Oleh: RJD
1. Pendahuluan
Selektifitas adalah sifat alat dalam menangkap ukuran dan jenis ikan tertentu dalam suatu
populasi. Sifat ini terutama tergantung pada prinsip yang dipakai dalam penangkapan, selain itu
juga tergantung pada parameter desain alat seperti mata jaring, beban beban benang, material dan
ukuran benang, hanging ratio dan kecepatan menarik (Fridman, 1988). Selain cara penangkapan,
ukuran mata jaring mempunyai pengaruh terbesar pada selektifitas (Treschev, 1974).
Saat ini selektivitas alat tangkap menjadi perhatian para pemerhati dunia perikanan, hal ini
disebabkan karena selektivitas berpengaruh terhadap stok sumberdaya perikanan yang saat ini
diduga mengalami penurunan. Perbaikan selektivitas alat tangkap dianggap sebagai salah satu
alternatif dalam mengurangi hasil tangkapan sampingan (by-catch), sehingga dapat
menyelamatkan stok sumberdaya ikan yang belum layak tangkap dan yang bukan merupakan
target tangkapan utama dari suatu alat tangkap.
Selektivitas suatu alat tangkap dapat digambarkan ke dalam kurva selektivitas, yang
menggambarkan peluang tertangkapnya suatu jenis ikan pada selang waktu tertentu dengan
menggunakan suatu jenis alat tangkap tertentu.
Selektivitas alat tangkap dapat digambarkan dengan kurva selektivitas di mana sumbu X
menggambarkan ukuran ikan sedangkan sumbu Y menggambarkan peluang ikan pada ukuran
tertentu tertangkap pada alat tangkap (Iskandar, 2009), secara rinci model kurva-kurva tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Model A adalah kurva selektivitas menggunakan model log normal. Log normal adalah
model kurva selektivitas yang menjulur ke kanan, di mana kurva di atas menggambarkan
bahwa alat tangkap yang digunakan mempunyai kisaran ukuran yang tidak seimbang
bahkan cenderung melebar di mana hasil tangkapan berukuran besar mempunyai proporsi
lebih tinggi.
Model B adalah kurva selektivitas menggunakan model left skew yang menggambarkan
bahwa alat tangkap yang digunakan mempunyai kisaran ukuran yang tidak seimbang di
mana hasil tangkapan berukuran kecil mempunyai proporsi yang lebih tinggi
Model C adalah kurva selektivitas menggunakan model normal di mana alat tangkap
yang digunakan mempunyai kisaran ukuran dengan proporsi yang seimbang antara hasil
tangkapan yang berukuran besar dan kecil.
Model D adalah kurva selektivitas menggunakan model logistik, di mana kurva tersebut
menggambarkan bahwa pada ukuran tertentu peningkatan ukuran hasil tangkapan tidak
merubah peluang tertangkapnya target spesies
2. Selektivitas Trawl
Trawl merupakan suatu jaring kantong yang ditarik di belakang kapal menyusuri dasar perairan
untuk menangkap ikan, udang dan jenis ikan demersal lainnya (Subani dan Barus, 1989).
Pengoperasian
trawl yang menyapu dasar perairan membuat alat tangkap ini dianggap bermasalah bagi beberapa
pihak karena merusak lingkungan perairan. Berdasarkan prinsip dasar proses pengoperasian
tersebut, alat tangkap trawl mampu menangkap semua jenis sumberdaya yang masuk dalam area
sapuan (swept area), sehingga diperlukan suatu perhitungan yang berkaitan dengan selektivitas
alat tangkap trawl, agar mampu mengurangi hasil tangkapan sampingan (by-catch) sehingga
lebih ramah lingkungan.
