangkol berdasarkan jumlah trip penangkapan
menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan nelayan Kampung
Kesenden dan Pesisir. Namun jika dilihat berdasarkan intensitas penggunaan
alat tangkap dan curahan kerja melaut dalam satu tahun, maka pendapatan
nelayan Kampung Cangkol lebih rendah daripada nelayan Kampung
Kesenden.Oleh karena itu, pendapatan nelayan dipengaruhi oleh jumlah trip
penangkapan, intensitas penggunaan alat tangkap dan curahan kerja melaut.
Keunggulan nelayan Kampung Cangkol yang memanfaatkan rumpon dasar
dalam rangka pelestarian sumberdaya ikan adalah penggunaan alat tangkap
yang ramah lingkungan (pancing ulur berjoran), pelepasan kembali ikan yang
tertangkap (catch release) dengan memiliki bobot kurang dari 1 ons dalam
artian yang boleh diambil adalah yang memiliki bobot 1 ons keatas. Selain itu
adanya tabungan kelompok nelayan yang digunakan sebagai balas jasa
terhadap kearifan laut.yaitu dengan menanam kembali rumpon yang telah
rusak dan mengembangkannya secara berkelompok.
3) Kebijakan jangka pendek berupa peningkatan mutu SDM nelayan adalah
kebijakan yang dapat mengatasi faktor kelemahan rendahnya pendidikan
nelayan Kota Cirebon yang lulus Sekolah Dasar. Perbaikan mutu SDM

46
tersebut dapat dicapai melalui bangku sekolah maupun pemberian pelatihan-
pelatihan. Peningkatan SDM nelayan diharapkan mampu mengembangkan
kemampuan dan pengetahuan dalam mengelola perikanan tangkap skala kecil
di perairan Cirebon yang potensial dan memiliki sumberdaya ikan yang
memadai khususnya pada jalur 2 dan 3. Dengan meningkatnya pengetahuan
nelayan maka akan menumbuhkembangkan kesadaran untuk tidak lagi
menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan lebih memilih
mengembangkan rumpon dasar sebagai solusi kelestarian sumberdaya ikan
diperairan Cirebon. Perlunya pemberdayaan nelayan skala kecil melalui
penciptaan usaha diluar sektor penangkapan yaitu budidaya ikan air tawar
dengan komoditas lele, patin dan nila serta budidaya ikan air payau dengan
komoditas ikan bandeng dan udang (vaname dan windu), juga pengolahan
ikan (penggaraman, pemindangan dan olahan ikan segar lainnya) diperlukan
untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi ketergantungan terhadap
laut pada saat musim paceklik ikan.
4). Kebijakan jangka panjang dalam rangka mendorong nelayan skala kecil untuk
memperluas area tangkapan yaitu pada jalur 2 dan 3 yang masih terbuka.
Kebijakan tersebut dapat terealisasi jika armada penangkapan nelayan kecil
juga diperbaiki dan ditingkatkan menjadi 5 - 10 GT. Penganekaragaman alat
tangkap ramah lingkungan diperlukan nelayan dalam menghadapi musim
ikan sehingga proses penangkapan dapat dilakukan sepanjang tahun.
Beberapa hal yang direkomendasikan dalam pemberdayaan masyarakat ini
diantaranya adalah :
1. Pelestarian sumberdaya ikan demersal dan ekosistem perairan Cirebon dapat
dicapai dengan cara :
a. Pergantian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti arad dan
garok dengan alat tangkap yang lebih selektif seperti trammel net, bubu
lipat (wadong), rampus, gill net kakap, jaring loang, krendet (pintur) dan
jaring millennium dengan target penangkapan ikan pelagis, ikan demersal,
udang dan rajungan.
b. Perluasan dan pengembangan area rumpon dasar sebagai salah satu
langkah dalam membuat lumbung ikan di wilayah perairan Cirebon.

47
c. Perbaikan ekosistem mangrove di pesisir pantai Kota Cirebon melalui
penanaman mangrove disepanjang pesisir pantai dan lahan budidaya ikan
air payau dengan jenis rhizophora dan aviciena.
d. Peningkatan kesepahaman, keseriusan pelaksanaan program kerja dengan
aksi yang nyata dalam rangka pengelolaan perikanan yang berkelanjutan
dengan 6 (enam) Kabupaten/Kota di wilayah Pantai Utara Jawa Barat
melalui pembuatan Peraturan Daerah (Perda) bersama.
2. Peningkatan pendapatan nelayan dapat dicapai melalui:
a. Perluasan daerah penangkapan ikan pada jalur 2 dan 3 melalui peningkatan
ukuran armada kapal 5 - 10 GT.
b. Pemberdayaan nelayan melalui peluang usaha lainnya seperti budidaya
ikan air tawar atau payau, pengolahan ikan dan perbengkelan nelayan.
c. Penganekaragaman alat tangkap ikan yang ramah lingkungan yang
dilimiliki nelayan.
d. Peningkatan mutu hasil tangkapan melalui penggunaan es, palkah ikan
(fish hold) dari bahan High Density Polyethelene (HDPE) dan tidak
menggunakan bahan-bahan yang dilarang dan berbahaya seperti formalin.
Semua rekomendasi tersebut dapat diimplementasikan dengan
mempertimbangkan berbagai asumsi yaitu (1) Peran aktif masyarakat nelayan
dalam mendukung progam pemerintah, (2) Kesepahaman semua nelayan untuk
tidak menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, (3) Intensifikasi
peran KUB dalam mendukung program-program penguatan tata niaga perikanan,
(4) Adanya bantuan sarana dan prasarana untuk meningkatkan produksi ikan, dan
(5) Adanya kesamaan dan kesepahaman tujuan dari semua stakeholder di daerah
idealnya meliputi 6 (enam) Kabupaten Kota yang berada di sepanjang Pantai
Utara Jawa Barat diantaranya adalah : Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang,
Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon
dalam mendukung program pelestarian sumberdaya ikan (Supriadi, 2012).

Daftar Pustaka
Dinas Kelautan Perikanan Peternakan dan Pertanian (DKP3) Kota Cirebon. 2016. Laporan Tahunan
DKP3 Tahun 2015.
Dinas Perikanan Provinsi Jawa barat. 2007. Pemberdayaan Nelayan Kecil di Pantura Jawa Barat
Melalui Penggunaan Alat Tangkap Produktif dan Ramah Lingkungan. Bandung.

48
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap [DJPT]. 2012. Diversifikasi Usaha Sebagai Alternatif Mata
Pencaharian Keluarga Nelayan. Makalah Pelatihan Diversifikasi Usaha. Semarang.
Supriadi, D. 2012. Analisis Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Skala Kecil dan Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan Dasar di Kota Cirebon, Jawa Barat. Disertasi. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang.
https://kbbi.web.id/partisipasi, Definisi Partisipasi.

49
PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN
ABALON UNTUK MENUNJANG PERIKANAN
B U D I D AYA YA N G B E R K E L A N J U T A N D I
INDONESIA

Roffi Grandiosa
Budidaya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas
Padjadjaran

Pendahuluan

A
balon (Haliotis spp.) merupakan genus invertebrate moluska laut dari
kelas gastropodadi Indonesia yang memiliki prospek yang sangat tinggi
untuk dikembangkan mengingat permintaan konsumsi yang cukup
tinggi di pasar dunia (Cook, 2019). Nilai gizi yang tinggi serta pengaruh prestise
bagi yang mengkonsumsinya terutama di Jepang dan Cina menyebabkan abalon
memiliki nilai ekonomis tinggi dan menjadi incaran konsumen. Spesies abalon
bersifat low tropic level (larvanya memakan benthic diatom dan dewasanya
memakan rumput laut/makroalga) oleh karena itu dapat dikategorikan sebagai
spesies yang dapat menunjang perikanan budidaya yang berkelanjutan. Selain
bahan pangan, abalone diketahui pula memiliki kandungan bioaktif yang dapat
diaplikasikan untuk kesehatan yakni sebagai anti-kanker, anti-oksidan, anti-
mikroba, anti-koagulan serta manfaat untuk kosmetik (Nguyen et al., 2013; De
Zoysa, 2013). Kerang abalon pun memiliki peluang yang sangat baik untuk
dijadikan bahan baku kerajinan yang dapat dipasarkan ke mancanegara (Tempo,
2019).
Saat ini suplai abalon dari negara-negara produser utama yakni Jepang,
Taiwan, Amerika Serikat, Australia dan New Zealand, masih belum dapat
memenuhi kebutuhan pasar dunia. Produksi abalone dunia saat ini diketahui
berasal dari penangkapan yakni sekitar 6500 mt pada tahun 2016/2017. Angka
tersebut jauh turun dari data penangkapan di tahun 1970 yakni 20 000 mt
mengingat kesadaran akanproduksi abalon yang berkelanjutan semakin
meningkat (Cook, 2019). Penurunan produksi hasil tangkap abalon sedang
berlangsung di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh penangkapan ilegal

50
(wwf.or.id, 2019). Kecenderungan tersebut tidak hanya di Indonesia tetapi di juga
diketahui terjadi di negara Afrika Selatan, Australia, New Zealand dan Amerika
Serikat (Cook, 2019).
Industri budidaya abalon dan pengembangannya melalui riset di berbagai
belahan dunia saat ini cukup pesat terutama dalam pengembangan manajemen
broodstok (induk), pemeliharaan larva, pendederan dan teknik pembesaran. Di
Indonesia sendiri terdapat tujuh spesies abalon potensial yakni Haliotis asinina, H.
varia, H. squamosa, H. ovina, H. glabra, H. planata, and H. crebrisculpta (Dharma,
1988), namun pertumbuhan Haliotis asinina dan Haliotis squamata yang lebih
unggul menjadikan dua spesies ini sebagai komoditi yang dikembangkan untuk
budidaya di Indonesia. Salah satu permasalahan penting dala perkembangan
produksi abalone adalah bahwa hasil produksi abalon baik dari hasil tangkap
maupun budidaya di Indonesia masih belum tercatat dalam Data Produksi
Kelautan dan Perikanan (2018), mengingat produksinya yang belum
signifikan.Tentunya hali ini merupakan kekurangan mendasar yang harus
diperbaiki, oleh karena itu, ketersediaan data statistik yang mampu
menggambarkan perkembangan produksi dari tahun ke tahun harus diupayakan
oleh pemerintah. Beberapa tantangan lain yang dirasakan akan menghambat di
masa mendatang yakni keberadaan wabah penyakit yang disebabkan bakteri,
parasit dan virus yang sering menyebabkan kematian masal abalon.
Dalam tulisan ini, kami mengulas isu dan perkembangan terakhir
mengenai potensi budidaya abalone (Haliotis asinina dan Haliotis squamata).
Peluang serta tantangan budidaya abalone dengan titik berat budidaya yang
berkelanjutan akan dibahas dengan solusi strategi manajemen yang dapat diambil
untuk penentuan kebijakan selanjutnya. Adapun tulisan ini membahas pula
tantangan di bidang riset abalone di Indonesia untuk perkembangan budidaya
yang lebih baik di masa mendatang.

Peluang Budidaya Abalon Di Indonesia


Produksi budidaya abalon di Indonesia dengan pengembangan khususnya
pada spesies Haliotis asinina dan Haliotis squamata telah diupayakan sejak lama
dengan strategi meningkatkan baseline pengetahuan mengenai abalon melalui
kolaborasi riset antara universitas dan balai riset budidaya air laut. Studi yang
telah dilakukan di Indonesia cukup beragam dengan misi utama untuk

51
meningkatkan potensi budidaya Abalonyang berkelanjutan di Indonesia.
Berdasarkan data riset antara tahun 2000 hingga 2020, upaya penelitian telah
diutamakan dengan mengidentifikasi abalone di Indonesia dengan berbagai
metoda penelitian antara lain kajian heterogenitas abalone,kajian variasi genetik,
karakteristik biometrik, studi potensi dan tingkat eksploitasi, pendugaan musim
pemijahan, pendugaan habitat dan karakteristik lingkungan (Daniarsih et al.,
2018; Yuniarti et al., 2009; Litaay et al., 2012; Ishak et al., 2020; Setiawati et al.,
2017; Mahardika &Danoedoro 2017; Bachry et al., 2019; Pebriani et al., 2016).
Adapun penelitian mengenai rekayasa akuakultur untuk menunjang budidaya
abalone pun telah dilakukan dengan topik optimasi pemeliharaan yuwana, teknik
pendederan abalone, pendederan pada jaring apung, pendederan padadrum
plastic, bak beton dan bak fiber, pembesaran pada jaring pasang surut serta
pembesaran dengan Integrated Multi Trophic Aquaculture (Susanto et al., 2012;
Setyono, 2005; Sofyan 2017; Setyono, 2007; Hamzah et al., 2012; Hayati et al.,
2018; Loekman et al., 2018; Rezeki & Ariyati, 2014; Deni et al., 2018; Effendy &
Balubi, 2018; Giri et al., 2014).
Kecenderungan budidaya abalon di Indonesia masih memanfaatkan pakan
alami seperti rumput laut Gracilaria, Ulva dan Spinosum (Prihadi et al.,
2018).Ketergantungan akan rumput laut semestinya harus dihindari pula
mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan produksi rumput laut
yang tertinggi di dunia (FAO, 2016) Dewasa ini tren di berbagai belahan dunia
adalah bahwa pemanfaatan pakan alami dari jenis rumput laut semakin berkurang
mengingat kombinasi pakan buatan dan alami serta pemberian pakan buatan
lebih menunjang untukpertumbuhan (Naidoo et al., 2006).Saat ini di Indonesia
sudah cukup banyak penelitian mengenai aplikasi pakan buatan terhadap
pertumbuhan spesies penting terutama pada fase pendederan serta pembesaran
abalon (Marzuki et al., 2012; Sinaga et al., 2015; Giri et al., 2015; Susanto et al.,
2016; Primaningsih et al., 2016; Rusdi et al., 2018; Syahrin et al., 2018; Khotimah
et al., 2018).
Perlu disadari bahwa pengembangan spesies abalone sangat menjanjikan
untuk dikembangkan sebagai salah industri yang dapat mengingkatkan devisa
negara layaknya spesies budidaya lain. Walaupun perhatian dirasakan masih
kurang, pengembangan riset abalon yang saat ini terkonsentrasi di Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol Bali, Balai Produksi Induk

52
Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Bali dan Balai Perikanan Budidaya Laut
Lomboksemakin pesat mengingat dengan pesatnya informasi penelitian serta
pengalaman pengembangan yang sudah dilakukan sejak 15 tahun yang lalu.
Secara umum sumberdaya alam abalon di Indonesia tersebar luas di perairan
Sumatra, Sulawesi, NTT, Madura, Maluku dan Bali. Melalui beberapa program
kerjasama, abalone pun telah tersebar ke beberapa wilayah di Indonesia salah
satunya di Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut Wilayah Selatan
(BPBIAPLWS) yang terletak di Pangandaran. Adapun program yang telah
dilakukan di Jawa Barat yakni restocking wilayah di wilayah Pantai Karapyak
(antaranews, 2019).
Jenis abalon yang telah dikembangkan dalam sistem budidaya adalah
Haliotis asinina dan Haliotis squamata. Potensi pengembangan abalon di Indonesia
sangat tinggi karena kebutuhan pakan abalon sebagai organisme herbivor dapat
dipenuhi sepanjang tahun dari budidaya Gracilaria sp. di tambak. Budidaya abalon
juga dapat diintegrasikan dengan budidaya ikan ataupun dengan budidaya rumput
laut, sehingga dapat meningkatkan pendapatan pembudidaya.Walaupun pakan
alami tersedia secara baik, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian
pakan buatan dapat mempercepat waktu produksi dan mencegah ketergantungan
terhadap pakan alami bila skala budidaya semakin besar (Tung & Alfaro, 2011).
Abalon diketahui memiliki nilai jualnya yang cukup mahal dalam pangsa
pasar internasional mencapai 337 ribu per kgakan tetapi ketersediaannya masih di
bawah permintaan pasar (CNN, 2019). Salah satu alasan terhambatnya akselerasi
produksi budidaya abalone adalah siklus budidaya yang membutuhkan waktu
yang cukup lama yakni antara 6-8 bulan untuk mencapai ukuran panen. Ukuran
yang disukai pasar Asia yakni ukuran cocktail sehingga dapat dipanen saat
berukuran 7-8 cm. Hal ini, menyebabkan antusiasme masyarakat yang rendah
untuk melakukan budidaya dibandingkan usaha perikanan lainnya seperti udang,
ikan dan rumput laut. Selain itu, kontribusi Indonesia terhadap industri perikanan
abalon masih sangat minim dikarenakan perikanan abalon di Indonesia masih
tergolong kecil dan masih tergantung pada hasil tangkapan dari alam.
Saat ini terdapat kecenderungan peningkatan peminat investasi budidaya
abalon dari pihak swasta dan pemodal asing mengingat potensi usahanya yang
masih terbuka lebar. Salah satu penunjang dari keberhasilan usaha adalah
ketersediaan benih abalon di Indonesia yang sebetulnya sudah dapat diproduksi

53
mengingat teknik produksi larva abalone sudah dikuasai dengan baik. Ciri khas
abalone hasil budidaya pun dapat dibedakan dari hasil tangkapan alam mengingat
struktur dan warna kerang dipengaruhi oleh pakan yang diberikan selama
pemeliharaan. Suhu perairan di Indonesia yang relatif stabil dan ketersediaan
sarana budidaya yang mudah diperoleh menjadi hal lain yang menguntungkan.
Peluang peningkatan produksi benih abalone di Indonesia sangat
memungkinkan mengingat saat ini teknologi produksi dapat diadaptasi,
dimodifikasi dan ditingkatkan skalanya. China yang telah memproduksi 7 milyar
benih pada tahun 2013 (Wu & Zhang, 2016). Diharapkan produksi benih spesies
abalon tropik (H. asinina & H. squamata) yang dikembangkan di wilayah Indonesia
mampu mengejar target produksi minimal 1 milyar benih pada tahun 2023 untuk
menunjang target peningkatan eskpor sejumlah 250% pada tahun 2024
(detik.com, 2020). Walaupun spesies abalone belum menjadi primadona
budidaya, perhatian pemerintah diharapkan dapat ditingkatkan dengan melakukan
langkah yang lebih strategis untuk mendukung perikanan budidaya yang
berkelanjutan. Program yang perlu dilakukan segera oleh pemerintah yakni
pengenalan inovasi budidaya abalone pendampingan terhadap masyarakat.
Walaupun tanpa kehadiran pemerintah, potensi budidaya kerang abalone sudah
mulai dilirik dan dirintis pihak swasta dengan basis pemberdayaan masyarakat di
berbagai daerah yakni Batam dan Maluku.
Peluang untuk aplikasi teknologi budidaya abalon secara intensif
sebetulnya terbuka lebar mengingatnya terbukanya akses informasi. Salah satu hal
adalahaplikasi teknologi pemberikan pakan buatan yang merupakan salah satu
upaya yang dapat mengatasi hambatan kurangnya ketersediaan pakan alami.
Keunggulan wilayah perairan Indonesia dengan suhu yang relatif stabil
menjadikan hal tersebut sebagai faktor penunjang sehingga mampu
memanfaatkan garis pantai Indonesia serta mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat pesisir sebagai mitra.

Tantangan Budidaya Abalon Di Indonesia


Keberlangsungan usaha budidaya abalone dapat dikatakan sangat
tergantung pada ketersediaan benih yang berkualitas. Di berbagai negara tahapan
post larva menjadi masalah utama mengingat pada fase tersebut larva mengalami
perubahan kebiasaan makan dari zooplankton menjadi perifiton. Variasi dari

54
faktor fisiologis yang menyertai hal tersebut masih harus diteliti lebih mendalam
(Wu & Zhang, 2016). Selain faktor fisiologis, keberadaan wabah penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus harus diwaspadai oleh
pembudidaya mengingat sudah terjadi di negara produsen abalone yakni Cina,
Jepang dan Korea (Cai et al., 2006). Bakteri pathogen yang ganas tersebut
ditemukan pula di Indonesia namun sering menyerang bibit udang budidaya
(Vannamei sp.). Ambiguitas sering muncul ketika mencoba menentukan apakah
infeksi bakteri adalah penyebab penyakit primer atau sekunder. Oleh karena itu
pendekatan telah dikembangkan untukmengkorelasikan fenotipe dan genotipe
patogen potensial. Evaluasi mekanisme virulensi harus dilakukan pada alat
diagnostik baru untuk mengkarakterisasi gen yang terlibat dalam patogenesis
(Paillard et al., 2004). Sejak 1950-an, berbagai pathogen yang telah dikaitkan
dengan berbagai patogen termasuk bakteri prokariotik,parasit eukariotik dan
organisme virus, telah diidentifikasi sebagai penyebab tanda-tanda klinispenyakit
dan kematian massal abalon di alam liar dan budidaya.
Faktor penyakit sudah diketahui menjadi permasalahan yang umum pada
spesies ikan dan udang di budidaya laut, oleh karena itu perhatian pemerintah
melalui strategi monitoring penyakit akuakultur harus diperketat. Keberadaan
pusat karantina ikan di berbagai wilayah Indonesia diharapkan menunjang
program tersebut. Salah satu langkah strategis adalah bibit abalon yang
dikembangkan di Indonesia diharapkan tetap diproduksi di Balai Budidaya milik
pemerintah mengingat standar prosedur yang ada cukup baik untuk biosekuriti
akuakultur. Selain itu faktor penyakit ini dapat diatasi dengan pemberian pakan
dengan immunostimulan seperti probiotik mengingat dengan metoda tersebut,
selain pertumbuhan abalone semakin cepat, imunitas dan kelangsungan hidup
dari benih abalon dapat ditingkatkan secara signifikan (Grandiosa et al., 2018).
Upaya melakukan pemuliaan di abalone merupakan sebuah ide yang dapat
dilaksanakan saat ini mengingat pemuliaan merupakan upaya efektif untuk
meningkatkan pertumbuhan dan resistensi nya terhadap stress. Pemuliaan saat
ini sudah diaplikasikan terhadap ikan Nila dan Salmon (Gjedrem 2012), dan telah
diadaptasi oleh dunia akuakultur di Indonesia untuk meningkatkan potensi
genetik ikan Nila (Nirwana) dan ikan mas (Simantap). Walapun program
pemuliaan abalone belum tercatat di Indonesia, beberapa peneliti telah mencoba
melakukan hibridisasi antara spesies H. asinina dan H. squamata (Soelistyowati et

55
al., 2013). Langkah strategis sebetulnya lebih diupayakan terhadap pemuliaan
dalam satu spesies dengan metoda intraspesific. Walaupun langkah pemuliaan
berlangsung lebih lama, akan tetapi proses untuk memperbaiki karakteristik
genetic lebih berpotensi untuk skala panjang (Wu & Zhang 2013).
Tantangan dalam rekayasa akuakultur abalone terutama pembesaran
abalone di laut lepas seringkali terhambat oleh cuaca yang buruk. Hal tersebut
dapat diatasi dengan upaya pemindahan pembesaran budidaya dari Sea Based
Aquaculture menjadi Land Based Aquculture(Chen & Lee 1999). Walaupun biaya
operasional jauh lebih tinggi, budidaya abalon land based dengan contoh seperti
yang dikembangkan di Moana Aquaculture Farm, New Zealand dapat menjamin
biosecurity dari akuakultur. Air laut yang digunakan untuk budidaya land based
dapat dimaksimalkan dengan metoda resirkulasi sehingga air buangan dari
budidaya tidak mencemari lingkungan perairan sehinga mendukung budidaya
perikanan yang berkelanjutan. Metoda sirkulasi dapat mengaplikasikan berbagai
teknologi yakni disinfeksi air dengan ultraviolet serta ozonisasi, filtrasi biologis
dan filtrasi mekanis. Untuk menunjang program budidaya seperti ini, keterbukaan
pemerintah baik pusat maupun daerah mengenai investasi swasta di bidang
akuakultur harus diupayakan mengingat regulasi serta kebijakan dapat
didiskusikan untuk kebaikan Bersama agar kebijakan dapat selaras dengan
program yang diajukan.
Tantangan yang sekaligus bisa dikatakan sebagai peluang adalah belum
adanya produsen pakan khusus untuk abalon. Pemain utama dalam industri
pakan perikanan budidaya yakni PT. Central Proteina Prima dapat dijadikan mitra
untuk mengembangkan pakan buatan dengan karakter yang khusus untuk
pendederan dan pembesaran abalone. Salah satu ciri khas pakan abalon seperti
yang sudah dikembangkan oleh Abfeed South Africa adalah pakan harus
tenggelam dan bertahan dalam waktu lama dalam air mengingat kebiasaan makan
abalone yang relatif tidak rakus dan bersifat grazer. Pasokan kebutuhan pakan
abalone sebetulnya tidak terlalu mengandalkan bahan baku dari impor namun
ketersediaan elemen nutrisi yang cukup dari faktor protein, karbohidrat dan
lemak tetap harus diupayakan. Penggunaan pakan buatan sudah banyak diteliti
pada spesies abalone di belahan dunia lainnya. Hambatan yang mungkin ada saat
ini adalah pasar dari pakan buatan tersebut yang belum diidentifikasi secara baik.
Bila pemerintah mampu menggalakkan budidaya abalone dengan pemberian

56
pakan komersil, maka tentunya akan terbentuk ekosistem bisnis yang baik dan
mendukung kepentingan semua pihak baik masyarakat, industri, pemerintah dan
stakeholder lain yang berkepentingan.
Untuk menunjang akselerasi pertumbuhan abalone sebetulnya terdapat
pula tantangan yang sedang diupayakan oleh peneliti di berbagai wilayah dunia
yakni penambahan suplemen probiotik terhadap pakan. Penggunaan suplemen
probiotik pada genus Haliotis sebelumnya telah dilakukan terhadap beberapa
spesies dengan hasil yang signifikan dalam meningkatkan resistensi penyakit dan
pertumbuhan (Macey & Coyne, 2005; Iehata et al., 2010; Jiang et al., 2013;
Grandiosa et al., 2018). Hambatan dalam aplikasi probiotik sebetulnya ada yakni
bagaimana menyiapkan probiotik dalam skala besar serta efektif dalam
persiapannya sehingga teknologi seperti enkapsulasi probiotik harus
dikembangkan di Indonesia.
Berbagai tantangan yang hadir bagi sektor budidaya abalone akan terus
menjadi sorotan mengingat potensi wilayah Indonesia yang relatif luas dan
perekembangan budidaya yang abalone yang relatif tertinggal dibanding negara
tetangga (Filipina). Jika Indonesia ingin menjadi negeri perikanan sebetulnya
permasalahan utama adalah kesiapan infrastruktur yang dibutuhkan untuk
menunjang kelancaran produksi. Masa depan sektor kelautan dan perikanan
sudah ditasbihkan oleh dunia ada di tangan sub sektor perikanan budi daya (FAO,
2016). Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa perikanan tangkap semakin
stagnan akibat overfishing dan kerusakan ekosistem. Perikanan budi daya secara
umum masih menyimpan potensi produksi yang sangat besar dan butuh
pengembangan lebih baik lagi dibandingkan sekarang.

Daftar Pustaka
Bachry, S., Solihin, D. D., Gustiano, R., Soewardi, K., & Butet, N. A. 2019. Morphometric Character
and Morphology of Abalone Haliotis squamata Reeve 1864 In Coastal Southern Java And
Bali. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 11(2), 273-284.
Cai, J., Han, Y., & Wang, Z. 2006. Isolation of Vibrio parahaemolyticus from abalone (Haliotis
diversicolor supertexta L.) postlarvae associated with mass
mortalities. Aquaculture, 257(1-4), 161-166.
Chen, J. C. & W. C. Lee. 1999. Growth of Taiwan abalone Haliotisdiversicolor supertexta fed on
Gracilaria tenuistipitata and artificialdiet in a multiple-tier basket system. J. Shellfish Res.
18:627–635
Cook, P. A. 2019. Worldwide Abalone Production Statistics.  Journal of Shellfish Research,  38(2),
401-404.

57
Daniarsih, A., Solihin, D. D., & Gustiano, R. 2018. Karakter Biometrik dan Variasi Fenotip Abalon
(Haliotis asinina) di Perairan Wilayah Barat dan Timur Indonesia.  Proceeding of Biology
Education, 2(1), 1-8.
Deni, L, Abdul Rahman, and Abdul M. Balubi. 2018. Pengaruh Kedalaman yang Berbeda terhadap
Pertumbuhan dan Sintasan Abalon (Haliotis asinina) yang Dipelihara Dalam Sistem Wadah
Pipa." Jurnal Media Akuatika 3.3.
De Zoysa, M. 2013. Nutritional value, bioactive compounds, and health-promoting properties of
abalone. Marine Nutraceuticals: Prospects and Perspectives, 57.
Dharma, B. 1988. Siput dan kerang Indonesia I (Indonesian shell I). PT. Sarana Graha, Jakarta. 111
p.
Effendy, I. J., & Balubi, A. M. 2016. Pertumbuhan Populasi Abalon (Haliotis asinina) yang
Dipelihara Menggunakan Drum Plastik Dengan Kepadatan Berbeda pada Kawasan Integrated
Multi Trophic Aquaculture (IMTA). Jurnal Media Akuatika, 1(2).
Giri, I. N. A., Sutarmat, T., Yudha, H. T., Rusdi, I., & Susanto, B. 2014. Grow-out of abalone Haliotis
squamata in floating cages fed different proportions of seaweed and with reduction of
stocking density. Indonesian Aquaculture Journal, 9(1), 15-21.
Giri, N. A., Marzuqi, M., Astuti, N. W. W., Andriyanto, W., Rusdi, I., & Andamari, R. 2015. Evaluasi
bahan baku pakan dan pengembangan pakan buatan untuk budidaya pembesaran abalon
(Haliotis squamata). Jurnal Riset Akuakultur, 10(3), 379-388.
Gjedrem, T. 2012. Genetic improvement for the development of efficient global aquaculture: a
personal opinion review. Aquaculture 344– 349:12–22.
Grandiosa, R., Mérien, F., Young, T., Van Nguyen, T., Gutierrez, N., Kitundu, E., & Alfaro, A. C.
2018. Multi-strain probiotics enhance immune responsiveness and alters metabolic profiles
in the New Zealand black-footed abalone (Haliotis iris).  Fish & shellfish immunology,  82,
330-338.
Hamka, I. J. E., & Shearer, D. 2009. Abalone Industry Enhancement in Eastern Indonesia.
Hamzah, M. S., Dwiono, S. A. P., & Hafid, S. 2012. Studi pertumbuhan dan kelangsungan hidup
anakan siput abalon tropis (Haliotis asinina) dalam bak beton pada kepadatan tebar
berbeda. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4(2), 191-197.
Hayati, H., Dirgayusa, I. G. N. P., & Puspitha, N. L. P. R. 2018. Laju Pertumbuhan Kerang Abalon
Haliotis squamata Melalui Budidaya IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) di Pantai
Geger, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.  Journal of Marine and Aquatic
Sciences, 4(2), 253-262.
Iehata, S., Inagaki, T., Okunishi, S., Nakano, M., Tanaka, R. & Maeda, H. 2010. Improved
gutenvironment of abalone Haliotis gigantea through Pediococcus sp. Ab1
treatment.Aquaculture. 305, 59-65.
Ishak, E., Setyobudiandi, I., Yulianda, F., Boer, M., & Bahtiar, B. 2020. Efek Keragaman Tipe Habitat
terhadap Struktur Populasi dan Morfometrik Abalon Haliotis asinina Linnaeus, 1758. Jurnal
Biologi Tropis, 20(1), 29-39.
Jiang, H., Liu, X., Chang, Y., Liu, M. & Wang, G. 2013. Effects of dietary supplementation
ofprobiotic Shewanella colwelliana WA64, Shewanella olleyana WA65 on the
innateimmunity and disease resistance of abalone, Haliotis discus hannai Ino. Fish
&Shellfish Immunology. 35, 86-91.
Litaay, M., Agus, R., & Ferawati, S. 2012. Variasi genetik abalon tropis Haliotis asinina asal Sulawesi
Selatan; prospek budidaya.
Loekman, N. A., Manan, A., Arief, M., & Prayogo, P. 2018. Teknik Pendederan Kerang Abalon
(Haliotis squamata) Di Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol-
Bali. Journal of Aquaculture and Fish Health, 7(2), 78-83.
Macey, B. & Coyne, V. 2005. Improved growth rate and disease resistance in farmed Haliotismidae
through probiotic treatment. Aquaculture. 245, 249-261.

58
Mahardika, B., & Danoedoro, P. 2017.  Pemanfaatan Penginderaan Jauh Dan SIG Untuk Pendugaan
Habitat Kerang Abalon (HaliotissquamatadanHaliotisasinina) Berdasarkan Kualitas Perairan
Dengan Menggunakan Citra Landsat 8 Di Pantai Selatan Kabupaten Jembrana Provinsi
Bali (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Marzuqi, M., Rusdi, I., & Susanto, B. 2012. Aplikasi pakan buatan pada pemeliharaan benih abalon
(Haliotis squamata). Jurnal Riset Akuakultur, 7(2), 237-245.
Naidoo, K., Maneveldt, G., Ruck, K., & Bolton, J.J. 2006. A comparison of various seaweed-based
diets and formulated feed on growth rate of abalone in a land-based aquaculture
system. Journal of Applied Phycology, 18(3-5), 437-443.
Nguyen, V. T., Qian, Z. J., Ryu, B., Kim, K. N., Kim, D., Kim, Y. M., ... & Je, J. Y. 2013. Matrix
metalloproteinases (MMPs) inhibitory effects of an octameric oligopeptide isolated from
abalone Haliotis discus hannai. Food chemistry, 141(1), 503-509.
Khotimah, F. H., Permana, G. N., Rusdi, I., & Susanto, B. 2018. Pemeliharaan Larva Abalon Haliotis
squamata Dengan Pemberian Jenis Pakan Berbeda Dalam Bentuk Tepung.  Jurnal Riset
Akuakultur, 13(1), 39-46.
Pebriani, D. A. A., & Dewi, A. P. W. K. 2016. Analysis of water carrying capacity based on water
quality to the opportunity’s cultivation abalone (Haliotis sp.) In coastal kutuh, Bali. Samakia:
Jurnal Ilmu Perikanan, 7(2), 66-71.
Primaningsih, D., Patadjai, A.B., Ishak, E., & Effendy, I.J. 2016. Kualitas Pakan Formulasi dengan
Binder Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Juvenil Abalon (Haliotis asinina) yang
Dipelihara pada Sistem IMTA (Integrated Multi Tropic Aquaculture).  Jurnal Media
Akuatika, 1(4).
Prihadi, T. H., Ardi, I., Widiyati, A., & Wiyanto, D.B. 2018. Potency of Different Seaweeds as Diets
for Developing Abalone (H. squamata) Culture in Nusa Penida Island, Bali. In  E3S Web of
Conferences (Vol. 47, p. 02004). EDP Sciences.
Rejeki, S., & Ariyati, R. W. (2014). Pembesaran Siput Abalon (Haliotis squamata) Dalam Karamba
Tancap Di Area Pasang Surut Dengan Padat Tebar Yang Berbeda.  Journal of Aquaculture
Management and Technology, 3(4), 214-221.
Romdhini, M. U. Strategi Optimalisasi Budidaya Abalon (Haliotis asinina) Di Pulau Lombok
Menggunakan Matriks Leslie.
Rusdi, I., & Marzuqi, M. (2018, December). Aplikasi pakan pada pemeliharaan benih abalon,
Haliotis squamata. In  Prosiding Seminar Nasional Tahunan Hasil Perikanan dan
Kelautan (Vol. 15, No. 1, pp. 25-31).
Setiawati, K. M., Yunus, Y., Setyadi, I., & Arfah, R. 2017. Pendugaan Musim Pemijahan Abalon
(Haliotis asinina) di Pantai Kuta, Lombok Tengah.  Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia, 1(3), 124-130.
Setyono, D. 2005. Abalone (Haliotis asinina L): 5. Early juvenile rearing and ongrowing
culture. Oseana, 30(2), 1-10.
Setyono, D. 2007. Stocking density for juvenile tropical abalone, Haliotis asinina reared in
structures suspended offshore. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 33(2), 213-226.
Setyono, D. 2004. Abalone (Haliotis asinina L): A Prospective Species for Aquaculture in
Indonesia. Oseana, 29(2), 25-30.
Setyono, D. 1997. Culture techniques on the farming of abalone (Haliotis sp.), A perspective effort
for aquaculture in Indonesia. Oseana, 32(1), 1-8.
Setyono, D. 2006. Reproductive aspects of the tropical abalone, Haliotis asinina, from southern
Lombok waters, Indonesia. Marine Research in Indonesia, 30, 1-14.
Setyono, D. & Aswandy, I. 2010. Ongrowing techniques for juvenile donkey ear abalone (Haliotis
asinina) at pemenang waters, North Lombok, Indonesia.  Marine Research in
Indonesia, 35(2), 15-22.

