Perikanan Berbasis
Ekosistem/EAFM
TEORI DAN PRAKTIK
Edisi Revisi
Edwarsyah | Yonvitner | Ahmad Muhtadi
Kata Pengantar:
Muhammad Zulficar Mochtar, ST, MSc
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap,
Kementerian Kelautan dan Perikanan,
2018
Pengantar
Pengelolaan
Perikanan Berbasis
Ekosistem/EAFM
TEORI DAN PRAKTIK
Edisi Revisi
Pengantar
Pengelolaan
Perikanan Berbasis
Ekosistem/EAFM
TEORI DAN PRAKTIK
Edisi Revisi
C.01/12.2018
Judul Buku:
Pengantar Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem/EAFM
Teori dan Praktik
Edisi Revisi
Editor:
Dr. Edwarsyah
Dr. Yonvitner
Ahmad Muhtadi, S.Pi., M.Si
Cover Designer:
Nicko YP
Andreas Levi Aladin
Layouter:
Ida
Jumlah Halaman:
163 + 10 halaman romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan 1, Desember 2018
ISBN: 978-602-440-601-1
Daftar Isi v
1. Pendahuluan 1
1. Latar Belakang
2. Kaitan Buku ajar dengan Materi Kuliah 4
3. Lingkup dan Sistematika 5
v
4. Ekosistem dan Lingkungan Perairan 59
1. Pendahuluan 59
2. Penyajian Materi 45
3. Rangkuman 74
4. Latihan/Tugas/Eksperimen 75
5. Rujukan 75
6. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 77
5. Teknik Penangkapan 79
1. Pendahuluan 79
2. Penyajian Materi 81
3. Rangkuman 92
4. Latihan/Tugas/Eksperimen 93
5. Rujukan 93
6. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 95
6. Sosial-Ekonomi 97
1. Pendahuluan 97
2. Penyajian Materi 98
3. Rangkuman 103
4. Latihan/Tugas/Eksperimen 104
5. Rujukan 104
6. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 105
7. Kelembagaan 107
1. Pendahuluan 107
2. Penyajian Materi 108
3. Rangkuman 116
4. Latihan/Tugas/Eksperimen 117
5. Rujukan 117
6. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 118
vi
8. Penilaian dan Evaluasi Indikator EAFM 119
1. Pendahuluan 119
2. Penyajian Materi 120
3. Rangkuman 139
4. Latihan/Tugas/Eksperimen 139
5. Rujukan 139
6. Bahan Bacaan yang Dianjurkan 139
141
147
149
153
Lampiran 161
vii
KATA PENGANTAR
ix
menjadi penting dan bermanfaat untuk keberlanjutan perikanan di
masa mendatang. Buku Pengantar Pengelolaan Perikanan Berbasis
Ekosistem: Teori dan Praktik Edisi Revisi ini sangat cocok sebagai
salah satu buku referensi bagi mahasiswa terkait pengelolaan perikanan.
Pembelajaran bagi mahasiswa penting sebagai jawaban di masa depan
dalam keberlanjutaan pengelolaaan perikanan di Indonesia.
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki
karakteristik sumberdaya perikanan yang khas di daerah tropis.
Kekhasan tersebut berkaitan dengan kompleksitas ekosistem tropis
(tropical ecosystem complexities) yang menjadi salah satu ciri dari
ekosistem tropis. Kompleksitas ekosistem tropis ini menjadi salah satu
tantangan dan hambatan dalam pengelolaan perikanan di Indonesia.
Gracia and Cochrane (2005) memberikan gambaran model sederhana
dari kompleksitas sumberdaya ikan sehingga membuat pendekatan
terpadu berbasis ekosistem menjadi sangat penting.
Mengacu pada UU No. 45 Tahun 2009 menyebutkan bahwa
pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-
undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah
atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah
disepakati. Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah tercapainya
kesejahtraan masyarakat dan produktivitas sumberdaya hayati yang
1
berkelanjutan. Hal tersebut juga telah diamanatkan dalam Undang-
Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 45 tahun 2009 pasal 6
ayat 1 yang menegaskan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk
tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya
kelestarian sumber daya ikan.
Mengacu pada CCRF (FAO, 1995) menjelaskan fisheries
management merupakan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan. Ada banyak aspek yang diperhatikan dalam keberlanjutan
sumberdaya perikanan diantaranya: informasi dasar biologi dan
ekologi populasi (Efendi 2007) sebagai dasar pendugaan stok ikan
(FAO 1995), kondisi lingkungan, hukum dan perundang-undangan.
Selanjutnya, Charles (2001) dalam paradigmanya tentang Sustainable
Fisheries System, mengemukakan bahwa pembangunan perikanan
yang berkelanjutan harusdapat mengakomodasi 4 aspek utama yang
mencakup dari hulu hingga hilir, yaitu
1) Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability): memelihara
keberlanjutan stok/biomass sumber daya ikan, serta meningkatkan
kapasitas dan kualitas ekosistemnya.
2) Keberlanjutan sosio-ekonomi (socioeconomic sustainability):
memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan para pelaku usaha
perikanan dengan mempertahankan atau mencapai tingkat
kesejahteraan masyarakat.
3) Keberlanjutan komunitas (community sustainability): menjaga
keberlanjutan lingkungan komunitas atau masyarakat perikanan
yang kondusif dan sinergis dengan menegakkan aturan atau
kesepakatan bersama yang tegas dan efektif.
4) Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability): menjaga
keberlanjutan tata kelola yang baik, adil, dan bersih melalui
kelembagaan yang efisien dan efektif guna mengintegrasikan atau
memadukan tiga aspek utama lainnya (keberlanjutan ekologi,
keberlanjutan sosio-ekonomi, dan keberlanjutan masyarakat).
2
Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan
saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiganya, di
mana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan
ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih
parsial belum terintegrasi dalam sebuah batasan ekosistem yang
menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan.
Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan
ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to
fisheries) menjadi sangat penting.
Pada saat yang sama, kebutuhan untuk mengamankan ketahanan
pangan dan keberlanjutan kesejahteraan ekonomi masyarakat nelayan,
terutama di negara berkembang menjadi perhatian banyak pihak dalam
skala global. Dalam pertemuan para pengambil kebijakan pada World
Summit on Sustainable Development tahun 2002 di Johannesburg,
disepakati perlunya koordinasi dan kerjasama untuk melaksanakan
pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (UN 2004).
Dengan menandatangani hasil pertemuan tersebut, Indonesia
turut berkewajiban untuk melaksanakan pengelolaan dengan
pendekatan ekosistem ini dimulai pada tahun 2010. Terkait dengan
hal ini, Direktorat Sumberdaya Ikan – Ditjen Perikanan Tangkap,
Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Program
Kelautan WWF Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Laut
– Institut Pertanian Bogor telah mengadakan Lokakarya Nasional pada
19-21 September 2010 untuk mengidentifikasi indikator pengelolaan
perikanan dengan pendekatan ekosistem yang melibatkan stakeholder
perikanan di tingkat nasional dan daerah. Indikator ini dibangun sebagai
tolak ukur ketercapaian pengelolaan perikanan dengan pendekatan
ekosistem yang mengadopsi Nasional ini kemudian dilanjutkan dengan
pertemuan para ahli yang ditujukan untuk mendefinisikan metode
penilaian tiap indikator yang dilaksanakan pada tanggal 7 – 8 Februari
3
2011. Selanjutanya modul EFM tersebut disempurnakan 22-25 pril
2013.
Setelah indikator dan metode penilaian terdefinisikan dengan
baik, sistem ini kemudian digunakan untuk menilai sampai sejauh
mana kondisi dan status setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan baik
skala nasional (WPP) maupun daerah (teluk, selat, PPK, dll). Hal ini
untuk mencapai tujuan pengelolaan yang diinginkan dalam satu kajian
integratif. Dengan melaksanakan kajian EAFM, diharapkan otoritas
pengelolaan perikanan dan para pihak terkait dengan sumberdaya
perikanan dan kelautan memiliki informasi sampai dimana kondisi
terkini pengelolaan yang ada saat ini dan bersama mencari solusi terbaik
dalam memperbaiki pengelolaan perikanan Indonesia.
4
pengelolaan perikanan dengan contoh kasus adalah penilaian EAFM
Kabupaten Simeulue.
5
BAB II
RENCANA PENGELOLAAN
PERIKANAN
A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab ii ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
II-III) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan membuat Rencana Pengelolaan Perikanan
baik untuk jenis tertentu maupun berdasarkan habitat/
ekosistem (wilayah pengelolaan tertentu).
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati beberapa mata kuliah yang sangat berkaitan
dengan pertemuan (mata kuliah ini). Diantaranya 1)
Ikhtiologi (Semester II), 2) Biologi Perikanan (semester IV),
3) Sumberdaya Perikanan (Semester V), dan 4) Dinamika
Populasi dan Pengkajian Stok Ikan (Semester VI).
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) penting dipelajari
sebagai bagian dari pengelolaan perikanan. Bahwa awal dari
suatu pengelolaan adalah pentingnya sebuah rencana. Pada
bab ini akan menguraikan rencana pengelolaan perikanan
mulai dari awal penentuan status perikanan, perencanaan,
7
pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi dan kontrol.
Keterkaitan dengan bab (materi) berikutnya adalah bahwa
pada bab-bab berikutnya terkait dengan penentuan status dan
evaluasi pengelolaan perikanan dimana pada bab ini adalah
perencanaan pengelolaan perikanan adalah langkah awal
dalam pengelolaan perikanan. Apa yang akan di evaluasi
jika konsep dan model pengelolaan saja tidak dibuat. Jadi
RPP merupakan langkah awal dalam pengelolaan perikanan
dengan pendekatan ekosistem (EAFM).
4. Manfaat atau pentingnya bahan pembelajaran ini
Materi ini penting bagi mahasiswa untuk dapat menganalisa
dan menyusun Rencana Pengelolaan Perikanan baik untuk
perikanan darat maupun perikanan laut.
5. Petunjuk belajar bagi mahasiswa.
Mahasiswa perlu memahami dan mempelajari peraturan
perundangan yang berkaitan dengan RPP yang telah
ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Misalnya
PerMen KP No. 29/Men/2012, Permen KP No. 29/Permen-
Kp/2016; Kep Men KP No. 107/Kepmen-Kp/2015.
B. Penyajian Materi
a) Pendahuluan
(1) A. Latar Belakang,
Rencana Pengelolaan Perikanan, yang selanjutnya disingkat
RPP adalah dokumen resmi yang memuat analisis
situasi perikanan dan rencana strategis, yang merupakan
kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah dengan para pemangku kepentingan lainnya, sebagai
arah dan pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan sumber
daya ikan di bidang penangkapan ikan untuk Perairan laut
8
maupun perairan Darat. Pedoman Penyusunan RPP di bidang
penangkapan ikan disusun dengan tujuan mencapai manfaat
yang optimal, berkelanjutan, dan menjamin kelestarian
sumber daya ikan (Per Men KP 29/2012 dan 2016).
9
8) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Hayati di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia;
9) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota;
10) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang
Konservasi Sumber Daya Ikan
11) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.14/MEN/2007 tentang Keadaan Kritis yang
Membahayakan atau Dapat Membahayakan Sediaan
Ikan, Spesies Ikan atau Lahan Pembudidayaan;
12) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia;
13) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.49/MEN/2011
14) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber
Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia;
15) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor Per.29/Men/2012 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan Di Bidang
Penangkapan Ikan
16) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 29/Permen-Kp/2016 Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan
Di Bidang Penangkapan Ikan Untuk Perairan Darat
10
“Pada bagian ini (latar belakang) dijelaskan pentingnya di
susun Rencana Pengelolaan Perikanan (RPPP). Ata dapat
dikatakan latar belakang dibuatnya dokumen RPP”.
11
Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia, saat ini terdapat 11 Wilayah Pengelolaan
Perikanan atau disingkat WPP (Gambar 1), yaitu:
12
Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia
(Sumber: Per Men KP No. 18 Tahun 2014)
13
b) STATUS PERIKANAN (STOK DAN HABITAT)
Dalam penyusunan RPP perlu disampaikan terkait status
perikanan WPP atau komoditas ikan yang disusun RPPnya
yang memuat:
a) Potensi, Komposisi, Distribusi Dan Tingkat
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
Deskripsi Perikanan
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan
sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan. Selanjutnya Sumber Daya Ikan
adalah potensi semua jenis ikan. Sementara ikan dalam
perikanan (konteks UU/ pengelolaan) adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya
berada di dalam lingkungan perairan.
Jadi dalam hal ini jenis ikan termasuk ikan sejati (fin fish),
seperti: tongkol, mas, nila, kerapu, dll; kerustase (udang-
udangan, kepiting, dan lobster), seperti: udang putih, kepiting
bakau, lobster, rajungan, dll; moluska (keong, kekerangan,
dan cumi-cumi), seperti kerang darah, cumi-cumi, sotong,
dll; rumput laut (sea weed) seperti Gracilaria, Euchema,
dll; lamun (sea grass), seperti, Enhalus, Thalassia, dll;
karang (coral), hard coral maupun soft coral, hutan bakau
(mangrove); mamalia seperti dugong, paus; dan termasuk
reptil laut/ air, seperti penyu, kura-kura dan buaya, dll. Dalam
konteks perikanan, khususnya perikanan laut pada umumnya
di kenal istilah perikanan pelagis kecil, pelagis besar, ikan
karang, ikan demersal, dan ikan-ikan karang/ asosiasi karang.
