FEBRINA BERLIANTI
Febrina Berlianti
NIM C44100084
ABSTRAK
ABSTRACT
FEBRINA BERLIANTI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih adalah teknologi penangkapan ikan, dengan judul “Analisis Multi
Kriteria Teknologi Penangkapan Ikan yang Bertanggung Jawab di Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian usulan penelitian ini.
1) Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc dan Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi.
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan
dan saran;
2) Dr. Ir. Tri Wiji Nuraini, M.Si selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dan saran;
3) Vita Rumanti Kurniawati, S.Pi, MT selaku Komisi Pendidikan yang telah
memberikan masukan dan saran;
4) Retno Muninggar, S.Pi, ME selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu memberi masukan, dukungan dan doa;
5) Papah, Mamah, kakak Edelweisia Cristiana, ade Jennie Jesica, serta
seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, masukan dan dukungan;
6) Ir. Iriansyah, M.Si dan Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si yang telah
membantu dan memberi saran;
7) Ibu Roslina, Bapak Wisnu, Bapak Togio serta seluruh pegawai Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kapuas yang telah banyak
membantu;
8) Fumiya Okada, K Uwok, Moza, Wienda serta seluruh teman-teman PSP
yang selalu menemani dan banyak memberikan dukungan dan doa.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Febrina Berlianti
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
musnahnya biota-biota lain yang bukan menjadi sasaran penangkapan ikan atau
disebut spesies non target dikarenakan ekosistem dibangun oleh biota-biota laut
(Amin 2009). Hal ini sangat penting dipertimbangkan mengingat hilangnya salah
satu biota dalam struktur ekosistem laut dapat mempengaruhi populasi biota lain
yang membangun ekosistem secara keseluruhan.
Penilaian tentang tingkat tanggung jawab suatu unit penangkapan ikan dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal secara simultan, yaitu dengan
menerapkan pendekatan multi criteria analysis atau analisis multi kriteria,
disingkat AMK (Prinanto 2012). Penggunaan AMK disesuaikan fungsinya
sebagai perangkat pengambil keputusan yang dikembangkan untuk masalah-
masalah kompleks multikriteria (kriteria lebih dari 1) dalam proses pengambilan
keputusan (Mendoza dan Macoun 1999). Beberapa jenis unit penangkapan ikan
yang ada di Kabupaten Kapuas pada penelitian ini akan dinilai tingkat tanggung
jawabnya melalui penerapan 13 kriteria unit penangkapan ikan yang bertanggung
jawab (Sondita 2012). Manfaat informasi tentang tingkat tanggung jawab ini di
antaranya adalah untuk menentukan jenis teknologi penangkapan ikan yang akan
dikembangkan di suatu kawasan.
Penelitian ini melakukan kajian terhadap unit-unit penangkapan ikan di
Kabupaten Kapuas sebagai salah satu upaya membantu Pemerintah Daerah
setempat mengembangan perikanan tangkap. Topik penelitian ini sangat tepat
karena sesuai dengan trend akibat kebijakan pengembangan perikanan tangkap
yang memprioritaskan penerapan teknologi penangkapan ikan yang bertanggung
jawab yang bertujuan memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi untuk 2 kepentingan, yaitu bagi
ilmu pengetahuan dan bagi pengelola perikanan setempat. Bagi ilmu pengetahuan
perikanan tangkap, penelitian ini menyajikan informasi tentang penerapan
sejumlah kriteria untuk menilai status unit penangkapan ikan. Bagi pengelola
perikanan, penelitian ini menghasilkan informasi yang dapat dipertimbangkan
mereka dalam mengembangkan perikanan tangkap yang bertujuan untuk
mensejahterakan masyarakat dengan memastikan terwujudnya kelestarian
sumberdaya ikan yang menjadi andalan hidup mereka sehingga kegiatan yang
3
METODE PENELITIAN
Alat yang digunakan adalah alat tulis kantor, peralatan dokumentasi seperti
kamera, fasilitas kerja seperti laptop. Obyek penelitian adalah unit penangkapan
ikan di perairan laut dan sungai. Adapun unit penangkapan ikan di laut adalah
lampara, sungkur, rengge dan rawai, sedangkan unit penangkapan ikan di sungai
adalah rengge, rawai, togo dan rakkang.