Analisis swept area digunakan untuk mengetahui luas sapuan alat tangkap trawl dan menduga
jumlah biomassa/kepadatan ikan pada area sapuan, dengan demikian perhitungan swept area
tersebut mampu memprediksi sumberdaya ikan yang ada sehingga dapat diketahui upaya apa
yang dapat dilakukakan untuk mengantisipasi penurunan stok sumberdaya ikan yang terdapat
dalam perairan tertentu.od
Perhitungan selektivitas trawl dilakukan dengan menggunakan metode penutup kantong. Metode
ini membandingkan jumlah ikan yang berada di kantong penutup (covernet) dengan jumlah ikan
yang terdapat pada kantong trawl (codend). Nilai selektivitas tersebut selanjutnya digambarkan
dalam kurva selektivitas yang dibuat dengan cara menghitung proporsi ikan yang tertangkap
relatif terhadap jumlah ikan yang berada pada area penangkapan untuk setiap ukuran kelas
panjang. Kurva selektivitas trawl biasanya termasuk dalam kurva model sigmoid (Pope et al,
1975 dan Jones, 1976 dalam Sparre dan Venema, 1999)
Gambar 1. Ilustrasi alat tangkap Trawl
Rumus yang digunakan untuk menghitung selektivitas trawl menurut Sparre dan Venema (1999)
3. Selektivitas Gillnet
Gillnet atau jaring insang merupakan salah satu alat tangkap yang dianggap efektif untuk
menangkap ikan. Subani dan Barus (1989) menyebutkan bahwa jaring insang adalah alat tangkap
yang berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat, tali ris atas
dan tali ris bawah. Besar mata jaring bervariasi disesuaikan dengan target penangkapan. Gillnet
terbagi atas beberapa kelompok, yang didasarkan pada proses pengoperasiannya, seperti:
Menurut Karlsen dan Bjarnason (1986) dalam Sparre dan Venema (1999), cara tertangkapnya
ikan pada gillnet terbagi kepada empat kategori, yaitu:
1. Snagged (ikan tertangkap karena mata jaring mengelilingi ikan tepat di belakang mata)
2. Gilled (ikan tertangkap karena mata jaring mengelilingi ikan tepat di belakang tutup
insang)
3. Wedged (ikan tertangkap karena mata jaring mengelilingi badan ikan sejauh sirip
punggung)
4. Entangled (ikan tertangkap bila ikan terjerat melalui gigi, tulang rahang, sirip atau bagian
tubuh yang menonjol lainnya tanpa masuk ke dalam mata jaring)
Gambar 2. Ilustrasi alat tangkap Gillnet
Gillnet memiliki sifat yang selektif dalam penangkapan ikan, oleh sebab itu, penentuan desain
dan konstruksi alat tangkap gillnet yang selektif positif sangat diperlukan. Menurut
Martasuganda (2008) penentuan tersebut didasarkan pada beberapa hal, yaitu:
Mengetahui jenis ikan yang dilindungi atau yang tidak bol eh ditangkap
Menganalisa sebaran, tingkah laku ikan dan potensi ikan di suatu perairan yang menjadi
rencana daerah operasi penangkapan
Menentukan desain dan konstruksi yang disesuaikan dengan ukuran ikan yang layak
tangkap dan dapat meminimalkan hasil tangkapan sampingan (by-catch) yang tidak
diinginkan.
Kurva selektivitas gillnet dapat dihitung dengan menggunakan model Holt (Sparre dan Venema,
1999). Model ini mengestimasi panjang optimum ikan yang tertangkap dan standar deviasi
dengan menggunakan dua gillnet yang memiliki ukuran mata jaring yang berbeda-beda. Kedua
jaring dipasang untuk menangkap ikan di suatu area pada saat yang sama, sedangkan yang
diobservasi adalah jumlah yang tertangkap menurut kelompok panjang.
4. Selektivitas Bubu
Bersambung....isesuaikan
ANALISIS POPULASI IKAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umum ntuk mengetahui kecepatan reproduksi, pertumbuhan dan
mortalitas dikategorikan dalam dinamika populasi, di mana untuk mengetahui dinamika
populasi tersebut maka harus detajui sejarahnya terlebih dahulu. Parameter populasi
tersebut meliputi aspek-aspek serta hubungannya dengan yang lainnya. Dari konsep
dasar populasi dan stok sering beriringan dan tercampur aduk, hal ini disebabkan
karena analisisnya sama.
