Anda di halaman 1dari 107

KOMPOSISI SPESIES HASIL TANGKAPAN ALAT TANGKAP CANTRANG DI

PERAIRAN LEKOK KABUPATEN PASURUAN JAWA TIMUR

SKRIPSI

Oleh :
ADJENG PENI LISTYANTO PUTRI
Nim. 145080200111007

PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN


JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
ii

KOMPOSISI SPESIES HASIL TANGKAPAN ALAT TANGKAP CANTRANG DI


PERAIRAN LEKOK KABUPATEN PASURUAN JAWA TIMUR

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya

Oleh :
ADJENG PENI LISTYANTO PUTRI
Nim. 145080200111007

PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN


JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Mei, 2018
iii
iv

HALAMAN IDENTITAS PENGUJI

Judul : KOMPOSISI SPESIES HASIL TANGKAPAN ALAT

TANGKAP CANTRANG DI PERAIRAN LEKOK

KABUPATEN PASURUAN JAWA TIMUR.

Nama Mahasiswa : ADJENG PENI LISTYANTO PUTRI

NIM : 145080200111007

Program Studi : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

PENGUJI PEMBIMBING :

Pembimbing 1 : Dr. Eng. Abu Bakar Sambah, S.Pi, MT

Pembimbing 2 : Dr. Ir. Tri Djoko Lelono, M.Si

PENGUJI BUKAN PEMBIMBING

Dosen Penguji 1 : Muhammad Arif Rahman, S.Pi, M.App.Sc

Dosen Penguji 2 : Ir. Agus Tumulyadi, MP

Tanggal Ujian : 28 Mei 2018


v

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya

kepada :

1. Allah SWT yang telah memberikan kebahagiaan, melimpahkan segala

rahmat dan karunia-Nya serta mengabulkan satu per satu permintaan agar

diberi kemudahan dan kelancaran dalam mengerjakan laporan skripsi ini

sampai tuntas.

2. Kedua Orang Tua saya, Bapak Benny dan Ibu Wati

3. Bapak Dr. Eng. Abu Bakar Sambah, S.Pi, MT selaku Ketua Jurusan PSPK.

4. Bapak Sunardi, ST., MT selaku Ketua ProgramStudi PSP.

5. Bapak Dr. Eng. Abu Bakar Sambah, S.Pi, MT selaku Dosen Pembimbing 1.

6. Bapak Dr. Ir. Tri Djoko Lelono, M.Si selaku Dosen Pembimbing 2.

7. Bapak Muhammad Arif Rahman, S.Pi, M.App.Sc selaku Dosen Penguji 1.

8. Bapak Ir. Agus Tumulyadi, MP selaku Dosen Penguji 2.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Brawijaya Malang.

10. Pemilik kapal, nelayan/ABK, dan agen/penjual hasil tangkapan cantran di

Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan.

11. Seluruh keluarga besar PSP 2014 dan teman – teman yang tidak bisa saya

sebutkan satu persatu.

Malang, Mei 2018

Penulis
vi

RINGKASAN

ADJENG PENI LISTYANTO PUTRI. Komposisi Spesies Hasil Tangkapan Alat


Tangkap Cantrang di Perairan Lekok Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. (Di bawah
bimbingan Dr. Eng. Abu Bakar Sambah dan Dr. Ir.Tri Djoko Lelono, M.Si)

Cantrang merupakan salah satu alat tangkap dari jenis pukat tarik.yang
digunakan untuk menangkap ikan demersal. Cantrang terdiri dari 3 bagian utama
yaitu sayap, badan dan kantong dengan mesh size (ukuran mata jaring) yang
berbeda tiap bagiannya. Salah satu sumberdaya perikanan unggulan yang ada di
perairan Lekok adalah ikan – ikan demersal. Kekayaan jenis hasil tangkapan di
perairan Lekok belum diketahui dengan baik dan belum ada informasi data
mengenai komposisi spesies penyusun hasil tangkapan cantrang. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian mengenai komposisi hasil tangkapan cantrang di
perairan Lekok.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui spesies apa saja yang
tertangkap pada alat tangkap cantrang, mengetahui komposisi hasil tangkapan
cantrang, mengetahui keanekaragaman dan keseragaman spesies hasil
tangkapan cantrang dan mengetahui tingkat keramahan lingkungan alat tangkap
cantrang di Perairan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
survey. Metode ini dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara
langsung guna mendapatkan keterangan yan jelas terhadap suatu masalah dalam
penelitian di kecamatan Lekok kabupaten Pasuruan. Data yang digunakan meliputi
data primer dan data sekunder. Metode analisis dilakukan dengan bantuan
software Microsoft Excel yang berguna untuk menghitung komposisi spesies,
analisis keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan software SPSS (Statistical
Product and Service Solution) menggunakan analisis uji One-Way ANOVA
digunakan untuk menghitung perbedaan berat antar spesies.
Spesies penyusun terdiri dari 24 spesies diantaranya adalah ikan peperek
(Leiognathus splendens), ikan kuniran (Upeneus molucenssis), ikan kurisi
(Nemipterus nematopus), ikan beloso (Saurida argentea), ikan barakuda
(Spyraena putnamae), ikan kerong – kerong (Terapon theraps), ikan bawal hitam
(Parastromateus niger), ikan gulamah (Pennahia anea), ikan swanggi (Priacanthus
tayenus), ikan buntal (Lagocephalus guentheri), ikan layur (Trichiurus lepturus),
ikan ayam ayam (Abalistes stellaris), ikan selar kuning (Selaroide leptolepis), ikan
sebelah (Psettodes erumei), ikan pari (Dasyati zugei), ikan lidah zebra (Zebrias
zebra), ikan kerapu lumpur (Epinephelus coioides), ikan ketang – ketang (Drepane
punctata), cumi – cumi (Photololigo duvaucelii Drepane punctata), sotong (Sepia
officinalis), gurita (Octopus alpheus), udang (Penaeus merguiensis), rajungan
(Portunus pelagicus) dan ikan lidah (Cynoglossus macrolepidotus).
Berdasarkan dari perhitungan komposisi didapatkan nilai persentase
spesies terbesar adalah ikan peperek (Leiognathus splendens) sebesar 14,59%.
Sedangkan hasil tangkapan yang paling sedikit adalah udang dengan persentase
hanya 1,67%. Jika dilihat dari kategori spesies, nilai persentase terbesar adalah
kategori ikan demersal sebesar 76,8%. Sedangkan persentase terendah adalah
kategori ikan pelagis kecil sebesar 2,4%.
Nilai indeks keanekaragaman spesies hasil tangkapan cantrang diperoleh
sebesar 2,76 yang artinya termasuk kategori keanekaragaman sedang. Nilai
indeks keseragaman spesies pada hasil tangkapan cantrang sebesar 0,87 yang
artinya juga termasuk kategori keseragaman tinggi.
vii

Proporsi hasil tangkapan utama sebesar 943,25 kg dengan persentase 87%


dan hasil tangkapan sampingan sebesar 139,5 kg dengan persentase 13%.
Persentase dari jumlah hasil tangkapan ikan target yang sudah layak tangkap
sebesar 16% dan 84% belum layak tangkap. Tingkat pemanfaatan hasil
tangkapan sampingan sebesar 80% sedangkan 20% dibuang oleh nelayan karena
belum dapat dimanfaatkan. Berdasarkan penilaian tingkat keramahan lingkungan
alat tangkap cantrang diperoleh skor yaitu 8 yang artinya alat tangkap cantrang
termasuk dalam kategori alat tangkap kurang ramah lingkungan.
viii

KATA PENGANTAR

Penulis menyajikan laporan penelitian yang berjudul “Komposisi Spesies

Hasil Tangkapan Cantrang Di Perairan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur”

sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana perikanan di Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya. Di bawah bimbingan :

1. Dr. Eng. Abu Bakar Sambah, S.Pi, MT

2. Dr. Ir. Tri Djoko Lelono, M.Si

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi

mahasiswa, pemerintah dan instansi maupun nelayan terkait kondisi perikanan

tangkap di Kecamatan Lekok.

Malang, Mei 2018

Penulis
ix

DAFTAR ISI

Halaman
UCAPAN TERIMAKASIH.........................................................................................v

RINGKASAN ........................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ............................................................................................. viii

DAFTAR ISI............................................................................................................. ix

DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiv

1. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 3
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 3
1.4 Kegunaan .................................................................................................... 4
1.5 Jadwal Penelitian ........................................................................................ 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 6


2.1 Alat Tangkap Cantrang ............................................................................... 6
2.2 Konstruksi Cantrang .................................................................................... 7
2.3 Cara Pengoperasian Cantrang ................................................................... 9
2.4 Daerah Penangkapan Cantrang ............................................................... 11
2.5 Kapal Alat Tangkap Cantrang ................................................................... 11
2.6 Hasil Tangkapan Cantrang ....................................................................... 12
2.7 Komposisi Hasil Tangkapan Cantrang ..................................................... 13
2.8 Identifikasi Jenis Ikan ................................................................................ 14
2.9 Indeks Keanekaragaman .......................................................................... 14
2.10 Keseragaman ............................................................................................ 15

3. METODE PENELITIAN .................................................................................... 16


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 16
3.2 Materi Penelitian ........................................................................................ 16
3.3 Alat dan Bahan Penelitian ......................................................................... 16
3.4 Metode Penelitian ...................................................................................... 17
3.5 Jenis Sumber Data .................................................................................... 17
3.5.1 Data Primer ..................................................................................... 17
3.5.2 Data Sekunder ................................................................................ 18
3.6 Prosedur Penelitian ................................................................................... 18
3.6.1 Persiapan Penelitian ....................................................................... 18
3.6.2 Identifikasi Alat Tangkap Cantrang ................................................. 19
3.6.3 Pengambilan Data Hasil Tangkapan .............................................. 19
3.6.4 Identifikasi Jenis Ikan ...................................................................... 19
x

3.6.5 Pengukuran Panjang Total (Total Length) Ikan Hasil Tangkapan


Dominan .................................................................................................... 20
3.7 Analisis Data.............................................................................................. 21
3.7.1 Analisis Komposisi Hasil Tangkapan .............................................. 21
3.7.2 Analisis Keanekaragaman .............................................................. 21
3.7.3 Analisis Keseragaman .................................................................... 22
3.7.4 Analisis Anova ................................................................................. 23
3.7.5 Analisa Tingkat Keramahan Lingkungan Cantrang ........................ 23
3.8 Alur Penelitian ........................................................................................... 26

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 28


4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ............................................................ 28
4.2 Alat Tangkap Cantrang ............................................................................. 30
4.2.1 Konstruksi Cantrang........................................................................ 33
4.2.2 Kapal Alat Tangkap Cantrang......................................................... 37
4.3 Hasil Tangkapan Cantrang ....................................................................... 37
4.4 Analisis Komposisi Hasil Tangkapan Cantrang ........................................ 44
4.5 Identifikasi Jenis Ikan ................................................................................ 48
4.6 Analisis Keanekaragaman (H’) ................................................................. 74
4.7 Analisis Keseragaman (E)......................................................................... 75
4.8 Analisis Variasi Berat Hasil Tangkapan Cantrang .................................... 76
4.9 Proporsi Hasil Tangkapan Utama dan Sampingan .................................. 79
4.10 Proporsi Ikan Layak Tangkap ................................................................... 80
4.11 Analisis Tingkat Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan .............................. 84
4.12 Analisis Tingkat Keramahan Lingkungan Cantrang ................................. 85

5. PENUTUP ........................................................................................................ 88
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 88
5.2 Saran ........................................................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 90

LAMPIRAN ............................................................................................................ 91
xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian .......................................................................... 5

2 .Penilaian Tingkat Keramahan Lingkungan ....................................................... 25

3. Jumlah Nelayan di Kecamatan Lekok .............................................................. 30

4. Laporan Produksi Perikanan Laut Lekok Tahun 2016 dan 2017..................... 30

5. Bagian - bagian utama cantrang di Kecamatan Lekok .................................... 32

6. Bagian – bagian konstruksi cantrang di Kecamatan Lekok ............................. 34

7. Spesies Hasil Tangkapan Cantrang ................................................................. 38

8. Hasil Tangkapan Cantrang ............................................................................... 39

9. Komposisi (%) Hasil Tangkapan Cantrang ...................................................... 45

10. Total berat (kg) per kategori spesies .............................................................. 46

11. Spesies Hasil Tangkapan Cantrang Berdasarkan Kategori .......................... 46

12. Hasil analisis indeks keanekaragaman .......................................................... 74

13. Hasil Analisis Indeks Keseragaman ............................................................... 75

14. Hasil Uji Anova variasi berat spesies hasil tangkapan cantrang ................... 76

15. Rata - rata berat dan Standar Deviasi berat spesies (kg) hasil tangkapan ... 77

16. Proporsi spesies hasil tangkapan utama dan sampingan ............................. 79

17. Tingkat pemanfaatan ikan hasil tangkapan utama......................................... 84

18. Tingkat pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan ................................. 84

19. Penilaian Tingkat Keramahan Lingkungan Cantrang .................................... 86


xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Alat Tangkap Cantrang ....................................................................................... 7

2. Bagian - bagian Cantrang ................................................................................. 10

3. Alur Penelitian ................................................................................................... 27

4. Pesisir Desa Jatirejo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan ..................... 29

5. Dimensi cantrang nampak atas ........................................................................ 35

6. Dimensi cantrang nampak bawah .................................................................... 36

7. Kapal Cantrang di kecamatan Lekok................................................................ 37

8. Grafik Komposisi Hasil Tangkapan Cantrang .................................................. 45

9. Komposisi hasil tangkapan berdasarkan kategori............................................ 47

10. Leiognathus splendens (Cuvier, 1892), dokumentasi penelitian (2018)........ 48

11. Uppeneus moluccensis (Bleeker, 1855), dokumentasi penelitian (2018) ..... 49

12. Nemipterus nematophorus (Bleeker, 1854), dokumentasi penelitian (2018) 51

13. Saurida argentea (Macleay, 1881), dokumentasi penelitian (2018) .............. 52

14. Sphyraena putnamae (Jordan & Seale, 1905) dokumentasi penelitian ........ 53

15. Terapon theraps (Cuvier, 1829) dokumentasi penelitian (2018) ................... 54

16. Parastromateus niger (Bloch, 1795) dokumentasi penelitian (2018)............. 55

17. Pennahia anea (Bloch, 1793) dokumentasi penelitian (2018) ....................... 56

18. Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) dokumentasi penelitian (2018) ..... 57

19. Lagocephalus guentheri (Miranda Riberio, 1915) dokumentasi penelitian ... 58

20. Trichiurus lepturus (Linnaeus, 1758) dokumentasi penelitian (2018) ............ 59

21. Abalistes stellaris (Bloch & Schneider, 1801) dokumentasi........................... 60

22. Selaroide leptolepis (Cuvier, 1833) dokumentasi penelitian (2018) .............. 61

23. Psettodes erumei (Bloch & Schneider, 1801) ................................................ 63

24. Dasyati zugei (Muller & Henle, 1841) dokumentasi penelitian (2018) ........... 64
xiii

25. Zebrias zebra (Bloch, 1787) dokumentasi penelitian (2018) ......................... 65

26. Epinephelus coioides (Hamilton, 1822), dokumentasi penelitian (2018) ....... 66

27. Drepane punctata (Linnaeus, 1758) dokumentasi penelitian (2018) ............. 67

28. Photololigo duvaucelii (Valenciennes, 1842), dokumentasi penelitian (2018)

............................................................................................................................... 68

29. Sepia officinalis (Linnaeus, 1758) dokumentasi penelitian (2018) ................ 69

30. Octopus alpheus (Norman, 1993) dokumentasi penelitian (2018) ................ 70

31. Penaeus merguiensis (de Man, 1888) dokumentasi penelitian (2018) ......... 71

32. Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) dokumentasi penelitian (2018) ........... 72

33. Cynoglosus macrolepidotus (Bleeker, 1851) dokumentasi penelitian (2018) 73

34. Proporsi hasil tangkapan utama dan sampingan berdasarkan berat (kg) ..... 79

35. Distribusi panjang ikan peperek (Leiognathus splendens Cuvier, 1892) ...... 81

36. Distribusi panjang ikan kuniran (Uppeneus moluccensis Bleeker, 1855)..... 82

37. Distribusi panjang ikan kurisi (Nemipterus nematopus Bleeker, 1854). ........ 82

38. Distribusi panjang ikan beloso (Saurida argentea Macleay, 1881) ............... 83
xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Peta lokasi penelitian ........................................................................................ 91

2. Bentuk Konstruksi Pukat Tarik Cantrang Berdasarkan SNI (2006) ................. 92

3. Data berat per spesies (kg) .............................................................................. 93

4. Hasil pengolahan data berat spesies (kg) menggunakan SPSS ..................... 99

5. Data spesifikasi bagian – bagian cantrang..................................................... 102

6. Perhitungan indeks keanekragaman dan keseragaman................................ 103

7. Dokumentasi kegiatan identifikasi alat tangkap ............................................. 104

8. Dokumentasi kegiatan identifikasi spesies ..................................................... 110

9. Tabel uji normalitas data berat hasil tangkapan. ............................................ 111

10. Spesies hasil tangkapan cantrang di perairan Lekok .................................. 112


1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasuruan merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang dikenal

sebagai kota santri, memiliki luas wilayah 1.474 km2 atau sekitar sepertiga dari

luas wilayah Jawa Timur. Wilayah Kabupaten Pasuruan secara geografis terdiri

dari pegunungan, dataran rendah dan kawasan pantai. Sebagian dari wilayah

tersebut mempunyai sumberdaya alam yang potensial untuk pengembangan

usaha perikanan. Potensi kelautan dan perikanan yang terdapat di Kabupaten

Pasuruan meliputi wilayah perairan laut yang terbentang ±48 km yang terdiri atas

kawasan danau, perikanan air tawar dan perikanan air payau. Dari potensi yang

ada pada tahun 2016 telah dieksploitasi sebesar 9.206,10 ton. Jenis ikan yang

tertangkap antara lain: Peperek, Tembang, Teri, Cumi – cumi, Belanak, Rajungan,

Kerang dan lainnya (Pemerintah Kabupaten Pasuruan, 2017).

Lekok merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Pasuruan dengan

jumlah nelayan terbanyak di Pasuruan. Salah satu potensi perikanan terdapat di

daerah ini adalah teri nasi. Namun, semenjak cara penangkapan ikan yang tidak

ramah lingkungan dengan menggunkan bom dan potassium yang dilakukan oleh

nelayan lekok di masa lampau mengakibatkan rusaknya habitat ikan disekitar

perairan Lekok. Menurut nelayan dan staff Dinas Kelautan dan Perikanan, perairan

Lekok telah mengalami eksploitasi yang berlebihan (overfishing) dengan alat

tangkap cantrang yang merusak ekosistem laut sehingga ikan tidak punya tempat

untuk bertelur dan berkembangbiak (Triyadiyatma, 2016).

Berdasarkan laporan tahunan Badan Pengelola Pendaratan Ikan Lekok

(BPPI) tahun 2006, jenis alat tangkap yang terdapat di Kecamatan Lekok adalah

payang jurung, alet atau yang kita kenal sebagai alat tangkap cantrang, payang

oras, jaring insang, jaring kepiting, jaring klitik dan bagan. Jenis al at tangkap
2

lainnnya terdapat alat tangkap bubu dan tongep atau yang dikenal dengan mini

trawl. Menurut penelitian yang telah dilaksanakan oleh Soecahyo (2017), Jenis

alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di kecamatan Lekok berjumlah 467

buah untuk alat tangkap cantrang, jaring klitik 347 buah, bagan tancap 32 buah

dan alat tangkap jenis jaring angkat lainnya berjumlah 25 buah

Berdasarkan uraian diatas, seperti kita ketahui bahwa alat tangkap cantrang

termasuk ke dalam klasifikasi alat tangkap pukat tarik (seine nets). Cantrang

merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal yang

secara garis besar terdiri dari bagian sayap, badan dan kantong. Alat tangkap

cantrang diindikasikan sebagai alat tangkap ikan yang kurang ramah lingkungan

karena hampir mirip dengan trawl yang dilarang oleh pemerintah yang menangkap

ikan ukuran kecil maupun sedang matang gonad sehingga dikhawatirkan akan

menghambat keberlanjutan sumberdaya ikan demersal. Ikan demersal

mempunyai nilai ekonomis tinggi karena cita rasanya khas dan digemari

konsumen (Sudirman, 2008).