Lampara
Sungkur
Rawai
Rawai datar atau horizontal long line yang dioperasikan di perairan laut dan
sungai di kabupaten Kapuas memiliki jenis yang sama. Ukuran mata pancing yang
digunakan adalah no. 7. Satu set pancing rawai terdiri atas 300 - 600 mata pancing
(Gambar 7). Rawai dioperasikan dengan kapal tipe hawaian berukuran ≤ 2 GT,
panjang 7 - 8 m, lebar 1,5 m dan berkapasitas mesin 20 PK (Diskanlut 2008)
Hasil tangkapan adalah otek, aluh-aluh, patin laut dan sembilang. Lama
pengoperasian sama seperti rengge yaitu 6 jam karena alat tangkap pancing rawai
bagi nelayan sampai saat ini merupakan alat tangkap tambahan yang akan
dioperasikan bila hasil tangkapan dari rengge kurang menguntungkan
Mata Pancing
(hooks)
Tali cabang
(branch line)
Tali utama
(main line)
Rakkang
Rakkang (Crab lift and stake dip net) adalah alat tangkap yang digunakan
khusus menangkap kepiting. Alat tangkap ini terdiri dari tongkat yang terbuat dari
kayu galam sebagai tongkat yang berfungsi untuk menancapkan rakkang ke dasar
perairan, jaring rakkang yang terbuat dari bahan nilon monopilamen dan kawat
anyam, bilah besi. Bentuk rakkang seperti silinder (Rusmilyansari et al. 2006).
Menurut Anshori (2001) rakkang merupang alat penangkap kepiting yang
efektif tanpa merusak anggota badan kepiting. Rakkang bersifat pasif dan
tradisional, umumnya digunakan oleh masyarakat nelayan yang kawasan
pesisirnya terdapat hutan mangrove dan banyak muara sungai (Gambar 8).
Pengoperasian dilakukan dengan cara mendiamkan selama lima belas (15) jam,
yang biasanya dipasang pada sore hari pukul 15.00 WIB dan pengangkatan pukul
06.00 WIB
8
Togo
Teknologi
Penangkapan Ikan
Sub-indikator disesuaikan
dengan kebutuhan
Kategori
Kriteria Perikanan
No. Indikator Sub-Indikator
Bertanggung jawab
memiliki legal atau
proper size
Proporsi jenis ikan
sasaran (target species)
8 Low potential of ghost Tingkat kerawanan (tidak ada)
fishing suatu alat tangkap
(X8)
9 Memanfaatkan ikan Proporsi hasil (tidak ada)
secara maksimum tangkapan yang
dimanfaatkan (X9)
10 Menjamin survival dari Perlakuan pada (tidak ada)
ikan dan biota laut yang ikan dan biota laut
dikembalikan ke laut yang dikembalikan
(discards) ke laut (X10)
11 Tidak menangkap jenis Kasus (tidak ada)
yang dilindungi/ tertangkapnya jenis
biodiversity biota yang
dilindungi (X11)
12 Tidak merusak Potensi terjadi (tidak ada)
lingkungan perairan dan kerusakan
habitat lingkungan
perairan dan habitat
(X12)
13 Tidak menimbulkan Kejadian atau (tidak ada)
konflik dengan kegiatan potensi konflik
lainnya (X13)
Tabel 2 Jumlah responden untuk 8 jenis unit penangkapan ikan di lima desa di
Kabupaten Kapuas
Unit Penangkapan Ikan
Desa
Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8
Sei Teras - - - - - 3 4 -
Palampai - 4 3 3 3 2 - 5
Pematang - - - - - - 1 -
Camara Labat - 1 1 1 1 - - -
Batanjung 5 - 1 1 1 - - -
Total 5 5 5 5 5 5 5 5
Keterangan:
Y1 : Lampara; Y2 : Sungkur; Y3 : Rengge Laut; Y4 : Rawai Laut; Y5 : Rawai
Sungai; Y6 : Rengge Sungai; Y7 : Togo; Y8 : Rakkang
Analisis Data
Indikator ke-1:
( )+ ( )
( )+ ( )
( )+ ( )