Dalam penentuan analisis populasi khususnya populasi ikan digunakan
beberapa kategori-kategori sesperti stok, varietas, dan strain. Adapun sifat-sifat yang
mengikuti aspek populasi tersebt yakni ; a) populasi-populasi yang terpisah secara
geografi dengan lainnya mempunyai kesempatan walaupun sedikit untuk saling tukar
genetis.b) Dari populasi yang berkelompok yang dinamakan clines terdapat satu sei
perubahan yang gradual. c) Populasi yang berkelompok harus dengan perbedaan yang
tajam dengan daerah hidridasi diantaranya.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka untuk mengetahi lebih lanjut
tentang analisis populasi maka akan dibahas dalam makalah ini yakni tentang Analisis
Populasi Ikan .
B. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan makalah ini yaitu sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pengertian analisis populasi khususnya popupasi
b. Untuk mengetahui cara dan metode analisis populasi ikan
Sedangkan manfaat dari makalah ini yakni
a. Sebagai bahan informasi tentang analisis populasi ikan.
b. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi makalah selanjutnya yang berkaitan dengan
populasi ikan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
C. Parameter Populasi
Populasi selalu tersusun atas beberapa individu sejenis. Oleh karena itu,
parameter yang diukur saat dilakukan kajian/studi juga ada perbedaan.
1. Parameter individu. Parameter yang terukur dari individu adalah pada level individu atau
satu organisme. Parameter tersebut meliputi: ukuran tubuh, morfologi, pertumbuhan
(dalam rasio panjang/berat), kelahiran, dan kematian.
2. Parameter populasi. Parameter yang terukur adalah pada level populasi. Parameter ini
meliputi: kepadatan, pola distribusi, struktur umur, pertumbuhan (dalam satuan jumlah
per biomass), kecepatan kematian, dan kecepatan kelahiran.
Antara kedua kelompok parameter tersebut ada perbedaan. Misalnya dalam hal
pengukuran pertumbuhan. Pada parameter individu yang dimaksud pertumbuhan
adalah pertumbuhan satu individu, misalnya pada berat dan panjang dlam satu kurun
waktu tertentu. Akan tetapi, dalam parameter populasi, yang dimaksud pertumbuhan
adalah perubahan jumlah indiidu dalam suatu populasi.
D. Kepadatan
Istilah densitas dan kemelimpahan seringkali pengertiannya dianggap sama.
Walaupun demikian sebenarnya kedua istilah tersebut pengertiannya berbeda.
1. Kepadatan (density) diartikan sebagai jumlah individu dalam suatu populasi per satuan
luas area. Kepadatan ini dibedakan menjadi 2 hal, yaitu sebagai berikut.
2. Kepadatan mutlak: diperoleh dengan cara menghitung jumlah makhluk hidup per unit
luas area. Kepadatan mutlak ini yang biasa disebut dengan istilah density.
3. Kepadatan nisbi/relatif: diperoleh dengan cara membandingkan kepadatan mutlak suatu
tempat dengan kepadatan mutlak di tempat yang lain. Kepadatan nisbi inilah yang biasa
disebut dengan istilah abundance atau kemelimpahan.
Besar kecilnya kepadatan dapat berubah-ubah seiring dengan waktu. Hal hal
yang dapat mempengaruhi kepadatan terutama adalah kelahiran, kematian, imigrasi,
dan emigrasi. Kelahiran (yang dapat menambah jumlah) dipengaruhi oleh kemampuan
reproduksi. Kematian (yang dapat mengurangi jumlah) lebih banyak disebabkan oleh
faktor lingkungannya. Imigrasi dan emigrasi, karena pengaruhnya sering tidak signifikan
maka faktor ini sering diabaikan.