Dalam menentukan kekayaan jenis ikan pada wilayah perairan dan tingkat

keanekaragaman sekaligus dominansi hasil tangkapan alat tangkap khususnya

cantrang dapat dilakukan perhitungan komposisi terhadap sumberdaya ikan di

suatu wilayah perairan. Kekayaan jenis hasil tangkapan di Lekok, Kabupaten

Pasuruan belum diketahui dengan baik, dimana kurangnya data-data mengenai

komposisi spesies penyusun hasil tangkapan. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi

perairan dan perkembangan usaha di masyarakat khususnya oleh nelayan

setempat untuk mengetahui potensi sumberdaya perikanan di Lekok, Kabupaten

Pasuruan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai komposisi hasil

tangkapan cantrang di Lekok, Kabupaten Pasuruan.


3

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, mengenai alat tangkap cantrang yang

dioperasikan didasar perairan menangkap ikan – ikan demersal dan dikenal

sebagai alat tangkap yang kurang ramah lingkungan karena dapat merusak

ekosistem dasar perairan seperti ekosistem terumbu karang. Secara umum

konstruksi cantrang terdiri dari sayap, badan dan kantong mirip dengan trawl. Alat

tangkap ini dilarang karena kurang ramah lingkungan dan tidak selektif. Cantrang

dapat menangkap ikan – ikan kecil (juvenile) yang belum matang gonad maupun

yang sedang matang gonad sehingga dikhawatirkan menghambat kelestarian dan

keberlanjutan dari ikan – ikan demersal. Maka permasalahan utama dari penelitian

ini dapat dirumuskan dalam subsquestion sebagai berikut :

1) Apa saja spesies yang tertangkap pada alat tangkap cantrang di Perairan

Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur?

2) Bagaimana komposisi (%) spesies yang tertangkap pada alat tangkap

cantrang di Perairan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur?

3) Bagaimana keanekaragaman dan keseragaman spesies yang tertangkap

pada alat tangkap cantrang di Perairan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa

Timur?

4) Bagaimana tingkat keramahan lingkungan dari alat tangkap cantrang

terhadap lingkungan perairan Kecamatan Lekok?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini ialah sebagai berikut :

1) Untuk mengetahui spesies yang tertangkap pada alat tangkap cantrang di

Perairan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

2) Untuk mengetahui komposisi (%) spesies yang tertangkap pada alat

tangkap cantrang di Perairan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.


4

3) Untuk mengetahui keanekaragaman dan keseragaman spesies yang

tertangkap pada alat tangkap cantrang di Perairan Lekok, Kabupaten

Pasuruan, Jawa Timur.

4) Untuk mengetahui tingkat keramah lingkungan dari alat tangkap cantrang

terhadap lingkungan perairan Kecamatan Lekok.

1.4 Kegunaan

Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini ialah sebagai

berikut:

1) Bagi Mahasiswa

Untuk menambah referensi dan pengetahuan tentang hasil tangkapan dari

alat tangkap cantrang.

2) Bagi Pemerintah dan Instansi Terkait

Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan bahan acuan untuk

meningkatkan manajemen pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia

terutama terhadap hasil tangkapan.

3) Bagi Nelayan

Untuk menambah informasi yang terkait dengan komposisi hasil tangkapan

dari alat tangkap cantrang.

1.5 Jadwal Penelitian

Pelaksanaan penelitian skripsi ini akan diawali dengan pengajuan judul dan

pembuatan proposal yang dilaksanakan pada bulan Desember 2017. Untuk

konsultasi proposal pada bulan akhir Desember 2017 – Januari 2018. Kemudian

pelaksanaan skripsi dan pengambilan data dilakukan pada bulan Januari –

Februari 2018. Jadwal penelitian disajikan pada tabel 1 berikut ini:


5

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

No Nama Kegiatan Minggu Ke -


Desember Januari Februari
2017 2017 2018
1. Pengajuan Judul
2. Penyusunan Proposal
2. Pemantapan Lokasi Penelitian
3. Persiapan Alat Penunjang Penelitian
4. Pengambilan Data
5. Pengolahan Data
6

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alat Tangkap Cantrang

Menurut Badan Standardisasi Nasional (2006), alat tangkap cantrang ialah

alat penangkapan ikan berkantong tanpa alat pembuka mulut pukat dengan tali

selambar yang pengoperasiannya di dasar perairan dengan cara melingkari

gerombolan ikan, penarikan dan pengangkatan pukat (hauling) dari atas

kapal.Cantrang merupakan salah satu alat penangkapan ikan dasar dari jenis

pukat tarik yang banyak dipergunakan oleh nelayan skala kecil dan skala

menengah, dengan daerah penangkapan di wilayah seluruh perairan Indonesia.

Alat tangkap cantrang termasuk dalam klasifikasi pukat tarik berperahu (boat

seines) dengan menggunakan simbol SV dan berkode ISSCFG 02.1.0, sesuai

dengan International Standard Statistical Classification of Fishing Gears – FAO

(Food and Agriculture Organization).

Cantrang merupakan alat tangkap pukat kantong. Alat tangkap ini berfungsi

untuk menangkap ikan – ikan dasar. Pengoperasian alat tangkap cantrang

dilakukan dengan cara melingkari gerombolan ikan demersal dengan

menggunakan kapal. Berdasarkan bentuknya, cantrang mirip dengan payang.

Secara konstruksi cantrang terdiri dari bagian sayap, mulut, badan dan kantong.

Pengoperasian alat tangkap cantrang dilakukan dengan caramelingkari

gerombolan ikan demersal dengan menggunakan kapal (Martina, 2015).

Cantrang merupakan salah satu jenis alat tangkap yang termasuk ke dalam

pukat kantong (seine net) (Subani dan Barus, 1989). Alat tangkap ini berfungsi

untuk menangkap sumberdaya ikan demersal yang dioperasikan dengan cara

dilingkarkan pada perairan dan kemudian ditarik ke atas kapal dengan

menggunakan tenaga manusia ataupun bantuan mesin. Berdasarkan bentuknya

alat tangkap ini mirip dengan payang, tetapi memiliki ukuran yang lebih kecil.
7

Secara konstruksi cantrang terbuat dari jaring dengan dua panel (seam), memiliki

bentuk dan ukuran sayap yang sama pada dua buah sisinya tanpa dilengkapi alat

pembuka mulut jaring (otter board). Namun, di beberapa daerah ada yang

menggunakan papan (otter board) sebagai pembuka mulut cantrang.

Gambar 1. Alat Tangkap Cantrang


(Sumber : Kepmen No. 6 Tahun 2010)

2.2 Konstruksi Cantrang

Menurut Badan Standardisasi Nasional (2006), menjelaskan bahwa bagian-

bagian dari alat tangkap cantrang terdiri dari sayap/kaki pukat, badan pukat,

kantong pukat, danleno, tali ris atas, tali ris bawah, dan tali selambar.

Konstruksi alat tangkap cantrang secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut :

1) Sayap/kaki pukat (wing) : bagian pukat tang terpanjang dan terletak di ujung

depan pukat tarik cantrang. Sayap pukat terdiri dari sayap panel atas

(upperwing) dan sayap panel bawah (lower wing)

2) Badan pukat (body) : bagian pukat yang terpendekdan terletak di antara

bagian kantong dan bagian sayap pukat

3) Kantong pukat (cod) : bagian pukat yang terletak di ujung belakang dari

pukat tarik cantrang

4) Danleno : kelengkapan pukat tarik cantrang yang berbentuk batang atau

balok kayu/pipa besi atau besi berbentuk segitiga yang dipergunakan sebagai
8

alat perentang sayap pukat (ke arah vertikal) dan dipasang tegak pada ujung

depan bagian sayap pukat

5) Tali ris atas (head rope) : tali yang berfungsi untuk menggantungkan dan

menghubungkan kedua sayap pukat bagian panel atas, melalui mulut pukat

bagian atas

6) Tali ris bawah (ground rope) : tali yang berfungsi untuk menggantungkan

dan menghubungkan kedua sayap pukat bagian panel bawah, melalui mulut

pukat bagian bawah

7) Tali selambar (warp rope) : tali yeng berfungsi sebagai penarik pukat

cantrang ke atas geladak kapal

Menurut Bambang (2006), konstruksi alat tangkap cantrang secara umum

terdiri atas kantong, sayap, badan, dan mulut. Berikut gambaran umum bagian-

bagian cantrang :

1) Kantong (Cod end), merupakan bagaian jaring tempat terkumpulnya hasil

tangkapan. Pada ujung kantong diikat dengan tali untuk menjaga agar hasil

tangkapan tidak mudah lolos (terlepas).

2) Badan (Body), merupakan bagian jaring terbesar, terletak antara sayap dan

kantong. Bagian ini berfungsi untuk menghubungkan bagian sayap dan

kantong untuk menampung jenis ikan dasar dan udang sebelum masuk ke

dalam kantong. Badan tediri atas bagian-bagian kecil jaring dengan ukuran

mata jaringnya berbeda-beda.

3) Sayap (Wing), adalah bagian jaring yang merupakan sambungan atau

perpanjangan badan sampai tali salambar. Bagian ini juga sering disebut jaring

pengarah. Sayap terdiri dari sayap kanan dan sayap kiri, masing-masing

memiliki sayap atas (upper wing) dan sayap bawah (lower wing). Kedua sayap

membentuk mulut jaring yang terdiri dari mulut atas (head line) yang diikatkan

tali ris atas (head rope) sebagai tempat pelampung dan mulut bawah (ground
9

line) yang diikatkan tali ris bawah (ground rope) yang diberi pemberat. Fungsi

sayap adalah untuk menghadang dan mengarahkan ikan agar masuk ke dalam

kantong.

4) Mulut (Mouth), alat cantrang memiliki bibir atas dan bibir bawah yang

berkedudukan sama. Pada mulut jaring terdapat:

(1) Pelampung (float): tujuan umum penggunan pelampung adalah untuk

memberikan daya apung pada alat tangkap cantrang yang dipasang pada

bagian tali ris atas (bibir atas jaring) sehingga mulut jaring dapat terbuka.

(2) Pemberat (Sinker): dipasang pada tali ris bagian bawah dengan tujuan

agar bagian-bagian jaring yang dipasangi pemberat ini cepat tenggelam

dan tetap berada pada posisinya (dasar perairan) meskipun mendapat

pengaruh dari arus.

(3) Tali Ris Atas (Head Rope) : berfungsi sebagai tempat mengikatkan

bagian sayap jaring, badan jaring (bagian bibir atas) dan pelampung.

(4) Tali Ris Bawah (Ground Rope) : berfungsi sebagai tempat

mengikatkan bagian sayap jaring, bagian badan jaring (bagian bibir bawah)

jaring dan pemberat.

(5) Tali Penarik (Warp) : berfungsi untuk menarik jaring selama di

operasikan.

2.3 Cara Pengoperasian Cantrang

Menurut Badan Standardisasi Nasional (2006), adapun teknik

pengoperasian cantrang adalah sebagai berikut :

1) Penurunan pukat (setting)

Penurunan pukat dilakukan dari salah satu sisi lambung bagian buritan

perahu/kapal dengan gerakan maju perahu/kapal membentuk lingkaran sesuai

dengan panjang tali selambar (≥500 meter) dengan kecepatan perahu/kapal


10

tertentu. Penggunaan tali selambar yang panjang bertujuan untuk memperoleh

area sapuan yang luas.

2) Penarikan dan pengangkatan pukat (hauling)

Penarikan dan pengangkatan pukat dilakukan dari buritan perahu/kapal

dengan menggunakan permesinan penangkapan (fishing machinery) dalam

kedudukan perahu/kapal bertahan.

Selama setting kapal bergerak secara melingkar mulai dari penurunan

pelampung tanda dan berakhir kembali pada pelampung tanda. Setelah itu,

pelampung tanda dinaikkan ke atas kapal dan dilanjutkan dengan penarikan tali

selambar sampai pada bagian sayap. Kemudian, bagian sayap diangkat ke

lambung kiri kapal dan dilanjutkan dengan penarikan jaring. Sementara itu kapal

bergerak dengan kecepatan rendah sehingga seluruh hasil tangkapan dinaikkan

keatas kapal (Sudirman, 2013).

Gambar 2. Bagian - bagian Cantrang, berdasarkan SNI (2006)


11

2.4 Daerah Penangkapan Cantrang

Secara umum daerah penangkapan ikan (fishing ground) didefinisikan

sebagai suatu daerah yang baik atau wilayah perairan baik tawar maupun laut

(samudera) yang menjadi tujuan sasaran penangkapan, karena diharapkan

mendapatkan ikan atau non ikan dalam jumlah yang banyak. Daerah

penangkapan cantrang umumnya tidak jauh dari pantai, yang dicari terutama

daerah yang berpasir, pasir-lumpur dengan permukaan yang rata.

Penentuan daerah penangkapan dengan alat tangkap cantrang hampir

sama dengan trawl. Cantrang dioperasikan pada daerah perairan yang dasarnya

datar dengan substrat berlumpur atau berpasir, tidak berbatu karang dan tidak

terdapat benda-benda yang mungkin dapat merusak alat tangkap cantrang di

dasar perairan. Suatu perairan dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan yang

baik apabila memenuhi beberapa syarat yaitu daerah tersebut terdapat ikan yang

melimpah sepanjang tahun, alat tangkap dapat dioperasikan dengan mudah,

lokasi tidak jauh dari pelabuhan sehingga mudah dijangkau oleh perahu dan

Keadaan daerahnya pengoperasiannya aman dan tidak membahayakan

(Bambang, 2006).

2.5 Kapal Alat Tangkap Cantrang

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004,

kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan

untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan,

pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan

perikanan,dan penelitian/ eksplorasi perikanan. Kapal yang digunakan dalam

pengoperasian alat tangkap cantrang pada umumnya memiliki kapasitas antara

10-30 GT. Panjang kapal berkisar antara 12-15 meter dan lebar antara 6-8 meter.

Bentuk badan kapal cantrang adalah U bottom. Hal ini karena pada saat
12

pengoperasian alat tangkap cantrang dibutuhkan kestabilan kapal yang cukup

baik.

Menurut Atmaja (2012), cantrang merupakan alat tangkap tradisional yang

telah lama beroperasi di Laut Jawa, dioperasikan dengan menggunakan kapal

berbobot di bawah 10 GT dengan jumlah ABK sebanyak 3 orang dan jaring masih

ditarik dengan tangan. Penggunaan gardan sebagai alat bantu untuk menarik

jaring tahun 1987 (terutama oleh nelayan Jawa Timur), cantrang telah dimodifikasi

menjadi alat tangkap aktif, dengan cara ditarik menggunakan sebuah perahu atau

kapal. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2005 Dinas Perikanan dan Kelautan

Jawa Timur telah mengizinkan cantrang beroperasi dengan kapal yang berbobot

di bawah 30 GT. Kebijakan ini telah memberi kontribusi terhadap pesatnya

perkembangan alat tangkap cantrang, kemudian muncul Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor 2 tahun 2015 tentang pelarangan penggunaan

pukat tarik dan pukat hela untuk melakukan kegiatan operasi penangkapan di

Indonesia.

2.6 Hasil Tangkapan Cantrang

Hasil tangkapan pada alat tangkap cantrang terbagi menjadi dua, yaitu hasil

tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan. Hasil tangkapan utama adalah

semua spesies yang menjadi sasaran utama dalam penangkapan. Disebut hasil

tangkapan utama karena memilik nilai ekonomis yang tinggi. Sedangkan hasil

tangkapan sampingan adalah semua spesies yang di luar hasil tangkapan utama.

Nilai ekonomis hasil tangkapan sampingan lebih rendah daripada nilai ekonomis

hasil tangkapan utama. Jenis Spesies ikan yang biasa tertangkap oleh alat

tangkap cantrang antara lain kurisi, udang jerbung, tembang, lemuru, ikan

kembung, dan lain-lain (Leo, 2010).


13

Sesuai dengan deskripsi alat tangkap ikan yang digunakan yaitu cantrang,

maka jenis ikan yang tertangkap adalah didominansi ikan demersal. Akan tetapi

tidak seluruhnya hasil tangkapan ikan adalah berupa ikan demersal, melainkan

juga ikan pelagis, udang, dan non ikan (cumi-cumi dan sotong). Hal ini disebabkan

karena cantrang dioperasikan pada perairan yang dangkal, sehingga secara

umum alat ini menangkap hampir semua jenis ikan dasar dalam berbagai ukuran,

beberapa ikan pelagis, cumi, dan sotong. Demikian halnya apabila dioperasikan di

perairan yang dalam, maka pada saat jaring ditarik ke atas kapal akan melewati

air di mana ikan pelagis hidup, sehingga ikan pelagis juga dapat tertangkap

(Sukarniati, 2008).

2.7 Komposisi Hasil Tangkapan Cantrang

Menurut Leo (2010), untuk menentukan tingkat keanekaragaman dan

dominansi hasil tangkapan cantrang dapat dengan melakukan perhitungan

komposisi keanekaragaman sumberdaya hasil tangkapan di suatu wiayah

perairan. Selain itu, perhitungan komposisi dapat juga digunakan untuk

perbandingan dan komposisi hasil tangkapan utama serta hasil tangkapan

sampingan alat tangkap. Data-data tersebut yang nantinya akan bermanfaat

sebagai bahan informasi untuk mengetahui kondisi pada suatu perairan.

Menurut Pratiwi (2010), analisis ataupun perhitungan pada komposisi hasil

tangkapan berguna untuk mendapatkan informasi mengenai perbedaan jenis

spesies hasil tangkapan terhadap alat tangkap tertentu dan mengetahui

persentase dari hasil tangkapan dominan. Komposisi berarti susunan, sehingga

komposisi jenis sumberdaya ikan ialah susunan jenis atau spesies sumberdaya

ikan yang tertangkap dari hasil kegiatan operasi penangkapan ikan. Data hasil

tersebut yang nantinya berguna untuk pihak-pihak yang memerlukan seperti Dinas

Kelautan dan Perikanan, nelayan, dan para pelaku usaha penangkapan.


14

2.8 Identifikasi Jenis Ikan

Menurut White, et.al (2013), identifikasi adalah proses penentuan identitas

individu atau spesimen suatu takson dengan contoh spesimen yang identitasnya

sudah jelas. Identifikasi merupakan pengenalan dan deskripsi yang teliti dan tepat

terhadap suatu jenis spesies yang selanjutnya diberi nama ilmiahnya. Identifikasi

jenis ikan pada umumnya menggunakan sumber identifikasi dari Allen-Erdmann

dan FAO (misalnya Carpenter & Niem) untuk mengetahui nama-nama inggris dari

ikan. Nama-nama umum lokal didasarkan pada informasi yang dikumpulkan oleh

para nelayan. Nama ilmiah dari setiap jenis terdiri dari nama genus dan spesies.

