Anda di halaman 1dari 57

ANALISIS MULTI KRITERIA TEKNOLOGI

PENANGKAPAN IKAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI


KABUPATEN KAPUAS KALIMANTAN TENGAH

FEBRINA BERLIANTI

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis


Multi Kriteria Teknologi Penangkapan Ikan yang Bertanggung Jawab di
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah adalah benar karya saya sendiri dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun ke perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2014

Febrina Berlianti
NIM C44100084
ABSTRAK

FEBRINA BERLIANTI. Analisis Multi Kriteria Teknologi Penangkapan Ikan


yang Bertanggung Jawab di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Dibimbing
oleh M. FEDI A. SONDITA dan ROZA YUSFIANDAYANI.

Penilaian status teknologi penangkapan ikan merupakan salah satu langkah


awal dalam merancang strategi pengelolaan perikanan di suatu tempat. Kegiatan
perikanan tangkap di Kabupaten Kapuas diselenggarakan di perairan umum dan
laut. Unit penangkapan ikan yang beroperasi di laut adalah lampara, sungkur,
rengge dan rawai, sedangkan yang beroperasi di sungai adalah togo, rakkang,
rengge dan rawai. Penilaian tentang tingkat tanggung jawab suatu alat
penangkapan ikan dilakukan dengan menerapkan multi criteria analysis yang
menggunakan 13 kriteria unit penangkapan ikan yang bertanggung jawab.
Penelitian ini bertujuan menentukan status teknologi penangkapan ikan yang
diterapkan nelayan Kabupaten Kapuas dan menentukan strategi perbaikan
perikanan tangkap di kabupaten tersebut. Berdasarkan adanya lima indikator
bernilai baik, tujuh indikator bernilai sedang dan satu indikator bernilai buruk,
peneliti menyimpulkan bahwa teknologi yang diterapkan dalam perikanan
tangkap di Kabupaten Kapuas yang direpresentasikan oleh 8 jenis unit
penangkapan ikan menunjukkan status baik dalam hal tanggung jawab terhadap
lingkungan. Unit penangkapan ikan aktif terbaik di laut adalah sungkur, unit
penangkapan ikan pasif terbaik di laut adalah rawai laut sedangkan unit
penangkapan ikan pasif terbaik di sungai adalah rengge sungai permukaan. Cara
penanganan discards dan kriteria ikan yang layak tangkap perlu diperkenalkan
di kalangan nelayan untuk mendukung kelangsungan hidup ikan sehingga
perikanan tangkap dapat berkelanjutan.

Kata kunci: Perikanan bertanggung jawab, pengelolaan perikanan, Kabupaten


Kapuas.

ABSTRACT

FEBRINA BERLIANTI. Multi Criteria Analysis on Fishing Responsibility in


Kapuas Regency, Central Kalimantan. Supervised by M. FEDI A. SONDITA
and ROZA YUSFIANDAYANI.

Assessment on the status of fishing responsibility is one of initial steps in


determining a strategy to develop sustainable fisheries. The capture fisheries
activities studied in Kapuas Regency covers local fishing activities in freshwater
and sea. Fishing units operated in marine waters are lampara, sungkur, gillnet
and longline, while those operated in the river are togo, rakkang, gillnet and
longline. This study applied an assessment on 8 types of fishing unit which
represent the studied fisheries using the 13 criteria of responsible fishing. This
study aims to determine the status of local fishing technology and strategies to
develop sustainable fisheries at the Kapuas Regency. The technology of the
current capture fisheries are considered good because it shows five indicators
with excellent category, seven indicators with good category and one indicator
with bad category. Both sungkur and marine longline were the best active and
passive gears operated at the sea respectively while surface gillnets was the best
passive gear operated in the rivers. One of the fisheries management strategies
identified was public campaign of good handling practice on unwanted catches
or discards to promote fish survivorship.

Keywords: Responsible fishing, management strategies, Kapuas Regency


ANALISIS MULTI KRITERIA TEKNOLOGI
PENANGKAPAN IKAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI
KABUPATEN KAPUAS KALIMANTAN TENGAH

FEBRINA BERLIANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Multi Kriteria Teknologi Penangkapan Ikan yang
Bertanggung Jawab di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Nama : Febrina Berlianti
NIM : C44100084
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui oleh

Dr.Ir. M.Fedi A. Sondita, M.Sc Dr. Roza Yusfiandayani,S.Pi


Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc


Ketua Departemen

Tanggal Lulus :
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih adalah teknologi penangkapan ikan, dengan judul “Analisis Multi
Kriteria Teknologi Penangkapan Ikan yang Bertanggung Jawab di Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian usulan penelitian ini.
1) Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc dan Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi.
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan
dan saran;
2) Dr. Ir. Tri Wiji Nuraini, M.Si selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dan saran;
3) Vita Rumanti Kurniawati, S.Pi, MT selaku Komisi Pendidikan yang telah
memberikan masukan dan saran;
4) Retno Muninggar, S.Pi, ME selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu memberi masukan, dukungan dan doa;
5) Papah, Mamah, kakak Edelweisia Cristiana, ade Jennie Jesica, serta
seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, masukan dan dukungan;
6) Ir. Iriansyah, M.Si dan Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si yang telah
membantu dan memberi saran;
7) Ibu Roslina, Bapak Wisnu, Bapak Togio serta seluruh pegawai Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kapuas yang telah banyak
membantu;
8) Fumiya Okada, K Uwok, Moza, Wienda serta seluruh teman-teman PSP
yang selalu menemani dan banyak memberikan dukungan dan doa.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014

Febrina Berlianti
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii


DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Tujuan Penelitian 2
METODE PENELITIAN 3
Lokasi dan Waktu Penelitian 3
Alat dan Objek Penelitian 4
Metode Pengambilan Data 9
Analisis Data 13
HASIL DAN PEMBAHASAN 15
Hasil 15
Pembahasan 21
KESIMPULAN DAN SARAN 24
Kesimpulan 24
Saran 25
DAFTAR PUSTAKA 25
LAMPIRAN 28
RIWAYAT HIDUP 45
DAFTAR TABEL

1 Indikator yang dikembangkan untuk menilai teknologi


penangkapan ikan 11
2 Jumlah responden untuk 8 jenis unit penangkapan ikan
di lima desa di Kabupaten Kapuas 13
3 Skor setiap indikator unit penangkapan ikan
di perairan Kabupaten Kapuas 17

DAFTAR GAMBAR

1 Peta desa-desa pesisir di Kecamatan Kapuas Kuala,


Kabupaten Kapuas 3
2 Lampara untuk menangkap ikan dasar di laut 4
3 Sungkur untuk menangkap udang di laut 5
4 Rengge yang dioperasikan di dasar laut 6
5 Rengge yang dioperasikan di lapisan permukaan sungai 6
6 Rawai untuk menangkap ikan di perairan sungai dan laut 7
7 Rakkang untuk menangkap kepiting 8
8 Togo untuk menangkap ikan di kawasan pasang surut 8
9 Kerangka pemikiran pendekatan penelitian 10
10 Peta jalur kapal perikanan dan lokasi penangkapan 32

DAFTAR LAMPIRAN

1 Metode 13 indikator teknologi penangkapan ikan bertanggung jawab 28


2 Hasil perhitungan skor setiap jenis unit penangkapan ikan yang
diteliti di Kabupaten Kapuas Kuala pada bulan Juli-Agustus 2013 37
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dengan empat provinsi, yaitu


Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan
Timur dan Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Tengah merupakan
wilayah daratan yang sebagian besar terdiri atas hutan lebat. Provinsi ini
memiliki 13 kabupaten, salah satu di antaranya adalah Kabupaten Kapuas yang
memiliki dua wilayah kegiatan perikanan tangkap yaitu laut dan sungai
(Diskanlut 2008)
Kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Kapuas meliputi penangkapan
ikan di perairan umum (sungai, danau dan rawa) dan penangkapan ikan di
perairan laut. Perhatian pengelola perikanan tangkap umumnya cenderung
mengutamakan kegiatan penangkapan ikan di perairan laut. Berbeda dengan
kecenderungan umum tersebut, penelitian ini tidak melakukan pembatasan
terhadap kegiatan penangkapan ikan di perairan laut yang teliti karena mencakup
juga kegiatan penangkapan ikan di kawasan perairan umum, yaitu sungai.
Sungai merupakan bagian yang tak dapat terlepaskan dari masyarakat di
Kabupaten Kapuas. Salah satu manfaat sungai bagi mereka di antaranya adalah
produksi ikan. Nelayan di kabupaten ini umumnya merupakan nelayan sambilan,
yaitu mereka yang memiliki pekerjaan lain berupa kegiatan berladang dan
berdagang. Perikanan di Kabupaten Kapuas merupakan salah satu sumber utama
pangan walaupun perikanan di daerah tersebut masih dilakukan dalam skala usaha
kecil dan bersifat tradisional. Meskipun dilaksanakan dalam skala usaha kecil,
perikanan tradisional belum tentu diterapkan secara bertanggung jawab.
Teknologi penangkapan ikan adalah perangkat keras (peralatan) dan
perangkat lunak (metode pembuatan, penggunaan dan perawatan perangkat keras
yang terpadu dalam suatu sistem manajemen) untuk memanfaatkan sumberdaya
ikan. Teknologi penangkapan ikan yang saat ini sedang gencar dianjurkan adalah
teknologi penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Penggunaan dan penerapan
teknologi penangkapan ikan yang bertanggung jawab merupakan suatu keharusan
sebab kegiatan penangkapan ikan yang tidak terkendali akan mengancam
kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan perairan.
Unit penangkapan ikan adalah satuan fungsional yang menghasilkan produk
berupa ikan dari proses penangkapan ikan. Satu unit penangkapan ikan umumnya
terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Jenis-jenis unit penangkapan ikan
yang beroperasi di perairan laut Kabupaten Kapuas adalah lampara, sungkur,
rengge atau jaring insang dasar dan rawai, sedangkan yang beroperasi di sungai
adalah togo, rakkang, rengge atau jaring insang permukaan dan rawai.
Penggunaan alat penangkapan ikan sebagai sarana utama dalam
pemanfaatan ika, perlu diatur sedemikian rupa agar tidak berdampak negatif baik
pada habitat ikan (yaitu lingkungan perairan) dan sumber daya ikan, serta manfaat
lain dari jasa lingkungan yang tersedia di perairan. Penggunaan alat penangkapan
ikan harus dapat menjaga kestabilan di dalam ekosistem, termasuk mencegah
2

musnahnya biota-biota lain yang bukan menjadi sasaran penangkapan ikan atau
disebut spesies non target dikarenakan ekosistem dibangun oleh biota-biota laut
(Amin 2009). Hal ini sangat penting dipertimbangkan mengingat hilangnya salah
satu biota dalam struktur ekosistem laut dapat mempengaruhi populasi biota lain
yang membangun ekosistem secara keseluruhan.
Penilaian tentang tingkat tanggung jawab suatu unit penangkapan ikan dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal secara simultan, yaitu dengan
menerapkan pendekatan multi criteria analysis atau analisis multi kriteria,
disingkat AMK (Prinanto 2012). Penggunaan AMK disesuaikan fungsinya
sebagai perangkat pengambil keputusan yang dikembangkan untuk masalah-
masalah kompleks multikriteria (kriteria lebih dari 1) dalam proses pengambilan
keputusan (Mendoza dan Macoun 1999). Beberapa jenis unit penangkapan ikan
yang ada di Kabupaten Kapuas pada penelitian ini akan dinilai tingkat tanggung
jawabnya melalui penerapan 13 kriteria unit penangkapan ikan yang bertanggung
jawab (Sondita 2012). Manfaat informasi tentang tingkat tanggung jawab ini di
antaranya adalah untuk menentukan jenis teknologi penangkapan ikan yang akan
dikembangkan di suatu kawasan.
Penelitian ini melakukan kajian terhadap unit-unit penangkapan ikan di
Kabupaten Kapuas sebagai salah satu upaya membantu Pemerintah Daerah
setempat mengembangan perikanan tangkap. Topik penelitian ini sangat tepat
karena sesuai dengan trend akibat kebijakan pengembangan perikanan tangkap
yang memprioritaskan penerapan teknologi penangkapan ikan yang bertanggung
jawab yang bertujuan memanfaatkan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:


1. Menentukan status teknologi penangkapan ikan yang diterapkan nelayan
Kabupaten Kapuas dari segi kriteria perikanan bertanggung jawab.
2. Menentukan strategi perbaikan perikanan tangkap di Kabupaten Kapuas
berdasarkan status teknologi penangkapan ikan.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi untuk 2 kepentingan, yaitu bagi
ilmu pengetahuan dan bagi pengelola perikanan setempat. Bagi ilmu pengetahuan
perikanan tangkap, penelitian ini menyajikan informasi tentang penerapan
sejumlah kriteria untuk menilai status unit penangkapan ikan. Bagi pengelola
perikanan, penelitian ini menghasilkan informasi yang dapat dipertimbangkan
mereka dalam mengembangkan perikanan tangkap yang bertujuan untuk
mensejahterakan masyarakat dengan memastikan terwujudnya kelestarian
sumberdaya ikan yang menjadi andalan hidup mereka sehingga kegiatan yang
3

menjadi mata pencahariannya juga dapat terus berlanjut. Informasi tersebut


berupa aspek-aspek teknis yang perlu diperbaiki.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan


dan penelitian utama. Kegiatan penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan
Januari 2013 untuk mengumpulkan informasi awal terkait kondisi perikanan
Kalimantan Tengah secara umum dan kondisi Kabupaten Kapuas secara khusus.
Penelitian pendahuluan ini dilakukan di kampus IPB dengan mempelajari buku-
buku terkait keberlanjutan perikanan atau tingkat keramahan unit penangkapan
ikan. Penelitian pendahuluan juga mencakup kunjungan lapangan di Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah, pada bulan Januari 2013.
Penelitian utama dilaksanakan pada pertengahan Juli 2013 hingga akhir
Agustus 2013 untuk mengumpulkan data yang diperlukan di Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah, tepatnya di Kecamatan Kapuas Kuala (Gambar 1).