59
Soelistyowati, D. T., Kusumawardhani, A., & Junior, M. Z. 2013. Karakterisasi fenotipe benih
hibrida interspesifik abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata.  Jurnal Akuakultur
Indonesia, 12(1), 25-30.
Sofyan, N. R. 2017. Teknik Pemeliharaan Induk Dan Pembenihan Kerang Abalone (Haliotis
squamata) Pada Bak Fiber Di Balai Perikaan Bududaya Laut Sekotong, Lombok Nusa,
Tenggara Barat.
Suriani, B. S., Kusmarwiyah, R., & Cokrowati, N. 2013. laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan
hidup abalon (Haliotis squamata) pada kombinasi jenls pakan yang berbeda. Jurnal Perikanan
Unram, 3(2), 63-67.
Susanto, B., Rusdi, I., Ismi, S., & Rahmawati, R. 2016. Pemeliharaan yuwana abalon (Haliotis
squamata) turunan F-1 secara terkontrol dengan jenis pakan berbeda.  Jurnal Riset
Akuakultur, 5(2), 199-209.
Syahrin, E. S., Patadjai, A. B., Sarita, A. H., & Effendy, I. J. 2018. Pengaruh Frekuensi Pemberian
Pakan Formulasi terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Juvenil AbalonHaliotis asinina yang
dipelihara Pada Sistem IMTA (Integrated Multi-Tropic Aquaculture).  Jurnal Media
Akuatika, 3(3).
Tung, C. H., & Alfaro, A. C. 2011. Effect of dietary protein and temperature on the growth and
health of juvenile New Zealand black-footed abalone (Haliotis iris).  Aquaculture
research, 42(3), 366-385.
Yuniarti, A., Kilawati, Y., & Hariati, A. M. 2009. Kajian heterogenitas genetik abalon (Haliotis
asinina) di perairan Indonesia melalui metode Restriction Fragment Length Polymorphism
(RFLP) mtDNA.
h t t p s : / / w w w . r e s e a r c h g a t e . n e t / p r o fi l e / F u c u n _ W u / p u b l i c a t i o n /
309165313_Pacific_Abalone_Farming_in_China_Recent_Innovations_and_Challenges/links/
5ba9e0dd299bf13e604a51a8/Pacific-Abalone-Farming-in-China-Recent-Innovations-and
Challenges.pdf
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190822091453-262-423633/4 alasan-kerang-abalon-
dikenal-dengan-harga-selangit
https://www.antaranews.com/berita/1005774/kkp-kembangkan-benih-kerang-abalone-bernilai-
ekonomi-tinggi
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4897318/target-ekspor-naik-250-di-2024-kkp-
genjot-produktivitas-udang

60
T A N T A N G A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D AYA
PUL AU-PUL AU KECIL DAN WISATA BAHARI DI
INDONESIA

Donny Juliandri Prihadi


Ph.D Candidate Tourism Management, Ocean University of China; Dosen Program Studi
Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran

Latar Belakang

K
onservasi telah dipahami sebagai upaya perlindungan, pelestarian,
pemanfaatan sumberdaya hayati ikan dan sumberdaya yang dapat
diperbaharui termasuk ekosistem, jenis, genetik untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan, keberlanjutan dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya yang ada. Wilayah
pesisir merupakan satu wilayah yang cukup penting di Indonesia maupun
dipenjuru dunia, karena mayoritas masyarakat umumnya hidup diwilayah pesisir.
Wilayah pesisir juga memiliki potensi yang dapat dijaga, dikembangkan sehingga
bisa menjadi sumber penghidupan bagi sebagian besar masyarakatnya. Wilayah
konservasi dan pesisir ini tentunya memerlukan pendekatan manajemen yang
lebih spesifik, dikarenakan harus terkait dengan dinamika ekosistem perairan
yang senantiasa bergerak, karakteristik biota perairan yang tidak mengenal
pemisahan wewenang, dan manajemen wilayah pesisir yang memerlukan
keterpaduan antara sektor-sektor dalam bermasyarakat. Wisata bahari diperlukan
untuk mendapatkan nilai ekonomi dan data menjaga kelestarian lingkungan
peisisr dan laut secara terpadu. Tantangan pengelolaan sumberdaya pulau-pulau
kecil dan wisata bahari di Indonesia adalah kebijakan dari berbagai pihak yang
masih tumpang tindih antara beberapa institusi di pemerintahan dan pemerintah
daerah, kebijakannya belum terpadu sehingga kebijakannya umumnya tidak
kontinyu, tidak terus menerus, dan tidak data/hasil riset/pembangunan
dikembangkan dan ditetapkan. Sebaiknya Pemerintah Indonesia memiliki adanya
rencana jangka pendek, menengah dan jangka panjang untuk pengelolaan pulau-
pulau kecil dan wisata bahari.

61
Pada tahun 2014, khususnya setelah pergantian Presiden dan Wakil
Presiden yang terpilih yaitu Bapak Joko Widodo dan Bapak Jusuf Kala untuk masa
sampai lima tahun memiliki program nawacita, mendatang telah membentuk satu
dari banyak terobosan bagi perkembangan inovasi dan teknologi di negara
Indonesia mengenai negara kemaritiman. Dibentuknya Kementrian Kemaritiman
dan Kementrian Kelautan dan Perikanan yang menakodai semua rencana teknis
dan menjabarkan rencana utama yang telah ditentukan oleh negara agar dapat
dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku dan mencapai peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang hidup di negara Indonesia. Salah satunya ramai
diberitakan bahwa rencana menenggelamkan kapal “illegal fishing” yang tertangkap
di perairan negara Indonesia dapat dilaksanakan dan juga telah berkoordinasi
dengan semua pimpinan instansi terkait, juga dapat mencapai rencananya
pimpinan negara bapak Joko Widodo/Jokowi agar menggelamkan kapal asing yang
melanggar peraturan negara dan hukum laut International yang berlaku agar
pengusaha kapal-kapal asing pada jera.
Menanggapi hal tersebut Indonesia akan mengalami kerugian yang sangat
luar biasa banyak, dan negara tidak mendapatkan manfaat dari yang dimilikinya
sesuai batas negara Indonesia. Sesuai seperti pernyataan dari Pimpinan Angkatan
Laut negara Indonesia dan Bakorsutanal saat itu menghimbau pada tahun 2010,
mengenai jumlah pulau yang telah terdaftarkan kepada UN sebanyak 13.466
pulau dari hampir 17.504 pulau yang telah ditetapkan banyak institusi baik
keberadaan pulau yang berpenghuni dan tidak berpenghuni, hal tersebut
dinyatakan juga oleh Bapak Prof. Rohmin Dahuri/ mantan menteri Kelautan dan
Perikanan pada sebuah acara seminar nasional di Unpad tahun 2013 dan 2014.
Memang ternyata negara Indonesia memiliki banyak sekali pulau-pulau yang
tersebar luas dan seperti hampir menyerupai daratan Eropa bila kita ukur
menggunakan penggaris dari buku-buku peta yang banyak beredar di toko-toko
buku. Sehingga luas perairan yang dimiliki oleh negara Indonesia dengan kawasan
pulau-pulau kecil baik yang dekat dengan pulau induk maupun yang dekat
perbatasan negara lainnya. Kawasan pulau-pulau kecil punya potensi Sumber
Daya Alam dan Jasa Lingkungan yang tinggi sebagai modal pembangunan negara
Indonesia kedepan. Pengembangan pulau-pulau kecil akan berdampak juga pada
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.

62
Negara Indonesia mempunyai garis pantai yang panjang yaitu sekitar
80.791,42 km. Negara Indonesia berada di tengah garis khatulistiwa sehingga
membuat iklim di negara Indonesia tropis, yang terbagi dua musim saja. Perairan
Indonesia dipengaruhi dengan berbagai samudera yang mengelilingi. Negara
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Negara kita
memiliki sekitar 13.466 pulau yang telah didaftarkan kepada UN dan oleh karena
banyaknya pulau-pulau yang dimiliki maka perairan pulau-pulau kecil rawan
terhadap kegiatan kegiatan ilegal, politis dan pencemaran lingkungan. Juga sudah
sebaiknya sumberdaya alam dan sumberdaya hayati yang ada di negara Indonesia
mendemo agar banyak mendapatkan perhatian, sehingga kelestarian dan nilai
yang dimiliki oleh negara Indonesia dapat termanfaatkan oleh banyak masyarakat
luas dan kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Bayangkan bila dari satu
program dalam menjaga perairan negara Indonesia dengan menenggelamkan
kapal asing yang illegal fishing dapat berhasil dilakukan dengan konsisten maka
nilai perkiraan pendapatan negara senilai Rp. 3.000 Triliunan rupiah akan dapat
tercapai. Dapat direncanakan dengan baik bahwa negara Indonesia dapat menjaga
lingkungan dan aset yang terkandungnya maka tidak menutup kemungkinan akan
menjadi negara maritim yang besar dan negara Indonesia dapat juga
mempengaruhi perekonomian dunia dimasa yang akan depan.
Salah satu contoh yang dapat dilakukan adalah dengan program menjaga
perairan negara dan merencanakan penggelolaan pesisir serta pulau-pulau kecil
seperti banyak berkembang di beberapa bagian di dunia ini yang telah dengan
serius memanfaatkan kawasan pulau-pulau kecilnya menjadi pusat perekonomian
kota yang dapat disinggahi oleh kapal-kapal pesiar serta banyak juga pulau-pulau
kecil digunakan untuk kegiatan wisata bahari yang ramah lingkungan dengan
tujuan mensejahterakan masyarakat serta kegiatan wisata bahari pun dapat
melestarikan sumberdaya dan lingkungannya, seperti Negara Maldives dan
Negara Singapura.
Sebagai contoh negara tetangga Singapura telah lebih dahulu membangun
dengan kegiatan wisata baharinya pada kawasan perairannya dan menjadikan
negara dengan pulau-pulau kecil dengan teknologi dan infrastruktur yang sangat
modern dengan tata ruang yang tepat contoh Pulau Sentosa yang dibangun
Negara Singapura telah menghasilkan jutaan dollar dari jutawaan wisatawan yang
datang dan mengunjungi ke Pulau Sentosa, sehingga Negara Singapura telah lama

63
menjadi negara dengan perekonomian yang baik dan disukai oleh banyak investor,
pedagang yang tinggal maupun hanya berkunjung. Contoh Pulau Sentosa yang
ada di negara Singapura telah dapat merencanakan dan menjadi kawasan terpadu,
dengan mengadopsi semua inovasi serta teknologi diberbagai bidang yang
berkaitan, khususnya pada pengelolaan wisata bahari. Sarana dan prasarana di
Pulau Sentosa Singapore yang sudah sangat baik dan cukup lengkap untuk
berbagai keperluan dan aktivitas masyarakat, contoh kecilnya saja pada kebersihan
pasir pantai di Pulau Sentosa dan lingkungannya yang terbukti rapih, bagus, hijau,
tanamannya sehat dan lebat menyerupai hutan tropis di Kalimantan Timur negara
Indonesia ini telah lengkap dihiasi dengan beberapa rambu-rambu serta marka
jalanan yang menggelilingi Pulau Sentosa ini terlihat jelas, bagus dan mudah
terbaca oleh masyarakat dan wisatawan asing. Bila dilihat sumberdaya alam di
Pulau Sentosa sangatlah beragam. Dan bila dilihat di negara Indonesia yang juga
memiliki sumberdaya alam yang cukup banyak dan beragam akan tidak kalah
dengan pulau kecil yang ada di negara Singapore. Padahal negara Indonesia juga
dikenal sebagai negara yang disebut sebagai “Mega Diversity” dengan memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun semua ini perlu perencanaan
pengelolaan pulau-pulau kecil yang tepat dengan mengikuti perkembangan jaman.
Sekarang tinggal bagaimana masyarakat negara Indonesia bisa merencanakan,
mengeksplorasi, dan menjaga sumberdaya alam yang dimilikinya tetap
berkembang dengan baik dan terjaga lestari.
Padahal seperti yang kita ketahui untuk merencanakan sebuah kawasan
seperti Pulau Sentosa itu tidak mudah. Namun memang di Pulau Sentosa ini
tidak ada penduduk yang tinggal, hampir semuanya pekerja dan kembali ke
rumahnya masing-masingnya sekitar pukul 22.00 pm dan kembali bekerja mulai
dari pukul 08.00 am. Perlu pengorbanan dan waktu, karena banyak sekali
permasalahan yang akan timbul bila kita ingin membangun pulau-pulau kecil di
negara Indonesia seperti di Pulau Sentosa Negara Singapura. Karena umumnya
permasalahan spesifik yang akan timbul di pulau-pulau kecil yaitu permasalahan
manajemen sampah, pencemaran limbah di wilayah pesisir dan laut, serta
permasalahan sanitasi lingkungan, permasalahan abrasi dan erosi pantai,
permasalahan penyediaan air bersih dan permasalahan sarana serta prasarana
jalan dan transportasi umum yang aman, efisien, modern dan nyaman. Banyak

64
juga masalah yang akan timbul seperti kurangnya pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang sumberdaya yang ada di pulau di Indonesia.
Masalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat setempat, masalah
utang, jelasnya kewenangan legal dan kerangka kerja pengelolaan pulau-pulau
kecil, dan masalah kecilnya skala ekonomi dalam aktivitas produksi, transportasi,
adminitrasi dan konsumsi, lalu masalah yang cukup penting yaitu kemiskinan
masyarakat, rendahnya kapasitas sumberdaya manusia, taraf kesehatan dan
tingkat ekonomi yang rendah menjadi masalah yang serius bila tidak segera
dibenahi. Masalah perbatasan negara juga menjadi penting bila pulau-pulau
kecilnya tidak segera direncanakan dengan tepat yaitu akan timbulnya masalah
kerawanan pulau-pulau kecil terluar terhadap ancaman, gangguan dan okupansi
oleh negara lain dan banyak sekali potensi pulau-pulau kecil terluar yang belum
dimanfaatkan secara optimal oleh negara Indonesia.
Sesuai dengan berbagai program pada kegiatan ekonomi yang berlangsung
di wilayah pesisir dan lautan dan kegiatan ekonomi di darat yang menggunakan
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang
dan jasa yang dibutuhkan masyarakat Indonesia, maka negara ini harusnya demo
agar pembangunan yang terjadi di negara Indonesia harus terkait dengan banyak
aspek dan khususnya kelautan agar negara Indonesia ini masyarakatnya dapat
mengetahui, memanfaatkan dan menjaga sumberdaya alam dan hayatinya untuk
mencapai negara maritim yang besar di dunia ini.
Untuk terus menjaga perairan negara Indonesia dari kapal ilegal yang
menangkap ikan di laut Indonesia sehingga ikan-ikan seharusnya dinikmati oleh
nelayan dan masyarakat kita. Contohnya saja banyaknya pelanggaran kapal asing
yang menangkap jumlah ikan di laut Indonesia sebesar 600-800 ton/tahun,
menyebabkan nilai Rp. 300 Triliun/tahun itu besar dan kalau 10 tahun berarti
kerugian kita sampai Rp. 3.000 Triliun, jumlah itu cukup untuk membayar utang
kita ke seluruh dunia ujar Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti 2014.
Sehingga potensi negara Indonesia dapat terjaga dan akan lebih berkembang dan
menjadi lebih mudah dan nyata untuk membangun lebih baik lagi, bila masalah
illegal fishing dapat dihapuskan dari perairan negara Indonesia. Dengan potensi
pendapatan yang sangat besar dari eksplorasi dan pemanfaatan hasil perikanan
maka perlu juga negara melindungi keanekaragaman hayatinya, melindungi
berbagai ekosistem yang ada di pulau-pulau kecil yang berfungsi melindungi

65
daerah pemijahan, daerah mencari makan, dan melindungi daerah pengasuhan
bagi semua biota laut agar stok sumberdaya ikan di laut dapat meningkat karena
kegiatan illegal fishing di laut akan dapat diminimalisir oleh pemerintah sekarang
ini dan berharap sampai dimasa mendatang. Adapun peran utama pengelolaan
wisata bahari di pulau-pulau kecil, selain yang sudah ada diatas yaitu melindungi
semua keanekaragaman hayati yang tinggi, juga dapat menyediakan tempat
rekreasi yang bernilai, dapat memperluas pengetahuan tentang ekosistem, yang
terpenting memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat melalui
pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan.
Semoga kebijakan ini dilanjutkan oleh pak /menteri Pak Edhy Prabowo sehingga
sumberdaya alam kita terus terjaga. Belajar dari sejarah pembangunan Negara
Indonesia dari masa ke masa, dan yang menjadi tantangan pemerintah Negara
Indonesia seperti:
1. Negara Indonesia belum punya rencana jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang untuk pengembangan pengelolaan sumberdaya untuk pulau-
pulau kecil dan potensi wisata bahari yang dimilikinya.
2. Masih dipengaruhi oleh persaingan dalam partai politik terhadap anggaran
pembangunan belanja Negara (APBN).
3. Sistim kebijakan (policy system) atau pola institusional tidak dibuat dengan
tepat yang seharusnya mengandung elemen yang memiliki hubungan timbal
balik, seperti contohnya: kebijakan publik, pelaku kebijakan dan kebijakan
lingkungan.
4. Tidak turut diikutkan para pakar, misalnya kelompok masyarakat, organisasi-
organisasi profesi, partai politik, badan-badan pemerintah, wakil rakyat
pemerhati lingkungan.
5. Belum adanya sarana prasarana yang mendukung untuk ara wisatawan asing
mengetahui dan bisa pergi ke pulau-pulau kecil andalan Indonesia dengan
harga yang relatif murah.
Oleh karena diperlukan cara penyelesaiannya dari keempat tantangan
pengelolaan pulau-pulau kecil dan wisata bahari ini, yaitu:
1. Dengan cara perlu ada kegiatan khusus antara Presiden sebagai kepala
pemerintahan dan Para Menteri yang terkait untuk membuat rencana besar
dari jangka pendek, menengah dan jangka panjang (blueprint) yang harus
diikuti sampai jangka panjang (kurang lebih 15 tahun) tidak bisa digantikan,

66
harus diteruskan oleh Presiden terpilih dan Para Menteri yang baru sehingga
rencana besar pengelolaan pulau-pulau kecil dan potensi wisata bahari dapat
tercapai dan tepat sasaran/guna.
2. Tidak boleh adanya persaingan antar partai politik dalam pembangunan
lainnya sehingga (blueprint) dapat tercapai dan tidak menganggu anggaran
pembangunan Negara (APBN).
3. Sebaiknya sistim kebijakannya pun harus terpadu (intergration) sehingga
analisa kebijakannya lebih komprehensif dalam menghasilkan dan
memindahkan informasi baik sebelum maupun sesudah tindakan
kebijaksanaan dilakukan.
4. Agar terciptanya pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan sudah
seharusnya mendiskusikan/merumuskan dengan para pakar, kelompok
masyarakat, organisasi-oragnisasi profesi, partai politik, badan-badan
pemerintaan dan para wakil rakyat pemerhati lingkungan.
5. Diperlukan pembangunan sarana prasarana seperti bandara udara, pelabuhan,
akomodasi dan lingkungan belanja yang terpadu untuk para wisatawan yang
ingin berkunjung ke pulau-pulau kecil di Indonesia dengan harga yang relatif
murah.
Sebaiknya terus diikuti serangkaian program yang mendukung hal tersebut
salah satunya dengan penggelolaan pulau-pulau kecil seperti melindungi,
mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya sumberdaya
alam dan hayatinya di pulau-pulau kecil secara berkelanjutan sebagai bagian dari
pemulihan ekosistem nekton yang ada dipengaruhi oleh kegiatan illegal fishing di
perairan negara Indonesia masa dahulu. Lalu program untuk membuat
keharmonisan dan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
penggelolaan sumberdayanya, dan juga harus memperkuat peran serta masyarakat
dan lembaga pemerintahan serta mendorong inisiatif masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil agar dapat tercapainya keadilan,
keseimbangan dan keberlanjutan baik sosial, nilai ekonomi, nilai budaya di
masyarakat melalui peran serta masyarakat itu sendiri dalam pemanfaatan
sumberdaya pulau-pulau kecil yang dimiliki negara Indonesia. Oleh karenanya
benar beberapa program-program untuk mencapai negara maritim yang besar ini
harus dapat dinilai dan didukung oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga
pemerintahan Jokowi dan Maruf Amin dapat terus melanjutkan mencapainya

67
dengan benar dan tepat agar cita-cita Negara Indonesia dapat menjadi poros dunia
negara maritim dapat tercapai.
Agar penyelamatan nilai dari sumberdaya alam dan hayati yang ada di
pulau-pulau kecil di sekeliling negara Indonesia ini tidak mudah diambil oleh
negara lain/tetangga. Dan setelahnya semua titik yang menjadi modal
pembangunan negara dapat bertindak sesuai kewenangannya dan menjadi
penyeimbang aspek kehidupan. Sesuai dengan Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan
perairan disekitarnya diprior itaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan bagi
masyarakat. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
No.20/2008 tentang pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya. Dan
pemanfaatan yang diprioritaskannya ada delapan kegiatan utama yaitu konservasi,
pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut,
pariwisata atau wisata bahari, usaha perikanan dan industri perikanan secara
lestari, pertanian organik, dan peternakan dapat menjelaskan kegiatan dan
aktivitas masyarakat Indonesia yang dapat direncanakan dan dikelola dengan baik
dan tepat. Oleh karenanya sesuai sidang paripurna DPR telah disetujui Undang-
Undangnya yang diumumkan melalui Lembaran Negara (LN) RI No.82 dan
Tambahan LN No.4739 maka kegiatan utama untuk memanfaatkan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil ini perlu disosialisasikan dan ditindaklanjuti dalam
implementasinya. Sehingga dapat menjamin akses masyarakat untuk
memanfaatkan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat dikelola
secara lestari dan menyelaraskan kebijakan nasional dan daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah di wilayah pesisir dan mendorong peran pemda
dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
Dengan cara pengelolaan wisata bahari di pulau-pulau kecil yang tepat
maka negara Indonesia akan lebih mudah membangun dengan tepat sehingga
lebih maju, lebih berkembang dan dapat melunasi utang-utangnya. Namun ada
berbagai rencana yang perlu dilakukan yaitu memperhatikan berbagai aspek yang
saling berhubungan untuk mencapai pengelolaan wisata bahari, karena itu harus
memperhatikan pelestarian lingkungan, memperhatikan nilai sosial dan nilai
budaya serta pelibatan masyarakat, dan juga pendidikan berwawasan lingkungan.
Adapun jenis kegiatan wisata bahari yang dapat dilakukan di negara Indonesia
yaitu diving, snorkling, berenang, bermain cano, bermain jetski, banana boat,
flying boat, memancing ikan laut, surfing, bermain bodyboard dan berlayar baik

68
hanya menggunakan kapal dengan dasar kaca ataupun mendatangkan ribuan
wisatawan dengan kapal pesiar. Karena pemahaman dari wisata bahari adalah
kegiatan wisata yang dilakukan dari satu tempat ke tempat lainnya dengan tujuan
tertentu yang dilakukan dan berkaitan dengan kelautan baik di atas permukaan air
laut dan dilakukan didalam laut. Disini peran penting pemberdayaan masyarakat
pesisir harus memiliki banyak pengetahuan tentang kondisi obyektif wilayahnya,
khususnya dalam konteks pengelolaan wisata bahari di pulau-pulau kecil dan
tentang kondisi ekosistem serta ekologi yang ada di pesisir dan laut. Secara umum
bahwa keyakinan apabila kita punya pulau-pulau kecil yang bagus walaupun
belum ada yang bisa menyerupai kondisi Pulau Sentosa di Negara Singapura,
namun negara Indonesia telah dinobatkan menjadi negara yang mempunyai pulau
terbaik se-Asia yaitu Pulau Bali. Masih banyak lagi pulau-pulau kecil yang dimiliki
negara Indonesia seperti Pulau Biawak, Pulau Nusa Lembongan, Kepulauan Gili
Matra, Kepulauan Anambas, Pulau Komodo, Kepulauan Wakatobi dan Raja Ampat
yang telah dikenal oleh banyak wisatawan di dunia ini. Dan bila pemerintah dan
masyarakat terus merusaha keras maka tidak akan lama lagi pulau-pulau kecil di
negara Indonesia akan ada yang dapat seperti Pulau Sentosa di Negara Singapura
bahkan yang lebih baik lagi dan lebih beragam karena Indonesia memiliki banyak
sumberdaya dan budaya yang ada. Dan makin banyak masyarakat luas yang dapat
menikmati pulau-pulau kecil yang ada di negara Indonesia.
Pembelajaran dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil kepada masyarakat luas harus diorientasikan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakatnya yang telah ditetapkan dan sesuai tujuan Undang-Undang
No.27/2007 dan No.1/2014. Sehingga sebagian masyarakat bahkan semuanya
akan dapat mampu menyambut Masyarakat Ekonomi Asean tahun 2015 nanti,
khususnya karena salah satu menguatan program pemerintah untuk pengelolaan
pesisir dan pulau-pulau kecil seperti yang telah dibahas diatas. Tentunya makin
banyaknya pengelolaan dan aksi yang harus direncanakan dan dilakukan dengan
baik dan tepat diberbagai bidang yang ada di negara Indonesia. Serta tentu masih
banyak yang harus dikerjakan sesuai rencana karena banyak masalah lainnya yang
dapat ditemui dan diketahui serta sebaiknya pemerintah harus terus fokus pada
penyusunan blueprint/roadmap untuk pengembangan pembangunan NKRI di
masa yang jauh ke depan. Kedepan dengan pariwisata wisata bahari akan dapat
menambah pundi-pundi nilai ekonomi dan juga menjaga kelestarian lingkungan

69
hidup pesisir dan laut di Indonesia, masih banyak kawasan wisata yang bisa
dikembangkan dan dimanfaatkan dengan tepat sehingga dengan pariwisata bahari
dapat menambah GDP Negara ndonesia yang cukup besar selain mintak bumi dan
gas. Dengan kunci pariwisata yaitu aksesibilitas, amenities, aktifitas dan
akomodasi perlu direncanakan dengan benar-benar internasional oriented, seperti
contoh dari Pulau Sentosa Negara Singapura, atau Pantai Pattaya Negara
Thailand, sehingga Indonesia pasti dapat mampu mengikuti prestasi pariwisata
kedua Negara tetangga tersebut. Kita optimis, kita pasti bisa.

Daftar Pustaka
Koran Pikiran Rakyat-12 Agustus 2014
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.20/2008 tentang pemanfaatan pulau-pulau
kecil dan perairan sekitarnya.
Lembaran Negara (LN) RI No.82 dan Tambahan LN No.4739
Undang-Undang No.27/2007 dan No.1/2014
William N. Dunn (2000). Analisa Kebijaksanaan Publik. Adiura-Yogyakarta.

70
REFORMUL ASI STRATEGI OPTIMASI SISTEM
LOGISTIK IKAN NASIONAL (SLIN) GUNA
PENGEMBANGAN INDUSTRI PERIKANAN
NASIONAL

Achmad Rizal
Kelompok Kepakaran Sosek, Departemen Perikanan-FPIK UNPAD

Latar Belakang

P
erikanan merupakan salah satu sektor yang dapat diandalkan bagi
pembagunan ekonomi di Indonesia, karena dapat memberikan dampak
ekonomi bagi sebagian penduduk. Produk perikanan merupakan bahan
makanan penting bagi masyarakat pada umumnya, sehinga dapat menjadi sumber
pendapatan Negara disamping menjadi sumber mata pencaharian sebagian
masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai. Oleh karenanya, maka perikanan
perlu dipertahankan keberlanjutannta.
Seiring dengan pengakuan ZEEI melalui UNCLOS 1982, penambahan luas
wilayah laut dengan panjang pantai Indonesia mencapai 95.181 km (terpanjang
kedua di dunia) serta lahan potensial budidaya yang mencapai 17,75 juta Ha. Hal
ini berdampak pada meningkatnya potensi perikanan, yang saat ini diperkirakan
mencapai 7,3 jt ton/tahun (Kajian 2014). Potensi tersebut belum termasuk
potensi ikan di laut lepas dan budidaya. Lahan potensial yang dapat
dikembangkan untuk budidaya payau dan laut, yang apabila dapat dikelola dengan
produktivitas 2 ton/ha/tahun saja, maka potensi ikan yang dihasilkan mencapai
35,5 juta ton/tahun. Sementara target produksi 2015, hanya 6,29 juta ton dari
perikanan tangkap dan 17,9 juta ton dari budidaya (rumput laut 10,234 juta ton/
tahun).
Besarnya potensi perikanan tersebut, nyatanya belum mampumengangkat
konsumsi ikan secara Nasional serta belum mampu memenuhi kebutuhan
industri perikanan di dalam negeri. Konsumsi ikan secara Nasional, pada tahun
2015 baru mencapai 41,9 Kg/kapita/tahun dengan deviasi yang sangat besar,
dimana konsumsi di Jawa rata-rata hanya sekitar 23 Kg/Kapita /tahun, sedangkan
di luar Jawa mencapai >40 Kg/kapita/tahun. Untuk kebutuhan konsumsi dalam

71
negeri, melalui Perpres No. 71 Tahun 2015, ikan kembung, bandeng dan TTC
ditetapkan sebagai bahan pangan pokok, sehingga Pemerintah berkewajiban
untuk menyediakan jenis-jenis ikan tersebut secara tepat waktu, tepat mutu
dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Begitu juga dengan suplai bahan
baku industri perikanan, yang saat ini baru terpenuhi <50% dari kapasitas
terpasangnya, sehingga ekspor hasil perikanan Indonesia masih kalah dengan
Thailand dan Vietnam, walaupun kedua negara tersebut mempunyai potensi SDI
yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia. Lebih jauh, kondisi tersebut
menyebabkan kesejahteraan stakeholder perikanan (nelayan, pembudidaya ikan,
pengolah dan pemasar) juga akan rendah.
Perikanan yang dipandang sebagai suatu sistem bisnis dimulai dari pra
produksi, produksi (hulu) hingga ke pasca produksi (hilir) menemui berbagai
permasalahan dan hambatan. Permasalahan yang terjadi di hulu adalah dominasi
armada penangkapan ikan skala kecil yang berpengaruh pada mutu dan kualitas
hasil tangkapan, rendahnya efisiensi yang akan berpengaruh pada daya saing
produk yang dihasilkan. Sedangkan permasalahan yang terjadi di hilir adalah
hambatan yang terjadi pada sistem pemasaran produk perikanan yang
kesenjangan antara permintaan dan pemenuhan kebutuhan produk perikanan.
Pemenuhan kecukupan kebutuhan produk perikanan merupakan permasalahan
yang begitu kompleks dan melibatkan komponen, elemen atau unsur yang ada.
Dengan demikian urgen untuk melibatkan berbagai aspek yang diperlukan untuk
saling berinteraksi secara terintegrasi scara menyeluruh. Secara nasional,
pemenuhan kebutuhan produk perikanan yang diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan protein hewani, harus ditangani sunguh-sungguh oleh pemerintah.
Sehubungan hal, tersebut Menteri Kelautan dan Perikanan telah
menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 5/PERMEN-KP/2014
tentang Sistem Logistik Ikan Nasional (dikenal dengan istilah SLIN) yang kini
memasuki tataran implementasi. Upaya program SLIN pada tahap awal oleh KKP
dijalankan di Wilayah Timur Indonesia yakni koridor Sulawesi Tenggara. Upaya
ini tentu saja menjadi bukti nyata dan kerja serius KKP. Upaya tahap awal ini
dijalankan oleh KKP untuk membangun kekuatan daya saing, keterhubungan
wilayah (konektivitas), sistem optimalitas alur (logistik) komoditas ikan serta
mendorong kinerja nilai tambah produk perikanan. Upaya tahap awal dari
program SLIN ini dalam rangka terjaganya kualitas (mutu) ikan. Tidak hanya

72
mutu ikan juga hal penting dari bagi konsumen industri maupun rumah tangga
dari adanya program SLIN ini adalah pasokan, ketersediaan, keterjangkauan dan
kestabilan harga ikan. Upaya menyeluruh itu tentu akan berujung pada perbaikan
daya saing ekonomi sektor perikanan dan sekaligus berefek pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Pengembangan program SLIN ini tentu tidak bisa dilakukan hanya KKP
sendiri. Keberhasilan program ini harus melibatkan para pihak baik instansi
pemerintah yang ada di pusat juga di daerah. Program ini akan berhasil dengan
baik jika dilakukan secara terintegrasi antar instasi pemerintah, kalangan
perguruan tinggi (akademisi) dan pelaku dunia usaha. Tentu saja ketika kerja
kolosal dan integral ini mesti di bawah komando dan kendali KKP. Ini bermakna
posisi pengambil kebijakan dan regulasi, dukungan anggaran dan fasilitasi
infrastruktur serta program pemberdayaan terkait program SLIN ini semestinya
ada dalam rentang kendali utama KKP. Sementara pihak lain, seperti Pemerintah
daerah (baik Pemprov dan Pemkab/kota) mendukung dan bersinergi perannya
dalam penyediaan anggaran pendamping, lahan, tenaga kerja, serta kemudahaan
perizinan. Pada sisi lain dunia usaha (pihak swasta) serta masyarakat berperan
sebagai pelaku pengembangan industri perikanan (baik penangkapan, budidaya,
pengolahan, distribusi, logistik dan pemasaran). Itulah sebabnya peresmian SLIN
pada tahap awal mesti ada penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) para
pihak seperti Bank BNI, LPDB, Jamkrindo, Penyedia Jasa Logistik dan KOMIRA
(Operator SLIN) agar optimalnya kerja program SLIN ini.
Secara sistemik berjalannya program SLIN ini merupakan upaya bersama
secara terpadu antar kinerja pusat produksi dan pusat distribusinya. Tentu saja
kerja terpadu ini dalam kerangka mempertahankan mutu kesegaran sekaligus
tanpa mengubah karateristik ikan tersebut. Secara praktis di lapangan diketahui
bahwa wilayah barat merupakan sentra pengolahan yang membutuhkan
coldstorage dan sarana-prasarana distribusi yang menampung pasokan ikan dari
wilayah timur dalam upaya memenuhi kebutuhan industri pengolah dan rumah
tangga. Konsekuensinya wilayah timur sebagai pemasok (supplier) produksi ikan
yang dalam proses produksinya mau tidak mau harus didukung oleh ketersediaan
beberapa infrastruktur penting yang sangat dibutuhkan seperti armada
penangkapan ikan, pelabuhan perikanan, pabrik es, coldstorage, stasiun pengisian

73
bahan bakar untuk nelayan, sarana dan prasarana transportasi sampai kepada
pelabuhan kontainer yang berfungsi sebagai pelabuhan pengirim.
Namun demikian, saat ini implementasi SLIN pada tataran yang ada
belum sesuai harapan, hal ini terlihat dari belum meratanya pasokan dan
permintaan ikan baik di wilayah barat Indonesia maupun di wilayah timur
Indonesia. Oleh karenanya untuk memecahkan persoalan SLIN yang kompleks
perlu pendekatan secara komprehensif dan dinamis karena permasalahan yang
bersifat kompleks dan melibatkan banyak unsur. Pendekatan ini diharapkan dapat
memberikan alternatif kebijakan untuk mendukung pemenuhan konsumsi ikan
melalui SLIN dan sekaligus membantu menentukan arah perencanaan
pelaksanaan program SLIN bagi pihak pengambil kebijakan.

Konsepsi Persoalan
Berdasarkan pada kecenderungan kecenderungan kebutuhan produk
perikanan yang telah duraikan di atas, maka dapat diketahui beberapa
permasalahan utama yang dihadapi. Pertama, meskipun potensi perikanan
Indonesia yang bersumber dari perikanan tangkap maupun budidaya sangat besar,
namun pengelolaannya belum dilakukan dengan optimal untuk memenuhi
kebutuhan khususnya konsumsi di dalam negeri. Permasalahan di hulu baik pra
produksi maupun produksi masih banyak ditemui. Pada level pra produksi, masih
tidak meratanya sarana dan prasarana yang dibangun mulai dari wilayah barat
hingga timur.
Hal ini juga dipengaruhi dengan lemahnya akurasi data yang
mengakibatkan tidak akuranya perencanaan sehingga banyak fasilitas yang
mangkrak atau tidak dapat termanfaatkan dengan baik. Dari sisiSDM, struktur
nelayan yang didominasi nelayan kecil dengan tingkat pengetahuan rendah
khususnya terkait dengan pengetahuan mempertahankan mutu ikan sehingga
ikan mudah busuk sebelum sampai di tempat, yang menyebabkan lemahnya daya
saing produk perikanan. Kebijakan di bidang perikanan yang masih tumpang
tindih, menyebabkan tidak sinkronnya tugas, kewajiban dan tanggung jawab
birokrasi yang sehingga penerapan aturan di lapangantingkat kepatuhannya
rendah.
Kedua, dibidang produksi (penangkapan ikan), armada penangkapan ikan
masih didominasi oleh armada skala kecil dengan teknologi sangat sederhana,

74
menyebabkan hasil tangkapan terbatas dan bermutu rendah, di sisi lain biaya
operasional tinggi. Issue traceability (ketelusuran) dan persyaratan ikan bukan
hasil tangkapan IUU Fishing dari negara pembeli. Globalisasi pasar produk
perikanan dunia yang sangat cepat, sehingga Indonesia harus tunduk terhadap
aturan-aturan Internasional.
Ketiga, pada level pasca produksi, beberapa permsalahan yang dihadapi
adalah rendahnya konsumsi ikan per kapita yang disebabkan oleh belum
meratanya distribusi, suplai tidakkontinyu, mahalnya transportasi, masih banyak
p r o d u k y a n g b e r ku a l i t a s ku r a n g p r i m a d i p a s a r a n , ku r a n g n y a
pengetahuanmasyarakat akan manfaat makan ikan, masih adanyabudaya dan
kondisi sosial masyarakat yang kurangkondusif terhadap peningkatan konsumsi
ikan. Kurangnya pengetahuan nelayan, petugas TPI/PPI atau distributor untuk
mendapatkan hasil yang berkualitas tinggi menyebabkan banyaknya losses
(kehilangan) bahan baku, menurut Husaini, tingkat kehilangan mencapai sekitar
27,8%. Permasalahan rendahnya tingkat konsumsi ikan dipengaruhi juga oleh
kurangnya intensitas promosi dan rendahnya partisipasi stakeholder. Berdasarkan
permasalahan-permsalahan tersebut, perlunya analisis rangkaian proses
pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri yang dilakukan melalui
kebijakan SLIN dengan mengidentifikasi permasalahan manajemen, menentukan
faktor dominan, menganalis keterkaitan dan pengaruh antar faktor membuat
simulasi dalam model dinamis untuk selanjutnya di susun skenario serta strategi
kebijakan.
Skenario dapat membantu dalam memberikan peta jalan atau manajemen
SLIN yang komprehensif, efektif, efisien dan berdaya guna serta memberikan
manfaat yang maksimal untuk kesejahteraan masyarakat. Skenario juga dapat
mempromosikan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia. Scenario
planning merupakan alat masa depan yang efektif yang membantu perncana
menggetahui apa yang meungkin dan tidak mungkin terjadi, sehingga dapat
mengetahui secara pasti elemen ketidakpastian dalam organisasi yang dapat
mempengaruhi kesuksesan organisasi (Alexander & Serfass, 1998).
Selain itu dapat membantu memberikan usulan pada pengambil kebijakan
mengenai pendekatan yang tepat untuk mengembangan kebijakan perikanan yang
lebih baik, terukur dan komprehensf sehingga menjadi acuan yang tangguh dalam
membuat kebijakan-kebijakannya. Berdasarkan argumentasi tersebut, penulis

75
mencoba memberikan strategi kebijakan terkait scenario planning yang akan
dikemas dalam skema Kebijakan SLIN dalam rangka efisiensi dan pemenuhan
kebutuhan konsumsi ikan.