E. Pola Distribusi
Sebaran ikan secara umum memiliki pola-pola tertentu. Pola ini dapat terjadi
karena pengaruh faktor lingkungan serta sifat sifat yang dimiliki oleh ikan tersebut. Ada
beberapa pola, antara lain sebagai berikut :
1. Pola distribusi vektorial: pola ini terbentuk sebagai jawaban atas pengaruh faktor
lingkungan fisik dan kimia.
2. Pola distribusi reproduktif: pola ini terbentuk karena terkait dengan reproduksi
3. Pola distribusi acak: Pola ini terbentuk karena adanya pengaruh dari kesempatan
dalam suatu lingkungan yang seragam.
4. Pola distribusi contagious: pola ini berupa adanya kelompok individu yang berada di
suatu tempat, tetapi tidak ditemui di daerah sekitarnya yang lain yang berbedakatan.
Akan tetapi populasi ini dapat ditemukan di tempat lain yang juga hidup secara
berkelompok.
5. Pola overdispersion: pola distribusi yang acak yang jarang jarang yang hidup dalam
suatu ruang/tempat yang seragam. Jadi, ada semacam pembagian ruang hidup di
tempat tersebut.
6. Pola distribusi co-active: pola ini terbentuk karena adanya akibat dari interaksi dengan
hewan lain berupa kompetisi.
F. Struktur Umur
Natalitas dan mortalitas yang terjadi dalam suatu populasi akan menghasilkan
suatu set umur tertentu yang jumlahnya tidak sama. Suatu struktur dalam populasi yang
terdapat pengelompokan berdasarkan umur. Jadi, sekumpulan cohort dalam sebuah
populasi. Lazimnya, dalam kondisi normal cohort dengan umur muda lebih banyak
jumlahnya daripada cohort dengan umur yang lebih tua. Hal tersebut karena terkait
dengan faktor mortalitas masing masing cohort. Hal tersebut karena untuk dapat
bertahan hidup, ikan harus melwati banyak hambatan untuk hidup, misalnya predator
dan pengaruh lingkungan. Apalagi pada masa awal kehidupannya merupakan fase
paling kritis dari siklus hidupnya.
G. Pertumbuhan Populasi
Pertumbuhan populasi adalah perubahan jumlah individu dalam sebuah
populasi. Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan. Faktor
pendukung pertambahan populasi, antara lain natalitas yang lebih besar daripada
mortalitasnya. Faktor yang dapat menghambat pertumbuhan populasi antara lain
lingkungan yang tidak sesuai, kompetisi ruang dan jumlah makanan, serta penyakit.
Suplai makanan dapat berpengaruh terhadap populasi ikan, antara lain terkait
oleh hal-hal berikut :
1. Kebiasaan makan secara individual, yang dalam hal ini dipengaruhi oleh umur dan
jenis. Jumlah pakan, kualitas, dan ketersediaan pakan.
2. Kompetisi terhadap pakan yang sama, walaupun pada spesies yang sama jarang
terjadi. Namun kompetisi ini menjadi sangat genting justru pada fase anakan ikan.
3. Ikan pada level tropik atas memakan jenis makanan yang beragam
4. Makanan di level tropik bawah lebih sedikit
5. Spesies euryphagus makan lebih banyak dan memiliki cakupan gegrafis lebih luas
daripaka spesies stenophagus.
6. Organisme stenophagus umumnya berada di daerah tropis
7. Ikan memiliki perlindungan diri terhadap predator
Ketersediaan pakan dipengaruhi oleh kondisi abiotik perairan. Faktor abiotik
tersebut, antara lain sebagai berikut: suhu, transparansi, angin, fluktuasi permukaan air,
perubahan perluasan area makan, dan keterlindungan pakan dari predator. Hubungan
Makan antara Asosiasi Fauna Tunggal pada Variasi Garis Lintang yang Berbeda.
