Anda di halaman 1dari 175

Pengantar Pengelolaan

Perikanan Berbasis
Ekosistem/EAFM
TEORI DAN PRAKTIK
Edisi Revisi
Edwarsyah | Yonvitner | Ahmad Muhtadi

Kata Pengantar:
Muhammad Zulficar Mochtar, ST, MSc
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap,
Kementerian Kelautan dan Perikanan,
2018
Pengantar
Pengelolaan
Perikanan Berbasis
Ekosistem/EAFM
TEORI DAN PRAKTIK
Edisi Revisi
Pengantar
Pengelolaan
Perikanan Berbasis
Ekosistem/EAFM
TEORI DAN PRAKTIK
Edisi Revisi

Edwarsyah | Yonvitner | Ahmad Muhtadi

Penerbit IPB Press


Jalan Taman Kencana No. 3,
Kota Bogor - Indonesia

C.01/12.2018
Judul Buku:
Pengantar Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem/EAFM
Teori dan Praktik
Edisi Revisi
Editor:
Dr. Edwarsyah
Dr. Yonvitner
Ahmad Muhtadi, S.Pi., M.Si
Cover Designer:
Nicko YP
Andreas Levi Aladin
Layouter:
Ida
Jumlah Halaman:
163 + 10 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, Desember 2018

PT Penerbit IPB Press


Anggota IKAPI
Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: ipbpress@ymail.com

ISBN: 978-602-440-601-1

Dicetak oleh Percetakan IPB, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2018, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku


tanpa izin tertulis dari penerbit
DAFTAR ISI

Daftar Isi v

Kata Pengantar Direktur Jenderal Perikanan Tangkap,


Kementerian Kelautan dan Perikanan ix

1. Pendahuluan 1
1. Latar Belakang
2. Kaitan Buku ajar dengan Materi Kuliah 4
3. Lingkup dan Sistematika 5

2. Rencana Pengelolaan Perikanan 7


1. Pendahuluan 7
2. Penyajian Materi 8
3. Rangkuman 37

3. Domain Sumber Daya Ikan 41


1. Pendahuluan 41
2. Penyajian Materi 45
3. Rangkuman 54
4. Latihan/Tugas/Eksperimen 55
5. Rujukan 55
6. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 56

v
4. Ekosistem dan Lingkungan Perairan 59
1. Pendahuluan 59
2. Penyajian Materi 45
3. Rangkuman 74
4. Latihan/Tugas/Eksperimen 75
5. Rujukan 75
6. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 77

5. Teknik Penangkapan 79
1. Pendahuluan 79
2. Penyajian Materi 81
3. Rangkuman 92
4. Latihan/Tugas/Eksperimen 93
5. Rujukan 93
6. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 95

6. Sosial-Ekonomi 97
1. Pendahuluan 97
2. Penyajian Materi 98
3. Rangkuman 103
4. Latihan/Tugas/Eksperimen 104
5. Rujukan 104
6. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 105

7. Kelembagaan 107
1. Pendahuluan 107
2. Penyajian Materi 108
3. Rangkuman 116
4. Latihan/Tugas/Eksperimen 117
5. Rujukan 117
6. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 118

vi
8. Penilaian dan Evaluasi Indikator EAFM 119
1. Pendahuluan 119
2. Penyajian Materi 120
3. Rangkuman 139
4. Latihan/Tugas/Eksperimen 139
5. Rujukan 139
6. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 139

141

147

149

153

Lampiran 161

vii
KATA PENGANTAR

P erikanan harus mampu memberikan


kesejahteraan kepada masyarakat dan
bangsa Indonesia. Untuk itu seharusnya
dapat dikelola dengan baik dan benar serta
dengan menerapkan prinsip pengelolaan
perikanan berkelanjutan. Saya berkeyakinan
bahwa, sistem pengelolaan perikanan yang
bertanggung jawab jika dikedepankan akan
memberikan manfaat maksimal. Pengelolaan perikanan berbasis
ekosistem atau yang dikenal dengan ecosystem approach to fisheries
management (EAFM) menjadi salah satu tools dan cocok untuk bangsa
ini untuk menjamin keberlangusngan sumberdaya perikanan Indonesia.
Oleh karena itu, saya mendukung penuh upaya dari berbagai pihak
yang berkomitmen merumuskan pemikiran, melaksanakan aksi, dan
menerapkan pengelolaan perikanan dengan pendekataan dalam praktik
pengelolaan perikanan di Indonesia.

Perumusan pemikiran melalui berbagai karya nyata, termasuk buku


harus terus dilakukan. Saya mengapresiasi upaya yang dilakukan
dengan memasukkan substansi pengelolaan perikanan berbasis
ekosistem ini pada proses pendidikan di Perguruan Tinggi. Buku ini

ix
menjadi penting dan bermanfaat untuk keberlanjutan perikanan di
masa mendatang. Buku Pengantar Pengelolaan Perikanan Berbasis
Ekosistem: Teori dan Praktik Edisi Revisi ini sangat cocok sebagai
salah satu buku referensi bagi mahasiswa terkait pengelolaan perikanan.
Pembelajaran bagi mahasiswa penting sebagai jawaban di masa depan
dalam keberlanjutaan pengelolaaan perikanan di Indonesia.

Akhirul kalam semoga buku ini memberi manfaat bagi pembangunan


perikanan di Indonesia dan penting sebagai bahan bacaan bagi
perguruan tinggi yang mengajarkan materi pengelolaan perikanan.

Jakarta, November 2018

Dirjen Perikanan Tangkap, KKP


M. Zulficar Mochtar, S.T., M.Sc

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki
karakteristik sumberdaya perikanan yang khas di daerah tropis.
Kekhasan tersebut berkaitan dengan kompleksitas ekosistem tropis
(tropical ecosystem complexities) yang menjadi salah satu ciri dari
ekosistem tropis. Kompleksitas ekosistem tropis ini menjadi salah satu
tantangan dan hambatan dalam pengelolaan perikanan di Indonesia.
Gracia and Cochrane (2005) memberikan gambaran model sederhana
dari kompleksitas sumberdaya ikan sehingga membuat pendekatan
terpadu berbasis ekosistem menjadi sangat penting.
Mengacu pada UU No. 45 Tahun 2009 menyebutkan bahwa
pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-
undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah
atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah
disepakati. Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah tercapainya
kesejahtraan masyarakat dan produktivitas sumberdaya hayati yang

1
berkelanjutan. Hal tersebut juga telah diamanatkan dalam Undang-
Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 45 tahun 2009 pasal 6
ayat 1 yang menegaskan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk
tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya
kelestarian sumber daya ikan.
Mengacu pada CCRF (FAO, 1995) menjelaskan fisheries
management merupakan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan. Ada banyak aspek yang diperhatikan dalam keberlanjutan
sumberdaya perikanan diantaranya: informasi dasar biologi dan
ekologi populasi (Efendi 2007) sebagai dasar pendugaan stok ikan
(FAO 1995), kondisi lingkungan, hukum dan perundang-undangan.
Selanjutnya, Charles (2001) dalam paradigmanya tentang Sustainable
Fisheries System, mengemukakan bahwa pembangunan perikanan
yang berkelanjutan harusdapat mengakomodasi 4 aspek utama yang
mencakup dari hulu hingga hilir, yaitu
1) Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability): memelihara
keberlanjutan stok/biomass sumber daya ikan, serta meningkatkan
kapasitas dan kualitas ekosistemnya.
2) Keberlanjutan sosio-ekonomi (socioeconomic sustainability):
memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan para pelaku usaha
perikanan dengan mempertahankan atau mencapai tingkat
kesejahteraan masyarakat.
3) Keberlanjutan komunitas (community sustainability): menjaga
keberlanjutan lingkungan komunitas atau masyarakat perikanan
yang kondusif dan sinergis dengan menegakkan aturan atau
kesepakatan bersama yang tegas dan efektif.
4) Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability): menjaga
keberlanjutan tata kelola yang baik, adil, dan bersih melalui
kelembagaan yang efisien dan efektif guna mengintegrasikan atau
memadukan tiga aspek utama lainnya (keberlanjutan ekologi,
keberlanjutan sosio-ekonomi, dan keberlanjutan masyarakat).

2
Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan
saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiganya, di
mana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan
ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih
parsial belum terintegrasi dalam sebuah batasan ekosistem yang
menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan.
Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan
ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to
fisheries) menjadi sangat penting.
Pada saat yang sama, kebutuhan untuk mengamankan ketahanan
pangan dan keberlanjutan kesejahteraan ekonomi masyarakat nelayan,
terutama di negara berkembang menjadi perhatian banyak pihak dalam
skala global. Dalam pertemuan para pengambil kebijakan pada World
Summit on Sustainable Development tahun 2002 di Johannesburg,
disepakati perlunya koordinasi dan kerjasama untuk melaksanakan
pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (UN 2004).
Dengan menandatangani hasil pertemuan tersebut, Indonesia
turut berkewajiban untuk melaksanakan pengelolaan dengan
pendekatan ekosistem ini dimulai pada tahun 2010. Terkait dengan
hal ini, Direktorat Sumberdaya Ikan – Ditjen Perikanan Tangkap,
Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Program
Kelautan WWF Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Laut
– Institut Pertanian Bogor telah mengadakan Lokakarya Nasional pada
19-21 September 2010 untuk mengidentifikasi indikator pengelolaan
perikanan dengan pendekatan ekosistem yang melibatkan stakeholder
perikanan di tingkat nasional dan daerah. Indikator ini dibangun sebagai
tolak ukur ketercapaian pengelolaan perikanan dengan pendekatan
ekosistem yang mengadopsi Nasional ini kemudian dilanjutkan dengan
pertemuan para ahli yang ditujukan untuk mendefinisikan metode
penilaian tiap indikator yang dilaksanakan pada tanggal 7 – 8 Februari

3
2011. Selanjutanya modul EFM tersebut disempurnakan 22-25 pril
2013.
Setelah indikator dan metode penilaian terdefinisikan dengan
baik, sistem ini kemudian digunakan untuk menilai sampai sejauh
mana kondisi dan status setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan baik
skala nasional (WPP) maupun daerah (teluk, selat, PPK, dll). Hal ini
untuk mencapai tujuan pengelolaan yang diinginkan dalam satu kajian
integratif. Dengan melaksanakan kajian EAFM, diharapkan otoritas
pengelolaan perikanan dan para pihak terkait dengan sumberdaya
perikanan dan kelautan memiliki informasi sampai dimana kondisi
terkini pengelolaan yang ada saat ini dan bersama mencari solusi terbaik
dalam memperbaiki pengelolaan perikanan Indonesia.

B. Kaitan Buku Ajar dengan Materi Kuliah


Buku ajar ini merupakan salah satu dan turunan dari modul yang
di kembangkan oleh Direktorat Sumberdaya Ikan (SDI) Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP), WWF dan PKSPL. Buku ajar ini
dengan maksud untuk memberikan pemahamn kepada mahaiswa terkait
peranan pengelolaan perikanan berbasis EAFM terhadap keberlanjutan
sumberdaya perikanan indonesia.
Buku ajar ini diperuntukkah bagi mahasiswa semester VII yang
mengambil mata kuliah Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Mata
Kuliah Pengelolaan Perikanan dengan Komptensi Umum “Mahasiswa
diharapkan mampu menentukan status dan evaluasi pengelolaan
perikanan di Indonesia. Maka buku ajar ini menyajikan secara bertahap
konsep dan cara penentuan status pengelolaan perikanan di Indonesia
dari bab iii – bab viii. Pada bab ii di sampaikan bagaimana konsep dan
cara penyusunan rencana pengelolaan perikanan sebagai bagian dari
penentuan status dan evaluasi pengelolaan perikanan di Indonesia. Pada
setiap bab akan disajikan teori, konsep serta metode penilaian status

4
pengelolaan perikanan dengan contoh kasus adalah penilaian EAFM
Kabupaten Simeulue.

C. Lingkup dan Sistematika


Secara umum buku ajar ini mengacu pada Modul Penilaian
Indikator Untuk Pengelolaan Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem
(Ecosystem Approach to Fisheries Management) yang berisi 6
domain, yaitu 1) Domain Sumber Daya Ikan, 2) Domain Habitat dan
Lingkungan, 3) Domain Teknik Penangkapan, 4) Domain Sosial, 5)
Domain Ekonomi, dan 6) Domain Kelembagaan.
Pada bab ii disajikan teori dan konsep pembuatan rencana
pengelolaan perikanan (RPP) dengan mengacu pada RPP Tuna
yang sudah mendapat persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan
(SK No..). pada bab iii disajikan teori, konsep dan contoh penilaian
EAFM domain sumberdaya ikan dengan contoh wilayah pengelolaan
perikanan Kabupaten Simeulue. pada bab iii disajikan teori, konsep
dan contoh perhitungan domain sumberdaya ikan dengan contoh
wilayah pengelolaan perikanan Kabupaten Simeulue. pada bab iv
disajikan teori, konsep dan contoh penilaian EAFM domain habitat
dan lingkungan perairan dengan contoh wilayah peneglolaan perikanan
Kabupaten Simeulue. Pada bab v disajikan teori, konsep dan contoh
penilaian EAFM domain teknik penangkapan ikan dengan contoh
wilayah peneglolaan perikanan Kabupaten Simeulue.
Pada bab vi disajikan teori, konsep dan contoh penilaian EAFM
domain sosial-ekonomi dengan contoh wilayah pengelolaan perikanan
Kabupaten Simeulue. pada bab vii disajikan teori, konsep dan contoh
penilaian EAFM domain kelembagaan dengan contoh wilayah
pengelolaan perikanan Kabupaten Simeulue. pada bab viii disajikan
teori, konsep dan evaluasi EAFM dan arah pengelolaan perikanan
selanjutanya, dalam contoh kasus ini adalah wilayah pengelolaan
perikanan Kabupaten Simeulue.

5
BAB II
RENCANA PENGELOLAAN
PERIKANAN

A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab ii ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
II-III) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan membuat Rencana Pengelolaan Perikanan
baik untuk jenis tertentu maupun berdasarkan habitat/
ekosistem (wilayah pengelolaan tertentu).
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati beberapa mata kuliah yang sangat berkaitan
dengan pertemuan (mata kuliah ini). Diantaranya 1)
Ikhtiologi (Semester II), 2) Biologi Perikanan (semester IV),
3) Sumberdaya Perikanan (Semester V), dan 4) Dinamika
Populasi dan Pengkajian Stok Ikan (Semester VI).
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) penting dipelajari
sebagai bagian dari pengelolaan perikanan. Bahwa awal dari
suatu pengelolaan adalah pentingnya sebuah rencana. Pada
bab ini akan menguraikan rencana pengelolaan perikanan
mulai dari awal penentuan status perikanan, perencanaan,

7
pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi dan kontrol.
Keterkaitan dengan bab (materi) berikutnya adalah bahwa
pada bab-bab berikutnya terkait dengan penentuan status dan
evaluasi pengelolaan perikanan dimana pada bab ini adalah
perencanaan pengelolaan perikanan adalah langkah awal
dalam pengelolaan perikanan. Apa yang akan di evaluasi
jika konsep dan model pengelolaan saja tidak dibuat. Jadi
RPP merupakan langkah awal dalam pengelolaan perikanan
dengan pendekatan ekosistem (EAFM).
4. Manfaat atau pentingnya bahan pembelajaran ini
Materi ini penting bagi mahasiswa untuk dapat menganalisa
dan menyusun Rencana Pengelolaan Perikanan baik untuk
perikanan darat maupun perikanan laut.
5. Petunjuk belajar bagi mahasiswa.
Mahasiswa perlu memahami dan mempelajari peraturan
perundangan yang berkaitan dengan RPP yang telah
ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Misalnya
PerMen KP No. 29/Men/2012, Permen KP No. 29/Permen-
Kp/2016; Kep Men KP No. 107/Kepmen-Kp/2015.

B. Penyajian Materi
a) Pendahuluan
(1) A. Latar Belakang,
Rencana Pengelolaan Perikanan, yang selanjutnya disingkat
RPP adalah dokumen resmi yang memuat analisis
situasi perikanan dan rencana strategis, yang merupakan
kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah dengan para pemangku kepentingan lainnya, sebagai
arah dan pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan sumber
daya ikan di bidang penangkapan ikan untuk Perairan laut

8
maupun perairan Darat. Pedoman Penyusunan RPP di bidang
penangkapan ikan disusun dengan tujuan mencapai manfaat
yang optimal, berkelanjutan, dan menjamin kelestarian
sumber daya ikan (Per Men KP 29/2012 dan 2016).

RPP di bidang penangkapan ikan untuk Perairan Darat,


disusun dengan pendekatan:
a. jenis ikan; dan/atau
b. ekosistem sumber daya ikan

Adapun peraturan perundangan-undangan yang menjadi


dasar hukum pengelolaan perikanan di perairan Indonesia
adalah:
1) UUD RI Tahun 1945.
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia
3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia
4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009
5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah
dengan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang pemerintahan daerah
6) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
sebagaimana telah direvisi dengan UU No. 1 Taahun
2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil;
7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan

9
8) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Hayati di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia;
9) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota;
10) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang
Konservasi Sumber Daya Ikan
11) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.14/MEN/2007 tentang Keadaan Kritis yang
Membahayakan atau Dapat Membahayakan Sediaan
Ikan, Spesies Ikan atau Lahan Pembudidayaan;
12) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia;
13) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.49/MEN/2011
14) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber
Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia;
15) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor Per.29/Men/2012 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan Di Bidang
Penangkapan Ikan
16) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 29/Permen-Kp/2016 Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan
Di Bidang Penangkapan Ikan Untuk Perairan Darat

10
“Pada bagian ini (latar belakang) dijelaskan pentingnya di
susun Rencana Pengelolaan Perikanan (RPPP). Ata dapat
dikatakan latar belakang dibuatnya dokumen RPP”.

(2) B. Maksud dan Tujuan,


RPP di WPPNRI dimaksudkan dalam rangka mendukung
kebijakan pengelolaan sumber daya Rajungan di WPPNRI
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang- Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Tujuan RPP di WPPNRI sebagai arah dan pedoman bagi
Pemerintah, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan
dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan dan
lingkungannya di WPPNRI.

(3) C. Visi Pengelolaan Perikanan,


“Apa yang menjadi visi pengelolaan yang disepakati oleh
stakeholder.
Visi pengelolaan perikanan adaalah untuk mewujudkan
pengelolaan perikanan yang berkedaulatan dan berkelanjutan
untuk kesejahteraan masyarakat perikanan Indonesia pada
umumnya dan masyarakat pesisir pada khususnya.

(4) D. Ruang Lingkup dan Wilayah Pengelolaan.


b) Ruang lingkup RPP ini meliputi: status perikanan dan
rencana strategis pengelolaan Rajungan
c) Wilayah Perairan dan Daerah Penangkapan
Mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan Dan
Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.01/Men/2009

11
Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia, saat ini terdapat 11 Wilayah Pengelolaan
Perikanan atau disingkat WPP (Gambar 1), yaitu:

a) WPP-RI Kabupaten Simeulue meliputi perairan


Selat Malaka dan Laut Andaman;
b) WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia
sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda;
c) WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia
sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa
Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian
Barat;
d) WPP-RI 711 meliputi perairan Selat Karimata,
Laut Natuna, dan Laut China Selatan;
e) WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa;
f) WPP-RI 713 meliputi perairan Selat Makassar,
Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali;
g) WPP-RI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan
Laut Banda;
h) WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut
Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk
Berau;
i) WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan
sebelah Utara Pulau Halmahera;
j) WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih
dan Samudera Pasifik;
k) WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut
Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur

12
Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia
(Sumber: Per Men KP No. 18 Tahun 2014)

Sementara mengacu pada PerMen KP No. 02/men/2011 jalur


penangkapan di WPP Ri dibagi menjadi:
a. Jalur Penangkapan Ikan I yang terdiri dari:
o Jalur penangkapan ikan IA, meliputi perairan pantai
sampai dengan 2 (dua) mil laut yang diukur dari
permukaan air laut pada surut terendah.
o Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di
luar 2 (dua) mil laut sampai dengan 4 (empat) mil laut.
b. Jalur Penangkapan Ikan II yang meliputi perairan di luar
jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil
laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah.
c. Jalur Penangkapan Ikan III meliputi ZEEI dan perairan di
luar jalur penangkapan ikan II.

13
b) STATUS PERIKANAN (STOK DAN HABITAT)
Dalam penyusunan RPP perlu disampaikan terkait status
perikanan WPP atau komoditas ikan yang disusun RPPnya
yang memuat:
a) Potensi, Komposisi, Distribusi Dan Tingkat
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
Deskripsi Perikanan
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan
sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan. Selanjutnya Sumber Daya Ikan
adalah potensi semua jenis ikan. Sementara ikan dalam
perikanan (konteks UU/ pengelolaan) adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada di dalam lingkungan perairan.

Jadi dalam hal ini jenis ikan termasuk ikan sejati (fin fish),
seperti: tongkol, mas, nila, kerapu, dll; kerustase (udang-
udangan, kepiting, dan lobster), seperti: udang putih, kepiting
bakau, lobster, rajungan, dll; moluska (keong, kekerangan,
dan cumi-cumi), seperti kerang darah, cumi-cumi, sotong,
dll; rumput laut (sea weed) seperti Gracilaria, Euchema,
dll; lamun (sea grass), seperti, Enhalus, Thalassia, dll;
karang (coral), hard coral maupun soft coral, hutan bakau
(mangrove); mamalia seperti dugong, paus; dan termasuk
reptil laut/ air, seperti penyu, kura-kura dan buaya, dll. Dalam
konteks perikanan, khususnya perikanan laut pada umumnya
di kenal istilah perikanan pelagis kecil, pelagis besar, ikan
karang, ikan demersal, dan ikan-ikan karang/ asosiasi karang.
Ikan pelagis kecil merupakan Kelompok ikan yang hidup
di daerah pelagic (kolom air) permukaan yang masih umum

14
berada pada tropik level kedua (dan interaksi) dengan
struktur tropik pada produsen primer tinggi. Karakteristik
ikan pelagis kecil adalah:
a) Hidup di lapisan permukaan perairan
b) Membentuk kelompok (schooling) dalam jumlah besar
c) Beruaya tapi tidak terlalu jauh
d) Umum bersifat fototaksis positif (senang mencari makan
pada saat intensitas cahaya tinggi)
e) Memiliki tingkat densitas yang tinggi
f) Hidup dekat dengan perairan neritik (perairan yang
dangkal) dan dengan pantai
g) Memiliki kemampun jelajah/pergerakan yang lebih
lambat dari pelagis besar
h) Contoh: kelompok ikan teri, lemuru, layang, kembung,
kurisi, tetengkek, belanak, dll.

Gambar 2. Beberapa jenis ikan pelagis kecil

15
Ikan pelagis besaar merupakan kelompok ikan yang hidup
di kolom yang pada umumnya pada trofik level ketiga atau
atas (puncak tofik level). Adapun karakteristik pelagis besar
adalah:
a) Ukuran relatif besar
b) Hidup di dekat permukaan, tergantung suhu & kedalaman
lapisan termoklin
c) Multi gear
d) Migrasi/ruaya relatif jauh, bahkan ada yang disebut
hight migratory species seperti tuna sirip biru.
e) Epipelagis & oseanis
f) Ikan Pelagis Besar, terdiri dari kelompok Tongkol, Tuna,
Cakalang, dan Marlin.

Gambar 3. Beberapa contoh ikan pelagis besar

Ikan dermersal merupakan ikan-ikan yang hidupnya


cenderung di dasar. Adapun karakteristik ikan demersal
adalah:

16
a) Hidup di dasar atau dekat dasar perairan, dominan pada
dasar lumpur berpasir
b) Memiliki aktifitas yang rendah
c) Gerak ruaya tidak jauh
d) Gerombolan tidak terlalu besar
e) Daya tahan terhadap tekanan penangkapan relatif rendah
f) Contoh ikan demersal adalah: ikan lidah, ikan sebelah,
bawal, pari, dll.