Indikator ke-2
( )
( )
( )
( )
( )
( )
Indikator ke-7
( )
( )
( )
A adalah tingkat keseragaman, B adalah tingkat legal atau proper size, C adalah
target spesies
( )
Keterangan:
n : Nelayan atau responden
x : Sub indikator
X : Indikator
Hasil analisis data menunjukkan jenis unit penangkapan ikan terbaik pada
setiap kategori, yaitu kategori terbaik untuk alat tangkap bersifat aktif, bersifat
15
Hasil
1. Indikator 1 : X1 = 2
Setiap jenis unit penangkapan yang diteliti dioperasikan oleh
nelayan yang cukup terlatih, memahami dan menerapkan konsep
efisiensi dan konservasi. Sebagian besar nelayan di Kabupaten
Kapuas memiliki pengalaman kerja rata-rata lebih dari 5 tahun
dan tingginya minat serta keaktifan nelayan dalam mengikuti
program pelatihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
Awalnya peneliti ingin mengukur indikator X1 dengan
membandingkan jumlah program yang telah diselenggarakan
dengan jumlah program yang pernah diikuti nelayan, namun
karena kesulitan dalam memperoleh data dan mendapatkan
keterangan maka penilaian dilakukan dengan mengandalkan
keterangan nelayan. Kurangnya pemahaman tentang konsep
efesiensi dan konservasi juga merupakan suatu hambatan dalam
melaksanakan pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab.
16
2. Indikator 2 : X2 = 2
Berdasarkan aspek-aspek keselamatan anak buah kapal (ABK),
keselamatan kasko, keselamatan mesin dan keselamatan alat
penangkapan ikan, unit penangkapan ikan yang diteliti agak
membahayakan nelayan dan orang lain di perairan laut dan
sungai. Seluruh unit penangkapan ikan yang diteliti tidak
menyediakan fasilitas keselamatan di atas kapal (lihat hasil
perhitungan di Lampiran 2). Tampaknya hal ini disebabkan
nelayan pada umumnya menganggap kelengkapan fasilitas
keselamatan tersebut tidak terlalu penting karena semua nelayan
memiliki kemampuan renang. Pengabaian terhadap fasilitas
keselamatan sangat berbahaya pada lingkungan kerja di atas air
mengingat kecelakaan laut dapat terjadi sewaktu-waktu atau tak
terduga. Temuan ini menyimpulkan bahwa evaluasi terhadap
indikator keselamatan pada kapal-kapal ikan harus dilaksanakan
untuk untuk menjamin keselamatan nelayan maupun orang lain
di laut dari risiko kecelakaan.
3. Indikator 3 : X3 = 3 (Rengge laut, rengge sungai, rawai laut, rawai sungai dan
rakkang) dan X3 = 2 (lampara, sungkur dan togo)
Operasi penangkapan ikan di perairan wilayah ini bersifat harian
dengan lokasi tangkap (fishing ground) paling jauh ± 12 mil dari
garis pantai. Seluruh alat penangkapan ikan selalu dioperasikan
pada alur penangkapan yang sesuai. Sub indikator alat tangkap,
lampara, sungkur dan togo tergolong agak sesuai. Hal ini
dikarenakan lampara dasar yang digunakan lebih condong
seperti trawl, sehingga walaupun desainnya sesuai standar tetap
dianggap kurang sesuai peraturan. Alat tangkap sungkur
merupakan modifikasi dari alat tangkap seser (push net)
sehingga digolongkan agak sesuai peraturan. Togo merupakan
modifikasi dari alat tangkap udang/ikan tergolong agak sesuai
karena fungsinya tetap untuk menangkap udang dan ikan.