Strategi SLIN Dengan Pendekatan Dinamis Scenario Planning


Subsistem permintaan ikan terdiri atas kebutuhan ikan nasional baik
untuk konsumsi maupun industry pengolahan. Kebutuhan konsumsi ikan
nasional merupakan porsi terbesar dalam menentukan jumlah permintaan, dan
komponen ini dipengaruhi oleh laju pertambahan penduduk, meningkatknya
pendidikan dan pengetahuan tentang pentingnya makan ikan, tingkat konsumsi,
terjadinya diversifikasi konsumsi, sistem informasi dan promosi, daya beli
masyarakat dan alur distribusi.
Setelah diperoleh model dinamis, maka dikembangkan scenario planning
sebagai kerangka analisis perencanaan pengambilan kebijakan. Berdasarkan
skenario tersebut maka disusun skema SLIN dan dilakukan analisis untuk
menyusun grand strategy langkah-langkah pelaksanaannya. Dalam konteks sistem
dinamis ketersediaan ikan nasional, yang menjadi tema paper ini, dilakukan dalam
enam tahap analisis.
Pertama, menyadari pentingnya kompleksitas struktur hubungan sebab
akibat di dalam sistem ketersediaan produk perikanan nasional. Sehingga terlebih
dahulu harus dipahami adalah sub-sistem permintaan (demand) dan kebutuhan
ikan (baik industri dan rumah tangga masyarakat Indonesia) serta sub-sistem
suplai yang berfungsi sebagai penyedia (produksi) ikan nasional. Upaya
memahami beberapa sub sistem penting dilakukan pertama kali karena unsur-
unsur pembangun pada sub-sistem ini terdiri atas aspek-aspek yang khas dan
saling berhubungan secara dinamis berdasarkan waktu, situasi dan kondisinya.
Sehingga, pemahaman atas sistem yang ditelaah akan menghasilkan model
dinamis yang diharapkan. Kedua, Membangun diagram causal loop yang
menggambarkan struktur hubungan sebab akibat di dalam sistem ketersediaan
ikan nasional. Ketiga, membangun asumsi yang mendasari model dinamis yang
diciptakan. Keluaran (output) dari strategi ini adalah Model dinamis sistem
ketersediaan ikan nasional. Model yang terbangun dilandaskan atas beberapa
asumsi dasar. Asumsi ini didasari atas kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jendral Perikanan Tangkap dan Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk

76
Kelautan dan Perikanan KKP. Hasil proyeksi dari model yang dihasilkan
merupakan keluaran (output) strategi yang sangat bergantung pada asumsi yang
ditetapkan. Konsekuensinya, model strategi yang berbeda tentunya akan juga
menghasilkan proyeksi yang berbeda dari ketersediaan ikan nasional. Keempat,
formulasi dari langkah pertama hingga ketiga di atas. Maknanya model dinamis
dari diagram causal loop dan asumsi dasar model harus dalam formulasi yang
tepat. Kelima, melakukan validasi dari model dinamis yang terbentuk. Keenam,
melakukan simulasi berdasar scenario planning tekait kebijakan SLIN.
Secara makro, penyediaan ikan nasional terdiri atas sub-sistem penyediaan
dan sub-sistem permintaan (demand) serta kebutuhan ikan. Secara sederhana
subsistem dapat diidentifikasi menjadi komponen yang khas dan berinteraksi
secara dinamis berdasarkan waktu, situasi dan kondisi. Beberapa komponen yang
penting dalam sistem penyediaan ikan nasional adalah faktor ekologi
(ketersediaan sumberdaya ikan), teknologi (kapal, alat tangkap), faktor sosial
(kapasitas SDM, ketersediaan prasarana, pengawasan lapangan, daya beli
masyarakat), faktor ekonomi (keuntungan, pendapatan nelayan, biaya
operasional) dan faktor kelembagaan (kebijakan dan peraturan). Komponen ini
dangat mungkin berinteraksi denfan komponen lain di luar subsistem. Dengan
demikian, strategi yang perlu dilaksanakan adalah:

Pengembangan data Wilayah perikanan berdasarkan pada "fish demand" dari


pasar daerah.
Berdasarkan karakteristik dan potensi daerah di wilayah perairan nasional,
tidak mungkin pengembangan wilayah perairan nasional dilakukan secara sama.
Namun karena berbagai keterbatasan (meliputi dana, aset dan potensi) maka
digunakan skala proritas yang berdasarkan pada "Fish Core Competence" di masing-
masing wilayah. Aspek ini berkaitan dengan harmonisasi kebijakan spasial dan
regional yang tepat, dalam pemanfaatan komoditas perikanan bagi setiap lokasi-
lokasi pada kawasan, yang meliputi:

Tata Kelola Kawasan bagi Produk dan Komoditas Ikan


Berdasarkan sifat kompetisi komoditas perikanan dalam pasar, penurunan
harga ikan terjadi ketika kelebihan komoditas atau produk ikan pada waktu yang
bersamaan tidak diimbangi dengan peningkatan permintaan akan komoditas atau

77
produk ikan tersebut. Oleh karenanya penting untuk diperhatikan dalam kaitan
pengembangan kawasan atas produk ikan tertentu, dua strategi di bawah ini:
1. Spesifikasi produk perikanan untuk setiap daerah atas dasar potensi yang
tersedia sehingga tidak terjadi resonansi atau membanjirnya komoditas
perikanan pada saat yang sama dan pasar yang sama pula. Harus diciptakan
pusat-pusat pertumbuhan sedemikian rupa yang merupakan representasi dari
potensi khas perikanan yang dipunyai masing-masing daerah.
2. Jika terdapat komoditas perikanan yang sama maka harus diciptakan
perencanaan terpadu (joint planning) antar daerah dalam hal produksi maupun
pemasaran, sehingga terjadi sinergi positif bagi pengembangan secara terpadu.

Tata Ruang Wilayah Potensi Ikan antar Kabupaten


Keharmonisan spasial menuntut perlunya penyusunan tata ruang perairan
nasional secara tepat dan akurat berdasarkan potensi sumberdaya ikan yang ada.
Penyusunan tata ruang wilayah tersebut meliputi tiga jenis, yaitu:
1. Penyusunan tata ruang berdasarkan peruntukan lahan dan sumberdaya
perikanan yang meliputi wilayah preservasi, konservasi dan wilayah untuk
kegiatan pembangunan secara intensif.
2. Penyusunan tata ruang wilayah pembangunan intensif di wilayah pesisir dan
lautan untuk setiap kegiatan eksploitasi sumberdya ikan yang dilakukan.
3. Penyusunan tata ruang yang menggambarkan keterkaitan kegiatan
pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan pada perairan Indonesia Bagian
Barat, Tengah dan Timur.
Sehingga jika dilihat dari segi aset dan potensi wilayah Wilayah perairan
nasional dapat dipilah berdasarkan pada "fish comparative advantage"-nya. Dengan
begitu penentuan komoditas ikan unggulan berikut penataan ruang dan kutub
pertumbuhan (growth center) dapat secara harmoni dilaksanakan. Misalnya penting
dikembangkan pelabuhan perikanan yang ada sebagai pelabuhan niaga yang dapat
menjadi gerbang perdagangan setelah pelabuhan nasional, seperti Tanjung Priok,
ataupun Tanjung Perak, dan tentunya pelabuhan perikanan nasional (dengan
berbagai levelnya) harus terus meningkatkan pelayanannya, sehingga dapat
mengakomodasi permintaan perdagangan ikan di Asia Pasifik.

78
Peningkatan Kinerja dan Daya Saing Pelabuhan Perikanan
Melihat tantangan dan peluang yang ada bagi pembangunan daerah
wilayah perairan nasional, maka untuk mendukung optimasi SLIN yang akan
berlangsung, tentunya tidak ada pilihan lain selain meningkatkan kinerja
pelabuhan perikanan daerah secara nasional, yaitu: Pertama, melakukan proses
peningkatan level dan fungsi beberapa pelabuhan perikanan melalui upaya
optimasi pengembangan saran dan prasarana pelabuhan perikanan yang ada.
Kedua, melakukan upaya peningkatan kerjasama antar daerah (propinsi dan
kabupaten/kota) dalam optimalisasi pemanfaatan fasilitas sarana dan prasarana
yang tersedia.

Pengelolaan Lingkungan Perairan dan Sumberdaya Ikan daerah


Berdasarkan perhitungan stok penangkapan ikan, di wilayah perairan
nasional maka beberpa daerah ada yang belum mengalami overfishing, tentunya
hal ini merupakan peluang pembangunan berdasarkan kaidah Pembangunan
Berkelanjutan. Sebagaimana tersirat dalam definisi pembangunan berkelanjutan,
bahwa pembangunan akan bersifat berkesinambungan (sustainable) apabila tingkat
(laju) pembangunan beserta segenap dampak yang ditimbulkannya secara agregat
(totalitas) tidak melebihi daya dukung lingkungan kawasan tersebut.
Sementara itu, daya dukung lingkungan suatu kawasan ditentukan oleh
kemampuannya di dalam menyediakan sumberdaya ikan dan jasa-jasa lingkungan
perairan bagi kehidupan makhluk hidup serta kegiatan pembangunan manusia,
yaitu: (1) ketersediaan ruang (space) yang sesuai (suitable) untuk eksploitasi SDI
dan tempat tinggal/permukiman nelayan serta berbagai kegiatan pembangunan
sektor perikanan; (2) ketersediaan gudang ikan dan cold storage untuk keperluan
konsumsi dan proses produksi lebih lanjut; (3) kemampuan industri untuk
menyerap produksi ikan sebagai hasil industri penangkapan manusia dan kegiatan
pembangunan lainnya.

"Design and Construction" with Nature


Setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan dan akan merubah bentang
alami harus memperhatikan karakteristik dan pola kontruksi alamiah sehingga
tidak mempengaruhi ekosistem perikanan yang ada. Dalam melakukan kegiatan
rancangan (design) dan konstruksi atau modifikasi bentang alam (morfologi)

79
pantai atau laut dalam, seperti pembangunan dermaga laut (jetty), struktur
pemecah gelombang (breakwaters), dan marina, harus disesuaikan dengan
karakteristik dan dinamika biogeofisik setempat, termasuk pola arus, gelombang,
dan struktur geologi.

Manajemen Sosial Budaya


Seringkali keberhasilan pembangunan SLIN berkaitan dengan kondisi
sosial budaya para pelaku pembangunan, baik subyek maupun obyek. Untuk
mencapai keberhasilan pembangunan tersebut, maka setidaknya diperlukan lima
kriteria yang harus dipenuhi yakni (1) meningkatkan kegiatan yang berkelanjutan
yang didasarkan pada kemampuan lokal, (2) memperkuat partisipasi masyarakat
dalam kerangka pembangunan yang berbasis pada masyarakat, (3)
mengembangkan potensi untuk gerakan keswadayaan, (4) memperluas proses
pembangunan yang diorientasikan pada pendekatan berbagai kemitraan dan, (5)
kemungkinan adanya replikasi dari kondisi lokal.

Pengembangan SDM dan IPTEK


Faktor Sumberdaya Manusia merupakan faktor vital bagi proses otonomi
daerah yang sedang berjalan. Penciptaan dan penguatan SDM handal dan IPTEK.
perlu dilakukan melalui pembentukan jaringan kerja yang melibatkan unsur
universitas, pemerintah dan swasta/pribadi. Sebagaimana kenyataan yang dapat
diamati di dunia ini, tidak ada negara yang maju dan kuat tanpa dukungan
universitas atau lembaga penelitian yang kuat pula, demikian sebaliknya. Sistem
SLIN yang baik dan berkelanjutan harus didukung SDM dan IPTEK yang
mendukung.

Penguatan Hukum dan Kelembagaan


Optimalisasi SLIN dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya perikanan
guna mendukung terselenggaranya pembangunan daerah dan nasional harus
melalui supremasi hukum dan pemberdayaan rakyat sebagai kontrol hukum.
Sehingga implementasi hukum dapat terlaksana tanpa ada diskriminasi. Di sisi
lain, perlu diupayakan penyempurnaan peraturan tentang pemanfaatan struktur
pelabuhan perikanan nasional secara lebih simpel dan praktis. Dengan demikian
dapat menstimulan tumbuhnya investasi masyarakat dan pihak swasta (dunia

80
usaha). Sistem Operasional dan Prosedur (SOP) pengembangan pelabuhan
perikanan antar daerah harus ditata secara lebih praktis dan optimal bagi para
pihak pembangunan (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha/swasta). Selain
itu, keterpaduan dan keintegrasian pada perbaikan dan peningkatan infrastruktur
yang tersedia sebagai upaya antisipasi dalam memenuhi keterbutuhan dan
konskuensi tuntutan manajemen pelaksanaan program SLIN bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat, harus segera dilakukan.

Penutup
Upaya grand strategi kebijakan SLIN Indonesia dengan mengintegrasikan
scenario planning dengan strategi. Pengintegrasian didasarkan analisis mengenai
kondisi perikanan Indonesia saat ini dan melihat tren SLIN di masa mendatang,
hal ini dilakukan untuk menggambarkan perkembangan di masa mendatang yang
memiliki kemungkinan yang akan mempengaruhi SLIN. Pada upaya ini, berbagai
kesempatan dan ancaman dikaji kembali dan dikaitkan dengan pilihan-pilihan
tindakan yang terkait dengan scenario yang telah dibangun. Hasil dari hal ini
adalah strategi kebijakan SLIN yang dirancang diharapkan dapat menjawab
tantangan dan kondisi lingkungan kebijakan di masa depan.
Daftar Pustaka
Armstrong, H and J. Taylor. 1993. Regional Economics and Policy, Harvester Wheatsheaf, New York.
Mankiw, N. Gregory, Romer, David and Weill, David N. 1992. A Contribution to the Empirics of
Economic Growth, Quarterly Journal of Economics.
Romer, David. 1996. Advanced Macroeconomics (1st edition). Singapore: McGrraw-Hill
Higher Education.
Sjoholm, F. 1999. Productivity Growth in Indonesia: The Role of Regional Characteristics and Direct
Foreign Investment, Economic Development and Culture Change, Vo. 47, No. 3, The
University of Chicago Press.
Carson, R. 1962. Silent Spring. Houghton Mifflin, Boston. USA.
Clark, J.R. 1992. Integrated Management of Coastal Zones. FAO Fisheries Technical Paper No 327.
Rome. Italy.
GESAMP (IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP Joint Group of Experts on the
Scientific Aspects of Marine Environmental Protection). 1996. The contributions of science
to coastal zone management. Rep.Stud.GESAMP, (61):66p.
Krom, M.D. 1986. An Evaluation of the Concept of Assimilative Capacity as Applied to Marine Waters.
Ambio 15 (4).
Ortolano, L. 1984. Environmental Planning and Decision Making. John Wiley and Sons. Toronto.

81
P E N E R A PA N D A N I D E N T I F I K A S I W I L AYA H
POTENSIAL OECM DI INDONESIA: SEBUAH
KAJIAN PRELIMINER

Marine Kenzi Martasuganda


CEO MOCEAN Research Group; Alumni Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran

Pendahuluan

P
ada tahun 2010 dalam Conference of Parties (CoP) The Convention on Biological
Diversity (CBD) telah menyepakati adanya Target 11, yaitu salah satunya
untuk mengkonservasi 10% wilayah pesisir dan laut sebagai bagian dari
kerangka kerja keanekaragaman hayati (biodiversity framework). Selanjutnya pada
tahun 2018, negara-negara anggota CBD didorong untuk mengidentifikasi area
potensial untuk dijadikan Other Effective Area-Based Conservation Measures (OECM)
di wilayahnya masing-masing dan agar dapat disampaikan kepada World
Environment Monitoring Center Programme PBB untuk didaftarkan dalam Database
Dunia tentang Kawasan Lindung. OECM merupakan sebuah area selain kawasan
lindung, yang memiliki potensi untuk diterapkan sebagai area konservasi untuk
mendukung pelestarian keanekaragaman hayati.
Sebagai komitmen Indonesia dalam mendukung kesepakatan internasional
dan juga upaya pelestarian keanekaragaman hayati khususnya pada sektor
kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI) saat
ini mendorong dan menginisiasi agar OECM dapat segera diimplementasikan di
Indonesia. Namun tentunya, masih dibutuhkan berbagai kajian lebih lanjut guna
terimplementasikannya rencana ini. Oleh karena itu, kajian ini dibuat dengan
tujuan untuk:
1. Memberikan kajian awal mengenai OECM dan regulasi konservasi yang saat
ini ada di Indonesia.
2. Memberikan rekomendasi alat atau tools yang dapat digunakan dalam
mengidentifikasi wilayah pesisir dan perairan di Indonesia yang potensial
untuk dijadikan OECM.

82
3. Memberikan rekomendasi lokasi yang dapat dipertimbangkan sebagai OECM
di wilayah pesisir dan perairan di Indonesia.

OECM dan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia


Indonesia sebagai negara kepulauan dengan media air laut yang lebih luas
(70%) dibanding total luas media terestrialnya (30%) memiliki potensi
sumberdaya alam yang berlimpah khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil. Hal tersebut ditandai dengan sekitar 55% dari seluruh produksi perikanan
yang ada berasal dari wilayah pesisir, khususnya dari ekosistem padang lamun,
mangrove, terumbu karang, laguna dan estuaria (Sabah et al 2019). Hal ini tidak
terlepas dari fungsi ekosistem tersebut yang memiliki peran salah satunya sebagai
habitat bagi ikan dan organisme lainnya mencari makan (feeding ground),
bertelur (nesting ground) dan berpijah (spawning ground). Dengan sumber daya
laut yang sangat beragam tentunya hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat Indonesia untuk memperbaiki dan meningkatkan perekonomian,
namun pemanfaatan tersebut tidak dilakukan dengan ekploitasi atau penggunaan
berlebihan pada sumber daya laut.
Salah satu upaya pelestarian dan pengelolaan yang berkelanjutan tersebut
diwujudkan dengan adanya kawasan konservasi perairan (KKP) atau Marine
Protected Area (MPA). KKP adalah wilayah perairan yang dibatasi secara geografis
dengan jelas, diakui, diabdikan dan dikelola, menurut aspek hukum maupun
aspek lain yang efektif, untuk mencapai pelestarian alam jangka panjang, lengkap
dengan fungsi-fungsi ekosistem dan nilai-nilai budaya yang terkait (IUCN, 2004).
Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2008,
konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan,
pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta
ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Fungsi KKP diantaranya
dapat melindungi habitat, struktur, fungsi dan intergritas ekosistem, keragaman,
kekayaan, kepadatan spesies (Letser et al., 2009; Angulo et al., 2010; Salm et al.,
2010), memberikan manfaat langsung dengan kontribusinya dalam restorasi stok
yang telah mengalami overfishing (Bohnsack, 1996), peningkatan kesejahteraan

83
masyarakat pesisir (Nanlohy et al 2017), dan pembatasan aktivitas manusia agar
terlindung dari ancaman eksploitasi dan kerusakan ekologis (Cleguer et al 2015).
Poin mengenai status kawasan lindung atau tidaknya dalam sebuah
wilayah merupakan dasar dari konsep OECM. OECM berfokus pada area lain di
luar kawasan lindung. Keberadaan OECM dapat meningkatkan partisipasi dan
kontribusi dari berbagai pihak selain pemerintah, seperti swasta, komunitas
lokal/adat, militer, dsb, dalam mendukung upaya konservasi pelestarian
keanekaragaman hayati in-situ.
Definisi OECM disampaikan dalam keputusan CBD 14/8, yaitu sebuah
area geografis yang didefinisikan bukan sebagai kawasan lindung, namun diatur
dan dikelola dengan cara tertentu yang dapat mencapai hasil jangka panjang
berkelanjutan untuk konservasi keanekaragaman hayati in-situ. Area OECM
terkait juga dengan fungsi dan layanan ekosistem, yang di dalamnya dapat
diterapkan nilai-nilai kultural, spiritual, sosial-ekonomi, dan juga nilai lokal
lainnya yang relevan. Farquhar (2019) membagi area OECM menjadi 4 (empat)
kategori, yaitu area perikanan, area kebudayaan, area industri, dan area lainnya.
OECM (Other Effective area-based Conservation Measures) dalam Target 11
Aichi bertujuan agar area-area di luar kawasan lindung juga mampu berperan
dalam upaya konservasi in-situ untuk keanekaragaman hayati. OECM ini dapat
dikelola oleh 4 (empat) kategori, yaitu pemerintah, swasta, masyarakat adat dan
komunitas lokal, serta pengelolaan bersama (IUCN WCPA, 2019). Terdapat 3
(tiga) tipe area OECM berdasarkan tujuan dan fungsi area tersebut
• Konservasi Primer (Primary Conservation)
Merupakan area yang memenuhi kriteria IUCN sebagai area atau kawasan
lindung, namun tidak ditetapkan secara resmi sebagai area lindung.
• Konservasi Sekunder (Secondary Conservation)
Merupakan area yang melakukan kegiatan konservasi, meskipun bukan sebagai
tujuan utamanya. Sebagai contoh, kebijakan pengelolaan dan perlindungan
daerah aliran sungai yang berkelanjutan dapat mendukung perlindungan
keanekaragaman hayati, meskipun pengelolaan area tersebut awalnya tidak
memiliki tujuan khusus untuk konservasi.
• Konservasi Tambahan (Ancillary Conservation)
Merupakan area yang memberikan konservasi in-situ sebagai produk tambahan
dari pengelolaan area tersebut. Sebagai contoh, Scapa Flow di Kepulauan

84
Orkney, Skotlandia sebuah area yang melindungi peninggalan kapal karam pada
masa perang, upaya perlindungan ini dapat mendukung pula konservasi in-situ
di area tersebut. Wilayah seperti ini pun dapat ditemukan di Indonesia, seperti
area kapal karam peninggalan perang yang berada di perairan Banten, Pulau
Natuna, dan juga Morotai, Maluku Utara.
Penerapan OECM di Indonesia perlu diselaraskan dengan berbagai
kebijakan kawasan lindung dan konservasi yang telah ada. Poin penting
penyesuaian ini terletak pada definisi dan kategori kawasan lindung yang
tercantum di berbagai regulasi di Indonesia. Dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 38 Tahun 2019 tentang Jenis Rencana
Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup pada Lampiran II disebutkan, setidaknya ada 23 daftar
kawasan lindung, diantaranya yang merupakan wilayah pesisir dan perairan
adalah Sempadan Pantai, Suaka Margasatwa dan Suaka Margasatwa Laut, Cagar
Alam dan Cagar Alam Laut, Kawasan Pantai Berhutan Bakau, Taman Nasional dan
Taman Nasional Laut, Taman Wisata Alam dan Taman Wisata Alam Laut,
Terumbu Karang, Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kawasan
Konservasi Maritim, Kawasan Konservasi Perairan, dan Kawasan Koridor bagi
Jenis Satwa atau Biota Laut yang Dilindungi.
Kategori kawasan konservasi perairan di Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI berfokus pada 4 (empat) kebijakan terkait konservasi perairan, yaitu
Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi
Perairan (KKP), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), dan Sempadan Pantai. Pada
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 23 tahun 2016 disampaikan
definisi bahwa Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang
dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
secara berkelanjutan yang setara dengan kawasan lindung dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Di dalam definisi tersebut,
kawasan konservasi disetarakan dengan kawasan lindung. Oleh karena itu, apabila
mengikuti definisi IUCN mengenai OECM, bahwa OECM adalah area potensial di
luar wilayah kawasan lindung, maka keseluruhan wilayah konservasi yang
ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI tidak dapat dijadikan
area potensial OECM.

85
Berdasarkan regulasi-regulasi tersebut, terlihat bahwa pada dasarnya,
Indonesia telah memiliki dasar hukum yang banyak untuk pelaksanaan konservasi
perairan di Indonesia. OECM di Indonesia, apabila definisinya mengikuti standar
IUCN, pada penerapannya mungkin tidak dapat dilakukan seperti di negara lain,
sebagai contoh studi kasus, seperti di Scapa Flow di Kepulauan Orkney,
Skotlandia, area kapal karam di perairan tersebut dapat diusulkan menjadi OECM.
Namun di Indonesia, area-area kapal karam telah dikategorikan sebagai Benda
Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) yang dapat ditetapkan
sebagai Kawasan Konservasi Maritim (KKM). Kebijakan konservasi perairan di
Indonesia memiliki pembagian yang berbeda dengan kebijakan mengenai
konservasi di kawasan daratan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 23 Tahun 2016 dan Nomor 17 tahun 2008, KKP3K dan KKM
terbagi ke dalam 3 (tiga) zona, yaitu zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan
zona lainnya sesuai dengan peruntukan kawasan. Sedangkan, Kawasan Konservasi
Perairan (KKP) terbagi ke dalam 4 (empat) zona, yaitu zona inti, zona perikanan
berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya. Di antara zona-zona tersebut,
yang memiliki ketentuan mendekati kawasan lindung adalah area yang berada di
dalam zona inti konservasi. Untuk zona lainnya dapat dilakukan pemanfaatan
yang sejalan dengan tujuan konservasi. Oleh karena itu, terdapat opsi selanjutnya,
yaitu definisi OECM diterapkan secara fleksibel di Indonesia. Area potensial
OECM dapat termasuk juga area konservasi yang berada di luar zona inti.
Merujuk pada 3 (tiga) tipe area OECM berdasarkan IUCN, yaitu
Konservasi Primer, Konservasi Sekunder, dan Konservasi Tambahan,
sesungguhnya pembagian ini mirip dengan konsep zona di dalam kawasan
konservasi perairan yang telah didefinisikan oleh Kementerian Kelautan Perikanan
RI. Oleh karena itu, penerapan OECM di Indonesia dapat dilakukan dengan opsi:
1. Mengikuti definisi OECM menurut IUCN. Dengan demikian, keseluruhan
wilayah konservasi yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
RI tidak dapat dijadikan area potensial OECM. Apabila ini diterapkan, maka
direkomendasikan area potensial OECM di Indonesia dapat berfokus pada
area energi baru terbarukan, area latihan militer, area perairan/kelautan yang
dikelola masyarakat adat/komunitas lokal seperti suku bajau (suku bajo atau
suku laut), dan area perairan atau pesisir yang memiliki nilai mitos dan tradisi
yang kuat sehingga masyarakat lokal menjaga ekosistem wilayah tersebut

86
karena nilai-nilai kultural yang mereka anut, sebagai contoh pantai dan pesisir
di sebelah selatan Pulau Jawa.
2. Adanya fleksibilitas definisi OECM disesuaikan dengan regulasi konservasi
yang ada di Indonesia. Apabila ini diterapkan, maka area konservasi yang
berada di luar zona inti, dapat dikategorikan pula sebagai area potensial
OECM. Di luar area-area tersebut dapat direkomendasikan pula area energi
baru terbarukan, area latihan militer, area perairan/kelautan yang dikelola
masyarakat adat/komunitas lokal seperti suku bajau (suku bajo atau suku
laut), dan area perairan atau pesisir yang memiliki nilai mitos dan tradisi yang
kuat sehingga masyarakat lokal menjaga ekosistem wilayah tersebut karena
nilai-nilai kultural yang mereka anut, sebagai contoh pantai dan pesisir di
sebelah selatan Pulau Jawa.
Pada bagian selanjutnya dalam tulisan ini, akan ditampilkan tabel dan
poin-poin yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi area potensial OECM di
Indonesia. Poin-poin pada tabel tersebut merujuk pada definisi yang disampaikan
oleh IUCN. Pada tabel tersebut, contoh lokasi potensial yang akan disampaikan
adalah area energi baru terbarukan dan area BMKT di Indonesia. Kriteria OECM.
A. Kriteria-kritera ini disusun berdasarkan pedoman atau guidelines yang telah
disampaikan secara resmi oleh IUCN. Kriteria A: Area saat ini tidak dalam status
sebagai kawasan lindung. Area selain kawasan lindung. Tahapan awal yang perlu
diperhatikan dalam identifikasi awal OECM adalah area yang dituju bukanlah
termasuk kategori area/kawasan lindung. Kriteria B: Area tersebut telah diatur
dan dikelola.
1. Area yang memiliki status geografis yang jelas (geographically defined area).
Area ini secara spasial telah memiliki definisi yang jelas dan batas-batas yang
telah disepakati. Hal ini mencakup tanah, perairan pedalaman, wilayah laut
dan pesisir, atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Dalam beberapa
pengecualian, batas wilayah dapat ditentukan oleh fitur fisik yang dapat
berubah dari waktu ke waktu, seperti tepian sungai dan tanda tinggi air.
2. Otoritas pengelolaan (governed). Hal ini berarti area tersebut berada dalam satu
otoritas pengelolaan tertentu. Terdapat 4 (empat) tipe pengelolaan dalam
OECM, yaitu dikelola oleh pemerintah (dalam berbagai tingkatan), dikelola
oleh individu/organisasi/perusahaan, dikelola oleh masyarakat adat atau
komunitas lokal, dan dikelola secara bersama (Dudley, 2008; Borrini-

87
Feyerabend et al., 2013). Otoritas pengelolaan ini harus berdasar pada prinsip
hak asasi manusia dan juga mempertimbangakan penduduk lokal. OECM yang
dikelola oleh masyarakat adat atau lokal harus berdasar pada kesadaran dan
juga meminta persetujuan dari masyarakat lokal tersebut.
3. Dikelola secara berkelanjutan (managed). Hal ini berarti bahwa area tersebut
dikelola secara jangka panjang dan berkelanjutan dengan cara yang dapat
melestarikan keanekaragaman hayati melalui konservasi in-situ. Otoritas
terkait dan pemangku kepentingan harus memiliki kesadaran ini dan terlibat
dalam pengelolaannya. Tidak seperti kawasan lindung, OECM tidak
memerlukan konservasi sebagai tujuan utama dari pengelolaan area tersebut.
Namun cukup area tersebut pada proses pengelolaannya memiliki pengaruh
terhadap konservasi in-situ keanekaragaman hayati. ‘Dikelola’ dalam hal ini
bisa juga termasuk pada keputusan untuk meninggalkan area tersebut tanpa
tersentuh. Contoh: peninggalan kapal karam pada saat perang. Kriteria C:
Mampu mencapai kontribusi dalam in-situ konservasi secara efektif dan
berkelanjutan.
4. Memiliki hasil yang mendukung konservasi in-situ keanekaragaman hayati
(dalam kriteria keputusan CBD 14/8 disebut dengan istilah ‘efektif ’). OECM
secara efektif dapat mendukung konservasi in-situ keanekaragaman hayati
secara jangka panjang. Secara spesifik, dalam hal ini harus ada hubungan
kausalitas antara pengelolaan area dan pelestarian keanekaragaman hayati.
Kegiatan industri dan pembangunan infrastruktur yang merusak lingkungan
tidak termasuk ke dalam OECM. Hal ini sejalan dengan rekomendasi IUCN
102 (WCC-2016-Rec-EN) yang disahkan pada Kongres Konservasi Dunia di
Hawaii. Rekomendasi ini menyerukan kepada pemerintah dan otoritas terkait
untuk mengadopsi dan menerapkan kebijakan yang membatasi atau melarang
kegiatan industri dan pengembangan infrastruktur yang dapat merusak
lingkungan dan berdampak negatif pada area penting dalam pelestarian
keanekaragaman hayati. Kegiatan industri yang merusak lingkungan sebagai
contoh, industri perikanan, kehutanan, pertambangan, minyak dan gas,
pertanian dan industri lainnya yang dapat merusak lingkungan. Hal ini pun
termasuk pada infrastruktur yang dapat merusak lingkungan seperti
bendungan, jalan, dan jalur pipa.

88
5. Jangka panjang dan berkelanjutan (sustained long-term). Tata kelola dan
manajemen OECM diharapkan dapat berkelanjutan dan berkontribusi dalam
jangka panjang untuk konservasi in-situ keanekaragaman hayati. Strategi
manajemen yang bersifat jangka pendek atau sementara tidak termasuk ke
dalam kategori OECM. Contoh: penutupan area penangkapan ikan komersial
yang ditutup hanya sampai area tersebut pulih, bukan termasuk kategori
OECM. Hasil konservasi yang efektif merupakan hasil dari perlindungan ketat
sesuai aturan CBD mengenai konservasi in-situ dan keanekaragaman hayati.
Sebagian besar kawasan yang dikelola untuk produksi industri, walaupun
mereka memiliki beberapa kontribusi terhadap keanekaragaman hayati, tetap
tidak dapat dikategorikan sebagai OECM.
6. Konservasi in-situ keanekaragaman hayati. Definisi konservasi in-situ menurut
CBD adalah konservasi ekosistem dan habitat alami serta pemeliharaan dan
pemulihan populasi spesies di lingkungan alami mereka. Dalam hal spesies
yang dibudidayakan, mereka dibudidayakan di lingkungan yang mereka telah
mampu mengembangkan sifat khas mereka (Pasal 2 CBD). OECM diharapkan
mampu mencapai konservasi alam secara keseluruhan, bukan hanya elemen
keanekaragaman hayati tertentu. Definisi CBD tentang keanekaragaman hayati
dan konservasi in-situ secara jelas mengakui bahwa satu spesies hanya dapat
eksis sebagai bagian yang tidak bisa terlepas dengan spesies lainnya di dalam
suatu lingkungan. Keterkaitan antara keanekaragaman hayati dan lingkungan
geologisnya dikenal dengan istilah geodiversity, yang juga merupakan fokus
penting dalam pengelolaan OECM.
7. Biodiversitas atau keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati merupakan
persyaratan yang harus ada sebagai tujuan dari konservasi in-situ yang efektif
dan berkelanjutan. Pendekatan untuk mengidentifikasi elemen-elemen
keanekaragaman hayati dari tiap-tiap wilayah berbeda-beda sesuai dengan
keadaan global, nasional, subnasional, dan lokal. OECM harus secara efektif
mampu melindungi satu atau lebih dari elemen keanekaragaman hayati berikut
ini: 1) Spesies dan habitat langka, terancam, atau hamper punah. Dalam hal ini
termasuk juga spesies dan situs yang diidentifikasikan dalam daftar yang
terancam punah, 2) Merepresentasikan ekosistem alami, 3) Tingkat integritas
ekologis atau keutuhan ekologis yang tinggi, yang ditandai dengan adanya
berbagai spesies asli dan mendukung proses ekologis, 4) Spesies dan ekosistem

89
di lingkungan alami yang jangkauannya dibatasi, 5) Agregasi spesies penting,
termasuk selama migrasi atau pemijahan (spawning), 6) Ekosistem yang
sangat penting untuk tahapan kehidupan spesies, menyediakan makanan,
beristirahat, dan berkembang biak, 7) Area yang penting untuk konektivitas
ekologis atau yang penting untuk melengkapi jaringan konservasi dalam
bentang laut, 8) Area yang menyediakan layanan ekosistem seperti air bersih
dan penyimpanan karbon, 9) Spesies dan habitat yang penting dalam
kehidupan tradisional manusia, seperti tanaman obat, dsb. Kriteria D: Fungsi
dan layanan ekosistem terkait nilai budaya, spiritual, sosial ekonomi, dan nilai
lainnya yang terkait.
8. Fungsi dan layanan ekosistem. Ekosistem yang sehat memiliki fungsi untuk
dapat menyediakan berbagai macam layanan. Fungsi ekosistem adalah bagian
intergral dari keanekaragaman hayati dan didefinisikan sebagai proses biologis,
geokimia, dan fisik yang terjadi di dalam suatu ekosistem. Layanan ekosistem
sebagai contoh meliputi penyediaan makanan dan air, banjir rob, dsb. Yang
perlu diperhatikan adalah layanan ekosistem ini tidak akan membawa dampak
negatif pada konservasi in-situ dan keanekaragaman hayati.
9. Kultural, spiritual, sosial-ekonomi, dan nilai lainnya yang relevan. Pengelolaan
OECM guna mencapai keanekaragaman hayati serta perlindungan bagi spesies
dan habitat dapat dicapai sebagai bagian dari nilai-nilai dan praktik budaya,
sosial-ekonomi, spiritual dan nilai lokal lainnya yang relevan.
B. Identifikasi Wilayah potensial OECM di Indonesia
Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah disampaikan sebelumnya, maka
dibuatlah sebuah tabel yang dapat menjadi alat atau tools untuk mengidentifikasi
area potensial OECM di Indonesia. Dalam studi ini, contoh yang digunakan
adalah area BMKT HMAS Perth dan lokasi potensial energi baru terbarukan di
perairan Indonesia.