Gambar 4. Beberapa jenis ikan demersal

Adapun ikan karang merupakan ikan-ikan yang hidupnya


berasosiasi dengan terumbu karang maupun lamun dan
sesekali ke daerah mangrove (jika ada). Adapun karakteritik
ikan karang adalah:
a) Jumlah individu relatif sedikit
b) Multi spesies
c) Hidup di perairan karang dan lamun

17
d) Bergerombol
e) Tidak Bermigrasi (trans-location)
f) Sebagian Besar Karnivora
g) Contoh ikan karang adalah: ikan kerapu, ekor kuning,
pisang-pisang, napoleon, kakap, lencam, dll.

Gambar 5. Beberapa jenis ikan karang/asosias karang

18
Gambar 6. Beberapa jenis kekerangan dan krustasea

Data potensi, Komposisi, Distribusi Dan Tingkat Pemanfaatan


Sumberdaya Ikan ini dapat diperoleh dan diolah dari laporan
tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi atau
Kabupaten Kota. Data tersebut juga didaptkan dari log book
yang ada di Tempat Pendaratan Ikan (TPI). Selain itu data
tersebut juga tersedia dari lembaga penelitian terkait seperti
LIPI, Balai Riset Perikanan Laut, Balai Riset Perikanan
Umum atau juga dari laporan/ riset Perguruan tinggi.

Data time series dari loog book di TPI dapat dijadikan tren
penangkapan ikan dan status stok ikan (tiap jenis) dengan
menghitung tangkapan per satuan usaha. Pada bagian ini
juga ditampilkan tren penangkapan, dan ukuran tangkap.
Berikut contoh tabel (Tabel 1) potensi perikanan di WPP 718,
berdasarkan Kep Men KP No. 45/2011.

19
Tabel 1. Kelompok SDI di WPP 718

No Kelompok Sumberdaya Ikan Ikan Potensi (ribu ton/tahun)


1 Ikan Pelagis Besar 50,9
2 Ikan Pelagis Kecil 468,7
3 Ikan Demersal 284,7
4 Udang Penaeid 44,7
5 Ikan Karang Konsumsi 3,1
6 Lobster 0,1
7 Cumi cumi 3,4
8 Total potensi 855,5
Sumber: Kep Men KP No. 45/2011

Tabel 2. Status Perikanan di WPP 718

Sumber: Kep Men KP No. 45/2011

b) Habitat (ekosistem) dan Lingkungan Sumber Daya


Ikan
Pada bagian sub bab ini diuraikan kondisi/ karakteristik
lingkungan perairan, termasuk status pencemaran perairan
pada berbagai WPP. Selain itu diuraikan juga ekosistem
perairan pada masing-masing WPP atau habitat tertentu
sesuai tujuan pembuatan RPP (untuk RPP jenis ikan tertentu).
Data/ laporan tersebut dapat diperoleh dan diolah dari

20
laporan tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi atau
Kabupaten Kota. Selain itu data tersebut juga tersedia dari
lembaga penelitian terkait seperti LIPI, Balai Riset Perikanan
Laut, Balai Riset Perikanan Umum atau juga dari laporan/
riset Perguruan tinggi. Hasil Penilaian Indikator Habitat
dapat dilihat seperti tabel 3.

Tabel 3. Hasil Penilaian Indikator Habitat di WPPNRI

INDIKATOR DATA ISIAN SKOR Kriteria


Kualitas perairan
Status ekosistem
mangrove
Status ekosistem
lamun
Status ekosistem
karang
Habitat khusus
Status produkti-
vitas
Perubahan iklim

c) Teknologi Penangkapan
Pada bagian ini terdiri dari Armada penangkapan ikan
merupakan unit penangkapan ikan yang terdiri dari kapal
penangkapan ikan, alat penangkapan ikan, dan alat bantu
penangkapan ikan. Kapal dan perahu penangkapan ikan
terdiri dari perahu, kapal dengan Motor Tempel, Kapal Motor
< 5 GT, Kapal Motor 5-10 GT, Kapal Motor 10-20 GT, Kapal
Motor 30-60 GT, Kapal Motor 60-100, dan Kapal Motor
> 100 GT. Semakin besar GT nya suatu kapal maka daya
jelajah kapal semakin luas (jauh).

21
Alat penangkapan ikan di WPP-NRI menurut jenisnya terdiri
dari 10 (sepuluh) kelompok, yaitu:

a. jaring lingkar (surrounding nets);


o jaring lingkar bertali kerut (with purse lines/purse
seine); dan
o jaring lingkar tanpa tali kerut (without purse lines/
Lampara).
b. pukat tarik (seine nets);
o pukat cincin dengan satu kapal (one boat operated
purse seines); dan
o pukat cincin dengan dua kapal (two boats operated
purse seines).
c. pukat hela (trawls);
o pukat hela dasar (bottom trawls);
o pukat hela pertengahan (midwater trawls);
o pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls); dan
o pukat dorong.
d. penggaruk (dredges);
o penggaruk berkapal (boat dredges); dan
o penggaruk tanpa kapal (hand dredges).
e. jaring angkat (lift nets);
o anco (portable lift nets);
o jaring angkat berperahu (boat-operated lift nets);
dan
o bagan tancap (shore-operated stationary lift nets).
f. alat yang dijatuhkan (falling gears);
o jala jatuh berkapal (cast nets); dan
o jala tebar (falling gear not specified).
g. jaring insang (gillnets and entangling nets);
o jaring insang tetap (set gillnets (anchored));
o jaring insang hanyut (driftnets);

22
o jaring insang lingkar (encircling gillnets);
o jaring insang berpancang (fixed gillnets (on
stakes));
o jaring insang berlapis (trammel nets) berupa jaring
klitik; dan
o combined gillnets-trammel net.
h. perangkap (traps);
o stationary uncovered pound nets, berupa set net;
o bubu (pots);
o bubu bersayap (fyke nets);
o stow nets;
o barriers, fences, weirs, berupa sero;
o perangkap ikan peloncat (aerial traps);
o muro ami; dan
o seser.
i. pancing (hooks and lines); dan
o handlines and pole-lines/hand operated;
o handlines and pole-lines/mechanized;
o rawai dasar (set longlines);
o rawai hanyut (drifting longlines);
o tonda (trolling lines); dan
o pancing layang-layang.
j. alat penjepit dan melukai (grappling and wounding).
o tombak (harpoons);
o ladung; dan
o panah

Alat Bantu Penangkapan Ikan terdiri dari:


a. rumpon merupakan alat bantu untuk mengumpulkan
ikan dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis
pemikat/atraktor dari benda padat yang berfungsi untuk
memikat ikan agar berkumpul

23
b. lampu merupakan merupakan alat bantu untuk
mengumpulkan ikan dengan menggunakan pemikat/
atraktor berupa lampu atau cahaya yang berfungsi untuk
memikat ikan agar berkumpul. Contoh penyajian alat
tangkap seperti Taabel 4.

Tabel 4. Jumlah Alat Penangkapan Ikan di WPP 718

http://www.montereyfish.com/media/images/desktop/methods/purse_seining.gif
Gambar 7. Beberapa jenis alat tangkap yang diperbolehkan di Indonesia

24
http://images.harianjogja.com/2016/03/Ilustrasi-aneka-alat-penangkap
ikan-Twitter.com-Susi-Pudjiastuti.jpg

Gambar 8. Beberapa jenis alat tangkap yang dilarang di Indonesia

d)
Pada bagian ini menyajikan kondisi sosial-ekonomi
masyarakat nelayan pada WPP atau nelayan penangkap ikan
tertentu sesuai tujuan RPP (jenis tertentu). Dalam hal ini
termasuk kearifan lokal yang ada di WPP tersebut, misalnya
Panglima Laot (Aceh), Sasi (Maluku), Awig-awig (Nusa
Tenggara), Lubuk Larangan (perairan umum sumatera), dll.
Data-data tersebut dapat diperoleh dan diolah dari laporan
tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi atau
Kabupaten Kota. Selain itu data tersebut juga tersedia dari
lembaga penelitian terkait seperti LIPI, Balai Riset Perikanan
Laut, Balai Riset Perikanan Umum atau juga dari laporan/
riset Perguruan tinggi

25
Pada sub ini setidaknya memuat hal-hal berikut:
 Jumlah Nelayan/Rumah Tangga Perikanan (RTP)
Berdasarkan Jenis Kapal Penangkapan Ikan
 Jumlah Nelayan, Hasil Tangkapan dan Nilai Tangkapan
serta Produktivitasnya
 Volume dan Nilai Ekspor Produk Perikanan Indonesia

e) Tata Kelola
Tata kelola merupakan bagian dari pengambilan/ penetapan
kebijakan dalam pengelolaan perikanan. Secara nasional,
kebijakan pengelolaan perikanan ditetapkan oleh Pemerintah
dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan termasuk
oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya. Berdasarkan PerMen Kp 23/PERMEN-
KP/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemeterian
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan mempunyai unit kerja Eselon I yang mempunyai
tugas sebagai berikut:
1) Sekretariat Jenderal (Setjen) mempunyai tugas
menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan tugas,
pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan KKP
2) Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (DJPRL)
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan ruang laut,
pengelolaan konservasi dan keanekaragaman hayati
laut, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil;
3) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT)
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan perikanan
tangkap;

26
4) Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk
Kelautan dan Perikanan (DJPDSPKP) mempunyai
tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang penguatan daya saing dan sistem
logistik produk kelautan dan perikanan serta peningkatan
keberlanjutan usaha kelautan dan perikanan;
5) Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan (DJPSDKP) mempunyai
tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang pengawasan pengelolaan sumber
daya kelautan dan perikanan;
6) Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan
dan Perikanan (Balitbang KP) mempunyai tugas
menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di
bidang kelautan dan perikanan; dan Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan
7) Masyarakat Kelautan dan Perikanan (BPSDMP KP)
mempunyai tugas menyelenggarakan pengembangan
sumber daya manusia dan pemberdayaan masyarakat
kelautan dan perikanan.
8) Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas KAJISKAN)
yang mempunyai tugas memberikan masukan dan/atau
rekomendasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan
melalui penghimpunan dan penelaahan hasil penelitian/
pengkajian mengenai sumber daya ikan dari berbagai
sumber, termasuk bukti ilmiah yang tersedia (best
available scientific evidence), dalam penetapan estimasi
potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan,
sebagai bahan kebijakan dalam pengelolaan perikanan
yang bertanggungjawab (responsible fisheries) di
WPPNRI.

27
Selain itu, terdapat kementerian/lembaga terkait yang dapat
menentukan efektivitas pencapaian tujuan pengelolaan
perikanan, antara lain:
1. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman;
2. Kementerian Perhubungan,
3. Kementerian Perdagangan;
4. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;
5. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah;
6. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
7. Kementerian Luar Negeri;
8. Badan Keamanan Laut;
9. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
10. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut; dan
11. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

f) Pemangku Kepentingan
RPP memuat penataan kelembagaan (institutional
arrangement), dengan maksud agar RPP dapat dijalankan
dengan sebaik-baiknya. Prinsip yang dianut dalam penataan
kelembagaan yaitu:
1) Kejelasan kewenangan wilayah pengelolaan;
2) keterlibatan pelaku (stakeholders);
3) struktur yang efisien dengan jenjang pengawasan yang
efektif;
4) adanya kelengkapan perangkat yang mengatur sistem;
5) adopsi tata kelola yang dilakukan secara profesional,
transparan, dapat dipertanggungjawabkan dan adil;
6) perwujudan sistem yang mampu mengakomodasikan
dan memfasilitasi norma dan lembaga setempat; dan
7) pengelolaan dilakukan secara legal dan taat hukum

28
Unsur pembentuk struktur kelembagaan pengelolaan
WPPNRI terdiri atas beberapa unsur, yang merupakan
pelaku (stakeholder) perikanan, yaitu meliputi kelompok
(1) pengusaha atau industri (bussiness), (2) pemerintah
(goverment), (3) akademisi/peneliti (academic), (4) pemodal
(financing), dan (5) masyarakat (community).

Fungsi Kelembagaan pengelolaan Perikanan WPPNRI


adalah:
a. Unit Pelaksana Pengelolaan Perikanan (Fisheries
Management Implementation Unit/FMIU)
Mandat diberikan oleh Pejabat Terkkait. Secara nasional
mandat diberikan oleh Direktur Jenderal Perikanan
Tangkap sebagai Pejabat yang memiliki otoritas untuk
melakukan pengelolaan perikanan nasional. Pemberian
mandat ini dilakukan seijin Menteri Kelautan dan
Perikanan RI. Unit Pengelolaan Perikanan ini bekerja
untuk menyusun program dan kegiatan kerja, pengusulan
anggaran, pengelolaan kegiatan, pemantauan dan
evaluasi, penyelesaian permasalahan, dan penyampaian
informasi terkait perikanan.
b. Komite Teknis (Technical Committee)
Komite Teknis memiliki fungsi utama untuk melakukan
evaluasi, mengorganisir isu-isu atau permasalahan, dan
membuat laporan tahunan perikanan. Komisi Teknis
diharuskan untuk dapat menghasilkan rekomendasi riset
dan data yang diperlukan bagi penelitian dan evaluasi
alternatif-alternatif kebijakan pengelolaan perikanan
c. Komite Ilmiah (Scientific Committee)
Komite Ilmiah memiliki fungsi utama untuk
menindaklanjuti rekomendasi riset dan data yang
diperlukan bagi penelitian dan evaluasi alternatif-

29
alternatif kebijakan pengelolaan perikanan yang
diberikan oleh Komisi Teknis
d. Komite Kepatuhan (Compliance Committee)
Komite Kepatuhan berperan untuk melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan tindakan manajemen
yang telah direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam
RPP. Komite Kepatuhan akan berkoordinasi dengan
UPT Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan
e. Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan
Sumberdaya Ikan (FKPPS)
FKPPS merupakan forum komunikasi dan konsultasi
dalam rangka pengelolaan perikanan
f. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan
(Komnas Kajiskan)
Komnas Kajiskan berperan untuk memberikan masukan
dan/atau rekomendasi melalui penghimpunan dan
penelaahan hasil penelitian/pengkajian mengenai
sumber daya ikan dari berbagai sumber termasuk
bukti ilmiah yang tersedia (best scientific evidence
available), dalam penetapan potensi dan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan sebagai bahan kebijakan
dalam pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab
(responsible fisheries)

c) BAB III RENCANA STRATEGIS PENGELOLAAN


(1). Isu Pengelolaan
Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan
pengelolaan perikanan, maka perlu dilakukan inventarisasi
berbagai isu yang terkait dengan (1) sumber daya ikan dan
lingkungan; (2) sosial ekonomi; dan (3) tata kelola.

30
Selanjutnya isu pokok dan permasalahn tersebut perlu segera
ditindaklanjuti
dengan upaya pemecahannya. Contoh Isu pengelolaan
perikanan di WPPNRI 718 (Tabel 5).

Tabel 5. Isu Pengelolaan Perikanan di WPP 718


ISU
A SUMBERDAYA IKAN DAN LINGKUNGAN
1 Degradasi stok sumberdaya udang dan ikan demersal
2 Keberlangsungan usaha penangkapan udang dan ikan demersal
3 Tingkat pemanfaatan udang diduga fully exploited
4 Tingkat pemanfaatan ikan demersal diduga over-exploited
5 Catch per Unit Effort (CPUE) cenderung menurun setiap tahun
B SOSIAL EKONOMI
1 Awak kapal berukuran 30 GT keatas didominasi oleh tenaga
kerja/ABK asing
2 Akurasi data armada penangkapan ikan (SIPI) yang diterbitkan
Provinsi, Kabupaten/Kota, dan bukti pencatatan kapal perikanan be-
rukuran sampai dengan 5 GT yang beroperasi di WPPNRI 718.
3 Akurasi data jumlah nelayan Indonesia yang beroperasi di WPPNRI
718 yang menangkap udang dan ikan demersal
4 Kemiskinan nelayan
5 Partisipasi pemangku kepentingan
C TATA KELOLA
1 Illegal fishing: penangkapan ikan tanpa izin
2 Unreported fishing: transhipment di laut, pendaratan ikan diluar
pelabuhan perikanan, dugaan pengangkutan ikan dari fishing ground
langsung ke luar negeri
3 Lemahnya penerapan peraturan perundang-undangan dan penegakan
hukum
4 Belum adanya kebijakan pembatasan jumlah kapal dan jumlah alat
tangkap di tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
5 Pengumpulan data hasil tangkapan/perikanan
Kep Men KP No. 54/2014

31
(2). Tujuan dan Sasaran
Tujuan pengelolaan perikanan ditetapkan dan diarahkan
untuk memecahkan isu yang telah teridentifikasi, selanjutnya
sasaran diarahkan untuk mewujudkan tujuan yang akan
dicapai. Penetapan sasaran dilakukan dengan pendekatan
SMART yakni specific (rinci), measurable (dapat diukur),
agreed (disepakati bersama), realistic (realistis), dan time
dependent (pertimbangan waktu).

Tujuan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem


terdiri dari 3 komponen utama, yaitu:
i. Sumberdaya Ikan dan habitat; Tujuan 1“Mewujudkan
pengelolaan sumberdaya ikan dan habitatnya secara
berkelanjutan”. Untuk mewujudkan tujuan 1 tersebut
diatas, ditentukan sasaran yang harus dicapai sebagai
berikut (Contoh..):
 Tercapainya rasionalisasi jumlah hari penangkapan
udang dan ikan demersal dengan kondisi status
stok dalam 3 tahun;
 Terjaganya keberlangsungan stok udang pemijah
(spawner) sekitar 20% dari estimasi hasil
tangkapan bulan Februari setiap tahun;
 Meningkatnya kepatuhan pemakaian Bycatch
Reduction Device (BRD) di perikanan udang
sebanyak 25% dalam 3 tahun
 Dll (sesuai kesepakatan)

ii. Sosial dan ekonomi; Tujuan 2 : “Meningkatnya


manfaat ekonomi dari perikanan berkelanjutan
untuk menjamin kesempatan kerja dan pengurangan
kemiskinan”. Untuk mewujudkan tujuan 2 tersebut

32
diatas, ditentukan sasaran yang harus dicapai sebagai
berikut:
 Menurunnya jumlah awak kapal warga negara
asing pada kapal pukat ikan berukuran 30 GT ke
atas menjadi 1.000 orang (hanya Nakhoda dan
KKM) dalam kurun waktu 2 (dua) tahun;
 Revalidasi 100% data jumlah armada penangkapan
udang dan ikan demersal, data hasil tangkapan,
data jumlah nelayan dan pendapatannya untuk
pelaksanaan pengelolaan perikanan yang lebih
baik dalam kurun waktu 2 tahun

iii. Tata kelola; Tujuan 3: “Meningkatnya partisipasi


aktif dan kepatuhan pemangku kepentingan dalam
rangka memberantas kegiatan IUU Fishing”. Untuk
mewujudkan tujuan 3 tersebut di atas, ditentukan
sasaran yang harus dicapai sebagai berikut (Contoh.):
 sebanyak 60% kapal penangkap ikan mematuhi
ketentuan peraturan perundangan-undangan
terkait yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun;
 sebanyak 70% nelayan melakukan pelaporan data
kapal dan hasil tangkapan selama 3 (tiga) tahun;
dan
 sebanyak 30% nelayan berpartisipasi aktif dalam
pengelolaan perikanan lemuru yang berkelanjutan
dalam jangka waktu 4 (empat) tahun

33
(3). Indikator dan Tolok Ukur
Untuk memastikan keberhasilan pencapaian sasaran di atas,
ditetapkan indikator dan Tolok Ukur untuk setiap sasaran
yang ingin dicapai. Contoh Rencana Indikator dan Tolok
Ukur (WPP718).

Tabel 6. Rencana Indikator dan Tolok Ukur WPP 718


No Sasaran Indikator Status awal
(Tolok Ukur)
1 Tercapainya rasion- Upaya penangkapan Jumlah hari operasi
alisasi jumlah hari tidak
penangkapan udang terbatas
dan ikan demersal
dengan kondisi status
stok dalam 3 tahun.

2 Terjaganya keber- Hasil tangkapan Hasil tangkapan


langsungan stok udang pada bulan udang sekitar 381 ton
udang pemijah Februari pada
(spawner) sekitar bulan Februari setiap
20% dari estimasi tahun
hasil tangkapan bulan
Februari setiap tahun.
3 Dst....
Kep Men KP No. 54/2014

(4). Rencana Aksi Pengelolaan


Rencana aksi pengelolaan ikan lemuru disusun dengan
maksud untuk mencapai sasaran yang ditentukan dalam
rangka mewujudkan tujuan pengelolaan perikanan. Rencana
aksi ditetapkan dengan pendekatan who (siapa yang akan
melakukan kegiatan), when (waktu pelaksanaan kegiatan),
where (tempat pelaksanaan kegiatan), dan how (cara
melakukan kegiatan).

34
“Rencaana Aksi Pengelolaan di susun sesuai tujuan dan
sasaran”. Contoh Rencana Aksi Pengelolaan (WPP718).

Tabel 7. Rencana Aksi Pengelolaan (WPP718)


No Sasaran Rencana Aksi Penanggung Waktu
Jawab Pelaksanaan

1 Tercapainya Melakukan kajian Balitbang KP 2015


rasionalisasi jumlah hari operasi
jumlah hari penangkapan dan
penangkapan jumlah armada
udang pukat udang, pukat
dan ikan ikan dan pancing
demersal rawai dasar
denga Menetapkan jumlah Dirjen PT 2016
kondisi status hari operasi dan
sto dalam 3 jumlah armada
tahun. optimal untuk
armada pukat
udang, pukat ikan
dan pancing rawai
dasar.
Dst....

Kep Men KP No. 54/2014

c) BAB IV PERIODE PENGELOLAAN, EVALUASI,


DAN REVIU
1. Periode Pengelolaan
Guna memperoleh hasil yang optimum, maka periode
pengelolaan untuk melaksanakan rencana aksi ditetapkan
selama 5 (lima) tahun terhitung sejak ditetapkan

2. Evaluasi
RPP dilakukan Evaluasi untuk mengukur keberhasilan
pelaksanaan RPP yang terkait dengan:

35
 input yang dibutuhkan terkait dana, SDM, fasilitas dan
kelembagaan untuk melaksanakan rencana aksi;
 pencapain sasaran;
 pelaksanaan rencana aksi yang telah ditetapkan; dan
 perlu tidaknya dilakukan perubahan rencana aksi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Kegiatan evaluasi dikoordinasikan oleh Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap dengan pendekatan partisipatif semua
unsur pemangku kepentingan

3. Reviu
RPP ditinjau ulang (reviu) dilakukan setiap 5 (lima) tahun
dengan menggunakan indikator pengelolaan perikanan
dengan pendekatan ekosistem yang meliputi:
1. sumber daya ikan;
2. habitat dan ekosistem perairan;
3. teknik penangkapan;
4. ekonomi;
5. sosial; dan
6. kelembagaan.