Kekurangsesuaian alat tangkap tidak menjadi hambatan
dikarenakan pemanfaatannya masih sesuai dengan tujuan hasil
tangkapannya.
4. Indikator 4 : X4 = 2 kecuali lampara dan rawai (skor 1)
Pemakaian bahan bakar secara standar menurut Nomura (1975)
ialah 0.02 kg/hp/jam. Peneliti tidak dapat melakukan
pengukuran secara kuantitatif disebabkan penggunaan bahan
bakar di Kabupaten Kapuas yang merupakan minyak campuran.
Penggunaan bahan bakar campuran tentu menyebabkan mesin
menjadi cepat rusak dan tidak hemat energi (Suara Merdeka
2003), sehingga peneliti hanya melakukan pengamatan terhadap
tiap unit penangkapan ikan berdasarkan jumlah bahan bakar
serta campuran bahan bakar yang digunakan.
Lampara dan rawai sungai tergolong sangat boros bahan bakar
dikarenakan mesin yang digunakan adalah mesin dumping
dengan bahan bakar campuran berupa bensin, solar, oli pelumas,
minyak tanah dan minyak goreng. Tingkat hemat energi yang
17
Tabel 3. Skor setiap indikator unit penangkapan ikan di perairan Kabupaten Kapuas
Alat Tangkap
Indikator Lampara Sungkur Rengge Rawai Rawai Rengge Togo Rakkang Rata-rata
(Y1) (Y2) Laut (Y3) Laut (Y4) Sungai (Y5) Sungai (Y6) (Y7) (Y8)
X1 2 2 2 2 2 2 2 2 2,0
X2 2 2 2 2 2 2 2 2 2,0
X3 2 2 3 3 3 3 2 3 2,6
X4 1 2 2 2 2 2 2 2 1,9
X5 1 2 2 2 2 2 2 2 1,9
X6 3 3 3 3 3 3 3 3 3,0
X7 2 3 2 2 2 3 3 3 2,5
X8 3 3 3 3 3 3 3 2 2,9
X9 3 3 2 3 3 3 3 3 2,9
X10 1 1 1 1 1 1 1 1 1,0
X11 3 3 3 3 3 3 3 3 3,0
X12 1 2 3 3 3 3 3 3 2,6
X13 2 3 3 3 3 3 3 3 2,9
Total 26 31 31 32 32 33 32 32 31,1
Keterangan:
X1 : Indikator 1; X2 : Indikator 2; ............ Xn : Indikator n
Y1 : Lampara; Y2 : Sungkur; Y3 : Rengge Laut; Y4 : Rawai Laut; Y5 : Rawai Sungai; Y6 : Rengge Sungai; Y7 : Togo; Y8 : Rakkang
18
kapal atau perahu (X4), kuantitas bahan pencemar (X5), komposisi ikan yang
tertangkap (X7), potensi terjadi kerusakan lingkungan perairan dan habitat
(X12) dan kejadian atau potensi konflik (X13)
2. Unit penangkapan ikan bersifat pasif yang terbaik di laut adalah rawai laut
dengan total nilai 32.
3. Unit penangkapan ikan bersifat pasif yang terbaik di sungai adalah rengge
sungai permukaan dengan total nilai 33.
Secara umum, teknologi penangkapan ikan yang paling bertanggung jawab
di laut adalah rawai laut dengan total nilai yaitu 31, sedangkan yang paling
bertanggung jawab di sungai adalah rengge sungai permukaan dengan total nilai
33. Dari kedelapan alat tangkap, rengge sungai permukaan adalah alat tangkap
terbaik di Kabupaten Kapuas.