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Kapuas 2010


Gambar 1 Peta desa-desa pesisir di Kecamatan Kapuas Kuala, Kabupaten Kapuas
4

Alat dan Objek Penelitian

Alat yang digunakan adalah alat tulis kantor, peralatan dokumentasi seperti
kamera, fasilitas kerja seperti laptop. Obyek penelitian adalah unit penangkapan
ikan di perairan laut dan sungai. Adapun unit penangkapan ikan di laut adalah
lampara, sungkur, rengge dan rawai, sedangkan unit penangkapan ikan di sungai
adalah rengge, rawai, togo dan rakkang.

Lampara

Lampara yang berada di wilayah perairan Kabupaten Kapuas adalah


lampara dasar. Lampara dasar termasuk jenis trawl dasar perairan/bottom trawl
(dragged gear) yang digunakan untuk menangkap udang sebagai hasil tangkapan
utama.
Lampara dasar merupakan modifikasi dari lampara permukaan, pukat pantai
dan dogol. Secara garis besar, bangun tubuh lampara dasar terbagi menjadi dua
bagian utama yaitu bagian sayap (kiri dan kanan) dan bagian kantong (Gambar 3).
Ukuran mata jaring dibagian depan 1 inci dan bagian belakang ¾ inci. Kapal yang
digunakan adalah tipe balapan berukuran panjang 10 m dan lebar 2 m (Bobot ≤ 3
GT) dengan mesin dumping kapasitas 40 PK (dua buah mesin masing-masing 20
PK). Hasil tangkapan utama adalah udang dan cumi-cumi (Diskanlut 2008).
Penggunaan lampara di wilayah Kabupaten Kapuas hanya digunakan di
desa Batanjung. Alat tangkap ini beroperasi dengan cara menyapu dasar perairan
sehingga dinilai dapat merusak lingkungan perairan.

Gambar 2 Lampara untuk menangkap ikan dasar di laut


5

Sungkur

Jaring sudu di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah disebut


“sungkur”yaitu suatu jenis alat tangkap untuk menangkap ikan yang dioperasikan
dengan perahu dan tenaga manusia (Murdiyanto 1999).
Sungkur (push net) adalah alat tangkap dengan bukaan mulut menyilang
membentuk segitiga dengan sebuah kantong dibelakang (Gambar 4). Alat tangkap
berbentuk serok ini memiliki lebar hingga 2 meter lebih dan panjang hingga 7
meter, serta terdapat 2 ukuran mata jaring yaitu 0,75” untuk menangkap udang-
udang kecil (ebi) dan 1,25” untuk menangkap udang windu. Mulut sungkur
berbentuk segitiga yang kedua sisinya diperkuat potongan bambu bulat yang
menyilang sedangkan bagian dasarnya tidak berkerangka. Sungkur dioperasikan
menggunakan perahu klotok di perairan pantai yang dangkal (1–1,5 m) dan tidak
bergelombang. Kapal yang digunakan tipe hawaian berbobot ≤ 2 GT (panjang 11
m dan lebar 1,5 m). Kapasitas mesin kapal 20 PK. Hasil tangkapan utama adalah
udang (Diskanlut 2008).
Penggunaan sungkur di wilayah Kabupaten Kapuas hanya digunakan di
desa Palampai. Alat tangkap ini beroperasi dengan cara diseret sehingga menyapu
perairan.

Gambar 3 Sungkur untuk menangkap udang di laut

Rengge/Jaring Insang/Gillnet Dasar Laut

Jaring insang yang terkenal dengan nama “rengge” di Kalimantan Tengah


merupakan alat tangkap yang bersifat pasif.
Rengge (bottom gillnet) ini memiliki mata jaring 2,5 – 3 inci (Gambar 5).
Bahan jaring atau webbing terbuat dari benang nylon. Nelayan di Kabupaten
Kapuas biasanya mengoperasikan rengge 30 – 40 pis dalam 1 kapal.
Hasil tangkapan utama adalah manangin dan puput. Pengoperasian biasanya
dilakukan selama 6 jam dengan cara membiarkan hingga ikan terjerat dalam
mata jaring.
6

Gambar 4 Rengge yang dioperasikan di dasar laut

Rengge/Jaring Insang/Gillnet Permukaan Sungai

Rengge (surface gillnet) yang digunakan merupakan rengge satu lapis


dengan bentuk persegi panjang dan mempunyai ukuran mata jaring (mesh size)
yang disesuaikan dengan hasil tangkapan target.
Menurut Nomura (1981), bagian-bagian utama jaring insang permukaan
terdiri dari pelampung, badan jaring, tali ris atas, tali ris bawah dan tali pemberat
(Gambar 6).
Alat tangkap yang dioperasikan dengan kapal berukuran 1-3 GT ini biasanya
dioperasikan di wilayah sekitar desa Sei Teras dikarenakan desa ini dekat dengan
perairan sungai dibandingkan desa lainnya. Hasil tangkapan utama adalah papuyu,
sapat dan balanak.

Gambar 5 Rengge yang dioperasikan di lapisan permukaan sungai


7

Rawai

Rawai datar atau horizontal long line yang dioperasikan di perairan laut dan
sungai di kabupaten Kapuas memiliki jenis yang sama. Ukuran mata pancing yang
digunakan adalah no. 7. Satu set pancing rawai terdiri atas 300 - 600 mata pancing
(Gambar 7). Rawai dioperasikan dengan kapal tipe hawaian berukuran ≤ 2 GT,
panjang 7 - 8 m, lebar 1,5 m dan berkapasitas mesin 20 PK (Diskanlut 2008)
Hasil tangkapan adalah otek, aluh-aluh, patin laut dan sembilang. Lama
pengoperasian sama seperti rengge yaitu 6 jam karena alat tangkap pancing rawai
bagi nelayan sampai saat ini merupakan alat tangkap tambahan yang akan
dioperasikan bila hasil tangkapan dari rengge kurang menguntungkan

Mata Pancing
(hooks)

Tali cabang
(branch line)

Tali utama
(main line)

Gambar 6 Rawai untuk menangkap ikan di perairan sungai dan laut

Rakkang

Rakkang (Crab lift and stake dip net) adalah alat tangkap yang digunakan
khusus menangkap kepiting. Alat tangkap ini terdiri dari tongkat yang terbuat dari
kayu galam sebagai tongkat yang berfungsi untuk menancapkan rakkang ke dasar
perairan, jaring rakkang yang terbuat dari bahan nilon monopilamen dan kawat
anyam, bilah besi. Bentuk rakkang seperti silinder (Rusmilyansari et al. 2006).
Menurut Anshori (2001) rakkang merupang alat penangkap kepiting yang
efektif tanpa merusak anggota badan kepiting. Rakkang bersifat pasif dan
tradisional, umumnya digunakan oleh masyarakat nelayan yang kawasan
pesisirnya terdapat hutan mangrove dan banyak muara sungai (Gambar 8).
Pengoperasian dilakukan dengan cara mendiamkan selama lima belas (15) jam,
yang biasanya dipasang pada sore hari pukul 15.00 WIB dan pengangkatan pukul
06.00 WIB
8

Gambar 7 Rakkang untuk menangkap kepiting

Togo

Togo adalah alat tangkap bersifat pasif yang diklasifikasikan ke dalam


kelompok perangkap dan penghadang (trap). Alat tangkap ini berupa badan jaring
berbentuk kerucut yang lengan-lengannya diikatkan pada 2 tiang (Gambar 9).
Tiang togo dipancang di laut pada kedalaman 2 m. Ukuran mata jaring depan 1
inch dan belakang ¾ inch. Alat tangkap ini ditujukan untuk menangkap udang-
udangan, patin laut, kakap dan otek (Diskanlut 2008).
Kapal atau perahu pada alat tangkap ini hanya digunakan sebagai
transportasi untuk ke daerah fishing ground. Kapal yang digunakan di perairan
Kabupaten Kapuas rata-rata berukuran 3 GT bertipe hawaian dengan mesin 20
PK. Dalam pengoperasiannya tidak digunakan alat bantu maupun umpan. Waktu
operasi siang dan malam hari selama 16 jam (Diskanlut 2008).
Metode pengoperasian dari togo adalah mengusahakan ikan untuk
memasuki jaring dari arah datangnya arus air. Jadi dengan cara demikian, togo
harus disesuaikan dengan arah datangnya arus air (Subani dan Barus 1989).

Gambar 8 Togo untuk menangkap ikan di kawasan pasang surut


9

Metode Pengambilan Data

Kerangka penelitian (Gambar 2) disesuaikan dengan tujuan dari penelitian


dan metode yang akan diterapkan, yaitu multi criteria analysis. Data yang
dibutuhkan untuk keperluan penelitian meliputi data alat tangkap, armada
penangkapan, hasil tangkapan, lokasi penangkapan dan informasi lainnya yang
menunjang kegiatan penelitian. Data tersebut diperoleh dari wawancara, observasi
langsung di lapangan dan informasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Kapuas serta berbagai tulisan melalui penelusuran pustaka (studi pustaka),
lembaga-lembaga pemerintah dan instansi terkait.
Jenis data yang dikumpulkan ditentukan dengan menjabarkan indikator
yang sesuai dengan setiap kriteria perikanan tangkap yang bertanggung jawab.
Ada 14 kriteria teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan (Purbayanto
et al. 2010). Kriteria tersebut dibahas dalam perkuliahan PSP513 Teknologi
Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan diasuh oleh Dr Ir M. Fedi A. Sondita, MSc
dan kawan-kawan di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Namun pada penelitian
ini, peneliti melakukan dua perubahan, yaitu: (1) perubahan judul kriteria dari
teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan menjadi teknologi
penangkapan ikan yang bertanggung jawab dan (2) mengurangi 1 kriteria
sehingga menjadi 13 kriteria. Perubahan judul dilakukan mengacu pada Code of
Conduct Responsible Fisheries (CCRF), sedangkan pengurangan satu kriteria
disebabkan kriteria tersebut (kriteria 8 yaitu ikan yang tertangkap legal) dianggap
telah termasuk dalam kriteria lain (kriteria nomor 7, yaitu selektif: ikan yang
tertangkap seragam, legal atau proper size). Berikut ini adalah tiga belas kriteria
teknologi penangkapan ikan yang bertanggung jawab:
1. Nelayan terlatih, memahami dan menerapkan konsep efisiensi dan konservasi
2. Tidak membahayakan nelayan dan orang lain di laut
3. Sesuai dengan peraturan
4. Hemat energi
5. Tidak menghasilkan polusi
6. Terbuat dari bahan yang pengadaannya tidak merusak lingkungan atau
ekosistem yang dilindungi
7. Selektif: Ikan yang tertangkap seragam, legal atau proper size
8. Low potential of ghost fishing
9. Memanfaatkan ikan secara maksimum
10. Menjamin survival dari ikan dan biota laut yang dikembalikan ke laut
(discards)
11. Tidak menangkap jenis yang dilindungi/biodiversity
12. Tidak merusak lingkungan perairan dan habitat
13. Tidak menimbulkan konflik dengan kegiatan lainnya
10

Teknologi
Penangkapan Ikan

Rengge Lampara Sungkur Rawai Rengge Togo Rakkang Rawai


di di
di Laut di Laut di Laut di Laut di Sungai di Sungai
Sungai Sungai

Analisis teknologi penangkapan ikan


bertanggung jawab

13 kriteria teknologi penangkapan ikan


13 Indikator
bertanggung jawab

Sub-indikator disesuaikan
dengan kebutuhan

Kategori

Status teknologi penangkapan


Strategi perbaikan perikanan
ikan dari segi kriteria
tangkap berdasarkan status
perikanan bertanggung jawab
teknologi penangkapan ikan
terhadap lingkungan

Gambar 9 Kerangka pemikiran pendekatan penelitian


11

Peneliti kemudian menyusun indikator-indikator dari setiap kriteria


perikanan bertanggung jawab tersebut karena hingga saat ini belum ada yang
menyusunnya secara lengkap. Setiap indikator selanjutnya dijabarkan dengan
sejumlah sub indikator. Jumlah sub indikator disesuaikan dengan kebutuhan
(Tabel 1).