Ikan pelagis kecil merupakan Kelompok ikan yang hidup
di daerah pelagic (kolom air) permukaan yang masih umum
14
berada pada tropik level kedua (dan interaksi) dengan
struktur tropik pada produsen primer tinggi. Karakteristik
ikan pelagis kecil adalah:
a) Hidup di lapisan permukaan perairan
b) Membentuk kelompok (schooling) dalam jumlah besar
c) Beruaya tapi tidak terlalu jauh
d) Umum bersifat fototaksis positif (senang mencari makan
pada saat intensitas cahaya tinggi)
e) Memiliki tingkat densitas yang tinggi
f) Hidup dekat dengan perairan neritik (perairan yang
dangkal) dan dengan pantai
g) Memiliki kemampun jelajah/pergerakan yang lebih
lambat dari pelagis besar
h) Contoh: kelompok ikan teri, lemuru, layang, kembung,
kurisi, tetengkek, belanak, dll.
15
Ikan pelagis besaar merupakan kelompok ikan yang hidup
di kolom yang pada umumnya pada trofik level ketiga atau
atas (puncak tofik level). Adapun karakteristik pelagis besar
adalah:
a) Ukuran relatif besar
b) Hidup di dekat permukaan, tergantung suhu & kedalaman
lapisan termoklin
c) Multi gear
d) Migrasi/ruaya relatif jauh, bahkan ada yang disebut
hight migratory species seperti tuna sirip biru.
e) Epipelagis & oseanis
f) Ikan Pelagis Besar, terdiri dari kelompok Tongkol, Tuna,
Cakalang, dan Marlin.
16
a) Hidup di dasar atau dekat dasar perairan, dominan pada
dasar lumpur berpasir
b) Memiliki aktifitas yang rendah
c) Gerak ruaya tidak jauh
d) Gerombolan tidak terlalu besar
e) Daya tahan terhadap tekanan penangkapan relatif rendah
f) Contoh ikan demersal adalah: ikan lidah, ikan sebelah,
bawal, pari, dll.
17
d) Bergerombol
e) Tidak Bermigrasi (trans-location)
f) Sebagian Besar Karnivora
g) Contoh ikan karang adalah: ikan kerapu, ekor kuning,
pisang-pisang, napoleon, kakap, lencam, dll.
18
Gambar 6. Beberapa jenis kekerangan dan krustasea
Data time series dari loog book di TPI dapat dijadikan tren
penangkapan ikan dan status stok ikan (tiap jenis) dengan
menghitung tangkapan per satuan usaha. Pada bagian ini
juga ditampilkan tren penangkapan, dan ukuran tangkap.
Berikut contoh tabel (Tabel 1) potensi perikanan di WPP 718,
berdasarkan Kep Men KP No. 45/2011.
19
Tabel 1. Kelompok SDI di WPP 718
20
laporan tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi atau
Kabupaten Kota. Selain itu data tersebut juga tersedia dari
lembaga penelitian terkait seperti LIPI, Balai Riset Perikanan
Laut, Balai Riset Perikanan Umum atau juga dari laporan/
riset Perguruan tinggi. Hasil Penilaian Indikator Habitat
dapat dilihat seperti tabel 3.
c) Teknologi Penangkapan
Pada bagian ini terdiri dari Armada penangkapan ikan
merupakan unit penangkapan ikan yang terdiri dari kapal
penangkapan ikan, alat penangkapan ikan, dan alat bantu
penangkapan ikan. Kapal dan perahu penangkapan ikan
terdiri dari perahu, kapal dengan Motor Tempel, Kapal Motor
< 5 GT, Kapal Motor 5-10 GT, Kapal Motor 10-20 GT, Kapal
Motor 30-60 GT, Kapal Motor 60-100, dan Kapal Motor
> 100 GT. Semakin besar GT nya suatu kapal maka daya
jelajah kapal semakin luas (jauh).
21
Alat penangkapan ikan di WPP-NRI menurut jenisnya terdiri
dari 10 (sepuluh) kelompok, yaitu:
22
o jaring insang lingkar (encircling gillnets);
o jaring insang berpancang (fixed gillnets (on
stakes));
o jaring insang berlapis (trammel nets) berupa jaring
klitik; dan
o combined gillnets-trammel net.
h. perangkap (traps);
o stationary uncovered pound nets, berupa set net;
o bubu (pots);
o bubu bersayap (fyke nets);
o stow nets;
o barriers, fences, weirs, berupa sero;
o perangkap ikan peloncat (aerial traps);
o muro ami; dan
o seser.
i. pancing (hooks and lines); dan
o handlines and pole-lines/hand operated;
o handlines and pole-lines/mechanized;
o rawai dasar (set longlines);
o rawai hanyut (drifting longlines);
o tonda (trolling lines); dan
o pancing layang-layang.
j. alat penjepit dan melukai (grappling and wounding).
o tombak (harpoons);
o ladung; dan
o panah
23
b. lampu merupakan merupakan alat bantu untuk
mengumpulkan ikan dengan menggunakan pemikat/
atraktor berupa lampu atau cahaya yang berfungsi untuk
memikat ikan agar berkumpul. Contoh penyajian alat
tangkap seperti Taabel 4.
http://www.montereyfish.com/media/images/desktop/methods/purse_seining.gif
Gambar 7. Beberapa jenis alat tangkap yang diperbolehkan di Indonesia
24
http://images.harianjogja.com/2016/03/Ilustrasi-aneka-alat-penangkap
ikan-Twitter.com-Susi-Pudjiastuti.jpg
d)
Pada bagian ini menyajikan kondisi sosial-ekonomi
masyarakat nelayan pada WPP atau nelayan penangkap ikan
tertentu sesuai tujuan RPP (jenis tertentu). Dalam hal ini
termasuk kearifan lokal yang ada di WPP tersebut, misalnya
Panglima Laot (Aceh), Sasi (Maluku), Awig-awig (Nusa
Tenggara), Lubuk Larangan (perairan umum sumatera), dll.
Data-data tersebut dapat diperoleh dan diolah dari laporan
tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi atau
Kabupaten Kota. Selain itu data tersebut juga tersedia dari
lembaga penelitian terkait seperti LIPI, Balai Riset Perikanan
Laut, Balai Riset Perikanan Umum atau juga dari laporan/
riset Perguruan tinggi
25
Pada sub ini setidaknya memuat hal-hal berikut:
Jumlah Nelayan/Rumah Tangga Perikanan (RTP)
Berdasarkan Jenis Kapal Penangkapan Ikan
Jumlah Nelayan, Hasil Tangkapan dan Nilai Tangkapan
serta Produktivitasnya
Volume dan Nilai Ekspor Produk Perikanan Indonesia
e) Tata Kelola
Tata kelola merupakan bagian dari pengambilan/ penetapan
kebijakan dalam pengelolaan perikanan. Secara nasional,
kebijakan pengelolaan perikanan ditetapkan oleh Pemerintah
dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan termasuk
oleh pemerintah provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya. Berdasarkan PerMen Kp 23/PERMEN-
KP/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemeterian
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan
Perikanan mempunyai unit kerja Eselon I yang mempunyai
tugas sebagai berikut:
1) Sekretariat Jenderal (Setjen) mempunyai tugas
menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan tugas,
pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi
kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan KKP
2) Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (DJPRL)
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan ruang laut,
pengelolaan konservasi dan keanekaragaman hayati
laut, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil;
3) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT)
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan perikanan
tangkap;
26
4) Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk
Kelautan dan Perikanan (DJPDSPKP) mempunyai
tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang penguatan daya saing dan sistem
logistik produk kelautan dan perikanan serta peningkatan
keberlanjutan usaha kelautan dan perikanan;
5) Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan (DJPSDKP) mempunyai
tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang pengawasan pengelolaan sumber
daya kelautan dan perikanan;
6) Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan
dan Perikanan (Balitbang KP) mempunyai tugas
menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di
bidang kelautan dan perikanan; dan Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan
7) Masyarakat Kelautan dan Perikanan (BPSDMP KP)
mempunyai tugas menyelenggarakan pengembangan
sumber daya manusia dan pemberdayaan masyarakat
kelautan dan perikanan.
8) Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas KAJISKAN)
yang mempunyai tugas memberikan masukan dan/atau
rekomendasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan
melalui penghimpunan dan penelaahan hasil penelitian/
pengkajian mengenai sumber daya ikan dari berbagai
sumber, termasuk bukti ilmiah yang tersedia (best
available scientific evidence), dalam penetapan estimasi
potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan,
sebagai bahan kebijakan dalam pengelolaan perikanan
yang bertanggungjawab (responsible fisheries) di
WPPNRI.
27
Selain itu, terdapat kementerian/lembaga terkait yang dapat
menentukan efektivitas pencapaian tujuan pengelolaan
perikanan, antara lain:
1. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman;
2. Kementerian Perhubungan,
3. Kementerian Perdagangan;
4. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;
5. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah;
6. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
7. Kementerian Luar Negeri;
8. Badan Keamanan Laut;
9. Kepolisian Negara Republik Indonesia;
10. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut; dan
11. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
f) Pemangku Kepentingan
RPP memuat penataan kelembagaan (institutional
arrangement), dengan maksud agar RPP dapat dijalankan
dengan sebaik-baiknya. Prinsip yang dianut dalam penataan
kelembagaan yaitu:
1) Kejelasan kewenangan wilayah pengelolaan;
2) keterlibatan pelaku (stakeholders);
3) struktur yang efisien dengan jenjang pengawasan yang
efektif;
4) adanya kelengkapan perangkat yang mengatur sistem;
5) adopsi tata kelola yang dilakukan secara profesional,
transparan, dapat dipertanggungjawabkan dan adil;
6) perwujudan sistem yang mampu mengakomodasikan
dan memfasilitasi norma dan lembaga setempat; dan
7) pengelolaan dilakukan secara legal dan taat hukum
28
Unsur pembentuk struktur kelembagaan pengelolaan
WPPNRI terdiri atas beberapa unsur, yang merupakan
pelaku (stakeholder) perikanan, yaitu meliputi kelompok
(1) pengusaha atau industri (bussiness), (2) pemerintah
(goverment), (3) akademisi/peneliti (academic), (4) pemodal
(financing), dan (5) masyarakat (community).
29
alternatif kebijakan pengelolaan perikanan yang
diberikan oleh Komisi Teknis
d. Komite Kepatuhan (Compliance Committee)
Komite Kepatuhan berperan untuk melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan tindakan manajemen
yang telah direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam
RPP. Komite Kepatuhan akan berkoordinasi dengan
UPT Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan
e. Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan
Sumberdaya Ikan (FKPPS)
FKPPS merupakan forum komunikasi dan konsultasi
dalam rangka pengelolaan perikanan
f. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan
(Komnas Kajiskan)
Komnas Kajiskan berperan untuk memberikan masukan
dan/atau rekomendasi melalui penghimpunan dan
penelaahan hasil penelitian/pengkajian mengenai
sumber daya ikan dari berbagai sumber termasuk
bukti ilmiah yang tersedia (best scientific evidence
available), dalam penetapan potensi dan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan sebagai bahan kebijakan
dalam pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab
(responsible fisheries)
30
Selanjutnya isu pokok dan permasalahn tersebut perlu segera
ditindaklanjuti
dengan upaya pemecahannya. Contoh Isu pengelolaan
perikanan di WPPNRI 718 (Tabel 5).
31
(2). Tujuan dan Sasaran
Tujuan pengelolaan perikanan ditetapkan dan diarahkan
untuk memecahkan isu yang telah teridentifikasi, selanjutnya
sasaran diarahkan untuk mewujudkan tujuan yang akan
dicapai. Penetapan sasaran dilakukan dengan pendekatan
SMART yakni specific (rinci), measurable (dapat diukur),
agreed (disepakati bersama), realistic (realistis), dan time
dependent (pertimbangan waktu).
32
diatas, ditentukan sasaran yang harus dicapai sebagai
berikut:
Menurunnya jumlah awak kapal warga negara
asing pada kapal pukat ikan berukuran 30 GT ke
atas menjadi 1.000 orang (hanya Nakhoda dan
KKM) dalam kurun waktu 2 (dua) tahun;
Revalidasi 100% data jumlah armada penangkapan
udang dan ikan demersal, data hasil tangkapan,
data jumlah nelayan dan pendapatannya untuk
pelaksanaan pengelolaan perikanan yang lebih
baik dalam kurun waktu 2 tahun
33
(3). Indikator dan Tolok Ukur
Untuk memastikan keberhasilan pencapaian sasaran di atas,
ditetapkan indikator dan Tolok Ukur untuk setiap sasaran
yang ingin dicapai. Contoh Rencana Indikator dan Tolok
Ukur (WPP718).
34
“Rencaana Aksi Pengelolaan di susun sesuai tujuan dan
sasaran”. Contoh Rencana Aksi Pengelolaan (WPP718).