Rengge sungai permukaan merupakan alat tangkap dominan di desa Sei
Teras. Perlu diperhatikan bahwa tiap daerah memiliki alat tangkap dominan.
Penggunaan alat tangkap didaerah tertentu mempengaruhi hasil penetapan
teknologi penangkapan ikan yang terbaik, sehingga diharapkan perhatian pada
setiap strategi perbaikan seluruh indikator.
Pembahasan
Daya tangkap yang rendah ini berkaitan dengan dimensi atau ukuran alat
penangkapan ikan sehingga tenaga kerja yang diperlukan untuk
mengoperasikannya hanya beberapa orang saja. Sebagai contoh, alat tangkap togo
dioperasikan 2-3 orang nelayan.
Semua jenis unit penangkapan ikan yang diteliti memiliki masalah untuk
indikator perlakuan pada ikan dan biota laut yang dikembalikan ke laut (X10).
Nelayan menganggap dicards bukan persoalan penting pada saat ini karena
perhatian mereka lebih kepada jenis-jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan
ikan. Meskipun jumlah discards rendah karena sebagian besar hasil tangkapan
dimanfaatkan (X9), jika ikan-ikan tersebut sebagian besar masuk dalam kategori
tidak layak tangkap, maka ancaman terjadinya overfishing juga tetap ada.
Kehidupan biota laut dan lingkungan saling tergantung satu sama lain,
lingkungan yang buruk akan mengganggu yang merupakan habitat bagi sejumlah
besar organisme akuatik (ikan, moluska, burung, serangga, tanaman air dan
sebagainya) dan mendukung keanekaragaman hayati pada wilayah daratan dan
sekelilingnya, termasuk sejumlah burung migrasi (Sukimin 2007). Overfishing
adalah salah satu penyumbang kerusakan lingkungan. Dampak yang diberikan
ialah berkurang atau musnahnya salah satu alur jaring makanan yang akan
menyebabkan hilangnya sumber makanan bagi suatu spesies dilanjutkan
hilangnya sumber makanan bagi spesies lainnya. Terganggunya ketersediaan
mangsa dan juga proporsi predator akan menyebabkan terganggunya
keseimbangan pada jaring makanan (food web) terutama ekosistem perairan
secara keseluruhan.
Pengamatan yang terjadi di lapangan ditemukan bahwa nelayan kurang
peduli dengan ukuran ikan yang ditangkap yang ditunjukkan dengan
ketidakpedulian dengan status juvenile atau dewasa hasil tangkapan yang
tertangkap. Saat ini dampak yang terjadi mungkin sangat kecil, namun jika
kegiatan perikanan setempat berkembang lebih pesat ada kemungkinan discards
yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya overfishing pada spesies-spesies
tersebut (Israel dan Caesar 1997).
Lampara merupakan alat tangkap yang telah ada sejak lama. Tahun 1980-an
di Kabupaten Kapuas tepatnya di Desa Batanjung, lampara menjadi alat tangkap
idaman sehingga nelayan yang sebelumnya menggunakan sungkur, rawai dan
rengge beralih menggunakan lampara. Hal ini disebabkan alat tangkap ini dapat
digunakan di semua musim serta hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak
sehingga keuntungan yang diterima juga meningkat. Namun lampara yang
dioperasikan nelayan Kabupaten Kapuas memiliki lebih banyak masalah
dibandingkan dengan alat-alat tangkap lainnya. Alat tangkap lampara yang
memiliki skor terendah dibanding alat tangkap lainnya (yaitu 26) memiliki
beberapa indikator yang bernilai rendah yaitu konsumsi bahan bakar kapal ikan
(X4), kuantitas bahan pencemar (X5), perlakuan pada ikan dan biota laut yang
dikembalikan ke laut (X10) dan potensi terjadi kerusakan lingkungan perairan dan
habitat (X12). Jenis unit penangkapan ikan ini harus diperhatikan secara seksama
karena jika dibiarkan dapat memicu konflik antar nelayan.