Dalam perkembangannya ikan selalu beradaptasi dengan lingkungannya
termasuk dalam hal makanan dengan tujuan supaya dapat memanfaatkan makanan
yang tersedia secara maksimal. Ikan ikan yang saling beraosiasi dalam satu kelompok
dalam area tertentu biasanya akan beradaptasi dalam hal makanan, untuk mencegah
adanya konflik dengan ikan yang lain, yang memiliki kebutuhan pakan hayati yang
sama (pemakan plankton, pemakan benthos, dan predator) karena adanya perbedaan
pakan yang dimakan.
Garis lintang bumi ternyata berpengaruh terhadap suplai makanan. Perbedaan
ketersediaan makanan di daerah lintang yang berbeda mempengaruhi perilaku makan
ikan. Di daerah tropis, ikan biasanya akan mengurangi volume makan saat musim
kemarau karena keterbatasan suplai makanan. Bahkan beberapa jenis mengalami
hibernasi untuk mengirit emergi.
Ikan ikan di daerah lintang tinggi selalu beradaptasi untuk makan berbagai jenis
makanan dalam jumlah yang bervariasi untuk menjaga ketersediaan makanan.
Sebaliknya di daerah dengan lintang rendah variasi jenis makanan lebih rendah karena
ketersediaan makanan relatif stabil. Pada masa tertentu migrasi diperlukan karena
terkait dengan ketersediaan makanan. Keteraturan makan dapat dipengaruhi oleh
migrsi ikan, walaupun ada penurunan pemangsaan makanan di sungai.
1. Ikan dapat memulai makan dan berhenti makan pada saat yang sama. Dengan adanya
gerombolan yang besar akan mempersulit predator untuk menyerang mangsanya
sehingga ikan-ikan yang menjadi prey lebih terlindung.
2. Kondisi Abiotik Mempengaruhi Suplai Makanan. Variasi kondisi abiotik memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap food intake atau jumalh pakan yang dimakan.
Sementara itu, kondisi abiotik ditentukan oleh besar luas zona geografi dan kedalaman,
di mana di tempat tersebut terjadi hubungan makanan.
Suplai makanan berkaitan erat dengan panjang periode vegetatif. Periode
vegetatif adalah suatu masa di mana populasi dapat menjalankan metabolisme secara
maksimal dan membangun jaringan tubuhnya dalam kondisi tersedianya makanan,
dalam kondisi yang sesuai. Waktu dan durasi (periode) makan ikan bergantung pada
kondisi ketersediaan makan yang terkait dengan kondisi abiotik dan kondisi ikan itu
sendiri. Secara seksual, ikan ikan yang belum dewasa memiliki periode yang lebih
panjang daripada ikan dewasa. Jumlah pakan yang dimakan oleh ikan bervariasi.
Adanya variasi ini dipengaruhi oleh panjang periode makan dan suhu, selama periode
makan. Beberapa kondisi lain yang berpengaruh terhadap suplai makanan yang
akhirnya juga berpengaruh terhadap jumlah makan yang dimakan oleh ikan, antara lain
sebagai berikut. Wilayah geografi secara alami berpengaruh terhadap kecepatan
reproduksi makanan. Kecepatan reproduksi inilah yang akan berakibat terhadap banyak
pakan yang dimakan. Angin dapat berpengaruh terhadap suplai makanan. Misalnya,
adanya angin besar membuat serangga banyak yang jatuh ke air, dan dapat
memperbesar suplai makanan yang tersedia. Cahaya berpengaruh terhadap jumalh
pakan yang dimakan. Misalnya, adanya cahaya memudahkan predator untuk meburu
mangsanya.
Kondisi perikanan dunia saat ini tidak dapat lagi dikatakan masih berlimpah.
Tanpa adanya konsep pengelolaan yang berbasis lingkungan, dikhawatirkan sumber
daya yang sangat potensial ini-sebagai sumber protein yang sehat dan murah-bisa
terancam kelestariannya. Karena itu, sidang Organisasi Pangan Sedunia (FAO)
memperkenalkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sejak 1995.