Menurut Sagala et.al (2012), identifikasi adalah tugas untuk mencari dan

mengenal ciri-ciri taksonomi individu yang beraneka ragam dan memasukkannya

ke dalam suatu takson. Prosedur identifikasi berdasarkan pemikiran yang bersifat

deduktif. Identifikasi berhubungan dengan ciri taksonomi dalam jumlah sedikit

akan membawa specimen ke dalam suatu urutan kunci identifikasi. Data

keragaman ikan di Indonesia masih belum akurat sehingga adanya identifikasi

jenis ikan untuk mengetahui data nilai keragaman ikan di suatu perairan sangat

penting sebagai upaya untuk menunjang kepentingan pelestarian jenis ikan.

2.9 Indeks Keanekaragaman

Keanekaragaman menunjukkan kekayaan jenis dalam komunitas dan juga

memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian jumlah individu tiap jenis.

Keanekaragaman dapat dihitung berdasarkan indekskeanekaragaman. Indeks ini

menggambarkan keadaan komunitas secara matematis agar mempermudah

dalam menganalisis keanekaragaman individu dalam suatu komunitas. Selain itu

juga untuk melihat kestabilan komunitas dalam suatu ekosistem. Semakin banyak

jenis yang ditemukan dalam contoh, maka semakin besar keanekaragamannya

(Odum, 1971). Keanekaragaman spesies terdiri dari dua komponen, yaitu:


15

1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies.

2. Kesamarataan spesies yang menunjukkan bagaimana kelimpahan spesies

itu (jumlah individu, biomass, dan sebagainya) tersebar antara banyak

spesies itu.

Menurut Suprapto (2014), indeks keanekaragaman jenis ikan merupakan

nilai tunggal yang mencerminkan karakterisasi dari hubungan kelimpahan individu

di antara spesies dalam komunitas sumber daya ikan. Keanekaragaman jenis

dipengaruhi oleh faktor eksternal (tekanan eksploitasi, degradasi lingkungan,

pencemaran) atau faktor internal. Indeks keanekaragaman yang bernilai tinggi

dapat digunakan sebagai indikasi komunitas dalam lingkungan yang stabil, kondisi

sebaliknya sebagai petunjuk lingkungan yang labil dan berubah-ubah.

2.10 Keseragaman

Menurut Zulfiati (2014), nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman

dapat menunjukkan keseimbangan dalam suatu pembagian jumlah individu tiap

jenis. Keseragaman mempunyai nilai yang besar jika individu ditemukan berasal

dari spesies atau genera yang berbeda-beda. Indeks keseragmaan adalah

komposisi setiap individu pada suatu spesies yang terdapat dalam suatu

komunitas. Indeks keseragaman (E) merupakan pendugaan yang baik untuk

menentukan dominansi dalam suatu area. Apabila satu atau beberapa jenis

melimpah dari yang lainnya, maka indeks keseragaman akan rendah.

Menurut Yuspriadipura, et.al (2014), indeks keseragaman merupakan

gambaran sebaran dari pada kepadatan sumberdaya ikan pada ekosistem,

dimana ikan tersebut ditangkap dan selanjutnya digunakan sebagai gambaran

tingkat dominasi suatu jenis dan juga kestabilan ekosistem. Nilai keseragaman

dipengaruhi oleh kelimpahan setiap spesies. Semakin kecil indeks keseragaman

suatu komunitas maka ada dominasi oleh salah satu spesies tertentu.
16

3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian skripsi dilakukan pada bulan Januari – Februari 2018 di

Desa Jatirejo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

3.2 Materi Penelitian

Materi yang diteliti pada saat penelitian berlangsung di Desa Jatirejo,

Kabupaten Pasuruan ialah sebagai berikut:

1. Dimensi kapal cantrang yang ada di Desa Jatirejo, Kabupaten Pasuruan.

2. Dimensi alat tangkap cantrang yang dilakukan cara observasi langsung ke

nelayan cantrang di Desa Jatirejo, Kabupaten Pasuruan.

3. Indetifikasi spesies dan total berat tiap spesies hasil tangkapan per trip tiap

kapal di Desa Jatirejo, Kabupaten Pasuruan.

3.3 Alat dan Bahan Penelitian

Adapun alat yang digunakan untuk kegiatan penelitian ini adalah:

1) Timbangan : untuk menimbang berat hasil tangkapan

2) Laptop : untuk menganalisis dan mengolah data

3) Kamera : untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian

4) Alat tulis : untuk mencatat data yang diperlukan

5) Penggaris/ meteran : untuk mengukur dimensi alat tangkap

6) Buku identifikasi : untuk mengidentifikasi spesis hasil tangkapan

7) Alat tangkap cantrang : untuk pengambilan data konstruksi

Sedangkan bahan yang digunakan untuk kegiatan penelitian ini adalah :

Hasil tangkapan cantrang : sebagai objek utama dalam kegiatan penelitian.


17

3.4 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

survey. Metode deskriptif survey yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui

unsur, sifat maupun ciri-ciri suatu keadaan. Metode ini dimulai dengan

mengumpulkan data, menganalisis data dan menginterprestasikannya (Sugiyono,

2012). Metode deskriptif dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara

langsung guna mendapatkan keterangan yang jelas terhadap suatu masalah

dalam penelitian di Desa Jatirejo, Kecamatan Lekok Pasuruan, Jawa Timur. Data

deskriptif pada umumnya dikulpulkan melalui metode pengumpulan data yaitu

wawancara atau observasi. Metode ini dilakukan dengan pengamatan secara

langsung (identifikasi alat tangkap dan hasil tangkapan cantrang).

3.5 Jenis Sumber Data

Berdasarkan sasaran yang ingin dicapai, maka penelitian ini menggunakan dua

kelompok data yaitu, data primer dan data sekunder.

3.5.1 Data Primer

Data primer adalah data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud khusus

menyelesaikan permasalahan yang sedang ditanganinya. Data dikumpulkan

sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau tempat objek

penelitian dilakukan (Sugiyono, 2012).

Data primer yang diperoleh saat penelitian berlangsung didapatkan dari

hasil wawancara, observasi dan partisipasi aktif. Wawancara yang dilakukan

berupa wawancara langsung ke nelayan cantrang mengenai alat tangkap

cantrang (ukuran tiap bagian cantrang), hasil tangkapan (target, non target dan

tidak dimanfaatkan), ukuran kapal dan daerah penangkapan. Observasi yang

dilakukan berupa pengambilan beberapa spesies ikan hasil tangkapan

kemudian dilakukan pengamatan identifikasi ikan. Partisipasi aktif dilakukan


18

dengan cara ikut serta dalam membedakan atau memisahkan tiap spesies ikan

kedalam beberapa keranjang atau wadah lalu ditimbang. Pengambilan data

primer hasil tangkapan dilakukan selama 5 hari dalam 1 minggu, baik dari

kapal yang sama maupun berbeda. Pengambilan data dilakukan selama 2

bulan.

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang dikumpulkan untuk maksud selain

menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan

dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah

literatur, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian

yang dilakukan (Sugiyono, 2009). Data sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data statistik dari Instalasi Pelabuhan Perikanan (IPP)

Lekok, jurnal penelitian, artikel penelitian dan laporan skripsi terdahulu yang

berhubungan dengan komposisi hasil tangkapan cantrang.

3.6 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian yaitu persiapan

penelitian, identifikasi alat tangkap cantrang, pendataan hasil tangkapan (berat

spesies) dan identifikasi jenis ikan hasil tangkapan cantrang. Data yang diambil

berupa dimensi alat tangkap cantrang, nama spesies, ciri-ciri morfologi ikan, berat

per spesies per kapal dan berat total ikan hasil tangkapan.

3.6.1 Persiapan Penelitian

Hal pertama yang diperlukan dalam penelitian yaitu mempersiapkan

peralatan yang akan digunakan seperti penggaris / meteran, timbangan digital,

nampan, kertas bufalo, alat tulis, form dan kamera untuk dokumentasi setiap

kegiatan penelitian. Sedangkan, bahan yang digunakan adalah ikan hasil

tangkapan cantrang.
19

3.6.2 Identifikasi Alat Tangkap Cantrang

Identifikasi alat tangkap cantrang dilakukan guna mengetahui ukuran

konstruksi cantrang yang dioperasikan di Desa Jatirejo, Kabupaten Pasuruan.

Bagian atau komponen alat tangkap yang diidentifikasi meliputi ukuran mata

jaring (mesh size), ukuran sayap, badan, kantong, panjang tali selambar dan

juga ukuran dan bahan benang. Proses pengukuran panjang alat tangkap

menggunakan meteran. Sedangkan, pengukuran mesh size dan diameter

menggunakan jangka sorong. Informasi mengenai bahan benang, tali,

pelampung dan pemberat didapatkan dengan menanyakan langsung kepada

nelayan. Setelah itu, infomasi ukuran dan bahan yang diketahui dicatat pada

form identifikasi cantrang.

3.6.3 Pengambilan Data Hasil Tangkapan

Pendataan hasil tangkapan dilakukan sebanyak satu bulan sekali

selama 2 bulan mulai dari bulan Januari sampai Februari 2018. Pengambilan

data dilakukan selama 10 hari dalam satu bulan. Hasil tangkapan yang

didaratkan oleh nelayan ditepi pantai dipisahkan tiap spesies ke beberapa

wadah. Kemudian dilakukan penimbangan hasil tangkapan tiap spesies dan

dicatat kedalam form hasil tangkapan. Saat pengambilan data hasil tangkapan

juga dilakukan wawancara kepada nelayan cantrang mengenai hasil

tangkapan utama (target), hasil tangkapan sampingan (non target), hasil

tangkapan yang dimanfaatakan (dijual dan dikonsumsi sendiri) serta yang tidak

dimanfaatkan (dibuang).

3.6.4 Identifikasi Jenis Ikan

Identifikasi jenis ikan hasil tangkapan alat tangkap cantrang dilakukan

dengan mengamati ciri-ciri morfologi pada sampel ikan hasil tangkapan

cantrang. Pengambilan sampel ikan dilakukan secara acak atau random

sampling, pengambilan dilakukan secara acak baik yang berukuran kecil,


20

sedang maupun yang berukuran besar dengan kondisi ikan yang masih baik

(bagian tubuh utuh). Sampel yang diambil 1 – 3 ekor dari tiap spesies mewakili

ikan yang akan diidentifikasi. Sebelum melakukan identifikasi ikan dibersihkan

terlebih dahulu menggunakan lap kain basah. Ciri – ciri yang diamati meliputi

bentuk tubuh, panjang, tipe sisik, pola warna, bentuk moncong, bentuk sirip

dan bentuk ekor. Selanjutnya identifikasi jenis ikan menggunakan buku

identifikasi Carpenter dan Niem (1998) untuk menentukan taksonomi ikan hasil

tangkapan dan mencatat hasil identifikasi kedalam form. Kemudian

mendokumentasikan gambar ikan tiap spesies menggunakan latar belakang

kertas bufalo berwarna hitam, hijau dan putih disesuaikan dengan warna tubuh

ikan agar bagian tubuh dari teridentifikasi secara jelas.

3.6.5 Pengukuran Panjang Total (Total Length) Ikan Hasil Tangkapan

Dominan

Untuk menentukan analisis tingkat keramahan lingkungan perlu adanya

pengukuran panjang ikan layak tangkap. Kemudian dibandingkan dengan

panjang Lm (Length at first mature) seberapa banyak panjang ikan yang

berada diatas panjang Lm. Pengambilan sampel ikan juga dilakukan secara

acak dengan mengukur panjang total dari 4 spesies ikan hasil tangkapan

dominan cantrang yaitu ikan peperek, kuniran, kurisi dan beloso. Dari ke empat

ikan dominan tersebut diambil sampel sebanyak 50 ekor tiap spesiesnya.

Pengukuran panjang total ikan dimulai dari ujung mulut sampai ujung sirip ekor

dengan menggunakan penggaris / meteran dalam satuan centimeter. Langkah

pertama yaitu membersihkan kotoran pada tubuh ikan menggunakan lap kain

basah. Kemudian mengukur panjang tubuh ikan dengan meletakkan tubuh

ikan dan diluruskan diatas penggaris, lalu dicatat hasil pengukuran kedalam

form. Pengukuran panjang dilakukan sampai sampelikan habis.


21

3.7 Analisis Data

Data yang diperoleh berupa nama spesies, berat per spesies per kapal, berat

total ikan hasil tangkapan yang diperoleh dari hasil penelitian ditabulasi ke dalam

database pada software Microsoft Excel yang telah dibuat. Selanjutnya data

dianalisis secara lebih lanjut.

3.7.1 Analisis Komposisi Hasil Tangkapan

Komposisi dapat diketahui seberapa besar tingkat keanekaragaman hasil

tangkapan dari alat tangkap cantrang. Data yang digunakan dalam analisis ini

adalah data jumlah berat pada setiap spesies ikan yang telah diidentifikasi dan

data total berat ikan hasil tangkapan yang didapatkan saat pencatatan data

lapang. Selanjutnya dihitung komposisi ikan hasil tangkapan dengan

perbandingan jumlah tangkapan per spesies dengan total ikan hasil

tangkapan. Setelah itu hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.

Menurut Susaniati, et.al (2013), komposisi jenis sumberdaya ikan di

suatuwilayah perairan dapat dihitung pada setiap alat tangkap dengan

persamaan sebagai berikut :


𝑛𝑖
x 100% ............................................. (1)
𝑁

Keterangan :

P = Komposisi spesies (%)

ni = Jumlah individu setiap spesies ikan

N = Jumlah individu seluruh spesies ikan

3.7.2 Analisis Keanekaragaman

Keanekaragaman jenis ikan hasil tangkapan menunjukkan suatu

hubungan antara jumlah spesies dan jumlah individu dalam masing-masing

spesies ikan dalam satu komunitas. Analisis keanekaragaman atau

keragaman hasil tangkapan digunakan agar mempermudah dalam


22

menganalisis jumlah individu masing – masing bentuk genus ikan dalam suatu

komunitas habitat ikan.

Menurut Odum (1971), indeks keanekaragaman digunakan untuk

mendapatkan gambaran populasi organisme secara matematis. Hal ini dapat

mempermudah analisis informasi jumlah individu masing-masing spesies

dalam suatu komunitas sumberdaya ikan. Keanekaragaman dapat dihitung

dengan rumus sebagai berikut :

H’ = - ∑ (Pi. Ln (Pi)) .............................. (2)

Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman

Pi = Perbandingan antara jumlah individu dari spesies ke-1 dengan jumlah

total individu (ni/N)

Ni = Jumlah individu dari spesies ke-1

Kategori penilaian indeks keanekaragaman adalah sebagai berikut:

a. H’≤1 = Keanekaragaman rendah, penyebaran rendah, kestabilan

komunitas rendah.

b. 1≤H’≤3 = Keanekaragaman sedang, penyebaran sedang, kestabilan

komunitas sedang.

c. H’≥3 = Keanekaragaman tinggi, penyebaran tinggi, kestabilan komunitas

tinggi.

3.7.3 Analisis Keseragaman

Menurut Odum (1971), indeks keseragaman menggambarkan

keseimbangan ekosistem, untuk mengetahui indeks keseragaman dapat

menggunakan rumus sebagai berikut :


𝐻′
𝐸 = 𝐻′ (𝑚𝑎𝑥) ............................ (3)

Keterangan :
23

E = Indeks Keseragaman

H’ = Keanekaragaman

H’max = Indeks Keanekaragaman maksimum

S = Jumlah total spesies

Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1 dengan kategori sebagai

berikut:

a. 0< E ≤ 0,4 = Keseragaman kecil, komunitas tertekan.

b. 0,4 < E ≤ 0,6 = Keseragaman sedang, komunitas labil.

c. 0,6 < E ≤ 1,0 = Keseragaman tinggi, komunitas stabil.

3.7.4 Analisis Anova

Analisis One-Way ANOVA (Analysis of variance) digunakan untuk

mengetahui variasi jumlah spesies hasil tangkapan per kapal dan variasi berat

antar spesies. Variasi jumlah spesies hasil tangkapan antar kapal diperoleh

dengan menggunakan data jumlah spesies hasil tangkapan per kapal yang

melakukan pengulangan. Untuk mengetahui keanekaragaman spesies hasil

tangkapan maka menggunakan hipotesis, hipotesis yang digunakan ialah :

H1 = Memiliki berat antar spesies hasil tangkapan bervariasi.

H0 = Memiliki berat antar spesies hasil tangkapan tidak bervariasi.

Apabila nilai signifikan <0,05, maka H1 diterima yang artinya variasi jumlah

spesies hasil tangkapan memiliki beda nyata dan diperlukan uji lanjutan

menggunakan prosedur post hoc untuk mengetahui variabel mana yang

memiliki perbedaan yang signifikan atau nyata, tetapi jika nilai signifikan >0,05,

maka H0 diterima yang artinya spesies hasil tangkapan tidak bervariasi.

3.7.5 Analisa Tingkat Keramahan Lingkungan Cantrang

Untuk menganalisa tingkat keramahan lingkungan suatu alat tangkap

menurut Suadela (2004) yaitu dilakukan dengan cara sebagai berikut:


24

1. Membandingkan proporsi Hasil Tangkapan Utama (HTU) dan Hasil

Tangkapan Sampingan (HTS). Jika proporsi HTU yang diperoleh ≥ 60%

maka alat tangkap tersebut dapat dikatakan ramah lingkungan. Untuk

mengetahui spesies apa saja yang termasuk hasil tangkapan utama

dan hasil tangkapan sampingan yaitu dilakukan dengan wawancara

langsung kepada nelayan cantrang. Kemudian nelayan meyebutkan

spesies – spesies yang termasuk hasil tangkapan utama dan

sampingan.

2. Ikan yang menjadi hasil tangkapan, baik sasaran utama maupun hasil

tangkapan sampingan apakah layak atau tidak, terlihat dari pengukuran

panjang cagak dan literatur lenght at first maturity maka dapat

dikatakan ikan tersebut layak tangkap. Jika proporsi ikan layak tangkap

60% maka dapat dikatakan ramah lingkungan. Pengambilan sampel

ikan dilakukan secara acak (random sampling) berupa 4 ikan hasil

tangkapan dominan. Tiap spesies diukur panjang totalnya sebanyak 50

ekor.

3. Discard yang dihasilkan minimum dapat diartikan bahwa by-catch yang

dihasilkan sedikit atau para nelayan memanfaatkan hasil

tangkapannya. Jika hasil tangkapan sampingan ≥ 60% banyak yang

dimanfaatkan maka dapat dikatakan ramah lingkungan. Untuk

mengetahui hasil tangkapan sampingan yang dimanfaatkan dilakukan

wawancara langsung dengan nelayan cantrang. Kemudian dicatat apa

saja hasil tangkapan sampingan yang dimanfaatkan dan dibuang.

Sebelum hasil tangkapan dibuang dilakukan penimbangan terlebih

dahulu dan dicatat hasilnya.

Faktor keramahan yang digunakan sebaai penilaian untuk melihat

tinkat keramahan lingkungan pada suatu unit penangkapan ikan antara lain
25

dari data hasil perhitunan dari pemberian skor pada kriteria keramahan alat

tangkap. Untuk mengetahui skor tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut

ini:

Tabel 2 .Penilaian Tingkat Keramahan Lingkungan

No. Pengamatan Penilaian (%) Kriteria Skor


Sangat Ramah
1 Hasil Tangkapan Utama (%) 81 - 100 4
Lingkungan
61 – 80 Ramah Lingkungan 3
Kurang Ramah
41 – 60 2
Lingkungan
Tidak Ramah
0 – 40 1
Lingkungan
Pemanfaatan Hasil Sangat Ramah
2 81 - 100 4
Tangkapan Sampingan (%) Lingkungan
61 - 80 Ramah Lingkungan 3
Kurang Ramah
41 - 60 2
Lingkungan
Tidak Ramah
0 - 40 1
Lingkungan
Panjang Ikan Dominan Lm Sangat Ramah
3 81 - 100 4
(%) Lingkungan
61 - 80 Ramah Lingkungan 3
Kurang Ramah
41 - 60 2
Lingkungan
Tidak Ramah
0 - 40 1
Lingkungan
Sumber : Mallawa, 2006
26

3.8 Alur Penelitian

Alur prosedur dalam penelitian Komposisi Spesies Hasil Tangkapan Alat

Tangkap Cantrang di Perairan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Pertama

spesies ikan diidentifikasi dengan mengambil satu spesies, kemudian mengetahui

nama lokal dari nelayan, kemudian didokumentasikan. Setelah itu, data ikan

tersebut dicari di fishbase untuk mendapatkan informasi family dan spesies,

kemudian ikan diidentifikasi berdasarkan karakter morfologis dan mencocokannya

dengan literatur yaitu buku Carpenter dan Niem (1998) kemudian data spesies

dimasukkan kedalam tabel jumlah spesies ikan.