Masa lalu trawl banyak menimbulkan masalah sosial, selain masalah
ancaman terhadap kelestarian sumber daya. Permasalahan yang rumit ini biasanya
berakhir dengan konflik antar nelayan sehingga Pemerintah menerbitkan Keppres
nomor 39 tahun 1980 yang melarang penggunaan trawl kecuali pengoperasian
23
trawl udang yang dilengkapi dengan BED (bycatch excluder device) di perairan
tertentu saja yaitu Kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Papua dan Arufura laut, dari
1300 ke arah timur, termasuk garis pantai dari batas pulau dengan 10 meter
isobath. Pengecualian pelarangan trawl di tempat-tempat tertentu tersebut
berdasarkan alasan bahwa sumber daya udang di daerah tersebut masih cukup
baik dan belum pernah dimanfaatkan oleh para nelayan tradisional. Dampak
langsung dari larangan ini adalah penurunan yang signifikan dari produksi udang
nasional (Monintja et al. 2007). Namun pelanggaran banyak terjadi secara luas
dan konflik serupa berulang lama setelah penerbitan kebijakan tersebut, seperti
terjadi di perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan (2009) dan perairan Asahan,
Sumatera Utara (2012).
Konflik nelayan sejak tahun 2009 yang terjadi perairan Kotabaru terjadi
sejak beberapa tahun lalu sebelumnya berawal dari persaingan daerah
penangkapan ikan di antara nelayan perikanan skala kecil (seperti perahu pancing
dan jaring rengge) dan nelayan yang mengoperasikan alat penangkapan ikan yang
lebih modern, yaitu mereka yang menggunakan alat tangkap lampara dasar.
Kelompok nelayan lampara dasar memiliki kapasitas teknis yang lebih tinggi dari
kelompok nelayan lainnya. Kegiatan nelayan perikanan skala kecil tersebut sering
terganggu oleh kegiatan nelayan lampara dasar yang menabrak pancing kepiting
sehingga rusak. Selain alat tangkapnya rusak, nelayan perikanan skala kecil juga
kehilangan kesempatan mendapatkan kepiting yang kemudian banyak tertangkap
oleh lampara dasar (Kompas 2009).
Konflik nelayan akibat penggunaan alat tangkap trawl atau pukat hela juga
terjadi di perairan Tanjungbalai Asahan, Sumatera Utara. Maraknya penggunaan
trawl mengakibatan 30 ribu nelayan lokal merugi sebab hasil tangkapannya
berkurang sehingga keberlanjutan sumber penghidupan nelayan lokal terancam
(Republika 2012).
Kedua kelompok nelayan (yaitu kelompok nelayan lampara dan nelayan
non-lampara) di Kabupaten Kapuas memiliki pemikiran berbeda. Nelayan
lampara dasar berpendapat bahwa lampara adalah alat tangkap yang paling efektif,
sedangkan nelayan lain berpendapat bahwa lampara mengurangi hasil tangkapan
mereka dan merusak lingkungan. Pendapat nelayan selain lampara menunjukkan
bahwa mereka memiliki rasa tanggungjawab yang lebih besar dibandingkan
nelayan lampara.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menghentikan penggunaan
lampara dasar ini dengan menerbitkan peraturan dan tidak memberikan dukungan
kepada nelayan pelanggar, namun pemerintah kesulitan untuk mengawasi
masyarakat sehingga pelanggaran tetap terjadi. Tidak didukungnya penggunaan
lampara oleh pemerintah dapat dilihat dari tidak disediakannya insentif berupa
bantuan kapal dan mesin baru untuk pengoperasian lampara di Kabupaten Kapuas,
terutama kepada sebagian besar nelayan lampara yang tinggal di desa Batanjung.