Tabel 1 Indikator yang dikembangkan untuk menilai teknologi penangkapan ikan


Kriteria Perikanan
No. Indikator Sub-Indikator
Bertanggung jawab
1 Nelayan terlatih, Kompetensi Tingkat Terlatih
memahami dan nelayan (X1) a) Lama Pengalaman
menerapkan konsep Kerja
efisiensi dan konservasi b) Intensitas Pelatihan
Tingkat pemahamam dan
penerapan konsep
efesiensi
a) Paham
b) Penerapan
Tingkat pemahamam dan
penerapan konsep
konservasi
a) Paham
b) Penerapan
2 Tidak membahayakan Keselamatan di laut Keselamatan ABK
nelayan dan orang lain di (X2) Keselamatan Kasko
laut Keselamatan Mesin
Keselamatan Alat
Penangkapan Ikan
3 Sesuai dengan peraturan Kepatuhan Jalur penangkapan
terhadap peraturan Alat tangkap
(X3)
4 Hemat energi Konsumsi bahan Jumlah bahan bakar
bakar kapal (X4) yang dipakai
Penggunaan angin
sebagai tenaga
penggerak kapal ikan
5 Tidak menghasilkan Kuantitas bahan Jumlah polutan udara
polusi pencemar (X5) Jumlah polutan cair
6 Terbuat dari bahan yang Bahan pembuatan
pengadaannya tidak alat penangkapan Penggunaan bahan alami
merusak lingkungan atau ikan (X6)
ekosistem yang Penggunaan bahan
dilindungi buatan
7 Selektif: Ikan yang Komposisi ikan Keragaman ikan yang
tertangkap seragam, legal yang tertangkap ditangkap
atau proper size (X7) Jumlah ikan yang
12

Kriteria Perikanan
No. Indikator Sub-Indikator
Bertanggung jawab
memiliki legal atau
proper size
Proporsi jenis ikan
sasaran (target species)
8 Low potential of ghost Tingkat kerawanan (tidak ada)
fishing suatu alat tangkap
(X8)
9 Memanfaatkan ikan Proporsi hasil (tidak ada)
secara maksimum tangkapan yang
dimanfaatkan (X9)
10 Menjamin survival dari Perlakuan pada (tidak ada)
ikan dan biota laut yang ikan dan biota laut
dikembalikan ke laut yang dikembalikan
(discards) ke laut (X10)
11 Tidak menangkap jenis Kasus (tidak ada)
yang dilindungi/ tertangkapnya jenis
biodiversity biota yang
dilindungi (X11)
12 Tidak merusak Potensi terjadi (tidak ada)
lingkungan perairan dan kerusakan
habitat lingkungan
perairan dan habitat
(X12)
13 Tidak menimbulkan Kejadian atau (tidak ada)
konflik dengan kegiatan potensi konflik
lainnya (X13)

Sebagai contoh, untuk indikator keselamatan di laut (X2) diterangkan oleh 4


sub-indikator, yaitu: (1) Keselamatan ABK, (2) Keselamatan kasko, (3)
Keselamatan mesin dan (4) Keselamatan alat penangkapan ikan. Sub indikator
terkait dengan kriteria perikanan bertanggung jawab disajikan pada Lampiran 1.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yaitu
metode pengumpulan data dengan mengambil sebagian objek populasi tetapi
dapat mencerminkan populasi (BPS 2014). Informasi tentang suatu unit
penangkapan ikan diperoleh dari responden yang memiliki pengetahuan cukup
tentang unit penangkapan tersebut. Tidak terdapat metode dalam pemilihan
responden dikarenakan situasi saat penelitian yang tidak mendukung. Jumlah
responden sumber informasi untuk setiap alat tangkap adalah 5 orang dengan total
responden 24 orang dimana 1 responden dapat mewakili beberapa jenis alat
penangkapan ikan (Tabel 2).
13

Tabel 2 Jumlah responden untuk 8 jenis unit penangkapan ikan di lima desa di
Kabupaten Kapuas
Unit Penangkapan Ikan
Desa
Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8
Sei Teras - - - - - 3 4 -
Palampai - 4 3 3 3 2 - 5
Pematang - - - - - - 1 -
Camara Labat - 1 1 1 1 - - -
Batanjung 5 - 1 1 1 - - -
Total 5 5 5 5 5 5 5 5

Keterangan:
Y1 : Lampara; Y2 : Sungkur; Y3 : Rengge Laut; Y4 : Rawai Laut; Y5 : Rawai
Sungai; Y6 : Rengge Sungai; Y7 : Togo; Y8 : Rakkang

Analisis Data

Indikator-indikator yang dikembangkan oleh peneliti dalam penelitian ini,


indikator nomor 1 sampai 7 menggunakan sub-indikator sedangkan indikator
nomor 8 sampai 13 tidak dijelaskan dengan sub indikator. Indikator yang
menggunakan sub indikator, data yang diperoleh kemudian dikonversi menjadi
data ordinal. Data ordinal lima responden pada tiap sub indikator dihitung rata-
ratanya. Nilai rata-rata yang diperoleh tiap sub indikator kemudian dijumlahkan.
Total nilai sub indikator akan menentukan kategori suatu unit penangkapan ikan;
setiap kategori tersebut memiliki kriteria berupa kisaran total nilai sub indikator.
Skor suatu indikator ditentukan berdasarkan kategori yang diperoleh. Berikut
adalah metode cara menilai skor setiap indikator yang dirumuskan oleh peneliti.

Indikator ke-1:

 ( )+ ( )
 ( )+ ( )
 ( )+ ( )

A adalah tingkat pelatihan, B adalah tingkat pemahaman dan penerapan konsep


efesiensi, C adalah tingkat pemahaman dan penerapan konsep konservasi
14

Indikator ke-2

 ( )
 ( )
 ( )
 ( )

A adalah keselamatan ABK, B adalah keselamatan kasko, C adalah keselamatan


mesin, D adalah keselamatan alat penangkapan ikan

Indikator ke-3 hingga ke-6

 ( )
 ( )

Indikator ke-7

 ( )
 ( )
 ( )

A adalah tingkat keseragaman, B adalah tingkat legal atau proper size, C adalah
target spesies

Indikator ke-8 hingga ke-13

 ( )

Indikator ke 8 s.d. 13 tidak memiliki sub-indikator.

Keterangan:
n : Nelayan atau responden
x : Sub indikator
X : Indikator

Hasil analisis data menunjukkan jenis unit penangkapan ikan terbaik pada
setiap kategori, yaitu kategori terbaik untuk alat tangkap bersifat aktif, bersifat
15

pasif, yang dioperasikan di sungai, di laut dan secara keseluruhan di Kabupaten


Kapuas.
Strategi perbaikan unit penangkapan ikan ditentukan untuk memperbaiki
indikator yang bernilai rendah. Strategi ini merupakan rekomendasi perbaikan
yang difokuskan pada indikator-indikator terburuk sehingga unit penangkapan
ikan tersebut akan semakin memenuhi kriteria ideal bertanggung jawab.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Penilaian teknologi penangkapan ikan dilakukan agar pengembangannya


dapat mewujudkan perikanan tangkap semakin bertanggung jawab. Penilaian
terbaik dilakukan berdasarkan tiap indikator, sifat aktif dan pasif, terbaik di
perairan sungai, terbaik di perairan laut dan terbaik secara umum.

Skor setiap indikator teknologi penangkapan ikan bertanggung jawab

Pengolahan data menghasilkan sebuah nilai yang menentukan skornya.


Terdapat 3 skor tiap indikator yaitu 1, 2 dan 3; nilai 3 berarti baik, nilai 2 berarti
tergolong cukup dan nilai 1 tergolong tidak baik (Tabel 3). Semakin tinggi skor
suatu indikator berarti unit penangkapan ikan memiliki ciri yang semakin
mendekati suatu kriteria ideal.

1. Indikator 1 : X1 = 2
Setiap jenis unit penangkapan yang diteliti dioperasikan oleh
nelayan yang cukup terlatih, memahami dan menerapkan konsep
efisiensi dan konservasi. Sebagian besar nelayan di Kabupaten
Kapuas memiliki pengalaman kerja rata-rata lebih dari 5 tahun
dan tingginya minat serta keaktifan nelayan dalam mengikuti
program pelatihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
Awalnya peneliti ingin mengukur indikator X1 dengan
membandingkan jumlah program yang telah diselenggarakan
dengan jumlah program yang pernah diikuti nelayan, namun
karena kesulitan dalam memperoleh data dan mendapatkan
keterangan maka penilaian dilakukan dengan mengandalkan
keterangan nelayan. Kurangnya pemahaman tentang konsep
efesiensi dan konservasi juga merupakan suatu hambatan dalam
melaksanakan pengelolaan perikanan secara bertanggung jawab.
16

2. Indikator 2 : X2 = 2
Berdasarkan aspek-aspek keselamatan anak buah kapal (ABK),
keselamatan kasko, keselamatan mesin dan keselamatan alat
penangkapan ikan, unit penangkapan ikan yang diteliti agak
membahayakan nelayan dan orang lain di perairan laut dan
sungai. Seluruh unit penangkapan ikan yang diteliti tidak
menyediakan fasilitas keselamatan di atas kapal (lihat hasil
perhitungan di Lampiran 2). Tampaknya hal ini disebabkan
nelayan pada umumnya menganggap kelengkapan fasilitas
keselamatan tersebut tidak terlalu penting karena semua nelayan
memiliki kemampuan renang. Pengabaian terhadap fasilitas
keselamatan sangat berbahaya pada lingkungan kerja di atas air
mengingat kecelakaan laut dapat terjadi sewaktu-waktu atau tak
terduga. Temuan ini menyimpulkan bahwa evaluasi terhadap
indikator keselamatan pada kapal-kapal ikan harus dilaksanakan
untuk untuk menjamin keselamatan nelayan maupun orang lain
di laut dari risiko kecelakaan.
3. Indikator 3 : X3 = 3 (Rengge laut, rengge sungai, rawai laut, rawai sungai dan
rakkang) dan X3 = 2 (lampara, sungkur dan togo)
Operasi penangkapan ikan di perairan wilayah ini bersifat harian
dengan lokasi tangkap (fishing ground) paling jauh ± 12 mil dari
garis pantai. Seluruh alat penangkapan ikan selalu dioperasikan
pada alur penangkapan yang sesuai. Sub indikator alat tangkap,
lampara, sungkur dan togo tergolong agak sesuai. Hal ini
dikarenakan lampara dasar yang digunakan lebih condong
seperti trawl, sehingga walaupun desainnya sesuai standar tetap
dianggap kurang sesuai peraturan. Alat tangkap sungkur
merupakan modifikasi dari alat tangkap seser (push net)
sehingga digolongkan agak sesuai peraturan. Togo merupakan
modifikasi dari alat tangkap udang/ikan tergolong agak sesuai
karena fungsinya tetap untuk menangkap udang dan ikan.
Kekurangsesuaian alat tangkap tidak menjadi hambatan
dikarenakan pemanfaatannya masih sesuai dengan tujuan hasil
tangkapannya.
4. Indikator 4 : X4 = 2 kecuali lampara dan rawai (skor 1)
Pemakaian bahan bakar secara standar menurut Nomura (1975)
ialah 0.02 kg/hp/jam. Peneliti tidak dapat melakukan
pengukuran secara kuantitatif disebabkan penggunaan bahan
bakar di Kabupaten Kapuas yang merupakan minyak campuran.
Penggunaan bahan bakar campuran tentu menyebabkan mesin
menjadi cepat rusak dan tidak hemat energi (Suara Merdeka
2003), sehingga peneliti hanya melakukan pengamatan terhadap
tiap unit penangkapan ikan berdasarkan jumlah bahan bakar
serta campuran bahan bakar yang digunakan.
Lampara dan rawai sungai tergolong sangat boros bahan bakar
dikarenakan mesin yang digunakan adalah mesin dumping
dengan bahan bakar campuran berupa bensin, solar, oli pelumas,
minyak tanah dan minyak goreng. Tingkat hemat energi yang
17