Kedua, pengukuran dimensi alat tangkap cantrang dan ukuran kapal.

Pengukuran alat tangkap cantrang dimulai dari mengukur bagian sayap, badan

dan kantong dan didokumentasikan. Setelah itu, mengukur dimensi bagian –

bagian dari cantrang yang lainnya seperti pelampung, pemberat, tali selambar, tali

ris atas, tali ris bawah dan pelampung tanda kemudian dicatat pada form

identifikasi alat tangkap.

Ketiga, pencatatan data komposisi berat spesies hasil tangkapan. Setelah

mengetahui spesies ikan dari hasil identifikasi, dilakukan sampling ikan hasil

tangkapan cantrang. Ikan hasil tangkapan dipisahkan setiap spesies dan beratnya

dicatat pada form untuk mengetahui komposisinya. Setelah itu, dilakukan sampling

ikan dominan hasil tangkapan cantrang kemudian dilakukan pengukuran panjang

dan berat ikan dominan hasil tangkapan untuk mengetahui tingkat keramah

lingkungan dari alat tangkap cantrang. Pengukuran panjang ikan dilakukan dengan

mengukur mulai dari ujung mulut ikan sampai ujung ekor (panjang total / Total

Lenght) kemudian dilakukan penimbangan ikan per ekor dan dicatat hasil

pengukuran panjang dan berat kedalam form.

Setelah mendapatkan semua data yang dibutuhkan kemudian data

tersebut diolah menggunakan analisis deskriptif dan analisis statistik


27

menggunakan uji One Way Anova. Setelah data tersebut diolah maka diperoleh

hasil jenis ikan hasil tangkapan, variasi jumlah spesies hasil tangkapan (berat),

komposisi spesies hasil tangkapan (kg) dan tingkat ramah lingkungan alat

tangkap cantrang

- Masalah Penelitian
- Topik Penelitian

Pengumpulan Data

Data Primer
1. Spesifikasi alat
tangkap cantrang. Data Sekunder
2. Spesifikasi Kapal 1. Jurnal
Cantrang. 2. Artikel Penelitian
3. Berat per jenis ikan 3. Laporan Skripsi
per kapal dan berat
total hasil
tangkapan.

Pengolahan Data

Analisa Deskriptif Analisa Statistik

- Alat Tangkap
One Way Indeks Shanon-
Cantrang 1. Proporsi hasil tangkapan
Anova Weaner
- Hasil Tangkapan utama dan sampingan.
Cantrang 2. Proporsi Ikan Layak
Variasi - Keanekaraga Tangkap
Berat Hasil man 3. Tingkat Pemanfaatan
Tangkapan - Keseragaman Hasil Tangkapan

Komposisi Hasil Tingkat Keramahan


Tangkapan Lingkungan Cantrang

Hasil Akhir

Gambar 3. Alur Penelitian


28

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Pasuruan dibagi menjadi 24 wilayah kecamatan salah satu

diantaranya adalah Kecamatan Lekok. Lekok merupakan salah satu kecamatan

yang terdapat di Pasuruan dengan jumlah nelayan terbanyak di Pasuruan.

Kecamatan Lekok merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Pasuruan.

Secara geografis Kecamatan Lekok berada pada pada 7,30’- 8,30’ Lintang Selatan

dan 112' 30’ - 113' 30’ Bujur Timur dengan luas wilayah 49,19 Km2. Wilayah

Kecamatan Lekok merupakan wilayah dengan dataran rendah hingga dataran

tinggi yang mempunyai ketinggian mulai 0 m dpl hingga 100 m dpl (diatas

permukaan laut) dengan kondisi permukaan tanah yang relatif datar karena

sebagian besar merupakan daerah pesisir.

Kecamatan Lekok terdiri dari 4 desa pesisir diantaranya yaitu Desa

Tambaklekok, Jatirejo, Wates dan Semedusari. Kawasan pesisir di Kecamatan

Lekok mempunyai banyak fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Salah satu

fungsinya yaitu sebagai kawasan hutan bakau/mangrove yang berfungsi sebagai

perlindungan setempat dan perlindungan ekosistem pesisir. Ada juga kawasan

yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai perikanan tambak,

perikanan tangkap. Batas wilayah Kecamatan Lekok ialah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Selat Madura

Sebelah Selatan : Kecamatan Grati

Sebelah Barat : Kecamatan Rejoso

Sebelah Timur : Kecamatan Nguling

Lokasi pada saat pengambilan sampel data berpusat di Desa Jatirejo dan

perbatasan Desa Wates. Desa Jatirejo merupakan pusat alat tangkap cantrang

beroperasi dan sangat mendominasi dibandingkan di beberapa desa lainnya yang


29

terdapat di Kecamatan Lekok. Terdapat sekitar 150 unit Cantrang yang beroperasi

di Desa Jatirejo. Letak Desa Jatirejo yang sangat strategis karena berhadapan

langsung dengan selat Madura sehingga memudahkan nelayan Jatirejo

melakukan kegiatan penangkapan ikan. Selain itu, dapat mempermudah dalam

proses pendistribusian hasil perikanan dan memungkinkan bagi pengembanan

sektor perikanan tangkap di Desa Jatirejo. Berikut lokasi Desa jatirejo, kecamatan

Lekok terdapat pada gambar 4 berikut ini.

Gambar 4. Pesisir Desa Jatirejo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan

Berdasarkan gambar 4, dapat dilihat bahwa lokasi saat pengambilan data

bepusat di Desa Jatirejo. Hampir 70% masyarakat desa Jatirejo bekerja sebagai

nelayan cantrang. Jumlah armada cantrang sekitar 150 unit. Wilayah utara desa

Jatirejo berbatasan langsung dengan perairan Selat Madura. Hal ini sangat

menguntungkan bagi nelayan Jatirejo untuk melakukan kegiatan penangkapan

karena memudahkan nelayan untuk mendaratkan ikan langsung di tepi pantai

dekat rumah mereka. Sehingga untuk data hasil tangkapan cantrang tidak terdata

di TPI IPP Lekok. Pada tahun 2015 telah didata jumlah nelayan yang berada di

kecamatan Lekok berjumlah 4511 dengan rincian yang dijelaskan pada Tabel 3.
30

Tabel 3. Jumlah Nelayan di Kecamatan Lekok


No Desa Jumlah Nelayan (orang)
1 Jatirejo 1872
2 Tambaklekok 615
3 Wates 1292
4 Tampung 32
5 Pasinan 251
6 Semedusari 357
7 Bulunganyar 92
Total 4511

Sumber: Rekapitulasi Pendataan Nelayan Kecamatan Lekok, 2015

Dari tabel 3 dapat disimpulkan bahwa jumlah nelayan paling banyak berada

di Desa Jatirejo dengan jumlah nelayan 1872 orang, diikuti oleh nelayan di Desa

Wates sebanyak 1292 orang dan desa Tambaklekok sebanyak 615 orang.

4.2 Alat Tangkap Cantrang

Cantrang merupakan alat tangkap yang cukup mendominasi di Kecamatan

Lekok. Nelayan lekok, khususnya di Daerah Jatirejo dan Wates memiliki sebutan

untuk alat tangkap cantrang yaitu alet atau payang alit. Hampir 80% masyarakat

Lekok khususnya di desa Jatirejo dan Wates bekerja sebagai nelayan cantrang.

Jumlah penggunaan alat tangkap cantrang mengalami penurunan fluktuatif

selama 2 tahun terakhir yaitu pada tahun 2016 – 2017. Berikut ini data jumlah

cantrang di Kecamatan Lekok tahun 2016 – 2017 disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Laporan Produksi Perikanan Laut Lekok Tahun 2016 dan 2017

Tahun
Bulan 2016 2017
Jan 368 368
Feb 229 239
Mar 365 168
Apr 262 327
Mei 375 105
Jun 168 212
Jul 170 115
Ags 515 98
31

Lanjutan tabel 4.
Tahun
Bulan 2016 2017
Sep 471 146
Okt 172 151
Nov 277 147
Des 141 101
Total 3513 2177

Berdasarkan tabel 4, diketahui jumlah penggunaan alat tangkap cantrang di

kecamatan Lekok cenderung fluktuatif dan menurun. Hal ini dikarenakan

pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang pada awal tahun 2015. Sesuai

dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2015 berisi tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat

hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan

Negara Republik Indonesia. Menimbang bahwa penggunaan alat penangkapan

ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) telah mengakibatkan

menurunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber

daya ikan, sehingga perlu dilakukan pelarangan penggunaan alat penangkapan

ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets). Sehingga banyak nelayan

yang memilih menggunakan alat tangkap alternatif atau alat penangkapan ikan

lainnya sebagai pengganti cantrang secara perlahan.

Dari hasil penelitian di Kecamatan Lekok, kapal cantrang melakukan operasi

penangkapan one day fishing atau 1 sehari dalam sekali pengoperasian (trip).

Lokasi pengoperasian cantrang ialah di selat madura yaitu pada jarak 2 – 4 mil.

Jumlah ABK kapal cantrang di kecamatan Lekok hanya 1 orang yaitu si pemilik

kapal dan rata – rata ukuran kapal cantrang kecil dengan kapasitas > 5 GT.

Cantrang dioperasikan pada pagi hari yaitu pukul 06.00 WIB sampai 10.00 WIB.

Dalam satu hari nelayan cantrang melakukan setting sebanyak 2 – 3 kali. Cantrang
32

di kecamatan Lekok memiliki dimensi yang hampir sama antara cantrang satu

dengan yang lain. Cantrang memiliki tiga bagian utama yaitu sayap, badan, dan

kantong. Berikut bagian utama cantrang di Lekok terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5. Bagian - bagian utama cantrang di Kecamatan Lekok

Panjang Mesh Size


No Bagian (m) (inch) Bahan Warna
1 Sayap 4.1 2.5 Nilon Biru
2 Badan 5.5 Nilon Biru Kehijauan
Badan 1 1 1.5 Nilon Biru Kehijauan
Badan 2 2 1.5 Nilon Biru Kehijauan
Badan 3 2.5 1.5 Nilon Biru Kehijauan
3 Kantong 1 1 PE Biru Kehijauan

Cantrang di kecamatan Lekok memiliki panjang total 11,85 m. Cantrang

memiliki panjang mulut yang tidak sama antara bagian atas dan bagian bawah.

Perbedaan panjang mulut atas dan bawah ialah 0,5 m. Berdasarkan tabel 5,

diketahui bagian – bagian cantrang terdiri dari:

1. Sayap

Bagian sayap pada alat tangkap cantrang berfungsi untuk menggiring ikan

masuk ke dalam jaring. Panjang sayap jaring yaitu 4,1 meter. Bahan yang

digunakan pada sayap jaring yaitu nilon dengan warna biru. Mesh size atau

ukuran mata jaring pada bagian sayap jaring yaitu 2,5 inchi.

2. Badan Jaring

Badan jaring merupakan bagian yang memanjang di tengah jaring.

Panjang badan jaring yaitu 5,5 meter. Bahan yang digunakan pada badan

jaring yaitu nilon dengan warna biru kehijauan. Badan jaring terdiri dari 3

bagian yaitu badan 1, badan 2 dan badan 3. Masing – masing badan

memiliki ukuran panjang yang berbeda – beda badan 1 yaitu 1 meter,

badan 2 yaitu 2 meter dan badan 3 yaitu 2,5 meter. Pada setiap bagian

badan memiliki ukuran mata jaring (Mesh size) yang sama yaitu 1,5 inchi.

3. Kantong
33

Kantong adalah bagian jaring yang terletak paling ujung dan tempat

berkumpulnya ikan hasil tangkapan. Panjang kantong yaitu 1 meter. Bahan

yang digunakan pada kantong yaitu PE (Polyethylen) dengan warna biru

kehijauan. Kantong memiliki ukuran mata jaring (Mesh size) yaitu 1 inchi.

Menurut Surat Edaran Men KP. No. 72 (2016), tentang pembatasan

penggunaan alat penangkapan ikan yaitu cantrang di wilayah pengelolaan

perikanan negara Republik Indonesia, ukuran selektivitas dan kapasitas cantrang

yaitu ukuran mata jaring (mesh size) minimal 2 inchi. Cantrang di kecamatan Lekok

belum sesuai dengan peraturan karena memiliki mesh size < 2 inchi yaitu 1 inchi.

Kecilnya ukuran mesh size dikhawatirkan dapat mempengaruhi ukuran ikan hasil

tangkapan dalam proses rekruitmen dan ketersediaan sumberdaya ikan yang ada.

Upaya yang dapat dilakukan selanjutnya adalah pengaturan musim penangkapan,

seharusnya tidak melakukan penangkapan saat musim pemijahan. Hal tersebut

dilakukan agar ikan yang tertangkap saat matang gonad lebih sedikit (ikan yang

telah matang gonad dapat memijah terlebih dahulu).

Menurut Maulita dan Mega (2008), besar kecilnya ukuran mata jaring dapat

dipengaruhi sumberdaya ikan. Kecilnya ukuran mata jaring memungkinkan

tertangkapnya ikan yang belum matang gonad. Jika ukuran ikan tangkapan lebih

kecil dari ukuran ikan matang gonad berarti ikan belum siap memijah tetapi sudah

mengalami kematian akibat penangkapan. Hal ini dapat berdampak pada

sumberdaya ikan yang akan mengalami penurunan. Pelebaran ukuran mata jaring

dapat dilakukan guna mencegah tertangkapnya ikan yang belum matang gonad

sehinga sumberdaya ikan tetap terjaga.

4.2.1 Konstruksi Cantrang

Data mengenai konstruksi alat tangkap cantrang di Desa Jatirejo,

Kecamatan Lekok diperoleh melalui pengukuran secara langsung oleh peneliti


34

dan bertanya langsung kepada nelayan / pemilik kapal. Konstruksi alat tangkap

terdiri dari sayap dan badan barbahan nilon, sedangkan kantong berbahan PE

(Polyethylen) dengan panjang dan ukuran mata jaring (mesh size) yang

berbeda. Cantrang juga dilengkapi dengan tali ris (atas dan bawah) yang

terbuat dari bahan PE (polyethylene) dan tali selambar terbuat dari bahan

campuran serat alami dan sintetis. Pelampung yang digunakan pada alat

tangkap cantrang terdiri dari dua yaitu pelampung tanda terbuat dari

stereofoam dilengkapi tiang bendera pada bagian atasnya dan pelampung

utama terbuat dari bahan PVC (polyvinyl chloride) berbentuk seperti bola.

Sedangkan bagian pemberat terbuat dari timah yang terangkai dengan tali ris

bawah, Untuk memberikan daya tenggelam tambahan, pemasangan batu

sering dilakukan pada bagian jaring bagian bawah. Untuk melihat ukuran alat

tangkap dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Bagian – bagian konstruksi cantrang di Kecamatan Lekok


Komponen Bahan Diameter (mm) Panjang (m)
Tali Ris Atas Polyethylene ( PE) 3.5 8
Polyethylene ( PE)
Tali Pelampung 3.5 8
Polyethylene ( PE)
Tali Ris Bawah 3.5 7.5
Polyethylene ( PE)
Tali Pemberat 3.5 7.5
Polyethylene ( PE)
Tali Selambar 9 1
Warna
Foam plastic
Pelampung Utama 2 cm Putih
Sterofoam
Pelampung Tambahan 4.5 cm Putih
PVC
Pelampung Tanda 15.3 cm Orange
Timah
Pemberat Utama 6.7 mm Abu - abu
35

1 Meter 2 Meter 2,5 Meter

Gambar 5. Dimensi cantrang tampak atas


Kantong

Badan 1
1,5 inch
2 inch
Sayap

Badan 2 Badan 3 1 inch


1,25 inch 1,25 inch
36

Gambar 6. Dimensi cantrang tampak bawah


37

4.2.2 Kapal Alat Tangkap Cantrang

Kapal penangkap ikan merupakan kapal yang secara khusus

dipergunakan untuk menangkap ikan, termasuk menampung ataupun

menyimpan hasil tangkapan. Kapal yang digunakan alat tangkap cantrang

oleh nelayan di kecamatan Lekok dengan ukuran 5 GT (gross tonnage). Data

mengenai ukuran kapal alat tangkap cantrang diperoleh melalui pengukuran

secara langsung oleh peneliti, dan bertanya langsung kepada nelayan/pemilik

kapal. Rata – rata kapal cantrang di Lekok memiliki ukuran panjang, lebar dan

kedalaman secara berturut-turut yaitu 9 m, 2 m dan 1,5 m.

Gambar 7. Kapal Cantrang di kecamatan Lekok

4.3 Hasil Tangkapan Cantrang

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Kecamatan Lekok, dimana

nelayan yang menggunakan cantrang menangkap ikan demersal sebagai tujuan

atau target utama penangkapan. Hasil tangkapan yang diperoleh terdiri dari 24

macam spesies. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nuriyana (2016) yang

melakukan penelitian tentang komposisi cantrang di Mayangan Probolinggo

menemukan 23 spesies. Spesies yang tertangkap di Mayangan Probolinggo

hampir sama dengan spesies yang tertangkap Lekok Pasuruan seperti ikan

peperek, ikan swanggi, ikan kurisi, ikan kuniran, rajungan, cumi – cumi, bawal

hitam, gulamah dan sebagainya. Ada juga beberapa spesies yang berbeda dan
38

tidak tertangkap oleh cantrang pada masing – masing kedua daerah tersebut

seperti ikan marmoyo, ikan kakap merah dan ikan kerapu yang ditemukan di

Probolinggo namun saat penelitian tidak ditemukan di Lekok Pasuruan.

Sebaliknya, ikan ayam ayam dan ikan sebelah yang ditemukan di Lekok Pasuruan

tidak ditemukan di Mayangan Probolinggo. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan

daerah penangkapan ikan dan pola persebaran ikan yang tidak tetap dan merata

meskipun terdapat di wilayah yang berdekatan. Selain itu, Indrayani et al (2012),

menyatakan bahwa hal ini dapat terjadi dikarenakan pada umumnya daerah

penangkapan ikan tidak ada yang bersifat tetap, selalu berubah dan berpindah

mengikuti pergerakan kondisi lingkungan, yang secara alamiah ikan akan memilih

habitat yang lebih sesuai. Perubahan dan variasi faktor oseanografi

mengindikasikan bahwa pola sebaran sumberdaya ikan tidak merata dan juga

menyebabkan jumlah hasil tangkapan tidak menentu. Penentuan daerah

penangkapan nelayan pada kedua daerah tersebut memiliki kesamaan

karakteristik oseanografi ditinjau dari keberadaan Probolinggo dan Pasuruan yang

berdekatan. Berikut data hasil tangkapan cantrang di Lekok berdasarkan nama

umum, nama lokal, nama dagang dan nama ilmiah dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Spesies Hasil Tangkapan Cantrang

No. Spesies Nama Lokal Nama Ilmiah Nama Dagang

1 Peperek Petek Leiognathus splendens (Cuvier, 1892) Splendens' pont fish

2 Kuniran Biji Nangka Upeneus moluccensis (Bleeker, 1855) Goat Fishes

3 Kurisi Krese Nemipterus nematopus (Bleeker, 1854) Threadfin Bream

4 Beloso Jenggelek Saurida argentea (Macleay, 1881) Goat Fishes

5 Barakuda Langsar Spyraena putnamae (Jordan & Seale, 1905) Great Baraccuda
Kerong – Forktail large eye
Terapon theraps (Cuvier, 1829)
6 kerong Kerot – kerot bream

7 Bawal hitam Dorang Parastromateus niger (Bloch, 1795) Black pomfret

8 Gulamah Gelemah Pennahia anea (Bloch, 1793) Croacers drums

9 Swanggi Manglah Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) Swangi, Mata Besar


Lagocephalus guentheri (Miranda Riberio,
10 Buntal Bontak 1915) Diamondback puffer

11 Layur Layur Trichiurus lepturus (Linnaeus, 1758) Hairtails, Ribbon fish


39

Lanjutan tabel 7.