Pemerintah Kabupaten Kapuas dapat menerapkan pendekatan Kabupaten
Serang untuk mengurangi jumlah lampara tersebut, yaitu dengan menawarkan
penggantian lampara dengan bagan congkel. Penggantian alat tangkap merupakan
salah satu solusi yang dapat membantu walaupun pada pengaplikasian bagan
congkel sebagai pengganti lampara, 14 nelayan di Kabupaten Serang masih ada
yang tidak patuh (Poskota 2010). Ketidakpatuhan nelayan ini ternyata disebabkan
tangkapan ikan menggunakan bagan tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga
24
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1) Kompetensi nelayan
Skor Kriteria Kisaran Skor
1 Nelayan kurang terlatih, memahami dan menerapkan 6-9
konsep efisiensi dan konservasi
2 Nelayan cukup terlatih, memahami dan menerapkan 10-14
konsep efisiensi dan konservasi
3 Nelayan sangat terlatih, memahami dan menerapkan 15-18
konsep efisiensi dan konservasi
a) Tingkat terlatih
Sub Indikator Kategori Skor
< 2 tahun 1
Lama
2-5 tahun 2
Pengalaman Kerja
> 5 tahun 3
Jarang mengikuti pelatihan 1
Intensitas
Sering mengikuti pelatihan 2
Pelatihan
Pernah memberikan pelatihan 3
Throwing Appliances)
TOTAL TOTAL
Keterangan: Keterangan:
Rendah : ≤ 2 kriteria keselamatan Rendah : ≤ 2 kriteria keselamatan
Sedang : 3-5 kriteria keselamatan Sedang : 3-4 kriteria keselamatan
Tinggi : ≥ 6 kriteria keselamatan Tinggi : ≥ 5 kriteria keselamatan
Keselamatan mesin √ Keselamatan alat √
penangkapan ikan
Pada mesin baru pelumnas awal Selalu dilakukan perawatan
diganti rutin
Suku cadang diganti secara Penanganan alat tangkap
insedental selama persiapan baik
Tinggi pelumnas, BBM dan Penanganan alat tangkap
konektor selalu di cek selama operasi baik dan benar
Penyalaan dan pendingin selalu di Alat tangkap memiliki penanda
cek atau tagging
Stabilitas mesin baik saat Tata letak alat tangkap di atas
persiapan kapal benar dan aman
3) Peraturan
Sub Indikator Kategori Skor
Cenderung melanggar jalur penangkapan 1
Jalur
Kadang melanggar jalur penangkapan 2
penangkapan
Selalu berada di jalur penangkapan 3
Tidak sesuai 1
Alat tangkap Agak sesuai 2
Sesuai 3
Setiap unit penangkapan ikan memiliki suatu standar atau aturan. Ada 2
aspek untuk mengukur kesesuaian suatu teknologi penangkapan ikan yaitu jalur
penangkapan dan alat tangkap. Penentuan jalur penangkapan menggunakan peta
jalur kapal perikanan dan lokasi tangkap perairan laut Kabupaten Kapuas yang
dapat dilihat pada gambar 2 dan berdasarkan keterangan tambahan dari responden
dan pemerintah setempat. Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui
kesesuaian penggunaan suatu teknologi penangkapan terhadap peraturan.
Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui tingkat polusi yang
dihasilkan oleh suatu unit penangkapan ikan. Pengukuran tingkat polusi udara
dilihat dari mesin kapal yang berupa umur mesin, jenis mesin, penggunaan jenis
bahan bakar, jarak tempuh dan periode servis. Pada pengukuran polusi cair,
peneliti melakukan pengamatan terhadap kondisi perairan dengan melakukan
perbandingan dalam kurun waktu tertentu.
Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui alat tangkap yang bahan
pengadaannya merusak lingkungan atau ekosistem yang dilindungi.
”ghost fishing” adalah suatu istilah yang digunakan pada alat tangkap yang
hilang. Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui seberapa rentannya suatu
alat tangkap dalam proses kegiatan penangkapan ikan.
Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui tingkat pemanfaatan hasil
tangkapan yang ditangkap oleh nelayan.