2. Evaluasi
RPP dilakukan Evaluasi untuk mengukur keberhasilan
pelaksanaan RPP yang terkait dengan:
35
input yang dibutuhkan terkait dana, SDM, fasilitas dan
kelembagaan untuk melaksanakan rencana aksi;
pencapain sasaran;
pelaksanaan rencana aksi yang telah ditetapkan; dan
perlu tidaknya dilakukan perubahan rencana aksi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kegiatan evaluasi dikoordinasikan oleh Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap dengan pendekatan partisipatif semua
unsur pemangku kepentingan
3. Reviu
RPP ditinjau ulang (reviu) dilakukan setiap 5 (lima) tahun
dengan menggunakan indikator pengelolaan perikanan
dengan pendekatan ekosistem yang meliputi:
1. sumber daya ikan;
2. habitat dan ekosistem perairan;
3. teknik penangkapan;
4. ekonomi;
5. sosial; dan
6. kelembagaan.
d) BAB V PENUTUP
RPP merupakan dasar pelaksanaan pengelolaan ikan.
Pemerintah, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan
mempunyai kewajiban melaksanakan rencana aksi dalam
RPP secara konsisten dan berkelanjutan
C. Rangkuman
Dokumen RPP memuat hal-hal berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang,
B. Maksud dan Tujuan,
C. Visi Pengelolaan Perikanan,
D. Ruang Lingkup dan Wilayah Pengelolaan.
BAB II STATUS PERIKANAN
A. Potensi, Komposisi, Distribusi, dan Tingkat Pemanfaatan
Sumber Daya Ikan
B. Habitat (ekosistem) dan Lingkungan Sumber Daya Ikan
C. Teknologi Penangkapan
D. Sosial dan Ekonomi
E. Tata Kelola
F. Pemangku Kepentingan
BAB III RENCANA STRATEGIS PENGELOLAAN
A. Isu Pengelolaan
B. Tujuan dan Sasaran
C. Indikator dan Tolok Ukur
D. Rencana Aksi Pengelolaan
37
BAB IV PERIODE PENGELOLAAN, EVALUASI, DAN
REVIU
A. Periode Pengelolaan
B. Evaluasi
C. Reviu
BAB V PENUTUP
D. LATIHAN/TUGAS/EKSPERIMEN
1. Tugas individu: buatlah RPP jenis ikan yang ada di
wilayah anda (sesuaikan dengan data yang ada)
2. Tugas kelompok : buatkah RPP berdasarkan WPP atau
perairan umum tertentu (misal danau) yang ada di
wilyah anda
E. RUJUKAN
1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia.
2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.49/MEN/2011.
3) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber
Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia.
4) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor Per.29/Men/2012 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan Di Bidang
Penangkapan Ikan.
5) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 18/Permen-Kp/2014 Tentang Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
38
6) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor Per.02/Men/2015 Tentang Pelarangan
Penggunaan alat penangkapan ikan pukat hewla (Trawls)
dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia
7) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 29/Permen-Kp/2016 Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan
Di Bidang Penangkapan Ikan Untuk Perairan Darat.
F. BAHAN BACAAN YANG DIANJURKAN
(1) Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 54/Kepmen-Kp/2014 Tentang
Rencana Pengelolaan Perikanan Wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Republik Indonesia 718
(2) Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 68/Kepmen-Kp/2016 Tentang
Rencana Pengelolaan Perikanan Ikan Lemuru
(3) Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 70/Kepmen-Kp/2016 Tentang
Rencana Pengelolaan Perikanan Lobster
39
BAB III
DOMAIN
SUMBER DAYA IKAN
A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab iii ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
IV-V) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan mengevaluasi performa EAFM pada
Domain Sumber Daya Ikan.
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati beberapa mata kuliah yang sangat berkaitan
dengan pertemuan (mata kuliah ini). Diantaranya 1)
Ikhtiologi (Semester II), 2) Biologi Perikanan (semester
IV), 3) Sumberdaya Perikanan (Semester V), 4) konservasi
sumberdaya hayati perairan (Semester IV), dan 5) Dinamika
Populasi dan Pengkajian Stok Ikan (Semester VI).
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Sumberdaya ikan dan karang di wilayah-wilayah pengelolaan
perikanan Indonesia saat ini telah berada pada kondisi kritis.
Berdasarkan hasil kajian terbaru dari Komisi Nasional
Pengkajian Sumberdaya Ikan, hampir semua wilayah
pengelolaan perikanan di Indonesia mengalami kondisi
41
tereksploitasi secara penuh (fully exploited) dan tereksplotasi
secara berlebihan (over exploited atau over fishing). Kondisi
ini juga diperparah dengan maraknya praktek penangkapan
ikan secara ilegal (illegal fishing) di beberapa wilayah
perairan laut Indonesia, seperti Selat Malaka, Laut China
Selatan, Laut Sulawesi, dan Laut Arafura. Begitu pun dengan
terumbu karang di berbagai wilayah di Indonesia. Dari total
6800 km2 luas terumbu karang di Indonesia, sekitar 15% -
70% berada pada kondisi rusak, sisanya berada pada kondisi
sedang, dan baik (Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem
dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014.
42
dengan ukuran ikan saat pertama kali matang gonad, agar
ikan-ikan tersebut diberi kesempatan untuk memijah sehingga
terjadi proses rekruitmen. Analisis tingkat kematangan gonad
(TKG) dilakukan dengan melihat perubahan yang terjadi
pada gonad ikan, bobot tubuh ikan dan panjang ikan. Kriteria
tingkat kematangan gonad masingmasing ikan berbeda-beda
(Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan,
2011).
43
agregat dari keenam domain tersebut. EAFM juga berkaitan
dengan RPP dimana RPP dapat dievaluasi dengan EAFM
atau EAFM merupakan langkah dalam penyusunan RPP.
Sehingga dalam hal ini EAFM dan RPP saling berkaitan
(Adrianto et al. 2014).
44
B. Penyajian Materi
1. CPUE Baku
Defenisi
Analisis tren CPUE sangat penting dalam menganalisis performa
EAFM. Karena sesungguhnya CPUE itu adalah berkaitan
langsusng dengan pemanfaatan/ pengelolaan sumber daya ikan.
CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan
(Catch per unit effort, tanpa satuan). Hasil tangkapan dalam
satuan ton, sedangkan upaya penangkapan adalah jumlah alat
tangkap atau jumlah trip penangkapan, atau dapat juga waktu
penangkapan. Upaya penangkapan harus distandarisasi sehingga
bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan (Laporan
Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto
et al. 2014).
45
2. Ukuran ikan
Defenisi
Ukuran ikan dalam penilaian performa EAFM adalah dimensi
panjang. Hal ini dikarenakan panjang erat kaitannya dengan
dinamika populasi ikan. Ukuran panjang dapat menentukan
tingkat/ model pertumbuhan, ukuran pertama kali matang gonad.
Ukuran panjang juga dapat menduga keberadaan status stok
sumberdaya ikan. Ukuran panjang yang semakin kecil “menduga”
terjadinya penurunan stok di alam (Laporan Akhir Pendekatan
Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014).
46
Data ukuran ukuran panjang dapat dilakukan secara langsung
dengan melakukan pengukuran di lapangan (TPI, kapal nelayan)
sesuai aturan diatas. Pengukuran dilakukan secara berulang-ulang
paling tidak dalam 2-3 tahun terakhir. Dapat juga digunakan data
hasil penelitian Lembaga Penelitian atau Perguruan Tinggi. Jika
data-data tersebut tidak tersedia dapat juga dilakukan dengan
wawancara mendalam terhadap nelayan yang telah berpengalaman
paling tidak dalam 10 tahun (opsi terakhir) pada saat sekarang
(saat evaluasi EAFM) dengan tahun-tahun sebelumnya (5
tahun terakhir) (Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam
Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014).
47
parameter EAFM dalam domain SDI (Laporan Akhir Pendekatan
Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014).
48
4. Komposisi spesies
Defenisi
Komposisi spesies yang dimaksud disini adalah proposi ikan
tangkapan utama (ikan target/ discard) dengan ikan tangkapan
sampingan (by catch). Pada kondisi normal (perikanan yang
baik) komposisi/ proporsi ikan-ikan tangkapan utama akan lebih
banyak daripada ikan tangkapan sampingan. Demikian sebaliknya
perikanan yang sudah menurun bisa jadi ikan-ikan tangkapan
sampingan akan lebih banyak dibanding ikan-ikan tangkapan
utama (Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan,
2011; Adrianto et al. 2014).
49
5. Spesies ETP
Defenisi
Populasi spesies ETP atau Endangered species, Threatened
species, and Protected species sesuai dengan kriteria CITES dan
atau UU/ peraturan perlindungan hewan langka. Beberapa nama
jenis ikan yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor
7 tahun 1999.
50
No Nama ikan Nama ilmiah
4 Hippopus hippopus Kima tapak kuda, Kima kuku
beruang
5 Hippopus porcellanus Kima Cina
6 Nautilus popillius Nautilus berongga
7 Tachipleus gigas Ketam tapak kuda
8 Tridacna crocea Kima kunia, Lubang
9 Tridacna derasa Kima selatan
10 Tridacna gigas Kima raksasa
11 Tridacna maxima Kima kecil
12 Tridacna squamosa Kima sisik, Kima seruling
13 Trochus niloticus Troka, Susur bundar
14 Turbo marmoratus Batu laga, Siput hijau
Reptil
Seluruh jenis penyu (6 jensi)
Mamalia
1 Balaenoptera musculus Paus Biru
2 Balaenoptera physalus Paus Bersirip
3 Megaptera novaeangliae Paus Bongkok
4 Dugong dugon Duyung
5 Orcaella brevirostris Pesut
6 semua jenis Paus dari famili Cetacea (catacea);
7 semua jenis Lumba-lumba air laut dari famili Dolphinidae (Dolphini-
dae);
8 semua jenis Lumba-lumba air laut dari famili Ziphiidae (Ziphiidae)
PP No. 7/1999
Pengumpulan data
Untuk mengetahui jenis-jenis ETP yang tertangkap dapat dilakukan
survei langsung di TPI (melayan) dengan dengan melihat apakaha
ada jenis ETP yang tertangkap. Wawancara mendalam dengan
nelayan (responden) yang berpengalaman dalam perikanan terkait
selama minimal 10 tahun juga dapat dilakukan, tentunya dengan
menguraikan secara ikan-ikan ETP yang tertangkap pada saat
51
sekarang (saat evaluasi EAFM) dengan tahun-tahun sebelumnya
(5 tahun terakhir).
52
Kriteria dan perhitungan
“Range Collapse” sumberdaya ikan pada domain SDI memiliki
bobot 8 (%) dengan nilai densitas 18. Densitas merupakan jumlah
parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan populasi
ETP (Lihat gambar 7).
53
perguruan tinggi, maupun LSM/ organisasi yang punya orientasi
pada perbaikan ekosistem terumbu karang.
C. Rangkuman
Domain SDI terdiri dari 7 parameter yaitu:
1) CPUE,
2) Ukuran ikan,
3) Komposisi ikan yuwana yang tertangkap,
4) kompisis spesies taget dan non target,
5) populasi ETP yang tertangkap,
6) “range collaps” SDI,
7) densitas/biomass ikan karang dan invertebrata.
54
D. Latihan/Tugas/Eksperimen
1. Setiap mahasiswa melakukan perhitungan setiap parameter
(1-7) dengan memilih satu jenis ikan tertentu sesuai dengan
topik kelompok pada WPP tertentu. Misal kelompok pelagis
kecil, pelagis besar, karang, demersal, dll
2. Masing-masing hasil mahasiswa dalam kelompok
digabungkan untuk mendapatkan nilai akhir SDI (kelompok
ikan yang sejenis). Diskusikan hasil dengan kelompok
masing-masing
3. Masing-masing hasil kelompok digabungkan untuk
mendapatkan nilai akhir SDI (keseluruhan jenis). Diskusikan
di dalam kelas
4. Petakan lah status SDI di WPP yang anda pilih
E. Rujukan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. [FAO-UN] Food and Agricultural Organization of the United
Nations. 1998. FAO Spesies Identification Guide for Fishery
Purposes the Living Marine Resources of the Western Central
Pacific 2nd. Rome: FAO
3. Haryani EBS et al. 2008. Konservasi Sumber Daya Ikan di
Indonesia. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut,
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta
4. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
55
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF‐Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
5. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun
2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
7. Sparre P, Venema CS. 1999. Introduksi Pengkajian Stok
Ikan Tropis. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian
8. Widodo J, Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
56
3. Sparre P, Venema CS. 1999. Introduksi Pengkajian Stok
Ikan Tropis. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pertanian
57
58
BAB IV
EKOSISTEM DAN
LIN GKUNGAN PERAIRAN
A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab iv ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
VI-VII) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan mengevaluasi performa EAFM pada
Domain Ekosistem dan Lingkungan Perairan.
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati beberapa mata kuliah yang sangat berkaitan
dengan pertemuan (mata kuliah ini). Diantaranya 1) Ekologi
Perairan (Semester II), 2) Kualitas air (semester III), 3)
Pencemaran perairan (Semester IV), dan 4) eksosistem
pesisir dan laut (Semester V).