Konsep yang diterjemahkan sebagai Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab
(Code of Conduct for Responsible Fisheries) tersebut telah diadopsi oleh hampir
seluruh anggota badan dunia sebagai patokan pelaksanaan pengelolaan perikanan.
Sekalipun sifatnya sukarela, banyak negara telah sepakat bahwa CCRF merupakan
dasar kebijakan pengelolaan perikanan dunia. Dalam pelaksanaannya, FAO telah
mengeluarkan petunjuk aturan pelaksanaan dan metode untuk mengembangkan
kegiatan perikanan yang mencakup perikanan tangkap dan budidaya. Sejak
pertengahan tahun 1990-an, sebagian ahli perikanan dunia memang telah melihat
adanya kecenderungan hasil tangkapan perikanan global yang telah mencapai titik
puncak. Bahkan di beberapa wilayah dunia, produksi perikanan telah menunjukkan
gejala tangkap lebih (overfishing).
Kondisi overfishing di beberapa bagian dunia dapat dibuktikan dengan
membuat analisis rantai makanan (trophic level) terhadap ikan-ikan yang tertangkap.
Hasil yang ada menunjukkan bahwa aktivitas perikanan oleh manusia menurunkan
populasi ikan-ikan jenis predator utama, seperti tuna, marlin, cucut (Myers dan Worm,
2003). Dengan jumlah alat tangkap yang dimiliki armada perikanan dunia saat ini serta
dibarengi kemajuan teknologi yang ada, nelayan modern tidak perlu lagi mencari-cari
daerah penangkapan terlalu lama seperti yang dilakukan generasi terdahulu, di mana
mereka harus berlayar berhari-hari untuk mencapai fishing ground atau daerah
penangkapan ikan. Akibat dari berkurangnya populasi ikan pada trophic level tinggi,
tingkat eksploitasi terhadap jenis ikan yang berada pada tingkat trophic level yang lebih
rendah, seperti ikan-ikan pelagis kecil dan cumi-cumi, akan meningkat. Kecenderungan
demikian disebut Fishing Down Marine Food Web, yang pertama kali diperkenalkan
Pauly et al, 2002.
Ilustrasi gejala Fishing Down Marine Food Web seperti yang dimaksud.
Kecenderungan ini tidak bisa dibiarkan karena pada akhirnya manusia hanya akan bisa
menyantap sup ubur-ubur dan plankton.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Hubungan Panjang-berat
Hasil analisis panjang-berat, tanpa membedakan jenis kelamin dan lokasi
penelitian didapatkan bahwa pertumbuhan ikan Serandang adalah isometrik dengan
nilai b = 3,15 (b = 3, n = 154, dengan taraf signifikansi 0,05 dan 0,01). Jika analisis
hubungan panjang-berat ikan serandang dibedakan berdasarkan lokasi dan waktu
pengambilan sampel maka didapat nilai b berkisar 2,9681 - 3,598. Ikan serandang yang
tertangkap dilokasi penelitian Sungai Beringin dan Sungai Arisan Belido mempunyai
pola pertumbuhan Alometrik (b = 2,9681 dan 2,9886, b<3 dengan taraf signifikansi 0,05
dan 0,01) dan Sungai Gumai pola pertumbuhan bersifat Isometrik dengan nilai b =
3,589, b>3. Analisis hubungan panjang berat dari suatu populasi ikan mempunyai
beberapa kegunaan, yaitu memprediksi berat suatu jenis ikan dari panjang ikan yang
berguna untuk mengetahui biomassa populasi ikan tersebut (Smith, 1996), parameter
yang digunakan untuk memprediksi hubungan panjang berat suatu populasi ikan dapat
dibandingkan dengan populasi ikan di badan air yang lain, parameter pendugaan antara
kelompok-kelompok ikan untuk mengidentifikasi keadaan suatu populasi suatu jenis
ikan berdasarkan ruang dan waktu (Arteaga et al., 1997).