10) Perlakuan pada ikan dan biota laut yang dikembalikan ke laut
Skor Kriteria
1 Ikan dan biota laut yang tidak layak ditangkap dikembalikan ke laut
tidak dijamin keberlangsungan hidupnya
2 Ikan dan biota laut yang tidak layak ditangkap dikembalikan ke laut
kurang dijamin keberlangsungan hidupnya
3 Ikan dan biota laut yang tidak layak ditangkap dikembalikan ke laut
dijamin keberlangsungan hidupnya
Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui apakah hasil tangkapan
tidak layak yang dikembalikan ke perairan dijamin keberlangsungan hidupnya
Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui apakah dalam kegiatan
penangkapan ikan dilakukan penangkapan ikan jenis yang dilindungi/biodiversity.
Jenis ikan yang dilindungi di Kabupaten Kapuas untuk perairan sungai adalah
Arwana (Scleropages formosus ) dan Labi-labi (Pelodiscus sinensis), sedangkan
untuk perairan laut tidak ada jenis yang dilindungi.
36
Lampiran 2 Hasil perhitungan skor setiap jenis unit penangkapan ikan yang
diteliti di Kabupaten Kapuas Kuala pada bulan Juli-Agustus 2013
LAMPARA
Pengalaman
No Nama Responden Keterangan
Kerja (tahun)
1 Rumiji >5 Desa Batanjung
2 Nazar >5 Desa Batanjung
3 Ecet >5 Desa Batanjung
4 Sean >5 Desa Batanjung
5 Jamadi >5 Desa Batanjung
Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden
SUNGKUR
Pengalaman
No Nama Responden Keterangan
Kerja (tahun)
1 Kasrani >5 Desa Palampai
2 Basuni >5 Desa Palampai
3 Udin >5 Desa Cemara Labat
4 Asmat >5 Desa Palampai
5 Asmuri >5 Desa Palampai
Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden
Pengalaman Kerja
No Nama Responden Keterangan
(tahun)
1 Asnat >5 Desa Palampai
2 Asmadi >5 Desa Palampai
3 Daus >5 Desa Batanjung
4 Udin >5 Desa Cemara Lebat
5 Rumaji >5 Desa Batanjung
Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden
RAWAI LAUT
Pengalaman Kerja
No Nama Responden Keterangan
(tahun)
1 Udin >5 Desa Cemara Labat
2 Daus >5 Desa Batanjung
3 Asnat >5 Desa Palampai
4 Asmadi >5 Desa Palampai
5 Rumaji >5 Desa Batanjung
Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden
RAWAI SUNGAI
Pengalaman Kerja
No Nama Responden Keterangan
(tahun)
1 Udin >5 Desa Cemara Labat
2 Daus >5 Desa Batanjung
3 Asmuri >5 Desa Palampai
4 Asmadi >5 Desa Palampai
5 Kasrani >5 Desa Palampai
Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden
RENGGE/GILLNET/JARING INSANG
PERMUKAAN SUNGAI
Pengalaman Kerja
No Nama Responden Keterangan
(tahun)
1 Asrat >5 Desa Sei Teras
2 Syaifullah 3 Desa Sei Teras
3 Upus >5 Desa Sei Teras
4 Asmadi >5 Desa Palampai
5 Kasrani >5 Desa Palampai
Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden
TOGO
Pengalaman Kerja
No Nama Responden Keterangan
(tahun)
1 Iyun >5 Desa Pematang
2 Jedi >5 Desa Palampai
3 Syaifullah >5 Desa Sei Teras
4 Iras >5 Desa Sei Teras
5 Syamsiat >5 Desa Sei Teras
Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden
RAKKANG
Pengalaman Kerja
No Nama Responden Keterangan
(tahun)
1 Yusran >5 Desa Palampai
2 Rahman >5 Desa Palampai
3 Asmat >5 Desa Palampai
4 Asmuri >5 Desa Palampai
5 Bahrudin >5 Desa Palampai
Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden
RIWAYAT HIDUP