Tabel 3. Skor setiap indikator unit penangkapan ikan di perairan Kabupaten Kapuas

Alat Tangkap
Indikator Lampara Sungkur Rengge Rawai Rawai Rengge Togo Rakkang Rata-rata
(Y1) (Y2) Laut (Y3) Laut (Y4) Sungai (Y5) Sungai (Y6) (Y7) (Y8)
X1 2 2 2 2 2 2 2 2 2,0
X2 2 2 2 2 2 2 2 2 2,0
X3 2 2 3 3 3 3 2 3 2,6
X4 1 2 2 2 2 2 2 2 1,9
X5 1 2 2 2 2 2 2 2 1,9
X6 3 3 3 3 3 3 3 3 3,0
X7 2 3 2 2 2 3 3 3 2,5
X8 3 3 3 3 3 3 3 2 2,9
X9 3 3 2 3 3 3 3 3 2,9
X10 1 1 1 1 1 1 1 1 1,0
X11 3 3 3 3 3 3 3 3 3,0
X12 1 2 3 3 3 3 3 3 2,6
X13 2 3 3 3 3 3 3 3 2,9
Total 26 31 31 32 32 33 32 32 31,1

Keterangan:
X1 : Indikator 1; X2 : Indikator 2; ............ Xn : Indikator n
Y1 : Lampara; Y2 : Sungkur; Y3 : Rengge Laut; Y4 : Rawai Laut; Y5 : Rawai Sungai; Y6 : Rengge Sungai; Y7 : Togo; Y8 : Rakkang
18

rendah dapat ditingkatkan melalui penggantian mesin kapal


yang lama dan pemakaian bahan bakar secara konsisten yang
berarti penggunaan bahan bakar yang sama tanpa
pencampuran yang tentunya menyebabkan boros bahan bakar
dan cepat merusak mesin. Sulitnya mendapat bahan bakar
merupakan masalah yang sudah biasa di wilayah pesisir ini,
sehingga perlu adanya dukungan dari pemerintah berupa
pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) di
beberapa titik penting wilayah desa pesisir. Perlu
diperhatikan juga bahwa penggunaan alat tangkap akan
menjadi boros bergantung juga pada jarak daerah asal
(fishing base) ke daerah penangkapan (fishing ground), jenis
kapal, jenis mesin dan jenis bahan bakar yang digunakan,
sehingga perlu disesuaikan alat tangkap yang akan menjadi
tepat di suatu daerah pesisir.
5. Indikator 5 : X5 = 2 kecuali lampara (skor 1)
Hasil yang diperoleh pada sub indikator polusi cair adalah
seluruh teknologi penangkapan ikan berada pada skor 3 yaitu
terjadi pencemaran air yang rendah di perairan laut dan
sungai. Semulanya berdasarkan kesaksian masyarakat sekitar
pada tahun 1960-an sungai masih cukup jernih, namun akibat
terjadinya abrasi tanah yang tergeruk membuat perairan
menjadi sangat kotor dan sedikit mengurangi populasi ikan.
Pengamatan pada sub indikator polusi udara dilakukan
terhadap umur mesin, jenis mesin, jarak tempuh dan periode
servis. Berdasarkan umur mesin penggerak kapal, dapat
diasumsikan bahwa semakin tua mesin kapal dan semakin
besar jarak tempuh berarti semakin tinggi polusi yang
disumbangkan ke lingkungan jika servis tidak dilakukan
secara rutin (Lupita 2013). Di lokasi penelitian, polusi udara
yang disebabkan rengge sungai permukaan dan togo
tergolong rendah karena unit-unit penangkapan ikan ini
dilengkapi dengan kapal dan mesin baru dari sumbangan dari
pemerintah. Perbaikan mesin dilakukan oleh nelayan itu
sendiri, penggantian mesin sangat jarang dilakukan karena
harganya yang mahal. Selain perbaikan mesin secara berkala,
perlu juga adanya bantuan dari pemerintah dalam pemberian
mesin baru kepada nelayan yang tentunya disesuaikan dengan
kebutuhan.
6. Indikator 6 : X6 = 3
Penggunaan jumlah bahan alam yang sedikit seperti bambu
pada sungkur, kayu galam pada rakkang dan tongkat kayu
pada togo dianggap tidak merusak.
7. Indikator 7 : X7 = 3 (sungkur, rengge sungai permukaan, togo dan
rakkang ) dan X7 = 2 (lampara, rengge laut dasar, rawai laut
dan rawai sungai)
Ikan yang tertangkap oleh sungkur, rengge sungai
permukaan, togo dan rakkang seragam, legal atau proper size,
19

sedangkan pada alat tangkap lampara, rengge laut dasar,


rawai laut dan rawai sungai tergolong cukup. Peneliti tidak
melakukan pengukuran terhadap ukuran ikan secara
terperinci pada penelitian ini, sehingga peneliti melakukan
pengamatan secara langsung dan wawancara dengan nelayan.
Tingkat keseragaman dan kelegalan erat kaitannya dalam
menjaga kelestarian sumberdaya secara berkelanjutan.
Keseragaman baiknya disesuaikan dengan ukuran yang
ditetapkan artinya telah memenuhi kiteria telah matang gonad
atau LM (length at first maturity).
8. Indikator 8 : X8 = 3 kecuali rakkang (skor 2)
Seluruh unit penangkapan ikan memiliki potensi rendah
terjadinya “ghost fishing” kecuali rakkang. Menurut
informasi yang diperoleh dari nelayan, rakkang tergolong
memiliki potensi cukup tinggi terjadinya “ghost fishing”.
Pengoperasian rakkang yang dilakukan dengan cara
mendiamkan selama lima belas (15) jam dan meninggalkan
alat tangkap diperairan merupakan penyebab mudahnya
hilang alat tangkap ini jika dibandingkan dengan alat tangkap
lainnya. Pemberian tagging perlu diperhatikan apakah
tagging dapat berfungsi optimal, sehingga pemberian tagging
yang tepat dan secara benar sangat diperlukan
9. Indikator 9 : X9 = 3 kecuali rengge laut dasar (skor 2).
Seluruh unit penangkapan ikan memanfaatkan hasil
tangkapan secara maksimum kecuali rengge laut dasar.
Pengoperasian rengge laut yang berada di dasar perairan
menyebabkan tertangkapnya berbagai jenis hasil tangkapan,
sehingga hasil tangkapan yang tidak sesuai target dan
dianggap kurang menguntungkan akan dibuang serta tidak
dimanfaatkan. Indikator ini berhubungan dengan indikator
menjamin survival dari ikan dan biota laut yang
dikembalikan ke laut (discards) dimana seluruh alat tangkap
berada pada skor 1 (indikator 10). Tanggung jawab mengenai
keberlangsungan hidup ikan tidak hanya oleh nelayan tetapi
juga masyarakat. Permintaan konsumen adalah salah satu
faktor penyebab tersedianya ikan kecil oleh nelayan,
sehingga sangat penting untuk memberikan pendidikan
kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai ukuran
konsumsi ikan untuk menjaga keberlangsungan hidup ikan
secara berkelanjutan serta pentingnya perairan bagi
kehidupan masyarakat.
10. Indikator 10 : X10 = 1
Ikan dan biota laut yang tidak layak tangkap dikembalikan ke
laut tidak dijamin keberlangsungan hidupnya oleh seluruh
unit penangkapan ikan. Nelayan di wilayah perairan ini
memiliki pandangan yang sama mengenai keberlangsungan
hidup ikan. Alasan tidak dijaminnya hidup ikan adalah karena
hampir sebagian besar hasil tangkapan yang tertangkap mati
20

setelah didaratkan di atas kapal. Kurangnya informasi


mengenai pentingnya menjaga kelangsungan hidup ikan
menyebabkan kurang dihargainya biota perairan.
11. Indikator 11 : X11 = 3
Seluruh unit penangkapan ikan dalam pengoperasiannya
tidak pernah menangkap jenis biota yang
dilindungi/biodiversity. Tidak ada jenis yang dilindungi pada
perairan laut di Kabupaten Kapuas, sedangkan untuk perairan
sungai jenis yang dilindungi adalah arwana (Scleropages
formosus ) dan labi-labi (Pelodiscus sinensis).
12. Indikator 12 : X12 = 3 kecuali sungkur (skor 2) dan lampara (skor 1).
Metode dan operasi penangkapan ikan pada alat tangkap
lampara tergolong sangat merusak lingkungan perairan dan
habitat dikarenakan dalam pengoperasiannya seluruh isi
perairan yang tersapu akan masuk kedalam kantung sehingga
sangat merusak habitat perairan. Beda halnya dengan lampara,
sungkur yang dioperasikan dengan cara yang sama tergolong
cukup merusak lingkungan perairan dan habitat.
13. Indikator 13 : X13 = 3 kecuali lampara (skor 2)
Seluruh unit penangkapan ikan tidak menimbulkan konflik
dengan kegiatan lainnya kecuali lampara. Lampara termasuk
cukup menimbulkan konflik dengan kegiatan lainnya
dikarenakan pengoperasiannya yang menyapu dasar perairan
sehingga banyak hasil tangkapan tertangkap dan mengurangi
jumlah hasil tangkapan alat tangkap sungkur. Konflik kecil
yang tejadi tetap perlu diwaspadai agar tidak menjadi besar
kedepannya, sehingga perlunya pembagian wilayah
penangkapan yang lebih jelas dan tidak berdekatan satu sama
lainnya.

Teknologi penangkapan ikan bertanggung jawab berdasarkan sifat aktif,


pasif dan secara umum

Menurut cara mengoperasikannya dalam mendekati ikan yang menjadi


sasaran penangkapan ikan, alat penangkapan ikan dapat dibedakan menjadi 2
jenis, yaitu alat tangkap aktif dan alat tangkap pasif. Alat yang bersifat aktif
adalah lampara dan sungkur, sedangkan alat yang bersifat pasif adalah rengge,
rawai, togo dan rakkang. Menurut lokasi tempat dioperasikan, unit penangkapan
ikan di Kabupaten Kapuas dibagi menjadi tiga yaitu aktif di laut, pasif di laut dan
pasif di sungai (tidak terdapat unit penangkapan ikan aktif di sungai Kabupaten
Kapuas dalam penelitian). Berikut unit penangkapan terbaik.
1. Unit penangkapan ikan bersifat aktif yang terbaik di laut adalah sungkur.
Alat ini mendapatkan skor sebesar 31 sedangkan skor untuk lampara ialah 26.
Kedua alat penangkapan ikan ini memiliki persamaan, yaitu dioperasikan
dengan cara menyapu dasar perairan. Jika dibandingkan dengan lampara,
sungkur sebagai teknologi penangkapan ikan terbaik yang bersifat aktif dilaut
memiliki lima nilai yang berada diatas lampara yaitu konsumsi bahan bakar
21

kapal atau perahu (X4), kuantitas bahan pencemar (X5), komposisi ikan yang
tertangkap (X7), potensi terjadi kerusakan lingkungan perairan dan habitat
(X12) dan kejadian atau potensi konflik (X13)
2. Unit penangkapan ikan bersifat pasif yang terbaik di laut adalah rawai laut
dengan total nilai 32.
3. Unit penangkapan ikan bersifat pasif yang terbaik di sungai adalah rengge
sungai permukaan dengan total nilai 33.
Secara umum, teknologi penangkapan ikan yang paling bertanggung jawab
di laut adalah rawai laut dengan total nilai yaitu 31, sedangkan yang paling
bertanggung jawab di sungai adalah rengge sungai permukaan dengan total nilai
33. Dari kedelapan alat tangkap, rengge sungai permukaan adalah alat tangkap
terbaik di Kabupaten Kapuas.
Rengge sungai permukaan merupakan alat tangkap dominan di desa Sei
Teras. Perlu diperhatikan bahwa tiap daerah memiliki alat tangkap dominan.
Penggunaan alat tangkap didaerah tertentu mempengaruhi hasil penetapan
teknologi penangkapan ikan yang terbaik, sehingga diharapkan perhatian pada
setiap strategi perbaikan seluruh indikator.