No. Spesies Nama Lokal Nama Ilmiah Nama Dagang

12 Ayam - ayam Etong Abalistes stellaris (Bloch & Schneider, 1801) Starry triggerfish

13 Selar kuning Selar Selaroide leptolepis (Cuvier, 1833) Yellowstripe scad

14 Sebelah Telumpah Psettodes erumei (Bloch & Schneider, 1801) Flounder

15 Pari Pe Dasyati zugei (Muller & Henle, 1841) Whitenose whipray

16 Lidah Zebra Moto mereng Zebrias zebra (Bloch, 1787) Tongue soles
Kerapu
Epinephelus coioides (Hamilton, 1822)
17 lumpur Kerapu Banded grouper
Ketang –
Drepane punctata (Linnaeus, 1758)
18 ketang - Spoted fish

19 Cumi - cumi Nus Photololigo duvaucelii (Valenciennes, 1842) Squid, surumeika

20 Sotong Sotong Sepia officinalis (Linnaeus, 1758) Indian Squid

21 Gurita Gurita Octopus alpheus (Norman, 1993) Octopus

22 Udang Urang Penaeus merguiensis (de Man, 1888) White Shrimp

23 Rajungan Rajungan Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) Flower Crab

24 Lidah Ilat Cynoglosus macrolepidotus (Bleeker, 1851) Purple spotted bigeye

Dilihat dari hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan, spesies hasil

tangkapan didominasi oleh ikan demersal atau ikan – ikan dasar perairan. Alat

tangkap cantrang memiliki sifat menyapu seluruh perairan karena proses

penarikan jaring pada saat proses hauling, hal tersebut tidak menutup

kemungkinan tertangkapnya ikan pelagis atau ikan permukaan. Faktor – faktor lain

yang memungkinkan tertangkapnya ikan pelagis adalah kedalaman alat tangkap

tersebut beroperasi dan sifat ikan pelagis yang bergerombol (schooling) dan

berpindah – pindah tempat untuk migrasi, memijah dan mencari makan. Berikut

nama spesies, dokumentasi lapang dan gambar referensi disajikan pada tabel 8.

Tabel 8. Hasil Tangkapan Cantrang

No. Spesies Dokumentasi Referensi

Leiognathus
1 splendens (Cuvier,
1892)

(Carpenter dan Niem, 2001)


40

No. Spesies Dokumentasi Referensi

2 Upeneus moluccensis
(Bleeker, 1855)

(Carpenter dan Niem, 2001)

Nemipterus
3 nematopus (Bleeker,
1854)

(Russell, 1990)

Saurida argentea
4 (Macleay, 1881)

(Carpenter dan Niem, 1999)

Sphyraena putnamae
5 (Jordan & Seale,
1905)
(Carpenter dan Niem, 2001)

6 Terapon theraps
(Cuvier, 1829)

(Carpenter dan Niem, 2001)

Parastromateus niger
7 (Bloch, 1795)

(Carpenter dan Niem, 2001)


41

No. Spesies Dokumentasi Referensi

8 Pennahia anea
(Bloch, 1793)

(Carpenter dan Niem, 2001)

Priacanthus tayenus
9 (Richardson, 1846)

(Carpenter dan Niem, 1999)

Lagocephalus
10 guentheri (Miranda
Riberio, 1915)

(Fishbase, 2018)

11 Trichiurus lepturus
(Linnaeus, 1758)
(Carpenter dan Niem, 2001)

Abalistes stellaris
12 (Bloch & Schneider,
1801)

(Carpenter dan Niem, 2001)

13 Selaroides leptolepis
(Cuvier, 1833)

(Carpenter dan Niem, 1999)


42

No. Spesies Dokumentasi Referensi

14 Psettodes erumei
(Bloch & Schneider,
1801)

(Carpenter dan Niem, 2001)

Dasyatis zugei (Muller


15 & Henle, 1841)

(Carpenter dan Niem, 1999)

Zebrias zebra (Bloch,


16 1787)

(Carpenter dan Niem, 2001)

Epinephelus coioides
17
(Hamilton, 1822)

(Carpenter dan Niem, 1999)

Drepane punctata
18
(Linnaeus, 1758)

(Carpenter dan Niem, 2001)

Photololigo duvaucelii
19 (d’ Orbigny, 1853)
(Carpenter dan Niem, 1998)
43

No. Spesies Dokumentasi Referensi

20 Sepia officinalis
(Gray, 1849)

(Carpenter dan Niem, 1998)

Octopus alpheus
21
(Norman, 1993)

(Carpenter dan Niem, 1998)

Penaeus merguiensis
22 (de Man, 1888)

(Carpenter dan Niem, 1998)

23 Portunus pelagicus
(Linnaeus, 1758)

(Carpenter dan Niem, 1998)

24 Cynoglosus
macrolepidotus
(Bleeker, 1851)
(Carpenter dan Niem, 1998)
44

4.4 Analisis Komposisi Hasil Tangkapan Cantrang

Pada saat penelitian total hasil tangkapan alat tangkap cantrang di Desa

Jatirejo, Kecamatan Lekok memiliki berat sebesar 1082,75 Kg. Hasil perhitungan

persentase hasil tangkapan berdasarkan penelitian yang tercatat didominasi oleh

tiga spesies yaitu spesies terbanyak adalah ikan peperek (Leiognathus splendens)

sebesar 14,59% dengan total berat 158 Kg. Spesies terbanyak yang kedua berasal

dari kategori binatang berkulit lunak yaitu cumi – cumi (Photololigo duvaucelii)

sebesar 13,76% dengan total berat 149 Kg. Kemudian spesies ketiga adalah ikan

kuniran (Uppeneus moluccensis) sebesar 10,16% dengan total berat 110 Kg.

Hasil tangkapan cantrang terbanyak adalah ikan peperek, hal tersebut

dikarenakan ikan peperek termasuk kedalam kategori ikan demersal dan

merupakan hasil tangkapan utama dari alat tangkap cantrang, melihat dari alat

tangkap cantrang sendiri dioperasikan didasar perairan. Menurut Pratiwi (2011)

ikan Peperek atau yang lebih dikenal dengan sebutan petek biasa hidup di dasar

perairan serta dapat ditemukan juga di daerah estuari. Ikan ini memiliki nilai cukup

ekonomis sehingga nelayan cenderung mengeksploitasi ikan ini dalam jumlah

besar. Ikan petek memiliki daya tahan sangat rendah terhadap penangkapan. Hal

ini disebabkan oleh ruaya yang tidak terlalu jauh dan aktivitas gerak relatif rendah.

Mortalitas ikan pepetek akibat penangkapan akan meningkat dua kali lebih besar

apabila intensitas penangkapan ditingkatkan dua kali.

Hasil tangkapan yang paling sedikit yaitu udang putih (Penaeus merguiensis)

sebesar 1,67% dengan total berat 18,1 Kg dan rajungan (Portunus pelagicus)

sebesar 1,69% dengan total berat 18,35 Kg. Hal ini dikarenakan menurut

wawancara dengan nelayan musim udang yaitu bulan juni sampai agustus. Selain

itu menurut Nontji (1993), pada umumnya udang dan kepiting berkeliaran pada

waktu malam hari untuk mencari makan. Sehingga pada siang hari saat nelayan

melaut, udang dan rajungan tidak melakukan aktivitas pemangsaan. Hal ini dapat
45

menjadi salah satu faktor udang dan rajungan lebih paling sedikit tertangkap.

Selain itu, dapat diduga karena kondisi dasar perairan yang keruh. Macia et al.,

(2003) menyatakan bahwa aktivitas udang-udangan menurun akibat kekeruhan

perairan sehingga menjadi mangsa bagi ikan predator. Hasil grafik perhitungan

hasil tangkapan menggunakan rumus komposisi dapat dilihat pada Gambar 8.

180
160
140
Berat (kg)

120
100
80
60
40
20
0

Spesies Hasil Tangkapan

Gambar 8. Grafik Komposisi Hasil Tangkapan Cantrang di Kecamatan Lekok,


Kabupaten Pasuruan

Berikut ini merupakan tabel hasil perhitungan komposisi hasil tangkapan

cantrang selama penelitian ada 24 jenis yang tercantum pada Tabel 9.

Tabel 9. Komposisi (%) Hasil Tangkapan Cantrang


No. Spesies Berat (Kg) Persentase
1 Peperek 158 14.59%
2 Kuniran 110 10.16%
3 Kurisi 68.75 6.35%
4 Beloso 70 6.47%
5 Barakuda 51.5 4.76%
6 Kerong - kerong 41 3.79%
7 Bawal hitam 36.5 3.37%
46

Lanjutan tabel 9.
No. Spesies Berat (Kg) Persentase
8 Gulamah 42.25 3.90%
9 Swanggi 36.75 3.39%
10 Buntal 27.5 2.54%
11 Layur 26 2.40%
12 Ayam - ayam 27.5 2.54%
13 Selar kuning 26 2.40%
14 Sebelah 26 2.40%
15 Pari 25.5 2.36%
16 Lidah zebra 20.9 1.93%
17 Kerapu lumpur 23 2.12%
18 Ketang - ketang 20.4 1.88%
19 Cumi - cumi 149 13.76%
20 Sotong 21.3 1.97%
21 Gurita 18.8 1.74%
22 Udang 18.1 1.67%
23 Rajungan 18.35 1.69%
24 Lidah 19.65 1.81%
Total 1082.75 100%

Berdasarkan kategori, komposisi spesies hasil tangkapan yang diperoleh

selama penelitian dibedakan menjadi 4 yaitu pelagis kecil 1 spesies, demersal 18

spesies, binatang berkulit keras 2 spesies dan dan binatang berkulit lunak 3

spesies. Berikut tabel berat per kategori dan spesies hasil tangkapan cantrang

berdasarkan kategori spesies Tabel 10. dan Tabel 11.

Tabel 10. Total berat (kg) per kategori spesies

Binatang Berkulit Binatang Berkulit


Pelagis Kecil Demersal Keras Lunak
26 811.55 36.45 188.1

Tabel 11. Spesies Hasil Tangkapan Cantrang Berdasarkan Kategori


Binatang Berkulit Binatang Berkulit
Pelagis Kecil Demersal Keras Lunak
Selar kuning Peperek Udang Cumi – cumi
Kuniran Rajungan Sotong
Kurisi Gurita
Beloso
Barakuda
Kerong - kerong
47

Lanjutan tabel 11.

Binatang Berkulit Binatang Berkulit


Pelagis Kecil Demersal Keras Lunak
Bawal hitam
Gulamah
Swanggi
Buntal
Ayam – ayam
Sebelah
Pari
Lidah zebra
Kerapu lumpur
Ketang - ketang
Lidah

900 76.4%
800
700
600
Berat (Kg)

500
400
300
17.7%
200
100 2.4% 3.4%
0
Pelagis Kecil Demersal Binatang Berkulit Binatang Berkulit
Keras Lunak
Kategori Spesies

Gambar 9. Komposisi hasil tangkapan berdasarkan kategori

Berdasarkan tabel 11 dan gambar 9, diketahui bahwa komposisi yang paling

dominan adalah kategori ikan demersal sebesar 76,4% dengan total berat 831,2

kg. Sesuai dengan konstruksi cantrang yaitu panjang mulut bagian atas lebih

panjang daripada bagian bawah. Hal ini bertujuan untuk menghadang ikan

demersal yang terkejut oleh jaring cantrang dan naik ke permukaan sehinga

tertangkap kedalam kantong.


48

4.5 Identifikasi Jenis Ikan

Spesies ikan hasil tangkapan diidentifikasi berdasarkan 20 penciri morfologi

dan menggunakan buku referensi Carpenter dan Volker (1998a,1998b, 1999a,

1999b, 2001a, 2001b), maupun situs www.fishbase.org. Identifikasi hasil

tangkapan cantrang yang didapat pada saat penelitian berdasarkan penciri

morfologinya adalah sebagai berikut :

1. Ikan Peperek (Leiognathus splendens Cuvier, 1892)

Nama Lokal : Pepetek atau Petek

Klasifikasi ikan peperek menurut Carpenter dan Niem (2001), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Perciformes

Famili : Leiognathidae

Genus : Leiognathus

Spesie : Leiognathus splendens (Cuvier, 1892)

Gambar 10. Leiognathus splendens (Cuvier, 1892), dokumentasi penelitian


(2018)

Ikan Peperek/petek (Leiognathus splendens) memiliki badan pipih

dan agak tinggi, kepala runcing ke depan terdapat munchal spine pada

bagian punggung. Ikan ini memiliki mulut pendek dan dapat disembulkan
49

ke bawah. Warna badan ikan keperak – perakan berawal dari sirip hingga

sirip ekor berwarna kuning cerah pada sirip dubur.

2. Ikan Kuniran (Uppeneus moluccensis Bleeker, 1855)

Nama Lokal : Ikan Biji Nangka

Klasifikasi ikan kuniran menurut Carpenter dan Niem (2001), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Perciformes

Famili : Mullidae

Genus : Upeneus

Spesies : Uppeneus moluccensis (Bleeker, 1855)

Gambar 11. Uppeneus moluccensis (Bleeker, 1855), dokumentasi


penelitian (2018)

Ikan biji nangka (Uppeneus moluccensis) termasuk dalam famili

Mullidae dan sering disebut ikan kuniran. Bentuk tubuh pipih dan agak

panjang dengan ukuran umum rata – rata panjangnya adalah 14 cm

sampai dengan 20 cm. Untuk warna ikan ini sendiri memiliki warna badan

putih dengan warna merah muda pada bagian punggung, serta terdapat

satu garis berwarna kuning emas mencolok serta 2 garis kuning samar-

samar dari belakang bagian atas mata sampai dengan sirip ekor (Gambar
50

11). Bentuk dan letak mulut termasuk terminal atau mulut ikan terletak

diujung depan kepala, dibawah dagunya terdapat dua sungut sebagai

peraba untuk mencari makanan didasar laut dan terdapat guratan sisi

(lateral line). Terdapat 2 sirip punggung (dorsal) terpisah, sirip dorsal

pertama terdiri dari 8 duri lunak dan sirip dorsal kedua terdiri dari 9 jari

lunak. Pada sirip anal terdiri dari 1 duri keras, 7 jari lunak. Sirip ekor

(caudal) mempunyai bentuk ekor forked atau bercagak. Sirip perut (ventral)

terdiri dari 1 duri keras, 5 jari lunak dengan letak terhadap sirip dada

(pectoral) termasuk abdominal atau terletak jauh kebelakang. Ikan biji

nangka merupakan ikan demersal dengan habitat perairan yang berlumpur

dengan kedalaman 10-80 m dan juga sering mencari makan pada wilayah

terumbu karang.

3. Ikan Kurisi (Nemipterus nematopus Bleeker, 1854)

Nama Lokal : Krese

Klasifikasi ikan kurisi menurut Carpenter dan Niem (2001), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Perciformes

Famili : Percoidei

Genus : Nemipterus

Spesies : Nemipterus nematopus (Bleeker, 1854)


51

Gambar 12. Nemipterus nematophorus (Bleeker, 1854), dokumentasi


penelitian (2018)

Ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) merupakan ikan demersal

yang hidup soliter dengan pergerakan yang lambat. Kurisi memiliki bentuk

mulut yang letaknya agak kebawah dan adanya sungut yang terletak

didagunya yang digunakan untuk meraba dalam pencarian makanan.

Bentuk tubuh berukuran kecil, langsing dan padat. Tipe mulut terminal

dengan bentuk gigi kecil membujur dan gigi taring pada rahang atas (ada

juga pada rahang bawah). Pada bagian kepala tidak bersisik. Sisik dimulai

dari pinggiran depan mata dan keping tutup insang. Pada bagian tubuh

kurisi terdapat totol berwarna merah terang dekat pangkal garis rusuk. Sirip

dorsal berwarna merah, dengan garis tepi berwarna kuning atau jingga.

Pada bagian dorsal dan lateral tubuh ikan kurisi terdapat gradiasi warna

kecoklatan. Sirip caudal dan sirip dorsalberwarna biru terang atau

keunguan dengan warna merah kekuningan pada bagian tepi siripnya.

4. Ikan Beloso (Saurida argentea Macleay, 1881)

Nama Lokal : Jenggelek

Klasifikasi ikan beloso menurut Carpenter dan Niem (1999), adalah

sebagai berikut:
52

Ordo : Aulopiformes

Famili : Synodontidae

Genus : Saurida

Spesies : Saurida argentea (Macleay, 1881)

Gambar 13. Saurida argentea (Macleay, 1881), dokumentasi penelitian


(2018)

Ikan beloso (Saurida argentea) termasuk dalam famili synodontidae

dan masyarakat lekok sering menyebutnya ikan jenggelek. Ikan beloso

memiliki bentuk badan agak bulat memanjang, mempunyai bentuk kepala

seperti kadal. Di belakang sirip punggung terdapat sirip lemah lainnya yang

tanpa duri yang berbentuk kecil, sisik tebal dan kuat. Kepala bersisik dan

warna tubuh coklat engan bagian bawah agak keputih – putihan.

5. Ikan Barakuda (Spyraena putnamae Jordan & Seale, 1905)

Nama Lokal : Langsar

Klasifikasi ikan barakuda menurut Carpenter dan Niem (2001),

adalah sebagai berikut:

Ordo : Perciformes

Famili : Sphyraenidae

Genus : Sphyraena

Spesies : Sphyraena putnamae (Jordan & Seale, 1905)


53

Gambar 14. Sphyraena putnamae (Jordan & Seale, 1905) dokumentasi


penelitian (2018)

Ikan Barakuda memiliki morfologi, yaitu tubuhnya panjang dan

ditutupi sisik halus, tipe sisik yang dimiliki ikan ini adalah ctenoid. Sisik

ctenoid berarti sisiknya mempunyai bentuk dengan tambahan gerigi pada

posteriornya. Letak mulutnya adalah tipe superior, yaitu mulut bagian

bawah melebihi hidung ikan tersebut dan bentuk serta ekor ikan Barakuda

adalah forked. Selain itu, ikan Barakuda memiliki duri punggung 6, duri

punggung lunak 9, duri dubur 1 dan sirip dubur lunak 10. Ikan Barakuda

dibedakan oleh 2 sirip ekor emarginate dengan ujung yang pucat pada

setiap lobus dan juga terdapat bercak hitam yang tersebar di sisi bawah.

Bagian atas kepala antara mata yang datar atau cekung dan memiliki mulut

yang besar.

6. Ikan Kerong – kerong (Terapon theraps Cuvier, 1829)

Nama Lokal : Kerot – kerot

Klasifikasi ikan barakuda menurut Carpenter dan Niem (2001),

adalah sebagai berikut:

Ordo : Perciformes

Famili : Terapontidae

Genus : Terapon

Spesies : Terapon theraps (Cuvier, 1829)


54

Gambar 15. Terapon theraps (Cuvier, 1829) dokumentasi penelitian (2018)

Ikan kerong – kerong (Terapon theraps) memiliki bentuk tubuh pipih

(compressed). Ikan kerong – kerong memiliki mulut terminal, tipe sisik

ctenoid, duri sirip terdiri dari duri keras dan lunak. Ikan kerong – kerong

memiliki satu sirip pungung, sirip perut dan bentuk sirip ekor forked. Warna

tubuh kecoklatan pada punggung dan keperakan pada bagian perut.