90
Kriteria untuk Identifikasi Area Potensial OECM di Indonesia (Sumber: Farquhar
(2019) diolah oleh Penulis, 2020)
Lokasi Potensial Energi Baru
No Kriteria OECM Area BMKT HMAS Perth
Terbarukan di Laut
A Area tidak dalam status sebagai kawasan lindung atau Kawasan Konservasi Perairan
1 Bukan Area yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi — √
B Area berada dalam otoritas pengelolaan dan dikelola secara berlanjutan
2 Luas wilayah telah ditetapkan √ Belum ditetapkan
3 Batas wilayah secara geografis sudah jelas √ Belum ditetapkan
Dikelola oleh otoritas yang sah dan layak untuk mewujudkan konservasi in-
4 √ Belum ditetapkan
situ keanekaragaman hayati di wilyah tersebut
Dikelola oleh masyarakat adat atau komunitas lokal yang telah memiliki
5 kesadaraan pengelolaan terhadap area tersebut (self identified ) yang √ Belum ditetapkan
sejalan dengan aturan hukum nasional dan internasional yang berlaku
Tata kelola mencerminkan pertimbangan kesetaraan yang diadopsi dalam
6 √ Belum ditetapkan
konvensi
Pengelolaan dilakukan oleh otoritas tunggal, organisasi, atau kolaborasi
7 dan memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman terhadap √ Belum ditetapkan
keanekaragaman hayati
Dikelola dengan cara yang dapat mencapai hasil positif dan berkelanjutan
8 √ Belum ditetapkan
terhadap konservasi dan keanekaragaman hayati
Pemangku kepentingan dan otoritas terkait diakui dan terlibat dalam
9 √ Belum ditetapkan
pengelolaan
Sistem manajemen berkontribusi terhadap konservasi in-situ
10 √ Belum ditetapkan
keanekaragaman hayati secara berkelanjutan
Manajemen konsisten dengan pendekatan ekosistem dan memiliki
kemampuan untuk beradaptasi untuk mencapai hasil konservasi yang
11 √ Belum ditetapkan
berkelanjutan, termasuk hasil jangka panjang, dan kemampuan untuk
menghadapi ancaman baru
C Area mampu berkontribusi terhadap konservasi in-situ keanekaragaman hayati secara efektif dan berkelanjutan
Area telah mencapai atau diharapkan mencapai hasil konservasi in-situ
12 √ Belum ada penelitian
keanekaragaman hayati yang positif dan berkelanjutan
Ancaman yang ada atau yang mungkin muncul dapat ditangani secara
13 efektif dengan pencegahan, mengurangi atau menghilangkan secara √ Belum ada penelitian
signifikan, dan memulihkan ekosistem yang rusak
Adanya mekanisme, seperti kerangka kebijakan dan regulasi, untuk
14 √ Belum ada penelitian
mengenali dan menghadapi jenis ancaman baru
Selama relevan dan memungkinkan, pengelolaan di dalam dan di luar area
15 √ Belum ada penelitian
OECM dapat terintegrasi
16 OECM dapat diterapkan secara jangka panjang √ Belum ada penelitian
Berkelanjutan (sustained )' berkaitan dengan pengelolaan yang
17 berkelanjutan dan 'jangka panjang (long term ) berkaitan dengan hasil √ Belum ada penelitian
keanekaragaman hayati
Pengakuan OECM diharapkan dapat memasukkan berbagai atribut
18 keanekaragaman hayati, apabila memungkinkan termasuk di dalamnya √ Belum ada penelitian
nilai budaya dan/atau spiritual dari area tersebut
Sebuah sistem pemantauan (monitoring system ) meninformasikan
19 pengelola mengenai penilaian keefektifitasan terhadap upaya pelestarian √ Belum ada penelitian
keanekaragaman hayati dan ekosistem yang sehat
20 Proses tersebut dapat mengevaluasi keefektivitasan pengelolaan √ Belum ada penelitian
Ketersediaan informasi mengenai data umum area tersebut, seperti batas
21 √ Belum ada penelitian
wilayah, tujuan, dan pengelolaan
D Area terkait dengan fungsi dan layanan ekosistem, serta nilai kultural, spiritual, sosio-ekonomi, dan nilai lokal lainnya
Fungsi dan layanan ekosistem didukung dengan pentingnya masyarakat
adat dan komunitas lokal, dengan mempertimbangkan wilayah mereka,
22 √ Belum ditetapkan
interaksi dan pertukaran/transaksi diantara fungsi dan layanan ekosistem,
serta memastikan terjaminnya keanekaragaman hayati dan konservasi
Pengelola meningkatkan fungsi atau layanan ekosistem tertentu tanpa
23 √ Belum ditetapkan
mengakibatkan dampak negatiif pada area dan keanekaragaman hayati
Langkah-langkah pengaturan dan tata kelola mengidentifikasi,
24 menghormati, dan menjunjung nilai kultural, spiritual, sosial-ekonomi, dan √ Belum ditetapkan
nilai lokal lainnya yang ada di dalam area tersebut
Langkah-langkah pengaturan dan tata kelola menghormati dan menjunjung
25 pengetahuan, praktek, dan institusi yang menjadi dasar bagi kawasan √ Belum ditetapkan
konservasi in-situ

BMKT USS Perth


Perairan Indonesia memiliki peninggalan budaya bawah air, salah satunya
berupa kapal tenggelam beserta muatannya. Kapal tenggelam atau shipwreck
beserta benda berharga muatannya merupakan kapal kuno yang tenggelam

91
sebelum abad ke-20 hingga masa Perang Dunia II. Jumlah kapal tenggelam di
perairan Indonesia diperkirakan mencapai hingga ribuan kapal (Mundardjito
2007). Salah satunya berlokasi di selat sunda, dengan peristiwa Pertempuran
Selat Sunda atau yang dikenal dengan Battle Of Sunda Strait di era Perang Dunia
ke-2 antara armada laut angkatan laut Jepang dan kapal sekutu yaitu HMAS Perth
dan USS Houston yang berhasil ditenggelamkan oleh armada angkatan laut
Jepang (Adhityatama, 2016).
Menurut Adhityatama 2016, kapal HMAS Perth saat ini mendapatkan
perhatian dunia terutama media Australia dan para veteran dari perang dunia ke-2
di Australia karena aktivitas penambangan besi tua pada kapal tersebut. Indonesia
telah mengeluarkan regulasi yang mengatur cagar budaya, termasuk didalamnya
atas BMKT, pada UndangUndang Nomor 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya
yang telah diganti dengan UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Berbeda
dengan USS Houston, HMAS Perth sendiri telah ditetapkan sebagai Kawasan
Konservasi Maritim (KKM) berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan RI No 21/KEPMEN-KP2018, tujuan pengelolaan KKM sendiri ialah
sebagai konservasi adat, situs bersejarah, dan ritual keagamaan.
Selain memiliki nilai sejarah yang tinggi, BMKT pun menjadi habitat bagi
beberapa jenis ikan. Menurut Wahjudin (2013) Kondisi lingkungan kapal perang
HMAS Perth didominasi oleh lumpur dan pasir di bagian dasar, pada bagian kapal
perang ini sudah ditumbuhi berbagai macam terumbu karang seperti gorgonian,
dan di sekitar kapal ini banyak ditemui ikan-ikan laut seperti ikan Kue, ikan ekor
kuning, dan ikan kakap merah yang mengelilingi kapal karam ini.

Lokasi Potensial Energi Terbarukan di Perairan Indonesia


Salah satu sumberdaya energi terbarukan yang dapat dimanfaatkan berasal
dari laut, hal ini dikarenakan laut menyimpan energi yang dapat digunakan
seperti gelombang, angina, arus, dan pasang surut (Purba, 2014). Namun,
pembangunan salah satu energi terbarukan seperti turbin angin lepas pantai
memiliki efek positif dan negatif pada lingkungan laut. Efek negatifnya antara lain
tertabraknya burung, suara bawah air, dan medan elektromagnetik, sementara
efek positifnya dapat menjadi terumbu karang buatan, menjadi zona terlarang
untuk penangkapan ikan (Punt et al, 2009).

92
Lokasi potensial Energi Terbarukan di laut Indonesia (Purba et al. 2015)

Sampai saat ini, energi terbarukan di laut Indonesia masih dalam tahap
penelitian lokasi potensial, namun tidak menutup kemungkinan ke depan
pemanfaatan energi terbarukan laut akan terwujud. Berbeda dengan di Inggris,
pembangunan Turbin lepas pantai/offshore windfarm (OWF) di Inggris
mengalami kemajuan pesat, pemantauan dampak ekonomi dan ekologis dari
perkembangan ini sangat dibutuhkan. Sehingga perencanaan tata ruang dan
mitigasi lingkungan laut sangat diperlukan dengan menjadikan lokasi
pemanfaatan energy laut tersebut bersinergi dengan MPA (Ashley et al. 2013).

Kesimpulan dan Rekomendasi


Berdasarkan pembahasan mengenai konsep OECM dan regulasi konservasi
yang ada di Indonesia, maka penerapan OECM di Indonesia dapat dilakukan
dengan opsi sebagai berikut:
• Mengikuti definisi OECM menurut IUCN. Dengan demikian, keseluruhan
wilayah konservasi yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
RI tidak dapat dijadikan area potensial OECM.
• Adanya fleksibilitas definisi OECM disesuaikan dengan regulasi konservasi
yang ada di Indonesia. Apabila ini diterapkan, maka area konservasi yang

93
berada di luar zona inti, dapat dikategorikan pula sebagai area potensial
OECM. Dalam hal ini, maka kawasan kapal karam dapat diusulkan pula
menjadi area potensial OECM.
Selain itu, kajian ini juga merekomendasikan:
• Sebuah alat atau tools berbasis kriteria OECM yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi area potensial OECM di Indonesia.
• Beberapa area potensial OECM di Indonesia diantaranya adalah area energi baru
terbarukan, area latihan militer, area perairan/kelautan yang dikelola
masyarakat adat/komunitas lokal seperti suku bajau (suku bajo atau suku laut),
dan area perairan atau pesisir yang memiliki nilai mitos dan tradisi yang kuat
sehingga masyarakat lokal menjaga ekosistem wilayah tersebut karena nilai-nilai
kultural yang mereka anut, sebagai contoh pantai dan pesisir di sebelah selatan
Pulau Jawa.
Naskah ini merupakan studi awal yang membuka peluang untuk dilakukan
kajian lebih lanjut mengenai penerapan OECM di Indonesia secara lebih spesifik.

Daftar Pustaka
Adhityatama, S. 2016. Survey Awal di Situs Peninggalan Perang Dunia ke-2, Kapal Karam HMAS
Perth. Pulau Panjang, Banten. Jakarta
Angulo, V.J.A. and B.G. Hatcher. 2010. A new typology of benefits derived from marine protected
areas. Marine Policy, 34:635-644. Sabah, A. B, Affandy, D. Lutfi, O.M, Efani, A. 2019.
Identifikasi Dan Analisis Potensi Wilayah Pesisir Sebagai Dasar Pemetaan Kawasan
Konservasi Di Pesisir Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Jurnal ilmu kelautan Spermonde.
5(2): 61-69
Ashley, M.C., Mangi. S.C., Rodwell, L.D. 2013. The potential of offshore windfarms to act as marine
protected areas – A systematic review of current evidence. Marine Policy 45, 300-309
Bohnsack JA. 1996. Marine Reserves, Zoning, And The Future Of Fishery Management. Fisheries 21
(9) : 14-16.
Borrini-Feyerabend, G., N. Dudley, T. Jaeger, B. Lassen, N. Pathak Broome, A. Phillips and T.
Sandwith. 2013. Governance of Protected Areas: From understanding to action. Best Practice
Protected Area Guidelines Series No. 20. Gland, Switzerland: IUCN.
Cleguer, C.,A. Grech, C. Garrigue, dan H. Marsh. 2015. Spatial mismatch between marine protected
areas and dugongs in New Caledonia. Biol. Conserv., 184(1):154-162 Letser, S.E., B.S.
Halpern., L. GrorudCoveret, J. Lubchenco, B.I. Ruttenberg, and S.D. Gaines. 2009. Biologycal
effects within no-take marine reserves: a global synthesis. Marine Ecology Progress Series,
384:33-49.
Dudley, N. (Editor), 2008. Guidelines for Applying Protected Area Management Categories. IUCN:
Gland, Switzerland. 86pp.
Farquhar, S. 2019. Implications of ‘other effective area-based conservation measures’ for marine
conservation. Tesis. University of Washington.
International Union on Conservation for Nature [IUCN]. 2004. Managing marine protected areas; a
toolkit for the Western Indian ocean. IUCN esastern african regional programme. Nairobi,
Kenya. 172p

94
IUCN WCPA. 2019. Guidelines for Recognising and Reporting Other Effective Area-based
Conservation Measures. IUCN, Switzerland.
Mundardjito. 2007. “Paradigma dalam Arkeologi Maritim”, Jurnal Wacana, Volume 9 Nomor 1.
Nanlohy, H., Natelda, R., Timisela., Estradivari., Dyahapsari, Ignatia., dan Rizal. 2017. Manfaat
Kawasan Konservasi Pesisir Dan Pulau Kecil (Kkp3k) Pulau Koon Dan Perairan Sekitarnya
Bagi Peningkatan Kejehteraan Masyarakat. Jurnal PAPALELE, 1(2)
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 38 Tahun 2019 Jenis Rencana Usaha
Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Kawasan Konservasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 23 tahun 2016 Perencanaan Wilayah Pesisir dan
Pulau - Pulau Kecil
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No 21 tahun 2018 KAWASAN KONSERVASI
MARITIM HMAS PERTH DI PERAIRAN PROVINSI BANTEN
Purba, N.P. 2014. Variabilitas Angin dan Gelombang Laut Sebagai Energi Terbarukan di Pantai
Selatan Jawa Barat. Jurnal Akuatika. 5(1): 8-15. ISSN 0853-2532
Punt, M.J., Groeneveld, R. A., Ierland, E.C.V., Stel, J.H. 2019. Spatial planning of offshore wind
farms: A windfall to marine environmental protection?. Ecological Economics. 69 : 93–103.
Purba, N.P., Kelvin, J., Sandro, R., Gibran, S., Permata, R.A.I., Maulida, F. Martasuganda, M.K. 2015.
Suitable Locations of Ocean Renewable Energy (ORE) in Indonesia Region – GIS
Approached. Energy Procedia. 65:230-238.
Salm, R.V., J.R. Clark, and E. Siirila. 2010. Marine and coastal protected areas: a guide for planners
and managemnet. Gland, Swisterland. 396hlm.
Wahjudin, J. 2013. Varuna Jurnal Arkeologi Bawah Air:Potensi Warisan Budaya Bawah Air di Pulau
Panjang, Banten, Hal:91-108. Jakarta. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

95
ANOMALI KEMUNCULAN ORCA DI PERAIRAN
KEPUL AUAN ANAMBAS DITINJAU DARI ASPEK
OSEANOGRAFIS LINGKUNGAN

1,4Widodo Setiyo Pranowo, 2Nurfitri Syadiah, 3Erish Widjanarko


1Laboratorium Data Laut dan Pesisir, Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan SDM,
Kementerian Kelautan dan Perikanan; 2Direktorat Perencanaan Ruang Laut, Direktorat
Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan; 3Bidang Riset
Sumber Daya Laut dan Kewilayahan, Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan SDM,
Kementerian Kelautan dan Perikanan; 4Prodi Hidrografi, Sekolah Tinggi Teknologi
Angkatan Laut, Markas Besar Tentara NasionaI Indonesia - Angkatan Laut.

Pendahuluan

M
inggu pertama April 2020 media sosial dan pemberitaan online
dihebohkan dengan video kemunculan 4 (empat) paus pembunuh
yang dikenal sebagai Orca. Kehebohan tersebut terutama disebabkan
oleh belum pernah adanya arsip riset atau arsip berita yang mendokumentasi
kemunculan Orca di Perairan Anambas sebelum kejadian tersebut.
Hal inilah yang kemudian menarik untuk dilakukan peninjauan atau
mengkaji kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyebabkan Orca tersebut
muncul di Perairan Anambas. Kajian yang dapat dilakukan dengan cepat untuk
mendapatkan gambaran awal adalah dengan melakukan analisis terhadap kondisi
lingkungan oseanografis. Riset survei jelas belum bisa dilaksanakan karena
kejadian kemunculan Orca tersebut berlangsung pada masa Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) pandemik Covid19.
Artikel ini merupakan bagian dari respon ilmiah cepat yang dilakukan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terhadap kehebohan kemunculan
Orca tersebut. Sebagian isi dari artikel ini telah diberitakan secara parsial dan
terpisah di Detik Travel News, ANTARA News, Mongabay, dan Cendana News.
Artikel ini merupakan salah satu dokumentasi ilmiah gambaran awal, yang
nantinya dapat dijadikan rujukan untuk pendetilan riset lebih lanjut.

96
Kondisi Oseanografis Umum Habitat Orca
Secara teoritik, menurut Sealifebase (2020), Orca yang hidup di perairan
laut tropis menyukai kondisi optimum perairan dengan suhu air laut berkisar 27
hingga 32 derajat Celsius, dan bersalinitas (kadar garam) berkisar 35 hingga 39
PSU (Practical Salinity Unit). Kondisi Perairan Anambas, Laut Natuna hingga
Natuna Utara, secara normal tanpa dipengaruhi adanya telekoneksi dari Samudera
Pasifik dan Samudera Hindia, memiliki kisaran suhu laut 29 – 33 derajat Celsius
pada Monsun Barat-Laut, dan 25 – 31 derajat Celsius pada Monsun Tenggara
(Pranowo et al., 2019). Sedangkan untuk kondisi salinitas, Pranowo et al (2019)
menjelaskan bahwa kisaran salinitas pada Monsun Barat-Laut adalah 20 – 35
PSU, dan pada Monsun Tenggara berkisar 25-35 PSU. Karakteristik tersebut
disebabkan pengaruh kental dari angin Monsun (Pranowo et al., 2019; Anggara et
al., 2018; Pranowo dkk., 2013). Pada Monsun Barat-Laut, angin cenderung
bertiup dari arah Utara hingga Barat-Laut membawa uap air yang dikonveksikan
oleh suhu air laut yang tinggi, sehingga mengakibatkan musim hujan (Pranowo
dkk., 2013). Musim hujan menggelontorkan air tawar dari darat ke laut melalui
sungai-sungai, sehingga menyebabkan salinitas lebih rendah di sekitar muara dan
pesisir (Sagala dkk., 2014).

Indikasi Anomali Kemunculan Orca Di Perairan Anambas


Berdasarkan komputasi singkat dan analisis cepat, diperoleh bahwa
kisaran suhu laut di Perairan Anambas pada 1 hingga 6 April 2020 berkisar 29,5
hingga 30,5 derajat Celsius. Kondisi suhu tersebut sesuai dengan teori yang ada
(Pranowo et al., 2019; Daulat dkk., 2014; Kusumaningtyas dkk., 2014; Pranowo
dkk., 2013). Namun hal yang menarik adalah terjadi pada variabel salinitas, yakni
33,5 - 33,75 PSU yang ternyata berada di bawah kisaran teoritik (Pranowo et al.,
2019; Sagala dkk., 2014; Kusumaningtyas dkk., 2014; Pranowo dkk., 2013).
(penjelasan dapat dilihat pada gambar berikut).

97
(atas) Sebaran suhu laut rata-rata terhadap kedalaman [°C] di Perairan Anambas,
Laut Natuna hingga Laut Natuna Utara dan sekitarnya, (bawah) Sebaran salinitas
laut rata-rata terhadap kedalaman [PSU] di Perairan Anambas, Laut Natuna hingga
Laut Natuna Utara dan sekitarnya.

Migrasi Orca, secara teoritik menurut Sealifebase (2020), tidak mengikuti


pola musim. Pola migrasinya adalah lebih mengikuti atau memburu ikan atau
mamalia kecil lain yang menjadi mangsanya. Orca bermigrasi dalam bentuk
gerombolan sehingga akan memerlukan sumber daya ikan yang dimangsanya
dalam jumlah yang sangat banyak. Tentunya gerombolan ikan-ikan yang dimangsa
pun akan memerlukan daya dukung hidup yang melimpah pula, dalam hal ini
plankton. Plankton melimpah tentunya dikarenakan kondisi perairan yang subur
(Kusumaningtyas dkk., 2014; Pranowo dkk., 2013), yang secara teoritik,
diindikasikan oleh kandungan khlorofil terlarut 25 hingga 200 miligram per meter
kubik per hari (Sealifebase, 2020; Utamy et al., 2015; Abigail dkk., 2015; Pranowo
dkk., 2013). Kandungan khlorofil tersebut apabila dihitung secara sesaat maka

98
konsentrasinya sekitar 1 hingga 16 miligram khlorofil terlarut di dalam 1-meter
kubik air laut.

(atas) Sebaran Khlorofil [mg/m3] di Perairan Anambas, Laut Natuna hingga Laut
Natuna Utara dan sekitarnya pada 1 – 6 April 2020. (bawah) Sebaran estimasi
tingkat kecocokan habitat Orca berdasarkan indeks korelasi di Perairan Anambas,
Laut Natuna hingga Laut Natuna Utara dan sekitarnya

Namun di Perairan Anambas, berbeda dari teori yang ada, bahwa secara
fakta konsentrasi sesaat khlorofil sepanjang 1 hingga 6 April 2020 diestimasi
hanya sekitar 0,2 hingga 0,4 miligram per meter kubik. Hal ini menunjukkan
bahwa secara realita, Perairan Anambas maksimum hanya menyediakan 20%
konsentrasi khlorofil sesuai teori yang ada. Sehingga ini menjadi salah satu
indikator potensial bahwa kemunculan Orca di Perairan Anambas dapat dikatakan
sebagai anomali.

99
Analisis lebih lanjut kemudian dilakukan dengan melakukan korelasi
terhadap kondisi suhu laut, salinitas dan konsentrasi khlorofil di Perairan
Anambas dengan rentang data 1 hingga 6 April 2020. Indeks korelasi antara data
dengan teori yang ada menghasilkan tingkat kecocokan yang rendah hingga
sedang (0,2 – 0,6). Berdasarkan indeks tersebut, maka Perairan Anambas
diestimasi kurang cocok hingga agak cocok sebagai habitat Orca. Berdasarkan hal
ini maka bisa dikatakan bahwa kemunculan Orca di perairan Anambas merupakan
hal yang anomali.

Dugaan Awal Penyebab Kemunculan Orca Di Perairan Anambas


Anomali atas kemunculan Orca di Perairan Anambas bisa bermakna positif
dan bisa negatif. Makna positif atau negatif dapat ditentukan lebih lanjut dengan
cara melaksanakan riset survei dan pengukuran yang komprehensif tentang
kondisi menyeluruh interaksi laut, atmosfer, dan dinamika kolom massa air di
perairan Anambas, Laut Natuna, Laut Natuna Utara hingga ekstensinya ke Laut
Tiongkok Selatan. Teori umum menjelaskan bahwa ketika migrasi, Orca
menggunakan sonar untuk memancarkan gelombang akustik yang dimilikinya
untuk memandunya mencari mangsa dan menuju lokasi yang ditujunya
(Sealifebase, 2020; Armansyah et al., 2017).
Penjalaran gelombang suara atau gelombang akustik di kolom massa air
laut sangatlah tergantung oleh suhu laut dan densitas massa air laut (Cahyadi
dkk., 2019). Densitas massa air laut sangatlah dipengaruhi dari konsentrasi
partikel-partikel yang terlarut didalam air laut tersebut, seperti kadar garam dan
konsentrasi terlarut lainnya (Armansyah et al., 2018). Ketika ada suatu anomali
massa air laut, maka kecepatan penjalaran gelombang akustik yang dipancarkan
oleh Orca juga bisa terganggu atau terbelokkan, sehingga Orca pun tersesat
(Asyranto dkk., 2018; Aji et al., 2017; Armansyah et al., 2017).

100
Sebaran kapal-kapal yang ditunjukkan oleh MarineTraffic.com dimana rutenya
melintasi Perairan Anambas, Laut Natuna hingga Laut Natuna Utara dan sekitarnya,
lihat area dalam kotak hitam.

Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan terjadinya pembelokan sonar


yang dipancarkan oleh Orca ketika melakukan migrasi. Faktor-faktor tersebut bisa
bersifat natural alamiah, dan bisa juga akibat ulah manusia atau dikenal sebagai
faktor antropogenik. Faktor natural alamiah dapat disebabkan oleh adanya
variabilitas massa air yang dipengaruhi oleh telekoneksi ekstrim dari Samudera
Pasifik dan Samudera Hindia. Fakta menunjukkan bahwa massa air Samudera
Pasifik, yakni berasal dari North Pacific South Water (NPSW) dan dari North
Pacific Intermediate Water (NPIW) teridentifikasi eksis di Laut Natuna, Laut
Natuna Utara hingga Laut Tiongkok Selatan (Pranowo et al., 2019). Masih
menurut Pranowo et al. (2019), massa air dari Samudera Hindia, keberadaannya
di Laut Natuna, Laut Natuna Utara hingga Laut Tiongkok Selatan diindikasikan
dari massa air yang berasal dari Bay of Bengal Water (BBW). Berdasarkan fakta di
atas maka dapat dimungkinkan terjadi anomali massa air di Perairan Anambas
akibat pengaruh kopling dari El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian
Ocean Dipole (IOD). Namun hal ini perlu dianalisis secara mendalam lebih lanjut
seperti mengadopsi riset Adi dkk (2014) dan Simanungkalit et al. (2018).
Aktivitas lalu lintas kapal yang rutenya melewati Perairan Anambas,
hingga saat ini belum diteliti lebih lanjut apakah berdampak terhadap populasi
mamalia laut. Namun secara logika, kemungkinan polusi suara ekstrim dapat pula
ditimbulkan oleh padatnya lalu lintas kapal (Castellote et al., 2012). Untuk

101
memastikan hal ini, maka diperlukan survei pengukuran dan pemantauan tingkat
kebisingan di kolom air. Kegiatan kapal-kapal survei seismik dalam mencari
sumber daya migas di bawah dasar laut, dapat menjadi factor ekstrim pembelokan
sonar Orca. Sinyal akustik ekstrim yang ditembakkan dari alat Seismic Air Gun
mempunyai energi dan frekuensi akustik yang menghantam dengan sangat kuat
kepala mamalia laut seperti Paus hingga kehilangan keseimbangan dan salah
bernavigasi melenceng dari tujuan sebenarnya (Slabbekoorn et al., 2019; Weilgart,
2013; Castellote et al., 2012). Frekuensi dan intensitas gelombang akustik dari
Seismic Air Gun secara ekstrim juga bisa merusak telur ikan, larva ikan, bahkan
bisa menyebabkan kematian ikan (Tenera Environmental, 2011).
Kita ketahui bersama bahwa Indonesia memiliki cekungan-cekungan di
bawah dasar laut yang berisi migas, sehingga tidak heran apabila Indonesia
memilik banyak sumur migas baik yang dioperasionalisasi oleh Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) maupun oleh badan usaha milik asing. Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah melakukan kompilasi rute-rute
kapal survei seismik di Lautan Indonesia sejak pertama kalinya eksplorasi migas
dilakukan hingga yang terkini tahun 2019, termasuk di Perairan Anambas, Laut
Natuna dan Laut Natuna Utara.

Komposit rute pelayaran kapal riset/survei seismik di Perairan Anambas, Laut


Natuna hingga Laut Natuna Utara dan sekitarnya, yang dikompilasi oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hingga tahun 2019, lihat garis-garis
warna biru.

Kemudian pada 18 April 2020, dikabarkan oleh media pers online South
China Morning Post bahwa, Kapal Riset Seismik milik Badan Survei Geologi
Tiongkok bernama RV. Haiyang Dhizi VIII melakukan kegiatan survei seismik di

102
Laut Tiongkok Selatan hingga memasuki wilayah perairan pesisir teritorial negara
Malaysia, sehingga sempat menimbulkan konflik. Namun apakah kapal tersebut
berkontribusi terhadap kemunculan Orca di Perairan Anambas, adalah belum bisa
dipastikan karena tidak mempunyai data-data lebih detil terkait dengan rute
survei kapal tersebut. Sehingga diperlukan suatu riset kolaboratif lintas
kementerian dan Lembaga dalam pengukur dan memantau aktifitas survei
seismik apakah berdampak perikanan dan keanekaragaman hayati di Wilayah
Pengolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711 dan wilayah
konservasi perairan/laut di Perairan Anambas hingga Laut Natuna.

Kapal Riset Haiyang Di Zhi (VIII) Ba Hao milik Badan Survei Geologi Tiongkok yang
pernah melakukan Survei Seismik pada bulan April 2020 di Laut Tiongkok Selatan.

Faktor ekstrim lainnya yang dapat mengganggu sonar Orca adalah


gelombang suara ekstrim akibat percobaan-percobaan militer berupa ledakan di
bawah air. Seperti yang diketahui bersama, hubungan negara-negara di kawasan
Laut Tiongkok Selatan dalam 5 tahun terakhir mengalami tekanan politik yang
cukup dinamis dan hangat dengan adanya pembangunan fasilitas militer negara
Tiongkok di atas Pulau Karang Atol Subi. Mungkin saja pembangunan tersebut
memerlukan aktifitas survei seismik, dan juga adanya kemungkinan aktivitas-
aktivitas militer lainnya yang bisa saja berdampak terhadap migrasi mamalia laut
yang melintas di Laut Tiongkok Selatan. Namun kemungkinan ini perlu sangat
banyak data pengukuran dan pemantauan untuk membuktikannya, dan hal ini
tidaklah mudah dilakukan karena sangat terkait erat dengan hubungan politik
antar negara yang bersifat sangat sensitif.

103
Fasilitas Militer milik negara Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, tepatnya di Pulau
Atoll Karang Subi. Tampak di kolam atoll berlabuh kapal-kapal perang.

Probabilitas Rute Orca Selepas Dari Perairan Anambas


Ketika meninjau sebaran habitat Orca di seluruh lautan dunia, maka habitat yang
terdekat dengan Perairan Anambas adalah di Phuket, di sekitaran Laut Jepang,
dan di Selatan Jawa hingga Selat Ombai dan Laut Timor.

Sebaran habitat Orca di dunia yang ditandai dengan area polygon berwarna kuning.
Habitat Orca yang terdekat dengan Perairan Anambas Natuna dan sekitarnya adalah
di sekitar Phuket Thailand dan Samudera Pasifik Barat Laut yakni di sekitar
peraiaran Jepang, lihat are dalam kotak merah.

Ketika kita meninjau pola kecepatan dan arah arus di Perairan Anambas,
Laut Natuna, Laut Natuna Utara, hingga Laut Tiongkok Selatan, maka diduga

104
Orca yang muncul di Perairan Anambas, kemungkinan adalah berasal dari Pasifik
Barat-Laut seperti di sekitar Laut Jepang dan laut-laut di sekitarnya. Hal ini
didasarkan kepada pola arus di Laut Tiongkok Selatan pada 1 hingga 6 April 2020
terlihat vektor panah arus dominan bergerak ke Barat-Daya. Sebetulnya ada
habitat orca di sekitaran Laut Phuket Thailand, namun pada periode tersebut
tidak ada vektor panah arus bergerak dari Selat Malaka yang mengarah ke Perairan
Anambas. Berdasarkan pola pergerakan arus inilah sebagai dasar pendugaan
bahwa Orca bukan berasal dari Phuket. Karena apabila Orca berasal dari Phuket
pasti harus berenang melewati Selat Malaka ketika menuju ke Perairan Anambas,
dan itu berarti Orca harus melawan arus. Namun, sepertinya orca tidak akan
melawan arus karena akan menguras energi.

Sebaran pola arah dan kecepatan arus di Perairan Anambas, Selat Malaka, Laut
Natuna hingga Laut Natuna Utara dan sekitarnya pada 1 – 16 April 2020.

Berdasarkan pola arus ini pula, bisa dilakukan pendugaan kasar migrasi
Orca lebih lanjut pasca meninggalkan Perairan Anambas. Ketika meninjau vector
panah arusnya, maka lepas dari Perairan Anambas, terdapat 2 (dua) percabangan
pola gerak arus, sebagian besar menuju ke Selat Karimata, dan sebagian kecil
berbelok menuju ke Selat Malaka. Bisa saja Orca dari Perairan Anambas lebih
memilih berbelok ke Selat Malaka lalu menuju ke habitatnya yang di Laut Phuket
Thailand. Namun untuk memastikannya diperlukan riset survei dan pemantauan
lebih lanjut menggunakan Differential Global Positioning System Archieval Tag
yang dipasang pada tubuh Orca, sehingga pergerakan Orca dapat dipantau
menggunakan satelit.

105
Penutup
Riset survei dan pemantauan tingkat kebisingan suara (akustik) di kolom
air perlu dimulai/dilakukan di Indonesia. Regulasi pengaturan baku mutu
kebisingan suara (akustik) di kolom air juga secara paralel perlu diwujudkan.
Baku mutu ini diperuntukan untuk pengelolaan secara berkelanjutan populasi
ikan, udang, dan keanekaragaman hayati laut termasuk mamalia laut di WPPNRI
dan kawasan konservasi perairan baik yang dikelola oleh daerah dan pusat.
Pekerjaan ini adalah suatu pekerjaan besar yang memerlukan kolaborasi antar
kementerian dan Lembaga teknis yang terkait seperti Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Ristek-BRIN, Badan
Keamanan Laut (BAKAMLA), dan Pusat Hidro-oseanografi (Pushidros) TNI-AL.

Persantunan
Ucapan terima kasih diucapkan kepada Melisa Bonauli wartawan Detik
Travel News yang memberikan informasi awal adanya kemunculan Orca di
Perairan Anambas, dan kontribusinya turut mendiseminasikan hasil riset kami.
Pengolahan data, analisis, dan diskusi dilakukan secara jarak jauh (Work From
Home) selama masa pandemik Covid19. Data-data yang digunakan adalah arsip
data dari Laboratorium Data Laut dan Pesisir Pusat Riset Kelautan, HYCOM
Archive, ERDDAP NOAA, Google Earth Archive, MarineTraffic.com Archive, dan
Web GIS Kementerian ESDM. Visualisasi variabel oseanografi menggunakan
Ocean Data View (Schlitzer, 2018).

Daftar Pustaka
Adi, T.R., B.M. Sukojo, T. Hariyanto, S. Wirasantosa, W.S. Pranowo, W. Yu, & M. Mustain. 2014.
Model Variasi Harian Suhu Permukaan Laut dari Data MODIS dan In Situ Menggunakan
Metoda Parameterisasi Empirik di Samudera Hindia. J. Segara 10(1): 87-97.
Abigail, W., M. Zainuri, A.T.D. Kuswardani, W.S. Pranowo. 2015. Sebaran nutrien, intensitas cahaya,
klorofil-a dan kualitas air di Selat Badung pada Monsun Timur. J. Depik 4(2): 87-94.
Aji, T., W.S. Pranowo, G. Harsono, T.M. Alam. 2017. Seasonal Variability of Thermocline, Sound
Speed, & Probable Shadow Zone in Sunda Strait, Indonesia. J. Omni-Akuatika 13(2):
111-127.
Anggara, P.D., T.M. Alam, D. Adrianto, W.S. Pranowo. 2018. The wave characteristics in Natuna Sea
and its adjacent for naval operation base purposes. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 176
(1): 012003. 2018. doi: 10.1088/1755-1315/176/1/012003.
Armansyah, D., N.B. Sukoco, W.S. Pranowo. 2018. Sonic Layer Depth Variation Analysis Utilizing
BIDE (Banda ITF Dynamic Experiment) Argo Float In Situ Observation For Undersea
Warfare Tactical Environment Support. International Journal of ASRO 9(1): 62-73.

106
Armansyah, D., W.S. Pranowo, T.M. Alam, J. Setiadi. 2017. Construction of Indonesian Additional
Military Layer Integrated Water Column (AML IWC) Prototype. Indonesian Naval
Technology College Postgraduate International Conference 1(1): 187-200.
Asryanto, W.S. Pranowo, Kamija, N. Budi. 2018. Pembangunan Purwarupa Peta Oseanografi Taktis
Untuk Navigasi Kapal Selam di Selat Sunda. J. Chart Datum 1(4): 14 – 27.
Cahyadi, F.D., H. Susmoro, N.B. Sukoco, W.S. Pranowo. 2019. Pembuatan Purwarupa Peta Contour
Best Operation Depth Kapal Selam Di Perairan Sangihe Talaud. J. Hidrografi Indonesia 1(2):
6-13.
Castellote, M., C.W. Clark, M.O. Lammers. 2012. Acoustic and behavioural changes by fin whales
(Balaenoptera physalus) in response to shipping and airgun noise. Biological Conservation
147(2012): 115-122.
Daulat, A., M.A. Kusumaningtyas, R.A. Adi, W.S. Pranowo. 2014. Sebaran kandungan CO2 terlarut
di perairan pesisir selatan Kepulauan Natuna. J. Depik 3(2): 166-177.
ERDDAP. 2020. Easier access to scientific data: Chlorophyll-a. https://coastwatch.pfeg.noaa.gov/
erddap/griddap/erdMH1chlamday.html [Diakses 2020-04-06]
Google.com. 2020. Everything about Orca. https://sites.google.com/site/everythingaboutorca/
ecology. [Diakses 2020-05-27]
Google Earth 2020. Fasilitas Militer Tiongkok Di Pulau Subi Laut Tiongkok Selatan. [Diakses
2020-05-27].
HYCOM. 2020. Consosrtium for Data Assimilative Modeling. https://www.hycom.org/dataserver.
[Diakses 2020-04-06]
Kementerian ESDM. 2019. ESDM One Map. http://geoportal.esdm.go.id [Diakses 2020-05-27]
Kusumaningtyas, M.A., R. Bramawanto, A. Daulat, & W.S. Pranowo. 2014. The water quality of
Natuna coastal water during transitional season. J. Depik 3(1): 10-20.
MarineTraffic. 2020. Marine Traffic Live Map. http://marinetraffic.com [Diakses 2020-05-28].
Pranowo, W.S., B.G. Gautama, E. Widjanarko, & R. Basuki, 2019. The Hydrodynamics and Transport
of Natuna and South China Seas as Transboundary Pollution Analysis Reference. Policy
Paper. The 29th Workshop on Managing Potential Conflict In The South China Sea. 6 pages.
Pranowo, W.S., C.D. Puspita, R.A. Adi, A.R.T.D. Kuswardani, L.C. Dewi. 2013. Atlas Sumberdaya
Laut dan Pesisir Natuna dan Sekitarnya. Edisi I 2013. ISBN: 978-602-9086-37-9. 126
halaman.
Sagala, S.L., R. Bramawanto, A.R.T.D. Kuswardani, W.S. Pranowo. 2014. Distribution of Heavy
Metals In Natuna Coastal Waters. J. Ilmu & Teknologi Kelautan Tropis 6(2): 297-310.
Schlitzer, R. 2018. Ocean Data View. http://odv.awi.de [diakses 2019-01-28]
Sealifebase. 2020. Orcinus Orca (Killer Whale). https://www.sealifebase.ca/summary/Orcinus-
orca.html [Diakses 2020-04-06]
Simanungkalit, Y.A., W.S. Pranowo, N.P. Purba, I. Riyantini, Y. Nurrahman. 2018. Influence of El
Nino Southern Oscillation (ENSO) phenomena on eddies variability in the Western Pacific
O c e a n . I O P C o n f . S e r. : E a r t h E n v i r o n . S c i . 1 7 6 ( 1 ) : 0 1 2 0 0 2 . D O I :
10.1088/1755-1315/176/1/012002.
Slabbekoorn, H., J. Dalen, D. de Haan, H.V. Winter, C. Radford, M.A. Ainslie, K.D. Heaney, T. van
Kooten. 2019. Population-level consequences of seismic surveys on fishes: An
interdisciplinary challenge. Fish and Fisheries 2019(20): 653-685.
South China Morning Post. 2020. South China Sea: Chinese ship Haiyang Dizhi 8 seen near
Malaysian waters, security sources say. An mirror news from Reuters Published 12:48 am, 18
Apr, 2020. https://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/3080510/south-china-
sea-chinese-ship-haiyang-dizhi-8-seen-near [Diakses 2020-05-28]
Tenera Environmental. 2011. A Review of Effects of Seismic Testing on Marine Fish and Fisheries as
Applied to the DCPP 3-D Seismic Project. Paper prepared for Mr. Loren Sharp Pacific Gas and
Electric Co. 34 pages.

107
Utamy, R.M., N.P. Purba, W.S. Pranowo, & H. Suherman. 2015. The Pattern of South Equatorial
Current and Primary Productivity in South Java Seas. International Proceedings of Chemical,
Biological and Environmental Engineering 90(24): 152-156.
Weilgart, L. 2013. A review of the impacts of seismic airgun surveys on marine life. Submitted to
the CBD Expert Workshop on Underwater Noise and its Impacts on Marine and Coastal
Biodiversity, 25-27 February 2014, London, UK

108
S TRATEGI PRODUKSI PAKAN EKON OMIS DAN
BERKUALITAS

Romi Novriadi
Pengendali Hama dan Penyakit Ikan Muda, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia; Wakil Ketua Masyarakat
Akuakultur Indonesia.

Pendahuluan

D
alam konteks global, produksi perikanan budidaya, sebagai salah satu
sektor ketahanan pangan yang berkembang cukup pesat, mengalami
peningkatan produksi yang cukup signifikan dari hanya sekitar 3.5 juta
ton di tahun 1970 menjadi 110.2 juta ton di tahun 2018 (FAO, 2020). Sementara
untuk sektor perikanan tangkap, produksi sudah mencapai kondisi plateau dan
sangat kecil kemungkinan untuk mengharapkan terjadinya peningkatan hasil
produksi melalui sektor ini. Hal ini menjadikan sektor perikanan budidaya sangat
diharapkan untuk menjadi sektor yang bertanggung jawab untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat global terhadap komoditas ikan yang tren nya juga terus
mengalami peningkatan. Saat ini, sesuai dengan program prioritas Kementerian
Kelautan dan Perikanan untuk melakukan optimalisasi produksi sektor perikanan
budidaya, maka pakan sebagai salah satu komponen biaya produksi paling besar
layak untuk mendapatkan perhatian utama.
Kalau melihat histori industri pakan, di tahun 1990-an, tepung ikan masih
menjadi bahan penyusun utama dalam produksi pakan (69%), kemudian diikuti
oleh bahan nabati (20%), bahan pengikat dan minor ingredient lainnya (11%).
Saat ini, dengan perkembangan teknologi, bahan baku dalam formulasi pakan
mulai mengalami penrgeseran dengan komposisi protein nabati sebagai
komponen utama (53%), disusul tepung ikan (31%) dan minor ingredient lainnya
(16%). Di masa depan agar produksi menjadi lebih ekonomis dan efisien,
formulasi pakan diharapkan dapat mengedepankan prinsip-prinsip sustainability
melalui pemenuhan nutrisi spesifik yang dibutuhkan oleh organisme akuatik
untuk mendukung sistem fisiologis dan metabolismenya, yang disertai dengan
penambahan zat additif untuk mendukung laju pertumbuhan. Oleh karena itu,

109
formulasi pakan diperkirakan akan lebih banyak menggunakan protein nabati
(69%), disusul dengan penggunaan minor ingredient (11%) dan persentase kecil
tepung ikan atau protein hewani (10%). Sebagai konsekuensinya, bahan-bahan
alternatif terbarukan (10 %) dan juga bahan baku lokal menjadi salah satu area
pengembangan pakan untuk pemenuhan nutrisi spesifik organisme akuatik
dimaksud.
Dalam perkembangannya, srategi peningkatan kualitas pakan dapat berupa
penambahan mineral, asam amino spesifik, seperti lysine dan methionine,
penggunaan attractant untuk peningkatan palatability pakan, seperti protein
hydrolysates, penggunaan enzim seperti Carbohydrase untuk mempercepat
penggunaan nutrisi pakan dan bahan lainnya yang dapat mendukung laju
pertumbuhan dan kesehatan organisme akuatik yang dibudidayakan. Pada paper
ini penulis coba menyajikan hasil-hasil kajian dengan menggunakan strategi-
strategi diatas untuk dapat digunakan dalam pengembangan industri pakan ikan
dan udang di Indonesia.

Masihkan level protein dijadikan referensi kualitas pakan?


Dalam mementukan jenis pakan yang akan digunakan untuk kegiatan
budidaya, para pelaku usaha saat ini mayoritas masih berpatokan pada level
protein pakan yang akan digunakan. Wajar, karna protein dan asam amino
memiliki peran yang sangat penting untuk perbaikan struktur, mendukung laju
pertumbuhan dan optimalisasi fungsi metabolisme. Namun, hambatan timbul
karna biaya pakan juga bergantung kepada level protein yang diformulasikan dan
protein merupakan salah satu bahan baku yang paling mahal dalam komposisi
pakan. Biaya produksi menjadi semakin meningkat bagi para pelaku usaha yang
domisilinya jauh dari unit produksi karna adanya penambahan biaya transportasi.
Oleh karena itu, para pelaku usaha sangat membutuhkan kehadiran pemerintah
untuk melakukan terobosan-terobosan penting agar pakan menjadi lebih
ekonomis namun di saat yang bersamaan tetap memiliki kualitas yang baik dan
mampu memenuhi kebutuhan nutrisi spesifik yang dibutuhkan oleh ikan/udang
yang akan dibudidayakan. Untuk menjustifikasi pernyataan apakah level protein
dapat dijadikan referensi untuk keberhasilan produksi, dibawah ini disajikan data
pengaruh pemberian pakan dengan level protein yang sama kepada udang
vannamei namun dengan level Methionine yang berbeda.

110
Formulasi pakan udang Vannamei dengan target protein sama (Iso nitrogenous)
32% dan lipid 6% namun dengan penambahan konsentrasi Methionine dengan level
berbeda.
Dl- Dl- Cu- Cu- Cu-
Ingredient Basal met met met met met
0.05 0.10 0.04 0.08 0.12
Poultry byproduct meal 1 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00
Soybean meal 2 44.60 44.60 44.60 44.60 44.60 44.60
Menhaden fish oil 3 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00
Wheat starch 4 34.01 34.00 34.00 34.00 33.99 33.98
Trace mineral pre-mix 5 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
Vitamin pre-mix 6 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00
Stay-c (250 mg/kg) 7 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07
Dicalcium phosphate 4 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00 3.00
Lecithin 4 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
Methionine source 0.00 0.05 0.10 0.04 0.08 0.12
Glycine 4 0.12 0.08 0.03 0.09 0.06 0.03
Gelatin 4 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00
Cholesterol 4 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20

Laju pertumbuhan udang dengan komposisi Methionine yang berbeda.


Final weight (g) Weight gain Biomass Survival
Diet FCR
(%) gain (%) (%)
Basal 5.78 860.7 660.5 88.3 1.96
Dl-met (0.5) 5.72 862.8 733.6 96.7 1.91
Dl-met (1.0) 5.89 893.5 701.2 90.0 1.91
Cu-met (0.04) 5.72 843.0 700.8 95.0 1.95
Cu-met (0.08) 5.80 872.2 656.3 86.7 2.04
Cu-met (0.12) 5.75 846.6 676.1 91.7 1.96
PSE 1 34 19.9 28.7 2.96 61
P-value 0.0499 0.5315 0.4201 0.1872 0.737

Pada penelitian tersebut, digunakan dua jenis Methionine, yakni DL-


Methionine dan Cu-Methionine dalam formulasi pakan. Secara umum, kajian
menunjukkan bahwa walaupun ikan diberikan pakan dengan level protein yang
sama (32%), namun memberikan hasil laju pertumbuhan yang berbeda. Faktor
pembeda adalah adanya penambahan unsur Methionine pada pakan. Jika kita
fokus kepada data DL- Methionine (tabel merah), terlihat bahwa penambahan
Methionine pada konsentrasi optimum dapat meningkatkan laju pertumbuhan
udang dibandingkan basal diet dengan konsentrasi Methionine dibawah kisaran
konsentrasi optimum. Data ini menunjukkan bahwa keberadaan Methionine yang

111
ditambahkan dalam konsentrasi optimum akan mendukung optimalisasi
pertumbuhan organisme akuatik. Namun penambahan ini juga harus berdasarkan
riset yang berkelanjutan. Berdasarkan data penambahan Cu-Methionine (tabel
biru), penambahan Methionine dengan konsentrasi berlebih justru akan
berdampak kepada penurunan laju pertumbuhan udang. Hasil ini menunjukkan
bahwa dengan formulasi yang tepat, protein tidak lagi menjadi patokan utama
dalam formulasi pakan. Referensi pakan yang baik diharapkan lebih difokuskan
kepada keberadaan nutrient spesifik yang dibutuhkan oleh organisme akuatik
yang dibudidayakan.

Strategi Peningkatan Kualitas Pakan Ekonomis: Penggunaan Protein


hidrolisat
Protein hidrolisat dihasilkan melalui proses hidrolisis bahan baku hasil
olahan (kepala, tulang, ekor dan bagian yang tidak termanfaatkan dalam industri
processing) menggunakan prinsip pasteurisasi pada suhu dan waktu tertentu.
Proses hidrolisis ini akan menghasilkan produk dengan kadar protein yang lebih
baik serta dapat mem-break down partikel protein, karbohidrat dan lemak menjadi
unsur dengan berat molekul yang lebih rendah dan menjadi lebih mudah untuk
diserap. Disamping itu, produk yang dihasilkan memiliki karakter bau yang cukup
kuat sehingga dapat meningkatkan palatability pakan yang dihasilkan dan dapat
menstimulir sensory organ organisme akuatik untuk mengkonsumsi pakan yang
diberikan. Dibawah ini akan disajikan contoh data penggunaan protein hidrolisat
dengan konsentrasi berbeda yang ditambahkan pada pakan tanpa penggunaan
protein hewani dan dibandingkan dengan pakan dengan penggunaan 15% protein
hewani. Pengaruh pemberian pakan dengan level protein hidrolisat berbeda
terhadap laju pertumbuhan dan kondisi kesehatan saluran pencernaan dan hati
ikan Florida pompano Trachinotus carolinus disajikan di tabel dan gambar
berikut:

112
Formulasi pakan dan profil nutrisi pakan dengan menggunakan 1, 2 dan 4%
protein hydrolysates dan 15% animal meal (PBM)
Ingredients (g x kg-1 as
PBM Basal 1%PH 2%PH 4%PH
is)
Poultry by product meal1 150 0 0 0 0
Soybean Meal2 472.1 472.1 472.1 472.1 472.1
Advanced Soy Product3 0 148 136.5 125.1 102.2
Protein hydrolysates 4 0 0 1 2 4
Corn protein concentrate6 63 80 80 80 80
Menhaden Fish Oil7 47.4 63.7 63.5 63.3 62.9
Corn Starch8 7 4.7 6.6 8.4 12.1
Whole wheat8 220 180 180 180 180
ASA Trace Mineral premix10 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5

ASA Vitamin premix w/o 5 5 5 5 5


choline11
Choline chloride8 2 2 2 2 2
Stay C 35%12 1 1 1 1 1
CaP-dibasic 8 20 31 30.8 30.6 30.2
Lecithin (soy commercial)9 5 5 5 5 5

Taurine8 5 5 5 5 5
Lysine8 1 1 1 1 1
Proximate analyses (g x kg-1
as is)
Crude Protein (%) 426.0 414.9 411.5 409.4 419.3
Moisture (%) 72.9 83.6 93.1 110.2 76.6
Crude Fat (%) 95.6 82.8 79.5 85.3 89.4
Crude Fiber (%) 27.5 32.4 29.1 28.8 30.8
Ash (%) 64.9 64.4 63.7 61.6 63.9

Laju pertumbuhan ikan bawal dengan pakan berbeda


Final Final Feed
Survival
Diet biomass berat rata- TGC1 intake (g FCR
(%)
(g) rat (g) x fish-1)
PBM1 702.30a 38.60a 0.0903a 43.99a 1.42b 91.25
Basal 405.75bc 28.17bc 0.0677bc 32.54c 1.69ab 73.75
1% SH2 449.47bc 23.65c 0.0562c 32.05c 2.09ab 85.00
2% SH 615.25b 34.84a 0.0784b 37.54bc 1.48b 78.75
4% SH 641.95ab 36.17ab 0.0822ab 41.93b 1.44b 87.50
P-value <0.0001 0.0003 0.0001 0.0001 0.0066 0.3956
PSE6 28.120 1.8458 0.0037 1.2579 0.1220 4.0686
Keterangan: 1) TGC = Thermal Growth Coefficient

113
Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa kualitas nutrisi pakan dan laju
pertumbuhan ikan menjadi lebih baik dengan penambahan level protein hidrolisat
dalam pakan. Upaya untuk menghasilkan pakan ekonomis dengan bahan
penyusun 100% protein nabati (basal diet) yang disusun tanpa menggunakan
protein nabati justru memiliki laju pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Menarik untuk diperhatikan bahwa dengan
penambahan 2 dan 4% protein hidrolisat dalam pakan nabati mampu
meningkatkan kualitas pakan dimaksud dan mampu mendukung laju
pertumbuhan ikan. Bahkan, penambahan 4% protein hidrolisat dalam pakan
nabati pada kahirnya mampu menghasilkan laju pertumbuhan yang sama dengan
ikan yang diberi pakan 15% tepung hewani. Melihat data feed intake, penambahan
2 dan 4% protein hidrolisat juga mampu meningkatkan palatability pakan dengan
tingkat konsumsi yang cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa produksi pakan
ekonomis dengan menggunakan protein nabati dapat diwujudkan melalui
penambahan attractant yang tepat untuk menghasilkan tingkat konsumsi pakan
dan laju pertumbuhan yang lebih baik. Secara ekonomis, penggunaan 2 dan 4%
protein hidrolisat dalam pakan masih lebih murah dan sustainable dibandingkan
dengan penggunaan protein hewani.

(kiri) Histologi liver ikan Florida pompano yang diberi pakan dengan (A) 15%
protein hewani (PBM), (B) basal, (C) 4% protein hidrolisat, and (D) 4% tepung
cumi-cumi. (kanan) Histologi saluran pencernaan ikan Florida pompano yang diberi
pakan dengan (A) 15% protein hewani (PBM), (B) basal, (C) 4% protein hidrolisat,
and (D) 4% tepung cumi-cumi

114
Pada pengamatan histologi, juga diamati kondisi hati dan saluran
pencernaan ikan yang diberi penambahan 4% tepung cumi-cumi pada basal diet
sebagai pembanding untuk kondisi liver dan saluran pencernaan yang dihasilkan
oleh penambahan 4% protein hidrolisat pada basal diet. Berdasarkan hasil
pengamatan, kondisi hati dan saluran pencernaan ikan dengan penambahan 4%
protein hidrolisat menghasilkan kondisi yang sama dengan ikan dengan
pemberian pakan 15% protein hewani (PBM). Sementara pembanding yang
digunakan, penambahan 4% tepung cumi belum mampu memberikan efek
signifikan terhadap laju pertumbuhan dan bahkan kondisi hati dan saluran
pencernaan hampir sama dengan ikan yang diberi pakan basal diet melalui
peningkatan jumlah goblet cells dan semakin melebarnya lamina propria yang
diisi oleh infiltration cells dalam saluran pencernaan. Data ini menunjukkan
bahwa pemberian pakan dengan komosisi 100% protein nabati dapat menjadikan
hati dan saluran pencernaan bekerja lebih keras untuk mem-breakdown partikel
nutrient menjadi komponen yang lebih mudah untuk diserap dan digunakan.
Penambahan 4% tepung cumi tidak mengubah kondisi sedikitipun dan justru
menjadikan harga pakan semakin meningkat. Kondisi yang lebih baik dapat
dilihat pada kondisi hati dan pencernaan ikan yang diberikan penambahan 4%
protein hidrolisat. Kondisi ini dimungkinkan karna produk yang dihasilkan
melalui proses hidrolisis ini mengandung micro peptide yang lebih mudah untuk
dicerna dan dimanfaatkan tubuh yang pada akhirnya dapat menghasilkan laju
pertumbuhan dan kondisi kesehatan yang lebih baik. Hasil ini menunjukkan
bahwa strategi produksi pakan ekonomis dapat dilakukan melalui penambahan
attractant dalam jumlah yang tepat.

Perlakuan Fermentasi pada Bahan Baku Pakan


Saat ini, riset yang dilakukan untuk mendapatkan bahan subtitusi tepung
ikan telah menghasilkan tepung bungkil kedelai, protein jagung dan Cottonseed
meal sebagai bahan alternatif yang dapat digunakan dalam formulasi pakan.
Namun dari beberapa bahan tersebut, tepung yang dihasilkan dari pengolahan
bungkil kedelai menjadi bahan subtitusi potensial karna memiliki profil asam
amino yang baik, sumber tersedia secara luas, memiliki tingkat ketercernaan
tinggi, harga yang kompetitif dan sustainable. Namun, tepung bungkil kedelai ini
masih memiliki beberapa hambatan kalau digunakan dalam jumlah tinggi,

115
utamanya karna masih tersedianya faktor anti-nutrisi yang dapat menghambat
pemanfaatan protein tepung bungkil kedelai, seperti keberadaan phytic acid,
Saponin, Phytosterols dan Proteinase inhibitors. Konsekuensinya, teknik
pengolahan lanjutan sangat dibutuhkan kalau ingin penggunaan tepung bungkil
kedelai dalam pakan akan diguanakn dengan level penambahan yang lebih tinggi
dalam pakan. Salah satu teknik lanjutan ini adalah proses fermentasi. Proses ini
melibatkan beberapa bakteri, seperti: Bacillus subtilis, Aspergillus oryzae,
Candida utilis, Lactobacillus plantarum dan Phaffia rhodozyma. Produk hasil
fermentasi secara ilmiah diketahui dapat menurunkan jumlah faktor anti-nutrisi
pada bungkil kedelai, meningkatkan kualitas nutrisi dan mencegah kerusakan
morfologi hati dan saluran pencernaan ikan.
Sebagai justifikasi, dibawah ini disajikan formulasi pakan menggunakan
tepung bungkil yang sudah difermentasi atau fermented soybean meal (FSBM)
untuk mengganti peran tepung bungkil kedelai dengan level berbeda. Pengamatan
dilakukan terhadap laju pertumbuhan ikan Florida pompano dan kondisi hati dan
saluran pencernaan ikan Florida pompano.

Komposisi (g x kg-1 basis) pakan yang diberi produk fermented soybean meal
(FSBM) dengan level subtitusi tepung bungkil kedelai 50% (FSBM 50), 75% (FSBM
75) dan 100% (FSBM 100)

Ingredients (g x kg-1, as is) Basal FSBM 50 FSBM 75 FSBM 100


Poultry by product meal1 150 150 150 150
Soybean Meal2 472.1 235.4 116.8 0.00
Fermented Soybean Meal3 0.00 206 309 410.7
Corn protein concentrate4 63 63 63 63
Menhaden Fish Oil5 47.4 49.0 49.7 50.5
Corn Starch6 7 37.2 52.4 67
Whole wheat6 220 220 220 220
Trace Mineral premix7 2.5 2.5 2.5 2.5
ASA Vitamin premix w/o choline8 5 5 5 5
Choline chloride6 2 2 2 2
Stay C 35%9 1 1 1 1
CaP-dibasic6 20 19 18.7 18.5
Lecithin (soy commercial)10 5 5 5 5
Taurine6 5 4.9 4.9 4.8
Proximate analyses (g x kg-1, as
is)11
Crude Protein 423.5 416.0 416.9 418.9
Moisture 47.5 60.9 64.3 65.1

116
Crude Fat 99.6 93.2 95.9 95.8
Crude Fiber 26.2 32.3 30.1 27.9
Ash 67.4 65.7 64.9 64.0

Komposisi asam amino (AA) (g x kg-1) pakan perlakuan1


AA (g x kg-1, dry matter) Basal FSBM 50 FSBM 75 FSBM 100
Taurine 7.3 6.9 6.7 6.6
Hydroxyproline 3.1 3.5 3.0 3.8
Aspartic Acid 37.1 37.1 37.2 38.0
Threonine 14.7 14.8 14.9 15.1
Serine 17.8 18.3 18.0 18.8
Glutamic Acid 75.3 75.3 74.7 76.4
Proline 24.7 23.7 23.8 23.9
Lanthionine 0.3 0.4 0.5 0.4
Glycine 21.4 21.7 21.3 21.9
Alanine 21.5 21.7 21.7 22.0
Cysteine 5.9 5.7 5.7 5.7
Valine 19.7 19.6 19.8 20.2
Methionine 7.4 7.4 7.3 7.2
Isoleucine 17.8 17.7 18.0 18.1
Leucine 35.1 34.9 35.3 35.6
Tyrosine 15.2 14.8 12.8 15.3
Phenylalanine 20.1 19.9 20.0 20.2
Hydroxylysine 0.9 0.8 0.8 0.7
Ornithine 0.00 0.1 0.1 0.00
Lysine 22.0 20.9 20.8 21.3
Histidine 9.5 9.4 9.4 9.5
Arginine 25.7 25.1 24.1 25.2
Tryptophan 4.7 4.6 5.0 4.5

1Komposisi asam amino dianalisa di University of Missouri Agricultural Experiment


Station Chemical Laboratories (Columbia, MO, USA)

Secara mikroskopis, kita bisa melihat bahwa saluran pencernaan dan hati
ikan Florida pompano dengan penambahan FSBM yang lebih tinggi memiliki
integritas yang semakin baik. Ikan yang mengkonsumsi pakan dengan 100%
fermented soy menggantikan peran tepung bungkil kedelai memiliki kondisi hati,
saluran pencernaan dan bahkan laju pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
ikan yang mengkonsumsi basal diet. Kondisi ini menunjukkan bahwa teknik
fermentasi dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas nutrisi bahan baku yang
digunakan. Teknik fermentasi dapat digunakan sebagai bagian dari strategi utama
pakan mandiri.

117
(kiri) Histologi saluran pencernaan ikan Florida pompano setelah 56 hari diberi
pakan fermented soybean meal dengan penambahan berbeda dan dibandingkan
dengan basal diet (100% nabati dengan tepung bungkil kedelai sebagai protein
utama) (A) basal diet (B) FSBM 50 (C) FSBM 75, and (D) FSBM 100. (kanan)
Histologi hati ikan Florida pompano setelah 56 hari diberi pakan fermented
soybean meal dengan penambahan berbeda dan dibandingkan dengan basal diet
(100% nabati dengan tepung bungkil kedelai sebagai protein utama) (A) basal diet
(B) FSBM 50 (C) FSBM 75, and (D) FSBM 100

Penggunaan enzim pada pakan


Seperti yang telah diutarakan diatas, salah satu faktor penghambat dalam
penggunaan protein nabati dalam jumlah besar adalah keberadaan faktor
antinutrisi yang dapat menghambat pemanfaatan nutrisi dari bahan baku protein
nabati yang digunakan. Salah satu strategi yang dapat diterapkan untuk
meminimalisasi pengaruh negatif dari faktor anti-nutrisi tersebut adalah
penggunaan enzim yang dapat mempercepat pemecahan partikel menjadi
komponen yang lebih mudah untuk digunakan dan diserap oleh organisme
akuatik. Untuk melihat sejauh mana pengaruh penambahan enzim pada pakan
dengan komposisi utama protein nabati, dibawah ini disajikan data penggunaan
enzim Carbohydrase untuk optimalisasi penggunaan protein nabati pakan ikan
Florida pompano.
Formulasi pakan dengan menggunakan enzim Carbohydrase

Shillenge
Basal +
Ingredient Basal Shillenger r+
CHOase
CHOase
Poultry by product meal1 15.00 15.00 15.00 15.00
Soybean meal solvent extracted2 47.70 47.70 0.00 0.00
Shillenger soybean meal3 0.00 0.00 41.10 41.10

118
Menhaden Fish Oil4 4.81 4.81 4.81 4.81
Soy oil5 0.00 0.00 0.42 0.42
Corn Starch6 4.54 6.60 12.82 12.78
Whole Wheat6 17.5 17.5 17.5 17.5
Corn protein concentrate7 6.30 6.30 6.30 6.30
ASA Trace Mineral premix6 0.25 0.25 0.25 0.25
ASA Vitamin premix w/o choline8 0.50 0.50 0.50 0.50
Choline chloride6 0.20 0.20 0.20 0.20
Stay C 250 mg/kg using 35%9 0.10 0.10 0.10 0.10
CaP-Dibasic6 2.10 0.00 0.00 0.00
Lecithin6 0.50 0.50 0.50 0.50
Taurine6 0.50 0.50 0.50 0.50
Carbohydrase10 0.00 40 0.00 40
Proximate analyses (%, as-is)
Crude Protein (%)11 41.15 40.86 42.45 44.10
Crude Fat (%)11 8.91 8.76 8.70 9.17
Crude Fiber (%)11 3.12 3.20 2.15 2.31
Moisture (%)11 5.65 6.68 5.14 5.60
Ash (%)11 7.50 5.59 5.46 5.63
Phosphorus (%)11 1.20 0.79 0.73 0.78

Laju pertumbuhan benih Florida pompano dengan berat awal 10.31g ± 0.27g
setelah diberikan pakan (Tabel 7) selama 10 minggu
Weight gain FCR Survival
Diet FW (g) TGC
(%) (%)
Basal 79.33 0.1092 677.01 1.93 100
Basal+CHOase 79.70 0.1072 660.0 1.87 100
Schillenger 88.64 0.1189 790.61 1.72 100
Schillenger + 89.11 0.1173 767.34 1.71 100
CHOase
PSE 2.9851 0.0022 21.6109 0.0369 -
P-values
Soy type 0.0066 0.0022 0.0009 0.0063 -
Enzyme 0.5050 0.4437 0.3786 0.7344 -
Soy type*Enzyme 0.8593 0.9343 0.8885 0.0875 -
PSE=Pooled Standard Error, n=3. Significance (P<0.05) determined by SNK grouping.

Data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan enzim Carbohydrase


dapat meningkatkan laju pertumbuhan benih ikan Florida pompano dan
pemanfaatan nutrisi. Nilai koversi pakan juga terlohat lebih baik. Penggunaan
tepung bungkil kedelai yang telah diolah lebih lanjut (Schillenger) dengan nutrisi
dan level anti-nutrisi yang lebih rendah, juga dapat ditingkatkan efisiensi dan
efektivitasnya dengan penggunaan enzim Carbohydrase ini.

119
Mineral Pada Pakan
Penggunaan mineral pada pakan untuk organisme akuatik menjadi sangat
tricky karna adanya asumsi bahwa kebutuhan mineral dapat diserap secara
langsung dari lingkungan. Namun di beberapa tempat, konsentrasi mineral dapat
berada dibawah konsentrasi optimum yang dibutuhkan. Peran mineral cukup
penting karna berkaitan dengan sistem osmoregulasi, pembentukan struktur
tulang dan jaringan keras lainnya, regulasi ion dan keseimbangan asam basa.
Salah satu mineral yang sangat dibutuhkan oleh ikan dan udang adalah Cu
(Copper) yang memiliki peranan aktif dalam meningkatkan efisiensi penyerapan,
transportasi dan metabolisme. Untuk itu, dalam fokus produksi pakan mandiri,
penambahan mineral dalam formulasi pakan dapat dipertimbangkan. Dibawah ini
disajikan data penggunaan copper hydroxychloride (Cu2(OH)3Cl) atau Copper
sulfate (CuSO4) pada pakan udang Vannamei.

Komposisi pakan udang Vannamei dengan level copper hydroxychloride


(Cu2(OH)3Cl) atau Copper sulfate (CuSO4) yang berbeda
Ingredients
(As is basis g/kg) Basal H40 H100 H160 H220 C40 C100 C160 C220
Fish meal1 65.0 65.0 65.0 65.0 65.0 65.0 65.0 65.0 65.0
Soybean meal2 500.0 500.0 500.0 500.0 500.0 500.0 500.0 500.0 500.0
Corn protein isolate3 63.5 63.5 63.5 63.5 63.5 63.5 63.5 63.5 63.5
Corn starch4 25.4 25.4 25.4 25.4 25.4 25.3 25.0 24.8 24.6
Whole wheat4 220.0 220.0 220.0 220.0 220.0 220.0 220.0 220.0 220.0
Fish oil1 55.6 55.6 55.6 55.6 55.6 55.6 55.6 55.6 55.6
Mineral premix Cu-
free5 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0
Vitamin premix6 18.0 18.0 18.0 18.0 18.0 18.0 18.0 18.0 18.0
Choline chloride4 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0 2.0
Stay C7 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
CaP-diebasic8 25.0 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50
Lecithin9 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0
Cholesterol10 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
Cellulose11 9.00 8.95 8.85 8.75 8.64 8.88 8.64 8.40 8.17
CuSO4 ·5H2O11 0.12 0.36 0.60 0.83
Cu hydroxychloride12 0.05 0.15 0.25 0.36

P r o x i m a t e
composition
Crude protein 357.9 349.0 364.5 361.6 363.2 361.5 351.0 342.4 361.2
Moisture 88.5 118.8 78.7 87.0 84.9 86.0 117.2 133.2 88.2
Ash 70.6 69.5 71.6 71.9 71.6 72.1 69.7 68.6 71.7
Copper (mg/kg) 11.1 39.3 94.6 165.6 214.6 44.5 96.2 153.2 215.0

120
Efek penambahan Cu dengan sumber dan level berbeda pada pertumbuhan
Litopenaeus vannamei (Berat awal 0.30 g, selama 6 minggu)
Diet Target Analyzed Final Final Weight FCR1 Survival TGC2
Cu Cu Biomass Mean Gain (%)
(mg/kg) (mg/kg) (g) Weight (g) (%)
B10 10 11.1 57.04 4.62 1461 1.70 82.7 85
H40 40 39.3 57.92 4.68 1502 1.68 82.7 86
H100 100 94.6 64.40 4.48 1380 1.76 96.0 83
H160 160 165.6 53.20 4.35 1393 1.82 81.3 82
H220 220 214.6 61.90 4.87 1544 1.61 85.0 87
C40 40 44.5 61.02 4.63 1464 1.69 88.0 85
C100 100 96.2 58.22 4.71 1486 1.66 82.7 86
C160 160 153.0 58.10 4.34 1349 1.81 89.3 82
C220 220 215.0 61.00 4.78 1505 1.63 85.3 86
PSE3 2.66 0.17 62.9 0.07 3.5 2

ANCOVA P –value

Model 0.97
0.9471 0.9943 0.9992 0.9730 16 0.9964
Source 0.98
0.8630 0.8069 0.9875 0.6428 54 0.8163
Level 0.69
0.5977 0.8973 0.9949 0.9899 58 0.9784
Source
× 0.78
Level 0.8218 0.9854 0.8862 0.9302 05 0.9744

Dari data tersebut, terlihat bahwa penambahan mineral dengan level


optimum mampu meningkatkan kualitas pakan dan laju pertumbuhan udang
Vannamei yang mengkonsumsi pakan tersebut. Secara umum, penggunaan copper
hydroxychloride (Cu2(OH)3Cl) copper dan Cu sulfate (CuSO4) secara molekuler
juga tidak menunjukkan adanya pergeseran komposisi microbial community di
saluran pencernaan. Oleh karena itu, penggunaan copper hydroxychloride
(Cu2(OH)3Cl) copper dan Cu sulfate (CuSO4) tidak memiliki dampak negative
terhadap saluran pencernaan dan kesehatan dan disaat yang bersamaan mampu
menunjang laju pertumbuhan udang Vannamei.

121
Bahan Alternatif Penting lainnya
Bahan baku memegang peranan penting dalam penentuan nilai ekonomis
pakan. Saat ini banyak bahan baku hasil olahan lebih lanjut atau pakan alami yang
dapat digunakan untuk mensubtitusi penggunaan tepung ikan dan protein hewani
lainnya, seperti penggunaan tepung maggot, tepung serangga, tepung alga Ulva
meal, tepung bungkil kedelai yang diolah dengan proses enzimisasi atau enzyme
treated soy hingga kepada penggunaan bahan baku lokal seperti Sagu yang dapat
menggantikan peran Wheat flour dalam formulasi pakan. Seluruh bahan ini jika
diformulasikan dengan tepat dapat menghasilkan pakan dengan nilai ekonomis
yang lebih baik dan efektif untuk mendukung laju pertumbuhan organisme
akuatik. Dibawah ini disajikan hasil penelitian dengan menggunakan tepung alga
Ulva meal dalam pakan udang Vannamei.

Formulasi pakan dengan jumlah Ulva meal yang berbeda


Ingredient (% as is) D1 D2 D3 D4 D5
Fish meal1 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00
Soybean meal2 48.70 48.70 48.70 48.70 48.70
Corn protein concentrate3 8.00 8.00 8.00 8.00 8.00
Ulva meal 110 0.00 6.35 12.70 19.05 25.40
Fish oil2 5.65 5.75 5.86 5.97 6.07
Trace mineral premix5 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
Vitamin premix6 1.80 1.80 1.80 1.80 1.80
Choline chloride4 0.20 0.20 0.20 0.20 0.20
Stay C7 0.10 0.10 0.10 0.10 0.10
Mono-dicalcium phosphate8 1.62 1.90 2.15 2.40 2.65
Lecithin9 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
Cholesterol4 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05
Corn starch4 22.54 17.78 13.05 8.31 3.58

Laju pertumbuhan benih udang Vannamei (berat awal 0.26g) yang diberikan pakan
dengan penggunaan Ulva meal sebagai pengganti tepung ikan selama masa periode
6 minggu.

Final
Final
UM1 Mean Survival ANPR4
Diet Biomass WG3 (%) FCR2
(%) Weight (%) (%)
(g)
(g)
D1 0 44.63a 5.01a 1792.8a 1.83b 88.6 25.70ab

D2 6.35 45.45a 5.09a 1830.9a 1.81b 88.6 27.16a

122
D3 12.70 39.58ab 4.30ab 1555.1b 2.15ab 91.4 23.07ab

D4 19.05 36.10ab 3.88b 1389.1b 2.36a 92.9 20.20b

D5 25.40 32.26b 3.87b 1407.4b 2.43a 82.9 20.36b

P-value 0.0175 0.0006 0.0003 0.0039 0.2451 0.0073

PSE1 1.1253 0.0868 28.9568 0.0491 1.2074 0.5699

Data tersebut menunjukkan bahwa subtitusi tepung ikan sebanyak 60%


dengan menggunakan Ulva meal masih memiliki laju pertumbuhan yang sama
dengan basal diet yang memiliki komposisi 10% tepung ikan dalam pakan.
Penggunaan Ulva meal sebagai bahan untuk formulasi pakan merupakan salah
satu cara untuk produksi pakan yang lebih sustainable utamanya pada
lingkungan. Kalau startegi ini akan diterapkan maksimal, teknologi produksi ulva
meal yang sudah dikuasai dapat terus dikembangkan untuk mendukung program
pakan mandiri.

Kesimpulan
Nutrisi memegang peranan penting dalam industri akuakultur karna
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap laju pertumbuhan, kesehatan,
kualitas produk dan limbah yang dihasilkan. Untuk efisiensi produksi,
pengetahuan tentang kebutuhan nutrisi spesifik organisme akuatik yang
dibudidayakan menjadi sangat penting. Penulis berharap beberapa data yang
disajikan diatas dapat menjadi referensi utama untuk industri pakan nasional,
sehingga dimasa mendatang formulasi pakan tidak hanya berpatokan pada
pencarian level protein dan bahan baku lokal saja namun juga harus
memperhatikan profil nutrisi spesifik yang dibutuhkan dan tingkat daya cerna dari
bahan baku yang digunakan. Semua ini tentunya bermuara kepada keinginan kita
bersama untuk emmajukan industri perikanan budidaya Indonesia.

Daftar Pustaka
Food and Agriculture Organization of the United Nations Staff. 2020. The State of World Fisheries
and Aquaculture, 2020. FAO.
Novriadi, R., & Davis, D. A. 2018a. Research Update: Development of Plant-based Diets for Florida
pompano Trachinotus carolinus. Aquacultura Indonesiana, 19(2), 47-56.
Novriadi, R., Spangler, E., & Allen Davis, D. 2018b. Comparative effect of advanced soy products or
corn protein concentrate with porcine meal on growth, body composition, and distal

123
intestine histology of Florida pompano, Trachinotus carolinus. Journal of the World
Aquaculture Society.
Novriadi, R., Spangler, E., Rhodes, M., Hanson, T., & Allen Davis, D. 2017a. Effects of various levels
of squid hydrolysate and squid meal supplementation with enzyme-treated soy on growth
performance, body composition, serum biochemistry and histology of Florida pompano
Trachinotus carolinus. Aquaculture, 481, 85-93. doi:10.1016/j.aquaculture.2017.08.032
Novriadi, R., Rhodes, M., Powell, M., Hanson, T., & Davis, D. 2017b. Effects of soybean meal
replacement with fermented soybean meal on growth, serum biochemistry and
morphological condition of liver and distal intestine of Florida pompano Trachinotus
carolinus. Aquaculture Nutrition, 1-11.
NRC. 2011. Nutrient requirements of fish and shrimp. Washington D.C.: National Academic Press.

124
MENGELOLA LAUT INDONESIA DI ERA
MAHADATA: SATU DATA , SATU BAHASA , SATU
KEBIJAKAN

Noir Primadona Purba


Marine Research laboratory (MEAL), Universitas Padjadjaran

P
erairan Indonesia luasnya hampir 2/3 dari luas daratan, terletak diantara
dua benua, dan diapit oleh dua samudera. Ketiga poin diatas sangat
penting untuk menggambarkan bagaimana kompleks dan dinamisnya
perairan kita. Konstelasi geografis menyebabkan wilayah Indonesia mendapatkan
efek dari berbagai macam kejadian alam seperti El Nino dan La Nina (kekeringan
dan banjir), gelombang tinggi, muson, gempa bumi, dan arus dunia, dsb.
Tantangan ini merupakan tanggung jawab bersama antar stakeholder agar dapat
merumuskan kebijakan-kebijakan strategis.
Dengan kompleksnya biosfer dan geosfer Indonesia, maka pengambilan
kebijakan juga tidak mudah untuk diputuskan. Hal ini berdampak pada implikasi
terhadap program-program yang akan dijalankan. Ketidakmudahan merumuskan
kebijakan diakibatkan oleh beberapa faktor utama seperti: kurangnya data, sistem
yang masih konvensional, dan sumber daya manusia. Dalam hal ini apabila
berbicara terkait pengelolaan laut, sangat penting untuk digarisbawahi bahwa
semua program haruslah memberikan dampak siginifikan terhadap pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat. Dalam bahasa penelitian dapat dikatakan bahwa
kebijakan yang baik berasal dari data, sistem, dan sumber daya yang baik dan
bagus pula.
Saat ini, era teknologi sudah sangat berkembang dibandingkan satu
dekade yang lalu. Era ini menandakan adanya penggunaan data yang akan lebih
banyak, kompleks, dan dengan pengguna yang beragam. Hal ini menjadikan
penyediaan data yang lebih presisi akan menjadi tantangan besar sebagai negara
kepulauan. Untuk itu, secara umum artikel ini akan membahas bagaimana
sebenarnya pengelolaan data kelautan di Indonesia sehingga implikasinya dapat
membuat kebijakan-kebijakan yang ada dapat digunakan untuk kepentingan
bangsa terutama masyarakat Indonesia.

125
Potensi dan Permasalahan
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa perairan kita merupakan salah satu
yang paling kompleks dan unik. Lebih lanjut, perairan Indonesia menjadi salah
satu lokasi riset dunia karena biodiversitas ekosistemnya yang tinggi, migrasi ikan
penting dan komersial, sumber daya mineral bawah laut, potensi obat, dan lain
sebagainya. Salah satu yang diakui di dunia adalah keberadaan Coral Reef Triangle
(CRT) dimana wilayahnya yang paling luas terletak di perairan dangkal Indonesia.
Keberadaannya berimplikasi dengan banyak sektor termasuk pariwisata dsb,
kelangsungan perikanan, perubahan iklim. Namun, ekosistem ini terancam
dengan adanya pemanasan global yang menyebabkan “bleaching” dan aktivitas
manusia yang masih bersifat merusak.

Coral reef Triangle yang terdiri dari enam negara dan Indonesia merupakan daerah
yang paling luas dan paling tinggi biodiversitasnya2

Dengan tingginya biodiversitas ekosistem dan biota di perairan Indonesia,


laut kita menjadi salah satu laboratorium alam terbesar di dunia, terutama bagi
peneliti yang fokus pada sistem laut dan ekosistem tropis. S a m p a i s a a t i n i ,
eksplorasi data terhadap kolom air termasuk biota dan bawah airnya masih terus
dikaji untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif. Selain sisi penting
tersebut, tantangan lain yang dimiliki terkait dengan isu perbatasan seperti illegal
fishing dan termasuk pulau-pulau sengketa (Purba et al., 2020). Kemudian isu
lainnya adalah eksploitasi sumber daya bawah air, alur-alur laut, perubahan iklim,
dan lain sebagainya. Gambar dibawah (kiri) menunjukkan bahwa Indonesia

2 https://wwf.panda.org/knowledge_hub/where_we_work/coraltriangle/coraltrianglefacts/

126
sangat rentan akan gempa bumi bawah laut yang dapat menyebabkan Tsunami.
Sampai saat ini, gempa ini sangat sulit diprediksi dan secara global bahwa peneliti
dunia membutuhkan lebih banyak data untuk dapat melakukan prediksi.
Contohnya adalah ketika peneliti dunia heran dan tidak memprediksikan
bagaimana efek Tsunami Palu pada tahun 2018 yang begitu besarnya. Beberapa
pendapat juga menyatakan bahwa dengan Skala Richter 7.5 seharusnya tidak
menghasilkan Tsunami. Hal ini merupakan salah satu fenomena yang sampai saat
ini belum dapat diprediksi secara global maupun Indonesia. Para peneliti
meyakini bahwa masih dibutuhkan banyak data untuk mendapatkan kesimpulan.
Selain itu, Gambar lainnya menerangkan tentang bagaimana Indonesia
merupakan satu satunya jalur air dunia di Lintang rendah. Perairan Indonesia
menjadi salah satu jalur sungai yang mentransfer nutrien dan material penting
lainnya ke belahan dunia lainnya yang sering disebut “Ocean Thermohaline
Circulation” (OTH).

Tantangan di perairan Indonesia, (kiri) ring of fire yang melewati Wilayah


Indonesia3, (kanan) Arus Lintas Indonesia sebagai salah satu parameter iklim
global4

Massa air ini membawa unsur hara yang diperlukan oleh ekosistem di
perairan untuk hidup. Unsur hara ini sangat tinggi di perairan Pasifik terutama di
utara Papua. Di sisi lain, OTH juga dapat membawa material berbahaya dari
tempat lain ke perairan Indonesia. Sebagai contoh adalah sampah laut dan polusi
lainnya. Koneksi dengan laut/samudera lainnya, menyebabkan monitoring dan

3 http://pubs.usgs.gov/publications/text/fire.html

4 https://indopacificimages.com/indonesia/indonesian-throughflow/

127
kerjasama jangka panjang diperlukan. Pada intinya, adanya potensi dan
permasalahan yang ada di perairan Indonesia merupakan tantangan yang besar.

Data dan Monitoring


Salah satu yang penting untuk mengelola kondisi tersebut adalah dengan
data. Untuk itu, tidak ada hal yang lebih penting dari adanya data yang komplet,
rutin, dan presisi. Karakteristik data seperti ini sangat dibutuhkan untuk
mendapatkan hasil yang bagus. Wilayah perairan Indonesia yang terbentang dari
timur ke barat dengan karakteristik yang berbeda membutuhkan banyak data. Hal
ini tidak hanya data sesaat, tetapi data yang panjang dan mewakili karakteristik
wilayah.
Tentunya, untuk mendapatkan data tersebut diperlukan dana yang sangat
besar. Contohnya dapat kita lihat bagaimana negara-negara maju memberikan
dana yang besar untuk mendapatkan data. Tentunya, dengan adanya data ini
diharapkan dapat mengurangi dampak negatif terhadap manusia. Monitoring
diperlukan untuk mendapatkan program-program jangka panjang terutama
dikarenakan wilayah perairan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan baik
dalam skala lokal, regional, dan global. Contohnya adalah dengan wilayah
Indonesia sebagai salah satu “ring of fire”, data-data seperti gelombang, gerakan
lempeng, dsb sangat penting untuk dimonitor. Data akan membantu peneliti/
pemerintah melakukan prediksi yang pada akhirnya mendukung program dan
kebijakan terutama ruang-ruang yang ada di wilayah pesisir.
Lalu pertanyaan pentingnya adalah sudah bagaimana data yang kita
punya? Sejak Indonesia merdeka, data kelautan menjadi sangat sulit didapat. Hal
ini dikarenakan mahalnya biaya operasional survei laut. Kemudian, kadangkala
juga data yang diperoleh merupakan data dengan resolusi yang rendah akibat
instrumen yang tidak presisi. Yang terakhir adalah bahwa data kelautan belum
dianggap sebagai prioritas dalam program pemerintah sehingga belum terbentuk
sistem data kelautan. Walaupun pengumpulan data telah dilakukan sejak awal
1900an, namun sejak tahun 1990an, dengan adanya konsorsium dan kerjasama
internasional, data-data kelautan yang diambil secara langsung semakin banyak.
Salah satu observasi laut dunia adalah GOOS (Global Ocean Observing System) yang
fokus pada observasi, permodelan, dan analisa dari variabilitas laut. Kemudian
dari GOOS ini pada tahun 2005 KKP mencanangkan IMAGOOS (Indonesian Global

128
Ocean Observing System) (KKP, 2011). Yang kemudian muncul adalah program
INDESO (Infrastructure Development of Space Oceanography) yang merupakan salah
satu portal data kelautan yang mumpuni untuk digunakan datanya. Artinya secara
prinsip bahwa tujuan dan cita cita pemerintah untuk menghasilkan data yang baik
sudah ada.
Namun hal ini belumlah cukup jika dibandingkan dengan luasnya laut
Indonesia dan dinamika lautan. Beruntungnya lagi, bahwa teknologi satelit
dengan penginderaan jarak jauh juga semakin berkembang. Kemudian juga hal ini
membantu permodelan-permodelan fisis dapat dilakukan dengan tingkat
kesalahan yang rendah. Disisi lain, untuk data biologi kelautan masih sulit untuk
didapatkan terutama yang berada di laut dalam. Sudah banyak penelitian yang
menyatakan bahwa sumber daya laut dalam banyak yang dapat digunakan untuk
obat-obatan namun ekplorasi bawah laut masih sulit dilakukan. Ada anekdot
terkait dalam hal ini yang menyatakan bahwa manusia sudah sampai ke bulan
(384.400 km) tetapi belum sampai ke laut terdalam (10.9 km).
Data kelautan yang diambil langsung di lapangan berada pada lingkungan
terbatas yakni berada di perpustakaan atau resipatory terbatas. Selain di
lingkungan pemerintah, pengukuran langsung juga dilakukan oleh pihak-pihak
lain yang berkepentingan seperti misalnya pembangunan dermaga yang dilakukan
pihak swasta, dsb. Dikarenakan tidak dipublikasikan umum, data ini tidak
senantiasa dapat diakses dan diketahui. Kemungkinan pengukuran yang sama
dilakukan dalam waktu yang tidak jauh berbeda sering terjadi. Jika saja adanya
transparansi data, maka efesiensi waktu dan material dapat terjadi. Selain itu,
untuk mendapatkan data ini biasanya memerlukan administrasi yang panjang
dikarenakan sistem yang masih konvensional.

Satu Data Satu Bahasa


Saat ini pengelolaan kelautan menuju era baru sudah dimulai dengan
munculnya istilah “big data” atau “mahadata”. Big data adalah kumpulan data
yang lebih besar, lebih banyak, dan lebih kompleks yang berasal dari sumber yang
tidak terbatas, termasuk sumber yang baru. Dikarenakan data ini sangat banyak
dan bervariasi, maka diperlukan suatu sistem untuk dapat mengelolanya.
Kemudian, big data bukan hanya terkait dengan data saja, tetapi juga bagaiman
data tersebut diproses dan dianalisis sehingga muncul sintesa dan data yang valid.

129
Data ini haruslah mempunyai presisi yang sesuai dengan standar internasional,
resolusi yang paling akurat yang berasal dari sumber data yang beragam. Abbot,
M.R (2013) meyakini bahwa era big data juga sudah dan akan bisa diaplikasikan
dalam bidang kelautan. Dengan berkembangnya teknologi, pemprosesan big data
juga semakin cepat. Era ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana
dinamika kelautan dapat digambarkan secara presisi.

Manajemen big data yang dapat diaplikasikan ke berbagai bidang (Huang et al.,
2015)
Agar proses dan sistem big data ini dapat berhasil, data yang awalnya
berbeda format dan berbeda resolusi diproses sehingga keluarannya merupakan
data yang sudah mempunyai bahasa yang sama. Operasional Big data akan
mendapatkan hasil maksimal apabila keluaran dari proses ini mempunyai bahasa
yang sama. Artinya dalam hal ini adalah mempunyai bahasa yang sama yang siap
untuk digunakan dengan berbagai software yang ada. Seringkali melihat bahwa
data yang dikerluarkan oleh satu instansi akan berbeda dengan instansi lainnya
misalnya dalam hal satuan, jenis dan type data sehingga sangat menyulitkan bagi
pengguna untuk menggabungkan kedua data tersebut. Salah satu contohnya
adalah misalnya penggunaan luasan mangrove yang menggunakan Ha dan m2 atau
kondisi kesehatan terumbu karang yang menggunakan satuan “sehat/tidak sehat“
dan di sebagian tempat menggunakan satuan “rusak/tidak rusak”. Hal ini
tentunya mengakibatkan adanya bias terhadap data tersebut.

130
Untuk itu, pentingnya manajemen data yang baik agar semua pelaku
dalam bidang kelautan maupun yang berkorelasi dengan bidang ini dapat
memahami bagaimana laut dikelola. Beaujardiere et al. (2010) menegaskan bahwa
konsep manajemen data terdiri dari sistem, database, kualitas dan standar data,
disseminasi, dan perencanaan jangka panjang.
Proses ini akan berfungsi optimal apabila datanya juga dapat diakses
dengan mudah (digital). Sejak beberapa dekade terakhir, dengan penelitian laut
Indonesia semakin berkembang, pengukuran-pengukuran langsung sudah banyak
dilakukan baik yang mendapatkan dana nasional ataupun bergabung dengan
instansi atau negara lainnya. Salah satu konsorsium pengukuran laut disekitar
perairan Indonesia adalah argo float yang berfungsi untuk mengukur suhu dan
salinitas. Manajemen data ini dikelola secara internasional untuk mendapatkan
data kelautan.

(kiri) Posisi argo float di perairan dunia pada tanggal 23 Juni 2020 dan (kanan)
Manajemen data argo float diantara beberapa negara sebagai host datanya5

Selanjutnya, untuk memberikan gambaran manajemen data, ada dua


contoh yang database yang dapat menjadi acuan dalam pengelolan data. Pertama
adalah database NOA A (National Oceanographic Atmospheric and
Administration) (https://www.noaa.gov). Database ini merupakan salah satu
yang terbesar dan tertua di dunia. Data yang didapatkan berasal dari data
pengukuran langsung dan didistribuskan secara gratis melalui portal tersebut.
Data di portal ini sudah banyak digunakan untuk kepentingan penelitian dan juga
sudah menghasilkan kebijakan. Kemudian yang kedua adalah website portal data

5 http://www.argo.ucsd.edu/Argo_data_and.html

131
Pangeae (https://www.pangaea.de) yang dimiliki Jerman. Berdasarkan
komunikasi pribadi dengan salah satu profesor di Alfred Wegener Institute
(AWI), sesuai dengan UU yang diterapkan di Jerman, bahwa data harus segera
dipublikasikan kepada khalayak ramai sesaat setelah survei dilakukan. Kadangkala
juga data dipublikasikan secara real time dari Kapal survey. Hal ini berkaitan
dengan Undang-undang berlaku terutama apabila survei yang dilakukan
merupakan dana yang didapatkan dari pemerinah. Dana survei yang didapatkan
pemerintah yang bersumber dari pajak masyarakat seharusnya dapat dinikmati
oleh masyarakat. Dengan adanya data yang ditransfer langsung ke publik,
sebenarnya akan menjadikan mungkinnya publikasi yang hampir mirip atau
kemungkinan data dapat “dicuri”. Namun sampai saat ini, di Jerman belum ada
ditemukan plagiasi dari penggunaan data tersebut. Sistem seperti ini memang
harusnya dapat diadopsi untuk manajemen data di Indonesia sehingga dengan
data tersebut, maka akan menghasilkan publikasi yang beragam.
Selanjutnya, sistem pengunduhan data juga membutuhkan inovasi. Dari
kedua web yang telah dijelaskan diatas, untuk mengunduh data setidaknya yang
dibutuhkan adalah registrasi alamat email tanpa harus melakukan pengiriman
surat secara langsung dan administrasi lainnya. Dalam beberapa menit, data
sudah dapat diunduh dan dapat digunakan. Manajemen data tersebut juga sangat
bagus dan diupdate dengan sangat baik. Informasi mengenai instrumen, waktu
pengambilan, bias, dan sitasi dijelaskan dengan sangat baik sehingga pengguna
dapat menyeleksi data yang ingin digunakan. Hal ini mengurai istilah yang sudah
disebutkan diatas yakni “satu bahasa”. Walaupun memang kebijakan ini tidak
dapat diaplikasikan untuk data-data yang bersifat rahasia dan sangat penting
seperti untuk pertahanan dan keamanan dan juga sumber daya hayati strategis
namun setidaknya untuk data yang bersifat monitoring dapat diakses denga
mudah.

Strategi Satu Data untuk Satu Kebijakan


Dibutuhkan effort tinggi dari pemerintah untuk membentuk dan
menjalankan proyek strategis ini. Dalam hal ini yang dibutukan tidak lagi konsep
tetapi bagaimana eksekusinya. Sudah banyak negara yang berhasil sehingga dirasa
hanya perlu mengintegrasikannya dengan kepentingan nasional. Harus diapresiasi
bahwa pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden tentang kebijakan satu

132
peta melalui Perpres no. 9 tahun 2016. Kebijakan ini telah diturunkan dengan
pembukaan beberapa portal data di beberapa instansi seperti misalnya ESDM
dengan webgis platform (Setyowati et al., 2018).
Liu et al. (2017) dalam papernya menyatakan bahwa terdapat beberapa
tantangan dalam penggunaan big data seperti misalnya: 1)Infrastruktur yang
memadai, 2) Transfer data dengan wilayah yang luas, 3) Kualitas data, dan 4)
sumber daya manusia. Masalah ini akan teratasi apabila adanya kemauan
pemerintah dalam memproyeksikan data sebagai salah satu prioritas dan
merupakan program jangka panjang.
Agar Indonesia dikemudian hari dapat terlibat dalam manajemen data,
strategi satu data ini Integrasi antar institusi berperan sangat penting untuk
implementasinya dan pada dasarnya harus didukung oleh pendanaan multi tahun.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk membangun data kelautan antara
lain:
1. Data yang diberikan haruslah mempunyai karakteristik sebagai berikut: a.
mempunyai presisi dan keakuratan yang tinggi, b. Mempunyai logbook yang
jelas, c. Diusahakan bebas biaya terutama kegiatan-kegiatan yang berasal dari
pemerintah.
2. Kerjasama institusional dalam mengeluarkan data, memvalidasi data, dan
memberikan informasi terkini kepada pengguna. Di Indonesia hampir semua
instansi pemerintah yang bergerak di bidang kelautan mempunyai data yang
seharusnya dapat dipublikasikan untuk kepentingan riset.
3. Membangun jaringan dan sistem. Dengan banyaknya instansi yang terlibat
dan tersebar di berbagai daerah, pentinggnya sinergitas pengelolaan data baik
Hasil penelitian dan Hasil survei sehingga data ini tidak berakhir di
perpustakaan atau repository terbatas. Hal ini yang belum diatur oleh
pemerintah dan juga belum disadari oleh institusi atau peneliti. Apabila
penelitian/survei yang dilakukan oleh dana negara (pajak masyarakat)
seharusnya data tersebut dipublikasikan secara gratis untuk masyarakat.
Akhir kata, bahwa data merupakan salah satu yang paling penting dalam
menghasilkan kebijakan penting “Policy based on research, and research always stand on
(big) data”. Jika hal ini sudah disepakati bersama, maka Indonesia akan berjaya
lagi atas lautnya.

133
Daftar Pustaka
Abbott, M.R. 2013. From the President: The era of big data comes to oceanography. Oceanography
26(3):7–8, http://dx.doi.org/10.5670/oceanog.2013.68.
Beaujardiere, J.D.L., Beegle-Krause, C.J., Bermudez, L., Hankin, S., Hazard, L., Howlett, E., Le, S.,
Proctor, R., Signell, R.P., Snowden, D., Thomas, J. 2010. Ocean and Coastal Data
Management. Proceedings of OceanObs'09: Sustained Ocean Observations and Information
for Society, 2, 1-11.
Huang, D., Zhao, D., Wei, L., Wang, Z., Du, Y. 2015. Modelling and analysis in marine big data:
advance and challenges. Hindawi Publishing Corporation, Mathematical Problems in
Engineering, 1-13.
KKP. 2011. Rencana Strategis INAGOOS (Indonesian Global Ocean Observing System). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir, 90 hal.
Purba, N.P., Marine K. Martasuganda, Adrianto. D. 2020. Utilization of Oceanographic Data in
Supporting the National Defense and Security Analysis in terms of Handling The Illegal
Fishing in Indonesia. Jurnal Pertahanan, 6(1), 12-19.
Setyowati, H.A., Dwinugroho, M.P., Murti, S.H.M., Yulianto, A., Ajiwihanto, N.E., Hadinata, J.,
Arjakusuma, S. 2018. ESDM One Map Indonesia Indonesia: Opportunities and Challenges
to Support One Map Policy based on Applied Web-GIS. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci.
165 01202

134
MANFAAT KONSUMSI IKAN TERHADAP
PENINGKATAN KESEHATAN TUBUH

1Aulia Andhikawati dan 2Junianto


1Staff pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran; 2 Guru
besar Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Departemen Perikanan, Universitas
Padjadjaran

Pendahuluan

P
otensi sumberdaya perikanan di Indonesia sangat besar karena sekitar
62% luas wilayah Indonesia adalah laut dan perairan yang mencapai 6,32
juta km2 dengan luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yaitu 3 juta km2
(Kemenkomaritim, 2018). Menurut data BPS (2020) produksi perikanan
tangkap di Indonesia tahun 2018 pada sektor perairan umum sebesar 467.822
ton, sedangkan pada sektor perikanan laut mencapai 6,6 juta ton. Produksi
perikanan tangkap Indonesia meningkat dari tahun 2017 hingga tahun 2018
sebesar 7,5 %. Pertumbuhan produktivitas perikanan nasional sampai dengan
triwulan III pada tahun 2017 meningkat sebesar 6,79% dengan nilai Rp. 169
Miliar. Total produksi perikanan nasional pada perikanan tangkap dan perikanan
budidaya sebesar 23,26 juta ton, dengan total produksi perikanan tangkap
sebesar 6,04 juta ton dan perikanan budidaya sebesar 17,22 juta ton sampai
dengan Triwulan IV tahun 2017 (KKP, 2018)
Perikanan tangkap dan budidaya merupakan salah satu sektor penting
dalam pemenuhan kebutuhan sumber protein bagi manusia. Pada tahun 2017
konsumsi ikan di Indonesia mencapai lebih dari 46,49 Kg/Kapita/Tahun.
Konsumsi ikan pada tahun 2014-2017 mengalami peningkatan sebesar 6,823%
per tahun. Angka potensi sumberdaya ikan di Indonesia mencapai 12,54 juta
ton/tahun pada tahun 2017 (KKP, 2018). Perikanan budidaya menyumbang
angka konsumsi ikan lebih tinggi dari pada perikanan tangkap, dan pada tahu
2030 diperkirakan perikanan budidaya menyumbang 60% angka konsumsi ikan.
Pemenuhan kebutuhan gizi bagi manusia merupakan hal penting karena
memberikan dampak yang positif terhadap kesehatan, pertumbuhan, dan
kecerdasan. Hasil-hasil perikanan terutama ikan merupakan salah satu

135
sumberdaya alam yang kaya akan protein, lemak, vitamin dan mineral.
Berdasarkan data-data sumberdaya perikanan menunjukkan bahwa Indonesia
mampu menyediakan sumber protein hewani untuk kebutuhan masyarakat.
Walaupun angka konsumsi ikan telah mencukupi kebutuhan masyarakat, akan
tetapi hal ini perlu ditingkatkan lagi agar mencapai target yang diinginkan dan
merata. Kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi ikan juga perlu
ditingkatkan lagi.

Kandungan Gizi Ikan


Ikan memiliki peran penting dalam pemenuhan gizi tubuh. Kandungan
gizi ikan sangat bervariasi bergantung pada faktor internal dan eksternal.
Beberapa faktor internal yang mempengaruhi kandungan gizi ikan yaitu spesies,
umur, jenis kelamin dan fase reproduksinya. Sedangkan faktor eksternalnya yaitu
habitat ikan, kualitas perairan tempat hidup ikan, dan ketersediaan pakan ikan.
Berdasarkan penelitian Hafiludin (2015) analisis kandungan gizi ikan meliputi
analisis proksimat, kandungan asam lemak, asam amino, vitamin dan mineral.
Kandungan gizi ikan pada daging, kulit, tulang dan jeroan juga berbeda-beda.
Ikan merupakan sumber protein hewani yang sangat tinggi kandungan
proteinnya. Ketersediaan hayati protein dari ikan berkisar 5-20% lebih tinggi
dibandingkan dengan sumber protein dari tanaman. Ikan mengandung asam
amino essensial yang lengkap untuk memenuhi kebutuhan tubuh manusia.
Selain protein, ikan juga mengandung asam lemak yang lengkap. Asam lemak
pada ikan terutama ikan yang berlemak tinggi (lebih dari 15%) merupakan
sumber asam lemak omega-3. Asam lemak omega-3 memberikan kontribusi
untuk perkembangan kecerdasan manusi terutama oada anak-anak. Asam lemak
omega-3 ini banyak terkandung pada ikan dari perairan laut, sedangkan pada
ikan budidaya memiliki kandungan omega-3 yang lebih sedikit yang berasal dari
pakan ikan yang telah dimodifikasi dengan penambahan omega-3 (Elavarasan,
2018).

Protein pada Ikan


Ikan memiliki kualitas protein yang baik. Hal ini dikarenakan protein
pada ikan berupa asam amino essensial yang sangat mudah dicerna dan
dimanfaatkan oleh tubuh manusia. Jumlah protein pada ikan berkisar antara

136
10-20 gram/100 gram ikan atau berkisar tiga kali lipat dari total kebutuhan
protein tubuh. Kebutuhan protein pada tubuh manusia berkisar antara 45-46
gram per hari. Berdasarkan kandungan protein pada ikan maka kebutuhan
protein tubuh dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi ikan sekitar 5-15% dari
total kebutuhan protein orang dewasa, sedangkan 70% dari total kebutuhan
protein pada anak-anak (Elvarasan, 2015). Asam amino essensial pada ikan
berupa asam amino lisin, metionin, dan histidin. Ketiga asam amino tersebut
merupakan asam amino pembatas dengan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sumber protein dari nabati (Hadiwiyoto, 1997). Golongan ikan
berdasarkan tingkat kandungan protein yaitu ) ikan golongan protein tinggi
berkisar 15-20% dan ikan golongan ikan berprotein rendah <15% (Sulastri,
2004)
Asam Amino yang terdapat pada ikan sangat bervariasi. Ikan air laut dan
ikan air tawar memiliki kandungan asam amino yang berbeda dapat dilihat pada
tabel berikut. Asam amino yang terkandung pada ikan yaitu asam aspartat, asam
glutamat, serin, glisin, histidin, arginin, treonin, alanin, prolin, tirosin, valin,
methionin, sistein, isoleusin, leusin, phenilalanin, dan lisin. Kandungan asam
amino yang berbeda disebabkan habitat ikan yang berbeda. Umumnya jenis dan
jumlah kandungan asam amino pada air laut lebih tinggi daripada ikan air tawar
karena pakan alami yang tersedia di perairan air laut berupa fitoplankton dan
zooplankton yang kaya akan kandungan asam amino.

Komposisi Asam Amino pada Ikan Laut, Payau dan Tawar (%)
Ikan Laut Ikan Air Ikan Air
Asam Amino
Demersal1 Pelagis2,3 Payau4 Tawar4,5
Asam glutamat 0,51 6,74 1,27 0,31
Asam aspartat 0,37 3,69 0,79 0,20
Serin 0,23 2,00 1,29 0,07
Glisin 0,24 2,25 0,27 0,09
Histidin 0,27 3,59 0,49 0,04
Arginin 0,15 2,23 0,29 0,13
Treonin 0,34 1,55 0,45 0,09
Alanin 0,14 1,55 0,78 0,12
Prolin 0,21 1,00 0,41 0,43
Tirosin 0,22 1,12 0,26 0,07
Valin 0,26 1,89 0,47 0,10
Methionin 0,17 1,19 0,22 0,06
Sistein 0,14 0,25 0,14 0,16

137
Isoleusin 0,22 1,35 0,35 0,10
Leusin 0,37 3,00 0,67 0,16
Pheninalanin 0,25 2,58 0,34 0,08
Lisin 0,29 3,55 0,53 0,16
Sumber : 1Suseno et al. (2006); 2Amahorseja dan Noya (2019); 3Riana (2000);
4Hafiludin (2015) 5Pratama (2018)

Kandungan asam amino ikan laut lebih tinggi dibanding dengan ikan air
payau dan air tawar. Pada ikan perairan laut dalam kandungan asam aminonya
lebih rendah dibandingkan dengan ikan pelagis, namun kandungan protein ikan
laut dalam tergolong ikan berprotein tinggi dengan komposisi asam amino yang
lengkap (Stansby and Olcott, 1963 dalam Soselia et al. 1993). Jumlah asam
amino pada ikan laut dalam dipengaruhi oleh habitat perairan laut dalam yang
memiliki produktivitas primer yang sedikit, sehingga banyak organisme yang
mencari makan dengan migrasi ke tempat yang lebih tinggi. Semakin dalam
habitat suatu organisme maka akan semakin sedikit jumlah dan variasi pakan
yang tersedia (Nybakken, 1992). Asupan pakan ikan perairan laut dalam lebih
sedikit dibandingkan dengan ikan pelagis. Hal ini menyebabkan kandungan gizi
ikan laut dalam lebih rendah dibandingkan ikan pelagis (Suseso et al. 2006).

Lemak pada Ikan


Ikan merupakan salah satu sumber lemak hewani. Lemak yang
terkandung dalam ikan merupakan golongan asam lemak tak jenuh yang
meliputi golongan omega-3. Asam lemak pada ikan ini sangat bermanfaat bagi
tubuh (Estiasih, 2009). Lemak pada ikan jika dipisahkan dari komponen lainnya
dan disimpan pada suhu ruangan berupa cairan lemak atau disebut dengan
minyak ikan. Ikan dari perairan laut mengandung 2,5% total lemak dan kurang
dari 20% kalori. Hampir semua ikan mengandung lemak kurang dari 10% lemak
total sedangkan pada golongan ikan berlemak tinggi, seperti lemuru, salmon dan
tuna mengandung lemak tidak lebih dari 20%.
Jumlah kandungan lemak pada ikan juga dapat ditentukan dari warna
daging ikan. Ikan berdaging merah mengandung lemak lebih tinggi dibandingkan
dengan ikan berdaging putih (Elavarasan, 2018). Kandungan lemak pada ikan air
tawar berbeda dengan ikan air laut dapat dilihat pada tabel berikut. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan habitat, lingkungan dan faktor makanan. Perairan

138
air laut memiliki berbagai macam jenis organisme yang dapat dijadikan sumber
makanan yang mengandung omega-3 seperti plankton, alga dan kerang-
kerangan. Asam lemak golongan omega-3 tidak dapat disintesis secara alami
oleh tubuh ikan. Omega-3 ikan pada ikan didapatkan dari sumber makanannya
(Sukarsa, 2004). Berdasarkan tingkat kandungan asam lemak pada ikan, terbagi
menjadi tiga golongan yaitu 1) golongan ikan berlemak tinggi berkisar >15%, 2)
golongan ikan berlemak sedang berkisar 5-15%. dan 3) golongan ikan berlemak
rendah <5% (Sulastri, 2004).
Komposisi Asam Lemak pada Ikan Laut dan Tawar (%relatif)
Asam Lemak Ikan Laut1 Ikan Air Tawar2
Miristat (C14:0) 8,26 3,60
Pentadekanoat (C15:0) 0,48 0,80
Palmitat (C16:0) 15,81 23,1
Stearat (C18:0) 2,74 8,90
Arakidat (C20:0) 0,25 0,30
Trioksanoat (C23:0) 0,02 5,00
Palmitoleat (C16:1) 6,68 4,60
Hepatnoat (C17:1) 0,10 0,40
Oleat (C18:1) 4,24 0,30
Eikosenoat (C20:1) 1,3 0,50
Nervonat (C24:1) 0,44 2,90
Linolelaidat (C18:2n9) 0,1 3,20
Linoleat (C18:2n6) 1,24 1,50
Linolenat (C18:3n3) 0,68 2,40
Arakidonat (C20:4n6) 2,30 0,80
EPA (C20:5n3) 15,47 0,90
DHA (C22:6n3) 16,09 19,2
Sumber : 1Dari et al. (2017); 2Bontjura et al. (2019)
Asam lemak pada ikan laut dan ikan tawar terdiri dari golongan Saturated
Fatty Acids (SFA), Monounsaturated Fatty Acids (MUFA) dan Polyunsaturated
Fatty Acids (PUFA). Asam lemak golongan PUFA didominasi oleh golongan
omega-3 yang mencakup EPA (C20:5n3) dan DHA (C22:6n3). Semua jenis ikan
memiliki kandungan omega-3 tetapi dengan jumlah yang berbeda-beda. Ikan
yang termasuk dalam golongan berlemak tinggi memiliki kandungan omega-3
lebih tinggi dibandingkan dengan ikan berlemak rendah. Ikan tawar dari hasil
budidaya juga mengandung asam lemak omega-3. Faktor yang mempengaruhi
perbedaan kandungan asam lemak omega-3 pada ikan dipengaruhi oleh daya
cerna ikan, dan pakan ikan yang tersedia (Elvarasan, 2018). Kandungan lemak
pada ikan terdapat pada seluruh bagian tubuh ikan dengan jumlah yang berbeda-

139
beda (Pontoh, 2019). Kandungan lemak pada daging ikan kakap merah segar
yaitu sebesar 17,43% untuk asam lemak jenuh, dqan 7,31% untuk asam lemak
tak jenuh (Jacoeb et al. 2015). Penelitian mengenai kandungan asam lemak pada
ikan laut dan tawar memiliki kandungan yang berbeda, dimana kandungan asam
lemak omega-3 pada ikan laut lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan
omega-3 pada ikan air tawar (Husain et al. 2017; manduapessy 2017; Gunawan,
et al. 2014).
Sifat asam lemak pada ikan terutama pada golongan asam lemak omega-3
memiliki stabilitas yang rendah. Stabilitas lemak ikan dipengaruhi oleh
pemanasan, proses ekstraksi, udara, cahaya, dan lama waktu penyimpanan.
Penyimpanan yang baik akan mempengaruhi mutu dan kualitas dari asam lemak
ikan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat menjaga mutu lemak ikan terutama
omega-3 ikan lebih stabil. Kondisi penyimpanan pada suhu tinggi dan adanya
kontak dengan udara akan menyebabkan kerusakan beberapa asam lemak
omega-3 dan menyebabkan ketengikan (Husain et al. 2017; Kaiang et al. 2016;
Karami et al. 2015; Widiyanto et al. 2015).

Vitamin dan Mineral pada Ikan


Kandungan gizi ikan, selain asam lemak dan asam amino, juga
mengandung sejumlah vitamin dan mineral. Vitamin dan mineral pada ikan
sangat bervariasi komposisinya walapun dalam konsentrasi yang rendah. Jenis
vitamin yang terkandung dalam ikan yaitu vitamin yang larut dalam lemak dan
larut dalam air (Tabel 3 dan Tabel 4). Umumnya hampir seluruh ikan
mengandung vitamin E (Tochoperol) dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding
vitamin lainnya. Vitamin E pada ikan banyak ditemukan pada bagian daging
ikan. Vitamin E pada ikan bermanfaat untuk menjaga asam lemak pada ikan dari
oksidasi lemak. Selain vitamin E, ikan juga menganduk vitamin A dan D.
Vitamin A banyak ditemukan pada ikan berlemak rendah, sedangkan vitamin D
banyak ditemukan pada ikan berlemak tinggi (Elavarasan, 2018).
Daging ikan juga mengandung sejumlah mineral seperti fosfor,
magnesium, iron, seng dan iodin pada ikan-ikan dari perairan air laut. Mineral
yang terkandung dalam ikan ada dua jenis yaitu mikromineral, makromineral
dan trace elemen (Elavarasan, 2018). Mineral-mineral pada daging ikan menjadi
komponen utama yang terikat dengan adenosin trifosfat (ATP) dan berperan

140
dalam proses glikolisis (Sulastri, 2004). Kandungan mineral pada ikan air laut
dan air tawar hampir sama, hanya jumlah total mineralnya yang berbeda
(Hafludin, 2015; Ramlah et al. 2016)
Profil Vitamin Ikan Air Laut dan Air Tawar (mg/100 gr)
Vitamin Ikan Air Laut1 Ikan Air Tawar1,2
A 20-00 38,15
D 5-20 Trace
B1 0,2-3,0 0,06
B2 0,01-0,5 3,48
B6 0,2-0,8 0,5
Niacin 3,0-8,0 5,0
Biotin 1,0-10 10
Asam Pantotenik 0,4-1,0 0,5
Asam Folat 5,0-15 15
B12 5,0-20 5,0
C Trace Trace

Profil Mineral Ikan Air Laut dan Air Tawar (mg/100 gr)
Mineral Ikan Air Laut1 Ikan Air Tawar1,2
Na 50-200 70,66
K 200-500 311
Ca 10-200 53,65
Mg 20-50 37,68
P 200-500 100
Fe 1,0-5,0 0,327
Zn 0,2-1,0 0,81
Mn 0,01-0,05 0,06
Se 0,02-0,1 0,02
Sumber : 1Elsavaran (2018); 2Hafiludin (2015)

Pengaruh Gizi Ikan Terhadap Kesehatan


Ikan dilihat dari segi komposisi kandungan gizinya merupakan sumber
pangan yang cukup lengkap untuk menambah kebutuhan gizi pada tubuh. Hal
ini memberikan dampak yang baik bagi kesehatan tubuh manusia. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa ikan dapat membantu menurunkan resiko
pemyakit jantung, kecerdasan, ibu hamil, anti inflamasi (Dewi et al, 2019;
Elsavaran, 2018; Hadiwiyoto, 1997; Zulaihah dan Widajanti, 2006; Larsen et al.
2011).

141
Asam Amino
Protein merupakan komponen utama dalam sistem metabolisme tubuh
manusia yaitu sebagai pembangun struktur sel, sebagai enzim, hormon dan zat
pembawa. Protein juga digunakan sebagai sumber asam amino, energi,
pertumbuhan dan regenerasi sel. Protein merupakan kandungan yang paling
tinggi setelai air dalam tubuh ikan. Protein mengandung beberapa rantai asam
amino yang digunakan untuk proses katabolisme (Rahardjo et al. 2011). Rantai
polipeptida pada asam amino juga bermanfaat sebagai sumber senyawa bioaktif.
Senyawa bioaktif dalam polipeptida berupa enzim. Aktivitas senyawa bioaktif
yang dihasilkan dari polipeptida asama amino yaitu seperti adanya aktivitas
antibakteri. Berdasarkan penelitian Susesno et al. (2006) bahwa senyawa
bioaktif pada ikan laut memiliki aktivitas antibakteri pada bakteri S.aureus dan
E.Coli. Komponen senyawa bioaktif pada ikan tidak sama pada setiap spesies.
Faktor yang mempengaruhinya yaitu kondisi lingkungan dan habitat yang
berbeda. Semakin tinggi tekanan akan berpengaruh terhadap pembentukan
protein (enzim). Beberapa asam amino juga berperan sebagai antioksidatif
seperti valin, lisin, alanin, glisin, leusin, arginin, penilalanin yang terdapat pada
ikan air laut dan tawar (Jet et al. 2007; Ranathunga et al. 2006; Jun et al. 2004).
Beberapa senyawa bioaktif dari peptida yang berasal dari ikan tersaji pada tabel
berikut
Senyawa bioaktif pada ikan
Aktivitas Sumber
Antibakteri Ikan famili Nomeidae, Parascolopsis sp. Dan
Hydrolagus sp.
Antihipertensi Salmon, sardin, tulang ikan
Antioksidan Lele, Tuna
Antifreeze protein Salmon
Sistem pertahanan (defense Sardin, Tuna
system)
Inhibisi prolil endopeptidase Salmon dan Cod
Sumber : Suseno et al. (2006) dan Fahmi (2015)

Asam Lemak Omega-3


Asam lemak omega-3 dikenal bersumber dari hasil laut terutama ikan.
Golongan asam lemak omega-3 yaitu EPA, DHA dan Linolenat. Sumber omega-3
paling tinggi yaitu berasal dari hasil perairan baik perairan tawar maupun

142
perairan laut daripada hewan darat lainnya. Asam lemak omega-3 dimanfaatkan
oleh masyarakat dalam bentuk minyak ikan. Minyak ikan diperoleh dari hasil
ekstraksi dengan cara memisahkan kandungan lemak dari komponen lainnya
(Estiasih, 2009). Menurut Soccol and Oetterer (2003) bahwa omega-3 dalam
tubuh dapat dikonversi menjadi omega-3 lainnya, akan tetapi tidak bisa
dikonversi menjadi golongan omega-6. Hal ini juga berlaku sebaliknya.
Kemampuan tubuh dalam mensintesis omega-3 dapat dihambat oleh asam
lemak omeg-6 dengan konsentrasi yang tinggi sehingga diperlukan
keseimbangan jumlah asupan omega-3 dan omega-6. Hal ini bertujuan untuk
menjaga keseimbangan fisiologis tubuh.
Konsumsi EPA dan DHA yang cukup yaitu berkisar 5% dapat membantu
dalam perkembangan otak anak-anak. Hal ini karena kandungan EPA dapat
membantu meningkatkan konsentrasi belajar sehingga dapat meningkatkan
prestasi dalam belajar (Zulaihah dan Widajanti, 2006). Konsumsi ikan sebanyak
0,5 sampai 1 gr per hari atau minimal 3 kali dalam seminggu secara rutin akan
meningkatkan kecerdasan pada anak-anak, memperkuat daya ingat dan memiliki
berat badan yang ideal. Menurut Anderson and Connor (1994), berdasarkan
hasil riset menunjukkan tubuh yang memiliki malnutrisi asam lemak golongan
PUFA, akan mngalami terhambatnya proses pertumbuhan otak secara
permanen. Malnutrisi omega-3 juga dapat menurunkan berat badan di bawah
standar.
Omega-3 berperan penting dalam memperlancar kerja fungsi sel seperti
memperlancar kerja membran sel dan pengaturan struktur sel. Omega-3 juga
berperan dalam mengatur tekanan darah, sistem saraf, pengaturan kadar
glukosa, dan proses inflamasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa kekurangan
omega-3 dapat mempengaruhi aktivitas da sistem kerja otot. Omega-3 sangat
berpotensi sebagai anti-inflamasi dan antioksidan yang dapat meningkatkan
kesehatan dan meningkatkan efektivitas kinerja pada tubuh dan meningkatkan
produksi oksigen dalam darah (Gammone et al. 2019).

Vitamin dan Mineral


Vitamin dan mineral dalam kandungan ikan berperan penting dalam
tubuh manusia. Vitamin D sangat baik untuk perkembangan kesehatan mental,
meningkatkan imunitas dan kesehatan tulang. (Elsavaran, 2018). Tubuh manusia

143
tidak dapat memproduksi secara alami vitamin D dalam tubuh sehingga harus
mendapatkan asupan Vitamin D dari makanan dan suplemen. Kecukupan
vitamin D dalam tubuh harus bisa terpenuhi. Kekurangan vitamin D akan
menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh. Vitamin D bermanfaat untuk
mengurangi resiko penyakit jantung, kanker usus dan pankreas (Larsen et al.
2011; Venugopal, 2010 dalam Susanto dan Fahmi 2015).
Kandungan garam-garam mineral pada ikan lebih tinggi dibandingkan
protein hewai lainya. Garam-garam mineral pada ikan seperti Ca, F, K, na, Cl dan
Mg sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Selain itu, kandungan selenium dan
Yodium pada ikan dapat menghambat pertumbuhan kanker. Menurut Larsen et
al. (2011) menyatakan bahwa selenium dapat mencegah penyakit kanker kulit
dan paru-paru. Ketersediaan selenium yang cukup dalam tubuh akan berdampak
baik dalam mencegah penyakit syaraf dan jantung. Asupan garam mineral seperti
Iodium yaitu 150 µg/hari untuk orang dewasa, penambahan 25 µg/hari untuk
ibu hamil dan penambahan 50 µg/hari untuk ibu menyusui. Jika tubuh
kekurangan Iodium maka akan menyebabkan kerusakan otak dan mental
(Venugopal, 2010; Elsavaran, 2018). Mineral seperti zat besi, kalsium, seng dan
mineral lainnya akan bermanfaat untuk penambah darah bagi ibu hamil, dan
membanu pertumbuhan anak-anak (Elsavaran, 2018).

Kesimpulan
Komposisi kandungan gizi ikan terdiri dari asam amino, asam lemak,
vitamin dan mineral yang baik bagi tubuh, baik pada ikan air laut maupun aiir
tawar. Asam amino pada ikan terdiri dari asam amino essensial dan non
essensial. Kandungan asam lemak pada ikan sangat lengkap yang mencakup
asam lemak golongan SFA, PUFA dan MUFA. Selain itu, ikan juga mengandung
vitamin dan mineral. Vitamin yang terkandung dalam ikan meliputi vitamin larut
dalam lemak dan air, sedangkan kandungan mineral pada ikan berupa makro dan
mikromineral Semua kandungan gizi pada ikan sangat bermanfaat bagi
kesehatan tubuh manusia dan melengkapi asupan kebutuhan gizi.

144
Daftar Pustaka
Amahorseja AL., dan Noya ED. 2019. Profil Asam Lemak dan Asam Amino Ikan Tuna (Thunnus
Sp.) Asap dari Beberapa Jenis Asap Cair. Hibualamo : Seri Ilmu-Ilmu Alam dan
Kesehatan. Vol. 3 (2) : 1-11
Bontjura, SD., Pontoh, J., dan Rorong, JA. 2019. Kandungan Lemak dan Komposisi Asam Lemak
Omega-3 Pada Ikan Kakap Merah (Aphareus furca). Chem.Prog. Vol. 12(2): 99-103
BPS. 2020. Produksi Perikanan Tangkap Menurut Provinsi dan Jenis Penangkapan, 2000-2017.
https://www.bps.go.id/subject/56/Perikanan.html diakses 25 Juni 2020
Dari, DW., Astawan, M., Wulandari, N., dan Suseno, SH. 2017. Karakteristik Minyak Ikan Sardin
(Sardinella sp.) Hasil Pemurnian Bertingkat. JPHPI Vol. 20(3): 456-467
Dewi, PFA., Widarti, IGAA., dan Sukraniti. 2018. Pengetahuan Ibu Tentang Ikan dan Pola
Konsumsi Ikan pada Balita di Desa Kedonganan Kabupaten Badung. Jurnal Ilmu Gizi. Vol.
7(1): 16-20
Elavarasan K. 2018. Impotance of Fish in Human Nutrition. Training Manual On Seafood Value
Addition. ICAR-Central Institute of Fisheries Technology.
Estiasih, T. 2009. Minyak Ikan: Teknologi dan Penerapannya untuk Pangan dan Kesehatan.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Gammone, MA., Riccioni, G, Parrinello, G, and D’Orazio, N. 2019. Omega-3 Polyunsaturated Fatty
Acids: Benefits and Endpoints in Sport. Nutrients. Vol 11: 1-16. doi:10.3390/
nu11010046
Gunawan, ER., Handayani, SS., Kurniawati, L., Muniati, Suhendra, dan Nurhidayanti. 2014. Profil
Kandungan Asam Lemak Tak Jenuh Padaa Ekstrak Minyak Ikan Lele (Clarias sp) Hasil
Reaksi Esterifikasi dan Transesterifikasi secara Enzimatis. Chem.Prog. Vol. 7(2): 88-95
Hadiwiyoto S. 1997. Hasil Perikanan: Manfaat dan Keamanannya serta Implikasinya pada
Kesehatan: Tinjauan dari Sisi Teknologi Pengolahan dan Lingkungan Hidup.Agritech
Vol.17(3):28-43
Hafiludin. 2015. Analisis Kandungan Gizi pada Ikan Bnadeng yang Berasal dari Habitat yang
Berbeda. Jurnal Kalautan. Vol (8):1. pp. 37-43
Husain, R., Suparmo, Harmayani E., dan Hidayat, C. 2017. Kompisisi Asam Lemak, Angka
Peroksida, dan Angka TBA Fillet Ikan Kakap (Lutjanus sp) pada Suhu dan Lama
Penyimpanan Berbeda. Agritech. Vol.37(3): 319-326
Jacoeb, A.M, Suptijah, P., dan Kristantina, W.A. 2015. Komposisi Asam Lemak, Kolesterol dan
Deskripsi Jaringan Fillet Ikan Kakap Merah Segar dan Goreng. JPHPI. Vol. 18(1): 98-107
Kaiang, DK., Lita, ADY., Montolalu, dan Roike I. 2016. Kajian Mutu Ikan Tongkol (Euthynnus
affinis) Asap Utuh yang Dikemas Vakum dan Non Vakum Selama 2 Hari Penyimpanan
pada Suhu Kamar. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. Vol. 4(5): 75-84
Karami B, Moradi Y, Motallebi AA, Hosseini E, Soltani M. 2015. Effect of Frozen Storage on Fatty
Acids Profiles, Chemical Quality Indices and Sensory Properties of Red Tilapia
(Oreochromis niloticus x Tilapia musambicus) Fillets. Iranian Journal of Fisheries
Science. Vol. 12(1): 378-388
Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. 2018. Siaran pers : data rujukan wilayah
kelautan Indonesia. http://maritim.go.id (diakses 25 Juni 2020)
Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP]. 2020. Forum Merdeka Barat 9 Kementerian
Komunikasi dan Informasi : Produktivitas Perikanan Indonesia. Jakarta, 19 Januari 2018.
http://kkp.go.id (diakses 25 Juni 2020)
Larsen, R., Eilersten, KE., and Elvevoll, EO. 2011. Health Benefit of Marine Foods and Ingridients.
Biotechnology Vol. 1: 68-79
Manduapessy, KRW. 2017. Profil Asam Lemak Ikan Layang Segar (Decapterus macrosoma).
Majalah Biam. Vol.13(1): 42-46
Nybakken, JW. 1992. Marine Biology: An Ecological Approach (Biologi Laut, suatu pendekatan
ekologis yang diterjemahkan oleh M.Eidman). Gramedia : Jakarta: 127 hlm

145
Pontoh, J. 2019. Extraction and Characterization of Fish Oil From Various Parts of Snakehead Fish
(Chana striate). International Journal of Chemistry Technology Research Vol. 12(1):
323-328
Pratama, RI., Rostini, I., dan Rochima, E. 2018. Profil Asam Amino, Asam Lemak dan Komponen
Volatil Ikan Gurame Segar (Osphronemus gouramy) dan Kukus. JPHPI Vol. 21(2):
218-231
Ramlah, Soekendaesi, E., Hasyim, Z., dan Hasan MS. 2016. Perbandingan Kandungan Gizi Ikan
Nila Oreochromis niloticus Asal Danau Mawang Kabupaten Gowa dan Danau
Universitas Hasanuddin Kota Makassar. Jurnal Biologi Makassar (BIOMA). Vol. 1(1):
39-46
Soselia, J., dan Rustam R. 1993. Penelitian Ikan Laut Dalam di perairan Tanimbar. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut Vol. 80(1):57-62
Sukarsa RD. 2004. Studi Aktivitas Asam Lemak Omega-3 Ikan Laut Pada Mencit sebagai Model
Hewan Percobaan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan Vol. 7 (1) : 68-79.
Sulastri, S. 2004. Manfaat Ikan Ditinjau dari Komposisi Kimianya. Program Pengabdian kepada
Masyarakat Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta.[Laporan PKM]. Yogyakarta
Susanto, E., dan Fahmi, S. Senyawa Fungsional dari Ikan: Aplikasinya dalam Pangan. 2015. Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan. Vol. 1(4): 95-102
Suseno, SH., Suman, H., dan Al Fanany, F. 2006. Kandungan Zat Gizi dan Potensi Antibakteri Ikan
Laut Dalam di Selatan Jawa. Jurnal Perikanan Vol. 8 (1): 57-67
Widiyanto, WN, Ibrahim R, Anggo AD. 2015. Pengaruh Suhu Pengolahan dengan Metode Steam
Jacket Sederhana Terhadap Kualitas Minyak Hati Ikan Pari Mondol. JPHPI. Vol. 18(1):
11-18
Zulaihah dan Widajanti, L. 2006. Hubungan Kecukupan Asam Eikosapentanoat (EPA), Asam
Dokosaheksanoat (DHA) Ikan dan Status Gizi dengen Prestasi Belajar Siswa. Jurnal Gizi
Indonesia. Vol. 1(2): 15-25

146
PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA HUHATE
SKAL A KECIL DI KAWASAN TERPEN CIL DAN
PERBATASAN INDONESIA6

Alexander M. A. Khan
Laboratorium Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Perikanan,
Universitas Padjadjaran.

Pendahuluan

P
erikanan tangkap pada tahun 2017 menyumbangkan produksi sebesar 6,6
juta ton atau naik sebesar 1,2 juta ton dibandingkan pada tahun 2012
sebesar 5,4 juta ton (Nainggolan et al., 2019). Data terakhir dari
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, produksi perikanan
tangkap disumbangkan dari jenis ikan tuna, cakalang, tongkol, ikan selain tuna,
tongkol dan cakalang, udang-udangan dan jenis ikan lainnya. Produksi perikanan
tangkap tersebut masih berada 50% dibawah potensi lestarinya, yaitu sebesar
12,5 juta ton per tahun (Nainggolan et al., 2019). Peningkatan produksi
perikanan tangkap merupakan peluang yang masih terbuka dan dapat
ditingkatkan sampai dengan batas lestari optimum (sustainable optimum level).
Selanjutnya, ekspor sektor perikanan tangkap pada tahun 2012 sebesar 1,2
juta ton, turun menjadi 1,1 juta ton pada tahun 2017 atau mengalami penurunan
sebesar 1,4% selama kurun waktu lima tahun, dari tahun 2012 sampai dengan
tahun 2017. Namun sebaliknya, hal menarik terlihat pada nilai ekspor perikanan
tangkap dimana pada tahun 2012 ekspor perikanan memberikan nilai sebesar US$
3,9 milyar kemudian naik pada tahun 2017 sebesar US$ 4,5 milyar (Nainggolan et
al., 2019). Terlihat jelas bahwa selama lima tahun, volume ekspor menurun
namun nilanya justru mengalami kenaikan sebesar US$ 0,6 milyar. Kenaikan nilai
tersebut dapat disebabkan oleh naiknya harga komuditas yang di ekspor di pasar
dunia namun juga kemungkinan dapat disebabkan oleh fluktuasi nilai tukar mata
uang dunia terhadap nilai rupiah.

6Tulisan ini merupakan bagian dari disertasi doctoral degree penulis di School of Marine Science and Technology,
Newcastle University, United Kingdom pada tahun 2014-2018, dan sebagian tulisan telah diterbitkan pada
berbagai jurnal internasional bereputasi.

147
Mengingat lokasi geografis Indonesia yang sangat strategis di antara dua
tempat penangkapan ikan tuna utama, Pasifik dan Samudra Hindia, Indonesia
memiliki peluang unik untuk mempertahankan peran utama sebagai produsen
tuna dunia (Sunoko and Huang, 2014, FAO, 2017, Khan et al., 2018). Namun
demikian, sumberdaya ikan tuna di Indonesia saat ini ia menghadapi tiga
tantangan utama. Pertama, stok tuna memiliki batasan tertentu, banyak bukti
menunjukkan bahwa beberapa spesies tuna menurun jumlahnya, baik karena
penangkapan berlebih atau perubahan iklim atau keduanya (Fernández-Polanco,
2016, Adhuri et al., 2016, Bush et al., 2017, Khan et al., 2020b). Penurunan
produksi perikanan tuna tercermin melalui penurunan secara global, sumberdaya
perikanan laut, pertama, pada tahun 2017, lebih dari 32% stok ikan
diklasifikasikan sebagai punah [depleted] atau menuju pulih [recovering] (FAO,
2019). Kedua, kapal-kapal asing [yang terbukti melakukan illegal, unreported and
unregulated [IUU Fishing] di laut lepas sering mengejar tuna sampai ke dalam
wilayah ZEE (Cabral et al., 2018) Indonesia (Khan et al., 2018). Selama lebih 20
tahun terakhir, langkah-langkah strategis telah diambil secara global untuk
memerangi IUU fishing, diantaranya adalah mengendalikan kapasitas
penangkapan [controlling fishing capacity] dan meningkatkan upaya konservasi
sumberdaya ikan (FAO, 2016). Ketiga, konsumen di negara-negara maju
[developed countries] semakin menuntut agar setiap produk tuna harus sudah
mendapatkan sertifikasi internasional sebagai produk yang diproduksi secara
berkelanjutan (Adolf et al., 2016, Bailey et al., 2016, IPNLF, 2017).
Ketiga tantangan ini sangat mempengaruhi berbagai aspek didalam
perikanan tuna di Indonesia. Sebagai perbandingan, perikanan yang menggunakan
jaring [netter fishing] menghadapi ketiga tantangan di atas, akan tetapi bagi
perikanan yang menggunakan pancing [hook and line fishing] hanya menghadapi
dua tantangan pertama, hal tersebut dikarenakan pada tantangan ketiga (yaitu
eko-sertifikasi) dapat dijadikan sebagai sebuah kesempatan bagi perikanan
pancing [hook and line fisheries] untuk menunjukkan kredensial lingkungan
[environmental credentials] yang unggul jika dibandingkan dengan perikanan yang
mengunakan jaring [netter fisheries]. Sifat dari perikanan pancing yang lebih
selektif, baik jenis maupun ukuran [targeted species and size] dalam menangkap ikan
inilah keunggulan untuk mendapatkan sertifikasi. Permintaan akan makanan laut
bersertifikat semakin meningkat dan pada akhirnya akan menjadi persyaratan di

148
pasar global [global market] (Chan et al., 2014, Benetti et al., 2016, Bush et al.,
2017).

Tujuan
Dalam tulisan singkat ini, penulis berusaha menggambarkan situasi
nelayan tuna huhate [tuna pole-and-line fishery] skala-kecil yang memiliki jejak
lingkungan yang kecil [light environmental footprints], tidak menyebabkan
kerusakan fisik pada lingkungan laut kecuali terkait dengan penggunaan bahan
bakar fosil [fossil usage utilization], hampir tidak ada tangkapan sampingan [bycatch]
atau dibuang dan dapat menyediakan lapangan kerja yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat pesisir. Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini
adalah kondisi perikanan tuna huhate saat ini dan pengembangannya di masa
depan serta perannya dalam kesejahteraan masyarakat pesisir.

Pengaruh kebijakan moratorium perikanan terhadap perikanan tuna huhate


Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pasti memiliki
dampak, baik itu dampak positif maupun negatif. Secara umum, tujuan dari setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya di bidang sumberdaya
perikanan di Indonesia bertujuan untuk melindungi sumberdaya perikanan dari
setiap kegiatan yang berpotensi merusak kelestarian sumberdaya ikan yang ada,
seperti praktik IUU Fishing dan berusaha untuk mempertahankan keberlanjutan
sumberdaya untuk generasi berikutnya. Dalam upaya menekan IUU Fishing
maupun penangkapan berlebihan, pemerintah mengeluarkan kebijakan
moratorium kapal penangkap ikan asing pada tahun 2014-2015 (Khan et al.,
2018). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh penulis7, Khan et al. (2018) dengan
membandingkan hasil tangakapan ikan cakalang [skipjack tuna] di Indonesia
bagian timur selama satu tahun sebelum dan 12 bulan selama moratorium
diberlakukan serta dengan mempelajari pendapat nelayan tentang dampak
moratorium terhadap kegiatan penangkapan ikan mereka.
Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak ada
efek moratorium terhadap hasil tangkapan nelayan yang dapat dideteksi secara
statistik. Namun dari pendapat nelayan yang menjadi target penelitian,

7 Diintisarikan dari jurnal Marine Policy tahun 2018 No. 94 halaman 143-149, https://doi.org/10.1016/
j.marpol.2018.05.014

149
didapatkan hal menarik terkait moratorium, dimana hampir seluruh nelayan
huhate merasa bahwa moratorium memiliki efek positif terhadap hasil tangkapan
dan mereka dapat menangkap ikan lebih bebas bersaing dengan kapal-kapal besar
[industrial-scale fishing fleets]. Hasil penelitian ini sangat menarik dikarenakan
beberapa hal yang berkaitan dengan penangkapan ikan. Diantaranya adalah, tidak
terjadinya peningkatan hasil tangkapan dilihat dari data statistik, mungkin
disebabkan oleh buruknya pencatatan (Yuniarta et al., 2017), perbedaan kapasitas
alat tangkap [fishing capacity differences], berkurangnya jumlah kapal besar yang
beroperasi di laut, tidak tersedianya umpan hidup, kondisi cuaca musiman yang
berfluktuasi, atau periode waktu moratorium yang terlalu singkat (hanya berlaku
selama 12 bulan) (Khan et al., 2018). Kebijakan moratorium pada tahun
2014-2015 tidak dirancang secara khusus untuk memberi manfaat bagi perikanan
tuna huhate secara langsung akan tetapi lebih dari pada itu, penulis menilai
bahwa kebijakan moratorium merupakan “pernyataan politik” yang ditujukan
kepada komunitas internasional bahwa Pemerintah Indonesia memiliki komitmen
sangat kuat memerangi setiap pelanggaran dalam IUU Fishing di wilayah
yuridiksinya. Seandainya, Pemerintah Indonesia ingin melindungi perikanan
skala-kecil termasuk perikanan tuna huhate, mungkin ada baiknya
memperpanjang moratorium selama dua tahun berselang-seling, setelah itu, maka
dampak pada perikanan tuna huhate mungkin lebih dapat dirasakan oleh nelayan.
Sebagai contoh sebuah moratorium penangkapan ikan yang lebih luas ada di Pearl
Estuary, di Provinsi Guangdong, Southern China, People’s Republic of China, di
mana peneltian oleh Wang et al. (2015) melaporkan bahwa setelah 12 bulan
moratorium, tangkapan nelayan meningkat sebesar 30%, kemudian setelah 15
tahun berturut-turut moratorium diberlakukan, tingkat tangkapan meningkat dua
kali lipat dari sebelumnya.
Selanjutnya, hasil peneltian di Pearl Estuary menemukan bahwa
moratorium penangkapan ikan berhasil meningkatkan kesadaran nelayan akan
pentingnya perlindungan dan pemulihan lingkungan (Wang et al., 2015). Dengan
demikian terlihat jelas bahwasanya kebijakan moratorium mungkin memiliki efek
sedikit dalam jangka pendek namun efek yang jauh lebih besar dapat dirasakan
dalam periode yang lebih lama (Khan et al., 2018).

150
Pengaruh kondisi lingkungan perairan terhadap hasil tangkapan tuna
huhate8
Hubungan antara hasil tangkapan tuna huhate denagn kondisi oseanografi
lokal telah banyak diteliti selama bertahun-tahun untuk memahami antara
potensi daerah penangkapan dan upaya memaksimalkan penangkapannya secara
efektif dan efisien (Fiedler and Bernard, 1987, Lehodey et al., 1997, Pennington et
al., 2006, Polovina et al., 2017, Khan et al., 2020b). Hubungan antra hasil
tangkapan dan kondisi lingkungan oseanografi sangat diperlukan untuk, pertama
menentukan suatu daerah penangkapan ikan yang potensial menghasilkan ikan
dalam jumlah yang menguntungkan serta, kedua untuk pengaturan pengelolaan
perikanan yang berkelanjutan. Ikan tuna sebagaimana jenis hewan lainnya,
membutuhkan kondisi lingkungan yang optimum untuk hidup, baik itu kondisi
suhu, kelimpahan makan, salinitas, arah arus dan gelombang sehingga data-data
oseanographi ini dapat memberikan petunjuk keberadaannya di suatu perarain
Dengan pengetahuan yang mendalam mengenai sifat alami ikan tuna [tuna
behaviouristics] terhadap lingkungan hidupnya sehingga dapat dengan mudah
pengaturan penangkapannya, baik itu pengaturan musim penangkapan maupun
pengaturan lokasi penangkapan maupun pengaturan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan [allowable catch] yang pada akhirnya pengelolaan penangkapan akan
lebih mudah dilakukan oleh pemerintah.

Penangkapan ikan huhate di timur Indonesia

Temuan dari hasil penelitian yang dillakukan oleh penulis8, menemukan


bahwa peristiwa naiknya massa air dari dasar perarain yang kaya akan unsur hara
ke permukaan yang disebut dengan upwelling di perairan timur Indonesia, biasa

8 Diintisarikan dari jurnal Fisheries Research tahun 2020 No. 225 issue 105471, https://doi.org/10.1016/
j.fishres.2019.105471

151
terjadi dari bulan Juni hingga Agustus dan ditandai dengan tingkat konsentrasi
chlorophyll-a [chl-a] yang lebih tinggi dan Suhu Permukaan Laut [SPL] yang
relatif lebih rendah dibandingkan bulan-bulan lainnya sepanjang tahun. Namun
kondisi upwelling ini justru menghasilkan penurunan hasil tangkapan nelayan tuna
huhate dan upaya penangkapanya di daerah Sorong, Pulau Bacan, Ternate dan
Larantuka.
Berbanding terbalik dengan penelitian yang sama pada lokasi yang
berbeda, seperti di wilayah Teluk Bone (Laut Flores) yang dilakukan oleh
Zainuddin et al. (2013) menyatakan bahwa intensitas tinggi upwelling
berhubungan dengan potensi tinggi cakalang, penelitian oleh Andrade and Garcia
(1999) di peraian bagian selatan pantai Brasil, kemudian penelitian di perairan
bagian baratdaya laut Atlantik (Andrade, 2003, Andrade and Teixeira Santos,
2004). Perbedaan hasil temuan penelitian antara lokasi yang berbeda mungkin
terkait dengan efek dari kondisi dasar laut [topography] dan fakta bahwa peristiwa
upwelling hanya berpengaruh terhadap spesies ikan kecil [small pelagic species] yang
bukan target mangsa untuk tuna cakalang (Andrade and Garcia, 1999, Andrade,
2003, Andrade and Teixeira Santos, 2004).
Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa: (1) tahap siklus hidup
biologis tuna cakalang mungkin memiliki hubungan yang berbeda dengan kondisi
lingkungan oseanography; (2) faktor biotik abiotik dan lainnya, seperti tinggi
permukaan laut, kecepatan arus, angin dan produktivitas perairan (Zainuddin et
al., 2017); (3) ketersediaan dan kelimpahan umpan hidup (Xu et al., 2017); (4)
kecakapan dari nelayan; (5) kapasitas dan teknologi yang digunakan oleh armada
tangkap dan (6) fenomena iklim, seperti La Niña dan El Niño (Syamsuddin et al.,
2013).

Pemasaran tuna huhate9


Wawancara dengan pemangku kepentingan [stakeholders] perikanan tuna
huhate yang dilakukan oleh penulis, tentang pembentukan jalur pasokan di pasar
lokal [local market supply chains] dan keterlacakan tuna cakalang [tuna skipjack

9 Diintisarikan dari jurnal Indonesian Fisheries Research Journal tahun 2020 Volume 26 No.1 halaman 33-39, http://
dx.doi.org/10.15578/ifrj.26.1.2020.33-39 dan jurnal AACL Bioflux tahun 2019 Volume 12 Issue 2 halaman
636-641, http://www.bioflux.com.ro/docs/2019.636-641.pdf

152
traceability]. Data dari kuisioner menunjukkan bahwa jalur pasokan di pasar local
terdiri dari (Khan et al., 2020a) (1) penjualan langsung oleh nelayan ke pasar
lokal; (2) nelayan yang menjual langsung ke tengkulak; atau (3) kemitraan
nelayan dengan sektor swasta (yang sebagian besar untuk ekspor keluar negeri
maupun pasar nasional). Sistem penelusuran [traceability system] yang digunakan
di lokasi penelitian [Sorong, Larantuka dan Pulau Bacan serta Ternate] umumnya
terdiri dari (Khan et al., 2019) sistem penelusuran internal perusahaan,
menggunakan sistem barcode, atau bergantung kepada penggunaan dokumen
pemerintah, seperti surat izin penangkapan ikan [SIPI] dan surat keterangan asal
ikan [SKAI] yang dapat digunakan untuk melacak asal produk. Namun demikian,
untuk lokasi dimana sistem penjualan ikan secara tradisional masih dominan
dilakukan oleh nelayan, seperti di pasar lokal atau ke pedagang perantara
[middlemen], tidak ada sistem penelusuran. Sampai dengan saat ini, hanya di
Kota Sorong, inisiatif untuk mengakses pasar ekspor dengan bermitra dengan
perusahaan swasta internasional dan memiliki sertifikasi international dari Marine
Sewardship Council (MSC). Strategi menggandeng nelayan dengan perusahaan
besar dengan pengawasan penuh pemerintah mulai dari hilir sampai dengan ke
hulu penting dilakukan untuk mencapai potensi penuh sebagai produsen tuna
tersebar di dunia (Gillett et al., 2001, Miyake et al., 2010, Watson and Pauly,
2013, Watson et al., 2017).

Pengelolaan perikanan
Pada akhir tahun 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia [KKP] memprakarsai rencana aksi nasional untuk pengembangan
pengelolaan tuna untuk seluruh Indonesia dengan dilanjutkan dengan terbitnya
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 105/KEPMEN-KP/2015
tentang Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Tuna Cakalang dan Tongkol (TCT)
pada tahun 2015. Rencana pengelolaan ini bertujuan untuk (1) memastikan
penggunaan sumberdaya tuna yang berkelanjutan; (2) meningkatkan daya saing
produk Indonesia di pasar tuna global; dan (3) memastikan pasokan ikan yang
cukup untuk industri pengolahan tuna domestik. Pengelolaan perikanan tuna
sangat bergantung pada sistem pengumpulan data yang akurat dan handal.
Penulis menemukan bahwa hubungan antara pengumpulan data perikanan yang
akurat dan handal dengan keberlanjutan perikanan tuna huhate. Sebagaimana

153
dinyatakan oleh FAO, bahwa pengelolaan perikanan adalah “an integrated process of
information gathering, analysis, planning, consultation, decision-making, allocation of
resources and formulation and implementation, with enforcement as necessary, of regulations
or rules which govern fisheries activities in order to ensure the continued productivity of the
resources and the accomplishment of other fisheries objectives” (Cochrane and Garcia,
2009, FAO, 2014). Pengelolaan perikanan merupakan proses terpadu dari
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan
keputusan, alokasi sumberdaya dan formulasi serta implementasi, dengan
penegakan peraturan atau hukum yang mengatur kegiatan perikanan dalam
rangka untuk memastikan produktivitas sumberdaya yang berkelanjutan dan
pencapaian tujuan perikanan lainnya (Cochrane and Garcia, 2009).
Penulis menemukan bahwa data hasil tangkapan ikan berperan sangat
penting dalam proses pengelolaan perikanan. Namun demikian, kelemahan yang
ditemui saat ini diantaranya, sistem pengumpulan data perikanan di Indonesia
mengancam keberhasilan rencana aksi nasional perikanan tuna dan data tersebut
sangat lemah untuk dijadikan sumber data untuk keberlanjutan tuna. Lebih
daripada itu, kelemahan data ini telah menjadikan Indonesia gagal memenuhi
kewajibannya untuk memberikan data yang handal dan akurat serta dapat
digunakan dalam mengidentifikasi status stok ikan dalam wilayah ZEE-nya
berdasarkan aturan PBB [United Nations Rules] (FAO, 1995, Agnew et al., 2013).
Beberapa alasan ditemukan oleh penulis, mengapa sistem pengumpulan
data tuna di Indonesia menjadi sangat lemah. Pertama, kekurangan sumberdaya
pemerintah untuk mendanai [financial lack] sejumlah besar pencacah [enumerator]
yang diperlukan untuk memeriksa setiap pendaratan ikan di ratusan lokasi
pendaratan yang berbeda. Kedua, nelayan dan perusahaan pengolahan tuna [tuna
processing companies] masih enggan memberikan data pendaratan yang akurat
karena mereka berisiko dikenakan pajak tambahan, dengan kata lain, ada
keengganan finansial bagi mereka untuk melaporkan jumlah pendaratan yang
akurat guna menghindari pungutan [tax avoidance]. Ketiga, kesalahan dalam
mengidentifikasi spesies di lokasi pendaratan sehigga merusak data statistik yang
disusun (Sims and Simpson, 2015). Keempat, akibat kesalahan mengidentifikasi
species berlanjut pada tahap pemrosesan data (Yuniarta et al., 2017). Kelima,
hubungan patron-client antara nelayan dan pengusaha [middlemen maupun
processing companies] terbukti menghambat pengumpulan data secara akurat

154
dan handal. Pada poin terakhir, ada hubungan erat antara patron dan client dalam
perikanan tuna huhate di Indonesia didasarkan sistem saling memberikan
keuntungan. Sebagian besar hubungan patron-client dalam suatu perikanan di
Indonesia didorong oleh adanya peluang yang saling menguntungkan keuntungan
kemudan diformalkan melalui suatu perjanjian kontrak (Satria and Li, 2017). Dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, ditemukan bahwa bahwa perusahaan
pengolahan tuna dan pedagang memberikan dukungan logistik penangkapan ikan
kepada nelayan, termasuk diantaranya bahan bakar, umpan hidup, bahan
makanan, dan bahkan pinjaman pribadi untuk nelayan yang membutuhkan. Hal
tersebut membuat hubungan antara client dan patron menjadi sangat kuat.
Nelayan memiliki ketergantungan yang sangat besar pada perusahaan maupun
pedagang, sehingga nelayan memiliki nilai tawar yang lemah. Dalam beberapa hal,
ketergantungan ini memiliki konsekuensi positif, misalnya, beberapa patron dapat
menekan client untuk menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan (Ferrol-
Schulte et al., 2013, Ferrol-Schulte et al., 2015). Konsekuansi negatif juga dapat
ditemui, misalnya beberapa patron menekan client untuk melaporkan jumlah
tangkapan sesuai dengan yang dikehendaki oleh patron bukan berdasarkan jumlah
tangkapan yang sesungguhnya. Pengaturan pengelolaan bersama [co-management
arrangement] sangat direkomendasikan oleh Ferse et al. (2012) untuk
menyeimbangkan kembali hubungan antara patron dan client dan meminimalisir
permasalahan dalam sistem pelaporan data perikanan.
Upaya untuk mengurangi kendala pengumpulan data, pada tahun 2015
Indonesia meluncurkan program yang disebut "sebelum memancing, sambil
memancing, selama pendaratan dan pasca pendaratan", yang dirancang untuk
mengendalikan dan memantau kegiatan penangkapan tuna serta meningkatkan
kualitas system pengumpulan data (MMAF, 2015). Namun demikian, sangat
sedikit bukti yang diperoleh oleh penulis untuk mengatakan bahwa program ini
telah menghasilkan angka pendaratan tuna yang lebih akurat. Harus ada
komitmen kuat dan berkelanjutan antara pemerintah pusat di tingkat nasional
dan pemerintah daerah [provinsi, kota dan kabupaten] di tingkat lokal untuk
meningkatkan kesadaran nelayan dan pengusaha maupun perusahaan pengolahan
tuna akan pentingnya data pendaratan yang dapat diandalkan di masa yang akan
datang (Allen, 2010). Selain itu, pemerintah [baik pusat dan daerah] harus
menyediakan lebih banyak sumberdaya [financial, manpower and technology

155
supervisions] di tingkat terendah, yaitu di lokasi pendaratan ikan guna
memfasilitasi pengumpulan data pendaratan ikan serta memastikan bahwa data
yang dikumpulkan diproses secara benar dan tepat.

Penutup
Perikanan tuna huhate [tuna pole-and-line fishery] di Indonesia menghadapi
banyak tantangan, termasuk diantaranya adalah ketersediaan stok tuna yang
semakin berkurang, kegiatan penangkapan ikan yang belum diatur dengan jelas,
meningkatnya persaingan antar kapal penangkapan [industrial-scale versus small-scale
fisheries] dan pilihan pemasaran yang terbatas [local versus global markets].
Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, perikanan tuna huhate sangat
memerlukan dukungan pemerintah dalam memerangi IUU fishing dan
melindungi kuota penangkapan agar tidak dimonopoli oleh sektor industri. Akan
tetapi, stakeholders perikanan tuna huhate juga harus meningkatkan kualitas
hasil tangkapannya agar dapat memasuki pasar global. Tantangan-tantangan
tersebut merupakan bagian dari perdebatan antara mempertahankan
keberlanjutan perikanan skala kecil [small-scale fisheries/ SSF] sebagai penentang
moderenisasi atau meningkatkan kapasitas nelayan menjadi perikanan skala besar
[large-scale fisheries/LSF or industrial-scale fisheries], dimana lebih efesien dan
menguntungkan (Gordon, 1991). Tiga asumsi ada di balik argument-argumen
tersebut, pertama, pernyataan dari seorang ahli biologi, Thomas Henry Huxley
(1825-1895) di abad ke-19 menyatakan bahwa laut menyediakan persediaan ikan
tanpa batas, dan seberapa banyak penangkapan yang terjadi, sumberdaya
perikanan tidak akan pernah habis. Kedua, sumber daya ikan yang sangat besar
ada di laut lepas di luar jangkauan nelayan skala kecil [small-scale fisheries/ SSF]
(Bailey, 1988) kemudian argumen ketiga, menyatakan bahwa perikanan SSF
dalam keadaan terbelakang dan membutuhkan modernisasi.
”Modernisation has been seen as the key to developing small-scale fisheries into
engines of rural and even national economic growth. The typical technological fisheries
modernisation narrative was that many developing countries were rich in fish stocks but were
unable to utilise them because the local fishers were stuck in underdeveloped traditions and the
recently independent states neither had the technology nor the funds to promote industrial
fisheries. Therefore, the fishers remained poor and the potential of the fisheries to stimulate
national industrialisation was underutilised. As a solution, Western countries should transfer

156
modern technology, capital and knowledge to ‘force the pace of development in
fisheries” (Overa, 2011). Argumen yang disajikan oleh menentang modernisasi
adalah bahwasanya nelayan skala kecil memiliki peran penting dalam sektor
perikanan kontemporer. Ada lima pendapat dalam argumen anti moderenisasi.
Pertama, terjadinya over-fishing secara global, regional maupun dan lokal
disebabkan oleh LSF dan mulai muncul pada 1970-an (Johnson, 2001). Kedua,
dalam kurun waktu antara tahun 1980-an dan 1990-an, gagasan sumber daya
alam yang tidak ada habisnya mulai diperdebatkan dengan hipotesis “batas
pertumbuhan”, sebuah laporan yang dibuat oleh Brundtland pada tahun 1987
yang kemudian mengilhami lahirnya konferensi tingkat tinggi [KTT] Bumi di Rio
de Janeiro pada 1990 tentang pembangunan berkelanjutan. Meskipun penekanan
saat KTT tersebut adalah pada sumberdaya terestrial, namun kemudian fokusnya
juga mencakup sumberdaya laut (Bailey, 1988, McGoodwin, 1990). Model
industry dengan jalan memaksimalkan hasil ekonomi [maximum economic yield/
MEY) ditantang oleh model lingkungan dari hasil yang berkelanjutan [maximum
sustainable yield/MSY) serta peran nelayan skala kecil sebagai penyedia apangan
kerja [providing employment] dan keamanan pangan [food security] untuk masyarakat
pesisir dengan jejak lingkungan laut yang ringan [light marine footprint] semakin
diakui oleh para ahli (Cycon, 1986). Ketiga, beberapa ekonom terkemuka di dunia
berpendapat bahwa SSF lebih efisien daripada LSF. Sebagai contoh, pendapat yang
dikemukakan oleh Bailey (1988) menolak klaim bahwa LSF lebih efisien daripada
SSF. LSF membutuhkan investasi modal dalam jumlah besar; konsumen terbesar
minyak bumi; mengeluarkan emisi CO2 yang besar dan sangat bergantung pada
kredit bersubsidi, bahan bakar bersubsidi dan kelonggaran pajak". Selanjutnya
menurut Bailey (1988), pertumbuhan perikanan skala-besar lebih berkaitan
dengan pola pikir kelembagaan dan kepentingan bisnis daripada peningkatan
skala ekonomi. Keempat, perikanan skala kecil menyediakan mata pencaharian
dan lapangan pekerjaan bagi jutaan orang di kawasan pesisir. Mereka sangat
penting berperan menjaga keamanan pangan, bermanfaat bagi masyarakat lokal,
dan untuk mempertahankan identitas budaya. “small-scale fisheries, as opposed to
industrial fisheries, in term of fishing capacity contribute about one half to two thirds of the
global food-fish catch (the harvest used to feed people directly rather than as feed for other
animals), and employ about 80-90% of the world’s fishermen and fish workers” (FAO,
2017). Kelima, menurut pendapatan Bailey and Jentoft (1990) pengembangan

157
perikanan skala-besar tidak akan terelakkan yang berarti akan lebih sedikit
lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir "there is a trade-off between letting some
fishermen adopt more powerful technologies and letting more people become
fishermen" (Bailey and Jentoft, 1990).
Penelitian yang dilakukan oleh (Overa, 2011) menemukan bahwa bahwa
reaksi terhadap wacana modernisasi sekarang terjadi dalam literature, dengan
kalimat yang jelas “a growing body of literature contests the received wisdom by empirically
documenting the importance of small-scale fisheries for welfare in poor countries. This
literature shows that because of their technological simplicity, facilitating easy entry, small-
scale fisheries can be of great importance as safety valves for poor people who experience
economic, political or environmental shocks and as labour buffers in periods of unemployment.
These functions play a vital role in ensuring food security and poverty alleviation” (Overa,
2011). Selanjutnya pendapat dari Cycon (1986), hal tersebut bukan untuk
mengatakan bahwa semua perikanan harus SSF akan tetapi LSF tidak boleh
menghapus SSF.
Membandingkan dan memahami argumen-argumen para ahli perikanan
dunia, maka pengembangan perikanan tuna huhate di Indonesia membawa kita
pada kesimpulan bahwa pemerintah [pusat dan daerah] harus mengambil
langkah-langkah cepat dan konkrit serta terpadu dan berkelanjutan untuk
melindungi SSF dari ancaman eksistensial di masa yang akan datang yang
mungkin ditimbulkan dari aktivitas penangkapan ikan oleh LSF terutama oleh
kapal IUU fishing baik domestik maupun internasional.

Daftar Pustaka
Adhuri, D. S., Rachmawati, L., Sofyanto, H. & Hamilton-Hart, N. 2016. Green Market For Small
People: Markets And Opportunities For Upgrading In Small-Scale Fisheries In Indonesia.
Marine Policy, 63, 198-205.
Adolf, S., Bush, S. R. & Vellema, S. 2016. Reinserting State Agency In Global Value Chains: The
Case Of Msc Certified Skipjack Tuna. Fisheries Research, 182, 79-87.
Agnew, D. J., Gutiérrez, N. L. & Butterworth, D. S. 2013. Fish Catch Data: Less Than What Meets
The Eye. Marine Policy, 42, 268-269.
Allen, R., James A. Joseph, Dale Squires 2010. Conservation And Management Of Transnational
Tuna Fisheries. Scitech Book News. Portland: Ringgold Inc.
Andrade, H. A. 2003. The Relationship Between The Skipjack Tuna (Katsuwonus Pelamis) Fishery
And Seasonal Temperature Variability In The South-Western Atlantic. Fisheries
Oceanography, 12, 10-18.
Andrade, H. A. & Garcia, C. A. E. 1999. Skipjack Tuna Fishery In Relation To Sea Surface
Temperature Off The Southern Brazilian Coast. Fisheries Oceanography, 8, 245-254.

158
Andrade, H. A. & Teixeira Santos, J. A. 2004. Seasonal Trends In The Recruitment Of Skipjack Tuna
(Katsuwonus Pelamis) To The Fishing Ground In The Southwest Atlantic. Fisheries
Research, 66, 185-194.
Bailey, C. 1988. The Political Economy Of Fisheries Development In The Third World. Agriculture
And Human Values, 5, 35-48.
Bailey, C. & Jentoft, S. 1990. Hard Choices In Fisheries Development. Marine Policy, 14, 333-344.
Bailey, M., Bush, S., Oosterveer, P. & Larastiti, L. 2016. Fishers, Fair Trade, And Finding Middle
Ground. Fisheries Research, 182, 59-68.
Benetti, D. D., Partridhe, G. J. & Buentello, A. 2016. Advances In Tuna Aquaculture; From Hatchery
To Market, Elsevier.
Bush, S. R., Bailey, M., Van Zwieten, P., Kochen, M., Wiryawan, B., Doddema, A. & Mangunsong, S.
C. 2017. Private Provision Of Public Information In Tuna Fisheries. Marine Policy, 77,
130-135.
Cabral, R. B., Mayorga, J., Clemence, M., Lynham, J., Koeshendrajana, S., Muawanah, U., Nugroho,
D., Anna, Z., Mira, Ghofar, A., Zulbainarni, N., Gaines, S. D. & Costello, C. 2018. Rapid And
Lasting Gains From Solving Illegal Fishing. Nature Ecology & Evolution, 2, 650-658.
Chan, V., Clarke, R. & Squires, D. 2014. Full Retention In Tuna Fisheries: Benefits, Costs And
Unintended Consequences. Marine Policy, 45, 213-221.
Cochrane, K. L. & Garcia, S. M. 2009. A Fishery Manager's Guidebook, The Food And Agriculture
Organization Of The United Nations And Wiley-Blackwell.
Cycon, D. E. 1986. Managing Fisheries In Developing Nations: A Plea For Appropiate Development.
Natural Resources Journal, 26, 14.
Fao 1995. Code Of Conduct For Responsible Fisheries, Rome, Food And Agriculture Organization.
Fao 2014. The Ecosystem Approach To Fisheries Management. In: Garcia, S. M. & Cochrane, K. L.
(Eds.). Rome: Food And Agriculture Organization.
Fao. 2016. Globefish-Analysis And Information On World Fish Trade. Tuna - December 2015
[Online]. Available: Http://Www.Fao.Org/In-Action/Globefish/Market-Reports/Resource-
Detail/En/C/358022/ [Accessed 05 October 2016].
Fao 2017. Globe Fish Highlights 2017: A Quarterly Update On World Seafood Markets, Rome, Food
And Agricultural Organization.
Fao 2019. Fao Yearbook, Rome, Food And Agriculture Organization Of The United Nations.
Fernández-Polanco, J. 2016. An Overview Of The Global Tuna Market. Rome: Food And Agriculture
Organization.
Ferrol-Schulte, D., Gorris, P., Baitoningsih, W., Adhuri, D. S. & Ferse, S. C. A. 2015. Coastal
Livelihood Vulnerability To Marine Resource Degradation: A Review Of The Indonesian
National Coastal And Marine Policy Framework. Marine Policy, 52, 163-171.
Ferrol-Schulte, D., Wolff, M., Ferse, S. & Glaser, M. 2013. Sustainable Livelihoods Approach In
Tropical Coastal And Marine Social–Ecological Systems: A Review. Marine Policy, 42,
253-258.
Ferse, S. C. A., Knittweis, L., Krause, G., Maddusila, A. & Glaser, M. 2012. Livelihoods Of
Ornamental Coral Fishermen In South Sulawesi/Indonesia: Implications For Management.
Coastal Management, 40, 525-555.
Fiedler, P. C. & Bernard, H. J. 1987. Tuna Aggregation And Feeding Near Fronts Observed In
Satellite Imagery. Continental Shelf Research, 7, 871-881.
Gillett, R., Mccoy, M., Rodwell, L. & Tamate, J. 2001. Tuna: A Key Economic Resource In The Pacific
Islands, Manila, Asian Development Bank.
Gordon, H. S. 1991. The Economic Theory Of A Common-Property Resource: The Fisheries.
Bulletin Of Mathematical Biology, 53 (1-2), 231-252.
Ipnlf 2017. New Partnership To Advance Traceability In Indonesia’s Tuna Fisheries. In: Foundation,
I. P. L. (Ed.).

159
Johnson, D. 2001. Wealth And Waste: Contrasting Legacies Of Fisheries Development In Gujarat
Since 1950s. Economic And Political Weekly, 36, 1095-1097+1099-1102.
Khan, A. M. A., Dewanti, L. P., Apriliani, I. M., Supriadi, D., Nasution, A. M., Gray, T. S., Mill, A. C.
& Polunin, N. V. C. 2020a. Study On Market Process Of Tuna Pole-And-Line Fishery In
Eastern Indonesia: A Study Case In Sorong, Papua Barat Province. Indonesian Fisheries
Research Journal, 26, 33-39.
Khan, A. M. A., Gray, T. S., Mill, A. C. & Polunin, N. V. C. 2018. Impact Of A Fishing Moratorium
On A Tuna Pole-And-Line Fishery In Eastern Indonesia. Marine Policy, 94, 143-149.
Khan, A. M. A., Nasution, A. M., Purba, N. P., Rizal, A., Zahidah;, Hamdani, H., Dewanti, L. P.,
Junianto;, Nurruhwati, I., Sahidin, A., Supriadi, D., Herawati, H., Apriliani, I. M., Rodwan,
M., Gray, T. S., Jiang, M., Arief, H., Mill, A. C. & Polunin, N. V. C. 2020b. Oceanographic
Characteristics At Fish Aggregating Device Sites For Tuna Pole-And-Line Fishery In Eastern
Indonesia. Fisheries Research, 225.
Khan, A. M. A., Rizal, A., Dewanti, L. P., Apriliani, I. M. & Nasution, A. M. 2019. Evaluation Of
Marketing System For Pole-And-Line Tuna Fisheries In Larantuka, Flores, Indonesia. Global
Science Journal, 7, 99-104.
Lehodey, P., Bertignac, M., Hampton, J., Lewis, A. & Picaut, J. 1997. El Nino Southern Oscillation
And Tuna In The Western Pacific. Nature, 389, 715-718.
Mcgoodwin, J. R. 1990. Crisis In The World's Fisheries: People, Problems And Policies, Stanford,
Stanford University Press.
Miyake, M. P., Guillotreau, P., Sun, C.-H. & Ishimura, G. 2010. Recent Developments In The Tuna
Industry: Stocks, Fisheries, Management, Processing, Trade And Markets, Rome, Food And
Agriculture Organization Of The United Nations.
Mmaf 2015. Marine And Fisheries In Figures 2015 Kelautan Dan Perikanan Dalam Angka Tahun
2015. Jakarta: The Center For Data, Ministry Of Marine Affairs And Fisheries, Republic Of
Indonesia.
Nainggolan, H., Rahmantya, K. F., Asianto, A. D., Wibowo, D., Wahyuni, T., Zunianto, A., Ksatrya,
S. P. & Malika, R. 2019. Kelautan Dan Perikanan Dalam Angka Tahun 2018/ Marine And
Fisheries In Figures 2018, Jakarta, Ministry Of Marine Affairs And Fishries, Republic Of
Indonesia.
Overa, R. 2011. Modernisation Narratives And Small-Scale Fisheries In Ghana And Zambia. Forum
For Development Studies, 38, 321-343.
Pennington, J. T., Mahoney, K. L., Kuwahara, V. S., Kolber, D. D., Calienes, R. & Chavez, F. P. 2006.
Primary Production In The Eastern Tropical Pacific: A Review. Progress In Oceanography, 69,
285-317.
Polovina, J. J., Howell, E. A., Kobayashi, D. R. & Seki, M. P. 2017. The Transition Zone Chlorophyll
Front Updated: Advances From A Decade Of Research. Progress In Oceanography, 150,
79-85.
Satria, D. & Li, E. 2017. Contract Engagement In The Small-Scale Tuna-Fishing Economies Of East
Java. Bulletin Of Indonesian Economic Studies, 53, 27-54.
Sims, D. W. & Simpson, S., J. 2015. Better Policing For Fishy Catch Data. Nature, 520, 623.
Sunoko, R. & Huang, H.-W. 2014. Indonesia Tuna Fisheries Development And Future Strategy.
Marine Policy, 43, 174-183.
Syamsuddin, M. L., Saitoh, S. I., Hirawake, T., Bachri, S. & Harto, A. B. 2013. Effects Of El Nino-
Southern Oscillation Events On Catches Of Bigeye Tuna (Thunnus Obesus) In The Eastern
Indian Ocean Off Java. Fishery Bulletin, 111, 175-188.
Wang, Y., Duan, L., Li, S., Zeng, Z. & Failler, P. 2015. Modeling The Effect Of The Seasonal Fishing
Moratorium On The Pearl River Estuary Using Ecosystem Simulation. Ecological Modelling,
312, 406-416.

160
Watson, R. A., Nichols, R., Lam, V. W. Y. & Sumaila, U. R. 2017. Global Seafood Trade Flows And
Developing Economies: Insights From Linking Trade And Production. Marine Policy, 82,
41-49.
Watson, R. A. & Pauly, D. 2013. The Changing Face Of Global Fisheries—The 1950s Vs. The 2000s.
Marine Policy, 42, 1-4.
Xu, Y., Nieto, K., Teo, S. L. H., Mcclatchie, S. & Holmes, J. 2017. Influence Of Fronts On The Spatial
Distribution Of Albacore Tuna (Thunnus Alalunga) In The Northeast Pacific Over The Past
30 Years (1982–2011). Progress In Oceanography, 150, 72-78.
Yuniarta, S., Van Zwieten, P. A. M., Groeneveld, R. A., Wisudo, S. H. & Van Ierland, E. C. 2017.
Uncertainty In Catch And Effort Data Of Small- And Medium-Scale Tuna Fisheries In
Indonesia: Sources, Operational Causes And Magnitude. Fisheries Research, 193, 173-183.
Zainuddin, M., Farhum;, A., Safruddin;, S., Selamat;, M. B., Sudirman;, S., Nurdin;, N.,
Syamsuddin;, M., Ridwan;, M. & Saitoh;, S.-I. 2017. Detection Of Pelagic Habitat Hotspots
For Skipjack Tuna In The Gulf Of Bone-Flores Sea, Southwestern Coral Triangle Tuna,
Indonesia. Plos One, 12, 19.
Zainuddin, M., Nelwan, A., Farhum, S. A., Najamuddin, Hajar, M. A. I., Kurnia, M. & Sudirman
2013. Characterizing Potential Fishing Zone Of Skipjack Tuna During The Southeast
Monsoon In The Bone Bay-Flores Sea Using Remotely Sensed Oceanographic Data.
International Journal Of Geosciences, 4, 259-266.

161
BIOGRAFI PENULIS

Dr.sc.agr. Yudi Nurul Ihsan merupakan staff pengajar di Ilmu Kelautan


Universitas Padjadjaran. Saat ini menjabat sebagai dekan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Penulis menyelesaikan S1 dan S2 di Insitut
Pertanian Bogor (IPB University) dan S3 di Max Planck Institute, Jerman
dalam Bidang Biogeokimia kelautan. Penulis juga saat ini menjabat
sebagai salah satu penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan. Kegiatan
yang dilakukan saat ini antara lain menulis artikel, mengajar, dan
mengikuti seminar internasional. Penulis telah menerbitkan hasil penelitian di berbagai
jurnal nasional dan internasional bereputasi. Bila ingin berkomunikasi lebih jauh, silahkan
mengirim email ke yudi.nurul@gmail.com

Prof. (Em.) Bachrulhajat Koswara merupakan dekan pertama Fakultas


Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran. Sampai saat ini
Penulis masih aktiv dalam berbagai kegiatan akademik dan masih
menghasilkan buku-buku serta menulis di surat kabar yang berkaitan
dengan perikanan dan kelautan. Latar belakang keilmuan Prof. Bachrul
di bidang Ilmu Perairan (Aquatic Sciences), ketika ia menempuh studi
untuk meraih gelar Magister di Institut Pertanian Bogor tahun 1985. Ia
juga pernah mengikuti kursus singkat tentang Ekologi Perairan Terapan di Reading
University, Inggris, tahun 1991. Beberapa buku yang pernah ditulis antara lain: 1) Air,
dalam perspektif Islam dan Ilmu Pengetahuan, 2) Kumpulan Tulisan tentang Perairan
Umum dan Kelautan. Beberapa publikasi juga telah dimuat di jurnal Nasional,
internasional, serta prosiding seminar. Selain itu, kegiatan yang pernah dilakukan adalah
sebagai dewan pakar dalam bidang perikanan dan Ilmu kelautan. Bila ingin berkomunikasi
lebih jauh, silahkan mengirim email ke bachrul1943@gmail.com

Prof. Yayat Dhahiyat, Ph.D merupakan profesor di bidang Manajemen


Lingkungan Perairan. Penulis menyelesaikan pendidikan S3 dari Reading
University dan saat ini sebagai profesor aktiv di Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Penulis mengajar mata kuliah Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL), Ekotoksikologi perairan, dan Ekologi Pearairan.
Penulis saat ini aktiv dalam penulisan buku dan publikasi artikel
internasional bereputasi. Selain itu, Penulis yang jugag pengajar di pasca-
sarjana, aktiv membimbing mahasiswa mulai dari sarjana hingga program doktoral. Bila
ingin berkomunikasi lebih jauh, silahkan mengirim email ke ydhahiyat@yahoo.com

162
Prof. Junianto, MP saat ini sebagai Guru besar Teknologi Pengolahan
Hasil Perikanan, Departemen Perikanan, Universitas Padjadjaran. Saat
ini menjabat sebagai Ketua Departemen Perikanan dan anggota senat
FPIK. Penulis menyelesaikan Pendidikan Sarjana di Universitas
Padjadjaran dan menyelesaikan Pendidikan doktor di Institut Pertanian
Bogor (IPB). Saat ini aktiv mengajar di bidang pengolahan hasil
perikanan Baik di tingkat sarjana hingga membimbing mahasiswa
tingkat doktoral. Penulis juga aktiv dalam riset dengan hibah unpad dan
nasional serta menulis buku ajar dan populer. Selain itu, Penulis juga aktiv sebagai
reviewer jurnal-jurnal bereputasi. Bila ingin berkomunikasi lebih jauh, silahkan mengirim
email ke Junianto@unpad.ac.id

Dr. Dedi Supriadi, A.Pi., MM. dilahirkan di Kota Cirebon Jawa Barat dan
menyelesaikan SMAN di Kota Cirebon, kemudian melanjutkan kuliah di
Program Diploma III Diklat Ahli Usaha Perikanan Jakarta Jurusan
Penangkapan Ikan. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan kuliah di
Program Diploma IV Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta Jurusan Teknologi
Penangkapan Ikan dan lulus tahun 1996. Pendidikan S-2 penulis dapatkan
pada STIE Ganesha Jakarta Program Pasca Sarjana Magister Sumberdaya
Manusia lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan kuliah pada
Program Doktor Ilmu Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya Malang dengan Minat
Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap dan lulus tahun 2012. Pada tahun 1999
Penulis pindah tugas ke Dinas Kelautan Perikanan Peternakan dan Pertanian Kota Cirebon
dan menjabat sebagai Kepala Seksi Perikanan kemudian Kepala UPTD Balai Pengembangan
Budidaya Ikan Air Tawar. Telah banyak pendidikan dan pelatihan yang telah diikuti untuk
teknis maupun fungsional selama berkarier di PNS, baik ditingkat Kota, Provinsi maupun
Pusat. Selain itu penulis juga sempat mengajar di beberapa Perguruan Tinggi Swasta (PTS)
di Cirebon. Pada tahun 2018 Penulis pindah tugas ke Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Nasional sebagai Dosen Tetap di FPIK-UNPAD. Bila ingin berkomunikasi lebih
jauh, silahkan mengirim email ke d.supriadi2018@unpad.ac.id

Roffi Grandiosa, SPi., MSc., PhD merupakan staf pengajar tetap di


Departemen Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Padjadjaran sejak tahun 2001. Penulis mengikuti pendidikan S1 di Jurusan
Perikanan, Faperta Unpad pada tahun 1994-1999. Pada tahun 2005-2007,
penulis mendapatkan Beasiswa S2 dari VLIR-UOS Belgium untuk
menempuh Master of Aquaculture di Ghent University. Adapun S3
ditempuh dengan biaya dari Dikti BLN Scholarship dari tahun 2013
hingga 2019 di Auckland University of Technology dengan PhD di bidang Applied
Environmental Science. Melalui kesempatan studi S3 dengan judul The Pathophysiology of
the New Zealand Blackfooted Abalone (Haliotis iris), penulis menghasilkan beberapa
jurnal ilmiah internasional di bidang budidaya abalone, serta berpartisipasi menjadi
pembicara di beberapa seminar international akuakultur di New Zealand. Saat ini penulis
adalah Kepala Laboratorium Kawasan Perikanan Darat Ciparanje di Universitas Padjadjaran
dan menjadi pembina untuk Unit Kegiatan Mahasiswa Karamba serta FIBBERS Basketball
di lingkup FPIK Unpad. Aktivitas mengajar di FPIK Unpad saat ini fokus di bidang
akuakultur, biologi perikanan dan fisiologi hewan air untuk level S1. Adapun di bidang

163
penelitian, saat ini sedang berupaya meningkatkan awareness di bidang budidaya abalone.
Di samping hal itu, fokus kajian penulis adalah penelitian di bidang immunologi ikan dan
invertebrata yang saat ini merupakan topik yang penting dalam menunjang keberhasilan
akuakultur di Indonesia. Bila ingin berkomunikasi lebih jauh, silahkan mengirim email ke
roffi.grandiosa@unpad.ac.id.

Donny Juliandri Prihadi, S.Pi., M.Sc., CPM., PhD(C) merupakan staf


pengajar tetap di Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Padjadjaran sejak tahun 2008. Penulis mengikuti
pendidikan S1 di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan (Perikanan)
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran pada tahun 1998-2003. Pada
tahun 2004-2007, penulis mendapatkan beasiswa S2 untuk International
Student dari Bournemouth Borough Council untuk menempuh Master of
Coastal Zone Management (Science) di School of Conservation Science, Bournemouth
University, United Kingdom. Adapun pendidikan S3, penulis masih mengikuti study PhD-
nya dari Department Tourism Management, Ocean University of China, Qingdao, People’s
Republic of China dan mendapatkan beasiswa dari China Government Scholarship (CGS)
sejak tahun 2018-2022. Sejak penulis menjadi staff pengajar tetap di Departemen Ilmu
Kelautan, penulis pernah dipercaya menjadi pembina Unit Renang Unpad (URU),
Sekertaris Program Studi Ilmu Kelautan dan menjadi manajer kemahasiswaan dan alumni
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Aktivitas meneliti penulis fokus pada kajian
manajemen sumberdaya pesisir dan laut, sosial pada masyarakat pesisir serta hukum laut,
dan wisata bahari yang saat ini merupakan topik yang cukup penting dalam menunjang
keberhasilan konservasi sumberdaya dan pembangunan yang berkelanjutan. Bila ingin
berkomunikasi lebih jauh, silahkan mengirim email ke
donny.juliandri.prihadi@unpad.ac.id.

Dr. Achmad Rizal saat ini menjadi staf tetap di departemen perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) serta pengajar di program
studi regional inovasi, fakultas pascasarjana, Universitas Padjadjaran
(UNPAD). Dr. Rizal melakukan penelitian dalam Aspek Sosial-Ekonomi
perikanan; Pengembangan dan Manajemen Perikanan yang terkait
dengan studi-studi Pengembangan Ekonomi Wilayah. Proyek riset saat
ini adalah pengembangan sosial-ekonomi sektor perikanan di Jawa Barat
Indonesia. Bila ingin berkomunikasi lebih jauh, silahkan mengirim email ke
arizrzl@gmail.com.

Marine Kenzi Martasuganda, S.Kel, M.Si. merupakan salah satu


pendiri Movement for the Ocean (Mocean) yang memiliki focus pada
bidang Kesehatan Laut. Penulis menyelesaikan studi S1 di Program Studi
Ilmu Kelautan - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Padjadjaran (Unpad) tahun 2012 dan S2 di Program Studi Ilmu
Perencanaan Wilayah, Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada
tahun 2016. Penulis pernah bekerja sebagai sebagai Staf Fasilitas
Pelabuhan di Kantor Pusat PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero), sebuah BUMN yang
bergerak di bidang angkutan sungai, danau, dan penyeberangan serta sebagai Konsultan
GIS Officer Marine Program di Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS-

164
IP). Penulis juga merupakan Wakil Ketua Umum Ikatan Alumni Ilmu Kelautan Unpad
(periode 2012 sekarang), Anggota Bidang Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan
Perlindungan Nelayan di Dewan Pengurus Pusat - Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia
(DPP-Iskindo), dan salah satu pendiri KOMITMEN Research Group. Penulis memiliki
fokus kajian pada pengembangan pesisir yang mencakup kajian teknis (Analisis Spasial),
analisis kebijakan (Analisis Non Spasial) yang mencakup penataan ruang, pariwisata,
pengelolaan wilayah pesisir, pengelolaan keamanan bencana pesisir, dan peran serta
masyarakat (Participatory Planning). Bila ingin berkomunikasi lebih jauh, silahkan
mengirim email ke marine.kenzi@gmail.com.

Dr. Ing. Widodo Setiyo Pranowo memperoleh gelar Sarjana Teknik


(S.T.) diperolehnya dari P.S. Ilmu dan Teknologi Kelautan Universitas
Diponegoro Semarang (1998). Gelar Magister Sains (M.Si) dari Jurusan
Geofisika dan Meteorologi Institut Teknologi Bandung (2002).
Kemudian bergabung di Kementerian Kelautan dan Perikanan di awal
tahun 2003. Melalui program German-Indonesia Tsunami Early Warning
System (GITEWS), gelar Doktor di bidang Tekno-Matematika (Dr.-Ing.)
diraihnya pada tahun 2010 dari Universitas Bremen dan Alfred Wegener Institute for
Polar and Marine Research, Jerman. Sejak 2011 menjadi peneliti bidang Oseanografi
Terapan di Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sejak 2011 aktif
sebagai instruktur/ pengajar di sekolah-sekolah kedinasan TNI: STTAL, SESKOAL, SESKO
TNI, PUSDIKHIDROS. Selain aktif menjadi anggota dewan editor di AMAFRAD Press,
aktif juga sebagai editor dan reviewer di beberapa jurnal nasional dan internasional baik
yang terakreditasi dan terindeks global bereputasi. Sejak 2016, menjadi pemimpin dewan
editor (Editor-in-Chief) Jurnal Kelautan Nasional yang terakreditasi nasional peringkat
kedua. Sejak 2018, menjadi anggota dewan editor International Journal of Remote Sensing
and Earth Sciences. Sejak 2019 juga menjadi Editor-in-Chief Jurnal Riset Jakarta. Bila
ingin berkomunikasi lebih jauh, silahkan mengirim email ke widodo.pranowo@kkp.go.id/
widodo.pranowo@sttal.ac.id.

Nurfitri Syadiah, S.Pi., M.Sc memperoleh gelar Sarjana Perikanan


(S.Pi.) diperolehnya dari Institut Pertanian Bogor (2002). Bergabung di
Kementerian Kelautan dan Perikanan di awal tahun 2003. Gelar Magister
Sains/Science (M.Si/MS.c) Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan
Lautan dari Institut Pertanian Bogor (2010) yang merupakan program
double degree dengan ZMT-Bremen Jerman. Sejak 2018 menjadi
fungsional Pengelola Ekositem Laut Dan Pesisir (PELP) Muda di
Direktorat Perencanaan Ruang Laut, Direktorat Jenderal Pengelolaan
Ruang Laut, Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sejak 2004 aktif mereview
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan turut aktif
mereview dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) sebagai perwakilan
KKP di Tim AMDAL Pusat KLHK. Aktif sebagai co-author di beberapa artikel yang terbit
di jurnal nasional terakreditasi dan jurnal internasional terindeksitasi global bereputasi.
Bila ingin berkomunikasi lebih jauh, silahkan mengirim email ke nurfitri.kkp@gmail.com.

165
Erish Widjanarko, S.T. memperoleh gelar Sarjana Teknik (S.T.)
diperolehnya dari Jurusan Oseanografi pada Fakultas Teknik dan Ilmu
Kelautan Universitas Hang Tuah pada 1999. Pernah aktif menjadi
fungsional peneliti bidang Oseanografi Fisika pada Pusat Riset Wilayah
Laut dan Sumber Daya Non-Hayati, dan aktif sebagai anggota DELRI
pada Inter-governmental Oceanographic Commission untuk wilayah
West Pacific (IOC-WESTPAC) pada 2011-2015. Saat ini masih menjabat
sebagai Kepala Bidang Riset Sumber Daya Laut dan Kewilayahan pada Pusat Riset
Kelautan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP),
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Memiliki Paten Sederhana “Alat Pembersih Butiran
Garam Secara Bertingkat” pada tahun 2016, dan Paten Sederhana Seri-A “Alat Pengering
Garam Berputar” pada tahun 2018. Aktif dalam penulisan Buku (ilmiah) populer, Kertas
Kerja Kebijakan (Policy Paper) dan Ikhtisar Kebijakan (Policy Brief) untuk sektor Kelautan
dan Perikanan. Bila ingin berkomunikasi lebih jauh, silahkan mengirim email ke
erishkoo@gmail.com.

Dr. Romi Novriadi, M.Sc Dr. Romi Novriadi, M.Sc, merupakan Direktur
World Aquaculture Society - Asian Pacific Chapter periode 2019 - 2022
dan Wakil ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia periode 2019 - 2024.
Dr. Romi juga sebagai pengendali hama penyakit ikan muda di Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia. Penulis telah menerbitkan lebih dari 25 artikel
penelitian yang meliputi bidang nutrisi dan formulasi pakan ikan,
Imunologi, teknologi akuakultur dan penyakit. Selain itu, disertasi PhD-
nya yang fokus pada 'Evaluasi Produk Olahan Lanjutan Tepung Bungkil Kedelai Dalam
Pakan ikan Florida Pompano' dan tesis dengan judul 'Sistem kekebalan tubuh Artemia'
memberikan informasi yang bermanfaat bagi industri akuakultur. Sebagai peneliti, Dr.
Romi telah mempresentasikan makalah hasil penelitian di beberapa konferensi yang
diselenggarakan di Amerika Serikat, India, Belgia, Vietnam, Singapura, Malaysia dan
Australia. Penulis juga pernah melakukan magang di Australia dan Thailand dalam hal
pengembangan udang Vannamei. Penulis dianugerahi dua beasiswa, beasiswa VLIR-UOS
untuk studi Master bidang perikanan budidaya di Ghent University - Belgia dan beasiswa
Fulbright untuk studi Ph.D bidang nutrisi di Auburn University, Alabama, USA. Saat ini,
fokus penelitian adalah untuk menentukan kebutuhan nutrisi spesifik untuk ikan laut dan
udang serta melakukan evaluasi beberapa suplemen untuk dapat digunakan sebagai
imbuhan pakan. Bila ingin berkomunikasi lebih jauh, silahkan mengirim email ke:
novriadiromi@yahoo.com

Noir Primadona Purba, M.Si merupakan staff pengajar di Departemen


Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran. Menyelesaikan Pendidikan
terakhir (postgraduate) di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Alfred
Wegener Institute (AWI), Jerman. Penelitian pada beberapa tahun
terakhir fokus pada bidang oseanografi fisis, instrumentasi, dan
penjalaran sampah laut. Saat ini sedang mengembangan alat monitoring
real time dan Floating Artifical Debris (FAD). Noir juga aktiv sebagai
reviewer di jurnal nasional dan internasional bereputasi. Di bidang
akademik, pernah menjabat sebagai staff khusus dekan bidang Marine Station, Kepala

166
Laboratorium Komputer, Kepala Laboratorium Ilmu Kelautan (Marine Research
Laboratory). Pada tahun 2019, bekerjasama dengan Univ. of Edinburgh dalam riset
permodelan sampah laut di beberapa lokasi di Indonesia. Bila ingin berkomunikasi lebih
jauh, silahkan mengirim email ke noir.purba@unpad.ac.id

Aulia Andhikawati, S.Pi., M.Si merupakan staff pengajar tetap di Program


Studi Perikanan K. Pangandaran, Universitas Padjadjaran sejak tahun
2019. Penulis menempuh pendidikan sarjana (S1) di Program Studi
Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro Semarang, lulus pada tahun 2010. Pada tahun
2011, penulis melanjutkan pendidikan Magister (S2) di Program Studi
Teknologi Hasil Perairan pada Program Pascasarjana IPB. Penulis pernah
mengajar di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji
pada tahun 2015-2016. Penulis juga menjadi staff penjaminan mutu di Institut Bisnis
Muhammadiyah Bekasi pada tahun 2016-2019. Selama aktif menjadi pengajar di Program
Studi Perikanan PSDKU Unpad di Pangandaran telah menulis buku berjudul Teknologi
Fermentasi Bahan Baku dan Hasil Perikanan pada tahun 2019. Penulis pernah melakukan
penelitian mengenai minyak ikan dan pemanfaatan kapang dalam pembuatan bioetanol.
Saat ini penulis fokus melakukan pengajaran dan penelitian di bidang Teknolohi Hasil
Perikanan. Penulis juga sebagai anggota MPHPI Tahun 2018-2023. Bila ingin
berkomunikasi lebih jauh, silahkan mengirim email ke aulia.andhikawati@unpad.ac.id

Alexander M. A. Khan, S.Pi., M.Si., Ph.D menyelesaikan pendidikan


Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Riau pada tahun 2001 bidang Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan [PSP],
menyelesaikan pendidikan magister di Institut Pertanian Bogor pada tahun
2005 bidang Teknologi Kelautan [TKL]. Kemudian menamatkan
pendidikan doktoral di Newcastle University, United Kingdom pada tahun
2018 dari School of Marine Science and Technology dengan disertasi berjudul:
“An analysis of sustainability issues in eastern Indonesian pole-and-line tuna fisheries” dengan hasil
sangat memuaskan. Beberapa tulisannya telah terbit pada berbagai jurnal, diantaranya pada
jurnal Marine Policy, jurnal Fisheries Research dan Indonesian Fishries Research Journal.
Penulis berpengalaman juga sebagai konsultan di bidang perikanan dan kelautan,
diantaranya sebagai environmental specialist pada program ADB ETESP Project di Aceh-
Nias pada tahun 2005-2007, site adviser pada program ADB Coremap Project di Kabupaten
Lingga tahun 2007-2008, environmental specialist pada program CIDA CIPSED Project di
Jakarta pada tahun 2008-2013, workshop specialist pada program USAID CTI support
program di Jakarta pada tahun 2010, sebagai researcher pada lembaga nirlaba IPNLF di
kawasan timur Indonesia pada tahun 2012, research volunteer pada program Signing Blue
WWF Indonesia pada tahun 2019 dan sebagai fisheries commodities specialist pada
program ATSEA-2 UNDP Indonesia pada tahun 2020. Saat ini penulis aktif sebagai dosen
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran Bandung. Pada bulan
Maret 2019 penulis diundang sebagai guest lecturer oleh Faculty of Marine Science and
Biotechnology, Guangxi University for Nationalities di Guangxi, Tiongkok. Selain sebagai
dosen, penulis juga aktif sebagai expert pada komisi ahli di Standard Nasional Indonesia
[SNI] bidang perikanan tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Penulis saat ini juga aktif sebagai project collaboration leader antara FPIK UNPAD dan

167
Newcastle University, United Kindom dalam proyek riset berjudul The Indian Ocean Devil
Rays Project sampai dengan tahun 2023 dengan sumber pendanaan hibah dari The
IAPETUS2 Doctoral Training Partnership (Natural Environment Research Council (NERC)
funded) dan Universitas Padjadjaran. Bila ingin berkomunikasi lebih jauh, silahkan
mengirim email ke alexander.khan@unpad.ac.id

168
ii

Anda mungkin juga menyukai