Pembahasan

Analisis kuantitatif di atas menghasilkan status untuk setiap jenis unit


penangkapan ikan yang diteliti di Kabupaten Kapuas. Pembahasan terhadap hasil
penelitian tersebut akan difokuskan pada kondisi umum, indikator-indikator yang
memiliki skor terendah, serta jenis unit penangkapan ikan yang memiliki skor
terendah.
Secara sederhana, tiap orang ingin mendapatkan keuntungan sebesar-
besarnya, hal ini juga berlaku dalam kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten
Kapuas. Semakin banyak hasil tangkapan maka semakin tinggi keuntungan yang
diperoleh, jika harga ikan per satuan berat atau per ekor tidak berubah atau
konstan (Soekartawi 1994). Beberapa nelayan menggunakan berbagai cara untuk
memperoleh keuntungan besar sehingga seringkali cara-cara yang diterapkan
mengabaikan pemikiran pentingnya menjaga lingkungan dan kelestarian sumber
daya ikan.
Dilihat dari 13 indikator yang dipakai untuk menentukan tingkat keramahan
terhadap lingkungan, perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan-nelayan
Kabupaten Kapuas secara umum tergolong baik. Status baik ini ditunjukkan oleh
5 indikator yang memiliki skor dengan nilai rata-rata mendekati atau sama dengan
3 (Tabel 3). Kelima indikator tersebut adalah bahan pembuatan alat penangkapan
ikan (X6), tingkat kerawanan suatu alat tangkap (X8), proporsi hasil tangkapan
yang dimanfaatkan (X9), kasus tertangkapnya jenis biota yang dilindungi (X11)
dan kejadian atau potensi konflik (X13)
Status ini tampak sekali berkaitan erat dengan jenis alat penangkapan ikan
yang umumnya sederhana dan pengusahaan dalam skala kecil. Alat penangkapan
ikan dengan tingkat teknologi sederhana memiliki daya tangkap yang jauh lebih
kecil dibandingkan dengan alat penangkapan ikan yang modern (Zamzami 2007).
22

Daya tangkap yang rendah ini berkaitan dengan dimensi atau ukuran alat
penangkapan ikan sehingga tenaga kerja yang diperlukan untuk
mengoperasikannya hanya beberapa orang saja. Sebagai contoh, alat tangkap togo
dioperasikan 2-3 orang nelayan.
Semua jenis unit penangkapan ikan yang diteliti memiliki masalah untuk
indikator perlakuan pada ikan dan biota laut yang dikembalikan ke laut (X10).
Nelayan menganggap dicards bukan persoalan penting pada saat ini karena
perhatian mereka lebih kepada jenis-jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan
ikan. Meskipun jumlah discards rendah karena sebagian besar hasil tangkapan
dimanfaatkan (X9), jika ikan-ikan tersebut sebagian besar masuk dalam kategori
tidak layak tangkap, maka ancaman terjadinya overfishing juga tetap ada.
Kehidupan biota laut dan lingkungan saling tergantung satu sama lain,
lingkungan yang buruk akan mengganggu yang merupakan habitat bagi sejumlah
besar organisme akuatik (ikan, moluska, burung, serangga, tanaman air dan
sebagainya) dan mendukung keanekaragaman hayati pada wilayah daratan dan
sekelilingnya, termasuk sejumlah burung migrasi (Sukimin 2007). Overfishing
adalah salah satu penyumbang kerusakan lingkungan. Dampak yang diberikan
ialah berkurang atau musnahnya salah satu alur jaring makanan yang akan
menyebabkan hilangnya sumber makanan bagi suatu spesies dilanjutkan
hilangnya sumber makanan bagi spesies lainnya. Terganggunya ketersediaan
mangsa dan juga proporsi predator akan menyebabkan terganggunya
keseimbangan pada jaring makanan (food web) terutama ekosistem perairan
secara keseluruhan.
Pengamatan yang terjadi di lapangan ditemukan bahwa nelayan kurang
peduli dengan ukuran ikan yang ditangkap yang ditunjukkan dengan
ketidakpedulian dengan status juvenile atau dewasa hasil tangkapan yang
tertangkap. Saat ini dampak yang terjadi mungkin sangat kecil, namun jika
kegiatan perikanan setempat berkembang lebih pesat ada kemungkinan discards
yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya overfishing pada spesies-spesies
tersebut (Israel dan Caesar 1997).
Lampara merupakan alat tangkap yang telah ada sejak lama. Tahun 1980-an
di Kabupaten Kapuas tepatnya di Desa Batanjung, lampara menjadi alat tangkap
idaman sehingga nelayan yang sebelumnya menggunakan sungkur, rawai dan
rengge beralih menggunakan lampara. Hal ini disebabkan alat tangkap ini dapat
digunakan di semua musim serta hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak
sehingga keuntungan yang diterima juga meningkat. Namun lampara yang
dioperasikan nelayan Kabupaten Kapuas memiliki lebih banyak masalah
dibandingkan dengan alat-alat tangkap lainnya. Alat tangkap lampara yang
memiliki skor terendah dibanding alat tangkap lainnya (yaitu 26) memiliki
beberapa indikator yang bernilai rendah yaitu konsumsi bahan bakar kapal ikan
(X4), kuantitas bahan pencemar (X5), perlakuan pada ikan dan biota laut yang
dikembalikan ke laut (X10) dan potensi terjadi kerusakan lingkungan perairan dan
habitat (X12). Jenis unit penangkapan ikan ini harus diperhatikan secara seksama
karena jika dibiarkan dapat memicu konflik antar nelayan.
Masa lalu trawl banyak menimbulkan masalah sosial, selain masalah
ancaman terhadap kelestarian sumber daya. Permasalahan yang rumit ini biasanya
berakhir dengan konflik antar nelayan sehingga Pemerintah menerbitkan Keppres
nomor 39 tahun 1980 yang melarang penggunaan trawl kecuali pengoperasian
23

trawl udang yang dilengkapi dengan BED (bycatch excluder device) di perairan
tertentu saja yaitu Kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Papua dan Arufura laut, dari
1300 ke arah timur, termasuk garis pantai dari batas pulau dengan 10 meter
isobath. Pengecualian pelarangan trawl di tempat-tempat tertentu tersebut
berdasarkan alasan bahwa sumber daya udang di daerah tersebut masih cukup
baik dan belum pernah dimanfaatkan oleh para nelayan tradisional. Dampak
langsung dari larangan ini adalah penurunan yang signifikan dari produksi udang
nasional (Monintja et al. 2007). Namun pelanggaran banyak terjadi secara luas
dan konflik serupa berulang lama setelah penerbitan kebijakan tersebut, seperti
terjadi di perairan Kotabaru, Kalimantan Selatan (2009) dan perairan Asahan,
Sumatera Utara (2012).
Konflik nelayan sejak tahun 2009 yang terjadi perairan Kotabaru terjadi
sejak beberapa tahun lalu sebelumnya berawal dari persaingan daerah
penangkapan ikan di antara nelayan perikanan skala kecil (seperti perahu pancing
dan jaring rengge) dan nelayan yang mengoperasikan alat penangkapan ikan yang
lebih modern, yaitu mereka yang menggunakan alat tangkap lampara dasar.
Kelompok nelayan lampara dasar memiliki kapasitas teknis yang lebih tinggi dari
kelompok nelayan lainnya. Kegiatan nelayan perikanan skala kecil tersebut sering
terganggu oleh kegiatan nelayan lampara dasar yang menabrak pancing kepiting
sehingga rusak. Selain alat tangkapnya rusak, nelayan perikanan skala kecil juga
kehilangan kesempatan mendapatkan kepiting yang kemudian banyak tertangkap
oleh lampara dasar (Kompas 2009).
Konflik nelayan akibat penggunaan alat tangkap trawl atau pukat hela juga
terjadi di perairan Tanjungbalai Asahan, Sumatera Utara. Maraknya penggunaan
trawl mengakibatan 30 ribu nelayan lokal merugi sebab hasil tangkapannya
berkurang sehingga keberlanjutan sumber penghidupan nelayan lokal terancam
(Republika 2012).
Kedua kelompok nelayan (yaitu kelompok nelayan lampara dan nelayan
non-lampara) di Kabupaten Kapuas memiliki pemikiran berbeda. Nelayan
lampara dasar berpendapat bahwa lampara adalah alat tangkap yang paling efektif,
sedangkan nelayan lain berpendapat bahwa lampara mengurangi hasil tangkapan
mereka dan merusak lingkungan. Pendapat nelayan selain lampara menunjukkan
bahwa mereka memiliki rasa tanggungjawab yang lebih besar dibandingkan
nelayan lampara.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menghentikan penggunaan
lampara dasar ini dengan menerbitkan peraturan dan tidak memberikan dukungan
kepada nelayan pelanggar, namun pemerintah kesulitan untuk mengawasi
masyarakat sehingga pelanggaran tetap terjadi. Tidak didukungnya penggunaan
lampara oleh pemerintah dapat dilihat dari tidak disediakannya insentif berupa
bantuan kapal dan mesin baru untuk pengoperasian lampara di Kabupaten Kapuas,
terutama kepada sebagian besar nelayan lampara yang tinggal di desa Batanjung.
Pemerintah Kabupaten Kapuas dapat menerapkan pendekatan Kabupaten
Serang untuk mengurangi jumlah lampara tersebut, yaitu dengan menawarkan
penggantian lampara dengan bagan congkel. Penggantian alat tangkap merupakan
salah satu solusi yang dapat membantu walaupun pada pengaplikasian bagan
congkel sebagai pengganti lampara, 14 nelayan di Kabupaten Serang masih ada
yang tidak patuh (Poskota 2010). Ketidakpatuhan nelayan ini ternyata disebabkan
tangkapan ikan menggunakan bagan tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga
24

karena penggunaan bagan hanya bisa dilakukan pada musim-musim tertentu


sedangkan jaring lampara bisa digunakan kapan saja (Poskota 2010).
Ketidakpatuhannya juga kembali dilakukan saat Polair Polda Banten berhasil
mengamankan sebuah kapal nelayan penangkap ikan yang menggunakan trawl di
sekitar perairan Karangantu, Kabupaten Serang (Bantenposnews 2013).
Pengaplikasian bagan congkel sebagai pengganti lampara kenyataannya
sulit untuk diterima masyarakat Serang yang dapat dilihat dari pelanggaran yang
terus terjadi. Strategi penggantian alat tangkap harusnya disesuaikan dengan
keadaan, perilaku dan pola pikir nelayan. Kesadaran nelayan akan besarnya
untung dari alat tangkap lampara dasar merupakan salah satu alasan nelayan
masih menggunakan alat tangkap tersebut. Karena itu perlu adanya penelitian atau
kajian mengenai alat tangkap yang tepat untuk menggantikan lampara dengan
pertimbangan keuntungan yang diperoleh kurang lebih sama dengan alat tangkap
tersebut. Sementara itu diperlukan suatu strategi jika nelayan lampara masih ingin
mengoperasikan alat tangkap tersebut (sulit beralih ke alat tangkap lain) seperti
modifikasi alat tangkap, pengaturan mesh size, pembatasan waktu penangkapan
dan pembatasan jumlah unit penangkapan ikan.
Strategi tambahan diperlukan selain strategi tersebut. Strategi tambahan
tersebut mencakup upaya untuk membangun kesadaran melalui kegiatan
penyuluhan untuk nelayan agar mereka sadar untuk menjaga lingkungan dan
sumber daya ikan. Materi penyuluhan tersebut mencakup penjelasan tentang
konsekuensi dari kegiatan penangkapan ikan yang merusak terhadap kelestarian
ikan dan keberlanjutan usaha yang dilakukan nelayan, cara memperbaiki
teknologi penangkapan ikan dan cara mengendalikan kegiatan penangkapan ikan
dengan memantau upaya penangkapan ikan dan produksi ikan serta kualitas ikan
yang ditangkap. Penyuluhan ini tampaknya tidak terbatas untuk nelayan lampara,
tetapi juga untuk nelayan lainnya karena khawatir lampara masih menjadi alat
tangkap idaman bagi mereka yang belum dapat memilikinya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perikanan tangkap di Kabupaten Kapuas yang direpresentasikan oleh 8 jenis


unit penangkapan ikan menunjukkan status baik dalam hal tanggung jawab
terhadap lingkungan. Lima indikator bernilai baik (rata-rata kor mendekati
atau sama dengan 3), tujuh indikator bernilai sedang (skor lebih dari dua), dan
satu indikator bernilai buruk (skor sama dengan 1). Berdasarkan skor untuk
13 indikator, jenis unit penangkapan ikan aktif yang terbaik di laut adalah
sungkur dengan total nilai 31. Jenis unit penangkapan ikan pasif terbaik di
laut adalah rawai laut dengan total nilai 32 sedangkan pasif terbaik di sungai
adalah rengge sungai permukaan dengan total nilai 33.
25

2. Perhatian pada setiap unit penangkapan ikan di Kabupaten Kapuas diperlukan


agar praktek penangkapan ikan semakin bertanggung jawab terhadap
lingkungan. Strategi yang paling umum diperlukan adalah perbaikan cara
penanganan ikan yang tidak dimanfaatkan dan dikembalikan ke air (discards)
agar tetap hidup setelah dikembalikan ke air (X10) disertai dengan
peningkatan proporsi ikan yang layak tangkap pada hasil tangkapan.