Terdapat empat garis coklat tua horizontal pada tubuhnya.

7. Ikan Bawal Hitam (Parastromateus niger Bloch, 1795)

Nama Lokal : Dorang

Klasifikasi ikan bawal hitam menurut Carpenter dan Niem (1999),

adalah sebagai berikut:

Ordo : Perciformes

Famili : Carangidae

Genus : Parastromateus

Spesies : Parastromateus niger (Bloch, 1795)


55

Gambar 16. Parastromateus niger (Bloch, 1795) dokumentasi penelitian


(2018)

Ikan bawal hitam (Parastromateus niger) lebih dikenal dengan

sebutan dorang oleh masyakat Lekok, Pasuruan. Ikan bawal hitam

termasuk pemakan plankton kasar (invertebrata). Hidup di perairan yang

dasarnya berlumpur sampai kedalaman 100 meter, sering masuk air payau

dan membentuk gerombolan besar. Ikan bawal hitam memiliki sisik sikloid,

sangat kecil dan mudah terkelupas. Sirip – siripnya berwarna agak gelap.

Umumnya panjang ikan bawal yang tertangkap adalah 15 – 20 cm.

8. Ikan Gulamah (Pennahia anea Bloch, 1793)

Nama Lokal : Gelemah

Klasifikasi ikan gulamah menurut Carpenter dan Niem (2001), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Perciformes

Famili : Sciaenidae

Genus : Pennahia

Spesies : Pennahia anea (Bloch, 1793)


56

Gambar 17. Pennahia anea (Bloch, 1793) dokumentasi penelitian (2018)

Ikan Gulamah (Pennahia anea) dikenal dengan sebutan gelemah

atau tigawaja. Gulamah memiliki mulut lebar, gigi besar dan kecil pada

rahangnya. Gigi besar pada bagian ujung rahang atas, tanpa gigi taring.

Panjang gurat sisi dapat mencapai 3 cm namun 25 – 30 cm. Sirip punggung

berjari – jari keras 10, diikuti dengan 1 jari – jari keras yang bersambungan

dengan 25 – 28 jari – jari lemah. Sirip dubur berjari – jari keras 2 dan 7 jari

– jari lemah. Ikan ini memiliki warna tubuh putih keabuan

9. Ikan Swanggi (Priacanthus tayenus Richardson, 1846)

Nama Lokal : Manglah

Klasifikasi ikan swanggi menurut Carpenter dan Niem (1999), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Perciformes

Famili : Priacanthidae

Genus : Priacanthus

Spesies : Priacanthus tayenus (Richardson, 1846)


57

Gambar 18. Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) dokumentasi penelitian


(2018)

Ikan swanggi merupakan salah satu jenis ikan demersal dan biasanya

terdapat di daerah karang atau terumbu karang dengan karakteristik khusus

berwarna merah muda, memiliki mata besar dan pada sirip perutnya terdapat

bintik berwarna kehitam-hitaman. Bentuk dan letak mulut superior atau mulut

ikan terletak diujung bagian atas dan gigi kecil berjajar pada rahangnya.

Terdapat guratan sisi (lateral line) melengkung dari bagian tutup insang sampai

pangkal ekor. Sirip punggung (dorsal) terdiri dari 10 duri, 11 -13 jari lunak. Sirip

dubur (anal) dengan 3 duri, 13-14 jari lunak. Sirip ekor (caudal) mempunyai

bentuk sirip truncate atau melebar seperti kipas. Sirip perut (ventral) dengan

letak terhadap sirip dada (pectoral) termasuk thoracic atau sejajar. Terdapat

juga 2 sirip dada (pectoral) yang terpisah di bagian sisi kanan dan kiri tubuh

ikan, dengan 8-19 jari lunak. Umumnya ikan ini memiliki daya tahan yang

rendah terhadap tekanan penangkapan.

10. Ikan Buntal (Lagocephalus guentheri Miranda Riberio, 1915)

Nama Lokal : Buntak

Klasifikasi ikan buntal menurut Carpenter dan Niem (2001), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Tetraodontiformes
58

Famili : Tetraodontidae

Genus : Lagocephalus

Spesies : Lagocephalus guentheri (Miranda Riberio, 1915)

Gambar 19. Lagocephalus guentheri (Miranda Riberio, 1915) dokumentasi


penelitian (2018)

Ikan buntal (Lagocephalus spadiceus) adalah ikan dengan

karakteristik mencari makan pada malam hari (nocturnal). Ikan laut yang

memiliki bentuk yang sangat unik, berbentuk bulat seperti bola bila sedang

mengembangkan diri. Mengembangkan diri merupakan salah satu caranya

untuk menakuti atau perlawanan diri dari musuh/predator. Ukuran dari ikan

buntal bisa mencapai panjang hingga 80 cm serta tersebar luas di negara

tropis. Untuk warna ikan ini sendiri memiliki warna badan putih dengan

warna kuning keemasan pada hampir seluruh bagian tubuhnya, sebagian

besar spesies berbintik-bintik dan beraneka ragam warnanya (Gambar 19).

Bentuk dan letak mulut termasuk terminal atau mulut ikan terletak diujung

depan kepala. Terdapat guratan sisi (lateral line) akan tetapi pada

beberapa spesies banyak yang tidak terlihat jelas. Sirip punggung (dorsal)

dan dubur (anal) tidak terdapat duri akan tetapi terdapat 7-15 jari lunak.

Sirip ekor (caudal) mempunyai bentuk ekor sirip ekor truncate atau melebar

seperti kipas. Ikan buntal tidak mempunyai sirip perut (ventral), akan tetapi
59

terdapat juga 2 sirip dada (pectoral) berukuran pendek yang terpisah

dibagian sisi kanan dan kiri tubuh ikan. Ikan ini secara umumnya sangat

dikenal sebagai vertebrata yang sangat beracun kedua di dunia setelah

katak emas beracun, terutama pada bagian hati, dan kulitnya. Sedangkan

bagian daging banyak untuk dijadikan makanan atau dikonsumsi.

11. Ikan Layur (Trichiurus lepturus Linnaeus, 1758)

Nama Lokal : Layur

Klasifikasi ikan layur menurut Carpenter dan Niem (2001), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Perciformes

Family : Trichiuridae

Genus : Trichiurus

Spesies : Trichiurus lepturus (Linnaeus, 1758)

Gambar 20. Trichiurus lepturus (Linnaeus, 1758) dokumentasi penelitian


(2018)

Ikan layur (Trichiurus lepturus) memiliki tubuh panjang seperti pita.

Letak mulut superior dan memiliki prepelvic dan postpelvic scute. Ikan layur

memiliki duri sirip yan terdiri dari duri sirip keras dan lunak, jumlah sirip

ekor. Sirip dubur tereduksi menjadi spinules. Ikan layur memiliki warna

tubuh abu – abu keperakan.


60

12. Ikan Ayam ayam (Abalistes stellaris Bloch & Schneider, 1801)

Nama Lokal : Etong

Klasifikasi ikan ayam ayam menurut Carpenter dan Niem (2001),

adalah sebagai berikut:

Ordo : Tetraodontiformes

Family : Balistidae

Genus : Abalistes

Spesies : Abalistes stellaris (Bloch & Schneider, 1801)

Gambar 21. Abalistes stellaris (Bloch & Schneider, 1801) dokumentasi


penelitian (2018)

Ikan ayam ayam (Abalistes stellaris) dikenal dengan sebutan ikan

etong oleh masyarakat lekok. Ikan ayam ayam ini termasuk dalam famili

Balistidae. Ikan ini ditemukan di Perairan hangat kawasan Indo – Pasifik.

Memiliki kulit yang agak keras dan sisiknya cenderung besar di daerah

dekat sirip perut. Ikan ini merupakan ikan demersal atau hidupnya berada

di dasar perairan. Ikan ayam ayam memiliki warna tubuh abu – abu

kecoklatan, kuning langsat di punggung dan bersisik tebal dengan bentuk

badan agak bulat pipih.


61

13. Ikan Selar Kuning (Selaroide leptolepis Cuvier, 1833)

Nama Lokal : Selar

Klasifikasi ikan ayam ayam menurut Carpenter dan Niem (1999),

adalah sebagai berikut:

Ordo : Perciformes

Family : Carangidae

Genus : Selaroides

Spesies : Selaroide leptolepis (Cuvier, 1833)

Gambar 22. Selaroide leptolepis (Cuvier, 1833) dokumentasi penelitian


(2018)

Ikan selar kuning (Selaroide leptolepis) adalah jenis ikan air laut yang

termasuk dalam kelompok ikan pelagis kecil berasal dari famili Carangidae.

Ikan selar kuning memiliki bentuk tubuh yang memanjang dan pipih tegak

dengan pangkal ekor kecil. Ukuran panjang maksimum sekitar 18,5 cm.

Untuk warna ikan ini sendiri pada bagian punggung berwarna kebiruan dan

terdapat garis kuning di bagian punggungnya, terdapat bintik hitam besar

dibagian atas tutup insang serta sisi tubuh dan perut berwarna putih

keperakan (Gambar 22). Bentuk dan letak mulut terminal atau mulut ikan

terletak diujung depan kepala. Terdapat guratan sisi (linea lateralis)

melengkung dari bagian tutup insang sampai pangkal ekor. Terdapat 2 sirip
62

punggung (dorsal) terpisah, sirip dorsal pertama terdiri dari 8 duri dan sirip

dorsal kedua terdiri dari 1 duri, 24-26 jari lunak. Sirip dubur (anal) terdiri

dari2 duri, 21 -22 jari lunak. Sirip ekor (caudal) mempunyai bentuk sirip

forked atau bercagak. Sirip perut (ventral) pendek dengan letak terhadap

sirip dada (pectoral) termasuk thoracic atau sejajar. Terdapat juga 2 sirip

dada (pectoral) panjang menjuntai dan ujungnya berbentuk lancip yang

terpisah di bagian sisi kanan dan kiri tubuh ikan. Ikan selar kuning termasuk

ikan laut perenang cepat dan kuat. Penyebaran ikan ini adalah semua laut

di daerah tropis dan semua lautan Indo-Pasifik. Ikan ini banyak tertangkap

di perairan pantai serta hidup berkelompok. Di indonesia sendiri ikan ini

menjadi komoditas yang cukup penting karena memiliki nilai ekonomis

yang tinggi.

14. Ikan Sebelah (Psettodes erumei Bloch & Schneider, 1801)

Nama Lokal : Telumpah

Klasifikasi ikan sebelah menurut Carpenter dan Niem (2001), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Pleuronectiformes

Family : Psettodidae

Genus : Psettodes

Spesies : Psettodes erumei (Bloch & Schneider, 1801)


63

Gambar 23. Psettodes erumei (Bloch & Schneider, 1801) dokumentasi


penelitian (2018)

Ikan sebelah (Psettodes erumei) memiliki karakteristik bentuk badan

pipih (lateral), mulut lebar posisi terminal dan kedua mata berada pada satu

sisi tubuh bagian atas. Ikan ini berenang diatas dasar, kadang

menyembunyikan diri di dasar pasir atau pasir berlumpur. Ikan sebelah

termasuk ikan predator jenis makanannya ikan kecil dan Benthos.

Umumnya tubuh ikan sebelah berwarna cokelat kemerahan. Ikan sebelah

termasuk ikan demersal dengan tipe substrat yang digemari terutama pasir

dan berlumpur. Ikan sebelah paling banyak ditemukan di wilayah perairan

utara Jawa, selatan Kalimantan dan Sumatera sampai Papua.

15. Ikan Pari (Dasyatis zugei Muller & Henle, 1841)

Nama Lokal : Pe

Klasifikasi ikan pari menurut Carpenter dan Niem (1999), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Myliobatiformes

Famili : Dasyatidae

Genus : Dasyatis

Spesies : Dasyatis zugei (Muller & Henle, 1841)


64

Gambar 24. Dasyati zugei (Muller & Henle, 1841) dokumentasi penelitian
(2018)

Ikan pari (Dasyatis zugei) lebih dikenal dengan sebutan Pe oleh

masyarakat Lekok. Ikan pari/Pe memiliki karakteristik badan yang kuat,

perut rata dengan dada, celah insang terletak di bagian perut tepatnya di

bawah perut, spiracle terletak dalam bagian punggung, sirip dada melebar

bersambungan dengan kepalanya sehingga berbentuk segitiga dan

tampak seperti kelelawar, ekor mudah dibengkokkan, panjang, bergerigi

dan menipis seperti cemeti.

16. Ikan Lidah (Zebrias zebra Bloch, 1787)

Nama Lokal : Moto mereng

Klasifikasi ikan lidah menurut Carpenter dan Niem (1999), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Pleuronectiformes

Famili : Soleidae

Genus : Zebrias

Spesies : Zebrias zebra (Bloch, 1787)


65

Gambar 25. Zebrias zebra (Bloch, 1787) dokumentasi penelitian (2018)

Ikan lidah (Zebrias zebra) memiliki bentuk tubuh panjang (elongate),

letak mata disebelah kanan tubuh dan letak mulut terminal. Ikan lidah

memiliki tipe sisik ctenoid pada salah satu sisi tubuhnya dan duri sirip terdiri

dari duri lunak. Ikan lidah memiliki sirip punggung, ekor dan dubur yang

menjadi satu. Warna tubuh cokelat terang dengan garis – garis cokelat tua

vertikal pada tubuhnya.

17. Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus coioides Hamilton, 1822)

Nama Lokal : Kerapu

Klasifikasi ikan kerapu menurut Carpenter dan Niem (1999), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Perciformes

Famili : Percoidei

Genus : Epinephelus

Spesies : Epinephelus coioides (Hamilton, 1822)


66

Gambar 26. Epinephelus coioides (Hamilton, 1822), dokumentasi


penelitian (2018)

Ikan kerapu lumpur (Epinephelus coioides) merupakan ikan dasar

yang sering ditemukan di kawasan terumbu karang di daerah intertidal.

Ikan kerapu lumpur menggunakan terumbu karang didaerah intertidal

karena faktor kondisi biofisiknya cocok sebagai tempat memijah dan

tempat bagi perkembangan larvanya. Bentuk tubuh memanjang dengan

bagian kepala dan punggung berwarna coklat kehitaman, sedangkan perut

berwarna keputihan, seluruh tubuhnya dipenuhi bintik-bintik kasar

berwarna kecokelatan atau kemerahan.

18. Ikan Ketang – ketang (Drepane punctata Linnaeus, 1758)

Nama Lokal : Marang

Klasifikasi ikan ketang – ketang menurut Carpenter dan Niem (2001),

adalah sebagai berikut:

Ordo : Perciformes

Famili : Percoidei

Genus : Drepane

Spesies : Drepane punctata (Linnaeus, 1758)


67

Gambar 27. Drepane punctata (Linnaeus, 1758) dokumentasi penelitian


(2018)

Ikan ketang – ketang (Drepane punctata) memiliki karakteristik yaitu

bentuk tubuh yang pipih dan ada bercak totol – totol hitam. Tubuhnya pipih

agak berbentuk segiempat. Ikan ketang – ketang memiliki mata yang cukup

besar. Sirip – siripnya berwarna kuning dan abu – abu. Ikan ketang –

ketang sering dijumpai di perairan estuari dan perairan yang berkarang.

Ikan ini dapat hidup di suatu perairan dengan kadar garam yang tinggi.

19. Cumi – cumi (Photololigo duvaucelii Valenciennes, 1842)

Nama Lokal : Nus

Klasifikasi cumi – cumi menurut Carpenter dan Niem (1998), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Myopsida

Famili : Loliginidae

Genus : Photololigo

Spesies : Photololigo duvaucelii (Valenciennes, 1842)


68

Gambar 28. Photololigo duvaucelii (Valenciennes, 1842), dokumentasi


penelitian (2018)

Cumi – cumi (Photololigo duvaucelii) memiliki tubuh yang dapat

dibedakan atas kepala, leher dan badan. Kepala cumi – cumi besar,

matanya berkembang dengan baik karena dapat berfungsi untuk melihat.

Mulutnya terdapat di tengah – tengah, dikelilingi oleh 10 tentakel, 2 tentakel

panjang dan 8 tentakel lebih pendek. Tentakel panjang berfungsi untuk

menangkap mangsa dan berenang. Pada setiap tentakel terdapat alat

penghisap atau sucker. Di sisi kiri dan kanan tubuhnya terdapat sirip yang

penting untuk keseimbangan tubuh. Seluruh tubuh cumi-cumi terbungkus

oleh mantel. Cumi-cumi dapat bergerak sangat cepat dengan cara

menyemprotkan air dari bawah mantelnya. Bila dalam bahaya cumi-cumi

melarikan diri sambil menyemprotkan tinta berwarna hitam bersama-sama

dengan air yang digunakan untuk bergerak dan cairan ini akan

menghambat lawan.

20. Sotong (Sepia officinalis Linnaeus, 1758)

Nama Lokal : Nus

Klasifikasi sotong menurut Carpenter dan Niem (1998), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Sepioidae

Famili : Loliginidae

Genus : Sepiidae
69

Spesies : Sepia officinalis (Linnaeus, 1758)

Gambar 29. Sepia officinalis (Linnaeus, 1758) dokumentasi penelitian


(2018)

Sotong memiliki badan berbentuk bulat telur agak pendek dengan

sirip daging melingkari seluruh badan dan bagian belakang tubuh bundar.

Punggung sotong keras karena di dalam dagingnya terdapat kerangka dari

kapur yang berbentuk lonjong dan berwarna putih. Sekitar mulut terdapat

delapan tangan pendek dan dua tangan panjang (tentakel). Tangan yang

pendek dilingkari dengan alat penghisap sepanjang tangan, sedangkan

tangan yang panjang (tentakel) hanya terdapat pada ujungnya. Warna

sotong bervariasi tetapi umumnya coklat atau kuning kecokelatan

tergantung dari warna dasar perairan, pada bagian punggungnya terdapat

garis bengkok-bengkok. Ukuran panjang sotong dapat mencapai 30-35 cm,

tetapi biasanya 20-25 cm.

21. Gurita (Octopus alpheus Norman, 1993)

Nama Lokal : Gurita

Klasifikasi gurita menurut Carpenter dan Niem (1998), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Octopodidae

Famili : Octopoda
70

Genus : Octopus

Spesies : Octopus alpheus (Norman, 1993)

Gambar 30. Octopus alpheus (Norman, 1993) dokumentasi penelitian


(2018)

Bagian tubuh gurita dapat dibagi menjadi lima bagian yaitu badan,

mata, selaput renang, kantong penghisap dan tangan (Gambar 26).

Umumnya bentuk tubuh dari gurita agak bulat atau bulat pendek, tidak

mempunyai sirip. Pada tubuh bulat itu terdapat tonjolan-tonjolan seperti

kutil. Bagian utama dari tubuh gurita menyerupai gelembung dan diliputi

oleh selubung, kemudian mengecil membentuk semacam leher pada

bagian pertemuan dengan kepala. Bentuk kepala dari gurita ini sangat jelas

dengan sepasang mata yang sangat kompleks sehingga gurita mempunyai

penglihatan yang sempurna dan dikelilingi pada bagian depannya

(anterior) oleh lengan-lengan. Lengan gurita berjumlah delapan dan

dilengkapi dengan selaput renang (membran) yang terletak di celah-celah

pangkal lengan. Mulut terletak di bagian kepala yang dikelilingi oleh

lenganlengan. Di bagian bawah dari tubuhnya terdapat lubang-lubang

seperti corong yang dinamakan siphon. Siphon ini berguna untuk

mengeluarkan air dari dalam tubuhnya.


71

22. Udang Putih (Penaeus merguiensis de Man, 1888)

Nama Lokal : Urang

Klasifikasi udang putih menurut Carpenter dan Niem (1998), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Decapodas

Famili : Penaeidae

Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus merguiensis (de Man, 1888)

Gambar 31. Penaeus merguiensis (de Man, 1888) dokumentasi penelitian


(2018)

Udang putih memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit

luar (eksoskeleton) secara periodik (moulting). Bagian tubuh udang putih

sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan

makan, bergerak, dan membenamkan diri kedalam lumpur (burrowing ),

dan memiliki organ sensor, seperti pada antenna dan antenula. Warna

tubuhnya putih kekuningan terdapat bintik-bintik coklat dan hijau pada ekor.

Udang putih mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap salinitas yang

luas dengan kisaran salinitas 0 sampai 50 ppt.


72

23. Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758)

Klasifikasi rajungan menurut Carpenter dan Niem (1998), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Decapoda

Famili : Portunidae

Genus : Portunus

Spesies : Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758)

Gambar 32. Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) dokumentasi penelitian


(2018)

Rajungan (Portunus pelagicus) memiliki karapas berbentuk

segienam pada tubuhnya. Memiliki 2 supit dan 4 pasang kaki jalan. Pada

kepiting jantan warna tubuhnya hijau dengan bintik – bintik putih pada

seluruh tubuhnya. Pada ujung supit dan kaki jalan berwarna biru terang

dan biru tuan hingga ke ujung.

24. Ikan Lidah (Cynoglosus macrolepidotus Bleeker, 1851)

Klasifikasi ikan lidah menurut Carpenter dan Niem (2001), adalah

sebagai berikut:

Ordo : Pleuronectiformes

Famili : Cynoglossidae
73

Genus : Cynoglossus

Spesies : Cynoglosus macrolepidotus (Bleeker, 1851)

Gambar 33. Cynoglosus macrolepidotus (Bleeker, 1851) dokumentasi penelitian

(2018)

Ikan lidah (Cynoglossus macrolepidotus) mempunyai bentuk badan yang

pipih memanjang seperti lidah. Ukuran panjang maksimum adalah 38 cm,

umumnya sekitar 20-30 cm. Bagian badan berwarna kecoklatan pada sisi yang

bermata (Gambar 31). Bagian kepala, mata, dan mulutnya tidak simetris,

walaupun pada tahap larva tubuhnya simetris. Kedua matanya berada di sisi kiri

(sisi atas), berdekatan satu sama lain. Bentuk dan letak mulut menyerong,

moncongnya tumpul agak bulat termasuk inferior atau mulut ikan terletak dibawah

kepala. Penangkapannya dilakukan dengan pukat harimau, pukat tepi/pantai,

cantrang dan dogol. Penyebarannya meliputi seluruh perairan pantai Indonesia,

terutama Laut Jawa, bagian timur Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulawesi

Selatan, Laut Arafuru, Teluk Thailand, Teluk Benggala, dan di sepanjang pantai

Laut Cina Selatan.


74

4.6 Analisis Keanekaragaman (H’)

Dari data hasil penelitian yang telah berlangsung, total jumlah jenis spesies

yang tertangkap oleh alat tangkap cantrang sebanyak 24 spesies dan jumlah

spesies telah dihitung menggunakan indeks keanekaragaman untuk mengetahui

seberapa besar tingkat keanekaragaman spesies hasil tangkapan. Untuk

menghitung jumlah individu dilakukan dengan cara estimasi yaitu menimbang

berat total kemudian menimbang berat per spesies. Berat total yang sudah

diketahui dibagi oleh berat per spesies maka diperoleh hasil jumlah individu dari

spesies. Dari jumlah total hasil tangkapan sebesar 29.307 individu dari 24 spesies

menghasilkan indeks keanekaragaman dengan nilai 2,71. Untuk melihat analisis

keanekaragaman dapat dilihat pada tabel 12 berikut ini:

Tabel 12. Hasil analisis indeks keanekaragaman


No. Nilai Hipotesa
1 H' ≤ 1 Keanekaragaman rendah
2 H' ≤ 1 ≤ 3 Keanekaragaman sedang
3 H' ≥ 3 Keanekaragaman tinggi
Indeks keanekaragaman (H') = 2,76

Keanekaragaman ikan pada suatu perairan menggambarkan adanya

kekayaan ikan di perairan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, nilai indeks

keanekaragaman yang didapat sebesar 2,76 hal ini menunjukkan bahwa tingkat

keanekaragaman memiliki kriteria H' ≤ 1 ≤ 3 yang artinya termasuk kategori

keanekaragaman sedang. Scheimer & Zalewski (1992) menyatakan bahwa

keheterogenan habitat dan kualitas air juga diperhitungkan sebagai penyebab

keanekaragaman ikan di sungai. Secara ekologi diasumsikan bahwa

keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan keseimbangan ekosistem

yang lebih baik. Sebaliknya keanekaragaman yang rendah (jumlah spesies sedikit)

menunjukkan sistem yang stress atau sistem yang sedang mengalami kerusakan,

misalnya bencana alam, polusi, dan lain-lain.


75

Tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman tergantung oleh variasi

jumlah individu tiap spesies ikan yang berhasil ditangkap. Semakin besar jumlah

spesies ikan dan variasi jumlah individu tiap spesies maka tingkat

keanekaragaman ikan dalam suatu ekosistem perairan akan semakin besar,

demikian juga sebaliknya. Semakin kecil jumlah spesies ikan dan variasi jumlah

individu tiap spesies maka tingkat keanekaragaman ikan dalam suatu ekosistem

perairan juga akan semakin kecil (Sriwidodo et al., 2013).

4.7 Analisis Keseragaman (E)

Analisis indeks keseragaman digunakan untuk mengetahui seberapa besar

tingkat keseragaman spesies hasil tangkapan melalui cara perhitungan indeks

keseragaman. Dari jumlah total hasil tangkapan sebesar 29.307 individu

menghasilkan indeks keseragaman dengan nilai 0,87. Untuk melihat analisis

keseragaman dapat dilihat pada tabel 13 berikut ini:

Tabel 13. Hasil Analisis Indeks Keseragaman


No. Nilai Hipotesa
1 0≤E≤1 Keseragaman rendah
2 0,4 ≤ E ≤ 0,6 Keseragaman sedang
3 0,6 ≤ E ≤ 1 Keseragaman tinggi
Indeks keseragaman (E) = 0,87

Dari nilai yang didapat menunjukkan bahwa tingkat keseragaman memiliki

kriteria 0,6 ≤ E ≤ 1,0 yang artinya termasuk kategori keseragaman tinggi. Hal

tersebut dapat diartikan bahwa penyebaran tinggi dan kestabilan komunitas juga

tergolong stabil. Krebs (1985) menyatakan bahwa semakin kecil nilai keseraaman

(E) maka semakin kecil pula keseragaman suatu populasi dan penyebaran individu

yang mendominasi populasi sedangkan bila nilainya semakin besar maka akan

semakin besar pula keseragaman suatu populasi dimana jenis dan jumlah individu

tiap jenisnya merata atau seragam. Nilai indeks keseragaman juga dipengaruhi

oleh kondisi lingkungan, semakin merata penyebaran individu antar spesies, maka
76

keseimbangan fungsi ekosistem semakin baik. Ardani dan Organsastra (2009)

juga menyatakan bahwa nilai indeks keseragaman jenis ikan berkisar antara 0 –

1. Kriteria nilai keseragaman jenis ikannya yaitu jika nilai E mendekati 0 maka

penyebaran individu antar jenis relatif tidak sama dan ada sekelompok individu

jenis tertentu yang melimpah. Sebaliknya bila nilai E mendekati 1 maka

penyebaran individu antar jenis relatif sama. Artinya, penyebaran individu atau

antar spesies ikan di kecamatan Lekok relatif sama dan tidak ada sekelompok

individu atau spesies tertentu yang melimpah.

4.8 Analisis Variasi Berat Hasil Tangkapan Cantrang

Untuk mengetahui apakah terdapat variasi atau perbedaan berat

antarspesies hasil tangkapan secara statistik maka perlu melakukan uji variasi

berat menggunakan uji One Way Anova (Analysis of variance). Data spesies dan

berat spesies hasil tangkapan cantrang dianalisis menggunakan SPSS dengan uji

One Way Anova. Hasil analisis variasi berat disajikan pada tabel 14 berikut ini:

Tabel 14. Hasil Uji Anova variasi berat spesies hasil tangkapan cantrang
Sum of Mean
Squares Df Squares F Sig.
Between Groups 1783,893 23 79,023 32,444 0,000
Within Groups 1110,650 456 2,436
Total 2928,176 479

Hasil analisis pada tabel 14, diperoleh nilai signifikasi (Sig.) < 0,05 yaitu

0,000 maka H1 diterima dan H0 ditolak. Hal tersebut menunjukkan bahwa berat

antar spesies hasil tangkapan memiliki variasi atau perbedaan yang nyata.

Kemudian untuk mengetahui spesies apa yang memiliki perbedaan signifikan atau

nyata dilakukan dengan prosedur post hoc Least Significant Different (LSD) test.

Perbedaan signifikasi dapat diketahui dari tanda (*) pada kolom Mean Difference

(I-J). Tanda (*) menunjukkan perbedaan rata – rata (mean) yang signifikan antara
77

satu spesies dengan spesies lain. Berikut tabel rata – rata dan standar deviasi

berat spesies (kg) hasil tangkapan cantrang disajikan pada tabel 15 berikut ini:

Tabel 15. Rata - rata berat dan Standar Deviasi berat spesies (kg) hasil tangkapan
cantrang
No. N Spesies Notasi
1 20 Udang 0,91 ± 0,55a
2 20 Rajungan 0,92 ± 0,54a
3 20 Gurita 0,93 ± 0,49a
4 20 Lidah 0,98 ± 0,46 a
5 20 Ketang ketang 1,02 ± 0,54a
6 20 Lidah Zebra 1,05 ± 0,53a
7 20 Sotong 1,07 ± 0,65a
8 20 Kerapu Lumpur 1,15 ± 0,64a
9 20 Sebelah 1,23 ± 0,58a
10 20 Pari 1,28 ± 0,73a
11 20 Layur 1,3 ± 0,6a
12 20 Selar Kuning 1,3 ± 0,81a
13 20 Buntal 1,38 ± 0,83a
14 20 Ayam ayam 1,38 ± 0,74a
15 20 Bawal Hitam 1,83 ± 1ab
16 20 Swanggi 1,84 ± 0,95ab
17 20 Kerong kerong 2,05 ± 1,08ab
18 20 Gulamah 2,11 ± 1,09ab
19 20 Barakuda 2,57 ± 1,71ab
20 20 Kurisi 3,44 ± 2,18b
21 20 Beloso 3,5 ± 1,68b
22 20 Kuniran 5,5 ± 2,48c
23 20 Cumi cumi 7,45 ± 4,38d
24 20 Peperek 7,9 ± 3,55d
Keterangan: Notasi huruf dibelakang angka menunjukkan perbedaan secara
statistik pada nilai signifikasi sebesar 0,05.

Berdasarkan hasil analisis pada tabel 15, diketahui bahwa berat ikan

peperek memiliki perbedaan paling signifikan atau nyata terhadap ikan lain dengan

rata – rata berat (kg) ± standar deviasi yaitu 7,9 ± 3,55d. Hal ini dikarenakan Ikan

peperek adalah ikan yang memiliki umur pendek. Ikan peperek memiliki ukuran

yang kecil. Ikan yang berukuran besar memiliki kemampuan pulih lebih rendah

dibandingkan ikan yang berukuran kecil. Hal ini memungkinkan jumlah ikan yang
78

berukuran kecil lebih banyak di perairan sehingga hasil tangkapan didominasi oleh

ikan berukuran kecil (Ernawati, 2007).

Perbedaan signifikan lainnya juga terjadi pada cumi – cumi. Rata – rata berat

(kg) ± standar deviasi cumi – cumi yaitu 7,45 ± 4,38d. Banyaknya cumi – cumi yang

tertangkap saat pengoperasian jaring cantrang karena cumi – cumi merupakan

salah satu target utama nelayan yang paling luas penyebarannya di dunia

(Okutani, 2005). Selain itu, Triharyuni (2012), menyatakan bahwa cumi – cumi

banyak digemari karena mengandung nilai gizi yang tinggi. Hampir seluruh bagian

tubuhnya dapat dimakan. Sehingga, minat konsumen terhadap terhadap cumi –

cumi sangat tinggi maka nelayan gencar untuk menangkap cumi – cumi. Dengan

mengetahui area dan waktu dimana ikan bisa tertangkap maka kegiatan

penangkapan menjadi lebih efektif. Musim cumi-cumi sangat mempengaruhi

produksi tangkapan pada bulan, sehingga dengan diketahuinya musim cumi-cumi

tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, pada bulan November sampai awal bulan

Februari adalah musim penangkapan cumi – cumi (Prasetyo et al., 2014).

Pada analisis tingkat keramahan lingkungan ini dapat dilakukan dengan tiga

cara untuk mengetahui tingkat keramahan lingkungan pada alat tangkap cantrang.

Suatu unit penangkapan dapa dikatakan ramah lingkungan apabila telah

memenuhi faktor keramahan lingkunan. Faktor keramahan lingkungan yang

digunakan pada penelitian ini yaitu perbandingan ikan hasil tangkapan utama dan

sampingan, tingkat pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dan panjang ikan

layak tangkap ditentukan dengan lenght of maturity (Lm).


79

4.9 Proporsi Hasil Tangkapan Utama dan Sampingan

Hasil tangkapan yang didapatkan oleh nelayan yang menggunakan cantrang

selama penelitian menunjukkan bahwa tidak hanya ikan target saja yang

tertangkap, tetapi ada juga ikan hasil tangkapan sampingan baik bycatch maupun

discard. Berdasarkan hasil dari wawancara nelayan ikan hasil tangkapan utama

yaitu ikan demersal (peperek, kuniran, kurisi, kerapu, barakuda, beloso, kerong –

kerong, gulamah, ayam ayam, sebelah, lidah, layur, bawal hitam), cumi – cumi,

udang dan rajungan. Sedangkan, hasil tangkapan sampingan yaitu ikan buntal,

selar kuning, pari, ketang – ketang, sotong dan gurita.

Tabel 16. Proporsi spesies hasil tangkapan utama dan sampingan


No. Hasil Tangkapan Berat (kg) Persentase (%)
1 Utama 943,25 87%
2 Sampingan 139,5 13%
Jumlah 1082,75 100%

13%

87%

Hasil Tangkapan Utama Hasil Tangkapan Sampingan

Gambar 34. Proporsi spesies hasil tangkapan utama dan sampingan berdasarkan
berat (kg)

Tabel 16 dan gambar 34 menggambarkan proporsi hasil tangkapan utama

sebesar 87% dan hasil tangkapan sampingan sebesar 13% dari total berat ikan
80

yang tertangkap. Dengan nilai proporsi hasil tangkapan utama dan sampingan

tersebut menunjukkan bahwa alat tangkap cantrang di kecamatan Lekok

memnpunyai selektivitas spesies yang baik meskipun jika dilihat dari konstruksinya

yang hampir mirip trawl dan merusak dasar ekosistem perairan.

Berdasarkan komposisi hasil tangkapan utama menunjukkan bahwa

cantrang mempunyai selelktifitas yang baik terhadap spesies. Dimana semakin

besar proporsi hasil tangkapan utama terhadap hasil tangkapan sampingan maka

akan semakin selektif. Menurut Mallawa (2006), jika proporsi hasil tangkapan

utama > 60% maka alat dapat dikatakan ramah lingkungan. Jika menurut pada

kriteria tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dari segi proporsi hasil tangkapan

utama dan sampingan alat tangkap cantrang yang dioperasikan oleh nelayan di

Lekok ramah lingkungan dengan nilai proporsi hasil tangkapan utama sebesar

87% dengan berat 943,25 kg.

4.10 Proporsi Ikan Layak Tangkap

Ukuran panjang suatu ikan dapat digunakan untuk menentukan layak atau

tidaknya ikan tersebut untuk ditangkap. Batasan ukuran panjang ikan yang

dikatakan layak tangkap yaitu pada saat ikan pertama kali matang gonad (lenght

of maturity). Hantardi et al., (2013) menyatakan bahwa ukuran ikan sebelum

matang gonad merupakan ukuran ikan yang tidak seharusnya ditangkap supaya

ikan mendapatkan kesempatan untuk berkembang menjadi lebih besar hingga

mencapai ukuran ikan layak tangkap. Dengan memberi peluang ikan untuk

berkembang dan bereproduksi terlebih dahulu sebelum ditangkap maka proses

recruitmen ikan kecil menjadi ikan dewasa akan dapat terus berjalan sehingga

keberadaan spesies ikan tetap terjaga. Maka dari itu kriteria yang paling kuat untuk

menentukan keramahan lingkungan operasi penangkapan adalah ukuran ikan

layak tangkap atau pertama kali matang gonad.


81

Usaha penangkapan ikan berwawasan linngkungan dapat berjalan

seimbang maka harus mengelola lingkungan secara terpadu dalam pemanfaatan

sumberdaya dengan mengikuti undang – undang atau peraturan yang berlaku

(Apriani, 2013). Menurut Surat Edaran Men KP. No. 72 (2016), tentang

pembatasan penggunaan alat penangkapan ikan yaitu cantrang di wilayah

pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia, ukuran selektivitas dan

kapasitas cantrang yaitu ukuran mata jaring (mesh size) minimal 2 inchi. Cantrang

di kecamatan Lekok belum sesuai dengan peraturan karena memiliki mesh size <

2 inchi yaitu 1 inchi artinya belum sesuai dengan peraturan yang peraturan yang

berlaku. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 4 jenis ikan yang mempunyai

jumlah paling banyak dibandingkan dengan ikan lainnya, yaitu ikan peperek, ikan

kuniran, ikan kurisi dan ikan beloso. Berikut data persebaran panjang tiap ikan:

1. Ikan Peperek (Leiognathus splendens Cuvier, 1892)

Berikut data persebaran kelas panjang ikan peperek pada gambar 33.

14
12 Lm = 13 cm
12 11 11

10
Frekuensi

8 7
6
6

4 3

0
8-8.5 8.6-9 9.5-10 10.5-11 11.5-12 13
Kelas Panjang (cm)

Gambar 35. Lenght at first maturity (Lm) ikan peperek berdasarkan penelitian
Permatachani et al., (2016)

Berdasarkan data distribusi panjang ikan peperek menunjukkan bahwa terdapat 3

ekor ikan peperek yang tertangkap sudah layak. Sedangkan, ikan yang belum

layak tangkap terdapat 47 ekor dapat dilihat pada lampiran 7.


82

2. Ikan Kuniran (Uppeneus moluccensis Bleeker, 1855)

Berikut data persebaran kelas panjang ikan kuniran dapat dilihat pada gambar 36.

14
12 12
12
10
Frekuensi 10 Lm = 14 cm

8
6
6 5 5

0
9.6-10.5 10.6-11.2 11.3-12.4 12.5-13.0 13.5-14.8 15.2-16.3
Kelas Panjang (cm)

Gambar 36. Lenght at first maturity (Lm) ikan kuniran berdasarkan penelitian
Meylawati (2018)

Berdasarkan data distribusi panjang ikan kuniran menunjukkan bahwa terdapat 9

ekor ikan kuniran yang tertangkap sudah layak. Sedangkan, ikan yang belum layak

tangkap terdapat 41 ekor dapat dilihat pada lampiran 7.

3. Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus Bleeker, 1854)

Berikut data persebaran kelas panjang ikan kurisi dapat dilihat pada gambar 37.

16
14 Lm = 17 cm
14
12
10
Frekuensi

10
8
8 7
6
6 5
4
2
0
11.0-15.0 15.5-16.5 16.8-17.4 17.5-18.0 18.3-19.3 19.4-21.7
Kelas Panjang (cm)

Gambar 37. Lenght at first maturity (Lm) ikan kurisi berdasarkan penelitian
Sadhotomo (2012).
83

Berdasarkan data distribusi panjang ikan kurisi menunjukkan bahwa

terdapat 22 ekor ikan kurisi yang tertangkap sudah layak. Sedangkan, ikan yang

belum layak tangkap terdapat 28 ekor dapat dilihat pada lampiran 7.

4. Ikan Beloso (Saurida argentea Macleay, 1881)

Berikut data persebaran kelas panjang ikan beloso dapat dilihat pada gambar 38.

12 11 11
Lm = 17 cm
10 9
8
8 7
Frekuensi

6
4
4

0
12.5-16.4 16.5-18.6 19-21 21.5-23.4 23.5-26.8 27-28.5
Kelas Panjang (cm)

Gambar 38. Lenght at first maturity (Lm) ikan beloso berdasarkan penelitian Dewi
et al., (2016)

Berdasarkan data distribusi panjang ikan beloso menunjukkan bahwa seluruh ikan

yang tertangkap belum layak tangkap karena masih dibawah Lm dapat dilihat pada

lampiran 7.

Ikan hasil tangkapan yang tertangkap selama penelitian sebagian besar

belum layak tangkap karena panjang ikan masih dibawah Lm (lenght at first

maturity). Besar persentase ikan yang sudah layak tangkap yaitu 17%, sedangkan

83% lainnya belum layak tangkap. Diketahui jumlah ikan layak tangkap dibawah

60% maka dapat dikatakan bahwa dari segi ukuran layak tangkap cantrang yang

dioperasikan tidak ramah lingkungan.


84

4.11 Analisis Tingkat Pemanfaatan Ikan Hasil Tangkapan

Pemanfaatan hasil tangkapan yang dilakukan nelayan di Kecamatan Lekok

yaitu dengan cara menjual dan dikonsumsi sendiri. Sistem penjualannnya

menggunakan satuan kilogram per jenis ikan. Per kilogram ikan mempunyai harga

masing – masing per jenis ikan. Ikan yang dijual kepada pengepul masih dalam

keadaan segar karena setelah ikan diambil dari jaring langsung dijual, terkadang

pengepul sudah menunggu ketika ikan belum sepenuhnya diambil semua jaring.

Untuk menentukan hasil tangkapan yang dimanfaatkan dan tidak dimanfaatkan

dilakukan wawancara kepada nelayan cantrang. Berikut proporsi tingkat

pemanfaatan hasil tangkapan utama dan sampingan tersaji pada Tabel 17.

Tabel 17. Tingkat pemanfaatan ikan hasil tangkapan utama


Hasil Tangkapan Utama Berat Persentase (%)
1 Dimanfaatkan
a. Dijual 786.75 85%
b. Dikonsumsi sendiri 136.85 15%
2 Tidak dimanfaatkan
a. Dibuang - -

Tabel 18. Tingkat pemanfaatan ikan hasil tangkapan sampingan


Hasil Tangkapan Sampingan Berat Persentase (%)
1 Dimanfaatkan
a. Dijual - -
b. Dikonsumsi sendiri 111 80%
2 Tidak dimanfaatkan
a. Dibuang 27.5 20%

Tabel 17 dan 18 merupakan tabel yang menyajikan pembagian tingkat

pemanfaatan hasil tangkapan utama dan sampingan. Hasil tangkapan utama

dalam pemanfaatannya dibagi menjadi dua yaitu dijual dan dikonsumsi sendiri.

Ikan yang dikonsumsi sendiri merupakan hasil tangkapan pada saat mendapatkan

sedikit, ketika hasilnya banyak nelayan cenderung menjual semuanya. Sedangkan

hasil tangkapan sampingan ada yang dimanfaatkan dan ada yang tidak
85

dimanfaatkan. Ikan yang dimanfaatkan biasanya dikonsumsi sendiri oleh nelayan

karena jumlahnya yang sedikit. Ikan yang tidak dimanfaatkan akan langsung

dibuang ke laut karena ikan tersebut beracun dan tidak dapat dikonsumsi oleh

nelayan sendiri. Dalam pemanfaatan hasil tangkapan sangat berkaitan erat

dengan dampak yang akan terjadi pada ekosistem yang ada di laut. Dimana ketika

ada ikan – ikan yang tidak diinginkan oleh nelayan dan dianggap tidak bisa

dimanfaatkan maka akan langsung dibuang ke laut. Menurut Hall (1999), biasanya

ikan yang dibuang langsung ke laut kemungkinan hidupnya kecil atau sudah dalam

keadaan mati dan ini akan menjadi sampah organik yang nantinya akan

mempengaruhi kualitas air. Berdasarkan proporsi pemanfaatan hasil tangkapan

utama sebesar 87% dan hasil tangkapan sampingan sebesar 80% maka dapat

dikatakan bahwa dilihat dari tingkat pemanfaatan ikan hasil tangkapan unit

penangkapan cantrang yang ada di kecamatan Lekok digolongkan ramah

lingkungan karena sebaian besar hasil tangkapan utama maupun sampingan

dimanfaatkan oleh nelayan.

4.12 Analisis Tingkat Keramahan Lingkungan Cantrang

Pada analisis tingkat keramahan lingkungan ini dilakukan untuk mengetahui

tingkat keramahan lingkungan pada alat tangkap cantrang. Hal ini untuk

mewujudkan perikanan yang berkelanjutan dan pemanfaatan sumberdaya ikan

yang bertanggung jawab. Suatu unit penangkapan dapat dikatakan ramah

lingkungan apabila telah memenuhi faktor keramahan lingkungan. Faktor

keramahan lingkungan yang digunakan peneliti yaitu perbandingan ikan hasil

tangkapan utama dan sampingan, panjang ikan layak tangkap dan tingkat

pemanfaatan ikan hasil tangkapan utama dan sampingan. Hasil Penilaian tingkat

keramahan lingkungan dapat dilihat pada Tabel 19.


86

Tabel 19. Penilaian Tingkat Keramahan Lingkungan Cantrang


Pengamatan Penilaian Kriteria Skor
1 Hasil Tangkapan Utama 87% Sangat Ramah 4
Lingkungan
2 Panjang Ikan Layak Tangkap 17% Tidak Ramah 1
Lingkungan
3 Tingkat Pemanfaatan Hasil 80% Ramah Lingkungan 3
Tangkapan Sampingan

Penarikan kesimpulan: *)

Jika total skor 3 sampai 5 : Tidak ramah lingkungan

Jika total skor 6 sampai 8 : Kurang ramah lingkungan

Jika total skor 9 sampai 11 : Ramah lingkungan

Jika total skor 12 : Sangat ramah lingkungan

*) Berdasarkan penelitian Cahyono (2016)

Berdasarkan penilaian tingkat keramahan lingkungan dengan menggunakan

skor, faktor hasil tangkapan utama mendapatkan nilai 4, panjang ikan layak

tangkap mendapatkan nilai 1 dan tingkat pemanfaatan hasil tangkapan

mendapatkan nilai 3. Total skor diperoleh yaitu 8, dan nilai 8 ini berada pada range

6 – 8 yang artinya dapat dikatakan bahwa alat tangkap cantrang yang dioperasikan

kurang ramah lingkungan. Hal ini juga didukung dari faktor lain sesuai dengan

standar internasional CCRF (Code of Conduct for Respnsible Fisheries)

berdasarkan FAO (1995) dan Departemen Kelautan Perikanan tahun 2006 alat

tangkap dikatakan ramah lingkungan jika memenuhi 9 kriteria diantaranya memiliki

selektivitas tinggi, tidak merusak habitat ikan, menghasilkan ikan berkualitas tinggi,

tidak membahayakan nelayan, produk aman bagi konsumen, By-catch rendah,

dampak terhadap biodiversitas rendah, tidak menangkap ikan yang dilindungi dan

dapat diterima secara sosial. Diindikasikan secara konstruksi bahwa cantrang di

Lekok kurang ramah lingkungan dikarenakan saat pengoperasian menggunakan

bantuan papan untuk pembuka kedua bagian sayap. Papan ini dapat
87

menyebabkan pergesekan terhadap karang sehingga karang menjadi rusak.

Selain itu, diperkuat lagi oleh penilaian skor diatas bahwasanya cantrang di Lekok

menangkap ikan – ikan belum layak tangkap. Hal ini yang menjadikan cantrang

sebagai alat tangkap kurang ramah lingkungan.


88

5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Spesies hasil tangkapan cantrang yang didapatkan terdiri dari 4 kategori

yaitu ikan pelagis kecil, ikan demersal, binatang bertubuh lunak dan

binatang berkulit keras. Spesies yang mendominasi hasil tangkapan yaitu

ikan demersal yaitu sebanyak 18 spesies.

2. Hasil tangkapan cantrang di kecamatan Lekok terdiri dari 24 spesies.

Persentase tertinggi yaitu ikan peperek (Leiognathus splendens) sebesar

14,59% dengan total berat 158 Kg. Spesies terbanyak yang kedua berasal

dari kategori binatang berkulit lunak yaitu cumi – cumi (Photololigo

duvaucelii) sebesar 13,76% dengan total berat 149 Kg. Kemudian spesies

ketiga adalah ikan kuniran (Uppeneus moluccensis) sebesar 10,16%

dengan total berat 110 Kg. Sedangkan, hasil tangkapan yang paling sedikit

yaitu udang putih (Penaeus merguiensis) sebesar 1,67% dengan total

berat 18,1 Kg dan rajungan (Portunus pelagicus) sebesar 1,69% dengan

total berat 18,35 Kg.

3. Nilai tingkat keanekaragaman jenis spesies pada hasil tangkapan cantrang

sebesar 2,76 yang artinya termasuk kategori keanekaragaman sedang.

Sedangkan nilai tingkat keseragaman jenis spesies pada hasil tangkapan

cantrang sebesar 0,87 yang artinya termasuk kategori keseragaman tinggi.

4. Alat tangkap cantrang dikatakan kurang ramah lingkungan dengan

persentase hasil tangkapan utama sebesar 87%, persentase panjang ikan

layak tangkap 17% dan persentase tingkat pemanfaatan hasil tangkapan

sebesar 80%.
89

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan saran sebagai berikut:

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pola musim penangkapan

cantrang terhadap spesies hasil tangkapan agar nelayan dapat

memperhitungkan waktu penangkapan sehingga mendapatkan hasil

tangkapan yang optimal.

2. Ukuran mata jaring pada bagian badan dan kantong cantrang perlu

diperbesar supaya hasil tangkapan sudah layak untuk ditangkap.


90

DAFTAR PUSTAKA

Apriani, Irnawati., Susanto. A. 2013. Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Silir Yang
Berbasis di PPN Karangantu Kota Serang Provinsi Banten. Jurnal Ilmu
Pertanian dan Perikanan. Vol. 2 No. 2 Hal : 151 – 158 ISSN 2302-6308.

Ardani, B dan Organsastra. 2009. Struktur Komunitas Ikan di Danau Bagamat


Petuk Bukit. Jurnal of Tropical Fisheries 4 (1): 356-367.

Atmaja, S.B., dan D. Nugroho. 2012. Distribusi Spasial Upaya Penangkapan


Kapal Cantrang dan Permasalahannya di Laut Jawa. Balai Penelitan
Perikanan Laut-Jakarta. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan
Konservasi Sumberdaya Ikan. Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 2006. Bentuk Baku Konstruksi Pukat Tarik


Cantrang. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01 -7236-2006. Bogor.

Bambang. 2006. Petunjuk Pembuatan dan Pengoperasian Cantrang dan Rawai


Dasar Pantai Utara Jawa Tengah. Balai Besar Pengembangan
Penangkapan Ikan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Semarang.

Cahyono, E. 2016. Tingkat Keramah Lingkungan Gillnet Permukaan di Pelabuhan


Perikanan Nusantara Prigi Kabupaten Trenggalek. Skripsi. Program
Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Jurusan Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Univesitas Brawijaya. Malang.

Carpenter, K.E., and Niem, V.H. 1998a. The Living Marine Resources of the
Western Central Pacific. FAO. Vol.01.

______________________. 1998b. The Living Marine Resources of the Western


Central Pacific. FAO. Vol.02.

______________________. 1999a. The Living Marine Resources of the Western


Central Pacific. FAO. Vol.03.

______________________. 1999b. The Living Marine Resources of the Western


Central Pacific. FAO. Vol.04.

______________________. 2001a. The Living Marine Resources of the Western


Central Pacific. FAO. Vol.05.

______________________. 2001b. The Living Marine Resources of the Western


Central Pacific. FAO. Vol.06.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Panduan Jenis-jenis Penangkap Ikan


Ramah Lingkungan. Jakarta: Bina Marina Nusantara.

Food Agriculture Organization (FAO). 1995. Code of Conduct for Responsible


Fisheries. FAO Fisheries Departement.
91

Ernawati, T. 2007.Distribusi dan Komposisi Jenis Ikan Demersal yang Tertangkap


Trawl pada Musim Barat di Perairan Utara Jawa Tengah. Jurnal
Ikhtiologi Indonesia. 7 (1).

Indrayani., Achmar. M., Mukti. Z. 2012. Penetuan Karakteristik Habitat Daerah


Potensial Ikan Pelagis Kecil Dengan Pendekatan Spasial di Perairan
Sinjai. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Hasanuddin.
Makassar.

Krebs, C. J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and


Abundance. Harper & Row Publisher New York. hal 462.

Leo, A.A. 2010. Komposisi Hasil Tangkapan Cantrang di Perairan Brondong,


Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Skripsi. Mayor Teknologi dan
Manajemen Perikanan Tangkap. Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Macia A, Abrantes KGS, Paula J. 2003. Thorn fosh Terapon jarbua (Forskal)
juvenile white shrimp Penaeus indicus H. Milne Edwards and brown
shrimp Metapenaeus monoceros (Fabricius): the effect of turbidity, prey
density, substrate type and pneumatophore density. Journal of
Experimental Marine Biology and Ecology, 291: 29-56.

Maulita, M., Mega S. Studi Pengamatan Aspek Perikanan dan Aspek Biologi Ikan
Petek (Leiognathus equulus) yang di Daratkan di PPI Kamal Muara,
Jakarta Utara. Jurnal Penelitian Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. (2)

Meylawati, Y. 2018. Aspek Biologi Ikan Kuniran (Upeneus Moluccensis Bleeker,


1855) Hasil Tangkapan Alat Tangkap Cantrang Di Kecamatan Lekok,
Kabupaten Pasuruan

Nuriyana, F. 2016. Komposisi Ikan Hasil Tangkapan Cantrang di Pelabuhan


Perikanan Pantai (PPP) Mayangan. Skripsi. Program Studi
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Jurusan Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Univesitas Brawijaya. Malang.

Nurulludin dan Prihatiningsih. 2014. Parameter Populasi dan Tingkat Eksploitasi


Ikan Kuniran (Upeneus sulphureus) di Laut Jawa. Balai Penelitian
Perikanan Laut. Jakarta.

Odum, E.P., 1971. Fundamental of ecology.,W.E.Sounders, Philadelphia. 567


pp.

Okutani T. 2005. Past, present and future studies on cephalopod diversity in


tropical west pacific. Phuket Marine Biology Centre Research Bulletin.
66: 39–50

Pemerintah Kabupaten Pasuruan. 2017. Kondisi Geografis Daerah.


(http://www.pasuruankab.go.id/). Diakses pada tanggal 18 Maret 2018.
92

Permatachani, A., Mennofatria. B., Mohammad. M.K. 2016. Kajian Stok Ikan
Peperek (Leiognathus equulus) Berdasarkan Alat Tangkap Jaring
Rampus di Perairan Selat Sunda. Jurnal Teknologi Perikanan dan
Kelautan. 7 (2) : 107-116.

Prasetyo, B.A., Sahala. H., Agus. H. 2014. Sebaran Spasial Cumi-Cumi (Loligo
Spp.) Dengan Variabel Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Data Satelit
Modis Aqua Di Selat Karimata Hingga Laut Jawa. Diponegoro Journal
of Maquares. 3 (1).51 -60.

Pratiwi, M. 2010. Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Pelagis pada Jaring Insang
Hanyut dengan Ukuran Mata Jaring 3,5 Dan 4 Inci di Perairan Belitung
Provinsi Bangka Belitung. Skripsi. Mayor Teknologi dan Manajemen
Perikanan Tangkap. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Sadhotomo, B., Nurulludin. 2012. Karakteristik Parameter Populasi Ikan Kurisi


(Nemipterus japonicus, (Bloch, 1791)) di Laut Jawa. Balai Penelitian
Perikanan Laut.

Sagala, E., M.R. Ridho., Nurliana., R. Yasinta., dan R. Haryani. 2012. Penuntun
Praktikum Iktiologi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Sriwijaya.

Schiemer F, Zalewski M. 1992. The Importance of Riparian Ecotone For Diversity


and Productivity or Riverine Fish Comunities Netherland. Journal of
Zoology 42 (23).

Sriwidodo D.W.E., A. Budiharjo dan Sugiyarto. 2013. Keanekaragaman jenis ikan


di kawasan inlet dan outlet Waduk Gajah Mungkur Wonogiri.
Bioteknologi. 10 (2): 43- 50.

Subani, W., dan Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut Indonesia.
Balai penelitian Perikanan laut. Departemen Pertanian. Jakarta.

Sudirman., M., I. Nurdian., dan R. Sihbudi. 2008. Deskripsi Alat Tangkap


Cantrang, Analisis by catch, discard dan Komposisi Ukuran Ikan yang
Tertangkap di Perairan Takalar. Jurnal Torani. 2 (18): 160-170.

Sukarniati. 2008. Ukuran Panjang dan Bobot Ikan Kurisi (Nemipteridae) Hasil
Tangkapan Jaring Cantrang di Brondong Jawa Timur. Teknisi Litkayasa
pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru. Jakarta.

Suprapto. 2014. Indeks Keanekaragaman Jenis Ikan Demersal di Perairan


Tarakan. Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta. Jurnal BAWAL. 6 (1):
47-53.

Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indoneia. Nomor 72/MEN-
KP/II/2016. Batasan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Cantrang di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
93

Susaniati, W., A.E.P Nelwan., dan M. Kurnia. 2013. Produktivitas Daerah


Penangkapan Ikan Bagan Tancap yang Berbeda Jarak Dari Pantai di
Perairan Kabupaten Jeneponto. Program Studi Ilmu Perikanan.
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Makasar.

Triharyuni S, Puspasari R. 2012. Produksi dan Musim Penangkapan Cumi-Cumi


(Loligo Spp.) di Perairan Rembang. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia 18 (2).77- 83.

White W. T., P.R. Last., Dharmadi., R. Faizah., U. Chodrijah., B. I.


Prisantosos., J.J. Pogonoski., M. Puckridge., and S.J.M. Blaber. 2013.
Market fishes of Indonesia (Jenis-jenis ikan di Indonesia). ACIAR
Monograph No. 155. Australian Centre for International Agricultural
Research: Canberra. 438 pp.

Yuspriadipura, A., D. Suprapto., dan Suryanti. 2014. Jenis dan Kelimpahan Ikan
pada Karang Branching di Perairan Pulau Lengkuas Kabupaten
Belitung. Journal of Maquares 3 (3): 52-57.

Zulfiati. 2014. Distribusi dan Keanekaragaman Jenis Ikan Karang (Famili


Pomacentridae) Untuk Rencana Referensi Daerah Perlindungan Laut
(DPL) Di Pulau Bonetambung. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas
Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Anda mungkin juga menyukai