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Habitat dan ekosistem memiliki banyak manfaat bagi
organisme, yaitu sebagai tempat tinggal, tempat mencari
makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground),
tempat pengasuhan (nursery ground), tempat berlindung,
tempat berlangsungnya proses biologi, kimiawi, dan fisik
secara cepat sehingga produktivitasnya tinggi. Indikator
59
habitat yang tercakup dan dianalisis dalam kajian Ecosystem
Approach to Fisheries Management (EAFM) ini meliputi
pencemaran dan potensi pencemaran, kondisi tutupan lamun,
tutupan terumbu karang, luasan dan kerapatan mangrove,
produktifitas estuari, keberadaan habitat penting, laju
sedimentasi, dan pengaruh global warming.
60
B. Penyajian Materi
1. Kualitas Perairan
Defenisi
Kualitas perairan merupakan adalah kondisi kalitatif air yang
diukur dan atau di uji berdasarkan parameter-parameter tertentu
dan metode tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Pasal 1 keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 115 tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan
dengan parameter kualitas air. Kualitas air sangat penting untuk
menunjang keberlangsungan hidup organisme yang hidup dalam
perairan. Perubahan kualitas air dapat mempengaruhi kehidupan
organisme, termasuk produktivitas perikanan. Pengelolaan kualitas
air adalah upaya pemaliharaan air sehingga tercapai kualitas air
yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar
kondisi air tetap dalam kondisi alamiahnya. Dengan demikian
produktivitas perikana tetap berlangsung. Parameter ini meliputi
parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis. Kualitas air dapat
diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air
tersebut. Pengujian yang dilakukan adalah uji kimia, fisik, biologi,
atau uji kenampakan (bau dan warna).
61
Data yang disajikan hendaknya data tahunan (mewakili
musim)
Tingkat kekeruhan (NTU); untuk mengetahui laju
sedimentasi perairan. Pengukuran tingkat kekeruhan dengan
citra satelit untuk melihat sebaran tingkat kekeruhan di
perairan. Data yang disajikan hendaknya data tahunan
(mewakili musim)
Eutrofikasi merupakan dari adanya pencemaran organik
yang mengandung nutrien (Nitrogen, Posfor, dan termasuk
silika). Pengukuran eutrifikasi dapat dilakukan dengan citra
satelit untuk melihat sebaran tingkat eutrifikasi di perairan.
Selain itu, dapat dilakuakn dengan metode pengukuran N
dan P di laboratorium. Data yang disajikan hendaknya data
tahunan (mewakili musim).
62
Kriteria kualitas perairan (eutrifikasi) pada domain habitat
dan ekosistem adalah (Skor):
Bernilai 1, jika terjadi eutrifikasi (konsentrasi klorofil a >
10 mg/m3
Bernilai 2, jika potensi terjadi eutrofikasi (klorofil a 1-10
mg/m3)
Bernilai 3, jika tidak terjadi eutrofikasi (konsentrasi klorofil
a <1 mg/m3)
Nilai akhir parameter kualitas perairan adalah
63
makanan bagi organisme dalam bentuk detritus, (3) menstabilkan
dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap
sedimen (trapping sediment), (4) tempat berlindung bagi biota laut,
(5) tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan
(nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi
biota-biota perairan laut, (6) pelindung pantai dengan cara meredam
arus, (7) penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan.
Selanjutnya, dari berbagai literatur, Dahuri (2003) menyimpulkan
akan pentingnya nilai ekonomi dan ekologi ekosistem lamun,
terutama terkait dengan biota yang hidupnya tergantung dengan
ekosistem lamun ini. Terdapat hingga 360 spesies ikan, 117
jenis makro-alga, 24 jenis moluska, 70 jenis krustasea, dan 45
jenis ekhinodermata (seperti teripang) yang hidupnya didukung
oleh ekosistem lamun di Indonesia. Ekosistem lamun juga telah
dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan.
Keberadaan ekosistem lamun akan semakin penting terkait dengan
adanya isu pemanasan global, dimana kemungkinan potensi
tumbuhan ini sebagai pereduksi CO2 (Rangkuti et al. 2017).
64
Metode pengumpulan data
Pengumpulan data lamun dapat dilakukan dengan cara:
citra satelit (luas tutupan lamun dan penutupan lamun) dan
langsung (jenis dan penutupan)
Pengamatan secara langsung terhadap kerapatan lamun
menggunakan transek kuadrat berukuran 50 x 50 cm2 dan
transek garis sepanjang 50-100 meter. Metode pengukuran
yang digunakan untuk mengetahui kondisi ekosistem lamun
adalah metode Transek dan Petak Contoh (Transec Plot).
Status lamun juga dapat dilihat dari Seagrass watch (www.
seagrasswatch.org), seagrass net (www.seagrassnet.org), dan
hasil kajian lainnya (LIPI dan Perguruan Tinggi/ LSM), dan
dan dokumen lainnya yang relevan (Rencana Zonasi Pesisir
dan Pulau-pulau kecil)
65
3. Status Ekosistem Mangrove
Defenisi
Mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh dan
berkembang di daerah pasang surut sebagai habitatnya. Mangrove
hidup dan berkembang pada lingkungan pantai yang terlindung,
laguna, dan muara sungai yang komunitas tumbuhannya
bertoleransi terhadap garam. Buku ini tidak hanya membicarakan
mangrove sebagai tumbuhan akan tetapi juga membicarakan
mangrove sebagai ekosistem. Dengan demikian akan dibicarakan
tentang flora mangrove maupun faunanya baik teresterial maupun
akuatik. Jenis mangrove yang dimaksud adalah mangrove utama
dan ikutan. Mangrove asosiasi termasuk vegetasi pantai yang
hidupnya tidak dipengaruhi oleh pasang surut (Rangkuti et al.
2017).
66
beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true
mangrove), sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove
dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (asociate asociate).
Di seluruh dunia, Saenger et al. (1983) mencatat sebanyak 60
jenis tumbuhan mangrove sejati. Dengan demikian terlihat bahwa
Indonesia memiliki keragaman jenis yang tinggi (Giessen et al.
2012).
67
stasiun. Transek garis berada pada posisi dari arah perairan
kearah darat dan terdiri atas petak-petak contoh (plot)
berbentuk bujur sangkar.
Status mangrove juga dapat dilihat dari hasil kajian lain LIPI,
dan Perguruan Tinggi/ LSM (wetland), dan dokumen lainnya
yang relevan (Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau kecil).
68
Defenisi
Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang
bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut
zooxanhellae. Terumbu karang (coral reefs) merupakan
ekosistem yang terdapat di dasar laut tropis, dibangun oleh
biota laut penghasil kapur (CaCO3). Kapur (CaCO3) dihasilkan
oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik)
terutama jenis-jenis karang batu dan alga berkapur yang bersama-
sama dengan biota lainnya yang hidup di dasar. Ekosistem terumbu
karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena
menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Pada
ekosistem terumbu karang ini bisa hidup lebih dari 300 jenis
karang, yang terdiri dari sekitar 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh
jenis moluska, crustacean, sponge, algae, lamun dan biota lainnya
(Dahuri 2000).
69
naiknya permukaan laut serta meningkatnya frekuensi dan tingkat
kedahsyatan badai tropis. Perlindungan dari terumbu karang ini
sangat penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat yang
hidup di kawasan atol karang (Rangkuti et al. 2017).
70
Kriteria dan perhitungan
Ekosistem karang pada domain habitat dan ekosistem memiliki
bobot 20 (%) dengan nilai densitas 23. Densitas merupakan
jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
ekosistem lamun (Lihat gambar 7).
5. Habitat Unik
Defenisi
Habitat khusus/ unik merupakan suatu lingkungan/ habitat/
ekosistem yang khas (selain mangrove, lamun dan karang) yang
tidak (jarang) ditemukan di tempat lain. Habitat khusus/ unik juga
dapat diartikan sebagai habitat organisme tertentu (endemik),
langka dan terancam punah. Seperti P. Komodo di NTT. Habitat
khusus juga berupa bentuk tubir terumbu karang dengan kemiringan
90 derajat, rugousity, seperti goa-goa, alur-alur , sebagai daerah
habitat pemijahan (spawning ground) dan pengasuhan, (nursery
ground) dan mencari makan (feeding ground) selain mangrove,
lamun dan karang. Habitat khusus/ unik juga berupa daerah
perairan laut yang mengalami upwelling sehingga ketersediann
nutrien pada musim tertentu menjadi tinggi, seperti di Selat Bali,
Laut Jawa, Selat Lombok, dll.
71
Metode pengambilan data
Pengambilan data mangrove dapat dilakukan dengan:
Survey : daerah habitat pemijahan (spawning ground) dan
pengasuhan, (nursery ground) dan mencari makan (feeding
ground) ikan ekonomis penting, lobster, tuna, kerapu, udang,
dll
Citra satelite terkait habitat khusus (luas, pola/bentuk, dll),
diikuti oleh survey lapangan.
Wawancara nelayan yang mengetahui keberadaan habitat
khusus
Habitat khsusu dilihat dari hasil kajian LIPI, dan Perguruan
Tinggi/ LSM (Terangi, dll), dan dokumen lainnya yang
relevan (Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau kecil).
72
6. Perubahan Iklim
Defenisi
Perubahan iklim merupakan berubahnya iklim dan cuaca akibat
adanya pemanasan global. saat ini perubahan iklim merupakan
salah satu hal yang menjadi sorotan utama dunia, yakni karena
banyaknya dampak yang ditimbulkan oleh terjadinya perubahan
iklim tersebut dalam kehidupan termasuk dunia perikanan/
perairan. Dampak perubahan iklim bagi perikanan/ perairan antara
lain:
Naiknya muka laut meneggelamkan kawasan pesisir &
intrusi laut ke air tanah
Naiknya suhu perairan dapat mengganggu pola breeding
ikan, sehingga dapat berpengaruh pada perubahan stok
Peningkatan suhu permukaan laut juga berdampak pada
pemutihan karang (coral bleaching)
Perubahan suhu perairan dapat mempengaruhi metabolisme,
dan tentu saja laju pertumbuhan, produksi total, musim
reproduksi, serta kepekaan terhadap penyakit dan racun.
Pada organisme tertentu (khusus ikan-ikan endemik / tawar)
dapat menyebabkan kepunahan >>> biodiversitas berkurang
Perubahan iklim (terutama variasi suhu) akan berdampak
lebih kuat terhadap distribusi daerah tangkapan ikan di lautan.
73
Kriteria dan perhitungan
Perubahan iklim pada domain habitat dan ekosistem memiliki
bobot 10 (%) dengan nilai densitas 22. Densitas merupakan
jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
ekosistem lamun (Lihat gambar 7).
C. Rangkuman
Domain habitat dan ekosistem terdiri dari 6 parameter yaitu:
1) kualitas perairan,
2) ekosistem mangrove,
3) ekosistem padang lamun,
4) ekosistem terumbu karang,
5) habitat khusus/ unik,
6) perubahn iklim.
74
Nilai parameter = nilai skor x bobot x densitas
Nilai akhir Domain Habitat & Ekosistem =
D. Latihan/Tugas/Eksperimen
1. Setiap mahasiswa melakukan perhitungan setiap parameter
(1-6) dengan memilih satu kawasan perairan (bisa perwilayah
kabupaten untuk WPP provinsi atau per wilayah provinsi
untuk WPP tertentu). Misal pada aspek pembahasan WPP
Kabupaten Simeulue wilayah yang dimaksud adalah Provinsi
Aceh, Sumut, Riau, Kep. Riau, Sumsel, dan Lampung
(Sesuai dengan WPP pada domain sebelumnya).
2. Masing-masing hasil dari mahasiswa dalam kelompok
digabungkan untuk mendapatkan nilai akhir habitat &
ekosistem (WPP yang sama). Diskusikan hasil dengan
kelompok masing-masing. Diskusikan di dalam kelas
3. Petakan lah status habitat dan ekosistem pada WPP yang
anda pilih
E. Rujukan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Bengen DG. 2004. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh
dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian
Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB. Bogor
3. Chapman VJ. 1976. Mangrove Vegetation. J.Cramer. Vaduz,
Liechtenstein.
75
4. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan
Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius
5. Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan
Untuk Kesejahteraan Rakyat (Kumpulan Pemikiran DR. Ir.
Rokhmin Dahuri, MS). LISPI (Lembaga Informasi dan Studi
Pembangunan Indonesia) Direktorat Jenderal Pesisir, Pantai
dan Pulau-Pulau Kecil, Dep. Eksplorasi Laut dan Perikanan.
Jakarta
6. Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Schoelten L. 2012. Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia. Penerjemah: Noor YR,
Khazali M, Suryadiputra INN. Terjemahan dari: A Field
Guide of Indonesian Mangrove. Wetlands International-
Indonesia Programme. Bogor
7. Kiswara W, Hutomo M. 1985. Habitat dan Sebaran Geografik
Lamun. Oseana, X (1): 21– 30.
8. Lgo AE, Snedaker M. 1974. The Ecology of Mangrove. Ann.
Rev. Ecology System, (5): 39–64
9. Rangkuti A. Muhtadi, M. Reza Cordoba, Ani Rahmawati,
Yulma, Eldin H. Adimu. 2017. Ekosistem Pesisir dan Laut
Indonesia. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
10. Saenger, P., E.J. Hegerl & J.D.S. Davie. 1983. Global Status
of Mangrove Ecosystems. IUCN Commission on Ecology
Papers No. 3, 88 hal
11. Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
115 Tahun 2003
12. Spalding, M.D., F. Blasco & C.D. Field editor. 1996.
World Mangrove Atlas. International Society for Mangrove
Ecosystems, Okinawa, Japan
76
F. Bahan Bacaan yang Dianjurkan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF‐Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
3. Rangkuti A. Muhtadi, M. Reza Cordoba, Ani Rahmawati,
Yulma, Eldin H. Adimu. 2017. Ekosistem Pesisir dan Laut
Indonesia. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
77
BAB V
TEKNIK PENANGKAPAN
A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab v ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
VIII-IX) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan mengevaluasi performa EAFM pada
Domain Teknik Penangkapan.
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati beberapa mata kuliah yang sangat berkaitan
dengan pertemuan (mata kuliah ini). Diantaranya 1) Dasar-
dasar Penangkapan Ikan (Semester III), 2) Dinamika Populasi
Ikan (semester V), 3) Sumberdaya Perikanan (Semester V),
dan 4) Pengkajian Stok Ikan (Semester VI).
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Pengelolaan perikanan tidak cukup hanya dengan
mempertimbangkan target populasi yang berkelanjutan.
Namun, pengelolaan perikanan perlu juga mempertimbangkan
ekosistem dan sumberdaya hayati yang berkelanjutan
sebagai habitat dari populasi ikan. Dampak ekosistem akibat
pemanfaatan sumberdaya hayati menjadi penting untuk
79
diidentifikasi lebih awal agar kerusakan sumberdaya bisa
diminimalisir dan diantisipasi sehingga tidak menimbulkan
degradasi sumberdaya hayati yang berkelanjutan. Pendekatan
yang lebih mengedepankan aspek keberlanjutan ekosistem
ini lebih dikenal dengan pendekatan ekosistem terhadap
manajemen perikanan tangkap.
Materi Teknik Penangkapan erupakan salah satu domain
dalam menganalisis dan mengevaluasi performa pengelolaan
perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM). EAFM
disusun dari 6 domain, yaitu 1) Domain Sumber Daya
Ikan, 2) Domain Habitat dan Lingkungan, 3) Domain Teknik
Penangkapan, 4) Domain Sosial, 5) Domain Ekonomi, dan 6)
Domain. Keenam domain tersebut saling terkait (conectivity).
Penilaian performa EAFM merupakan agregat dari keenam
domain tersebut.
80
B. Penyajian Materi
1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif
Metode penangkapan ikan yang destruktif akan memberikan
tekanan terhadap kelestarian sumberdaya ikan dan
ekosistemnya. Penangkapan ikan yang destruktif meliputi
penggunaan bahan-bahan yang merusak seperti bom,
potassium, listrik dan racun. Kategori metode yang destruktif
adalah pemanfaatan sumberdaya ikan dengan menggunakan
metode penangkapan ikan yang tidak sesuai peraturan
(Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan,
2011; Adrianto et al. 2014).
Larangan penggunaan metode penangkapan ikan yang
destruktif ini diatur dalam UU No.31/2004 Jo. No.45/2009
tentang perikanan pasal 8 ayat 1 sampai 3 serta pasal 12
ayat 1 dan 4. Aturan itu menegaskan dengan sangat jelas
bahwa penggunaan bahan-bahan destruktif tersebut dilarang
dan penggunanya dapat dikenakan sangsi. Penggunaan
bom dan potasium serta bahan-bahan destruktif lainnya
terbukti di banyak tempat telah menghancurkan ekosistem
terumbu karang dan habitat ikan. Hancurnya ekosistem akan
menimbulkan degradasi sumberdaya ikan dan habitatnya.
Keberlanjutan generasi perikanan menjadi terhambat dan
laju produksi perikanan pada glirannya akan menurun.
81
tidak lagi terdapat kapal perikanan yang menggunakan
jaring trawl. Penggunaan trawl mengalami pasang surut.
Penggunaan trawl dilarang karena terbukti memiliki ukuran
mata jaring yang kecil dan bergerak di dasar perairan yang
berpotensi merusak lingkungan laut dan menghabiskan stok
ikan yang berkuran kecil. Dengan nama yang berbeda, trawl
kembali diberlakukan namun sifatnya terbatas di beberapa
lokasi dengan alasan tertentu. Hal ini dijelaskan dalam
Peraturan Menteri No.06/MEN/2008 pasal 3 dan 4 tentang
Penggunaan alat penangkapan ikan Pukat hela di perairan
Kalimantan Timur Bagian Utara. Alasan diperbolehkannya
pukat hela –baca: trawl- di daerah perbatasan tersebut
adalah untuk menyaingi maraknya praktek illegal fishing
dan masuknya nelayan Malaysia dan negara lain ke wilayah
perairan Kalimantan timur (Laporan Akhir Pendekatan
Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014).
82
Penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak
antara lain:
Penggunaan bom ikan
Penggunaan racun ikan (sianida, potassium dan listrik)
Penggunaan rumpon yang merusak karang
Penggunaan bubu yang merusak karang
Jangkar kapal yang merusak karang
83
Kriteria Penangkapan ikan yang bersifat destruktif pada
domain teknik penangkapan adalah (Skor) (Adrianto et al.
2014):
Bernilai 1, jika frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun
Bernilai 2, jika frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun
Bernilai 3, jika frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun
Nilai akhir parameter Penangkapan ikan yang bersifat
destruktif adalah
nilai skor x bobot x densitas
84
dilarang penggunaannya seperti trawl. Trawl ini dimodifikasi
dalam alat tangkap tertentu seperti dogol, arad dan cantrang.
Di beberapa daerah seperti di Pantura, penggunaan alat-alat
tangkap ini sangat besar dan banyak. Alat-alat tangkap ini
berpotensi menimbulkan tekanan terhadap sumberdaya ikan
dan akhirnya merusak lingkungan karena biasa diberlakukan
di dasar laut.
85
jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
ekosistem lamun (Lihat gambar 7).
86
alat tangkap (fishing gear) juga sering dijadikan sebagai
indikator kapasitas penangkapan (Laporan Akhir Pendekatan
Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et al. 2014).
87
Metode pengumpulan data
survey, logbook,
data poor fisheries: interview kepada responden yang
berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal
10 tahun
4. Selektivitas penangkapan
Defenisi
Pengelolaan perikanan secara teknis juga mencakup
pengaturan alat dan pembatasan daerah musim perikanan
tangkap. Pembatasan alat tangkap berkaitan dengan
selektivitas alat tangkap. Hal ini terkait dengan spesifikasi
jaring untuk menangkap ikan spesies tertentu atau
meloloskan ikan bukan tujuan tangkap (by catch) serta efek
terhadap ekosistem. Selektifitas alat tangkap terkait dengan
ukuran mata jaring dan jumlah pancing yang digunakan
untuk menangkap ikan. Mata jaring yang kecil berpotensi
88
menangkap ikan-ikan yang berukuran kecil (Laporan Akhir
Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan, 2011; Adrianto et
al. 2014).
89
Kriteria Selektivitas penangkapan pada domain teknik
penangkapan adalah (Skor) (Adrianto et al. 2014):
Bernilai 1, jika rendah (> 75%)
Bernilai 2, jika sedang (50-75%)
Bernilai 3, jika tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat
tangkap yang tidak selektif)
Nilai akhir parameter Selektivitas penangkapan adalah
nilai skor x bobot x densitas
90
Kriteria Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan
ikan dengan dokumen legal pada domain teknik
penangkapan adalah (Skor):
Bernilai 1, jika kesesuaiannya rendah (lebih dari 50%
sampel tidak sesuai dengan dokumen legal)
Bernilai 2, jika kesesuaiannya sedang (30-50% sampel
tidak sesuai dengan dokumen legal);
Bernilai 3, jika kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%)
sampel tidak sesuai dengan dokumen legal
Nilai akhir parameter Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikan dengan dokumen legal adalah
nilai skor x bobot x densitas
91
tentang Sertifikasi Kepelautan Kapal Penangkap Ikan Tahun
(2007) (2008) (2009). Surat edaran ini memerintahkan
agar awak kapal mempunyai sertifikat keterampilan pelaut
(Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan,
2011; Adrianto et al. 2014).
C. Rangkuman
Domain penangkapan terdiri dari 6 parameter yaitu:
1) Penangkapan ikan yang bersifat destruktif
2) Modifikasi alat Penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
3) Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing
Capacity and Effort)
92
4) Selektivitas penangkapan
5) Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan
dengan dokumen legal
6) Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Masing-masing parameter memiliki kriteria tersendiri untuk
menentukan nilai skor (nilai 1-3) (Adrianto et al. 2014).
Nilai parameter = nilai skor x bobot x densitas
Nilai akhir Domain Teknik Penangkapan =
∑nilai masing-masing parameter
D. Latihan /Tugas/Eksperimen
1. Setiap mahasiswa melakukan perhitungan setiap parameter
(1-6 dengan memilih satu kawasan perairan (bisa perwilayah
kabupaten untuk WPP provinsi atau per wilayah provinsi
untuk WPP tertentu). Misal pada aspek pembahasan WPP
Kabupaten Simeulue wilayah yang dimaksud adalah Provinsi
Aceh, Sumut, Riau, Kep. Riau, Sumsel, dan Lampung
(Sesuai dengan WPP pada domain sebelumnya).
2. Masing-masing hasil dari mahasiswa dalam kelompok
digabungkan untuk mendapatkan nilai akhir domain teknik
penangkapan (WPP yang sama). Diskusikan hasil dengan
kelompok masing-masing. Diskusikan di dalam kelas
3. Petakan lah domain teknik penangkapan pada WPP yang
anda pilih
E. Rujukan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
93
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF-Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
3. Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980 tentang
instruksi Presiden RI terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983
di seluruh Indonesia tidak lagi terdapat kapal perikanan yang
menggunakan jaring trawl
4. Peraturan Menteri Perhubungan nomor KM 9 tahun 2005
tentang Pendidikan dan Pelatihan, Ujian serta Sertifikasi
Pelaut Kapal Penangkap Ikan. Dalam aturan ini disebutkan
bahwa awak kapal diwajibkan mempunyai ANKAPIN I-III
dan ATKAPIN I-III. Anjuran ini ditegaskan lagi dalam
Surat Edaran Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor
UX.II/7/4/DJPL-09 tentang Sertifikasi Kepelautan Kapal
Penangkap Ikan Tahun (2007) (2008) (2009)
5. Permen No. PER.08/MEN/2008 tentang penggunaan alat
penangkapan ikan jaring insang (gill-net) di ZEEI, 2) Surat
Dirjen Perikanan Tangkap No. 1546/DPT.2/PI. 320.02/IV/08
tentang Pedoman Cara Pengukuran mata jaring (mesh size)
dan bukaan Mata Jaring
6. Peraturan Menteri No.06/MEN/2008 pasal 3 dan 4 tentang
Penggunaan alat penangkapan ikan Pukat hela di perairan
Kalimantan Timur Bagian Utara
94
F. Bahan Bacaan yang Dianjurkan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF-Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
95
BAB VI
SOSIAL -EKONOMI
A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab iv ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
X-XI) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan mengevaluasi performa EAFM pada
Domain Sosial-ekonomi.
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati beberapa mata kuliah yang sangat berkaitan
dengan pertemuan (mata kuliah ini). Diantaranya 1) Sosiologi
Dasar (Semester I), 2) Ekonomi Perairan (semester II), dan
4) sumberdaya perikanan (Semester V), Pengkajian stok ikan
(Semester VI).
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Materi Sosial-ekonomi merupakan salah satu domain dalam
menganalisis dan mengevaluasi performa pengelolaan
perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM). EAFM
disusun dari 6 domain, yaitu 1) Domain Sumber Daya
Ikan, 2) Domain Habitat dan Lingkungan, 3) Domain Teknik
Penangkapan, 4) Domain Sosial, 5) Domain Ekonomi, dan 6)
97
Domain. Keenam domain tersebut saling terkait (conectivity).
Penilaian performa EAFM merupakan agregat dari keenam
domain tersebut.
4. Manfaat atau pentingnya bahan pembelajaran ini
Materi ini penting bagi mahasiswa untuk dapat menganalisa
dan mengevaluasi performa pengelolaan perikanan (EAFM)
pada domain sosial-ekonomi.
5. Petunjuk belajar bagi mahasiswa.
Mahasiswa perlu memahami dan mempelajari Modul
EAFM yang dikeluarkan oleh Direktorat Sumber Daya Ikan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2014 kerja sama
dengan WWF Indonesia dan PKSPL IPB Bogor. Mahasiswa
juga perlu kembali mempelajari materi terdahulu berkaitan
sosiologi dna ekonomi perairan.
B. Penyajian Materi
1) Partisipasi pemangku kepentingan
Keterlibatan pemangku kepentingan untuk mengetahui tingkat
partisipasi, rasa memiliki dan kepedulian dalam pengelolaan
perikanan. Partisipasi pemangku kepentingan merupakan
bagian dari tanggung jawab bersama terhadap kelestarian dan
keberlanjutan kegiatan perikanan. Dalam hal ini tanggung jawab
tidak hanya milik pemerintah ataupun nelayan, melainkan termasuk
akademisi, peneliti terkait pemberian amsukan dalam membuat
input kebijakan. Termasuk juga perlu adanya sinergitas dan
kerjasama dengan kepala adat atau agama dimana keberadaanya
sangat dihormati dan dihargai oleh masyarakat setempat.
2) Konflik perikanan
Adanya konflik perikanan akan menghambat pembanguan serta
akan dengan cepat merusak ekosistem dan sumberdaya. Bagaimana
tidak, setiap stakeholder pada akhirnya tidak merasa ada tanggung
jawab sehingg bebas melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya.
Konflik ini bisa jadi tidak adanya pembagian wilayah yang
jelas dalam pemanfaatan sumberdaya, misalnya dalam bentuk
Tata Ruang ataupun Rencana Zonasi Pesisir. Dalam hal ini juga
termasuk karena kebijakan yang dibuat oleh pemangku kebijakan
dirasa “tidak adil” oleh pihak lain. Oleh karena itu, perlu koordinasi
antar sektor dan pemangku kepentingan.
99
lain yang memiliki hubungan logis dengan ekosistem lamun
(Lihat gambar 7).
Defenisi
Pemanfaatan sumberdaya secara lestari dalam jangka
panjang, tidak hanya terkait dengan analisis teknik, tetapi
memerlukan analisis sosial ekonomi. Dukungan masyarakat
dalam program menjadi prasyarat penting untuk menjamin
keberlanjutan program di masa mendatang. Keterlibatan
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya sangat penting,
karena mereka juga mempunyai pengetahuan ekologi lokal
(LEK =local ecological knowlegde) yang berperan dalam
usaha pengelolaan sumberdaya alam (Joshi et al. 2004).
100
Kriteria dan perhitungan
Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan pada domain sosial memiliki bobot 25
(%) dengan nilai densitas 30. Densitas merupakan jumlah
parameter lain yang memiliki hubungan logis dengan
Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan (Lihat gambar 7).
Kriteria Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan pada domain sosil adalah (Skor) (Adrianto
et al. 2014):
Bernilai 1, jika tidak ada
Bernilai 2, jika ada tapi tidak efektif
Bernilai 3, jika ada dan efektif digunakan
Nilai akhir parameter Pemanfaatan pengetahuan lokal da-
lam pengelolaan sumberdaya ikan adalah
nilai skor x bobot x densitas
4. Kepemilikan Aset
Defenisi
Perubahan nilai/jumlah aset usaha Rumah Tangga Perikanan
(RTP) merupakan aset usaha perikanan atau aset Rumah Tangga
perikanan. Hal ini penting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan
nelayan yang tentunnya berbeda antar setiap lokasi maupun jenis
kepemilikan kapal atau armada penangkapan. Dalam hal ini
berkaitan juga dengan statusnya sebagai pemilik atau anak buah
kapal.
Metode Pengumpulaan data
Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan
RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (sumber data :
susenas BPS)
Kriteria dan perhitungan
Kepemilikan Aset pada domain ekonomi memiliki bobot 45 (%)
dengan nilai densitas 20. Densitas merupakan jumlah parameter
101
lain yang memiliki hubungan logis dengan Kepemilikan Aset
(Lihat gambar 7).
102
6. Rasio Tabungan (Saving ratio)
Defenisi
menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih.
Hal ini penting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan nelayan
Metode Pengumpulaan data
Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan
RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (data primer)
Kriteria dan perhitungan
Rasio Tabungan pada domain ekonomi memiliki bobot 25 (%)
dengan nilai densitas 21. Densitas merupakan jumlah parameter
lain yang memiliki hubungan logis dengan Rasio Tabungan
(Lihat gambar 7).
Kriteria Rasio Tabungan pada domain ekonomi adalah
(Skor) (Adrianto et al. 2014):
Bernilai 1, jika kurang dari bunga kredit pinjaman;
Bernilai 2, jika sama dengan bunga kredit pinjaman ;
Bernilai 3, jika lebih dari bunga kredit pinjaman
Nilai akhir parameter Rasio Tabungan adalah
nilai skor x bobot x densitas
C. Rangkuman
Domain sosial terdiri dari 3 parameter yaitu:
1) Partisipasi pemangku kepentingan
2) Konflik perikanan
3) Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional
ecological knowledge)
103
Nilai akhir Domain sosial = ∑ nilai masing-masing
parameter
D. Latihan/Tugas/Experimen
1. Setiap mahasiswa melakukan perhitungan setiap parameter
(1-6) dengan memilih satu kawasan perairan (bisa perwilayah
kabupaten untuk WPP provinsi atau per wilayah provinsi
untuk WPP tertentu). Misal pada aspek pembahasan WPP
Kabupaten Simeulue wilayah yang dimaksud adalah Provinsi
Aceh, Sumut, Riau, Kep. Riau, Sumsel, dan Lampung
(Sesuai dengan WPP pada domain sebelumnya).
2. Masing-masing hasil dari mahasiswa dalam kelompok
digabungkan untuk mendapatkan nilai akhir domain sosial
dan domain ekonomi (WPP yang sama). Diskusikan hasil
dengan kelompok masing-masing. Diskusikan di dalam kelas
3. Petakan lah status domain sosiaal dan ekonomi hasil
perhitungan pada WPP yang anda pilih
E. Rujukan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
104
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF-Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
3. Joshi Laxman, Luis Arévalo, Nelly Luque, Julio Alegre &
Fergus Sinclair. 2004. Local ecological knowledge in natural
resource management. Draft manuscript for “Bridging Scales
and Epistemologies” conference. Alexandria, Egypt: 17-20
May 2004
105
BAB VII
KELEMBAGAAN
A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab iv ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
XII-XIII) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan mengevaluasi performa EAFM pada
Domain Kelembagaan.
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati beberapa mata kuliah yang sangat berkaitan
dengan pertemuan (mata kuliah ini). Diantaranya 1) Sosiologi
(Semester I), 2) konservasi sumberdaya hayati perairan
(Semester IV), dan 3) Pengelolaan Ekosistem Pesisir.
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Materi Domain Kelembagaan merupakan salah satu domain
dalam menganalisis dan mengevaluasi performa pengelolaan
perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM). EAFM
disusun dari 6 domain, yaitu 1) Domain Sumber Daya
Ikan, 2) Domain Habitat dan Lingkungan, 3) Domain Teknik
Penangkapan, 4) Domain Sosial, 5) Domain Ekonomi, dan 6)
Domain. Keenam domain tersebut saling terkait (conectivity).
107
Penilaian performa EAFM merupakan agregat dari keenam
domain tersebut.
4. Manfaat atau pentingnya bahan pembelajaran ini
Materi ini penting bagi mahasiswa untuk dapat menganalisa
dan mengevaluasi performa pengelolaan perikanan (EAFM)
pada domain kelembagaan.
5. Petunjuk belajar bagi mahasiswa.
Mahasiswa perlu memahami dan mempelajari Modul
EAFM yang dikeluarkan oleh Direktorat Sumber Daya Ikan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2014 kerja sama
dengan WWF Indonesia dan PKSPL IPB Bogor. Mahasiswa
juga perlu kembali mempelajari materi terdahulu berkaitan
dengan sosiologi dan pengelolaan lingkkungan pesisir.
B. Penyajian Materi
1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah
ditetapkan baik secara formal maupun non-formal
Defenisi
Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan
WPP terhadap aturan main baik formal maupun tidak formal.
Mengetahui tingkat partisipasi, rasa memiliki dan kepedulian
dalam pengelolaan perikanan
108
Perlu tambahan informasi mengenai kualitas kasus dengan
contohnya
Kriteria dan perhitungan
Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik
secara formal maupun non-formal pada domain kelembagaan
memiliki bobot 25 (%) dengan nilai densitas 31. Densitas
merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis
dengan Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah
ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Lihat
gambar 7).
109
2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
Defenisi
Kelembagaan merupakan satu konsepsi yang kompleks yang
mengkaitkan antar elemen-elemen secara komprehensif. Sebagai
sebuah konsepsi, kelembagaan menggambarkan adanya interaksi
antar individu dalam mencapai tujuan bersama serta usaha-usaha
untuk menjamin bahwa harapan-harapan atau kepentingan mereka
tetap terpenuhi. Jadi ada usaha kolaboratif menggabungkan
beberapa kepentingan serta representasi dari nilai-nilai yang
disepakati antar anggotanya. Sehingga secara sederhana,
kelembagaan dapat berupa organisasi atau wadah (players of
the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur
kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya
untuk mencapai tujuan bersama (Taryono 2009). Dengan
demikian dalam penilaian EAFM kelengkapan aturan main
dalam pengelolaan perikanan menjadi sangat penting, terutama
berhubungan dengan:
1. Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan
perikanan
2. Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya
Metode pengumpulan data
1) Benchmark sesuai dengan Peraturan nasional, pemda
seharusnya juga membuat peraturan turunannya (poin 1)
2) membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya
(poin 1)
3) replikasi kearifan lokal (poin 1)
4) ketersediaan alat pengawasan, orang (poin 2)
5) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman) (poin
2)
110
Kriteria dan perhitungan
Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
pada domain kelembagaan memiliki bobot 26 (%) dengan nilai
densitas 31. Densitas merupakan jumlah parameter lain yang
memiliki hubungan logis dengan Kelengkapan aturan main
dalam pengelolaan perikanan (Lihat gambar 7).
111
Nilai akhir parameter Kelengkapan aturan main dalam
pengelolaan perikanan adalah
Metode Pengumpulan
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga
dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
Kriteria dan perhitungan
Mekanisme pengambilan keputusan pada domain kelembagaan
memiliki bobot 18 (%) dengan nilai densitas 12. Densitas
merupakan jumlah parameter lain yang memiliki hubungan logis
dengan Mekanisme pengambilan keputusan (Lihat gambar 7).
112
4. Rencana pengelolaan perikanan
Defenisi
Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan
yang akan di evaluasi. Rencana Pengelolaan Perikanan, yang
selanjutnya disingkat RPP adalah dokumen resmi yang memuat
analisis situasi perikanan dan rencana strategis, yang merupakan
kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
dengan para pemangku kepentingan lainnya, sebagai arah dan
pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan di
bidang penangkapan ikan untuk Perairan laut maupun perairan
Darat. Pedoman Penyusunan RPP di bidang penangkapan
ikan disusun dengan tujuan mencapai manfaat yang optimal,
berkelanjutan, dan menjamin kelestarian sumber daya ikan (Per
Men KP 29/2012 dan 2016).
Metode pengumpulan data
Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner:
Adakah atau tidak RPP disuatu daerah
Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat
113
Nilai akhir parameter Rencana pengelolaan perikanan
adalah
nilai skor x bobot x densitas
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan
perikanan
Defenisi
1) Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-
nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan
akan semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga
dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
2) Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat
efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik
Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga
dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner
114
Kriteria Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan
pengelolaan perikanan pada domain kelembagaan
adalah (Skor):
Bernilai 1, jika tidak ada kebijakan;
Bernilai 2, jika kebijakan tidak saling mendukung ;
Bernilai 3, jika kebijakan saling mendukung
Nilai akhir parameter Tingkat sinergisitas kebijakan
dan kelembagaan pengelolaan perikanan adalah
6. Kapasitas pemangku kepentingan
Defenisi
Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku
kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem. Hal
ini berkaitan juga dengan ada tidaknya lembaga formal pengelola
perikanan, khususnya pada setiap WPP.
115
7. Kriteria Kapasitas pemangku kepentingan pada
domain kelembagaan adalah (Skor) (Adrianto et
al. 2014):
Bernilai 1, jika tidak ada peningkatan;
Bernilai 2, jika ada tapi tidak difungsikan
(keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi
pekerjaannya);
Bernilai 3, jika ada dan difungsikan
(keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi
pekerjaannya)
Nilai akhir parameter Kapasitas pemangku
kepentingan adalah
nilai skor x bobot x densitas
C. Rangkuman
Domain habitat dan ekosistem terdiri dari 6 parameter yaitu:
1) Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah
ditetapkan baik secara formal maupun non-formal
2) Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
3) Mekanisme pengambilan keputusan
4) Rencana pengelolaan perikanan
5) Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan
perikanan
6) Kapasitas pemangku kepentingan
116
D. Latihan/Tugas/Eksperimen
1. Setiap mahasiswa melakukan perhitungan setiap parameter
(1-6) dengan memilih satu kawasan perairan (bisa perwilayah
kabupaten untuk WPP provinsi atau per wilayah provinsi
untuk WPP tertentu). Misal pada aspek pembahasan WPP
Kabupaten Simeulue wilayah yang dimaksud adalah Provinsi
Aceh, Sumut, Riau, Kep. Riau, Sumsel, dan Lampung
(Sesuai dengan WPP pada domain sebelumnya).
E. Rujukan
1. Adrianto L., M. Arsyad Al Amin, Akhmad Solihin, & Dede
Irving Harton. 2010. Konstruksi Kelembagaan Dalam
Pengelolaan Perikanan Di Era Desentralisasi. Working
Paper PKSPL-IPB Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan
Lautan Institut Pertanian Bogor. Vol 1 No. 2 Agustus 2010
2. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
3. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
117
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF‐Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
4. Joshi Laxman, Luis Arévalo, Nelly Luque, Julio Alegre &
Fergus Sinclair. 2004. Local ecological knowledge in natural
resource management. Draft manuscript for “Bridging Scales
and Epistemologies” conference. Alexandria, Egypt: 17-20
May 2004
5. Taryono. 2009. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya.
Lecture Notes pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir (PS-SPL), Dept. MSP-FPIK, IPB
118
BAB VIII
PENILAIAN DAN
EVALUASI INDIKATOR
EAFM
A. Pendahuluan
1. Sasaran Pembelajaran
Pada bab iv ini akan disajikan pada 2 pertemuan (pertemuan
XIV-XVI) dengan tujuan mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis dan mengevaluasi performa EAFM (6 Domain)
dan membuat rekomendasi pengelolaan perikanan sesuai
hasil evaluasi EAFM.
2. Kemampuan yang mahasiswa yang menjadi prasyarat
Untuk dapat memahami materi ini mahasiswa diharapkan
telah melewati dan memahami dengan benar konsep dan
perhitungan keenam Domain EAFM.
3. Keterkaitan bahan pembelajaran dengan pokok bahasan
lainnya
Penilaian performa EAFM penting untuk mengetahui
tingkat (status) pengelolaan suatu WPP atau komoditas
perikanan tertentu (ekonomis penting). Dengan demikian
akan lebih mudah dan tepat untuk menentukan (perbaikan)
pada aspek yang menjadi masalah pada penilaian performa
EAFM. Perbaikan pengelolaan nantinya akan diarahkan pada
performa EAFM yang buruk (warna merah) maupun sedang
119
(warna kuning). Dan jika memang bagus (warna hijau)
tinggal dilanjutkan atau dimodifikasi sesuai kebutuhan.
4. Manfaat atau pentingnya bahan pembelajaran ini
Materi ini penting bagi mahasiswa perikanan untuk dapat
menganalisa dan mengevaluasi performa pengelolaan
perikanan (EAFM) sehingga mampu memberikan
rekomendasi dan arahahan pengelolaan yang berkelanjutan.
5. Petunjuk belajar bagi mahasiswa.
Mahasiswa perlu memahami dan mempelajari Modul
EAFM yang dikeluarkan oleh Direktorat Sumber Daya Ikan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2014 kerja sama
dengan WWF Indonesia dan PKSPL IPB Bogor.
B. Penyajian Materi
1. Penilaian Indikator
Penilaian indicator ekosistem approach for fisheries management
(EAFM) terdiri dari indicator dari domain 1) sumberdaya ikan, 2)
domain ekosistem dan lingkungan, 3) teknologi penangkapan ikan,
4) domain social, 5) domain ekonomi, 6) domain kelembagaan.
Keenam domain ini dikaji menurut wilayah kajian yaitu wilayah
kota atau kabuaten.
120
kajian ilmiah, kemudian proses pemberian skor dilakukan atas
pertimbangan pembagian nilai referensi (referensi point). Nilai
referensi point maksimal akan memperoleh nilai maksimal.
Pembagian nilai referensi (referensi point bagi) setiap parameter
disajikan pada Tabel berikut yang kemudian dijadikan batasan
skor disajikan pada kolom criteria dalam tabel penilaian indicator.
Jadi semua parameter dan reference point yang ada ditetapkan
secara tetap dan terukur. Hasil dari penilaian dan pemberian skor
dari parameter tersebut disajikan pada Tabel 8 - 13.
121
Tabel 9. Penilaian Indikator Domain Habitat dan ekosistem
(Contoh kasus di WPP Kabupaten Simeulue)
122
Tabel 11. Penilaian Indikator Domain Teknik Sosial (Contoh kasus
di WPP Kabupaten Simeulue)
123
2. Evaluasi Penilaian Indikator EAFM
Batasan Atribut, Densitas dan Domain
Dalam evaluasi indicator EAFM beberapa hal yang perlu di
perhatikan adalah titik acuan atau reference point dari setiap
indikator maupun dari agregat indicator. Reference point dari
indikator menjadi salah satu batasan dalam proses pemberian skor
baik dari domain sumberdaya ikan, ekologi dan habitat, teknologi
penangkapan, social, ekonomi dan kelembagaan.
124
Dari proses pemberian skor tersebut, pada tahap awalnya kita
bisa mengetahui kelompok kelompok parameter mana yang
memberikan kontribusi terendah. Kelompok dengan kontribusi
terendah tersebut atau yang berada dibawah reference point
parameter tergolong sebagai atribut dengan status merah (rendah).
Begitu juga sebaliknya jika skor aktributnya lebih dari standar yang
ditetapkan, maka tergolong sebagai parameter yang kontribusi
baik
Selain skor atribut, salah satu bagian penting yang perlu diperhatikan
pengaruhnya adalah nilai densitas. Nilai densitas didefenisikan
sebagai jumlah keterkaitan dari setiap atribut terhadap atribut
lainnya. Jumlah keterkaitan ini baik bersifat langsung ataupun
tidak langsung. Selain itu juga menujukkan besaran pengaruh dari
suatu atribut terhadap atribut lainnya. Secara umum keseluruhan
atribu memberikan peluang memiliki hubunan dengan atribut
lainnya kecuali dirinya sendiri. Untuk itu nilai refenrece point
maksimal dari skor densitas dalah (N-1). Dimana N adalah
jumlah atribut yang digunakan dalam proses penilaian EAFM
suatu wilayah. Dalam kontek ini pemberikan nilai skor densitas
juga akan menunjukkan pengaruhnya terhadap perhitungan secara
keseluruhan. Logika sederhananya adalah, bahwa setiap atribu
yang memiliki keterkaitan tinggi (banyak) terhadap atribut lainya,
akan tergolong sebagai atribut yang memiliki peran besar dalam
ekosistem suatu kawasan. Hasil evaluasi dari skor densitas akan
dikelompokkan adalah beberapa bagaian sebagai berikut
125
Tabel 14. Batasan nilai skor densitas EAFM
Kriteria Densitas
Deskripsi Warna
Batas Bawah Batas Atas
0 9,0 Sangat Rendah
9,1 15,0 Rendah
15,1 20,0 Sedang
20,1 25,0 Tinggi
25,1 35,0 Sangat Tinggi
Perkalian skor atribut dan skor densitas akan memberikan nilai atau
bobot dari setiap atribut yang ada secara keseluruhan. Hasil ini
kemudian di masukan kedalam nilai agregat atribut. Nilai agregat
atribut tersebut kemudian dikonversi menjadi nilai dengan skala 0-1-
100. Agregat dengan nilai 100 termasuk agregat yang paling tinggi
pengaruhanya di kawasan, dan yang rendah paling kurang pengaruhnya
dikawasan. Hasil pembagian nilai agregat disajikan pada Tabel berikut.
126
Nilai skor agregat kemudian dideskripsikan atas 5 tahapan (bagian).
Kelima bagian ini menggambarkan 5 tingkatkan pengaruh dari domain
yang dikaji. Nilai agregat domain berasal dari agregat agregat parameter
yang dievaluasi. Sementara itu agregat kawasan adalah nilai kumulatif
dari nilai atribut dalam setiap domain. Hasil ini kemudian dijadikan
sebagai dasar dalam pengklasifikasian agregat total.
Interpretasi dari nilai agregat bisa dilihat dari 2 sisi yaitu karena atributnya
yang rendah (dibawah reference point) atau karena konektivitasnya
yang kurang. Agregat yang rendah selain itu juga bermakna bahwa
pengaruh dari atribut cenderung negative dan pengaruh parameter di
kawasan tersebut juga kurang. Hasil dari nilai agregat ini kemudian
dijadikan sebagai dasar untuk penetapan rekomendasi dari penilaian
indicator EAFM di WPP Kabupaten Simeulue Selat Malaka dan Laut
Andaman.
127
Tabel 16. Skor rata-rata atribut di setiap domain
Domain Skor Indikator Deskripsi Warna
Sumberdaya Ikan 1.94 Sedang
Habitat & ekosistem 1.86 Sedang
Teknik Penangkapan Ikan 1.67 Sedang
Sosial 2.00 Sedang
Ekonomi 1.67 Sedang
Kelembagaan 1.77 Sedang
Agregat 1.87 Sedang
Note: nilai dalam tabel adalah nilai rata-rata
Hasil pemberian skor dari setiap atribut yang dikaji dari domain EAFM
WPP Kabupaten Simeulue berkisar antara 1,67-2,00. Keselurihan
domain EAFM (termasuk agergat) memiliki skor sedang. Domain
teknik penangkapan, ekonomi dan kelembagaan merupakan domain
yang memiliki nilai atribut yang paling rendah. Artinya sebagian besar
dari atribut dalam domain tersebut berada dibawah reference point
atau kondisi dari atribut yang ada banyak yang kurang baik. Kondisi
ini dapat terjadi karena nilai (value) perikanan di kabupaten Siimeulue
masih taraf lokal. Hal ini perlu peningkatan nilai penjualan ke daratan
(Medan dan Aceh). Doamin yang paling tinggi skornya adalah domain
sosial (nilai 2,00), termasuk domain habitat dan eksosistem dan
sumberdaya ikan (1,86-1,97). Dalam proses penyusunan rekomendasi,
maka domain yang terkategori rendah mendapat prioritas lebih dahulu
dalam upaya pengelolaannya. Hasil dari tampilan grafik setiap atribut
disajikan pada Tabel berikut.
128
Gambar 9. Nilai skor indicator dari setiap domain
129
Kelembagaan 25.33 Sangat Tinggi
Agregat 22.99 Tinggi
Note: nilai dalam tabel adalah nilai rata-rata
130
tergolong kurang. Hasil perhitungan nilai agregat disajikan pada Tabel
berikut.
131
Gambar 11. Nilai rata-rata aggregate domain EAFM Kabupaten Simeulue
132
Rekomendasi
Hasil evaluasi penerapan praktek praktek EAFM dalam pengelolaan
perikanan di WPP Kabupaten Simeulue, maka rekomendasi diarahkan
pada upaya untuk memperbaiki komponen atribut supaya lebih baik dan
berkualitas, serta memberikan dampak yang baik terhadap sumberdaya
di WPP Kabupaten Simeulue. Hasil analisis yang dilakukan adalah
teknik “feedback review” dari setiap atribut yang dinilai dalam kawasan
pengelolaan perikanan. Untuk mengetahui hal tersebut, maka langkah
yang diperlukan adalah melakukan lacak balik setiap atribut yang
sudah dinilai sebelumnya. Proses ini diawali dengan membaca profile
penilaian atribut sudah dilakukan. Proses tersebut dapat dilakukan
dengan membaca matrik profile setiap atribu yang diperoleh seperti
Gambar berikut.
133
Tabel 19. Kondisi status dari setiap atribut dalam domaian AFM
Densitas 22 20 17 17 17 18 17
Habitat dan Status Status Status Habitat Perubahan
Ekosistem Kualitas Air Lamun Mangrove Karang Khusus Iklim
Densitas 19 21 23 23 17 22
Kesesuaian
Teknik MPI Modifikasi Fishing Selektivitas fungsi dan
Penangkapan Desktrutif Alat Capacity Penangkapan ukuran Sertifikasi
Densitas 18 24 21 21 19 12
Pemanfaatan
pengetahuan
lokal dalam
pengelolaan
sumberdaya
ikan
(termasuk
di dalamnya
TEK,
Partisipasi traditional
Pemangku Konflik ecological
Sosial kepentingan Perikanan knowledge)
Densitas 30 31 30
134
Pendapatan R a s i o
Kepemilikan R u m a h Ta b u n g a n
Ekonomi Aset Tangga (saving)
Densitas 20 31 21
Kepatuhan
terhadap
prinsip-
p r i n s i p
perikanan
y a n g
bertanggung Ti n g k a t
jawabbaik Kelengkapan s i n e rg i s i t a s
s e c a r a a t u r a n kebijakan dan
f o r m a l main dalam Mekanisme kelembagaan Kapasitas
m a u p u n pengelolaan pengambilan Rencana pengelolaan pemangku
Kelembagaan non-formal perikanan keputusan Pengelolaan perikanan kepentingan
1.00 2.00 2.00 1.00 2.00 2.00
Atribut
Densitas 31 30 12 30 18 31
Dari tabel diatas kita bisa melihat bahwa untuk menyusunan rekomendasi
pengelolaan yang di evaluasi adalah nilai atributnya. Nilai atribut yang
dalam matrik berwarna merah adalah atribut dalam kondisi kurang baik
kondisinya. Domain sumberdaya ikan atribut yang kondisi kurang
adalah
Parameter ukuran ikan
Spesies ETP
“range collapse” perikanan
Domain habitat dan ekosistem yang sangat kurang adalah
Status mangrove,
Habitat khusus dan
kebutuhan dari kajian pengaruh iklim.
Domain dari teknologi penangkapan yang berpengaruh adalah
modifikasi alat tangkap dan
sertifikasi awak kapal.
Sementara itu domain sosial-ekonomi adalah
konflik perikanan
kepemilikan aset
135
Dalam domain kelembagaan, yang diperlukan adalah
Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawabbaik secara formal maupun non-formal
rencana pengelolaan perikanan.
136
Mangrove, o Rehabilitasi ekosistem mangrove yang rusak dan
Status
o Melakukan kajian Ekosistem pesisir dan pulau-pualu
kecil
Perlindungan Kajian habitat unik/ khusus dan menjadikannya sebagai
Habitat Unik kawasan konservasi
Jangka
pendek
Melakukan - Pengurangan atau pengendalian penggunaan alat
modifikasi tangkapan merusakn SDI
Teknologi alat tangkap
Perikanan - Penerapan sanksi hokum bagi pengguna alat yang
merusak SDI
Fishing - Mengendalikan upaya (upaya lebih proporsional dan
capacitiy tidak berlebih
diperbaiki
- Mengendalikan upaya dari nelayan asing agar produksi
nelayan kita tidak menurun
Selektivitas - Meningkatkan selektivitas alat tangkap
alat,
Kesesuaian - Pendataan kelengkapan kapal dan izin
Jangka fungsi dan
menengah ukuran kapal, - Menitoring kegiatan penangkapan
Jangka - -
panjang
137
Pengelolaan - Penerapan aturan penangkapan, penjualan dan
konflik, sebagainya
Jangka
pendek - Koordinasi dengan aparat terkait dan tokoh masyarakat
Peningkatan - Pemetaan stakeholders
partisipasi
Sosial public dan
Jangka - Diskusi secara berkala dan terjadwal dengan
menengah stakeholder, masyarakat
Pengetahuan - Penguataan kelembagaan lokal dengan pendekatan
lokal penyusunan kebijakan local
Jangka
panjang - Semakin mengoptimalkan peran Panglima Laot
Jangka Kepemilikan Pelatihan perawatan barang dan asset perikanan
pendek asset
Saving Rasio Pemberian pemahaman keuntungan menabung
138
C. Rangkuman
Dari urairan diatas, maka langkah utama yang harus dilakukan
adalah pelaksanaan program jangka pendek, kemudian jangka
menengah dan jangka panjang. Dalam melakukan ini maka salah
satu point penting adalah menyusun kelembagaan pengelolaan
setiap WPP yang akan dikelola dan dikembangkan
D. Latihan /Tugas/Eksperimen
1. Setiap kelompok mendiskusikan hasil analisis doamin
masing-masing.
2. Menyusun rekomendasi akhir terhadal keseluruhan hasil
domain EAFM
E Rujukan
1. Adrianto Luki et al. 2014. Modul Indikator Untuk Pengelolaan
Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem
Approch to Fisheries Management). National Working Grup
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF-Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
139
on Ecosystem Approch to Fisheries Management, Direktorat
Sumberdaya Ikan, Kementerin Kelutan dan Perikanan.
2. Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem
Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia. Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
WWF‐Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor
140
DAFTAR PUSTAKA
141
Direktorat Jenderal Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil, Dep.
Eksplorasi Laut dan Perikanan. Jakarta
Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Schoelten L. 2012. Panduan
Pengenalan Mangrove di Indonesia. Penerjemah: Noor YR, Khazali
M, Suryadiputra INN. Terjemahan dari: A Field Guide of Indonesian
Mangrove. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/
MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia;
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun
2003
Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980 tentang instruksi
Presiden RI terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983 di seluruh Indonesia
tidak lagi terdapat kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl
Kiswara W, Hutomo M. 1985. Habitat dan Sebaran Geografik
Lamun. Oseana, X (1): 21– 30.
Joshi Laxman, Luis Arévalo, Nelly Luque, Julio Alegre
& Fergus Sinclair. 2004. Local ecological knowledge in natural
resource management. Draft manuscript for “Bridging Scales and
Epistemologies” conference. Alexandria, Egypt: 17-20 May 2004
Laporan Akhir Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan.
2011. Perikanan di IndonesiaKeragaan Pendekatan Ekosistem Dalam
Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to Fisheries Management)
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Direktorat Sumberdaya
Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan
dan Perikanan, WWF‐Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan Institut Pertanian Bogor
Lugo AE, Snedaker M. 1974. The Ecology of Mangrove. Ann.
Rev. Ecology System, (5): 39–64
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
142
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota ;
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumber Daya Ikan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/
MEN/2007 tentang Keadaan Kritis yang Membahayakan atau Dapat
Membahayakan Sediaan Ikan, Spesies Ikan atau Lahan Pembudidayaan;
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.01/
MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia;
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/
MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap, sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.49/MEN/2011
Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor Per.29/Men/2012 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pengelolaan Perikanan Di Bidang Penangkapan Ikan
Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 29/Permen-Kp/2016 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pengelolaan Perikanan Di Bidang Penangkapan Ikan Untuk Perairan
Darat
Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007
Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
Peraturan Menteri Perhubungan nomor KM 9 tahun 2005
tentang Pendidikan dan Pelatihan, Ujian serta Sertifikasi Pelaut Kapal
Penangkap Ikan. Dalam aturan ini disebutkan bahwa awak kapal
diwajibkan mempunyai ANKAPIN I-III dan ATKAPIN I-III. Anjuran
ini ditegaskan lagi dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Perhubungan
Laut Nomor UX.II/7/4/DJPL-09 tentang Sertifikasi Kepelautan Kapal
Penangkap Ikan Tahun (2007) (2008) (2009)
143
Permen No. PER.08/MEN/2008 tentang penggunaan alat
penangkapan ikan jaring insang (gill-net) di ZEEI, 2) Surat Dirjen
Perikanan Tangkap No. 1546/DPT.2/PI. 320.02/IV/08 tentang Pedoman
Cara Pengukuran mata jaring (mesh size) dan bukaan Mata Jaring
Rangkuti A. Muhtadi, M. Reza Cordoba, Ani Rahmawati, Yulma,
Eldin H. Adimu. 2017. Ekosistem Pesisir dan Laut Indonesia. PT. Bumi
Aksara. Jakarta.
Saenger, P., E.J. Hegerl & J.D.S. Davie. 1983. Global Status of
Mangrove Ecosystems. IUCN Commission on Ecology Papers No. 3,
88 hal
Spalding, M.D., F. Blasco & C.D. Field editor. 1996. World
Mangrove Atlas. International Society for Mangrove Ecosystems,
Okinawa, Japan
Sparre P, Venema CS. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan
Tropis. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Taryono. 2009. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya. Lecture
Notes pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir (PS-SPL),
Dept. MSP-FPIK, IPB
UUD RI Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sebagaimana telah direvisi
dengan UU No. 1 Taahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil;
144
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
Widodo J, Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
145
UCAPAN TERIMA KASIH
147
INDEX
149
Fisheries Management 1
Hooks And Lines 18
Ikan Pelagis 10,11,12,13,15
Indikator 4,16.86
Iuu Fishing 26,31
Lek 72
Length 31,32,36
Mesh Size 65
Maturity 36,
Nets 17,18,19,29,60
Nursery Ground 45,47,50,53,54
Over Fishing 31,62,63
Players Of The Game 78
Profile 101
Range Collapse 88,105
Rpp 4,5,6,8,10,16,22,27,28,29,32,33,8
1
Reference Point 87,95
Responsible Fisheries 24,
Rules Of The Game 78
Saving Ratio 75
Sea Level Rise 55
Smart 25
Span Of Control 82
Spawning Ground 45,47,50,53,54
Stakeholder 81
Stok 33,54
Sustainability 8,82
Sustainable Fisheries System 1
Tek 74,9
Time Series 34
Transec Plot 48,
150
Trapping Sediment 47
Trawl 17,18,19,29,60,62
Tropical Ecosystem Complexities 1
Vessel Characteristics 63
Yuwana 36,37,88
WPP 3,7,8,10,16,19,20,23,24,26,29,88,
89,90,91,92,93
151
Biodata Penulis
153
Penulis 2014-Sekarang sebgai Evaluator Ahli EAFM serta Pelatih
dan Pengajar EAFM. Pada Tahun 2007-2008 penulis sebagai Wakil
Rektor IV Universitas Teuku Umar. Di Tahun 2008-2011 sebagai Ketua
Lembaga Penelitian dan Pengabdiaan kepada Masysrakat (LPPM)
UTU Pertama.
154
Yonvitner, Penulis dilahirkan di
Tanah Minang, Tepatnya di Payakumbuh
Sumatera Barat pada tanggal, 25 Agustus
1975. Penulis, menyelesaikan pendidikan
dari tingkat dasar sampai menengah
di tanah kelahirannya di Payakumbuh.
Sejak tahun 1994 hingga sekarang penulis
tinggal di Bogor. Bangku perkuliahan
penulis dari S1 hingga S3 dituntaskan di
Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 2005
penulis menjadi dosen tetap di Institut
Pertanian Bogor, pada Program Studi
Manajmen Sumberdaya Perairan, dengan bidang keahlian Dinamika
Populasi, Manajemen Sumberdaya Perikanan dan Daya dukung
ekosistem Peraiaran. Selama ini penulis cukup aktif menulis diberbagai
surat kabra nasional seperti Harian Republika dan Harian Kompas.
Beberapa tulisan penulis yang pernah dimuat antara lain: Bagaimana
Menghalau Pencuri Ikan yang Tiada Henti: 1) Majalah Samudera
15 Januari 2009 (Opini); 2) Resiko Penambangan Anak Krakatau.
Koran Lampung Post 3 November 2009 (Opini). 3) sumber-Sumber
Ekonomi Perairan Masih Banyak Masalah. MDI Investment Manager
(Opini) 16 Januari 2009. 4) Ekolabel Produk Perikanan. Kompas 15
Mei 2003 5) relokasi Nelayan. Tabolid Samudera. 6) Mengelola Stok
Ikan Berkelanjutan. Opini Kompas 8 Maret 2010 7) Nelayan Belum
Sejahtera. Opini Republika 30 Desember 2010. Selain itu, penulis juga
aktif menulis diberbagai jurnal ilmiah nasional.
155
nasional dan profesiona, seperti: HAPPI (Himpunan Ahli Pengelolaan
Pesisisr Indonesia) 2012-2017, ISPIKANI : Ikatana sarjana perikanan
Indonesia, SEWG: Seafod ekolabeling working group on Indonesia,
HAPPI (Himpunan Ahli Pesisir dan Laut Indonesia), KAHMI Bogor,
Pembina IPMM dan IKMP IPB Bogor dan Dewan Pakar, Institute
Maritime Indonesia (IMI)
156
Ahmad Muhtadi, Penulis
dilahirkan di Rumbio Kabupaten
Mandailing Natal, pada tanggal 04 Juni
1985 dari ayah (alm) Muhammad Yunus
Rangkuti dan Ibu (alm) Sarianun Pulungan.
Penulis merupakan putra keempat dari
enam bersaudara. Pada umur empat tahun
ibunda penulis meninggal dunia, sehingga
selama 2 tahun penulis hanya diasuh oleh
ayah seorang diri. Pada umur 6 tahun ayah
penulis kemudian menikah lagi dengan
Masdalima Pulungan. Saat ini penulis
telah di karunia 3 orang putri, Natiqa Qurrota A’yun Rangkuti (3,6
tahun), Arisha Azkadina Rangkuti (1,8 tahun), dan Alesha Khyyara
Rangkuti (0,2 bulan) buah kasih dengan seorang istri berdarah melayu,
Octi Fadillah Khair, S.Kom dari pasangan (alm) H. Abul Khair, SH.,
M.Hum & Hj. Sri Murtini, SH., M.Hum.
157
Pertambakan” (Tobos; 20 January 2013); “Udang Impes sebagai
Alternatif Ekonomi Rakyat” (Trobos: 20 June 2013) dan “Pemulihan
Kawasan Wanamina Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat”
(aquamina: Februari 2013)
158
Karya kedua adalah buku “Ekosistem Pesisir dan Laut Indonesia”,
terbit tahun 2017 dari PT. Bumi Aksara. Selain dalam bentuk
buku ada beberapa karya penulis dalam bentuk jurnal yang terbit
dalam jurnal nasional, seperti jurnal Omni Akuatika (Unsoed-
Purwokerto), Depik (Unsyiah-Aceh), Jurnal Acta Aquatica (Univ.
Malikussaleh-Aceh), Jurnal Biospesies (Univ Jambi-Jambi),
Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (LIPI-Jakarta).
Penulis juga aktif mengikuti seminar dan simposium nasional/
internasional, seperti Seminar Internasional Biologi di Medan
Tahun 2015 (Biologi USU), Simposium Nasional Perikanan
Karang Berkelanjutan di Bali tahun 2015 (COREMAP-KKP dan
WWF), Seminar Nasional Dies Natalis USU ke 64 di Medan
tahun 2016 (Biro-USU), Konfrensi Internasional on Biodiversity
di Medan tahun 2017 (Masyarakat Biodiversitas Indonesia dan
USU). Penulis juga menjadi anggota Masyarakat Biodiversitas
Indonesia (MBI - UNS Solo) dan Masyarakat Limnologi Indonesia
(MLI - Bogor). Adapun kontak yang bisa dihubungi adalah No
telp. 081386065969; email: lobe.maddin@gmail.com; ahmad.
muhtadi@usu.ac.id
159
L
PENGUKURAN IKAN
-'
-r
/,
Maritim
PT Penerbit IPB Press ISBN : 978-602-440-601-1
Jalan Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: penerbit.ipbpress@gmail.com
Penerbit IPB Press @IPBpress ipbpress