Saran

1. Cara penanganan discards yang mendukung kelangsungan hidup ikan setelah


dikembalikan ke laut (X10) dapat diperkenalkan melalui program penyuluhan
yang disertai dengan demonstrasi kepada nelayan lokal, terutama nelayan
pengguna lampara.
2. Analisis mengenai alat tangkap yang tepat diperlukan untuk menggantikan
alat tangkap lampara dengan pertimbangan keuntungan yang diperoleh
kurang lebih sama dengan lampara serta diadakannya kegiatan penyuluhan
untuk nelayan agar mereka sadar untuk menjaga lingkungan dan sumber daya
ikan
3. Penerapan alat penangkapan ikan yang selektif dengan tujuan meningkatkan
proporsi ikan yang layak tangkap perlu dipromosikan. Sebagai contoh,
penggunaan mata jaring yang disesuaikan dengan ukuran target hasil
tangkapan layak tangkap untuk alat-alat yang terbuat dari bahan jaring dan
penerapan sejenis bycatch excluder device (BED) untuk lampara
4. Penelitian di daerah lain dengan metode yang sama diperlukan dengan
memperhatikan waktu pengambilan data seperti musim penangkapan sebagai
langkah utama dalam penentuan strategi untuk menjaga perairan secara
berkelanjutan

DAFTAR PUSTAKA

Agunggunanto EY. 2011. Analisis Kemiskinan Dan Pendapatan Keluarga


Nelayan Kasus Di Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, Jawa Tengah,
Indonesia. J Dinamika Ekonomi Pembangunan. 1(1):57.
Amin. 2009. Terumbu Karang; Aset yang Terancam (Akar Masalah dan Alternatif
Solusi Penyelamatannya). Bekasi (ID): Universitas Islam 45.
Bantenposnews. 2013. Polair Tangkap Kapal Pukat Harimau. [Internet]. [diunduh
2014 Jan 31]. Tersedia pada: http://www.bantenposnews.com/berita-6762-
polair-tangkap-kapal-pukat-harimau.html#.Uuucpj2SxbM
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Konsep Dasar Survei. [Internet]. [diunduh
2014 Apr 08]. Tersedia pada: sirusa.bps.go.id/index.php?r=site/konsep
[Diskanlut] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kapuas. 2008.
Perkembangan Perikanan Tangkap Kabupaten Kapuas. Kapuas (ID):
Diskanlut.
26

[Diskanlut] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kapuas. 2011. Mengenal


Pancing Rawai. [Internet]. [diunduh 2012 Des 29]. Tersedia pada:
www.kp3k.kkp.go.id
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Peraturan Pemerintah.
Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya
Ikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4779).
Israel DC, Cesar PB. 1997. Overfishing in the Philippine Commercial Marine
Fisheries Sector. Philippine (PH): Philippine Institute for Development
Studies.
Kompas. 2009. Pokwanas Untuk Hindari Bentrok Antar Nelayan. [Internet].
[diunduh 2014 Jan 24]. Tersedia pada:
http://regional.kompas.com/read/2009/12/17/20025317/pokwamas.untuk.hi
ndari.bentrok.antarnelayan.
Lupita CP. 2013. Analisis Pengaruh Umur Mesin, Periode Servis dan Jarak
Tempuh Terhadap Konsentrasi Emisi CP, NOx, HC dan CO2 pada Sepeda
Motor Tipe Sport (Studi Kasus: Motor Yamaha Vixion) [skripsi]. Semarang
(ID): Universitas Diponegoro.
Mendoza GA, Macoun P. 1999. Panduan Untuk Menerapkan Analisis Multi
Kriteria dalam menilai Kriteria dan Indikator. Bogor (ID): SMK Grafika
Mardi Yuana.
Monintja DR, Ariadno MK, Adrianto L, Sondita MFA. 2007. Reviewing and
Enchanging By Catch Reduction and Change Management of Trawl
Fisheries In Indonesia Through Comprehensive Regulations. National
Report On Bycatch Management and Reduction of Discard.
Murdiyanto B. 1999. Studi Hidrodinamika (tahanan air) terhadap Alat Tangkap
Sungkur di Perairan Kalimantan Selatan. Buletin PSP. 8(2): 13
Nomura M. 1975. Fishing Techniques. Tokyo (JP): Japan International
Cooperation Agency. 152 p
Nomura M. 1981. Fishing Techniques 2: Compilation of transcript of lectures
presented at the Kanagawa International Fisheries Training Center. Tokyo
(JP): Japan International Cooperation Agency. 183 p.
Purbayanto A, Riyanto M, Fitri ADP. 2010. Fisiologi dan Tingkah Laku Ikan
pada Perikanan Tangkap. Bogor (ID): IPB Pr.
Poskota. 2010. Pakai Trawl Tangkap Ikan, 14 Nelayan Terancam Pidana.
[Internet]. [diunduh 2014 Jan 31]. Tersedia pada:
http://poskota.co.id/kriminal/2010/01/06/pakai-trawl-tangkap-ikan-14-
nelayan-terancam-pidana
Poskota. 2010. Nelayan Karangantu Minta Diperbolehkan Gunakan Jaring
Lamparan. [Internet]. [diunduh 2014 Jan 31]. Tersedia pada:
http://poskota.co.id/berita-terkini/2010/06/30/nelayan-karangantu-minta-
diperbolehkan-gunakan-jaring-lamparan
Prinanto N, Herijanto W. 2012. Studi Alternatif Pemilihan Trase Transportasi
Massal Surabaya Timur dengan Surabaya Barat. J Teknik ITS. 1(1): 5 p.
Republika. 2012. Konflik Trawl Ancam 30 Ribu Nelayan di Asahan. [Internet].
[diunduh 2014 Jan 31]. Tersedia pada:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/05/lxbz5n-konflik-
trawl-ancam-30-ribu-nelayan-di-asahan
27

Rusmilyansari, Irhamsyah, Susimaryati, Nunik . 2006. Disain, Bahan dan


Kontruksi Alat Tangkap Rakkang (Crab Lift and Stake Dip Net) yang
Sesuai untuk Meningkatkan Efektifitas Penangkapan Kepiting. Banjarmasin
(ID). Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat.
Suara Merdeka. 2003. Solar Oplosan Bisa Merusak Mesin. [Internet]. [diunduh
pada 2014 Apr 09]. Tersedia pada:
www.suaramerdeka.com/harian/0301/19/kot2.htm
Subani W, Barus HR. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia.
J Penelitian Perikanan Laut. 2(2):19-23
Soekartawi. 1994. Pembangunan Pertanian. Jakarta: Rajagrafindo Persada
Sondita, MFA. 2012. Konsep Pengembangan Metode Penangkapan Ikan yang
Ramah Lingkungan. Bahan kuliah Program Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor. Tidak diterbitkan.
Sukimin S. 2007. Penggunaan Index of Biotic Integrity (IBI) Untuk Menilai
Kualitas Lingkungan Perairan. J Teknik Lingkungan. 8(1):84-90
Zamzami L, Ermayanti, Nurti Y. 2007. Pemanfaatan Budaya Lokal Terhadap
Teknologi Penangkapan Ikan Pada Masyarakat Nelayan (Studi Kasus di
Pasar Laban Kelurahan Bungus Selatan, Kecamatan Bungus Teluk Kabung,
Kota Padang). Padang (ID): Universitas Andalas
28

LAMPIRAN

Lampiran 1 Metode 13 indikator teknologi penangkapan ikan bertanggung jawab

1) Kompetensi nelayan
Skor Kriteria Kisaran Skor
1 Nelayan kurang terlatih, memahami dan menerapkan 6-9
konsep efisiensi dan konservasi
2 Nelayan cukup terlatih, memahami dan menerapkan 10-14
konsep efisiensi dan konservasi
3 Nelayan sangat terlatih, memahami dan menerapkan 15-18
konsep efisiensi dan konservasi

a) Tingkat terlatih
Sub Indikator Kategori Skor
< 2 tahun 1
Lama
2-5 tahun 2
Pengalaman Kerja
> 5 tahun 3
Jarang mengikuti pelatihan 1
Intensitas
Sering mengikuti pelatihan 2
Pelatihan
Pernah memberikan pelatihan 3

Skor Kategori Kriteria Kisaran Skor


1 Nelayan Tidak memiliki pengetahuan dan 2
kurang terlatih keterampilan
2 Nelayan cukup Kurang memiliki pengetahuan dan 3-4
terlatih keterampilan
3 Nelayan sangat Memiliki pengetahuan dan 5-6
terlatih keterampilan yang cukup

Pengalaman sebagai nelayan secara langsung maupun tidak, memberikan


pengaruh kepada hasil penangkapan ikan. Semakin lama seseorang mempunyai
pengalaman sebagai nelayan, semakin besar hasil dari penangkapan ikan dan
pendapatan yang diperoleh (Agunggunanto, 2011).
Faktor pengalaman kerja diukur berdasarkan lama bekerjanya seorang
nelayan. Ada tiga range yaitu kurang dari 2 tahun, 2 hingga 5 tahun dan lebih dari
5 tahun. Usia lima tahun secara subyektif dianggap memasuki usia professional
seorang nelayan.
Intensitas pendidikan dan pelatihan diukur berdasarkan jumlah yang pernah
diikuti selama menjadi nelayan. Tidak ada angka tolak ukur karena lama
pengalaman kerja setiap nelayan berbeda-beda.
29

b) Tingkat pemahamam dan penerapan konsep efesiensi


Sub Indikator Kategori Skor
Paham Tidak paham 1
Cukup paham 2
Sangat Paham 3
Penerapan Tidak mampu menerapkan 1
Cukup mampu menerapkan 2
Sangat mampu menerapkan 3

Skor Kategori Kriteria Kisaran Skor


1 Tingkat Nelayan tidak memahami 2
pemahaman dan konsep efesiensi
penerapan
nelayan rendah
2 Tingkat Nelayan kurang memahami 3-4
pemahaman dan dalam menerapkan konsep
penerapan efesiensi
nelayan sedang
3 Tingkat Nelayan memahami dan mampu 5-6
pemahaman dan menerapkan konsep efesiensi
penerapan dengan benar
nelayan tinggi

Konsep efesiensi perikanan adalah penggunaan dan pemanfaatan


sumberdaya perikanan yang berada di perairan laut dan umum untuk pencapaian
hasil yang optimum.

c) Tingkat pemahamam dan penerapan konsep konservasi


Sub Indikator Kategori Skor
Paham Tidak paham 1
Cukup paham 2
Sangat Paham 3
Penerapan Tidak mampu menerapkan 1
Cukup mampu menerapkan 2
Sangat mampu menerapkan 3

Skor Kategori Kriteria Kisaran Skor


1 Tingkat Nelayan tidak memahami 2
pemahaman dan konsep efesiensi
penerapan
nelayan rendah
2 Tingkat Nelayan kurang memahami 3-4
pemahaman dan dalam menerapkan konsep
penerapan efesiensi
nelayan sedang
30

3 Tingkat Nelayan memahami dan mampu 5-6


pemahaman dan menerapkan konsep efesiensi
penerapan dengan benar
nelayan tinggi

Menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi


Sumber Daya Ikan dijelaskan bahwa konservasi sumber daya ikan adalah upaya
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk
ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragaman sumber daya ikan. Sedangkan, konservasi ekosistem adalah
upaya melindungi, melestarikan dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai
habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan
datang.
Konsep konservasi yang dimaksudkan adalah konsep konservasi perairan
secara keseluruhan yang dalam pemanfaatannya dapat menjaga dan memelihara
seluruh fungsi hingga dapat lestari pada waktu yang akan datang.