Pelaksanaan tinjau ulang (reviu) dilakukan berdasarkan:


1. perkembangan perikanan rajungan secara global;
2. informasi ilmiah terkini;
3. perubahan kebijakan nasional dan perubahan peraturan
perundang-undangan;
4. perubahan tindakan pengelolaan (rencana aksi);
5. hasil yang dicapai serta permasalahan yang dihadapi;
serta
6. faktor lain yang mempengaruhi kegiatan penangkapan
rajungan.
Kegiatan reviu dikoordinir oleh Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap dengan pendekatan partisipatif semua
unsur pemangku kepentingan.

d) BAB V PENUTUP
RPP merupakan dasar pelaksanaan pengelolaan ikan.
Pemerintah, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan
mempunyai kewajiban melaksanakan rencana aksi dalam
RPP secara konsisten dan berkelanjutan

C. Rangkuman
Dokumen RPP memuat hal-hal berikut:
 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang,
B. Maksud dan Tujuan,
C. Visi Pengelolaan Perikanan,
D. Ruang Lingkup dan Wilayah Pengelolaan.
 BAB II STATUS PERIKANAN
A. Potensi, Komposisi, Distribusi, dan Tingkat Pemanfaatan
Sumber Daya Ikan
B. Habitat (ekosistem) dan Lingkungan Sumber Daya Ikan
C. Teknologi Penangkapan
D. Sosial dan Ekonomi
E. Tata Kelola
F. Pemangku Kepentingan
 BAB III RENCANA STRATEGIS PENGELOLAAN
A. Isu Pengelolaan
B. Tujuan dan Sasaran
C. Indikator dan Tolok Ukur
D. Rencana Aksi Pengelolaan

37
 BAB IV PERIODE PENGELOLAAN, EVALUASI, DAN
REVIU
A. Periode Pengelolaan
B. Evaluasi
C. Reviu
 BAB V PENUTUP
D. LATIHAN/TUGAS/EKSPERIMEN
1. Tugas individu: buatlah RPP jenis ikan yang ada di
wilayah anda (sesuaikan dengan data yang ada)
2. Tugas kelompok : buatkah RPP berdasarkan WPP atau
perairan umum tertentu (misal danau) yang ada di
wilyah anda
E. RUJUKAN
1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia.
2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.49/MEN/2011.
3) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber
Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia.
4) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor Per.29/Men/2012 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan Di Bidang
Penangkapan Ikan.
5) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 18/Permen-Kp/2014 Tentang Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

38
6) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor Per.02/Men/2015 Tentang Pelarangan
Penggunaan alat penangkapan ikan pukat hewla (Trawls)
dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia
7) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 29/Permen-Kp/2016 Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan
Di Bidang Penangkapan Ikan Untuk Perairan Darat.
F. BAHAN BACAAN YANG DIANJURKAN
(1) Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 54/Kepmen-Kp/2014 Tentang
Rencana Pengelolaan Perikanan Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia 718
(2) Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 68/Kepmen-Kp/2016 Tentang
Rencana Pengelolaan Perikanan Ikan Lemuru
(3) Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 70/Kepmen-Kp/2016 Tentang
Rencana Pengelolaan Perikanan Lobster

39
BAB III
DOMAIN
SUMBER DAYA IKAN

A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab iii ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
IV-V) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan mengevaluasi performa EAFM pada
Domain Sumber Daya Ikan.
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati beberapa mata kuliah yang sangat berkaitan
dengan pertemuan (mata kuliah ini). Diantaranya 1)
Ikhtiologi (Semester II), 2) Biologi Perikanan (semester
IV), 3) Sumberdaya Perikanan (Semester V), 4) konservasi
sumberdaya hayati perairan (Semester IV), dan 5) Dinamika
Populasi dan Pengkajian Stok Ikan (Semester VI).
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Sumberdaya ikan dan karang di wilayah-wilayah pengelolaan
perikanan Indonesia saat ini telah berada pada kondisi kritis.
Berdasarkan hasil kajian terbaru dari Komisi Nasional
Pengkajian Sumberdaya Ikan, hampir semua wilayah
pengelolaan perikanan di Indonesia mengalami kondisi

41
tereksploitasi secara penuh (fully exploited) dan tereksplotasi
secara berlebihan (over exploited atau over fishing). Kondisi
ini juga diperparah dengan maraknya praktek penangkapan
ikan secara ilegal (illegal fishing) di beberapa wilayah
perairan laut Indonesia, seperti Selat Malaka, Laut China
Selatan, Laut Sulawesi, dan Laut Arafura. Begitu pun dengan
terumbu karang di berbagai wilayah di Indonesia. Dari total
6800 km2 luas terumbu karang di Indonesia, sekitar 15% -
70% berada pada kondisi rusak, sisanya berada pada kondisi
sedang, dan baik (Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem
dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014.

Dalam menentukan kebijakan bagi pengelolaan perikanan


pada masing-masing wilayah pengelolaan perikanan,
diperlukan beberapa pengkajian terkait dengan kondisi
biologi sumberdaya ikan, tropic level, trend penangkapan dan
kondisi lingkungan. Adapun pengkajian terkait dengan biologi
sumberdaya ikan antara lain dapat melalui Length Frequency
Analysis, estimasi selektivitas alat tangkap dan analisis
tingkat kematangan gonad (TKG). Untuk mengetahui kondisi
biologis ikan menggunakan Length Frequency Analysis,
dibutuhkan data panjang ikan maksimum, minimum, dan
panjang rata-rata dan simpangan baku. Pendekatan estimasi
alat tangkap (dalam hal ini adalah jaring) membutuhkan data
Lm (Length at first maturity = panjang ikan saat pertama kali
matang gonad), Lc (Length at captured = panjang ikan pada
saat tertangkap), dan ukuran mata jaring, dengan asumsi
d50%, yaitu tinggi ikan (dimana 50% tubuhnya tertahan di
mata jaring) harus proporsional dengan ukuran mata jaring.
Semakin kecil ukuran mata jaring, maka jaring tersebut
tidak selektif karena semua ukuran ikan bisa terperangkap di
dalamnya. Sebaiknya, ukuran mata jaring harus disesuaikan

42
dengan ukuran ikan saat pertama kali matang gonad, agar
ikan-ikan tersebut diberi kesempatan untuk memijah sehingga
terjadi proses rekruitmen. Analisis tingkat kematangan gonad
(TKG) dilakukan dengan melihat perubahan yang terjadi
pada gonad ikan, bobot tubuh ikan dan panjang ikan. Kriteria
tingkat kematangan gonad masingmasing ikan berbeda-beda
(Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan,
2011).

Pengkajian terkait tropic level dilakukan melalui analisis


komposisi spesies yang menjadi target penangkapan dan
non target (by catch). Hal ini juga terkait dengan kondisi
habitat/lingkungan. Bila perairan tidak tercemar dan terumbu
karang dalam kondisi baik, maka ikan akan berlimpah.
Trend penangkapan perlu diketahui untuk menentukan
status pemanfaatan perikanan di suatu wilayah. Dalam hal
ini, diperlukan data produksi perikanan dan upaya yang
dikeluarkan (CPUE). Data CPUE (catch per unit effort) yang
tersedia secara akurat dan berkala dapat digunakan untuk
menduga kondisi perikanan disuatu wilayah apakah masih
under exploited, fully exploited, atau sudah over exploited
(Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan,
2011; Adrianto et al. 2014).

Materi Domain Sumber Daya Ikan merupakan salah satu


domain dalam menganalisis dan mengevaluasi performa
pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem
(EAFM). EAFM disusun dari 6 domain, yaitu 1) Domain
Sumber Daya Ikan, 2) Domain Habitat dan Lingkungan, 3)
Domain Teknik Penangkapan, 4) Domain Sosial, 5) Domain
Ekonomi, dan 6) Domain. Keenam domain tersebut saling
terkait (conectivity). Penilaian performa EAFM merupakan

43
agregat dari keenam domain tersebut. EAFM juga berkaitan
dengan RPP dimana RPP dapat dievaluasi dengan EAFM
atau EAFM merupakan langkah dalam penyusunan RPP.
Sehingga dalam hal ini EAFM dan RPP saling berkaitan
(Adrianto et al. 2014).

Gambar 7. Keterkaitan Domain dalam EAFM

4. Manfaat atau pentingnya bahan pembelajaran ini


Materi ini penting bagi mahasiswa untuk dapat menganalisa
dan mengevaluasi performa pengelolaan perikanan (EAFM)
pada domain Sumber Daya Ikan.
5. Petunjuk belajar bagi mahasiswa.
Mahasiswa perlu memahami dan mempelajari Modul EAFM
yang dikeluarkan oleh Direktorat Sumber Daya, Kementerian
Kelautan dan Perikanan tahun 2014 kerja sama dengan
IkanWWF Indonesia dan PKSPL IPB Bogor. Mahasiswa
juga perlu kembali mempelajari materi terdahulu berkaitan
dengan dinamika populasi dan pengkajian stok ikan.

44
B. Penyajian Materi
1. CPUE Baku
Defenisi
Analisis tren CPUE sangat penting dalam menganalisis performa
EAFM. Karena sesungguhnya CPUE itu adalah berkaitan
langsusng dengan pemanfaatan/ pengelolaan sumber daya ikan.
CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan
(Catch per unit effort, tanpa satuan). Hasil tangkapan dalam
satuan ton, sedangkan upaya penangkapan adalah jumlah alat
tangkap atau jumlah trip penangkapan, atau dapat juga waktu
penangkapan. Upaya penangkapan harus distandarisasi sehingga
bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan (Laporan
Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto
et al. 2014).

Metode pengumpulan data


Data CPUE merupakan data time series dengan minimal 3-5 tahun,
yang diperoleh dari Logbook di Tempat Pendaratan Ikan (TPI).

Kriteria dan perhitungan


CPUE pada domain SDI memiliki bobot 40 (%) dengan nilai
densitas 22. Densitas merupakan jumlah parameter lain yang
memiliki hubungan logis dengan CPUE (Lihat gambar 7).

45
2. Ukuran ikan
Defenisi
Ukuran ikan dalam penilaian performa EAFM adalah dimensi
panjang. Hal ini dikarenakan panjang erat kaitannya dengan
dinamika populasi ikan. Ukuran panjang dapat menentukan
tingkat/ model pertumbuhan, ukuran pertama kali matang gonad.
Ukuran panjang juga dapat menduga keberadaan status stok
sumberdaya ikan. Ukuran panjang yang semakin kecil “menduga”
terjadinya penurunan stok di alam (Laporan Akhir Pendekatan
Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014).

Metode pengumpulan data


Ukuran panjang dalam penilaian performa EAFM adalah panjang
total dan panjang standar (ikan), panjang dan lebar karapas
(krustasea), dan diameter dan tinggi cangkang (kekerangan).

Gambar 8. Cara pengukuran ukuraan ikan a) fin fish, b) krustasea,


c) moluskaa

46
Data ukuran ukuran panjang dapat dilakukan secara langsung
dengan melakukan pengukuran di lapangan (TPI, kapal nelayan)
sesuai aturan diatas. Pengukuran dilakukan secara berulang-ulang
paling tidak dalam 2-3 tahun terakhir. Dapat juga digunakan data
hasil penelitian Lembaga Penelitian atau Perguruan Tinggi. Jika
data-data tersebut tidak tersedia dapat juga dilakukan dengan
wawancara mendalam terhadap nelayan yang telah berpengalaman
paling tidak dalam 10 tahun (opsi terakhir) pada saat sekarang
(saat evaluasi EAFM) dengan tahun-tahun sebelumnya (5
tahun terakhir) (Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam
Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014).

Kriteria dan Perhitungan


Ukuran ikan pada domain SDI memiliki bobot 20 (%) dengan
nilai densitas 20. Densitas merupakan jumlah parameter lain yang
memiliki hubungan logis dengan ukuran ikan (Lihat gambar 7).

3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap


Defenisi
Ikan yuwana (juvenile) merupakan kelompok ikan yang belum
mencapai dewasa (maturity). Kelompok ini penting dalam
penegelolaan perikanan sebagai calon-calon ikan baru yang
akan ditangkap. Penangkapan ikan pada fase ini sangat fatal
karena belum mencapai dewasa sehingga belum sempat untuk
melakukan pemijahan. Untuk itu, persentase ikan yang ditangkap
sebelum mencapai umur dewasa (maturity) masuk dalam kategori

47
parameter EAFM dalam domain SDI (Laporan Akhir Pendekatan
Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014).

Metode pengumpulan data


Untuk mengetahui ukuran proporsi ikan-ikan yuwana yang
tertangkap dapat dilakukan survei langsung di TPI (melayan)
dengan melihat proporsi ikan-ikan kecil (kelompok yuwana)
dengan ikan besar (dewasa) per masing-masing jenis. Untuk
itu, sebelum survei hendaknya enumerator harus lebih dahulu
mengetahui ukuran-ukuran ikan yang sudah mencapai dewasa
dengan mengetahui ukuran ikan pertama kali matang gonad (Lm=
leng maturity). Ukuran Lm dapat diketahui di Fishbase atau hasil-
hasil penelitian terkait reproduksi ikan. Wawancara mendalam
dengan nelayan (responden) yang berpengalaman dalam perikanan
terkait selama minimal 10 tahun juga dapat dilakukan, tentunya
dengan menguraikan secara rinci ukuran-ukuran yang tertangkap
antara yang yuwana dan dewasa pada saat sekarang (saat evaluasi
EAFM) dengan tahun-tahun sebelumnya (5 tahun terakhir).

Kriteria dan perhitungan


Proporsi Ikan yuwana pada domain SDI memiliki bobot 15 (%)
dengan nilai densitas 17. Densitas merupakan jumlah parameter
lain yang memiliki hubungan logis dengan ukuran ikan yuwana
(Lihat gambar 7).

48
4. Komposisi spesies
Defenisi
Komposisi spesies yang dimaksud disini adalah proposi ikan
tangkapan utama (ikan target/ discard) dengan ikan tangkapan
sampingan (by catch). Pada kondisi normal (perikanan yang
baik) komposisi/ proporsi ikan-ikan tangkapan utama akan lebih
banyak daripada ikan tangkapan sampingan. Demikian sebaliknya
perikanan yang sudah menurun bisa jadi ikan-ikan tangkapan
sampingan akan lebih banyak dibanding ikan-ikan tangkapan
utama (Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan,
2011; Adrianto et al. 2014).

Metode pengumpulan data


Untuk mengetahui proporsi ikan-ikan tangkapan utama dan
sampingan dapat dilakukan survei langsung di TPI (melayan)
dengan melihat proporsi ikan-ikan target dengan ikan non target
(dewasa) per masing-masing jenis. Wawancara mendalam dengan
nelayan (responden) yang berpengalaman dalam perikanan terkait
selama minimal 10 tahun juga dapat dilakukan, tentunya dengan
menguraikan secara rinci ukuran-ukuran yang tertangkap antara
ikan target dan non target pada saat sekarang (saat evaluasi EAFM)
dengan tahun-tahun sebelumnya (5 tahun terakhir).

Kriteria dan perhitungan


Proporsi Ikan yuwana pada domain SDI memiliki bobot 15 (%)
dengan nilai densitas 17. Densitas merupakan jumlah parameter
lain yang memiliki hubungan logis dengan ukuran ikan yuwana
(Lihat gambar 7).

49
5. Spesies ETP
Defenisi
Populasi spesies ETP atau Endangered species, Threatened
species, and Protected species sesuai dengan kriteria CITES dan
atau UU/ peraturan perlindungan hewan langka. Beberapa nama
jenis ikan yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor
7 tahun 1999.

Tabel 8. Daftar jenis ikan yang dilindungi


No Nama ikan Nama ilmiah
Fisces
1 Homaloptera gymnogaster Selusur Maninjau
2 Latimeria chalumnae Ikan raja laut
3 Notopterus spp. Belida Jawa, Lopis Jawa
(semua jenis dari genus Notopterus)
4 Pritis spp. Pari Sentani, Hiu Sentani
(semua jenis dari genus Pritis)
5 Puntius microps Wader goa
6 Scleropages formasus Peyang malaya, Tangkelasa
7 Scleropages jardini Arowana Irian, Peyang Irian,
Kaloso
Molusca
1 Birgus latro Ketam kelapa
2 Cassis cornuta Kepala kambing
3 Charonia tritonis Triton terompet

50
No Nama ikan Nama ilmiah
4 Hippopus hippopus Kima tapak kuda, Kima kuku
beruang
5 Hippopus porcellanus Kima Cina
6 Nautilus popillius Nautilus berongga
7 Tachipleus gigas Ketam tapak kuda
8 Tridacna crocea Kima kunia, Lubang
9 Tridacna derasa Kima selatan
10 Tridacna gigas Kima raksasa
11 Tridacna maxima Kima kecil
12 Tridacna squamosa Kima sisik, Kima seruling
13 Trochus niloticus Troka, Susur bundar
14 Turbo marmoratus Batu laga, Siput hijau
Reptil
Seluruh jenis penyu (6 jensi)
Mamalia
1 Balaenoptera musculus Paus Biru
2 Balaenoptera physalus  Paus Bersirip
3 Megaptera novaeangliae Paus Bongkok
4 Dugong dugon Duyung
5 Orcaella brevirostris Pesut
6 semua jenis Paus dari famili Cetacea (catacea);
7 semua jenis Lumba-lumba air laut dari famili Dolphinidae (Dolphini-
dae);
8 semua jenis Lumba-lumba air laut  dari famili Ziphiidae (Ziphiidae)
PP No. 7/1999

Pengumpulan data
Untuk mengetahui jenis-jenis ETP yang tertangkap dapat dilakukan
survei langsung di TPI (melayan) dengan dengan melihat apakaha
ada jenis ETP yang tertangkap. Wawancara mendalam dengan
nelayan (responden) yang berpengalaman dalam perikanan terkait
selama minimal 10 tahun juga dapat dilakukan, tentunya dengan
menguraikan secara ikan-ikan ETP yang tertangkap pada saat

51
sekarang (saat evaluasi EAFM) dengan tahun-tahun sebelumnya
(5 tahun terakhir).

Kriteria dan perhitungan


Populasi ETP pada domain SDI memiliki bobot 5 (%) dengan
nilai densitas 17. Densitas merupakan jumlah parameter lain yang
memiliki hubungan logis dengan populasi ETP (Lihat gambar 7).

6. “Range Collapse” sumberdaya ikan


Defenisi
“Range Collapse” sumberdaya ikan merupakan SDI yang
mengalami tekanan penangkapan akan “menyusut” biomassa-nya
secara spasial sehingga semakin sulit atau semakin jauh untuk
ditemukan/dicari (Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam
Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014).

Metode pengumpulan data


Data ini dapat diperoleh dengan pelaporan secara detail dan
jujur terkait daerah penangkapan, apakah wilayah penangkapan
semakin jauh, tetap atau semakin dekat. Kondisi perikanan
yang baik yaitu daerah tangkapan yang tetap atau semkain baik.
Selain memperkirakan jarak penagkapan juga diukur waktu atau
kemudahan dalam mendapatkan hasil tangkapan. Data ini juga
dapat diperoleh dengan wawancara medalam terhadap responden
(nelayan) yang berpengalaman minimal 10 tahun dengan
pertanyaan utama apakah jarak dan waktu penangkapan semakin
jauh/dekat dan atau mudah sulit.

52
Kriteria dan perhitungan
“Range Collapse” sumberdaya ikan pada domain SDI memiliki
bobot 8 (%) dengan nilai densitas 18. Densitas merupakan jumlah
parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan populasi
ETP (Lihat gambar 7).

7. Densitas/Biomassa untuk ikan karang & invertebrata


Defenisi
Pada parameter ke-7 ini adalah dengan mengukur biomas ikan
karang dan invertebarata. Biomass ikan karang biasanya dalam
jumlah individu per satuan luas/ volume atau Biomass persatuan
luas/ volume. Sementara invertebrata biasanya diukur dlam
densitas yaitu individu/satuan luas. Metode pengukuran dilakukan
dengan metode akustik dan atau Underwater Visual Census (UVC)
(Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011;
Adrianto et al. 2014; Rangkuti et al. 2017).

Metode pengumpulan data


Data-data ini diperoleh dari hasil kajian/ penelitian oleh dinas
terkait (Dinas Kelautan dan Perikanan), lembaga penelitian,

53
perguruan tinggi, maupun LSM/ organisasi yang punya orientasi
pada perbaikan ekosistem terumbu karang.

Kriteria dan perhitungan


Densitas/Biomassa untuk ikan karang & invertebrata pada domain
SDI memiliki bobot 2 (%) dengan nilai densitas 17. Densitas
merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis
dengan densitas/Biomassa untuk ikan karang & invertebrata
(Lihat gambar 7).

C. Rangkuman
Domain SDI terdiri dari 7 parameter yaitu:
1) CPUE,
2) Ukuran ikan,
3) Komposisi ikan yuwana yang tertangkap,
4) kompisis spesies taget dan non target,
5) populasi ETP yang tertangkap,
6) “range collaps” SDI,
7) densitas/biomass ikan karang dan invertebrata.

Masing-masing parameter memiliki kriteria untuk menentukan


nilai skor (Adrianto et al. 2014).

54
D. Latihan/Tugas/Eksperimen
1. Setiap mahasiswa melakukan perhitungan setiap parameter
(1-7) dengan memilih satu jenis ikan tertentu sesuai dengan
topik kelompok pada WPP tertentu. Misal kelompok pelagis
kecil, pelagis besar, karang, demersal, dll
2. Masing-masing hasil mahasiswa dalam kelompok
digabungkan untuk mendapatkan nilai akhir SDI (kelompok
ikan yang sejenis). Diskusikan hasil dengan kelompok
masing-masing
3. Masing-masing hasil kelompok digabungkan untuk
mendapatkan nilai akhir SDI (keseluruhan jenis). Diskusikan
di dalam kelas
4. Petakan lah status SDI di WPP yang anda pilih

E. Rujukan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. [FAO-UN] Food and Agricultural Organization of the United
Nations. 1998. FAO Spesies Identification Guide for Fishery
Purposes the Living Marine Resources of the Western Central
Pacific 2nd. Rome: FAO
3. Haryani EBS et al. 2008. Konservasi Sumber Daya Ikan di
Indonesia. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut,
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta
4. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem

55
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF‐Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
5. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun
2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
7. Sparre P, Venema CS. 1999. Introduksi Pengkajian Stok
Ikan Tropis. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian
8. Widodo J, Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

F. Bahan Bacaan yang Dianjurkan


1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk
Pengelolaan Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem
(Ecosystem Approch to Fisheries Management). National
Working Grup on Ecosystem Approch to Fisheries
Management, Direktorat Sumberdaya Ikan, Kementerin
Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan
Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem
Approach to Fisheries Management) di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Indonesia. Direktorat Sumberdaya
Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, WWF‐Indonesia dan Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor

56
3. Sparre P, Venema CS. 1999. Introduksi Pengkajian Stok
Ikan Tropis. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian

57
58
BAB IV
EKOSISTEM DAN
LIN GKUNGAN PERAIRAN

A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab iv ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
VI-VII) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan mengevaluasi performa EAFM pada
Domain Ekosistem dan Lingkungan Perairan.
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati beberapa mata kuliah yang sangat berkaitan
dengan pertemuan (mata kuliah ini). Diantaranya 1) Ekologi
Perairan (Semester II), 2) Kualitas air (semester III), 3)
Pencemaran perairan (Semester IV), dan 4) eksosistem
pesisir dan laut (Semester V).
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Habitat dan ekosistem memiliki banyak manfaat bagi
organisme, yaitu sebagai tempat tinggal, tempat mencari
makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground),
tempat pengasuhan (nursery ground), tempat berlindung,
tempat berlangsungnya proses biologi, kimiawi, dan fisik
secara cepat sehingga produktivitasnya tinggi. Indikator

59
habitat yang tercakup dan dianalisis dalam kajian Ecosystem
Approach to Fisheries Management (EAFM) ini meliputi
pencemaran dan potensi pencemaran, kondisi tutupan lamun,
tutupan terumbu karang, luasan dan kerapatan mangrove,
produktifitas estuari, keberadaan habitat penting, laju
sedimentasi, dan pengaruh global warming.

Materi Domain Habitat dan Ekosistem merupakan salah satu


domain dalam menganalisis dan mengevaluasi performa
pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem
(EAFM). EAFM disusun dari 6 domain, yaitu 1) Domain
Sumber Daya Ikan, 2) Domain Habitat dan Lingkungan, 3)
Domain Teknik Penangkapan, 4) Domain Sosial, 5) Domain
Ekonomi, dan 6) Domain. Keenam domain tersebut saling
terkait (conectivity). Penilaian performa EAFM merupakan
agregat dari keenam domain tersebut.

4. Manfaat atau pentingnya bahan pembelajaran ini


Materi ini penting bagi mahasiswa untuk dapat menganalisa
dan mengevaluasi performa pengelolaan perikanan (EAFM)
pada domain Ekosistem dan Lingkungan Perairan.

5. Petunjuk belajar bagi mahasiswa.


Mahasiswa perlu memahami dan mempelajari Modul
EAFM yang dikeluarkan oleh Direktorat Sumber Daya Ikan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2014 kerja sama
dengan WWF Indonesia dan PKSPL IPB Bogor. Mahasiswa
juga perlu kembali mempelajari materi terdahulu berkaitan
dengan kualitas air dan ekosistem pesisir dan laut.

60
B. Penyajian Materi
1. Kualitas Perairan
Defenisi
Kualitas perairan merupakan adalah kondisi kalitatif air yang
diukur dan atau di uji berdasarkan parameter-parameter tertentu
dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Pasal 1 keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 115 tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan
dengan parameter kualitas air. Kualitas air sangat penting untuk
menunjang keberlangsungan hidup organisme yang hidup dalam
perairan. Perubahan kualitas air dapat mempengaruhi kehidupan
organisme, termasuk produktivitas perikanan. Pengelolaan kualitas
air adalah upaya pemaliharaan air sehingga tercapai kualitas air
yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar
kondisi air tetap dalam kondisi alamiahnya. Dengan demikian
produktivitas perikana tetap berlangsung. Parameter ini meliputi
parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis. Kualitas air dapat
diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air
tersebut. Pengujian yang dilakukan adalah uji kimia, fisik, biologi,
atau uji kenampakan (bau dan warna).

Metode pengukuran dan pengumpulan data


Dalam kajian EAFM karakteristi kualitas air dibagi dalam tiga
kategori yaitu
 Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau
visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun) atau kualitas
air yang dapat diukur/dihitung berdasarkan parameter fisika,
kimia dan bioologi (mikroorganisme). Penentuan status
kualitas air ini dilakukan dengan Metode Storet dan Metode
Indeks Pencemaran yang telah dibakukan dalam Pedoman
Penentuan Status Mutu Air pada Surat Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003.

61
Data yang disajikan hendaknya data tahunan (mewakili
musim)
 Tingkat kekeruhan (NTU); untuk mengetahui laju
sedimentasi perairan. Pengukuran tingkat kekeruhan dengan
citra satelit untuk melihat sebaran tingkat kekeruhan di
perairan. Data yang disajikan hendaknya data tahunan
(mewakili musim)
 Eutrofikasi merupakan dari adanya pencemaran organik
yang mengandung nutrien (Nitrogen, Posfor, dan termasuk
silika). Pengukuran eutrifikasi dapat dilakukan dengan citra
satelit untuk melihat sebaran tingkat eutrifikasi di perairan.
Selain itu, dapat dilakuakn dengan metode pengukuran N
dan P di laboratorium. Data yang disajikan hendaknya data
tahunan (mewakili musim).

Kriteria dan perhitungan


Ekosistem lamun pada domain habitat dan ekosistem memiliki
bobot 20 (%) dengan nilai densitas 19. Densitas merupakan
jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
kualitas air (Lihat gambar 7).

Kriteria kualitas perairan (limbah yang teridentifikasi/


status pencemaran) pada domain habitat dan ekosistem
adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika tercemar sedang - berat
 Bernilai 2, jika tercemar sedang
 Bernilai 3, jika tidak tercemar
Kriteria kualitas perairan (tingkat kekeruhan) pada domain
habitat dan ekosistem adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika tingkat kekeruhan konsentrasi tinggi (> 20
mg/m3)
 Bernilai 2, jika tingkat kekeruhan konsentrasi sedang (10
- 20 mg/m3)
 Bernilai 3, jika tingkat kekeruhan konsentrasi rendah (< 10
mg/m3)

62
Kriteria kualitas perairan (eutrifikasi) pada domain habitat
dan ekosistem adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika terjadi eutrifikasi (konsentrasi klorofil a >
10 mg/m3
 Bernilai 2, jika potensi terjadi eutrofikasi (klorofil a 1-10
mg/m3)
 Bernilai 3, jika tidak terjadi eutrofikasi (konsentrasi klorofil
a <1 mg/m3)
Nilai akhir parameter kualitas perairan adalah

2. Status Ekosistem Lamun


Defenisi
Lamun (Angiospermae) merupakan tumbuhan berbunga yang
hidup dan berkembang pada lingkungan perairan laut dangkal.
Lamun hidup pada subtrat pasir, pasir berlumpur, lumpur lunak
dan karang (Kiswara & Hutomo 1985). Lamun merupakan
produsen primer pada perairan dangkal dan sebagai sumber
makanan penting bagi banyak organisme. Adanya produksi
primer yang tinggi ini, maka dapat dikatakan bahwa salah satu
fungsi lamun adalah menjaga atau memelihara produktivitas dan
stabilitas ekosistem pesisir. Lamun merupakan unsur utama dalam
proses-proses siklus yang cukup rumit dan memelihara tingginya
produktivitas daerah pesisir. Pesisir perairan Indonesia dengan
garis pantai yang sangat panjang diduga mempunyai padang
lamun yang terluas di daerah tropik. Sistem ekologi lamun yang
terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut Ekosistem Lamun
(Seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan
dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang
(Kiswara & Hutomo 1985).

Lamun memiliki fungsi ekologis dan nilai ekonomis yang sangat


penting bagi manusia. Menurut Nybakken (1992), fungsi ekologis
lamun adalah: (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber

63
makanan bagi organisme dalam bentuk detritus, (3) menstabilkan
dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap
sedimen (trapping sediment), (4) tempat berlindung bagi biota laut,
(5) tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan
(nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi
biota-biota perairan laut, (6) pelindung pantai dengan cara meredam
arus, (7) penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan.
Selanjutnya, dari berbagai literatur, Dahuri (2003) menyimpulkan
akan pentingnya nilai ekonomi dan ekologi ekosistem lamun,
terutama terkait dengan biota yang hidupnya tergantung dengan
ekosistem lamun ini. Terdapat hingga 360 spesies ikan, 117
jenis makro-alga, 24 jenis moluska, 70 jenis krustasea, dan 45
jenis ekhinodermata (seperti teripang) yang hidupnya didukung
oleh ekosistem lamun di Indonesia. Ekosistem lamun juga telah
dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan.
Keberadaan ekosistem lamun akan semakin penting terkait dengan
adanya isu pemanasan global, dimana kemungkinan potensi
tumbuhan ini sebagai pereduksi CO2 (Rangkuti et al. 2017).

Dari 12 genera yang ada, 7 genera merupakan penghuni perairan


tropik dan 5 genera yang lain terikat pada perairan ugahari.
Dari 55 spesies lamun yang ada di dunia, 13 spesies berada di
indonesia. Dan hampir dipastikan pada suatu wiayah di Indonesia
terdapat keseluruhan jenis tersebut. Paling tidak biasanya 3-5 jenis
yang mendiami suatu ekosistem lamun sudah termasuk tinggi. Hal
ini dikarenakan daya adaptasi lamun sangat terbatas, khususnya
salinitas daan tingkat kekeruhan.

64
Metode pengumpulan data
Pengumpulan data lamun dapat dilakukan dengan cara:
 citra satelit (luas tutupan lamun dan penutupan lamun) dan
langsung (jenis dan penutupan)
 Pengamatan secara langsung terhadap kerapatan lamun
menggunakan transek kuadrat berukuran 50 x 50 cm2 dan
transek garis sepanjang 50-100 meter. Metode pengukuran
yang digunakan untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun
adalah metode Transek dan Petak Contoh (Transec Plot).
 Status lamun juga dapat dilihat dari Seagrass watch (www.
seagrasswatch.org), seagrass net (www.seagrassnet.org), dan
hasil kajian lainnya (LIPI dan Perguruan Tinggi/ LSM), dan
dan dokumen lainnya yang relevan (Rencana Zonasi Pesisir
dan Pulau-pulau kecil)

Kriteria dan perhitungan


Kualitas perairan pada domain habitat dan ekosistem memiliki
bobot 20 (%) dengan nilai densitas 21. Densitas merupakan
jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
ekosistem lamun (Lihat gambar 7).

Kriteria ekosistem lamun (penutupan) pada domain habitat


dan ekosistem adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika tutupan rendah (≤29,9%)
 Bernilai 2, jika tutupan sedang, (30-49,9%);
 Bernilai 3, jika tutupan tinggi, (≥50%)

Kriteria ekosistem lamun (diversitas) pada domain habitat


dan ekosistem adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika jumlah spesies < 3
 Bernilai 2, jika jumlah spesies 3-7
 Bernilai 3, jika jumlah spesies > 7
Nilai akhir parameter ekosistem lamun adalah

65
3. Status Ekosistem Mangrove
Defenisi
Mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh dan
berkembang di daerah pasang surut sebagai habitatnya. Mangrove
hidup dan berkembang pada lingkungan pantai yang terlindung,
laguna, dan muara sungai yang komunitas tumbuhannya
bertoleransi terhadap garam. Buku ini tidak hanya membicarakan
mangrove sebagai tumbuhan akan tetapi juga membicarakan
mangrove sebagai ekosistem. Dengan demikian akan dibicarakan
tentang flora mangrove maupun faunanya baik teresterial maupun
akuatik. Jenis mangrove yang dimaksud adalah mangrove utama
dan ikutan. Mangrove asosiasi termasuk vegetasi pantai yang
hidupnya tidak dipengaruhi oleh pasang surut (Rangkuti et al.
2017).

Mangrove memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan


dengan beberapa ekosistem lain. Produktivitas mangrove dapat
mencapai 20 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas laut lepas
dan sekitar 5 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas perairan
pantai. Produktivitas mangrove dapat mencapai 5.000 g-C/m2/
th (Lugo & Snedaker 1974). Mangrove memberikan sumbangan
terhadap produktivitas pada ekosistem estuari dan perairan pantai
melalui siklus materi yang berdasarkan pada detritus atau serasah.
Produktivitas merupakan faktor penting dari ekosistem mangrove
dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan
untuk menggambarkan produktivitas (Chapman 1976).

Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan


mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis
pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku.
Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan

66
beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true
mangrove), sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove
dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (asociate asociate).
Di seluruh dunia, Saenger et al. (1983) mencatat sebanyak 60
jenis tumbuhan mangrove sejati. Dengan demikian terlihat bahwa
Indonesia memiliki keragaman jenis yang tinggi (Giessen et al.
2012).

Ekosistem mangrove merupakan penyangga dan memiliki multi


fungsi. Secara fisik, mangrove memiliki peranan penting dalam
melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Secara ekologi,
ekosistem mangrove berperan sebagai sistem penyangga kehidupan
bagi berbagai organisme akuatik maupun organisme teresterial,
baik sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat
asuhan (nursery ground) maupun sebagai tempat berkembang biak
(spawning ground). Secara sosial-ekonomi, ekosistem mangrove
merupakan sumber mata pencaharian masyarakat pesisir. Selain
itu, ekosistem mangrove berkontribusi sebagai pengendali iklim
global melalui penyerapan karbon (Rangkuti et al. 2017).

Metode Pengumpulan data


Metode pengumpulan data ekosistem mangrove dapat dilakukan
dengan cara:
 Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) - minimal
satu tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan
 Survey dengan Plot sampling, Pengambilan contoh untuk
vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metoda
plot transek garis dari arah perairan ke arah darat di daerah
intertidal (Bengen 2004). Jarak antar transek garis sekitar
100 meter. Panjang transek dari pinggir perairan ke arah
darat bergantung kepada ketebalan mangrove pada tiap-tiap

67
stasiun. Transek garis berada pada posisi dari arah perairan
kearah darat dan terdiri atas petak-petak contoh (plot)
berbentuk bujur sangkar.
 Status mangrove juga dapat dilihat dari hasil kajian lain LIPI,
dan Perguruan Tinggi/ LSM (wetland), dan dokumen lainnya
yang relevan (Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau kecil).

Kriteria dan perhitungan


Ekosistem mangrove pada domain habitat dan ekosistem memiliki
bobot 20 (%) dengan nilai densitas 20. Densitas merupakan
jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
ekosistem mangrove (Lihat gambar 7).
Kriteria ekosistem mangrove (kerapatan) pada domain
habitat dan ekosistem adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan
<50%
 Bernilai 2, jika kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha,
tutupan 50-75%;
 Bernilai 3, jika kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan
>75%
Kriteria ekosistem mangrove (diversitas) pada domain
habitat dan ekosistem adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika jumlah jenis <5
 Bernilai 2, jumlah jenis 5-15
 Bernilai 3, jumlah jenis > 15
Kriteria ekosistem mangrove (luas mangrove) pada domain
habitat dan ekosistem adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika luasan mangrove berkurang dari data awal
 Bernilai 2, jika luasan mangrove tetap dari data awal
 Bernilai 3, jika luasan mangrove bertambah dari data awal
Kriteria ekosistem mangrove (INP) pada domain habitat
dan ekosistem adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika INP rendah (< 100)
 Bernilai 2, jika INP sedang (100-200);
 Bernilai 3, jika INP tinggi (>200)
Nilai akhir parameter ekosistem amngrove adalah

4. Status Ekosistem Terumbu Karang

68
Defenisi
Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang
bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut
zooxanhellae. Terumbu karang (coral reefs) merupakan
ekosistem yang terdapat di dasar laut tropis, dibangun oleh
biota laut penghasil kapur (CaCO3). Kapur (CaCO3) dihasilkan
oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik)
terutama jenis-jenis karang batu dan alga berkapur yang bersama-
sama dengan biota lainnya yang hidup di dasar. Ekosistem terumbu
karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena
menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Pada
ekosistem terumbu karang ini bisa hidup lebih dari 300 jenis
karang, yang terdiri dari sekitar 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh
jenis moluska, crustacean, sponge, algae, lamun dan biota lainnya
(Dahuri 2000).

Terumbu karang memiliki berbagai fungsi penting baik secara


ekologis maupun ekonomis. Fungsi ekologis terumbu karang
yaitu sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik,
tempat pemijahan biota perairan, tempat bermain, dan asuhan bagi
berbagai biota. Selain itu, terumbu karang juga menghasilkan
berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti
berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan
kerang mutiara (Rangkuti et al. 2017).

Terumbu karang memainkan peranan penting dalam perlindungan


garis pantai dari abrasi gelombang, terutama mengurangi dampak
gelombang dan gelombang badai tropis. Hal ini sangat jelas
terlihat pada pulau-pulau tropis dengan pantai berpasir, hamparan
rumput laut, dan mangrove di belakang terumbu karang. Fungsi
perlindungan dari terumbu karang ini penting terutama di masa
depan karena adanya perubahan iklim yang akan mengakibatkan

69
naiknya permukaan laut serta meningkatnya frekuensi dan tingkat
kedahsyatan badai tropis. Perlindungan dari terumbu karang ini
sangat penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat yang
hidup di kawasan atol karang (Rangkuti et al. 2017).

Keberadaan terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh


lingkungan baik yang bersifat fisik maupun kimia. Pengaruh
itu dapat mengubah komunitas karang dan menghambat
perkembangan terumbu karang secara keseluruhan. Kerusakan
terumbu karang pada dasarnya dapat disebabkan oleh faktor fisik,
biologi dan aktivitas manusia. Kerusakan terumbu karang karena
ulah manusia banyak terjadi akibat eksploitasi yang berlebihan,
penggunaan bahan peledak (dinamit), kalium sianida (KCN), dan
pengoperasian trawl untuk menangkap ikan di karang (Rangkuti
et al. 2017).

Metode pengambilan data


Pengambilan data mangrove dapat dilakukan dengan:
 Survey: Transek (2 kali dalam setahun). Metode Transek
garis (Line Intercept transect/LIT) merupakan metode
yang digunakan untuk mengestimasi penutupan karang dan
penutupan komunitas bentos yang hidup bersama karang.
Metode ini cukup praktis, cepat dan sangat sesuai untuk
wilayah terumbu karang di daerah tropis. Pengambilan data
dilakukan pada umumnya di kedalaman 3 meter dan 10 meter.
 Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun
sekali dengan diikuti oleh survey lapangan.
 Status karang juga dapat dilihat dari hasil kajian LIPI, dan
Perguruan Tinggi/ LSM (Terangi, dll), dan dokumen lainnya
yang relevan (Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau kecil).

70
Kriteria dan perhitungan
Ekosistem karang pada domain habitat dan ekosistem memiliki
bobot 20 (%) dengan nilai densitas 23. Densitas merupakan
jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
ekosistem lamun (Lihat gambar 7).

Kriteria ekosistem karang (penutupan) pada domain habitat


dan ekosistem adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika tutupan rendah (≤25%)
 Bernilai 2, jika tutupan sedang, (25-49,9%);
 Bernilai 3, jika tutupan tinggi, (≥50%)
Kriteria ekosistem lamun (diversitas) pada domain habitat
dan ekosistem adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika keanekaragaman rendah (H’ < 3,2 atau H’
<1
 Bernilai 2, jika kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97
atau 1<H’<3)
 Bernilai 3, jika keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3
Nilai akhir parameter ekosistem karang adalah

5. Habitat Unik
Defenisi
Habitat khusus/ unik merupakan suatu lingkungan/ habitat/
ekosistem yang khas (selain mangrove, lamun dan karang) yang
tidak (jarang) ditemukan di tempat lain. Habitat khusus/ unik juga
dapat diartikan sebagai habitat organisme tertentu (endemik),
langka dan terancam punah. Seperti P. Komodo di NTT. Habitat
khusus juga berupa bentuk tubir terumbu karang dengan kemiringan
90 derajat, rugousity, seperti goa-goa, alur-alur , sebagai daerah
habitat pemijahan (spawning ground) dan pengasuhan, (nursery
ground) dan mencari makan (feeding ground) selain mangrove,
lamun dan karang. Habitat khusus/ unik juga berupa daerah
perairan laut yang mengalami upwelling sehingga ketersediann
nutrien pada musim tertentu menjadi tinggi, seperti di Selat Bali,
Laut Jawa, Selat Lombok, dll.

71
Metode pengambilan data
Pengambilan data mangrove dapat dilakukan dengan:
 Survey : daerah habitat pemijahan (spawning ground) dan
pengasuhan, (nursery ground) dan mencari makan (feeding
ground) ikan ekonomis penting, lobster, tuna, kerapu, udang,
dll
 Citra satelite terkait habitat khusus (luas, pola/bentuk, dll),
diikuti oleh survey lapangan.
 Wawancara nelayan yang mengetahui keberadaan habitat
khusus
 Habitat khsusu dilihat dari hasil kajian LIPI, dan Perguruan
Tinggi/ LSM (Terangi, dll), dan dokumen lainnya yang
relevan (Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau kecil).

Kriteria dan perhitungan


Habitat khusus/ unik pada domain habitat dan ekosistem memiliki
bobot 10 (%) dengan nilai densitas 17. Densitas merupakan
jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
ekosistem lamun (Lihat gambar 7).

Kriteria habitat khusus/ unik pada domain habitat dan eko-


sistem adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika tidak diketahui adanya habitat unik/khusus
 Bernilai 2, jika diketahui adanya habitat unik/khusus tapi
tidak dikelola dengan baik
 Bernilai 3, jika diketahui adanya habitat unik/khusus dan
dikelola dengan baik

Nilai akhir parameter habitat khusus/ unik adalah


nilai skor x bobot x densitas

72
6. Perubahan Iklim
Defenisi
Perubahan iklim merupakan berubahnya iklim dan cuaca akibat
adanya pemanasan global. saat ini perubahan iklim merupakan
salah satu hal yang menjadi sorotan utama dunia, yakni karena
banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh terjadinya perubahan
iklim tersebut dalam kehidupan termasuk dunia perikanan/
perairan. Dampak perubahan iklim bagi perikanan/ perairan antara
lain:
 Naiknya muka laut meneggelamkan kawasan pesisir &
intrusi laut ke air tanah
 Naiknya suhu perairan dapat mengganggu pola breeding
ikan, sehingga dapat berpengaruh pada perubahan stok
 Peningkatan suhu permukaan laut juga berdampak pada
pemutihan karang (coral bleaching)
 Perubahan suhu perairan dapat mempengaruhi metabolisme,
dan tentu saja laju pertumbuhan, produksi total, musim
reproduksi, serta kepekaan terhadap penyakit dan racun.
Pada organisme tertentu (khusus ikan-ikan endemik / tawar)
dapat menyebabkan kepunahan >>> biodiversitas berkurang
 Perubahan iklim (terutama variasi suhu) akan berdampak
lebih kuat terhadap distribusi daerah tangkapan ikan di lautan.

Metode pengambilan data


Pengambilan data mangrove dapat dilakukan dengan:
 Survey: data skunder puluhan bahkan ratusan tahun (sea
level rise) .
 Citra satelite naiknya suhu permukaan laut.
 Perubahan iklim juga dapat dilihat dari hasil kajian LIPI, dan
Perguruan Tinggi/ LSM (Terangi, dll), dan dokumen lainnya
yang relevan.

73
Kriteria dan perhitungan
Perubahan iklim pada domain habitat dan ekosistem memiliki
bobot 10 (%) dengan nilai densitas 22. Densitas merupakan
jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
ekosistem lamun (Lihat gambar 7).

Kriteria perubahan iklim (level kajian) pada domain habitat


dan ekosistem adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika belum adanya kajian tentang dampak
perubahan iklim
 Bernilai 2, jika diketahui adanya dampak perubahan iklim
tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
 Bernilai 3, jika diketahui adanya dampak perubahan iklim
dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
Kriteria perubahan iklim (dampak terhadap perikanan)
pada domain habitat dan ekosistem adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika habitat terkena dampak perubahan iklim
(e.g coral bleaching >25%);
 Bernilai 2, jika habitat terkena dampak perubahan iklim
(e.g coral bleaching 5-25%);
 Bernilai 3, jika habitat terkena dampak perubahan iklim
(e.g coral bleaching <5%)
Nilai akhir parameter perubahan iklim adalah

C. Rangkuman
Domain habitat dan ekosistem terdiri dari 6 parameter yaitu:
1) kualitas perairan,
2) ekosistem mangrove,
3) ekosistem padang lamun,
4) ekosistem terumbu karang,
5) habitat khusus/ unik,
6) perubahn iklim.

Masing-masing parameter memiliki kriteria tersendiri untuk


menentukan nilai skor (nilai 1-3) (Adrianto et al. 2014).

74
Nilai parameter = nilai skor x bobot x densitas
Nilai akhir Domain Habitat & Ekosistem =

∑nilai masing-masing parameter

D. Latihan/Tugas/Eksperimen
1. Setiap mahasiswa melakukan perhitungan setiap parameter
(1-6) dengan memilih satu kawasan perairan (bisa perwilayah
kabupaten untuk WPP provinsi atau per wilayah provinsi
untuk WPP tertentu). Misal pada aspek pembahasan WPP
Kabupaten Simeulue wilayah yang dimaksud adalah Provinsi
Aceh, Sumut, Riau, Kep. Riau, Sumsel, dan Lampung
(Sesuai dengan WPP pada domain sebelumnya).
2. Masing-masing hasil dari mahasiswa dalam kelompok
digabungkan untuk mendapatkan nilai akhir habitat &
ekosistem (WPP yang sama). Diskusikan hasil dengan
kelompok masing-masing. Diskusikan di dalam kelas
3. Petakan lah status habitat dan ekosistem pada WPP yang
anda pilih

E. Rujukan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Bengen DG. 2004. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh
dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian
Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB. Bogor
3. Chapman VJ. 1976. Mangrove Vegetation. J.Cramer. Vaduz,
Liechtenstein.

75
4. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan
Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius
5. Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan
Untuk Kesejahteraan Rakyat (Kumpulan Pemikiran DR. Ir.
Rokhmin Dahuri, MS). LISPI (Lembaga Informasi dan Studi
Pembangunan Indonesia) Direktorat Jenderal Pesisir, Pantai
dan Pulau-Pulau Kecil, Dep. Eksplorasi Laut dan Perikanan.
Jakarta
6. Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Schoelten L. 2012. Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia. Penerjemah: Noor YR,
Khazali M, Suryadiputra INN. Terjemahan dari: A Field
Guide of Indonesian Mangrove. Wetlands International-
Indonesia Programme. Bogor
7. Kiswara W, Hutomo M. 1985. Habitat dan Sebaran Geografik
Lamun. Oseana, X (1): 21– 30.
8. Lgo AE, Snedaker M. 1974. The Ecology of Mangrove. Ann.
Rev. Ecology System, (5): 39–64
9. Rangkuti A. Muhtadi, M. Reza Cordoba, Ani Rahmawati,
Yulma, Eldin H. Adimu. 2017. Ekosistem Pesisir dan Laut
Indonesia. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
10. Saenger, P., E.J. Hegerl & J.D.S. Davie. 1983. Global Status
of Mangrove Ecosystems. IUCN Commission on Ecology
Papers No. 3, 88 hal
11. Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
115 Tahun 2003
12. Spalding, M.D., F. Blasco & C.D. Field editor. 1996.
World Mangrove Atlas. International Society for Mangrove
Ecosystems, Okinawa, Japan

76
F. Bahan Bacaan yang Dianjurkan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF‐Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
3. Rangkuti A. Muhtadi, M. Reza Cordoba, Ani Rahmawati,
Yulma, Eldin H. Adimu. 2017. Ekosistem Pesisir dan Laut
Indonesia. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

77
BAB V
TEKNIK PENANGKAPAN

A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab v ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
VIII-IX) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan mengevaluasi performa EAFM pada
Domain Teknik Penangkapan.
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati beberapa mata kuliah yang sangat berkaitan
dengan pertemuan (mata kuliah ini). Diantaranya 1) Dasar-
dasar Penangkapan Ikan (Semester III), 2) Dinamika Populasi
Ikan (semester V), 3) Sumberdaya Perikanan (Semester V),
dan 4) Pengkajian Stok Ikan (Semester VI).
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Pengelolaan perikanan tidak cukup hanya dengan
mempertimbangkan target populasi yang berkelanjutan.
Namun, pengelolaan perikanan perlu juga mempertimbangkan
ekosistem dan sumberdaya hayati yang berkelanjutan
sebagai habitat dari populasi ikan. Dampak ekosistem akibat
pemanfaatan sumberdaya hayati menjadi penting untuk

79
diidentifikasi lebih awal agar kerusakan sumberdaya bisa
diminimalisir dan diantisipasi sehingga tidak menimbulkan
degradasi sumberdaya hayati yang berkelanjutan. Pendekatan
yang lebih mengedepankan aspek keberlanjutan ekosistem
ini lebih dikenal dengan pendekatan ekosistem terhadap
manajemen perikanan tangkap.

Materi Teknik Penangkapan erupakan salah satu domain
dalam menganalisis dan mengevaluasi performa pengelolaan
perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM). EAFM
disusun dari 6 domain, yaitu 1) Domain Sumber Daya
Ikan, 2) Domain Habitat dan Lingkungan, 3) Domain Teknik
Penangkapan, 4) Domain Sosial, 5) Domain Ekonomi, dan 6)
Domain. Keenam domain tersebut saling terkait (conectivity).
Penilaian performa EAFM merupakan agregat dari keenam
domain tersebut.

4. Manfaat atau pentingnya bahan pembelajaran ini


Materi ini penting bagi mahasiswa untuk dapat menganalisa
dan mengevaluasi performa pengelolaan perikanan (EAFM)
pada domain teknik penangkapan.
5. Petunjuk belajar bagi mahasiswa.
Mahasiswa perlu memahami dan mempelajari Modul
EAFM yang dikeluarkan oleh Direktorat Sumber Daya Ikan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2014 kerja sama
dengan WWF Indonesia dan PKSPL IPB Bogor. Mahasiswa
juga perlu kembali mempelajari materi terdahulu berkaitan
dengan sumberdaya perikanan dan metode penangkapan
ikan.

80
B. Penyajian Materi
1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif
Metode penangkapan ikan yang destruktif akan memberikan
tekanan terhadap kelestarian sumberdaya ikan dan
ekosistemnya. Penangkapan ikan yang destruktif meliputi
penggunaan bahan-bahan yang merusak seperti bom,
potassium, listrik dan racun. Kategori metode yang destruktif
adalah pemanfaatan sumberdaya ikan dengan menggunakan
metode penangkapan ikan yang tidak sesuai peraturan
(Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan,
2011; Adrianto et al. 2014).

Larangan penggunaan metode penangkapan ikan yang
destruktif ini diatur dalam UU No.31/2004 Jo. No.45/2009
tentang perikanan pasal 8 ayat 1 sampai 3 serta pasal 12
ayat 1 dan 4. Aturan itu menegaskan dengan sangat jelas
bahwa penggunaan bahan-bahan destruktif tersebut dilarang
dan penggunanya dapat dikenakan sangsi. Penggunaan
bom dan potasium serta bahan-bahan destruktif lainnya
terbukti di banyak tempat telah menghancurkan ekosistem
terumbu karang dan habitat ikan. Hancurnya ekosistem akan
menimbulkan degradasi sumberdaya ikan dan habitatnya.
Keberlanjutan generasi perikanan menjadi terhambat dan
laju produksi perikanan pada glirannya akan menurun.

Metode destruktif lainnya adalah pemanfaatan sumberdaya


ikan dengan menggunakan metode yang merusak lingkungan
perairan. Dasar aturan dari penggunaan metode destruktif
ini berdasarkan pada Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Keputusan
Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980 tentang instruksi Presiden
RI terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983 di seluruh Indonesia

81
tidak lagi terdapat kapal perikanan yang menggunakan
jaring trawl. Penggunaan trawl mengalami pasang surut.
Penggunaan trawl dilarang karena terbukti memiliki ukuran
mata jaring yang kecil dan bergerak di dasar perairan yang
berpotensi merusak lingkungan laut dan menghabiskan stok
ikan yang berkuran kecil. Dengan nama yang berbeda, trawl
kembali diberlakukan namun sifatnya terbatas di beberapa
lokasi dengan alasan tertentu. Hal ini dijelaskan dalam
Peraturan Menteri No.06/MEN/2008 pasal 3 dan 4 tentang
Penggunaan alat penangkapan ikan Pukat hela di perairan

Kalimantan Timur Bagian Utara. Alasan diperbolehkannya
pukat hela –baca: trawl- di daerah perbatasan tersebut
adalah untuk menyaingi maraknya praktek illegal fishing
dan masuknya nelayan Malaysia dan negara lain ke wilayah
perairan Kalimantan timur (Laporan Akhir Pendekatan
Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014).

Penangkapan ikan yang bersifat destruktif adalah penggunaan


alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak
sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini penting diperhatikan
karena alat tangkap yang bersifat destruktif akan merusak
habitat ikan (terutama lamun dan karang). Selain itu juga,
sumber daya ikan hasil tangkapan akan rusak (cacat),
sehingga dapat mengurangi nilai (harga) sumber daya ikan
tersebut. Rusaknya habitat ikan akan berdampak pada
keberlanjutan stok ikan di alam. Berkurangnya stok pastinya
akan berdampak pada penurunan hasil tangkapan sehingga
berpengaruh terhadap kondisi perekonomian masyarakat
(nelayan) maupun negara (PAD).

82
Penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak
antara lain:
 Penggunaan bom ikan
 Penggunaan racun ikan (sianida, potassium dan listrik)
 Penggunaan rumpon yang merusak karang
 Penggunaan bubu yang merusak karang
 Jangkar kapal yang merusak karang

Alat tangkap yang dilarang di perairan Indonesia adalah:


 Trawl
 Sein nets

Metode pengumpulan data


Metode pengumpualn data untuk parameter penangkapan
ikan bersifat destruktif adalah:
 Survei: penggunaan alat tangkal yang dilarang dan tidak
sesuai peraturan yang berlaku
 Laporan hasil pengawas perikanan
 laporan dari kepolisian,
 wawancara mendalam dengan dari nelayan/
POKMASWAS

Kriteria dan perhitungan


Penangkapan ikan yang bersifat destruktif pada domain
teknologi penangkapan memiliki bobot 30 (%) dengan nilai
densitas 18. Densitas merupakan jumlah parameter lain yang
memiliki hubungan logis dengan ekosistem lamun (Lihat
gambar 7).

83
Kriteria Penangkapan ikan yang bersifat destruktif pada
domain teknik penangkapan adalah (Skor) (Adrianto et al.
2014):
 Bernilai 1, jika frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun
 Bernilai 2, jika frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun
 Bernilai 3, jika frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun
Nilai akhir parameter Penangkapan ikan yang bersifat
destruktif adalah
nilai skor x bobot x densitas

2. Modifikasi alat Penangkapan ikan dan alat bantu


penangkapan
Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan
dampak negatif terhadap SDI. Perubahan fungsi didefiniskan
sebagai Perubahan fungsi, ukuran dan jumlah kapal dalam
melakukan operasi penangkapan ikan. Manfaat dari indikator
ini adalah Mengetahui dampak tekanan penangkapan terhadap
kelestarian SDI. Pendekatan dalam melihat indikator ini
dengan mendata adanya perubahan armada dari skala kecil
ke arah skala besar yg berpotensi menimbulkan tekanan thd
SDI yg lebih besar. Semakin banyak jumlah kapal dengan
kapasitas tinggi berpotensi memicu adanya tekanan terhadap
kelestarian sumberdaya ikan jika daya dukung dari perairan
tersebut tidak mencukupi. Pendataan lebih kepada melihat
ada tidaknya peningkatan armada tangkap dengan kapasitas
30 GT ke atas (Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam
Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014).

Modifikasi alat penangkapan idedifinisikan sebagai
penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang tidak sesuai
dengan peraturan. Penyusunan ini dilakukan untuk mengetahui
dampak alat tangkap dan alat bantu penangkapan terhadap
kelestarian SDI. Alat tangkap yang dianggap mengancam
merupakan modifikasi dari alat tangkap yang secara jelas

84
dilarang penggunaannya seperti trawl. Trawl ini dimodifikasi
dalam alat tangkap tertentu seperti dogol, arad dan cantrang.
Di beberapa daerah seperti di Pantura, penggunaan alat-alat
tangkap ini sangat besar dan banyak. Alat-alat tangkap ini
berpotensi menimbulkan tekanan terhadap sumberdaya ikan
dan akhirnya merusak lingkungan karena biasa diberlakukan
di dasar laut.

Selama ini tidak ada aturan yang secara spesifik membatasi


penggunaan dogol, arad dan cantrang. Tetapi penggunaan
dogol dan lainnya merupakan modifikasi dari trawl yang
dilarang oleh pemerintah. Seperti halnya di daerah perairan
Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, konflik sering terjadi
antara nelayan Cantrang, dogol dan arad dengan nelayan
tadisional (ukuran kecil). Hal itu disebabkan karena
pengoperasian cantrang dan lainnya sering digunakan di dasar
lingkungan sehingga berpotensi merusak lingkungan laut
(Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan,
2011; Adrianto et al. 2014).

Metode pengumpulan data


 Observer, Sampling ukuran ikan target/ikan dominan,
ukuran Lm bisa diperiksa di www.fishbase.org
 Jik tidak di www.fishbase.org, dpt diliht pad hasil
penelitin terkait dari Lembaga Penelitin, Perguruan
Tinggi maupun LSM

Kriteria dan perhitungan


Modifikasi alat Penangkapan ikan dan alat bantu
penangkapan pada domain teknik penangkapan memiliki
bobot 25 (%) dengan nilai densitas 24. Densitas merupakan

85
jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
ekosistem lamun (Lihat gambar 7).

Kriteria Modifikasi alat Penangkapan ikan dan alat bantu


penangkapan pada domain teknik penangkapan adalah
(Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm
 Bernilai 2, 25-50% ukuran target spesies < Lm
 Bernilai 3, jika <25% ukuran target spesies < Lm
Nilai akhir parameter Modifikasi alat Penangkapan ikan
dan alat bantu penangkapan adalah
nilai skor x bobot x densitas

3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing


Capacity and Effort)
Defensisi
Pengelolaan upaya penangkapan salah satunya dapat
dilakukan dengan pembatasan jumlah dan ukuran kapal
(fishing capacity). Istilah fishing capacity biasanya berkaitan
dengan overcapacity dan overfishing. Fishing capacity
merupakan kemampuan unit kapal perikanan (dengan
segala aspeknya) untuk menangkap ikan. Kemampuan
ini bergantung pada volume stok sumberdaya ikan yang
ditangkap (baik musiman maupun tahunan) dan kemampuan
alat tangkap itu sendiri (Wiyono & Wahju, 2010). Fishing
capacity diukur berdasarkan dua indikator utama yaitu
: (1) karekteristik kapal (vessel characteristics) dan (2)
karekteristik alat tangkap (fishing gear charecteristic).
Namun demikian, biasanya fishing capacity selama ini
hanya dihitung berdasarkan karekteristik kapal. Indikator
yang banyak digunakan adalah tonase dari sebuah kapal
yang menunjukkan kekuatan kapal dan tenaga mesin yang
digunakan. Selain tonase dan kekuatan kapal, kapasitas

86
alat tangkap (fishing gear) juga sering dijadikan sebagai
indikator kapasitas penangkapan (Laporan Akhir Pendekatan
Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014).

Fishing capacity menjadi input control dalam menajemen


perikanan tangkap. Input perikanan yang berlebih berpotensi
menimbulkan kapasitas yang berlebih (overcapacity). Jadi,
overcapacity diartikan sebagai situasi berlebihnya kapasitas
input perikanan (armada penangkapan ikan) yang digunakan
untuk menghasilakn output perikanan (hasil tangkapan ikan)
pada level tertentu. Overcapacity yang berlangsung terus
menerus akan menyebabkan overfishing. Overfishing dengan
demikian merupakan kondisi di saat output perikanan (hasil
tangkapan ikan) melebihi batas maximumnya (Laporan Akhir
Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et
al. 2014).

Berlebihnya armada tangkap dengan tonase yang beragam


dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan berpotensi
menimbulkan degradasi sumberdaya ikan. Mengukur
tingkat pemanfaatan perikanan dapat didekati dengan status
perikanan yang ditimbulkannya yaitu seberapa jauh tingkat
pemanfaatan sumberdaya perikanan di masing-masing
wilayah pengelolaan. Karena hakekatnya tingkat pemanfaatan
sumberdaya perikanan memerlukan input perikanan. Tingkat
ekploitasi yang tinggi menunjukkan bahwa inputnya berlebih
(Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan,
2011; Adrianto et al. 2014).

87
Metode pengumpulan data
 survey, logbook,
 data poor fisheries: interview kepada responden yang
berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal
10 tahun

Kriteria dan perhitungan


Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing
Capacity and Effort) pada domain teknik penangkapan
memiliki bobot 15 (%) dengan nilai densitas 21. Densitas
merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan
logis dengan ekosistem lamun (Lihat gambar 7).

Kriteria Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan


pada teknik penangkapan adalah (Skor) (Adrianto et al.
2014):
 Bernilai 1, jika Rasio kapasitas penangkapan < 1
 Bernilai 2, jika Rasio kapasitas penangkapan = 1
 Bernilai 3, jika Rasio kapasitas penangkapan > 1
Nilai akhir parameter Kapasitas Perikanan dan Upaya
Penangkapan adalah
nilai skor x bobot x densitas

4. Selektivitas penangkapan
Defenisi
Pengelolaan perikanan secara teknis juga mencakup
pengaturan alat dan pembatasan daerah musim perikanan
tangkap. Pembatasan alat tangkap berkaitan dengan
selektivitas alat tangkap. Hal ini terkait dengan spesifikasi
jaring untuk menangkap ikan spesies tertentu atau
meloloskan ikan bukan tujuan tangkap (by catch) serta efek
terhadap ekosistem. Selektifitas alat tangkap terkait dengan
ukuran mata jaring dan jumlah pancing yang digunakan
untuk menangkap ikan. Mata jaring yang kecil berpotensi

88
menangkap ikan-ikan yang berukuran kecil (Laporan Akhir
Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et
al. 2014).

Mata jaring yang kecil berpotensi menghambat perkembangan


ikan-ikan kecil yang berpotensi berkembang lebih besar lagi.
Ukuran mata jaring yang kecil dapat menghambat regenerasi
dan pertumbuhan ikan. Terkait dengan selektifitas alat tangkap
ini terdapat beberapa alat tangkap yang dianggap mempunyai
mata jaring kecil dan berpotensi menghambat pertumbuhan
ikan seperti Pukat ikan, pukat udang, purse seine, gill net
dan trawl (Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam
Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014). Peraturan tentang
penggunaan mata jaring inipun telah diatur berdasarkan
beberapa aturan, 1) Permen No. PER.08/MEN/2008 tentang
penggunaan alat penangkapan ikan jaring insang (gill-net) di
ZEEI, 2) Surat Dirjen Perikanan Tangkap No. 1546/DPT.2/
PI. 320.02/IV/08 tentang Pedoman Cara Pengukuran mata
jaring (mesh size) dan bukaan Mata Jaring

Metode pengumpulan data


 Statistik Perikanan Tangkap, logbook,
 survey

Kriteria dan perhitungan


Selektivitas penangkapan pada domain teknik penangkapan
memiliki bobot 15 (%) dengan nilai densitas 21. Densitas
merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan
logis dengan ekosistem lamun (Lihat gambar 7).

89
Kriteria Selektivitas penangkapan pada domain teknik
penangkapan adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika rendah (> 75%)
 Bernilai 2, jika sedang (50-75%)
 Bernilai 3, jika tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat
tangkap yang tidak selektif)
Nilai akhir parameter Selektivitas penangkapan adalah
nilai skor x bobot x densitas

5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan


dengan dokumen legal
Defenisi
Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen
legal. Hal ini penting untuk mengindari praktek ilegal fishing
karena tidak sesuai perijinan. Dalam hal ini, misalnya
jangan sampai kapal-kapal ukuran kecil (dalam dokumen)
ternyata dilapangan menggunakan kapal dengan ukuran yang
lebih besar. Dalam hal ini akan terjadi peningkatan jumlah
tangkapan yang pada akhirnya tidak dilaporkan.

Metode pengumpulan data


 “Survey/monitoring fungsi, ukuran dan jumlah kapal.
 Dibutuhkan informasi rasio dimensi dan berat GT
kapal»

Kriteria dan perhitungan
Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan
dengan dokumen legal pada domain teknik penangkapan
memiliki bobot 10 (%) dengan nilai densitas 19. Densitas
merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan
logis dengan ekosistem lamun (Lihat gambar 7).

90
Kriteria Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan
ikan dengan dokumen legal pada domain teknik
penangkapan adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika kesesuaiannya rendah (lebih dari 50%
sampel tidak sesuai dengan dokumen legal)
 Bernilai 2, jika kesesuaiannya sedang (30-50% sampel
tidak sesuai dengan dokumen legal);
 Bernilai 3, jika kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%)
sampel tidak sesuai dengan dokumen legal
Nilai akhir parameter Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikan dengan dokumen legal adalah
nilai skor x bobot x densitas

6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan


Defenisi
Sertifikasi ini didefiniskan sebagai pengembangan kualifikasi
kecakapan awak kapal perikanan. Sertifikasi awak kapal
dilakukan dengan manfaat untuk penerapan kegiatan
penangkapan ikan yang bertanggung jawab oleh awak kapal
perikanan. Indikator ini didekati dengan mengukur tingkat
kepemilikan awak kapal terhadap sertifikat ANKAPIN dan
ATKAPIN. Sertifikasi ini diatur dalam Peraturan Pemerintah
nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan pasal 2-6 meliputi
sertifikat keahlian pelaut dan sertifikat keterampilan pelaut
(Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan,
2011; Adrianto et al. 2014).

Kepemilikan ANKAPIN juga diatur dalam Peraturan Menteri
Perhubungan nomor KM 9 tahun 2005 tentang Pendidikan
dan Pelatihan, Ujian serta Sertifikasi Pelaut Kapal Penangkap
Ikan. Dalam aturan ini disebutkan bahwa awak kapal
diwajibkan mempunyai ANKAPIN I-III dan ATKAPIN I-III.
Anjuran ini ditegaskan lagi dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Perhubungan Laut Nomor UX.II/7/4/DJPL-09

91
tentang Sertifikasi Kepelautan Kapal Penangkap Ikan Tahun
(2007) (2008) (2009). Surat edaran ini memerintahkan
agar awak kapal mempunyai sertifikat keterampilan pelaut
(Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan,
2011; Adrianto et al. 2014).

Metode pengumpulan data


 Sampling kepemilikan sertifikat
 Laporan (daftar) awak kapal yang memiliki sertifikat
dari syahbandar

Kriteria dan perhitungan
Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan pada
domain teknik penangkapan memiliki bobot 5 (%) dengan
nilai densitas 12. Densitas merupakan jumlah parameter
lain yang memiliki hubungan logis dengan ekosistem lamun
(Lihat gambar 7).

Kriteria Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan


peraturan pada domain teknik penangkapan adalah (Skor)
(Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika Kepemilikan sertifikat <50%;
 Bernilai 2, jika Kepemilikan sertifikat 50-75%;
 Bernilai 3, jika Kepemilikan sertifikat >75%
Nilai akhir parameter Sertifikasi awak kapal perikanan
sesuai dengan peraturan adalah
nilai skor x bobot x densitas

C. Rangkuman
Domain penangkapan terdiri dari 6 parameter yaitu:
1) Penangkapan ikan yang bersifat destruktif
2) Modifikasi alat Penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
3) Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing
Capacity and Effort)

92
4) Selektivitas penangkapan
5) Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan
dengan dokumen legal
6) Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Masing-masing parameter memiliki kriteria tersendiri untuk
menentukan nilai skor (nilai 1-3) (Adrianto et al. 2014).
Nilai parameter = nilai skor x bobot x densitas
Nilai akhir Domain Teknik Penangkapan =
∑nilai masing-masing parameter

D. Latihan /Tugas/Eksperimen
1. Setiap mahasiswa melakukan perhitungan setiap parameter
(1-6 dengan memilih satu kawasan perairan (bisa perwilayah
kabupaten untuk WPP provinsi atau per wilayah provinsi
untuk WPP tertentu). Misal pada aspek pembahasan WPP
Kabupaten Simeulue wilayah yang dimaksud adalah Provinsi
Aceh, Sumut, Riau, Kep. Riau, Sumsel, dan Lampung
(Sesuai dengan WPP pada domain sebelumnya).
2. Masing-masing hasil dari mahasiswa dalam kelompok
digabungkan untuk mendapatkan nilai akhir domain teknik
penangkapan (WPP yang sama). Diskusikan hasil dengan
kelompok masing-masing. Diskusikan di dalam kelas
3. Petakan lah domain teknik penangkapan pada WPP yang
anda pilih

E. Rujukan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.

93
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF-Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
3. Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980 tentang
instruksi Presiden RI terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983
di seluruh Indonesia tidak lagi terdapat kapal perikanan yang
menggunakan jaring trawl
4. Peraturan Menteri Perhubungan nomor KM 9 tahun 2005
tentang Pendidikan dan Pelatihan, Ujian serta Sertifikasi
Pelaut Kapal Penangkap Ikan. Dalam aturan ini disebutkan
bahwa awak kapal diwajibkan mempunyai ANKAPIN I-III
dan ATKAPIN I-III. Anjuran ini ditegaskan lagi dalam
Surat Edaran Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor
UX.II/7/4/DJPL-09 tentang Sertifikasi Kepelautan Kapal
Penangkap Ikan Tahun (2007) (2008) (2009)
5. Permen No. PER.08/MEN/2008 tentang penggunaan alat
penangkapan ikan jaring insang (gill-net) di ZEEI, 2) Surat
Dirjen Perikanan Tangkap No. 1546/DPT.2/PI. 320.02/IV/08
tentang Pedoman Cara Pengukuran mata jaring (mesh size)
dan bukaan Mata Jaring
6. Peraturan Menteri No.06/MEN/2008 pasal 3 dan 4 tentang
Penggunaan alat penangkapan ikan Pukat hela di perairan
Kalimantan Timur Bagian Utara

94
F. Bahan Bacaan yang Dianjurkan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF-Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor

95
BAB VI
SOSIAL -EKONOMI

A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab iv ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
X-XI) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan mengevaluasi performa EAFM pada
Domain Sosial-ekonomi.
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati beberapa mata kuliah yang sangat berkaitan
dengan pertemuan (mata kuliah ini). Diantaranya 1) Sosiologi
Dasar (Semester I), 2) Ekonomi Perairan (semester II), dan
4) sumberdaya perikanan (Semester V), Pengkajian stok ikan
(Semester VI).
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Materi Sosial-ekonomi merupakan salah satu domain dalam
menganalisis dan mengevaluasi performa pengelolaan
perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM). EAFM
disusun dari 6 domain, yaitu 1) Domain Sumber Daya
Ikan, 2) Domain Habitat dan Lingkungan, 3) Domain Teknik
Penangkapan, 4) Domain Sosial, 5) Domain Ekonomi, dan 6)

97
Domain. Keenam domain tersebut saling terkait (conectivity).
Penilaian performa EAFM merupakan agregat dari keenam
domain tersebut.
4. Manfaat atau pentingnya bahan pembelajaran ini
Materi ini penting bagi mahasiswa untuk dapat menganalisa
dan mengevaluasi performa pengelolaan perikanan (EAFM)
pada domain sosial-ekonomi.
5. Petunjuk belajar bagi mahasiswa.
Mahasiswa perlu memahami dan mempelajari Modul
EAFM yang dikeluarkan oleh Direktorat Sumber Daya Ikan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2014 kerja sama
dengan WWF Indonesia dan PKSPL IPB Bogor. Mahasiswa
juga perlu kembali mempelajari materi terdahulu berkaitan
sosiologi dna ekonomi perairan.

B. Penyajian Materi
1) Partisipasi pemangku kepentingan
Keterlibatan pemangku kepentingan untuk mengetahui tingkat
partisipasi, rasa memiliki dan kepedulian dalam pengelolaan
perikanan. Partisipasi pemangku kepentingan merupakan
bagian dari tanggung jawab bersama terhadap kelestarian dan
keberlanjutan kegiatan perikanan. Dalam hal ini tanggung jawab
tidak hanya milik pemerintah ataupun nelayan, melainkan termasuk
akademisi, peneliti terkait pemberian amsukan dalam membuat
input kebijakan. Termasuk juga perlu adanya sinergitas dan
kerjasama dengan kepala adat atau agama dimana keberadaanya
sangat dihormati dan dihargai oleh masyarakat setempat.

Metode Pengumpulan data


 Pencatatan partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai
dengan pentahapan pengelolaan perikanan.
 Evaluasi dari pencatatan ini dilakukan setiap tahap dan siklus
pengelolaan.
98
Kriteria dan perhitungan
Partisipasi pemangku kepentingan pada domain sosial memiliki
bobot 40 (%) dengan nilai densitas 30. Densitas merupakan
jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
Partisipasi pemangku kepentingan (Lihat gambar 7).
Kriteria Partisipasi pemangku kepentingan pada domain
sosial adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika kurang dari 50%;
 Bernilai 2, jika 50-100%;
 Bernilai 3, jika 100 %
Nilai akhir parameter Partisipasi pemangku kepentingan
adalah
nilai skor x bobot x densitas

2) Konflik perikanan
Adanya konflik perikanan akan menghambat pembanguan serta
akan dengan cepat merusak ekosistem dan sumberdaya. Bagaimana
tidak, setiap stakeholder pada akhirnya tidak merasa ada tanggung
jawab sehingg bebas melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya.
Konflik ini bisa jadi tidak adanya pembagian wilayah yang
jelas dalam pemanfaatan sumberdaya, misalnya dalam bentuk
Tata Ruang ataupun Rencana Zonasi Pesisir. Dalam hal ini juga
termasuk karena kebijakan yang dibuat oleh pemangku kebijakan
dirasa “tidak adil” oleh pihak lain. Oleh karena itu, perlu koordinasi
antar sektor dan pemangku kepentingan.

Metode pengumpulan data


Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap semester (2 kali
setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda
by musim).

Kriteria dan perhitungan
Konflik perikanan pada domain sosial memiliki bobot 35 (%)
dengan nilai densitas 31. Densitas merupakan jumlah parameter

99
lain yang memiliki hubungan logis dengan ekosistem lamun
(Lihat gambar 7).

3) Kriteria Konflik perikanan pada domain teknik sosial


adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika lebih dari 5 kali/tahun
 Bernilai 2, jika 2-5 kali/tahun
 Bernilai 3, jika kurang dari 2 kali/tahun
Nilai akhir parameter Konflik perikanan adalah
nilai skor x bobot x densitas

3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya


ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)

Defenisi
Pemanfaatan sumberdaya secara lestari dalam jangka
panjang, tidak hanya terkait dengan analisis teknik, tetapi
memerlukan analisis sosial ekonomi. Dukungan masyarakat
dalam program menjadi prasyarat penting untuk menjamin
keberlanjutan program di masa mendatang. Keterlibatan
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya sangat penting,
karena mereka juga mempunyai pengetahuan ekologi lokal
(LEK =local ecological knowlegde) yang berperan dalam
usaha pengelolaan sumberdaya alam (Joshi et al. 2004).

Program pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dapat


dilakukan dalam bentuk kelembagaan yang dibangun berbasis
masyarakat. Masyarakat yang terkait secara langsung dengan
pembangunan dan pengamanan ekosistem mangrove diajak
untuk berpartisipasi aktif dalam melestarikan ekosistem
sumberdaya alam. Peran langsung masyarakat lokal dalam
pengelolaan perikanan diperkuat sesuai budaya setempat.
Setiap daerah dapat memiliki sistem pengelolaan yang
berbeda-beda sesuai dengan budaya masing-masing daerah

100
Kriteria dan perhitungan
Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan pada domain sosial memiliki bobot 25
(%) dengan nilai densitas 30. Densitas merupakan jumlah
parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan (Lihat gambar 7).
Kriteria Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan pada domain sosil adalah (Skor) (Adrianto
et al. 2014):
 Bernilai 1, jika tidak ada
 Bernilai 2, jika ada tapi tidak efektif
 Bernilai 3, jika ada dan efektif digunakan
Nilai akhir parameter Pemanfaatan pengetahuan lokal da-
lam pengelolaan sumberdaya ikan adalah
nilai skor x bobot x densitas

4. Kepemilikan Aset
Defenisi
Perubahan nilai/jumlah aset usaha Rumah Tangga Perikanan
(RTP) merupakan aset usaha perikanan atau aset Rumah Tangga
perikanan. Hal ini penting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan
nelayan yang tentunnya berbeda antar setiap lokasi maupun jenis
kepemilikan kapal atau armada penangkapan. Dalam hal ini
berkaitan juga dengan statusnya sebagai pemilik atau anak buah
kapal.
Metode Pengumpulaan data
 Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan
RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (sumber data :
susenas BPS)

Kriteria dan perhitungan
Kepemilikan Aset pada domain ekonomi memiliki bobot 45 (%)
dengan nilai densitas 20. Densitas merupakan jumlah parameter

101
lain yang memiliki hubungan logis dengan Kepemilikan Aset
(Lihat gambar 7).

Kriteria Kepemilikan Aset pada domain ekonomi adalah


(Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika nilai aset berkurang (lebih dari 50%)
 Bernilai 2, jika nilai aset tetap (kurang dari 50%);
 Bernilai 3, nilai aset bertambah (di atas 50%)

Nilai akhir parameter Kepemilikan Aset adalah


nilai skor x bobot x densitas
5. Pendapatan rumah tangga (RTP)
Pendapatan total RTP yang dihasilkan dari usaha RTP. Hal ini
penting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan nelayan.

Metode pengumpulan data


 Arahan frekuensi survey (atau penggunaan note/catatan yang
ada di lapangan, mis: pengumpul ikan) dan
 pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim
tangkapan ikan (data primer/kuisioner)

Kriteria dan perhitungan
Pendapatan rumah tangga pada domain ekonomi memiliki bobot
30 (%) dengan nilai densitas 31. Densitas merupakan jumlah
parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan Pendapatan
rumah tangga (Lihat gambar 7).
Kriteria Pendapatan rumah tangga pada domain ekonomi
adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika kurang dari rata-rata UMR;
 Bernilai 2, jika sama dengan rata-rata UMR;
 Bernilai 3, jika > rata-rata UMR
Nilai akhir parameter Pendapatan rumah tangga adalah
nilai skor x bobot x densitas

102
6. Rasio Tabungan (Saving ratio)
Defenisi
menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih.
Hal ini penting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan nelayan
Metode Pengumpulaan data
 Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan
RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (data primer)

Kriteria dan perhitungan
Rasio Tabungan pada domain ekonomi memiliki bobot 25 (%)
dengan nilai densitas 21. Densitas merupakan jumlah parameter
lain yang memiliki hubungan logis dengan Rasio Tabungan
(Lihat gambar 7).
Kriteria Rasio Tabungan pada domain ekonomi adalah
(Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika kurang dari bunga kredit pinjaman;
 Bernilai 2, jika sama dengan bunga kredit pinjaman ;
 Bernilai 3, jika lebih dari bunga kredit pinjaman
Nilai akhir parameter Rasio Tabungan adalah
nilai skor x bobot x densitas

C. Rangkuman
Domain sosial terdiri dari 3 parameter yaitu:
1) Partisipasi pemangku kepentingan
2) Konflik perikanan
3) Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional
ecological knowledge)

Masing-masing parameter memiliki kriteria tersendiri untuk


menentukan nilai skor (nilai 1-3) (Adrianto et al. 2014).
Nilai parameter = nilai skor x bobot x densitas

103
Nilai akhir Domain sosial = ∑ nilai masing-masing
parameter

Domain habitat ekonomi terdiri dari 3 parameter, yaitu:


1) Kepemilikan Aset
2) Pendapatan rumah tangga (RTP)/ nelayan
3) Rasio Tabungan (Saving ratio)
Masing-masing parameter memiliki kriteria tersendiri untuk
menentukan nilai skor (nilai 1-3) (Adrianto et al. 2014).
Nilai parameter = nilai skor x bobot x densitas
Nilai akhir Domain Ekonomi = ∑ nilai masing-masing
parameter

D. Latihan/Tugas/Experimen
1. Setiap mahasiswa melakukan perhitungan setiap parameter
(1-6) dengan memilih satu kawasan perairan (bisa perwilayah
kabupaten untuk WPP provinsi atau per wilayah provinsi
untuk WPP tertentu). Misal pada aspek pembahasan WPP
Kabupaten Simeulue wilayah yang dimaksud adalah Provinsi
Aceh, Sumut, Riau, Kep. Riau, Sumsel, dan Lampung
(Sesuai dengan WPP pada domain sebelumnya).
2. Masing-masing hasil dari mahasiswa dalam kelompok
digabungkan untuk mendapatkan nilai akhir domain sosial
dan domain ekonomi (WPP yang sama). Diskusikan hasil
dengan kelompok masing-masing. Diskusikan di dalam kelas
3. Petakan lah status domain sosiaal dan ekonomi hasil
perhitungan pada WPP yang anda pilih

E. Rujukan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup

104
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF-Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
3. Joshi Laxman, Luis Arévalo, Nelly Luque, Julio Alegre &
Fergus Sinclair. 2004. Local ecological knowledge in natural
resource management. Draft manuscript for “Bridging Scales
and Epistemologies” conference. Alexandria, Egypt: 17-20
May 2004

F. Bahan Bacaan yang Dianjurkan


1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF-Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor

105
BAB VII
KELEMBAGAAN

A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab iv ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
XII-XIII) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan mengevaluasi performa EAFM pada
Domain Kelembagaan.
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati beberapa mata kuliah yang sangat berkaitan
dengan pertemuan (mata kuliah ini). Diantaranya 1) Sosiologi
(Semester I), 2) konservasi sumberdaya hayati perairan
(Semester IV), dan 3) Pengelolaan Ekosistem Pesisir.
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Materi Domain Kelembagaan merupakan salah satu domain
dalam menganalisis dan mengevaluasi performa pengelolaan
perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM). EAFM
disusun dari 6 domain, yaitu 1) Domain Sumber Daya
Ikan, 2) Domain Habitat dan Lingkungan, 3) Domain Teknik
Penangkapan, 4) Domain Sosial, 5) Domain Ekonomi, dan 6)
Domain. Keenam domain tersebut saling terkait (conectivity).

107
Penilaian performa EAFM merupakan agregat dari keenam
domain tersebut.
4. Manfaat atau pentingnya bahan pembelajaran ini
Materi ini penting bagi mahasiswa untuk dapat menganalisa
dan mengevaluasi performa pengelolaan perikanan (EAFM)
pada domain kelembagaan.
5. Petunjuk belajar bagi mahasiswa.
Mahasiswa perlu memahami dan mempelajari Modul
EAFM yang dikeluarkan oleh Direktorat Sumber Daya Ikan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2014 kerja sama
dengan WWF Indonesia dan PKSPL IPB Bogor. Mahasiswa
juga perlu kembali mempelajari materi terdahulu berkaitan
dengan sosiologi dan pengelolaan lingkkungan pesisir.

B. Penyajian Materi
1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah
ditetapkan baik secara formal maupun non-formal

Defenisi
Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan
WPP terhadap aturan main baik formal maupun tidak formal.
Mengetahui tingkat partisipasi, rasa memiliki dan kepedulian
dalam pengelolaan perikanan

Metode pengumpulan data


Monitoring ketaatan:
 Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas,
 Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran
non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri
maupun peraturan diatasnya

108
 Perlu tambahan informasi mengenai kualitas kasus dengan
contohnya

Kriteria dan perhitungan
Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik
secara formal maupun non-formal pada domain kelembagaan
memiliki bobot 25 (%) dengan nilai densitas 31. Densitas
merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis
dengan Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah
ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Lihat
gambar 7).

Kriteria Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang


bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah
ditetapkan baik secara formal maupun non-formal pada
domain kelembagaan (Formal) adalah (Skor) (Adrianto et
al. 2014):
 Bernilai 1, jika lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran
hukum dalam pengelolaan perikanan
 Bernilai 2, jika 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum ;
 Bernilai 3, jika kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
Kriteria Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah
ditetapkan baik secara formal maupun non-formal pada
domain kelembagaan (Non formal) adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika lebih dari 5 informasi pelanggaran
 Bernilai 2, jika lebih dari 3 informasi pelanggaran;
 Bernilai 3, jika tidak ada informasi pelanggaran
Nilai akhir parameter Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip
perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan
perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun
non-formal adalah

109
2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
Defenisi
Kelembagaan merupakan satu konsepsi yang kompleks yang
mengkaitkan antar elemen-elemen secara komprehensif. Sebagai
sebuah konsepsi, kelembagaan menggambarkan adanya interaksi
antar individu dalam mencapai tujuan bersama serta usaha-usaha
untuk menjamin bahwa harapan-harapan atau kepentingan mereka
tetap terpenuhi. Jadi ada usaha kolaboratif menggabungkan
beberapa kepentingan serta representasi dari nilai-nilai yang
disepakati antar anggotanya. Sehingga secara sederhana,
kelembagaan dapat berupa organisasi atau wadah (players of
the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur
kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya
untuk mencapai tujuan bersama (Taryono 2009). Dengan
demikian dalam penilaian EAFM kelengkapan aturan main
dalam pengelolaan perikanan menjadi sangat penting, terutama
berhubungan dengan:
1. Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan
perikanan
2. Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya

Metode pengumpulan data
1) Benchmark sesuai dengan Peraturan nasional, pemda
seharusnya juga membuat peraturan turunannya (poin 1)
2) membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya
(poin 1)
3) replikasi kearifan lokal (poin 1)
4) ketersediaan alat pengawasan, orang (poin 2)
5) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman) (poin
2)

110
Kriteria dan perhitungan
Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
pada domain kelembagaan memiliki bobot 26 (%) dengan nilai
densitas 31. Densitas merupakan jumlah parameter lain yang
memiliki hubungan logis dengan Kelengkapan aturan main
dalam pengelolaan perikanan (Lihat gambar 7).

Kriteria Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan


perikanan pada domain kelembagaan adalah (Skor) (Poin 1)
(Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika tidak ada;
 Bernilai 2, jika ada tapi tidak lengkap;
 Bernilai 3, jika ada dan lengkap
Kriteria Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan
perikanan pada domain kelembagaan adalah (Skor) (Poin
1):
 Bernilai 1, jika tidak ada;
 Bernilai 2, jika ada tapi tidak lengkap;
 Bernilai 3, jika ada dan jumlahnya bertambah
Kriteria Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan
perikanan pada domain kelembagaan adalah (Skor) (Poin
2):
 Bernilai 1, jika tidak ada penegakan aturan main;
 Bernilai 2, jika ada penegakan aturan main namun
tidak efektif;
 Bernilai 3, jika ada penegakan aturan main dan efektif
Kriteria Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan
perikanan pada domain kelembagaan adalah (Skor) (Poin
2):
 Bernilai 1, jika tidak ada alat dan orang;
 Bernilai 2, jika ada alat dan orang tapi tidak ada
tindakan;
 Bernilai 3, jika ada alat dan orang serta ada tindakan
Kriteria Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan
perikanan pada domain kelembagaan adalah (Skor) (Poin
2):
 Bernilai 1, jika tidak ada teguran maupun hukuman;
 Bernilai 2, jika ada teguran atau hukuman;
 Bernilai 3, jika ada teguran dan hukuman

111
Nilai akhir parameter Kelengkapan aturan main dalam
pengelolaan perikanan adalah

3. Mekanisme pengambilan keputusan


Defenisi
Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP)
dalam pengelolaan perikanan. Hal ini berkaitan juga dengan ada
tidaknya lembaga formal pengelola perikanan, khususnya pada
setiap WPP.

Metode Pengumpulan
 Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga
dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner

Kriteria dan perhitungan
Mekanisme pengambilan keputusan pada domain kelembagaan
memiliki bobot 18 (%) dengan nilai densitas 12. Densitas
merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis
dengan Mekanisme pengambilan keputusan (Lihat gambar 7).

Kriteria Mekanisme pengambilan keputusan pada domain


kelembagaan adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika tidak ada mekanisme pengambilan
keputusan;
 Bernilai 2, jika ada mekanisme tapi tidak berjalan
efektif;
 Bernilai 3, jika ada mekanisme dan berjalan efektif
Kriteria Mekanisme pengambilan keputusan pada domain
kelembagaan adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika ada keputusan tapi tidak dijalankan;
 Bernilai 2, jika ada keputusan tidak sepenuhnya
dijalankan;
 Bernilai 3, jika ada keputusan dijalankan sepenuhnya
Nilai akhir parameter Mekanisme pengambilan keputusan
adalah

112
4. Rencana pengelolaan perikanan
Defenisi
Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan
yang akan di evaluasi. Rencana Pengelolaan Perikanan, yang
selanjutnya disingkat RPP adalah dokumen resmi yang memuat
analisis situasi perikanan dan rencana strategis, yang merupakan
kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
dengan para pemangku kepentingan lainnya, sebagai arah dan
pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan di
bidang penangkapan ikan untuk Perairan laut maupun perairan
Darat. Pedoman Penyusunan RPP di bidang penangkapan
ikan disusun dengan tujuan mencapai manfaat yang optimal,
berkelanjutan, dan menjamin kelestarian sumber daya ikan (Per
Men KP 29/2012 dan 2016).

Metode pengumpulan data
Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner:
 Adakah atau tidak RPP disuatu daerah
 Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat

Kriteria dan perhitungan


Rencana pengelolaan perikanan pada domain kelembagaan
memiliki bobot 15 (%) dengan nilai densitas 30. Densitas
merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis
dengan Rencana pengelolaan perikanan (Lihat gambar 7).
Kriteria Rencana pengelolaan perikanan pada domain
kelembagaan adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika belum ada RPP;
 Bernilai 2, jika ada RPP namun belum sepenuhnya
dijalankan;
 Bernilai 3, jika ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya

113
Nilai akhir parameter Rencana pengelolaan perikanan
adalah
nilai skor x bobot x densitas
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan
perikanan
Defenisi
1) Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-
nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan
akan semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga
dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
2) Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat
efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga
dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner

Kriteria dan perhitungan


Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan
perikanan pada domain kelembagaan memiliki bobot 11 (%)
dengan nilai densitas 18. Densitas merupakan jumlah parameter
lain yang memiliki hubungan logis dengan Tingkat sinergisitas
kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan (Lihat
gambar 7).

Kriteria Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan


pengelolaan perikanan pada domain kelembagaan
adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
 Bernilai 1, jika konflik antar lembaga (kebijakan
antar lembaga berbeda kepentingan);
 Bernilai 2, jika komunikasi antar lembaga tidak
efektif;
 Bernilai 3, jika sinergi antar lembaga berjalan baik

114
Kriteria Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan
pengelolaan perikanan pada domain kelembagaan
adalah (Skor):
 Bernilai 1, jika tidak ada kebijakan;
 Bernilai 2, jika kebijakan tidak saling mendukung ;
 Bernilai 3, jika kebijakan saling mendukung
Nilai akhir parameter Tingkat sinergisitas kebijakan
dan kelembagaan pengelolaan perikanan adalah


6. Kapasitas pemangku kepentingan
Defenisi
Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku
kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem. Hal
ini berkaitan juga dengan ada tidaknya lembaga formal pengelola
perikanan, khususnya pada setiap WPP.

Metode pengumpulan data


Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner terhadap:
1) Ada atau tidak, berapa kali
2) Materi

Kriteria dan perhitungan


Kapasitas pemangku kepentingan pada domain kelembagaa
memiliki bobot 5 (%) dengan nilai densitas 31. Densitas
merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis
dengan kelembagaan (Lihat gambar 7).

115
7. Kriteria Kapasitas pemangku kepentingan pada
domain kelembagaan adalah (Skor) (Adrianto et
al. 2014):
 Bernilai 1, jika tidak ada peningkatan;
 Bernilai 2, jika ada tapi tidak difungsikan
(keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi
pekerjaannya);
 Bernilai 3, jika ada dan difungsikan
(keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi
pekerjaannya)
Nilai akhir parameter Kapasitas pemangku
kepentingan adalah
nilai skor x bobot x densitas

C. Rangkuman
Domain habitat dan ekosistem terdiri dari 6 parameter yaitu:
1) Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah
ditetapkan baik secara formal maupun non-formal
2) Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
3) Mekanisme pengambilan keputusan
4) Rencana pengelolaan perikanan
5) Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan
perikanan
6) Kapasitas pemangku kepentingan

Masing-masing parameter memiliki kriteria tersendiri untuk


menentukan nilai skor (nilai 1-3) (Adrianto et al. 2014).
Nilai parameter = nilai skor x bobot x densitas
Nilai akhir Domain Kelembagaan =
∑nilai masing-masing parameter

116
D. Latihan/Tugas/Eksperimen
1. Setiap mahasiswa melakukan perhitungan setiap parameter
(1-6) dengan memilih satu kawasan perairan (bisa perwilayah
kabupaten untuk WPP provinsi atau per wilayah provinsi
untuk WPP tertentu). Misal pada aspek pembahasan WPP
Kabupaten Simeulue wilayah yang dimaksud adalah Provinsi
Aceh, Sumut, Riau, Kep. Riau, Sumsel, dan Lampung
(Sesuai dengan WPP pada domain sebelumnya).

2. Masing-masing hasil dari mahasiswa dalam kelompok


digabungkan untuk mendapatkan nilai akhir habitat &
ekosistem (WPP yang sama). Diskusikan hasil dengan
kelompok masing-masing. Diskusikan di dalam kelas

3. Petakan lah status domain kelembagaan pada WPP yang


anda pilih

E. Rujukan
1. Adrianto L., M. Arsyad Al Amin, Akhmad Solihin, & Dede
Irving Harton. 2010. Konstruksi Kelembagaan Dalam
Pengelolaan Perikanan Di Era Desentralisasi. Working
Paper PKSPL-IPB Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan
Lautan Institut Pertanian Bogor. Vol 1 No. 2 Agustus 2010
2. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
3. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan

117
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF‐Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
4. Joshi Laxman, Luis Arévalo, Nelly Luque, Julio Alegre &
Fergus Sinclair. 2004. Local ecological knowledge in natural
resource management. Draft manuscript for “Bridging Scales
and Epistemologies” conference. Alexandria, Egypt: 17-20
May 2004
5. Taryono. 2009. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya.
Lecture Notes pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir (PS-SPL), Dept. MSP-FPIK, IPB

F. Bahan Bacaan yang Dianjurkan


1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF‐Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor

118
BAB VIII
PENILAIAN DAN
EVALUASI INDIKATOR
EAFM

A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab iv ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
XIV-XVI) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan mengevaluasi performa EAFM (6 Domain)
dan membuat rekomendasi pengelolaan perikanan sesuai
hasil evaluasi EAFM.
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati dan memahami dengan benar konsep dan
perhitungan keenam Domain EAFM.
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Penilaian performa EAFM penting untuk mengetahui
tingkat (status) pengelolaan suatu WPP atau komoditas
perikanan tertentu (ekonomis penting). Dengan demikian
akan lebih mudah dan tepat untuk menentukan (perbaikan)
pada aspek yang menjadi masalah pada penilaian performa
EAFM. Perbaikan pengelolaan nantinya akan diarahkan pada
performa EAFM yang buruk (warna merah) maupun sedang

119
(warna kuning). Dan jika memang bagus (warna hijau)
tinggal dilanjutkan atau dimodifikasi sesuai kebutuhan.
4. Manfaat atau pentingnya bahan pembelajaran ini
Materi ini penting bagi mahasiswa perikanan untuk dapat
menganalisa dan mengevaluasi performa pengelolaan
perikanan (EAFM) sehingga mampu memberikan
rekomendasi dan arahahan pengelolaan yang berkelanjutan.
5. Petunjuk belajar bagi mahasiswa.
Mahasiswa perlu memahami dan mempelajari Modul
EAFM yang dikeluarkan oleh Direktorat Sumber Daya Ikan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2014 kerja sama
dengan WWF Indonesia dan PKSPL IPB Bogor.

B. Penyajian Materi
1. Penilaian Indikator
Penilaian indicator ekosistem approach for fisheries management
(EAFM) terdiri dari indicator dari domain 1) sumberdaya ikan, 2)
domain ekosistem dan lingkungan, 3) teknologi penangkapan ikan,
4) domain social, 5) domain ekonomi, 6) domain kelembagaan.
Keenam domain ini dikaji menurut wilayah kajian yaitu wilayah
kota atau kabuaten.

Penilaian dilakukan dari proses pengumpulan data primer, sekunder


dan kuesioner selama survei di lokasi kajian. Untuk wilayah
Kabupaten Simelue (Perairan laut Simelue dan sekitarnya), lokasi
samplingnya mencakup 10 kecamatan di Kabupaten Simeulue dan
pulau-pulau kecil disekitarnya.

Domain yang dinilai mencukupi domain sumberdaya ikan terdiri


dari 8 parameter, domain habitat dan lingkungan mencakup 15
parameter, social mencakup 3 parameter, ekonomi tiga parameter,
dan domain kelembagaan 13 parameter. Penilaian dilakukan atas

120
kajian ilmiah, kemudian proses pemberian skor dilakukan atas
pertimbangan pembagian nilai referensi (referensi point). Nilai
referensi point maksimal akan memperoleh nilai maksimal.
Pembagian nilai referensi (referensi point bagi) setiap parameter
disajikan pada Tabel berikut yang kemudian dijadikan batasan
skor disajikan pada kolom criteria dalam tabel penilaian indicator.
Jadi semua parameter dan reference point yang ada ditetapkan
secara tetap dan terukur. Hasil dari penilaian dan pemberian skor
dari parameter tersebut disajikan pada Tabel 8 - 13.

Tabel 8. Penilaian Indikator Domain Sumberdaya Ikan (Contoh


kasus di WPP Kabupaten Simeulue)

121
Tabel 9. Penilaian Indikator Domain Habitat dan ekosistem
(Contoh kasus di WPP Kabupaten Simeulue)

Tabel 10. Penilaian Indikator Domain Teknik Penangkapan


(Contoh kasus di WPP Kabupaten Simeulue)

122
Tabel 11. Penilaian Indikator Domain Teknik Sosial (Contoh kasus
di WPP Kabupaten Simeulue)

Tabel 12. Penilaian Indikator Domain Ekonomi (Contoh kasus di


WPP Kabupaten Simeulue)

Tabel 13. Penilaian Indikator Domain Ekonomi (Contoh kasus di


WPP Kabupaten Simeulue)

123
2. Evaluasi Penilaian Indikator EAFM
Batasan Atribut, Densitas dan Domain
Dalam evaluasi indicator EAFM beberapa hal yang perlu di
perhatikan adalah titik acuan atau reference point dari setiap
indikator maupun dari agregat indicator. Reference point dari
indikator menjadi salah satu batasan dalam proses pemberian skor
baik dari domain sumberdaya ikan, ekologi dan habitat, teknologi
penangkapan, social, ekonomi dan kelembagaan.

Dalam pengukuran indikator dari setiap domain, batasan skor


indikator yang diberikan antara 0-3. Nilai nol merupakan skor
terendah, dan nilai 3 skor tertinggi. Pemberian skor dari setiap
atribut ini merupakan suatu upaya untuk mengakomodasi semua
nilai atribui yang memiliki dalam satuan yang berbeda. Dengan
teknik skor ini maka semua atribut yang ada dalam penilaian akan
terlihat memberikan kontribusi yang imbang. Dalam pengkajian
parameter atribut di WPP Kabupaten Simelue, maka pemberian
skor atributnya sebagai berikut

Tabel 13. Batasan nilai skor atribut EAFM


Batasan Skor Indikator
Deskripsi Warna
Batas Bawah Batas Atas
0 1,5 Rendah  
1,51 2,5 Sedang  
2,51 3 Tinggi  

124
Dari proses pemberian skor tersebut, pada tahap awalnya kita
bisa mengetahui kelompok kelompok parameter mana yang
memberikan kontribusi terendah. Kelompok dengan kontribusi
terendah tersebut atau yang berada dibawah reference point
parameter tergolong sebagai atribut dengan status merah (rendah).
Begitu juga sebaliknya jika skor aktributnya lebih dari standar yang
ditetapkan, maka tergolong sebagai parameter yang kontribusi
baik

Selain skor atribut, salah satu bagian penting yang perlu diperhatikan
pengaruhnya adalah nilai densitas. Nilai densitas didefenisikan
sebagai jumlah keterkaitan dari setiap atribut terhadap atribut
lainnya. Jumlah keterkaitan ini baik bersifat langsung ataupun
tidak langsung. Selain itu juga menujukkan besaran pengaruh dari
suatu atribut terhadap atribut lainnya. Secara umum keseluruhan
atribu memberikan peluang memiliki hubunan dengan atribut
lainnya kecuali dirinya sendiri. Untuk itu nilai refenrece point
maksimal dari skor densitas dalah (N-1). Dimana N adalah
jumlah atribut yang digunakan dalam proses penilaian EAFM
suatu wilayah. Dalam kontek ini pemberikan nilai skor densitas
juga akan menunjukkan pengaruhnya terhadap perhitungan secara
keseluruhan. Logika sederhananya adalah, bahwa setiap atribu
yang memiliki keterkaitan tinggi (banyak) terhadap atribut lainya,
akan tergolong sebagai atribut yang memiliki peran besar dalam
ekosistem suatu kawasan. Hasil evaluasi dari skor densitas akan
dikelompokkan adalah beberapa bagaian sebagai berikut

125
Tabel 14. Batasan nilai skor densitas EAFM
Kriteria Densitas
Deskripsi Warna
Batas Bawah Batas Atas
0 9,0 Sangat Rendah  
9,1 15,0 Rendah  
15,1 20,0 Sedang  
20,1 25,0 Tinggi  
25,1 35,0 Sangat Tinggi  

Penetapan batasan, deskripsi adalah sebagai indicator terhadap suatua


ekosistem. Dalam hal ini bukan berarti densitas yang berwarna merah
merupakan atribut yang jelek pengaruhnya, tetapi hanya menunjukkan
rendah atau sedikit konetivitasnya. Kalo densitasnya rendah berarti
atribut tersebut perannya kurang terhadap atribut lain di kawasan
tersebut.

Perkalian skor atribut dan skor densitas akan memberikan nilai atau
bobot dari setiap atribut yang ada secara keseluruhan. Hasil ini
kemudian di masukan kedalam nilai agregat atribut. Nilai agregat
atribut tersebut kemudian dikonversi menjadi nilai dengan skala 0-1-
100. Agregat dengan nilai 100 termasuk agregat yang paling tinggi
pengaruhanya di kawasan, dan yang rendah paling kurang pengaruhnya
dikawasan. Hasil pembagian nilai agregat disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 15. Batasan Skor Nilai Domian dan Agregat


Rentang nilai Model Bend-
Deskripsi
Rendah Tinggi era
1.00 20.80   Buruk
20.90 40.60   Kurang
40.70 60.40   Sedang
60.50 80.20   Baik
80.30 100.00   Baik Sekali

126
Nilai skor agregat kemudian dideskripsikan atas 5 tahapan (bagian).
Kelima bagian ini menggambarkan 5 tingkatkan pengaruh dari domain
yang dikaji. Nilai agregat domain berasal dari agregat agregat parameter
yang dievaluasi. Sementara itu agregat kawasan adalah nilai kumulatif
dari nilai atribut dalam setiap domain. Hasil ini kemudian dijadikan
sebagai dasar dalam pengklasifikasian agregat total.

Interpretasi dari nilai agregat bisa dilihat dari 2 sisi yaitu karena atributnya
yang rendah (dibawah reference point) atau karena konektivitasnya
yang kurang. Agregat yang rendah selain itu juga bermakna bahwa
pengaruh dari atribut cenderung negative dan pengaruh parameter di
kawasan tersebut juga kurang. Hasil dari nilai agregat ini kemudian
dijadikan sebagai dasar untuk penetapan rekomendasi dari penilaian
indicator EAFM di WPP Kabupaten Simeulue Selat Malaka dan Laut
Andaman.

Hasil Evaluasi Indikator EAFM Kabupaten Simeulue


Evaluasi dari proses penilaian indicator EAFM dilakukan dari setiap
domain, sehingga nilai yang muncuk untuk atribu, densitas dan agregat
di tampilkan dalam setiap domain.

1) Evaluasi indicator dalam domain EAFM


Penilaian setiap atribut (indikator) dari parameter EAFM Kabupaten
Simeulue adalah nilai rata-rata dari keseluruhan parameter yang dikaji.
Skor atribut seperti disampai sebelumnya berkisar antara 1-3. Dalam
kontek atribut EAFM Kabupaten Simeulue, skor indicator yang diberikan
adalah nilai rata-rata skor dari setiap lokasi (kabupaten, propinsi dan
wilayah). Atribut propinsi adalah rata-rata dari semua nilai kabupaten
Kota yang ada, kemudian skor di wilayah EAFM adalah rata-rata dari
semua propinsi yang ada. Hasil perhitungan dari keseluruhan atribut
dalam setiap domain untuk WPP Kabupaten Simeulue di peroleh hasil
sebagai berikut.

127
Tabel 16. Skor rata-rata atribut di setiap domain
Domain Skor Indikator Deskripsi Warna
Sumberdaya Ikan 1.94 Sedang
Habitat & ekosistem 1.86 Sedang
Teknik Penangkapan Ikan 1.67 Sedang
Sosial 2.00 Sedang
Ekonomi 1.67 Sedang
Kelembagaan 1.77 Sedang
Agregat 1.87 Sedang
Note: nilai dalam tabel adalah nilai rata-rata

Hasil pemberian skor dari setiap atribut yang dikaji dari domain EAFM
WPP Kabupaten Simeulue berkisar antara 1,67-2,00. Keselurihan
domain EAFM (termasuk agergat) memiliki skor sedang. Domain
teknik penangkapan, ekonomi dan kelembagaan merupakan domain
yang memiliki nilai atribut yang paling rendah. Artinya sebagian besar
dari atribut dalam domain tersebut berada dibawah reference point
atau kondisi dari atribut yang ada banyak yang kurang baik. Kondisi
ini dapat terjadi karena nilai (value) perikanan di kabupaten Siimeulue
masih taraf lokal. Hal ini perlu peningkatan nilai penjualan ke daratan
(Medan dan Aceh). Doamin yang paling tinggi skornya adalah domain
sosial (nilai 2,00), termasuk domain habitat dan eksosistem dan
sumberdaya ikan (1,86-1,97). Dalam proses penyusunan rekomendasi,
maka domain yang terkategori rendah mendapat prioritas lebih dahulu
dalam upaya pengelolaannya. Hasil dari tampilan grafik setiap atribut
disajikan pada Tabel berikut.

128
Gambar 9. Nilai skor indicator dari setiap domain

2). Evaluasi Densitas


Evaluasi densitas menunjukkan tingkat konektivitas dari setiap atribut
yang dikaji dalam domain EAFM. Hasil penilaian diperoleh nilai skor
densitas berkisar antara 19,2-30,3. Domain yang memiliki konektivitas
sangat tinggi dalam kawasan kawasan untuk penerapan indikator EAFM
Kabupaten Simeulue adalah domain social, dan kelembagaan. Domain
dari habitat, ekosistem, ekonomi, memiliki densitas konektivitas
tinggi. Domain sumberdaya ikan, dan teknik penangkapan memiliki
konektivitas sedang. Hasil evaluasi dari densitas setiap atribut untuk
melihat konektivitas setiap domain disajikan pada Tabel berikut

Tabel 17. Skor dari densitas (tingkat konektivitas) setiap domain


EAFM Kabupaten Simeulue
Domain Skor Densitas Deskripsi Warna
Sumberdaya Ikan 18.29 Sedang  
Habitat &
ekosistem 20.83 Tinggi  
Teknik
Penangkapan Ikan 19.17 Sedang  
Sosial 30.33 Sangat Tinggi  
Ekonomi 24.00 Tinggi  

129
Kelembagaan 25.33 Sangat Tinggi  
Agregat 22.99 Tinggi  
Note: nilai dalam tabel adalah nilai rata-rata

Secara keseluruhan (agregat) memiliki densitas (konektivitas) tinggi.


Artinya setiap atribut yang ada dalam domain EAFM memiliki
hubungan yang kuat (secara kualitatif). Sehingga semua komponen
yang ada dalam kajian harus selalu diperhitungan memiliki peran yang
tinggi. Deskripsi dari setiap domain untuk tingkat konektivitas disajikan
pada Gambar berikut.

Gambar 10. Nilai skor densitas tiap domain

3). Evaluasi Nilai Aggregat


Nilai agregat dari atribut dan densitas merupakan hasil penilaian dari
indicator EAFM di WPP Kabupaten Simeulue Selat Malaka dan Laut
Andaman. Hasil evaluasi pemeringkatan domain EAFM berkisar antara
43,9-62,6. Interpretasi nilai ini memberikan indikasi bahwa status
pengelolaan kawasan berbasis ekosistem tergolong kurang sampai
sedang. Secara parsial kontribusi domain sumberdaya ikan, habitat
dan ekosistem, teknik penangkapan, ekonomi tergolonng kurang.
Sedangkan domain social, dan kelembagaan tergolong sedang. Secara
keseluruhan praktek penerapan EAFM di WPP Kabupaten Simeulue

130
tergolong kurang. Hasil perhitungan nilai agregat disajikan pada Tabel
berikut.

Tabel 18. Nilai agregat setiap domain indicator EAFM Kabupaten


Simeulue
Nilai1)
 
Batas Nilai Kelas Domain
Domain Perhitungan Maksimum Domain2) EAFM
Sumberdaya
Ikan 4004 5904 67.8 Baik
Habitat &
ekosistem 4140 6555 65.1 Baik
Teknik
Penangkapan
Ikan 3440 6060 56,8 Sedang
Sosial 5735 9105 63.0 Baik
Ekonomi 3810 7065 53.9 Sedang
Kelembagaan 3923 7722 50.8 Sedang
Rata-rata 4329,8 7035.2 61.5 Sedang
= nilai perkalian skor atribut, densitas dan bobot.
1) = nilai konversi dari total nilai perhitungan (nilai dalam skala
0-100)

Secara deskriptif domain sumberdaya ikan dan kelembagaan memberikan


peran paling besar dalam penilaian keseluruhan atribut domain EAFM.
Ini dapat diinterpretasikan bahwa komponen kelembagaan berpengaruh
besar dalam praktek EAFM Kabupaten Simeulue dengan kondisi saat
ini. Tampilan dari setiap domain indicator disajikan pada Gambar
berikut.

131
Gambar 11. Nilai rata-rata aggregate domain EAFM Kabupaten Simeulue

Gambar diatas menunjukkan bahwa setiap variable dari indicator EAFM


masih kurang pengaruhnya dalam pelaksanaan praktek pengelolaan
perikanan berbasis ekosistem di WPP Kabupaten Simeulue Selat
Malaka dan Laut Andaman. Penilaian ini belum menunjukkan adanya
proses pengelolaan di wilayah EAFM, namun masih bersifat evaluasi
terhadap parameter dan atribut EAFM. Profile dari setiap domain dapat
dilihat pada profil berikut.

Gambar 12. Profil domain dari atribut EAFM Kabupaten Simeulue


Hasil evaluasi ini menunjukkan kepada kita status dari setiap atribut saat
ini, sehingga bisa di prediksi upaya tidaknya lanjut yang akan dilakukan
perbaikan dalam implementasi EAFM.

132
Rekomendasi
Hasil evaluasi penerapan praktek praktek EAFM dalam pengelolaan
perikanan di WPP Kabupaten Simeulue, maka rekomendasi diarahkan
pada upaya untuk memperbaiki komponen atribut supaya lebih baik dan
berkualitas, serta memberikan dampak yang baik terhadap sumberdaya
di WPP Kabupaten Simeulue. Hasil analisis yang dilakukan adalah
teknik “feedback review” dari setiap atribut yang dinilai dalam kawasan
pengelolaan perikanan. Untuk mengetahui hal tersebut, maka langkah
yang diperlukan adalah melakukan lacak balik setiap atribut yang
sudah dinilai sebelumnya. Proses ini diawali dengan membaca profile
penilaian atribut sudah dilakukan. Proses tersebut dapat dilakukan
dengan membaca matrik profile setiap atribu yang diperoleh seperti
Gambar berikut.

133
Tabel 19. Kondisi status dari setiap atribut dalam domaian AFM

Domain Atribut dan Status


Proporsi
Sumberdaya ikan yuwana Komposisi “Range Densitas/
Ikan CPUE Baku Ukuran Ikan (juvenile) spesies Spesies ETP Collapse” Biomassa

Atribut 2.00 1.50 3.00 3.00 1.00 1.50 2.00

Densitas 22 20 17 17 17 18 17
Habitat dan Status Status Status Habitat Perubahan
Ekosistem Kualitas Air Lamun Mangrove Karang Khusus Iklim

Atribut 3.00 2.00 1.50 2.00 1.00 1.50

Densitas 19 21 23 23 17 22

Kesesuaian
Teknik MPI Modifikasi Fishing Selektivitas fungsi dan
Penangkapan Desktrutif Alat Capacity Penangkapan ukuran Sertifikasi

Atribut 1.00 2.00 2.00 2.00 2.00 1.00

Densitas 18 24 21 21 19 12
Pemanfaatan
pengetahuan
lokal dalam
pengelolaan
sumberdaya
ikan
(termasuk
di dalamnya
TEK,
Partisipasi traditional
Pemangku Konflik ecological
Sosial kepentingan Perikanan knowledge)

Atribut 2.00 1.00 3.00

Densitas 30 31 30

134
Pendapatan R a s i o
Kepemilikan R u m a h Ta b u n g a n
Ekonomi Aset Tangga (saving)

Atribut 1.00 100 2.00

Densitas 20 31 21
Kepatuhan
terhadap
prinsip-
p r i n s i p
perikanan
y a n g
bertanggung Ti n g k a t
jawabbaik Kelengkapan s i n e rg i s i t a s
s e c a r a a t u r a n kebijakan dan
f o r m a l main dalam Mekanisme kelembagaan Kapasitas
m a u p u n pengelolaan pengambilan Rencana pengelolaan pemangku
Kelembagaan non-formal perikanan keputusan Pengelolaan perikanan kepentingan
1.00 2.00 2.00 1.00 2.00 2.00
Atribut

Densitas 31 30 12 30 18 31

Dari tabel diatas kita bisa melihat bahwa untuk menyusunan rekomendasi
pengelolaan yang di evaluasi adalah nilai atributnya. Nilai atribut yang
dalam matrik berwarna merah adalah atribut dalam kondisi kurang baik
kondisinya. Domain sumberdaya ikan atribut yang kondisi kurang
adalah
 Parameter ukuran ikan
 Spesies ETP
“range collapse” perikanan
Domain habitat dan ekosistem yang sangat kurang adalah
 Status mangrove,
 Habitat khusus dan
kebutuhan dari kajian pengaruh iklim.
Domain dari teknologi penangkapan yang berpengaruh adalah
 modifikasi alat tangkap dan
sertifikasi awak kapal.
Sementara itu domain sosial-ekonomi adalah
 konflik perikanan
 kepemilikan aset
135
Dalam domain kelembagaan, yang diperlukan adalah
 Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawabbaik secara formal maupun non-formal
 rencana pengelolaan perikanan.

Dari proses pengelompokkan setiap atribu dari domain yang ada


tersebut, maka dapat dilakukan proses penyusunan rekomendasi yang
dapat dilakukan secara bertahap. Hasil kajian dalam penilaian atirbut
EAFM Kabupaten Simeulue yang telah dilakukan, maka dirumuskan
rekomendasi dan tindak lanjut sebagai berikut.

Berdasarkan tabel diatas, maka rekomendasi yang perlu dibuat dibagi


dalam tiga tahap yaitu

Tabel 20. Rekomendasi tindak lanjut dari setiap atribut

Domain Waktu Atribut Rekomendasi


Ukuran Ikan Pembatasan ukuran tangkap ikan tangkapan yang cenderung
makin kecil kecil.
Spesies ETP o Melakukan sosialisasi (poster & himbauan) tentang
jenis-jenis ikan yang dilindungi (dilarang ditangkap)

o Mengurangi spesies ETP atau menerapkan TED


dalam penangkapan
“Range - Melakukan monitoring sebaran daerah penangkapan
collapse”
Jangka - Pembagian daerah penangkapan (close area) dan
pendek penerapan waktu penangkapan (closing time)
CPUE Baku, Peningkatan CPUE,
Sumberdaya Ikan Proporsi Pengendalian ukuran tangkap tangkapan ikan juvenile atau
Juvenile, penambahan ukuran mata jaring
Komposisi Mengelola target penangkapan atau membuat alat tangkap
tangkapan, yang khusus untuk target yang di tuju

Jangka Densitas dan Rehabilitasi habitat ikan (karang dan mangrove)


menengah Biomassa
Proporsi Terus melakukan monitoring dan sosialisasi supaya tidak
ikan yuwana menangkap ikan-ikan yuwana
(juvenile)
Jangka Komposisi Terus melakukan monitoring terkait alat tangkap yang
panjang spesies digunakan

136
Mangrove, o Rehabilitasi ekosistem mangrove yang rusak dan
Status
o Melakukan kajian Ekosistem pesisir dan pulau-pualu
kecil
Perlindungan Kajian habitat unik/ khusus dan menjadikannya sebagai
Habitat Unik kawasan konservasi

Pengkajian Melakukan pengkajian pengaruh iklim di wilayah WPP


Habitat dan Jangka Dampak Kabupaten Simeulue
Ekosistem pendek Iklim
Ekosistem Melakukan kajian Ekosistem pesisir dan pulau-pualu kecil
lamun
Ekosistem o Melakukan kajian Ekosistem pesisir dan pulau-pualu
karang kecil
Jangka
menengah o Transplantasi terumbu karang
Jangka kualitas air Monitoring kualitas air
panjang
Perbaikan - Membuat aturan penangkapan ikan
MPI yang
destruktif, - Menggurangi penggunaan alat yang merusak

- Menerapak aturan penangkapan ikan


Melakukan - Melakukan pelatihan kepelautan dan
sertifikasi
awak kapal - Pembinaan nelayan dalam penangkapan ikan
perikanan

Jangka
pendek
Melakukan - Pengurangan atau pengendalian penggunaan alat
modifikasi tangkapan merusakn SDI
Teknologi alat tangkap
Perikanan - Penerapan sanksi hokum bagi pengguna alat yang
merusak SDI
Fishing - Mengendalikan upaya (upaya lebih proporsional dan
capacitiy tidak berlebih
diperbaiki
- Mengendalikan upaya dari nelayan asing agar produksi
nelayan kita tidak menurun
Selektivitas - Meningkatkan selektivitas alat tangkap
alat,
Kesesuaian - Pendataan kelengkapan kapal dan izin
Jangka fungsi dan
menengah ukuran kapal, - Menitoring kegiatan penangkapan
Jangka - -
panjang

137
Pengelolaan - Penerapan aturan penangkapan, penjualan dan
konflik, sebagainya
Jangka
pendek - Koordinasi dengan aparat terkait dan tokoh masyarakat
Peningkatan - Pemetaan stakeholders
partisipasi
Sosial public dan
Jangka - Diskusi secara berkala dan terjadwal dengan
menengah stakeholder, masyarakat
Pengetahuan - Penguataan kelembagaan lokal dengan pendekatan
lokal penyusunan kebijakan local
Jangka
panjang - Semakin mengoptimalkan peran Panglima Laot
Jangka Kepemilikan Pelatihan perawatan barang dan asset perikanan
pendek asset
Saving Rasio Pemberian pemahaman keuntungan menabung

Ekonomi Pendapatan - Peningkatan nilai tambah


Jangka rumah
menengah tangga - Pekerjaan alternatif
Jangka -
panjang
RPP Segera harus menyusun dan merancang rencana pengelolaan
perikanan di wilayah EAFM (rencana tingkat desa,
kabupaten, atau WPP)

Kepatuhan - Penerapan prinsip prinsip pengelolaan perikanan


terhadap bertanggung jawab
prinsip
perikanan - Penerapan aturan yang berlaku
Jangka bertanggung
pendek jawab
Kapasitas - Pelatihan
pemanku
kepentingan - Penguatan kelembagaan dan kapasitas masyarakat
lokal
Kelembagaan
kelengkapan - Menyusun kebijakan dan aturan penangkapan
aturan main dan lainnya

- Replikasi aturan lokal


Sosialisasi - Penyusunan SOP (penangkapan, pemantauan,
meknisme dan koordinasi)
pengambilan
keputusan - Pertemuan rutin dan regular antara pemerintah,
pengelola dan masyarakat nelayan.
Sinergi antar - Merancang forum Stakeholer
kebijakan
Jangka dan - Monitoring SOP
menengah kelambagaan
Jangka -
panjang

138
C. Rangkuman
Dari urairan diatas, maka langkah utama yang harus dilakukan
adalah pelaksanaan program jangka pendek, kemudian jangka
menengah dan jangka panjang. Dalam melakukan ini maka salah
satu point penting adalah menyusun kelembagaan pengelolaan
setiap WPP yang akan dikelola dan dikembangkan

D. Latihan /Tugas/Eksperimen
1. Setiap kelompok mendiskusikan hasil analisis doamin
masing-masing.
2. Menyusun rekomendasi akhir terhadal keseluruhan hasil
domain EAFM

E Rujukan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF-Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor

F Bahan Bacaan yang Dianjurkan


1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup

139
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF‐Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor

140
DAFTAR PUSTAKA

Adrianto L., M. Arsyad Al Amin, Akhmad Solihin, & Dede


Irving Harton. 2010. Konstruksi Kelembagaan Dalam Pengelolaan
Perikanan Di Era Desentralisasi. Working Paper PKSPL-IPB Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Vol 1
No. 2 Agustus 2010
Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem Approch to
Fisheries Management). National Working Grup on Ecosystem Approch
to Fisheries Management, Direktorat Sumberdaya Ikan, Kementerin
Kelutan dan Perikanan.
Bengen DG. 2004. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan
Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumber Daya
Pesisir dan Laut IPB. Bogor
Chapman VJ. 1976. Mangrove Vegetation. J.Cramer. Vaduz,
Liechtenstein.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan
Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius
Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk
Kesejahteraan Rakyat (Kumpulan Pemikiran DR. Ir. Rokhmin Dahuri,
MS). LISPI (Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia)

141
Direktorat Jenderal Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil, Dep.
Eksplorasi Laut dan Perikanan. Jakarta
Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Schoelten L. 2012. Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia. Penerjemah: Noor YR, Khazali
M, Suryadiputra INN. Terjemahan dari: A Field Guide of Indonesian
Mangrove. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/
MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia;
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun
2003
Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980 tentang instruksi
Presiden RI terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983 di seluruh Indonesia
tidak lagi terdapat kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl
Kiswara W, Hutomo M. 1985. Habitat dan Sebaran Geografik
Lamun. Oseana, X (1): 21– 30.
Joshi Laxman, Luis Arévalo, Nelly Luque, Julio Alegre
& Fergus Sinclair. 2004. Local ecological knowledge in natural
resource management. Draft manuscript for “Bridging Scales and
Epistemologies” conference. Alexandria, Egypt: 17-20 May 2004
Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem Dalam
Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to Fisheries Management)
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Direktorat Sumberdaya
Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan
dan Perikanan, WWF‐Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan Institut Pertanian Bogor
Lugo AE, Snedaker M. 1974. The Ecology of Mangrove. Ann.
Rev. Ecology System, (5): 39–64
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;

142
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota ;
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumber Daya Ikan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/
MEN/2007 tentang Keadaan Kritis yang Membahayakan atau Dapat
Membahayakan Sediaan Ikan, Spesies Ikan atau Lahan Pembudidayaan;
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/
MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia;
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/
MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap, sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.49/MEN/2011
Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor Per.29/Men/2012 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pengelolaan Perikanan Di Bidang Penangkapan Ikan
Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 29/Permen-Kp/2016 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pengelolaan Perikanan Di Bidang Penangkapan Ikan Untuk Perairan
Darat
Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007
Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
Peraturan Menteri Perhubungan nomor KM 9 tahun 2005
tentang Pendidikan dan Pelatihan, Ujian serta Sertifikasi Pelaut Kapal
Penangkap Ikan. Dalam aturan ini disebutkan bahwa awak kapal
diwajibkan mempunyai ANKAPIN I-III dan ATKAPIN I-III. Anjuran
ini ditegaskan lagi dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Perhubungan
Laut Nomor UX.II/7/4/DJPL-09 tentang Sertifikasi Kepelautan Kapal
Penangkap Ikan Tahun (2007) (2008) (2009)

143
Permen No. PER.08/MEN/2008 tentang penggunaan alat
penangkapan ikan jaring insang (gill-net) di ZEEI, 2) Surat Dirjen
Perikanan Tangkap No. 1546/DPT.2/PI. 320.02/IV/08 tentang Pedoman
Cara Pengukuran mata jaring (mesh size) dan bukaan Mata Jaring
Rangkuti A. Muhtadi, M. Reza Cordoba, Ani Rahmawati, Yulma,
Eldin H. Adimu. 2017. Ekosistem Pesisir dan Laut Indonesia. PT. Bumi
Aksara. Jakarta.
Saenger, P., E.J. Hegerl & J.D.S. Davie. 1983. Global Status of
Mangrove Ecosystems. IUCN Commission on Ecology Papers No. 3,
88 hal
Spalding, M.D., F. Blasco & C.D. Field editor. 1996. World
Mangrove Atlas. International Society for Mangrove Ecosystems,
Okinawa, Japan
Sparre P, Venema CS. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan
Tropis. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Taryono. 2009. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya. Lecture
Notes pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir (PS-SPL),
Dept. MSP-FPIK, IPB
UUD RI Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana telah direvisi
dengan UU No. 1 Taahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil;

144
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
Widodo J, Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

145
UCAPAN TERIMA KASIH

1. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Direktorat


Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat.
2. Menteri Kelautan dan Perikanan R.I.
3. Pimpinan Universitas Teuku Umar
4. Bupati Simeulue
5. Bappeda Kabupaten Simeulue
6. Tim Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi UTU 2017
7. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue
8. Tim Penulis Buku Ajar Pengantar Pengelolaan Perikanan Berbasis
Ekosistem/EAFM: Teori dan Praktik
9. Panglima Laot Aceh
10. HNSI DPW Aceh
11. Panglima Laot Lhok se-Kabupaten Simeulue
12. HNSI DPC Simeulue

Yang telah berkontribusi dalam penerbitan buku dan Pelaksanaan


Pelatihan Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem Bagi
Stakeholder.

147
INDEX

Agregat Indicator 95,96


Atribut 95
Bycatch 25,32,38,64
Compliance 78
Conectivity 32,44,58,70,77
Coral Bleaching 54
Cpue 32,33,34,36,88
Data Poor Fisheries 64
Destruktif 61,90
Discard 38
Domain 4,31,32,34,36,44,56,58,70,77,88,8
9,90,91,92,93
Eafm 2,3,31,32,33,34,35,38,44,45,58,7,
77,86
Endangered Species 38,88,105
Exploited 16,31,32
Feedback Review 102
Feeding Ground 45,47,50,53,54
Fin Fish 10
Fishing Capacity 63,67,90
Fishing Gear 63

149
Fisheries Management 1
Hooks And Lines 18
Ikan Pelagis 10,11,12,13,15
Indikator 4,16.86
Iuu Fishing 26,31
Lek 72
Length 31,32,36
Mesh Size 65
Maturity 36,
Nets 17,18,19,29,60
Nursery Ground 45,47,50,53,54
Over Fishing 31,62,63
Players Of The Game 78
Profile 101
Range Collapse 88,105
Rpp 4,5,6,8,10,16,22,27,28,29,32,33,8
1
Reference Point 87,95
Responsible Fisheries 24,
Rules Of The Game 78
Saving Ratio 75
Sea Level Rise 55
Smart 25
Span Of Control 82
Spawning Ground 45,47,50,53,54
Stakeholder 81
Stok 33,54
Sustainability 8,82
Sustainable Fisheries System 1
Tek 74,9
Time Series 34
Transec Plot 48,

150
Trapping Sediment 47
Trawl 17,18,19,29,60,62
Tropical Ecosystem Complexities 1
Vessel Characteristics 63
Yuwana 36,37,88
WPP 3,7,8,10,16,19,20,23,24,26,29,88,
89,90,91,92,93

151
Biodata Penulis

Edwarsyah, Kelahiran di Kota


Banda Aceh 11 Pebruari 1969 dari ayah
(alm) Idris Ishak Billal dan Ibu Hj.
Nurhayati Yunan. Penulis suami dari
Syarifah Wirdah Alydrus, M.Si. Telah
menamatkan Sekolah Dasar hingga SMA
di Kota kelahirannya, dan melanjutkan
Studi Strata 1 pada Jurusan Sosek Fakultas
Pertanian Unsyiah. Melanjutkan Program
Magister (S-2) Pengelolaan Sumberdaya
Lahan PPs Unsyiah 1999 dengan Fasilitas
Tugas Belajar PNS dari Pemkab Aceh
Barat. Pada Tahun 2002 mendapatkan amanah kembali Tugas Belajar
PNS Program Pendidikan Doktor (S-3) Bidang Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Saat
ini penulis menjabat Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Teuku Umar mulai 2015- Sekarang. Koordinator LC-
EAFM 2015-Sekarang. LC-EAFM UTU ditandatangani dan diresmikan
langsung oleh Ibu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di
Kampus UTU, 16 Oktober 2017. Sejak Tahun 2016-Sekarang sebgai
Ketua dan Asesor Tempat Uji Kompetensi (TUK) Bidang Kelautan
dan Perikanan, LSP-KP, Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

153
Penulis 2014-Sekarang sebgai Evaluator Ahli EAFM serta Pelatih
dan Pengajar EAFM. Pada Tahun 2007-2008 penulis sebagai Wakil
Rektor IV Universitas Teuku Umar. Di Tahun 2008-2011 sebagai Ketua
Lembaga Penelitian dan Pengabdiaan kepada Masysrakat (LPPM)
UTU Pertama.

Penulis juga sebagai Dosen Aktif tidak tetap pada Program


Magister Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Program
Pasacasarjana Unsyiah 2012-Sekarang. Pemenang Penelitian Unggulan
Perguruan Tinggi (PUPT) Kemenristekdikti tahun 2017. Selain aktivitas
sebagai dosen PNS tetap pada FPIK UTU juga sebagai panel Ilmiah
dan Peneliti pada Lembaga Pengelolaan Perikanan WPPNRI 572. Saat
ini aktif sebagai Anggota Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Perikanan
dan Kelautan Indonesia (FP2TPKI) serta Pembina Himpunan Ahli
Pengelola Pesisir Indonesia (HAPPI) Aceh 2012-Sekarang. Sejak tahun
2009-Sekarang sebagai Anggota Penyusun AMDAL. Pada Tahun 2015
Penulis resmi pindah status PNS Pemkab Aceh Barat ke Kementerian
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia sebagai
Fungsional Dosen tetap PNS pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Teuku Umar.

Buku ini merupakan karya pertama penulis dalam bentuk


tulisan buku ajar bagian dari penelitian unggulan perguruan Tinggi
(PUPT) Kemenristekdikti 2017, yang diterbitkan oleh percetakan yang
terdaftar. Selain dalam bentuk buku ada beberapa karya penulis dalam
bentuk jurnal yang terbit dalam jurnal nasional akreditasi A, seperti
jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis (IPB-Bogor), Jurnal Acta
Aquatica (Univ. Malikussaleh-Aceh), Jurnal Perikanan Tropis (UTU-
Meulaboh). Penulis juga aktif mengikuti seminar dan simposium
nasional/ internasional. Pada Tahun 2016 mengikuti comparative study
Australian seafood idsustry training, Institute of Certification Profesion
for Marine and Fisheries, Western Australia.

154
Yonvitner, Penulis dilahirkan di
Tanah Minang, Tepatnya di Payakumbuh
Sumatera Barat pada tanggal, 25 Agustus
1975. Penulis, menyelesaikan pendidikan
dari tingkat dasar sampai menengah
di tanah kelahirannya di Payakumbuh.
Sejak tahun 1994 hingga sekarang penulis
tinggal di Bogor. Bangku perkuliahan
penulis dari S1 hingga S3 dituntaskan di
Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 2005
penulis menjadi dosen tetap di Institut
Pertanian Bogor, pada Program Studi
Manajmen Sumberdaya Perairan, dengan bidang keahlian Dinamika
Populasi, Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Daya dukung
ekosistem Peraiaran. Selama ini penulis cukup aktif menulis diberbagai
surat kabra nasional seperti Harian Republika dan Harian Kompas.
Beberapa tulisan penulis yang pernah dimuat antara lain: Bagaimana
Menghalau Pencuri Ikan yang Tiada Henti: 1) Majalah Samudera
15 Januari 2009 (Opini); 2) Resiko Penambangan Anak Krakatau.
Koran Lampung Post 3 November 2009 (Opini). 3) sumber-Sumber
Ekonomi Perairan Masih Banyak Masalah. MDI Investment Manager
(Opini) 16 Januari 2009. 4) Ekolabel Produk Perikanan. Kompas 15
Mei 2003 5) relokasi Nelayan. Tabolid Samudera. 6) Mengelola Stok
Ikan Berkelanjutan. Opini Kompas 8 Maret 2010 7) Nelayan Belum
Sejahtera. Opini Republika 30 Desember 2010. Selain itu, penulis juga
aktif menulis diberbagai jurnal ilmiah nasional.

Beberapa jabatan profesional yang diemban penulis anatar


lain: 1) Koordinator kemahasiswaan Departemen Management
Sumberdaya Perairan IPB 2005-2009; 2) Koordinator kemahasiswaan
dan Advokasi dan Alumni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
2011-2013; 3) Kasubdit Kerjasama Dalam Negeri Institut Pertanian
Bogor. 2013-2018. Selain itu, penulis juga aktif diberbagai organisasi

155
nasional dan profesiona, seperti: HAPPI (Himpunan Ahli Pengelolaan
Pesisisr Indonesia) 2012-2017, ISPIKANI : Ikatana sarjana perikanan
Indonesia, SEWG: Seafod ekolabeling working group on Indonesia,
HAPPI (Himpunan Ahli Pesisir dan Laut Indonesia), KAHMI Bogor,
Pembina IPMM dan IKMP IPB Bogor dan Dewan Pakar, Institute
Maritime Indonesia (IMI)

156
Ahmad Muhtadi, Penulis
dilahirkan di Rumbio Kabupaten
Mandailing Natal, pada tanggal 04 Juni
1985 dari ayah (alm) Muhammad Yunus
Rangkuti dan Ibu (alm) Sarianun Pulungan.
Penulis merupakan putra keempat dari
enam bersaudara. Pada umur empat tahun
ibunda penulis meninggal dunia, sehingga
selama 2 tahun penulis hanya diasuh oleh
ayah seorang diri. Pada umur 6 tahun ayah
penulis kemudian menikah lagi dengan
Masdalima Pulungan. Saat ini penulis
telah di karunia 3 orang putri, Natiqa Qurrota A’yun Rangkuti (3,6
tahun), Arisha Azkadina Rangkuti (1,8 tahun), dan Alesha Khyyara
Rangkuti (0,2 bulan) buah kasih dengan seorang istri berdarah melayu,
Octi Fadillah Khair, S.Kom dari pasangan (alm) H. Abul Khair, SH.,
M.Hum & Hj. Sri Murtini, SH., M.Hum.

Penulis, menyelesaikan pendidikan dari tingkat dasar sampai


menengah di tanah kelahirannya di Mandailing Natal. Sejak tahun
2004 penulis “merantau” untuk menimba ilmu di tanah Pasundan
tepatnya di Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tahun 2009 penulis
berhasil menyelesaikan pendidikan strata satu (S-1) pada Program
Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan
pendidikan strata dua (S-2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan
lulus pada tahun 2013. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan
doktor (S-3) di Institut Pertanian Bogor pada program studi Pengelolaan
Sumberdaya Perairan.

Semasa aktif kuliah di Pasca Sarjana IPB, penulis pernah aktif


menulis di Majalah Trobos dan Aquamina. Tulisan yang pernah dimuat
di majalah tersebut adalah “Wanamina, Usaha Pemulihan Kawasan

157
Pertambakan” (Tobos; 20 January 2013); “Udang Impes sebagai
Alternatif Ekonomi Rakyat” (Trobos: 20 June 2013) dan “Pemulihan
Kawasan Wanamina Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat”
(aquamina: Februari 2013)

Pada tahun 2008-2009, penulis pernah bekerja sebagai dosen


asisten pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan
Budidaya, Program Diploma IPB.

Kemudian pada tahun 2009, penulis bekerja pada perusahaan


PT. Karsa Buana

Lestari sebagai Asisten Tenaga Ahli penyusunan Analisis


Mengenai Dampak

lingkungan (AMDAL) di DKI Jakarta. Sejak tahun 2010-2013


penulis

bekerja sebagai tenaga lepas pada berbagai konsultan di Bogor


maupun di Jakarta.

Sejak tahun 2014 penulis menjadi dosen tetap (PNS) di Universitas


Sumatera Utara, pada program studi Manajamen Sumberdaya Perairan,
pada Fakultas Pertanian. Saat ini penulis mengampu mata kuliah Ekologi
Perairan, Limnologi, Ekologi Laut Tropis/ Ekosistem Pesisir, Kualitas
Air, Pencemaran Perairan dan Pengolahan air Limbah, Konservasi
Sumberdaya Hayati Perairan, dan Manajemen Sumberdaya Perairan.
Adapun minat khusus penulis adalah Ekologi Perairan, Ekosistem
Pesisir, Kualitas Air dan Pencemaran serta Manajemen Sumberdaya
Perairan.

Buku ini merupakan karya ketiga penulis dalam bentuk


tulisan buku yang diterbitkan oleh percetakan yang terdaftar.
Karya pertama penulis yang sudah terbit adalah buku “ Pengantar
Praktikum: Ekologi Perairan”, terbit tahun 2014 dari IPB Press.

158
Karya kedua adalah buku “Ekosistem Pesisir dan Laut Indonesia”,
terbit tahun 2017 dari PT. Bumi Aksara. Selain dalam bentuk
buku ada beberapa karya penulis dalam bentuk jurnal yang terbit
dalam jurnal nasional, seperti jurnal Omni Akuatika (Unsoed-
Purwokerto), Depik (Unsyiah-Aceh), Jurnal Acta Aquatica (Univ.
Malikussaleh-Aceh), Jurnal Biospesies (Univ Jambi-Jambi),
Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (LIPI-Jakarta).
Penulis juga aktif mengikuti seminar dan simposium nasional/
internasional, seperti Seminar Internasional Biologi di Medan
Tahun 2015 (Biologi USU), Simposium Nasional Perikanan
Karang Berkelanjutan di Bali tahun 2015 (COREMAP-KKP dan
WWF), Seminar Nasional Dies Natalis USU ke 64 di Medan
tahun 2016 (Biro-USU), Konfrensi Internasional on Biodiversity
di Medan tahun 2017 (Masyarakat Biodiversitas Indonesia dan
USU). Penulis juga menjadi anggota Masyarakat Biodiversitas
Indonesia (MBI - UNS Solo) dan Masyarakat Limnologi Indonesia
(MLI - Bogor). Adapun kontak yang bisa dihubungi adalah No
telp. 081386065969; email: lobe.maddin@gmail.com; ahmad.
muhtadi@usu.ac.id

159
L

PENGUKURAN IKAN
-'

-r
/,

- PENGAMATAN KERAGAMAN IKAN


WAWANCARA NELAYAN

PELATIHAN EAFM DI KABUPATEN SEMEULUE


PELATIHAN EAFM DI KABUPATEN SEMEULUE
Pengantar Pengelolaan Perikanan
Berbasis Ekosistem/EAFM
TEORI DAN PRAKTIK Edisi Revisi
Secara umum, buku ajar ini mengacu pada Modul Penilaian Indikator untuk Pengelolaan
Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management) yang
berisi 6 domain, yaitu 1) Domain Sumberdaya Ikan, 2) Domain Habitat dan Lingkungan, 3) Domain
Teknik Penangkapan, 4) Domain Sosial, 5) Domain Ekonomi, dan 6) Domain Kelembagaan. Buku
ajar ini diperuntukkan bagi mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan mahasiswa
Fakultas Kelautan dan Perikanan tingkat akhir (semester VI atau semester VII) yang mengambil
mata kuliah Pengelolaan Sumberdaya Perikanan atau mata kuliah EAFM dan mata kuliah sejenis.
Mata Kuliah Pengelolaan Perikanan dengan Komptensi Umum “Mahasiswa diharapkan mampu
menentukan status dan evaluasi pengelolaan perikanan di Indonesia”. Maka buku ajar ini menyajikan
secara bertahap konsep dan cara penentuan status pengelolaan perikanan di Indonesia dari Bab
iii–viii.
Pada bab ii, disajikan teori dan konsep pembuatan rencana pengelolaan perikanan (RPP)
dengan mengacu pada RPP WPPNRI 718, RPP Lemuru dan RPP Lobster yang sudah di tetapkan
oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Pada Bab iii disajikan teori, konsep, serta contoh perhitungan
domain sumberdaya ikan dengan contoh wilayah pengelolaan perikanan Kabupaten Simeulue di
WPPNRI 572. pada Bab iv, disajikan teori, konsep, dan contoh penilaian EAFM domain habitat
dan lingkungan perairan dengan contoh wilayah peneglolaan perikanan Kabupaten Simeulue. Pada
bab v disajikan teori, konsep dan contoh penilaian EAFM domain teknik penangkapan ikan dengan
contoh wilayah pengelolaan perikanan Kabupaten Simeulue, Aceh.
Pada Bab vi, disajikan teori, konsep, dan contoh penilaian EAFM domain sosial-ekonomi
dengan contoh wilayah pengelolaan perikanan Kabupaten Simeulue, Aceh. Pada Bab vii, disajikan
teori, konsep, dan contoh penilaian EAFM domain kelembagaan dengan contoh wilayah pengelolaan
perikanan Kabupaten Simeulue. Pada Bab viii disajikan teori, konsep, dan evaluasi EAFM dan arah
pengelolaan perikanan selanjutanya. Dalam contoh kasus ini adalah wilayah pengelolaan perikanan
Kabupaten Simeulue.
Buku yang berjudul Pengantar Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem/EAFM: Teori dan
Praktik Edisi Revisi ini merupakan Luaran dari Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (PUPT)
pada 2017 dan Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT) DRPM Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi tahun 2018.
Buku ini memberikan proses pembelajaran yang sangat bermanfaat untuk menambah khazanah
pengetahuan dan keilmuan dalam pengelolaan perikanan dengan pendekatan Ekosistem atau
Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM). Buku ini juga layak sebagai referensi bagi
para peneliti serta pemangku kepentingan. Semoga buku ini bermanfaat.

Maritim
PT Penerbit IPB Press ISBN : 978-602-440-601-1
Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: penerbit.ipbpress@gmail.com
Penerbit IPB Press @IPBpress ipbpress

Anda mungkin juga menyukai