2) Tidak membahayakan nelayan dan orang lain di laut


Keselamatan abk √ Keselamatan kasko √
ABK terlatih dan memiliki fisik Selalu dilakukan perawatan rutin
yang baik
ABK memiliki self rescue yaitu Keadaan kasko baik saat
kemampuan seseorang untuk persiapan
menolong dirinya sendiri sebelum
menolong orang lain.
Alat penyelamat diri seperti Tidak terdapat kebocoran atau
pelampung penolong (life buoy), rembesan air
life jacket, immersion suit,
thermal protective aid lengkap
dan cukup untuk semua awak
kapal

Tidak terdapat ceceran bbm atau


Terdapat syarat visual seperti pelumnas
cerawat tangan (Red Hand Flare).
Cerawat parasut (Parachute
signal), isyarat asap apung
(Bouyant Smoke Signal) di atas
kapal
Bentuk kasko sesuai fungsi
Terdapat Survival Craft seperti
kapal
sekoci Penolong (lifeboat), rakit
Penolong (liferaft) dan sekoci
Penyelamat (Resque Boat) di
dalam kapal
Keadaan kasko baik pasca
Terdapat alat – alat peluncur dan
operasi
embarkasi
Terdapat roket pelempar tali (Line
31

Throwing Appliances)
TOTAL TOTAL
Keterangan: Keterangan:
Rendah : ≤ 2 kriteria keselamatan Rendah : ≤ 2 kriteria keselamatan
Sedang : 3-5 kriteria keselamatan Sedang : 3-4 kriteria keselamatan
Tinggi : ≥ 6 kriteria keselamatan Tinggi : ≥ 5 kriteria keselamatan
Keselamatan mesin √ Keselamatan alat √
penangkapan ikan
Pada mesin baru pelumnas awal Selalu dilakukan perawatan
diganti rutin
Suku cadang diganti secara Penanganan alat tangkap
insedental selama persiapan baik
Tinggi pelumnas, BBM dan Penanganan alat tangkap
konektor selalu di cek selama operasi baik dan benar
Penyalaan dan pendingin selalu di Alat tangkap memiliki penanda
cek atau tagging
Stabilitas mesin baik saat Tata letak alat tangkap di atas
persiapan kapal benar dan aman

Stabilitas mesin baik pasca Rendahnya peluang terjadi


operasi ghost fishing disebabkan
hilang atau lepasnya alat
tangkap
Tata letak permesinan benar dan Alat tangkap diamankan pasca
aman operasi
Mesin dibersihkan dan diamankan
pasca operasi
TOTAL TOTAL
Keterangan: Keterangan:
Rendah : ≤ 2 kriteria keselamatan Rendah : ≤ 2 kriteria keselamatan
Sedang : 3-6 kriteria keselamatan Sedang : 3-5 kriteria keselamatan
Tinggi : ≥7 kriteria keselamatan Tinggi : ≥ 6 kriteria keselamatan

Sub Indikator Kategori Skor


Rendah 1
Keselamatan ABK Sedang 2
Tinggi 3
Rendah 1
Keselamatan kasko Sedang 2
Tinggi 3
Rendah 1
Keselamatan mesin Sedang 2
Tinggi 3
Rendah 1
Keselamatan alat
Sedang 2
penangkapan ikan
Tinggi 3
32

Skor Kriteria Kisaran Skor


1 Membahayakan nelayan dan orang lain di perairan 4-6
2 Agak membahayakan nelayan dan orang lain di 7-10
perairan
3 Tidak membayakan nelayan dan orang lain di perairan 11-12

Pada indikator ini digunakan 4 aspek untuk mengetahui tingkat keselamatan


suatu teknologi penangkapan ikan terhadap nelayan dan orang lain di perairan laut
maupun sungai. Tiap aspek memiliki tingkat kriteria keselamatan berbeda yang
telah disesuaikan.

3) Peraturan
Sub Indikator Kategori Skor
Cenderung melanggar jalur penangkapan 1
Jalur
Kadang melanggar jalur penangkapan 2
penangkapan
Selalu berada di jalur penangkapan 3
Tidak sesuai 1
Alat tangkap Agak sesuai 2
Sesuai 3

Skor Kriteria Kisaran Skor


1 Tidak sesuai peraturan 2
2 Kurang sesuai dengan peraturan 3-5
3 Sesuai dengan peraturan 6

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Kapuas 2010


Gambar 10 Peta jalur kapal perikanan dan lokasi penangkapan
33

Setiap unit penangkapan ikan memiliki suatu standar atau aturan. Ada 2
aspek untuk mengukur kesesuaian suatu teknologi penangkapan ikan yaitu jalur
penangkapan dan alat tangkap. Penentuan jalur penangkapan menggunakan peta
jalur kapal perikanan dan lokasi tangkap perairan laut Kabupaten Kapuas yang
dapat dilihat pada gambar 2 dan berdasarkan keterangan tambahan dari responden
dan pemerintah setempat. Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui
kesesuaian penggunaan suatu teknologi penangkapan terhadap peraturan.

4) Konsumsi Bahan Bakar


Sub Indikator Kategori Skor
Sangat boros bahan bakar (> 0.5 kg/HP/Jam) 1
Pemakaian Bahan
Agak boros bahan bakar (0.22-0.5 kg/HP/Jam) 2
Bakar
Hemat bahan bakar (≤ 0.22 kg/HP/Jam) 3
Tidak ada tenaga penggerak angin 1
Tenaga penggerak
Tenaga penggerak angin jarang digunakan 2
angin
Tenaga penggerak angin sering digunakan 3

Skor Kriteria Kisaran Skor


1 Kapal atau perahu yang digunakan tidak hemat
2
energi
2 Kapal atau perahu yang digunakan cukup hemat
3-5
energi
3 Kapal atau perahu yang digunakan hemat energi 6
Setiap alat tangkap memiliki cara pengoperasian yang berbeda. Menurut
Nomura (1975) pemakaian bahan bakar adalah pemakaian bahan bakar rata-rata x
jumlah HP mesin x waktu(jam) pemakaian bahan bakar. Pemakaian bahan bakar
rata-rata mesin diesel adalah 0.02 kg/hp/jam. Tujuan dari indikator ini adalah
untuk mengetahui tingkat hemat energi suatu teknologi penangkapan ikan.

5) Kuantitas Bahan Pencemar


Sub Indikator Kategori Skor
Menghasilkan polusi udara yang tinggi 1
Menghasilkan polusi udara yang sedang 2
Polusi Udara
Menghasilkan polusi udara yang rendah 3
Tidak ada polusi udara 4
Menghasilkan polusi cair yang tinggi 1
Menghasilkan polusi cair yang sedang 2
Polusi Cair
Menghasilkan polusi cair yang rendah 3
Tidak ada polusi cair 4
Skor Kriteria Kisaran Skor
1 Kapal atau perahu yang digunakan menghasilkan 2-4
polusi yang banyak
2 Kapal atau perahu yang digunakan menghasilkan 5-7
polusi yang sedang
3 Kapal atau perahu yang digunakan menghasilkan 8
polusi yang rendah
34

Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui tingkat polusi yang
dihasilkan oleh suatu unit penangkapan ikan. Pengukuran tingkat polusi udara
dilihat dari mesin kapal yang berupa umur mesin, jenis mesin, penggunaan jenis
bahan bakar, jarak tempuh dan periode servis. Pada pengukuran polusi cair,
peneliti melakukan pengamatan terhadap kondisi perairan dengan melakukan
perbandingan dalam kurun waktu tertentu.

6) Bahan pembuatan alat penangkapan ikan


Sub Indikator Kategori Skor
Penggunaan dalam jumlah yang banyak 1
Bahan Alami Penggunaan dalam jumlah yang sedikit 2
Tidak menggunakan bahan alami 3
Tidak menggunakan bahan buatan 1
Bahan Buatan Penggunaan dalam jumlah yang sedikit 2
Penggunaan dalam jumlah yang banyak 3

Skor Kriteria Kisaran Skor


1 Alat tangkap terbuat dari bahan yang pengadaannya 2
sangat merusak lingkungan atau ekosistem yang
dilindungi
2 Alat tangkap terbuat dari bahan yang pengadaannya 3-4
agak merusak lingkungan atau ekosistem yang
dilindungi
3 Alat tangkap terbuat dari bahan yang pengadaannya 5-6
tidak merusak lingkungan atau ekosistem yang
dilindungi

Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui alat tangkap yang bahan
pengadaannya merusak lingkungan atau ekosistem yang dilindungi.

7) Komposisi ikan yang tertangkap


Sub Indikator Kategori Skor
Beragam 1
Tingkat keseragaman
Seragam 2
Tingkat legal atau Sebagian besar tidak seukuran 1
proper size Sebagian besar seukuran 2
Campuran 1
Target spesies
Dominan target spesies utama 2

Skor Kriteria Kisaran Skor


1 Ikan yang tertangkap tidak seragam, legal atau 3
proper size
2 Ikan yang tertangkap cukup seragam, legal atau 4-5
proper size
3 Ikan yang tertangkap seragam, legal atau proper size 6
35

Pada sub indikator ditambahkan satu komponen tambahan yaitu target


spesies. Target spesies adalah hasil tangkapan utama pada suatu alat tangkap.
Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui keseragaman hasil tangkapan dan
tingkat kelegalan ukuran hasil tangkapan.

8) Tingkat kerawanan suatu alat tangkap


Skor Kriteria
1 Alat tangkap memiliki potensi tinggi terjadinya “ghost fishing”
2 Alat tangkap memiliki potensi cukup tinggi terjadinya “ghost fishing”
3 Alat tangkap memiliki potensi rendah terjadinya “ghost fishing”

”ghost fishing” adalah suatu istilah yang digunakan pada alat tangkap yang
hilang. Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui seberapa rentannya suatu
alat tangkap dalam proses kegiatan penangkapan ikan.

9) Proporsi hasil tangkapan yang dimanfaatkan


Skor Kriteria
1 Hasil tangkapan tidak dimanfaatkan secara maksimum
2 Hasil tangkapan kurang dimanfaatkan secara maksimum
3 Hasil tangkapan dimanfaatkan secara maksimum

Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui tingkat pemanfaatan hasil
tangkapan yang ditangkap oleh nelayan.

10) Perlakuan pada ikan dan biota laut yang dikembalikan ke laut
Skor Kriteria
1 Ikan dan biota laut yang tidak layak ditangkap dikembalikan ke laut
tidak dijamin keberlangsungan hidupnya
2 Ikan dan biota laut yang tidak layak ditangkap dikembalikan ke laut
kurang dijamin keberlangsungan hidupnya
3 Ikan dan biota laut yang tidak layak ditangkap dikembalikan ke laut
dijamin keberlangsungan hidupnya

Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui apakah hasil tangkapan
tidak layak yang dikembalikan ke perairan dijamin keberlangsungan hidupnya

11) Kasus tertangkapnya jenis biota yang dilindungi


Skor Kriteria
1 Sering tertangkapya jenis yang dilindungi/biodiversity
2 Jarang tertangkapnya jenis yang dilindungi/biodiversity
3 Tidak pernah menangkap jenis yang dilindungi/biodiversity

Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui apakah dalam kegiatan
penangkapan ikan dilakukan penangkapan ikan jenis yang dilindungi/biodiversity.
Jenis ikan yang dilindungi di Kabupaten Kapuas untuk perairan sungai adalah
Arwana (Scleropages formosus ) dan Labi-labi (Pelodiscus sinensis), sedangkan
untuk perairan laut tidak ada jenis yang dilindungi.
36

12) Potensi terjadi kerusakan lingkungan perairan dan habitat


Skor Kriteria
1 Metode dan operasi penangkapan ikan sangat merusak lingkungan
perairan dan habitat
2 Metode dan operasi penangkapan ikan cukup merusak lingkungan
perairan dan habitat
3 Metode dan operasi penangkapan ikan tidak merusak lingkungan
perairan dan habitat

Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui apakah kegiatan


penangkapan ikan yang dilakukan dengan menggunakan suatu alat tangkap
merusak lingkungan perairan dan habitat di perairan Kabupaten Kapuas

13) Kejadian atau potensi konflik


Skor Kriteria
1 Metode dan operasi penangkapan ikan menimbulkan konflik dengan
kegiatan lainnya
2 Metode dan operasi penangkapan ikan cukup menimbulkan konflik
dengan kegiatan lainnya
3 Metode dan operasi penangkapan ikan tidak menimbulkan konflik
dengan kegiatan lainnya

Tujuan dari kriteria ini adalah untuk mengetahui apakah kegiatan


penangkapan ikan yang dilakukan dengan menggunakan suatu alat tangkap
mengganggu kegiatan lain sehingga menimbulkan konflik.
37

Lampiran 2 Hasil perhitungan skor setiap jenis unit penangkapan ikan yang
diteliti di Kabupaten Kapuas Kuala pada bulan Juli-Agustus 2013

LAMPARA

Pengalaman
No Nama Responden Keterangan
Kerja (tahun)
1 Rumiji >5 Desa Batanjung
2 Nazar >5 Desa Batanjung
3 Ecet >5 Desa Batanjung
4 Sean >5 Desa Batanjung
5 Jamadi >5 Desa Batanjung

Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden

Indikator dan Sub-Indikator


No. 1
Resp. 2 3 4 5 6
A B C
a b a b a b A B C D A B A B A B A B
1 3 2 2 2 1 1 1 3 2 3 3 1 1 1 1 3 3 3
2 2 2 2 2 1 1 1 3 2 3 3 1 1 1 1 3 3 3
3 3 2 1 1 1 1 1 3 2 3 3 1 1 1 1 3 3 3
4 3 2 1 1 1 1 1 3 2 3 3 1 1 1 1 3 3 3
5 3 2 1 1 1 1 1 3 2 3 3 1 1 1 1 3 3 3
Rata-
2,8 2 1,4 1,4 1 1 1 3 2 3 3 1 1 1 1 3 3 3
rata
Total 9,6 9 4 2 4 6

Indikator dan Sub-Indikator


No.
Resp. 7
8 9 10 11 12 13
A B C
1 1 1 2 3 3 1 3 1 2
2 2 1 2 3 3 1 3 1 2
3 1 1 2 3 3 1 3 1 2
4 2 1 2 3 3 1 3 1 2
5 2 1 2 3 3 1 3 1 2
Rata-
1,6 1 2 3 3 1 3 1 2
rata
Total 4,6 3 3 1 3 1 2
38

SUNGKUR

Pengalaman
No Nama Responden Keterangan
Kerja (tahun)
1 Kasrani >5 Desa Palampai
2 Basuni >5 Desa Palampai
3 Udin >5 Desa Cemara Labat
4 Asmat >5 Desa Palampai
5 Asmuri >5 Desa Palampai

Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden

Indikator dan Sub-Indikator


No. 1
Resp. 2 3 4 5 6
A B C
a b a b a b A B C D A B A B A B A B
1 3 2 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3
2 3 2 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3
3 3 2 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3
4 3 2 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3
5 3 2 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3
Rata-
3 2 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3
rata
Total 13 9 6 3 5 5

Indikator dan Sub-Indikator


No.
Resp. 7
8 9 10 11 12 13
A B C
1 2 2 2 3 3 1 3 2 3
2 2 2 2 3 3 1 3 2 3
3 2 2 2 3 3 1 3 2 3
4 2 2 2 3 3 1 3 2 3
5 2 2 2 3 3 1 3 2 3
Rata-
2 2 2 3 3 1 3 2 3
rata
Total 6 3 3 1 3 2 3
39

RENGGE/GILLNET/JARING INSANG DASAR


LAUT

Pengalaman Kerja
No Nama Responden Keterangan
(tahun)
1 Asnat >5 Desa Palampai
2 Asmadi >5 Desa Palampai
3 Daus >5 Desa Batanjung
4 Udin >5 Desa Cemara Lebat
5 Rumaji >5 Desa Batanjung

Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden

Indikator dan Sub-Indikator


No. 1
Resp. 2 3 4 5 6
A B C
a b a b a b A B C D A B A B A B A B
1 3 2 3 2 2 1 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 3 3
2 3 2 3 2 2 1 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 3 3
3 3 2 3 2 2 1 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 3 3
4 3 2 2 2 2 1 1 3 2 3 3 3 1 1 2 3 3 3
5 3 2 2 2 2 1 1 3 2 3 3 3 1 1 1 3 3 3
Rata-
3 2 2,6 2 2 1 1 3 2 3 3 3 1,6 1 1,8 3 3 3
rata
Total 12,6 9 6 2,6 4,8 6

Indikator dan Sub-Indikator


No.
Resp. 7
8 9 10 11 12 13
A B C
1 1 2 2 3 2 1 3 3 3
2 1 2 2 3 2 1 3 3 3
3 1 2 2 3 2 1 3 3 3
4 1 2 1 2 3 1 3 3 3
5 1 2 1 2 3 1 3 3 3
Rata-
1 2 1,6 2,6 2,4 1 3 3 3
rata
Total 4,6 2,6 2,4 1 3 3 3
40

RAWAI LAUT

Pengalaman Kerja
No Nama Responden Keterangan
(tahun)
1 Udin >5 Desa Cemara Labat
2 Daus >5 Desa Batanjung
3 Asnat >5 Desa Palampai
4 Asmadi >5 Desa Palampai
5 Rumaji >5 Desa Batanjung

Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden

Indikator dan Sub-Indikator


No. 1
Resp. 2 3 4 5 6
A B C
a b a b a b A B C D A B A B A B A B
1 3 2 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 1 1 2 3 2 3
2 3 2 2 1 2 1 1 3 2 3 3 3 1 1 1 3 2 3
3 3 2 3 2 2 1 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3
4 3 2 3 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3
5 3 2 3 2 2 1 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3
Rata-
3 2 2,6 1,8 2 1,4 1 3 2 3 3 3 1,6 1 1,8 3 2 3
rata
Total 12,8 9 6 2,6 4,8 5

Indikator dan Sub-Indikator


No.
Resp. 7
8 9 10 11 12 13
A B C
1 2 2 1 3 3 1 3 3 3
2 2 2 1 3 3 1 3 3 3
3 2 2 1 2 3 1 3 3 3
4 2 2 1 3 3 1 3 3 3
5 2 2 1 2 3 1 3 3 3
Rata-
2 2 1 2,6 3 1 3 3 3
rata
Total 5 2,6 3 1 3 3 3
41

RAWAI SUNGAI

Pengalaman Kerja
No Nama Responden Keterangan
(tahun)
1 Udin >5 Desa Cemara Labat
2 Daus >5 Desa Batanjung
3 Asmuri >5 Desa Palampai
4 Asmadi >5 Desa Palampai
5 Kasrani >5 Desa Palampai

Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden

Indikator dan Sub-Indikator


No. 1
Resp. 2 3 4 5 6
A B C
a b a b a b A B C D A B A B A B A B
1 3 2 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 1 1 2 3 2 3
2 3 2 2 1 2 1 1 3 2 3 3 3 1 1 1 3 2 3
3 3 2 3 2 2 1 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3
4 3 2 3 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3
5 3 2 3 2 2 1 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 2 3
Rata-
3 2 2,6 1,8 2 1,4 1 3 2 3 3 3 1,6 1 1,8 3 2 3
rata
Total 12,8 9 6 2,6 4,8 5

Indikator dan Sub-Indikator


No.
Resp. 7
8 9 10 11 12 13
A B C
1 2 2 2 3 3 1 3 3 3
2 2 2 2 3 3 1 3 3 3
3 1 2 2 3 3 1 3 3 3
4 1 2 2 3 3 1 3 3 3
5 1 2 2 3 3 1 3 3 3
Rata-
1,4 2 2 3 3 1 3 3 3
rata
Total 5,4 3 3 1 3 3 3
42

RENGGE/GILLNET/JARING INSANG
PERMUKAAN SUNGAI

Pengalaman Kerja
No Nama Responden Keterangan
(tahun)
1 Asrat >5 Desa Sei Teras
2 Syaifullah 3 Desa Sei Teras
3 Upus >5 Desa Sei Teras
4 Asmadi >5 Desa Palampai
5 Kasrani >5 Desa Palampai

Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden

Indikator dan Sub-Indikator


No. 1
Resp. 2 3 4 5 6
A B C
a b a b a b A B C D A B A B A B A B
1 3 2 3 2 2 1 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
2 2 1 2 2 2 1 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 2 2 2 2 1 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 3 2 3 2 2 1 1 3 2 3 3 3 1 1 2 3 3 3
5 3 2 2 2 1 1 1 3 2 3 3 3 1 1 2 3 3 3
Rata-
2,8 1,8 2,4 2 1,8 1 1 3 2,6 3 3 3 2,2 2,2 2,6 3 3 3
rata
Total 11,8 9,6 6 4,4 5,6 6

Indikator dan Sub-Indikator


No.
Resp. 7
8 9 10 11 12 13
A B C
1 2 2 2 3 3 1 3 3 3
2 2 2 2 3 3 1 3 3 3
3 2 2 2 3 3 1 3 3 3
4 2 2 2 2 3 1 3 3 3
5 2 2 2 2 3 1 3 3 3
Rata-
2 2 2 2,6 3 1 3 3 3
rata
Total 6 2,6 3 1 3 3 3
43

TOGO

Pengalaman Kerja
No Nama Responden Keterangan
(tahun)
1 Iyun >5 Desa Pematang
2 Jedi >5 Desa Palampai
3 Syaifullah >5 Desa Sei Teras
4 Iras >5 Desa Sei Teras
5 Syamsiat >5 Desa Sei Teras

Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden

Indikator dan Sub-Indikator


No. 1
Resp. 2 3 4 5 6
A B C
a b a b a b A B C D A B A B A B A B
1 3 2 3 2 2 2 1 3 2 3 3 2 1 1 3 3 2 3
2 3 2 3 2 2 1 1 3 2 3 3 2 1 1 2 3 2 3
3 3 2 2 2 2 2 1 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 3
4 3 2 2 2 2 2 1 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 3
5 3 2 2 2 2 2 1 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 3
Rata-
3 2 2,4 2 2 1,8 1 3 2,6 3 3 2 2,2 2,2 2,8 3 2 3
rata
Total 13,2 9,6 5 4,4 5,8 5

Indikator dan Sub-Indikator


No.
Resp. 7
8 9 10 11 12 13
A B C
1 2 1 2 2 3 1 3 3 3
2 2 1 2 3 3 1 3 3 3
3 2 2 2 3 3 1 3 3 3
4 2 2 2 3 3 1 3 3 3
5 2 2 2 3 3 1 3 3 3
Rata-
2 1,6 2 2,8 3 1 3 3 3
rata
Total 5,6 2,8 3 1 3 3 3
44

RAKKANG

Pengalaman Kerja
No Nama Responden Keterangan
(tahun)
1 Yusran >5 Desa Palampai
2 Rahman >5 Desa Palampai
3 Asmat >5 Desa Palampai
4 Asmuri >5 Desa Palampai
5 Bahrudin >5 Desa Palampai

Skor untuk setiap indikator dan sub-indikator sesuai dengan tanggapan responden

Indikator dan Sub-Indikator


No. 1
Resp. 2 3 4 5 6
A B C
a b a b a b A B C D A B A B A B A B
1 3 3 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 3 3
2 3 3 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 3 3
3 3 3 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 3 3
4 3 3 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 3 3
5 3 3 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 3 3
Rata-
3 3 2 2 2 2 1 3 2 3 3 3 2 1 2 3 3 3
rata
Total 14 9 6 3 5 6

Indikator dan Sub-Indikator


No.
Resp. 7
8 9 10 11 12 13
A B C
1 2 2 2 2 3 1 3 3 3
2 2 2 2 2 3 1 3 3 3
3 2 2 2 2 3 1 3 3 3
4 2 2 2 2 3 1 3 3 3
5 2 2 2 2 3 1 3 3 3
Rata-
2 2 2 2 3 1 3 3 3
rata
Total 6 2 3 1 3 3 3
45

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kuala Kapuas pada tanggal 17 Februari 1993 dari


pasangan Bapak Barlianto dan Ibu Hartati. Penullis adalah putri kedua dari tiga
bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMAN 1 Kuala Kapuas, Kalimantan
Tengah dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan diterima di Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif berorganisasi di Himpunan
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan sebagai anggota Kesekretariatan dan
Sekretaris BPH II. Penulis juga pernah diundang mengikuti konferensi Aquatic
Biodiversity International Conference di Rumania tahun 2013 dan Asian Fish
Biodiversity Conference di Malaysia tahun 2014. Penulis pernah mengikuti
program winter exchange “World Class Project” di University of the
Philippines Diliman, Filipina tahun 2014. Penulis juga merupakan anggota
Association Internationale des Etudiants en Sciences Economiques et
Commerciales (AIESEC) tahun 2013 hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai