SURPLUS PRODUKSI
IKAN LIDAH (Cynoglossidae sp.)
DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013-2016
Disusun Oleh:
Kelompok 7
Laporan resmi Praktikum Dinamika Populasi Ikan ini telah disetujui dan
disahkan pada :
Hari :
Tanggal :
Semarang
Mengetahui,
Koordinator Praktikum
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Karena atas
Laporan Resmi Praktikum Dinamika Populasi dan Pengkajian Stock Ikan ini.
Resmi Praktikum Dinamika Populasi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada:
Dinamika Populasi;
Laporan Dinamika Populasi. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dapat
Semarang, 2022
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
DAFTAR TABEL................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................vii
I. PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Tujuan dan Manfaat..................................................................................4
1.3. Lokasi dan Waktu.....................................................................................5
II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................6
2.1. Sumberdaya Ikan Lidah (Cynoglossus sp.) di Provinsi Jawa Tengah......6
2.2. Alat Tangkap Ikan Lidah (Cynoglossidae sp.) di Provinsi Jawa Tengah8
2.2.1. Payang...............................................................................................8
2.2.2. Pukat pantai.....................................................................................11
2.2.3. Jaring Insang Hanyut......................................................................14
2.2.4. Jaring Insang Tetap.........................................................................16
2.2.5. Jaring Tiga Lapis...............................................................................19
2.3. Pendugaan Stok Ikan Menggunakan Model Surplus Produksi..............22
2.4. Pengelolaan Sumberdaya Ikan...............................................................25
III. MATERI DAN METODE.......................................................................28
3.1. Materi.....................................................................................................28
3.1.1. Alat..................................................................................................28
3.1.2. Bahan..............................................................................................28
3.2. Metode....................................................................................................28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................34
4.1. Hasil........................................................................................................34
4.1.1. perkembangan Sumberdaya Perikanan di Provinsi Jawa tengah....34
a. Produksi Ikan Lidah (Cynoglossus sp.) di Provinsi Jawa Tengah.........34
iv
b. Jumlah Trip Per Alat Tangkap Ikan Lidah (Cynoglossidae sp.) di
Provinsi Jawa Tengah Jawa Tengah..............................................................35
c. Jumlah Produksi Per Alat Tangkap Ikan Lidah (Cynoglossidae sp.) di
Provinsi Jawa Tengah Jawa Tengah..............................................................36
d. CPUE Per Alat Tangkap Ikan Lidah (Cynoglossidae sp.) di Provinsi
Jawa Tengah Jawa Tengah............................................................................37
e. Perkembangan Produksi, Trip Standart, CPUE Standart, dan Ln CPUE
Standart Ikan Lidah (Cynoglossidae sp.) di Provinsi Jawa Tengah Jawa
Tengah...........................................................................................................40
4.2. Pembahasan............................................................................................42
a. Perkembangan Produksi Ikan Lidah (Cynoglossus sp.) di Provinsi Jawa
Tengah...........................................................................................................42
b. Perkembangan Usaha Penangkapan / Trip Ikan Lidah (Cynoglossidae
sp.) di Provinsi Jawa Tengah.........................................................................44
c. Perkembangan CPUE Ikan Lidah (Cynoglossidae sp.) di Provinsi Jawa
Tengah...........................................................................................................47
d. Hubungan CPUE dengan Trip Standar Metode Schaefer......................49
e. Hubungan LN CPUE dengan Trip Standar Metode Fox.......................50
f. MSY Metode Schaefer...........................................................................52
V. KESIMPULAN............................................................................................55
5.1. Kesimpulan.............................................................................................55
5.2. Saran.......................................................................................................57
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................58
LAMPIRAN.........................................................................................................63
v
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Produksi Ikan Lidah (Cynoglossus sp.)
di Provinsi JawaTengah……....................................................................34
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Ikan Lidah (Cynoglossus sp.)……………………………………………… 7
vii
I. PENDAHULUAN
perikanan tangkap yang cukup besar, dimana ditandai dengan produksi perikanan
yang terus meningkat setiap tahunnya. Perikanan tangkap Provinsi Jawa Tengah
yang terdiri dari perikanan tangkap laut dan perikanan tangkap perairan umum
yang tersebar di perairan Jawa Tengah sekitar 1.873.530 ton/tahun meliputi Laut
Jawa sekitar 796.640 ton/ tahun dan Samudera Indonesia sekitar 1.076.890
ton/tahun. Dengan sumberdaya perikanan tangkap sebesar itu, tentu saja provinsi
Tengah antara lain ikan layang (Decapterus sp.), ikan kembung (Rastrelliger sp.),
drastis. Kondisi tersebut ada yang tidak sesuai antara peningkatan jumlah
dari ketidaksesuaian peningkatan jumlah produksi, hal ini dikarenakan harga ikan
yang tidak stabil setiap tahunnya. Jumlah produksi menurun tetapi pada
naik ketika jumlah produksinya semakin sedikit atau ikan yang ditangkap tidak
memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Kondisi yang dihadapi dari pemanfaatan
1
2
yaitu dengan metode pendugaan stok. Tujuan dari adanya metode pendugaan stok
dapat menghasilkan ikan yang ditangkap dalam bobot yang maksimal. Pendugaan
penangkapan tunggal.
data untuk mengetahui status stok ikan secara kuantitatif demi pengelolaan
tersebut, maka tujuan dari pendugaan stok ikan tersebut yaitu untuk mengetahui
bagaimana status dari stok sumberdaya ikan di suatu perairan. Manfaat yang
stok sumberdaya ikan seperti usaha menentukan status stok ikan relatif terhadap
tingkat kematian, biomassa atau struktur umum, kondisi biologi, dan pemijahan.
Pendugaan stok pada ikan suatu kegiatan untuk mengetahui stok ikan secara
pertumbuhan, kematian atau mortalitas. Pendugaan stok ikan harus sesuai dengan
metode pendekatan umum yang digunakan dalam Metode Surplus Produksi yaitu
model Schafer dan Fox. Hasil persamaan antara model Schaefer dan Fox
kemudian dilakukan analisis untuk menduga estimasi hasil tangkapan. Model Fox
tingkat signifikasi.
Pendugaan stok ikan ini adalah suatu aktivitas dengan mengaplikasikan dua ilmu
yakni ilmu statistika dan matematika pada sekelompok data dengan tujuan untuk
mengetahui status stok ikan secara kuantitatif dalam kepentingan pendugaan stok
ikan dan respon sumber daya ikan terhadap kebijakan pengelolaan ke depannya.
Tujuan lain dari pendugaan stok ikan ini antara lain memberikan saran mengenai
pemanfaatan yang optimum untuk sumberdaya hayati perairan seperti ikan dan
udang. Pendugaan stok ikan menurut Setiyawan dan Fitri, (2019) ini dapat
optimal dan lestari serta hampir seluruh wilayah di Indonesia mengarah pada
keadaan overfishing yaitu terjadinya tangkapan jumlah ikan yang berlebih dan
suatu daerah.
dilaksanakan pada:
perairan. Ikan lidah banyak ditemukan di perairan laut dan daerah estuaria dengan
substrat berpasir atau pasir berlumpur. Sejauh ini penelitian tentang ikan lidah di
pada tubuh ikan lidah. Menurut Alina dan Madduppa (2020), terdapat setidaknya
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Pleuronectiformes
Famili : Cynoglossidae
Genus : Cynoglossus
6
7
bentuk simetri bilateral pada fase larva menjadi non-simetri bilateral pada fase
juvenil. Ciri morfologi ikan lidah adalah memiliki tubuh memanjang, mata tidak
jumlah jari-jari sirip punggung berkisar antara 93-102, jari-jari sirip perut
berkisar 70-78 dan jari-jari sirip ekor berjumlah 10-12. Ikan ini mempunyai dua
linea lateralis dimulai dari ujung mulut hingga perlipatan sirip ekor dan warna
ikan ini coklat keabuan. Menurut Gustiarisanie et al. (2017), ikan ini
Beberapa daerah menyebut ikan lidah sebagai ikan sebelah atau ikan ilat-
ilat. Ikan lidah biasanya hidup di dasar perairan yang berlumpur atau lumpur
campur pasir dan di muara-muara sungai. Ikan ini mempunyai kebiasaan terkubur
dalam substrat pada siang hari, tetapi pada saat malam hari ikan ini keluar untuk
berburu. Menurut Lestari dan Machrizal (2022), ikan lidah hidup pada kedalaman
termasuk Thailand, Vietnam, Filipina, dan Indonesia ke arah barat hingga laut
Tengah
2.2.1. Payang
Alat tangkap payang merupakan alat tangkap yang sudah lama dikenal
termasuk alat tangkap yang efektif untuk menangkap ikan-ikan pelagis. Payang
adalah alat tangkap berbentuk pukat kantong yang memiliki sayap untuk
dapat dioperasikan oleh 12-15 orang. Payang memiliki sifat aktif, karena
mengejar dan mengurung gerombolan ikan agar masuk ke dalam karing payang.
Hasil tangkapan yang dihasilkan oleh payang masih dalam keadaan hidup
sehingga memiliki nilai jual yang tinggi. Konstruksi payang terdiri dari sayap,
kantong, tali rias atas dan bawah, tali penarik, pelampung, tali pelampung, tali
pemberat, dan pemberat. Menurut Ningsih et al. (2013), alat tangkap payang
9
maupun siang hari. Biasanya payang menggunakan alat bantu rumpon atau lampu
payang terdiri dari persiapan alat, penentuan fishing ground, penurunan jaring,
jaring atau setting dimulai dari tali selambar kiri kemudian menurunkan
pelampung dan jaring secara bersamaan. Setelah alat tangkap payang sudah
jaring atau hauling. Hauling dilakukan dari sisi lambung kapal. Pengangkatan
selambar belakang, badan jaring, tali selambar muka dan terakhir pelampung
tanda. Pengoperasian alat payang ada tiga tahap yaitu, tahap persiapan, tahap
pengejaran terhadap gerombolan ikan, bagian jaring yang pertama kali diturunkan
pemberat, badan jaring dan kantong. Tahap penarikan jaring (hauling) dilakukan
10
oleh seluruh ABK, penarikan jaring ini harus sama antara bagian depan dan
belakang jaring.
Muncok, Tongkol dan lainnya yang membentuk kelompok. Hasil tangkapan alat
tangkap payang dipengaruhi oleh ukuran alat tangkap. Semakin besar ukuran
jaring maka hasil tangkapan juga semakin banyak. Selain ukuran, musim
penangkapan juga dapat mempengaruhi hasil tangkapan ikan pada alat tangkap
payang. Menurut Amry et al. (2017), dalam perikanan tangkap payang musim
tiga musim penangkapan yaitu musim pacakelik, musim sedang dan musim
puncak. Pada saat melakukan penelitian hasil tangkapan dari tiga musim tersebut
yaitu pada musim pacakelik hasil tangkapannya sangat rendah, pada waktu
musim sedang hasil tangkapannya sedang, dan pada musim puncak hasil
tangkapannya tinggi tetapi bila dilihat dari jenis ikan hasil tangkapan dari tiga
musim tersebut, jenis ikan hasil tangkapan sama yaitu ikan Selar, Ikan Gembolo,
dalam sehari atau one day fishing. Pola operasi penangkapan payang dilakukan
dalam satu hari dalam satu trip. Menurut Tambunsaribu et al. (2015), jumlah trip
penangkapan payang selama satu tahun 300-324 trip atau 25-27 trip dalam
sebulan. Musim puncak nelayan payang melakukan trip sebanyak 78 trip selama
3 bulan, musim biasa nelayan payang melakukan trip sebanyak 182 trip selama 7
11
bulan, dan pada musim paceklik selama 2 bulan penangkapan tidak dilakukan
Pukat pantai (beach seine) merupakan salah satu jenis alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap ikan dan biota laut lainnya di perairan dekat pantai,
pukat pantai termasuk alat tangkap yang aktif karena dioperasikan dengan cara di
tarik kearah pantai dengan teknik mengurung ikan-ikan yang berada di dekat
pantai atau bermigrasi kearah pantai. Klasifikasi Pukat pantai (beach seine)
menurut FAO yaitu termasuk seine net yaitu yang terdapat boat or vessel seines
(danish seines, scottish seines, pair seines) dan seine nets. Kontruksi pukat pantai
yang digunakan terdiri dari beberapa bagian yaitu sayap, badan dan kantong,
yang pertama sayap pada pukat pantai dari bahan polyamide (PA) memiliki
sepasang sayap, sayap kiri dan sayap kanan yang berfungsi sebagai penghadang
agar ikan yang menjadi target menuju ke kantong. Badan pada pukat pantai dari
bahan polyamide (PA) dengan ukuran mata jaring 2.5 cm sampai 1,5 cm.
Kantong pada pukat pantai dari bahan waring atau polypropylene (PP) waring
yang digunakan tidak mempunyai simpul dan ukuran mata jaring 0.7 cm bersifat
lebih kaku, kuat serta tahan terhadap gesekan dan ikan tidak bisa lolos apabila
telah terperangkap pada bagian kantong. Menurut Suherman et al. (2015), pukat
pantai atau beach seine merupakan salah satu jenis alat tangkap yang masih
tergolong kedalam jenis alat tangkap pukat tepi. Dalam arti sempit pukat pantai
yang dimaksudkan tidak lain adalah suatu alat tangkap yang bentuknya seperti
payang yaitu berkantong dan bersayap atau kaki yang dalam operasi
tali panjang (tali hela) ditarik menelusuri dasar perairan dan pada akhir
dengan krakat kemudian dibeberapa daerah di Jawa juga dikenal dengan nama
Metode dan cara pengoperasian pukat pantai (beach seine) dibagi menjadi
dua tahap yaitu setting dan hauling. Tahap penawuran (setting), urutan penurunan
dari perahu sebelah kiri berturut-turut sayap II, badan dan kantong serta sayap I,
kemudian tali hela diulur sambil mengayuh perahu mendekati pantai dan pada
saat mendekati pantai ujung tali penarik yang lain dilempar ke pantai dan
diterima oleh sekelompok nelayan yang lain. Tahap penarikan (hauling), ketika
ujung tali hela I telah sampai di pantai, penarikan jaring dimulai, jarak antara
ujung tali penarik I dan II kurang lebih 500 m, masing-masing ditarik oleh
nelayan berjumlah sekitar yaitu 13 orang. Ketika sayap mulai terangkat di bibir
pantai, penarikan di komando oleh seorang mandor untuk mengatur posisi jaring
agar ikan tidak banyak yang menjadi lepas. Bersamaan dengan itu perahu
dikayuh menuju ujung kantong yang diberi tanda dengan bendera yang terpasang
pada pelampung. Menurut Polhaupessy et al. (2020), kecepatan perahu pada saat
mengetahui jarak yang telah ditempuh perahu dan lamanya waktu penebaran.
dibagi dengan lama penawuran. Kecepatan pada saat pengoperasian pukat pantai
lamanya penarikan.
13
Hasil tangkapan ikan yang diperoleh dengan alat tangkap pukat pantai
(beach seine) terutama jenis-jenis ikan dasar atau jenis ikan demersal dan udang.
Hasil tangkapan dari alat tangkap tersebut yaitu Ikan Pari (rays), Cucut (shark),
Teri (Stolepharus sp.), Bulu Ayam (Setipinna sp.), Beloso (Saurida sp.),
(Parupeneus sp.), Kapas-kapas (Gerres sp.), Petek (Leiognathus sp.), Ikan Lidah
tangkapan ikan, hal ini sudah diatur sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16
minimal mendapat 75% dari hasil usaha bersih. Hasil tangkapan pukat pantai
pada waktu pagi lebih kecil dari sore hari, ini terjadi dikarenakan adanya
lingkungan seperti kuat arus, dimana arus pada sore hari lebih besar dari arus
pada pagi hari. Arus yang kuat akan menyebabkan ikan-ikan akan terbawa masuk
kedalam kantong pukat pantai. Menurut Dasfordate et al. (2019), alat tangkap
pukat pantai memiliki target tangkapan jenis ikan yang berbeda-beda secara
umum alat tangkap ini merupakan kegiatan tangkap skala kecil. Hasil tangkapan
Indikasi ini menunjukan bahwa pukat pantai memiliki selektivitas rendah karena
pengoperasian alat penangkapan pukat pantai oleh para nelayan ditujukan untuk
menggunakan pukat pantai ini dari pagi hingga sore hari atau selama periode
masih terdapat sinar matahari. Distribusi ikan di dalam perairan secara spasial
berbeda menurut waktu baik pada pagi hari maupun sore hari. Distribusi spasial
Distribusi ikan yang bermain pada pagi dan sore hari berbeda, ini dikarenakan
fisika, parameter kimia dan biologi. Menurut Rampengan et al. (2022), pukat
pagi sampai sore hari. Prinsip pengoperasian pukat pantai bersifat aktif yaitu
melingkari gerombolan ikan dengan jaring ditarik kedarat dan ikan berkumpul
dibagian kantong. Pukat pantai yang digunakan oleh nelayan adalah pukat pantai
yang berkantong.
Jaring insang hanyut (drift gill net) adalah jaring insang yang cara
permukaan, kolom perairan atau dasar perairan. Pengoperasian dari jaring insang
hanyut permukaan dan jaring insang hanyut kolom perairan adalah dengan cara
salah satu ujungnya diikatkan pada kapal, atau semuanya di biarkan hanyut
terbawa arus atau terbawa angin tanpa diikatkan pada kapal. Jaring insang ini
ditujukan untuk menangkap ikan pelagis baik di perairan lepas atau perairan
pantai seperti ikan kembung, ikan tuna, ikan layaran dan ikan pelagis lainnya.
15
Pemasangan jaring insang hanyut yang baik adalah tegak lurus atau memotong
miring terhadap arah arus. Menurut Setiawati et al. (2015), konstruksi dari jaring
insang hanyut terbagi atas empat bagian utama, yaitu badan jaring (webbing)
yang terdiri dari tali ris atas, tali ris bawah, tali pelampung dan tali pemberat.
Alat tangkap drift gill net merupakan alat tangkap yang tidak merusak
habitat, tempat tinggal dan tempat berkembangbiak ikan atau organisme laut
lainnya. Hal ini dikarenakan alat tangkap drift gill net dioperasikan pada kolom
kecil untuk merusak karang maupung padang lamun. Jaring insang hanyut tidak
permukaan tanpa menyentuh dasar perairan. Menurut Subehi et al. (2017), alat
tangkap drift gill net saat pengoperasiannya tidak membahayakan nelayan karena
pengoperasian drift gill net dilakukan dengan meletakan alat tangkap ke dalam
perairan dengan posisi kapal berjalan. Ikan hasil tangkapan drift gill net juga
memiliki mutu yang cukup baik karena proses pengoperasian (immersing) yang
cukup lama yaitu 1-2 jam memungkinkan ikan yang sudah tertangkap akan mati.
Ikan yang tertangkap dengan jaring insang hanyut (drift gill net) adalah
ikan-ikan yang terjerat pada saat berenang baik dalam rangka berpindah tempat
menuju perairan yang sesuai dengan habitatnya ataupun sedang dalam mencari
makan. Sehubungan dengan itu, maka bahan jaring insang hanyut harus
sasaran. Jaring ini dioperasikan dengan direntangkan pada dasar laut, yang berarti
jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah ikan-ikan pelagis (drift
16
fish) ataupun ikan-ikan perenang cepat. Menurut Hastuti et al. (2013), jenis-jenis
ikan seperti cucut dan tuna yang mempunyai tubuh sangat besar ataupun ikan-
ikan seperti flat fish yang mempunyai tubuh gepeng lebar sangat sukar terjerat
pada mata jaring, namun pada ikan-ikan yang demikian akan tertangkap dengan
cara terbelit-belit (entangled). Jenis ikan yang umumnya tertangkap terdiri dari
berbagai jenis ikan pelagis, misalnya tenggiri, tongkol, cakalang, layar, dan selar.
misalnya, per bulan antara 64-225 (rata-rata 109) kali per bulan. Meskipun target
utama jaring insang hanyut yang berbasis di pelabuhan tersebut adalah jenis ikan
tongkol, namun hasil enumertor berbasis logbook menunjukkan bahwa jenis ikan
yang tertangkap cukup beragam. Menurut Masuswo dan Widodo (2016), jenis
tongkol yang tertangkap terdiri 4 jenis yaitu tongkol lisong (Auxis rochei),
tongkol krai (Auxis thazard), tongkol abu-abu (Thunnus tonggol) dan tongkol
diperoleh informasi bahwa rata-rata total hasil tangkapan per upaya (CPUE)
adanya jangkar. Komponen utama dari jaring insang tetap (Set-gillnet) yaitu
jaring berbentuk empat persegi panjang, memiliki tali ris atas dengan dan atau
tanpa tali ris bawah. Bagian tali ris bagian bawah dilengkapi dengan dan atau
17
tanpa suatu alat pemberat. Menurut Marasabessy dan Wiiii (2020), dimana dalam
dengan kondisi stretch mesh 10 m (57 mata). Adapun spesifikasinya antara lain
yaitu, pada badan jaring (webbing) terbuat dari bahan polyamide (PA)
monofilament nomor 0,4 berwarna bening dengan mesh size 8 inci atau 203,2
mm, hanging ratio sebesar 0,29 dengan dilengkapi tali ris atas berbahan
chloride (PVC) dan pelampung besar (berbahan plastik), serta pada bagian tali ris
bawah berbahan PE dilengkapi pemberat berbahan timah hitam (Pb) dengan total
Metode pengoperasian jaring insang tetap (set gill net) yang dilaksanakan
adalah sebagai berikut: tahap pertama persiapan, dimana persiapan dalam operasi
jaring insang (gill net) meliputi persiapan alat tangkap (menata jaring insang) dan
persiapan alat bantu penangkapan (menyediakan perahu, alat dayung dan senter).
Tahap kedua yaitu setting yaitu menurunkan jaring insang (gill net) kedalam
perairan, memasang pelampung pada tali ris atas dengan jarak yang ditentukan
dan memasang pemberat pada kedua ujung jaring insang kemudian jaring
tangkapan. Menurut Sutoyo et al. (2019), yaitu Hauling dimana persiapan, perahu
bergerak mendekati pelampung pada ujung jaring insang, lalu mengambil dan
18
kemudian diangkat ke atas perahu dengan cara ditarik tali ris atasnya, pada saat
kedalam box ikan. Jaring insang yang sudah selesai diangkat kemudian
Hasil tangkapan gillnet merupakan ikan ikan pelagis yang terdiri atas ikan
thalassinus), pari (Dasyatis sp), belanak (Valamugil seheli), layur (Trichiurus sp.)
dan udang jerbung (Penaeus merguensis). Ikan yang ditangkap oleh sebagian
besar nelayan gillnet didominasi oleh jenis ikan tembang dan belanak. Sifat dasar
kepemilikan yang seperti ini (open acces) menyebabkan tak ada seorangpun yang
memiliki hak khusus atau mencegah orang lain untuk mengusahakan sumber
yang akan berimbas pada penurunan produksi tangkapan per upaya yang pada
akhirnya dapat merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya. Kondisi ini dikenal
dengan istilah tangkapan lebih secara biologi (biological overfishing). Di sisi lain,
overfishing) yang berarti bahwa investasi yang ditanam melebihi biaya yang
Pola trip penangkapan pada Set Gill net umumnya adalah 1 trip per bulan.
Waktu penangkapan ikan menggunakan jaring insang ini sekitar 3-5 jam setelah
immersing. Daerah yang ideal untuk pengoprasian gill net adalah perairan luas
tak berkarang, yang merupakan tempat gerombolan ikan bermigrasi baik untuk
gillnet menurut Sutoyo et al. (2019), merupakan ikan-ikan pelagis yang terdiri
atas ikan kembung, sarden, salem, tembang, blidah, manyung, pari, belanak, layur
dan udang jerbung, Ikan yang ditangkap oleh sebagian besar nelayan gillnet
(ISSCFG) yang dikeluarkan oleh FAO. Trammel net termasuk dalam klasifikasi
alat tangkap bottom gillnet dimana terdiri dari tiga lembar jaring dengan jaring
bagian tengah memiliki ukuran mesh size yang lebih kecil, sedangkan jaring
bagiang luarnya memiliki ukuran mesh size yang lebih besar. Alat tangkap
trammel net adalah salah satu alat tangkap yang memiliki berbagai macam
dengan pelampung tanda, pelampung, pemberat, tali ris atas, dan tali ris bawah.
Panjang total alat tangkap trammel net bervariasi dan pada bagian badan jaring
20
berbentuk bola dari plastik. Menurut Djunaidi et al. (2019), konstruksi dari alat
tangkap trammel net terdiri dari badan jaring (webbing), selvage (serampat), tali
ris, pelampung, pemberat dan tali penghubung ke kapal. Tali penghubung ini
berbahaan dasar dari Polyethylene untuk menghubungkan jaring kapal dan juga
perairan ataupun dihanyutkan. Cara ikan tertangkap pada alat tangkap trammel
net yaitu secara terjerat atau terpuntal pada mata jaring. Alat ini dapat juga
dioperasikan dengan ditarik lurus ke depan melalui kedua sisinya atau ditarik
menelusuri dasar perairan melalui salah satu isinya yang nantinya seakan
membentuk seperti lingkaran dengan ujung sisi yang pertama kali diturunkan
jumlah hasil tangkapan lebih banyak dibandingkan dengan trammel net standar.
Organisme demersal akan lebih banyak tertangkap pada jaring bagian bawah dan
tengah. Menurut Elinah et al. (2021), cara pengoperasian trammel net diawali
dilakukan setting atau penurunan jaring yang dimulai dari penurunan pelampung
tanda dan jangkar. Langkah selanjutnya yaitu immersing dengan rentan waktu
dua sampai tiga jam, kemudian diakhiri dengan hauling atau penarikan jaring
kembali.
21
demersal dan ikan non demersal. Beberapa jenis ikan yang tertangkap dengan alat
tangkap trammel net nelayan berupa kepiting, udang, ikan lidah, ikan petek, dan
ikan kerapu kecil. Hasil tangkapan ikan tersebut merupakan hasil samping jaring
udang karena tujuan utama nelayan yaitu mendapatkan kepiting atau udang
terutama udang galah. Nelayan terkadang tidak mendapatkan hasil tangkapan dari
alat tangkap trammel net karena bukan musimnya. Hasil tangkapan pada alat
tangkap trammel net dipengaruhi oleh faktor musim ikan terutama musim hujan
dan gelombang laut yang besar. Menurut Supriadi et al. (2021), hasil tangkapan
ikan tahunan pada alat tangkap trammel net adalah udang windu serta hasil
tangkapan lainnya yaitu berupa ikan tigawaja, ikan petek dan ikan layur. Ikan
seperti alur pelayaran kapal dan ruaya ikan. Trammel net dioperasikan menjadi
dua jenis menurut cara pengoperasiannya yaitu dengan menyapu dasar perairan
(trammel net aktif) dan dihanyutkan (trammel net pasif). Satu trip penangkapan
trammel net pasif berlangsung selama satu hari yaitu dari pagi sampai siang,
sedangkan satu trip penangkapan trammel net aktif terdapat dua macam yaitu trip
harian dan trip mingguan. Setiap alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan
digunakan pada waktu tetentu sesuai dengan karakter alat tangkap dan jenis ikan
ikan tertentu pada perairan. Menurut Batubara et al. (2021), pada umumnya lama
trip penangkapan alat tangkap trammel net terbatas hanya satu hari (one day
22
menduga konsekuensi dari bentuk pengelolaan serta dapat digunakan juga untuk
terbagi menjadi dua model dasar yaitu Model Schaefer dan Model Fox. Model
populasi ikan memiliki laju pertumbuhan intrinsik serta menganggap bahwa suatu
populasi tidak akan punah. Menurut Azizah et al. (2020), model surplus produksi
dikembangkan yaitu Model Schaefer dan Fox yang bertujuan untuk mengetahui
fungsi produksi biologis, biaya penangkapan dan harga ikan. Pada Model
tangkapan per alat tangkap (CPUE). Rumus Model Schaefer adalah sebagai
berikut :
23
Keterangan :
model pertumbuhaan dan penurunan tangkapan per satuan upaya. Asumsi dari
Model Fox ini adalah populasi dianggap tidak akan punah serta populasi sebagai
jumlah dari individu ikan. Model Fox merupakan model yang sesuai untuk
Pada rumus tersebut, hasil tangkapan dan upaya penangkapan dapat dicari
dari tahun ke i untuk seluruh perikanan. Slope atau kemiringan garis regresi harus
bernilai negatif apabila hasil tangkapan per unit menurun untuk setiap
peningkatan upaya. Hasil intersep merupakan nilai yang sesaat setelah kapal
yang paling sederhana dalam dinamika populaasi ikan adalah model produksi
surplus dimana populasi ikaan sebagai biomassa tungga yang tidak dapaat dibagi.
24
oleh pertumbuhan alami, kemampuan alat tangkap dan daya dukung lingkungan.
prinsip seperti cara memasukan harga hasil tangkapan dan biaya per satuan
constant rate upaya penangkapan. kurva TR, TC, dan keuntungaan antara Model
Schaefer dan Fox ini tidak jauh berbeda. Estimasi parameter biologi dilakukan
dan daya dukung lingkungan. Menurut Puspita et al. (2017), model produksi
surplus dapat diterapkan apabila diketahui hasil tangkapan per unit dari suatu
hubungan hasil tangkapan per upaya (C/f) dengan upaya penangkapan (f).
hubungan antara hasil tangkapan dan upaya (effort). Hasil dari analisis model fox
lebih relevan dengan kondisi yang sebenarnya yaitu baik produksi, effort dan
menggunakan model Schaefer kerap digunakan meski secara teknis tidak sesuai
didaratkan melampaui poin referensi hasil tangkapan lestari meski dengan nilai
25
upaya penangkapan yang lebih rendah. Menurut Agustakristi et al. (2018), model
Schaefer merupakan suatu permasalahan yang perlu dikaji baik dari segi biologi
maupun ekonomi. Indikasi dari model tersebut adalah kelimpahan stok yang
pada saat ini harus didasarkan pada pengelolaan sumberdaya ikan yang
yang optimal dan memperhatikan stok sumberdaya saat ini harus diterapkan
untuk mencapai suatu pemanfaatan stok pada ikan yang optimal secara dinamis
pada masa yang akan datang. Sumberdaya perairan dianggap sebagai sumberdaya
keberlanjutan sumber daya ini harus dilakukan sebagai upaya untuk memastikan
stok ikan di perairan Indonesia saat ini berada pada tahap yang tidak logis atau
26
dalam kata lain sudah melampaui batas yang akan mengancam kelestarian stok
perikanan yang dimiliki oleh Indonesia terutamanya pada perikanan yang berada
di perairan umum merupakan wilayah yang memiliki potensi sangat besar. Sifat
dari sumber daya perikanan yang berada di perairan umum yaitu terbuka (open
access) dan milik umum (common property). Hal ini dapat mendorong untuk
pengelolaan untuk mengatur hal tersebut agar sumberdaya perikanan tetap terjaga
daya perikanan umumnya muncul dalam suatu bentuk pantangan atau suatu
dilakukan.
perikanan yang ada dianggap memiliki sifat yang ada terus menerus dan dapat
terus kembali, namun jika tidak ada pengelolaan yang menjadi keberlanjutannya
maka tidak ada jaminan. Pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan ini
27
melakukan pengelolaan yang menuju dengan basis unit stok serta kawasan.
dilakukan terutama mengenai pada suatu kajian potensi dan tingkat pemanfaatan
sumber daya ikan tersebut. Menurut Suman et al. (2016), pola pengelolaan
sumber daya ikan saat ini tidak terkait dengan prinsip keberlanjutan dan tidak
berbasis penelitian. Keragaman alat tangkap yang digunakan dan keragaman stok
ikan tropis mempersulit dalam upaya pengelolaan stok ikan. Ada beberapa cara
yang dapat dilakukan dalam upaya pengelolaan sumber daya ikan di Indonesia
3.1. Materi
3.1.1. Alat
1. Alat tulis
2. Penggaris
3. Kertas Folio
4. Kalkulator
5. Laptop
6. Roll kabel.
3.1.2. Bahan
adalah data seires statistik perikanan tangkap dari Dinas Perikanan Provinsi Jawa
Tengah yang mencakup semua Kabupaten yang ada di Perairan Laut Jawa dari
tahun 2013-2016.
3.2. Metode
kecil, pelagis besar, demersal, udang penaid, dll). Kemudian buat tabel
28
29
2004
Dst.......
2013
2. Identifikasi atau kelompokkan unit / trip alat tangkap yang menangkap ikan
sebagaimana dalam tabel 1. Buat tabel perkembangan trip alat tangkap sesuai
Tabel 2. Jumlah Trip per Alat Tangkap Ikan ... di Perairan Utara Jawa
Tengah
Payang GN Dst.......
2004
Dst.......
2013
Tabel 3. Jumlah Produksi per Alat Tangkap Ikan ... di Perairan Utara Jawa
Tengah
2004
Dst.......
2013
masing tahun.
tangkap yang menjadi alat tangkap standart. Penentuan alat tangkap standart
Cara :
Menghitung Fishing Power Index (FPI) atau daya tangkap. Daya tangkap
alat tangkap sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kekuatan
mesin, dimensi kapal, dimensi alat tangkap, keterampilan ABK, alat bantu
alat tangkap, dll. Namun karena data-data tersebut tidak tersedia, ada cara
Sebagai ilustrasi, untuk menduga stok ikan demersal ditentukan alat tangkap
dogol, sehingga FPI = 1. FPI untuk alat tangkap lain yang distandarkan
FPIrawai dasar =
Trammel net 10
Gill net 20
Dogol 30 1
Rawai dasar 15
sebagaimana tabel 4.
Tabel 4. CPUE per Alat Tangkap Ikan…di Perairan Utara Jawa Tengah
Standard
32
Tangka
atau 3 3 2 CPUE
Dst....
2013
F total =
Tengah
10. Gambarkan grafik (scatter diagram) hubungan produksi dengan effort yang
telah distandarisasi;
33
Grafik 4. Hubungan Produksi dengan Effort Ikan ... di Perairan Utara Jawa
Tengah
11. Gambarkan grafik (scatter diagram) hubungan antara CPUE standarisasi dengan
effortstandar;
Grafik 5. Hubungan CPUE dengan Effort Ikan ... di Perairan Utara Jawa
Tengah
2004
Dst....
12. 2013
13. Hitung regresi linier antara CPUE (y) dan effort (x);
16. Hitung regresi linier antara Ln CPUE standard (y) dengan Trip standard (x);
4.1. Hasil
(Cynoglossus sp.) di provinsi jawa tengah mulai dari tahun 2013 hingga tahun
2016. Pada tahun 2013 hingga tahun 2016, total produksi ikan sama yaitu
provinsi jawa tengah bersifat sama rata karena mengalami data yang stabil.
lain yang mungkin berpengaruh adalah faktor perubahan musim dan iklim.
Lautan amat terkait dengan perubahan iklim, yang dicirikan dengan adanya
perubahan suhu yang semakin naik, hidrologi, pola angin, dan kenaikan muka air
laut. Pola hujan juga berubah, dimana musim hujan semakin pendek, tetapi curah
hujannya tinggi.
35
36
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa tabel diatas berisi tentang
jumlah trip per alat tangkap Ikan Lidah (Cynoglossidae sp.) di Provinsi Jawa
Tengah. Macam-macam alat tangkap yang digunakan dari tahun ke tahun sangat
beragam yaitu payang, pukat pantai, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, dan
jaring insang tiga lapis. Jumlah trip per alat tangkap Ikan Lidah (Cynoglossidae
sp.) di Provinsi Jawa Tengah tertinggi ada pada tahun 2016 yaitu dengan total
5.072 trip, sedangkan terendah ada pada tahun 2013 dengan total 262 trip. Jumlah
trip dengan alat tangkap payang terbanyak pada tahun 2014, sedangkan terendah
pada tahun 2013. Jumlah trip dengan alat tangkap pukat pantai terbanyak pada
tahun 2016 sedangkan terendah pada tahun 2013. Jumlah trip dengan alat tangkap
jaring insang hanyut terbanyak pada 2015, sedangkan terendah pada tahun 2013.
Jumlah trip dengan alat tangkap jaring insang tetap terbanyak pada tahun 2016,
sedangkan terendah pada tahun 2013. Jumlah trip dengan alat tangkap jarring
insang tiga lapis terbanyak pada tahun 2016, sedangkan terendah pada tahun
2013. Perbedaan banyaknya trip per alat tangkap tiap tahun di pengaruhi oleh
banyaknya kapal yang melaut atau tidak melaut tiap tahunnya. Kebanyakan
37
kapal-kapal nelayan tidak pergi melaut karena dipengaruhi oleh kondisi cuaca.
Kondisi cuaca tertentu seperti saat sedang badai nelayan memilih untuk tidak
untuk melaut. Menurut Alfi et al. (2018), musim sepi tidak ada ikan dan nelayan
akan lebih lama melaut yaitu berangkat pukul 2 dini hari dan pulang pukul 10
pagi. Musim banyak ikan nelayan akan berangkat pukul 3 dini hari dan pulang
pukul 8 pagi. Gelombang laut yang tinggi, nelayan tidak akan pergi berlayar atau
Tabel 3. Jumlah Produksi Per Alat Tangkap Ikan Lidah (Cynoglossiddae sp.) di
Laut Jawa
Produksi (ton)
Berdasarkan tabel yang dijelaskan, dapat terlihat jumlah produksi per alat
tangkap ikan lidah (Cynoglossiddae sp.) di laut Jawa mengalami nilai yang sama
pada setiap alat tangkapnya pada tahun 2013 sampai 2016. Didapatkan bahwa
alat tangkap jaring tiga lapis memiliki nilai tertinggi yaitu 315,5. Nilai produksi
38
per alat tangkap jaring tiga lapis dari tahun 2013 sampai 2016 menghasilkan hasil
tangkapan yang sama. Hasil produksi per alat tangkap diperoleh nilai terendah
pada alat tangkap jaring insang tetap yaitu sebesar 0,5. Nilai produksi per alat
tangkap jaring insang tetap dari tahun 2013 sampai 2016 menghasilkan hasil
tangkapan yang sama. Menurut Pratama et al. (2016), kapal yang bergerak cepat
Dengan kekuatan mesin yang besar, maka proses penjeratan gerombolan ikan
pada alat tangkap juga lebih cepat sehingga kemungkinan ikan untuk lolos juga
semakin kecil.
Tabel 4. CPUE Peralat Tangkap Ikan Lidah (Cynoglossidae sp.) di Provinsi Jawa
tengah
Jumlah
Alat Trip
Tahun produksi Trip CPUE FPI Trip
Tangkap Standar
Standar
Payang 35,8 1.172 0,0305 0,3217 377,1
P. Pantai 8,4 4.515 0,0019 0,0196 88,47
2013 J. I. Hanyut 3,3 1.740 0,0019 0,02 34,76 3808
J. I. Tetap 0,5 262 0,0019 0,0201 5,266
J. Tiga Lapis 313,5 3.302 0,0949 1 3302
Payang 35,8 1.520 0,0236 0,2509 381,4
P. Pantai 8,4 4.539 0,0019 0,0197 89,49
2014 J. I. Hanyut 3,3 1.791 0,0018 0,0196 35,16 3851
J. I. Tetap 0,5 265 0,0019 0,0201 5,327
J. Tiga Lapis 313,5 3.340 0,0939 1 3340
2015 Payang 35,8 1.445 0,0248 0,2718 392,7 3966
39
produksi Ikan Lidah (Cynoglossidae sp.) dari masing-masing alat tangkap yang
digunakan dari rentang tahun 2013-2016 jumlah produksi tetap dengan rincian
alat tangkap tangkap payang berjumlah 35,8, pukat pantai 8,4, jaring insang
hanyut 3,3, jaring insang tetap 0,5 dan jaring tiga lapis 313,5. Jumlah trip dari
masing- masing alat tangkap yang digunakan memiliki hasil yang bervariasi,
dimana pada alat tangkap payang, pada tahun 2013-2016 hasil tertinggi diperoleh
pada tahun 2014 dengan jumlah 1.520 dan jumlah terendah diperoleh pada tahun
2013 dengan jumlah 1.172, pada alat tangkap pukat pantai dengan rentang tahun
yang sama diketahui bahwa jumlah tertinggi diperoleh pada tahun 2016 dengan
jumlah 5.072 dan jumlah terendahnya diperoleh pada tahun 2013 dengan jumlah
4.515, Kemudian untuk alat tangkap jaring insang hanyut pada tahun 2013-2016
jumlah yang diperoleh juga bervariasi akan tetapi jumlah terbesar diperoleh pada
tahun 2015 dengan jumlah 2.078 dan jumlah terendah diperoleh pada tahun 2013
dengan jumlah 1.740. Alat tangkap jaring insang tetap juga memiliki jumlah trip
yang bervariasi pada rentang tahun 2013-2016 dengan hasil terbesar diperoleh
40
pada tahun 2016 dengan jumlah 324, sedangkan untuk jumlah terendah yang
diperoleh alat tangkap jaring insang tetappukat diperoleh pada tahun 2013
dengan jumlah 262. Kemudian untuk alat tangkap jaring insang tiga lapis pada
tahun 2013-2016 jumlah yang diperoleh juga bervariasi akan tetapi jumlah
terbesar diperoleh pada tahun 2016 dengan jumlah 3.546 dan jumlah terendah
diperoleh pada tahun 2013 dengan jumlah 3.302. Nilai CPUE pada masing-
masing alat tangkap juga bervariasi, berdasarkan data yang diperoleh diketahui
bahwa nilai CPUE pada alat tangkap jaring tiga lapis merupakan yang tertinggi
sehingga menjadi CPUE standarisasi sedangkan CPUE terendah berasal dari alat
tangkap jaring insang tetap pada rentang tahun 2013-2016. Nilai FPI diperoleh
dari CPUE alat tangkap dibagi CPUE standar sehingga diketahui bahwa pada
tahun 2013 nilai FPI dari jaring tiga lapis adalah 1 dan nilai FPI terendah yaitu
sebesar 0,0196 pada alat tangkap pukat pantai, tahun 2014 FPI tertinggi bernilai 1
pada alat tangkap jaring tiga lapis dan nilai terendah sebesar 0,0196 pada alat
tangkap jaring insang hanyut, tahun 2015 yang memiliki FPI tertinggi bernilai 1
pada alat tangkap yang sama yaitu jaring tiga lapis dan nilai FPI terendah dengan
nilai 0,0171 pada alat tangkap jaring insang tetap, serta pada tahun 2016 nilai FPI
tertinggi diperoleh dari alat tangkap yang sama pada tahun sebelumnya dengan
nilai yang sama yaitu 1 dan nilai FPI terendah dengan nilai 0,0175 pada alat
tangkap jaring insang tetap. Jumlah trip standar tidak sama setiap tahunnya
dimana pada tahun 2013 jumlah trip standar sebesar 3808 kemudian mengalami
pada tahun 2015 menjadi 3966 hingga pada tahun 2016 jumlah trip standar tetap
mengalami peningkatan menjadi 4089. Menurut Salim dan Kelen (2017), jumlah
41
tangkapan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ukuran kapal dan luas
jaring sebagai faktor yang signifikan sedangkan untuk faktor yang tidak
signifikan yaitu jumlah ABK, jumlah bahan bakar yang digunakan, jarak melaut,
Ln CPUE
Tahun Produksi Trip Standar CPUE Standar
Standar
2013 361,5 3808 0,094942459 -2,354484264
2014 361,5 3851 0,093862275 -2,365926726
2015 361,5 3966 0,091160221 -2,39513665
2016 361,5 4089 0,088409475 -2,425776127
Sumber : Praktikum Dinamika Populasi, 2022
tahun (2013-2016) memiliki nilai yang sama yaitu 361,5, yang mengindikasikan
bahwa data tersebut stabil. Nilai trip standar diketahui mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun, dari yang awalnya 3808 di tahun 2013, terus meningkat
hingga menjadi 4089 di tahun 2016, di mana ini mengindikasikan bahwa trip
yang dilakukan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Nilai CPUE
standar diketahui mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dari yang awalnya
2016. Demikian pula dengan nilai Ln CPUE standar yang diketahui juga
42
tahun 2013, terus menurun hingga menjadi -2,425776127 di tahun 2016. Hal
semakin meningkatnya jumlah trip standar, maka nilai dari CPUE standar dan Ln
CPUE standar akan menurun. Menurut Sharfina et al. (2014), kejadian lebih
tangkap sering dapat diduga dengan suatu kombinasi sejumlah indikator stok
penurunan rata-rata bobot ikan, dan indikator ekosistem yakni perubahan pada
produksi ikan yang diperoleh sehingga hasil tangkapan per upaya penangkapan
mengalami penurunan.
43
4.2. Pembahasan
tengah dari tahun 2013 sampai 2016. Perkembangan produksi Ikan Lidah
(Cynoglossus sp.) di provinsi jawa tengah dari tahun 2013 sampai tahun 2016
sama rata. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor –faktor tertentu diantaranya
seperti Cuaca, ukuran kapal, kekuatan mesin, konsumsi bahan bakar minyak,
disebabkan oleh faktor alam yaitu seperti curah hujan dan pH. Apabila memiliki
Fluktuasi atau perubahan nilai inilah yang akan berpengaruh sangat nyata
terhadap reproduksi. Menurut Ernawati dan Sumiono (2017), bahwa laju tangkap
tahun 2006 cenderung dipengaruhi oleh fluktuasi musim. Pada musim peralihan I
44
(Maret - Mei), laju tangkap lebih tinggi daripada musim-musim lainnya. Laju
tangkap tahun 2007 tidak begitu dipengaruhi oleh fluktuasi musim dan laju
tangkap cenderung terus naik sampai akhir tahun. Kondisi ini disebabkan oleh
jumlah upaya penangkapan pada tahun 2007 mengalami penurunan yang cukup
signifikan sampai mencapai sekitar 60% bila dibandingkan dengan tahun 2006.
Penurunan ini karena kondisi cuaca yang tidak mendukung untuk melakukan
operasi penangkapan.
tengah tidak lepas dari beberapa faktor yang mempengaruhi. Faktor tersebut
terdiri dari dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi
faktor ekologi dan biologi dari perairan dan biota didalamnya. Sedangkan faktor
alat tangkap yang digunakan, ukuran kapal, PK mesin dan jumlah awak buah
kapal (ABK). Menurut Pratama et al. (2016), yang menyatakan bahwa terdapat
yaitu mengenai pengaruh alat tangkap, ukuran kapal, PK mesin dan jumlah ABK.
Analisis faktor produksi (Regresi linier berganda) yaitu besar presentase variabel
bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) dapat diketahui dari nilai koefisien
determinasi (R2).
45
Grafik 2. Jumlah Trip Per Alat Tangkap Ikan Lidah (Cynoglossidae sp.)
di Provinsi Jawa Tengah
Sumber: Praktikum Dinamika Populasi, 2022.
Perkembangan trip penangkapan Ikan Lidah (Cynoglossidae sp.) di
Provinsi Jawa Tengah mengalami naik turun atau fluktuasi, akan tetapi pada
tahun 2015 mengalami kenaikan yang sangat tajam. Jumlah trip tertinggi yaitu
pada tahun 2016 sebesar 12.155 trip dengan trip standarnya yaitu 4.085 trip
sedangkan paling rendah pada tahun 2013 sebesar 10.991 trip dengan trip
standarnya yaitu 3.804 trip. Tahun 2014 jumlah trip standar mengalami sedikit
peningkatan menjadi 11.455 trip dengan trip standarnya yaitu 3.848 trip,
kemudian di tahun 2015 ada peningkatan yang cukup besar yaitu 11.956 trip
dengan trip standarnya yaitu 3962 trip. Pola jumlah trip dengan trip standar yaitu
sama, apabila trip mengalami peningkatan maka trip standar juga akan
penurunan jumlah trip ini terjadi akibat pada jumlah ikan yang semakin sedikit
karena terdapat perubahan dari lingkungan populasi ikan yang berupa perubahan
46
iklim maupun cuaca, sehingga para nelayan akan mengurangi jumlah trip
Usaha atau upaya penangkapan ikan yang biasa juga disebut dengan trip
merupakan suatu seluruh kemampuan yang akan dilakukan oleh berbagai jenis
unit penangkapan ikan yang tergabung sebagai suatu armada penangkapan ikan
tangkap. Standarisasi alat tangkap adalah salah satu metode yang dilakukan
terhadap beberapa jenis alat tangkap. Standarisasi ini pun merupakan cara yang
dipakai untuk menyatukan satuan effort ke dalam satu bentuk satuan alat tangkap
perikanan multi species and multi gear, satu jenis spesies akan ditangkap dengan
berbagai macam alat tangkap maka setiap alat tangkap memiliki perbedaan
konstruksi dan metode pengoperasian alat tangkap yang dapat berimbas pada
47
ikan yang dilakukan dengan standarisasi alat tangkap yaitu agar produktivitas
ikan di laut akan tetap terjaga. Peningkatan dan penurunan trip penangkapan ikan
disebabkan karena melimpahnya stok ikan di laut, hal ini juga berpengaruh dalam
akibat dari overfishing. Menurut Suwarso dan Achmad (2018), gejala stock
depletion dibarengi oleh penurunan secara drastis hasil tangkapan per jenis ikan
dan upaya (jumlah kapal aktif dan trip) diikuti dengan respon alamiah nelayan
alat tangkap dan target spesies. Tindakan pengelolaan yang logis dan
panjang pengelolaan ikan sehingga dapat menjamin hasil tangkapan ikan yang
sumberdaya.
48
Jawa Tengah
lidah (Cynoglossus sp.) di Provinsi Jawa Tengah pada setiap tahunnya terus
menurun di tahun 2014 dengan nilai 0,094, lalu menurun lagi di tahun 2015
dengan nilai 0,091, dan di tahun 2016 terus menurun nilainya menjadi 0,089.
suatu perairan telah mengalami kelebihan atau overfishing. Hal ini dikarenakan
jumlah effort (trip) yang dikeluarkan terus meningkat setiap tahunnya tanpa
penambahan upaya penangkapan yang tidak diikuti oleh peningkatan jumlah hasil
49
sudah tinggi.
nilai CPUE. Faktor yang paling mempengaruhi dalam hal ini yaitu faktor
jumlah trip yang dilakukan terus mengalami peningkatan selama empat tahun,
sementara jumlah produksi tidak mengalami perubahan sama sekali selama empat
tahun. Akibatnya, nilai CPUE yang diperoleh terus menurun seiring dengan
meningkatnya upaya yang dilakukan. Maka dari itu, faktor nilai produksi juga
perlu diperhatikan agar bisa mengimbangi faktor upaya, sehingga nilai CPUE
tidak terus menurun, karena seperti yang diketahui sebelumnya, nilai CPUE yang
terus menurun memberikan indikasi bahwa telah terjadi overfishing terhadap ikan
lidah di Provinsi Jawa Tengah. Menurut Mayu et al. (2018), hubungan CPUE
Grafik 4. Hubungan CPUE dengan Trip Standar Metode Schaefer Tangkap Ikan
Lidah (Cynoglossiddae sp.) di Provinsi Jawa Tengah
Sumber : Praktikum Dinamika Populasi, 2022
dari tahun 2013 – 2016 yaitu, 3808, 3851, 3966 dan 4089. Nilai trip standart
terbesar pada tahun 2016 yaitu sebesar 4089, sedangkan nlai trip standart terkecil
pada tahun 2013 yaitu sebesar 3808. Nilai CPUE dari tahun 2013 – 2016 yaitu
0,095; 0,093; 0,091; dan 0,088. Nilai CPUE tertinggi berada di tahun 2013 yaitu
sebesar 0,095 sedangkan nilai terendah berada di tahun 2016 yaitu sebesar 0,088.
jumlah trip dan nilai dari CPUE. Menurut Ghufron et al. (2019), salah satu faktor
sesuai target tangkapan, baik secara jenis maupun ukuran. Visualisasi nilai
CPUE berupa grafik time series yang menunjukkan CPUE tertinggi dan
terendah.
51
Catch per Unit Effort (CPUE) merupakan jumlah ikan yang didapatkan yang
diperoleh dari sejumlah upaya penangkapan pada rentang waktu tertentu. CPUE
berfungsi untuk menentukan hasil jumlah produksi perikanan laut yang diratakan
diketahui dari hasil CPUE. Trip standar merupakan unit effort sejumlah armada
penangkapan ikan dengan alat tangkap dan waktu tertentu. Hubungan antara
CPUE dengan trip standar dapat dilihat pada gambar berikut. Faktor yang
(effort). Standarisasi alat tangkap perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah trip
Effort Ikan Kuwe (Caranx ignobilis) yaitu berhubungan terbalik dan mengalami
atau 99,99% yang berarti CPUE sangat dipengaruhi oleh upaya penangkapan
sebesar 99,99% sedangkan sebesar 0,01% dipengaruhi oleh variable lain. Garis
yang ada pada tabel dibuat dengan cara regresi linear antara effort dengan Ln
penangkapan ikan atau trip standar dapat menyebabkan berkurangnya CPUE Ikan
Lidah (Cynoglossidae sp.). Data grafik didapatkan dari data Trip dan Ln CPUE.
pada tahun 2013 menunjukkan nilai trip standar merupakan nilai paling rendah,
sedangkan nilai Ln CPUE paling tinggi. Nilai trip standar yang paling tinggi
ditunjukkan pada tahun 2016 dengan nilai Ln CPUE merupakan nilai yang
paling rendah. Menurut Alwi et al. (2020), peningkatan upaya penangkapan yang
kurang baik, seperti masih dilakukannya penggunaan alat tangkat yang tidak
53
sumber daya yang terbatas dan cenderung mengalami penurunan akibat usaha
penurunan tiap tahunnya maka hal ini mengindikasikan bahwa sumber daya ikan
tahun 2013-2016. Salah satu ciri overfishing adalah grafik penangkapan dalam
satuan waktu berfluktuasi atau tidak menentu dan penurunan produksi secara
nyata, mengatakan bahwa kejadian tangkap lebih sering dapat dideteksi dengan
jumlah produksi lestari yaitu sebesar 361,7. Produksi dan upaya penangkapan
54
ikan lidah (Cynoglossiddae sp.) dalam kurun waktu empat tahun sudah
suatu jenis ikan diambil lebih cepat dibanding dengan pembiaakan stok tersebut.
Pada metode MSY tersebut diperoleh hasil intersep yaitu sebesar 0.183
surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut
effort MSY), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan
yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari maximum sustainable yield
(MSY).
yang berlebih dapat disebabkan oleh adanya upaya penangkapan yang tinggi dan
dapat menyebabkan stok sumber daya di alam menurun. MSY metode Schaefer
berkaitan dengan masalah kelimpahan stok sumberdaya ikan, untuk itu perlu
dikaji tentang jumlah kelimpahan stok dan menentukan jumlah tangkapan yang
namun tetap menjaga kelestarian stok di alam. Model fox memiliki karakteristik
(CPUE) terhadap upaya penangkapan ikan. Model fox berasumsi bahwa populasi
suatu ikan tidak akan punah dan populasi merupakan jumlah individu ikan.
potensi dan upaya penangkapan optimum tidak dapat dilanjutkan, tetapi dapat
ini didasarkan pada analisis data hasil tangkapan dan upaya penangkapan.
Perikanan dapat dikelola berdasarkan model produksi surplus bila tersedia data
hasil tangkapan atau catch dan jumlah upaya penangkapan atau effort
V. KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
1. Nilai Catch Per Unit Effort (CPUE) diperoleh dari pembagian antara nilai
produksi dengan jumlah trip standar. Data yang digunakan adalah data empat
tahun dan nilai CPUE terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, di
rumus ini merupakan rumus MSY menurut Schaefer. Grafik MSY Schaefer
3. Nilai f optimum diperoleh dari rumus , di mana rumus ini merupakan upaya
Grafik MSY Schaefer, f optimum yang dihasilkan senilai 3948,346508 dan hasil
sudah mengalami over-exploited. Hal ini dikarenakan nilai dari CPUE yang
56
jumlah produksi memang sempat naik dalam kurun waktu satu tahun, namun
yang diperoleh juga menunjukkan berada pada antara tahun 2014-2015 yang
berarti pada kisaran tahun ini, upaya penangkapan sudah mencapai batas
optimum.
57
58
5.2. Saran
sebagai berikut:
mempelajari cuaca dan dapat memilih waktu yang tepat untuk menangkap
ikan sehingga hasil yang didapatkan akan lebih optimal karena keadaan
Alfi, Juhadi, dan Heri. 2018. Strategi Coping Nelayan Terhadap Perubahan Iklim
Studi pada Masyarakat Nelayan di Kecamatan Tugu, Kota Semarang Jawa
Tengah. Geo-Image., 7(1): 47-53.
Alina, Dining Nika, dan Hawis., Madduppa. 2020. Identifikasi Ikan Lidah
Cynoglossus arel (Bloch dan Schneider, 1801) Berdasarkan Morfometrik
dan DNA Barcoding yang Diperdagangkan di Tempat Pelelangan Ikan
Muara Angke. BAWAL: Widya Riset Perikanan Tangkap, 12(1): 31-39.
Alwi, Hutapea dan. Ziliwu. 2020. Spesifikasi dan Hasil Tangkapan Jaring Insang
di Desa Prapat Tunggal, Kabupaten Bengkalis, Provnsi Riau. Aurelia
Journal, 2(1) : 39-46.
Arnenda, Kusuma, dan Fergiawan,. 2019. Pendugaan stok tuna sirip kuning
(Thunnus albacares) menggunakan Model Produksi Surplus (MPS) di
perairan Samudera Hindia (studi kasus: selatan Jawa Timur). Journal of
Fisheries and Marine Research, 3(2), 245-251.
Azizah, Boer, dan Butet, 2020. Stock Assessement of Sulphur Goatfish (Upeneus
sulphureus Cuvier, 1829) in Sunda Strait, Banten. Journal of Tropical
Fisheries Management, 4(1), 21-28.
59
Djunaidi, Zaky, dan Siswanto 2019. Teknologi Alat Penangkapan Ikan Trammel
Net. Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan, 17(1), 15-
18.
Hastuti, Indri, Azis Nur Bambang, dan Abdul Rosyid. 2013. Analisis Teknis dan
Ekonomis Usaha Perikanan Tangkap Drift Gill Net di Pelabuhan
Perikanan Samudera Cilacap. Journal of Fisheries Resources Utilization
Management and Technology, 2(2): 102-112.
60
Lestari, Dewi Suci, dan Rusdi Machrizal. 2022. Analisis Panjang Bobot dan
Faktor Kondisi Ikan Lidah (Cynoglossus lingua) di Sungai Berombang
Kabupaten Labuhanbatu. Bioscientist : Jurnal Ilmiah Biologi, 10(1): 156-
165.
Listiani, Anindyas, Dian Wijayanto, dan Bogi Budi Jayanto. 2017. Analisis
CPUE (Catch Per Unit Effort) dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali. Jurnal
Perikanan Tangkap: Indonesian Journal of Capture Fisheries, 1(1): 1-9.
Listiyani, Wiajayanto, , dan Jayanto,. 2017. Analisis CPUE (Catch Per Unit
Effort) dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Lemuru
(Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali. Jurnal Perikanan Tangkap:
Indonesian journal of capture fisheries, 1(01), 1-9.
Marasabessy, dan Wiiii. 2020. Cara Penangkapan Ikan Demersal dengan
Menggunakan Jaring Insang Dasar (Bottom Gill Net) di Perairan Auki
Distrik Padaido Kabupaten Biak Numfor. Jurnal Perikanan Kamasan. 1:
1-9.
Masuswo, Rudy, dan Agustinus Anung Widodo. 2016. Karakteristik Biologi Ikan
Tongkol Komo (Euthynnus affinis) yang Tertangkap Jaring Insang Hanyut
di Laut Jawa. BAWAL: Widya Riset Perikanan Tangkap, 8(1): 57-63.
Mujib, Boesono dan Fitri. 2013. Pemetaan Sebaran Ikan Tongkol (Euthynnus sp.)
dengan Data Klorofil-a Citra Modis pada Alat Tangkap Payang (Danish
seine) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. Journal of
Fisheries Resources Utilization Management and Technology., 2(2) : 150-
160.
Nugraha, Ershad, Bachrulhajat Koswara, dan Yuniarti. 2012. Potensi Lestari dan
Tingkat Pemanfaatan Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan
Teluk Banten. Jurnal Perikanan dan Kelautan, 3(1): 91-98.
Pangauan, Manoppo. Kayadoe dan Manu. 2020. Pengaruh Umur Bulan Terhadap
Hasil Tangkapan dengan Jaring Insang Hanyut (Soma Landra), Jurnal
Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap, 5(1) : 18-22.
Piliana, W., O., T. Kusumastanto, dan Diniah. 2015. Analisis Bioekonomi dan
Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Layang Di Perairan Kabupaten
Muna Sulawesi Tenggara. Marine Fisheries., 6(1): 13-22.
61
dengan Alat Tangkap Pukat Pantai (Beach Seine) di Teluk Ambon Bagian
Dalam. Jurnal of Aceh Aquatic Sciences., 4(1): 1-15.
Sharfina, Maizan, Mennofatria Boer, dan Yunizar Ernawati. 2014. Potensi Lestari
Ikan Selar Kuning (Selaroides leptolepis) di Perairan Selat Sunda. Marine
Fisheries, 5(1): 101-108.
62
Subehi, Sutikno, Herry Boesono dan Dian Ayunita. 2017. Analisis Alat
Penangkap Ikan Ramah Lingkungan Berbasis Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) di TPI Kedung Malang Jepara. Journal of
Fisheries Resources Utilization Management and Technology, 6(4): 1-10.
Suman, Irianto, Satria, dan Amri. 2016. Potensi dan Tingkat Pemanfaatan
Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia (WPPNRI) Tahun 2015 Serta Opsi Pengelolaannya. Jurnal
Kebijakan Perikanan Indonesia., 8(2): 97-110.
Sutoyo, Sumaryam dan Didin. 2019. Metode Operasi Penangkapan Ikan dengan
Alat Tangkap Gill Net Dasar Terhadap Hasil Tangkapan di Perairan
Kenjeran Surabaya. Jurnal Hasil Penelitian. 4(2): 120-126.
Suwarso, dan. Zamroni. 2018. Sebaran Unit Stok Ikan Layang (Decapterus sp.)
dan Risiko Pengelolaan Ikan Pelagis Kecil di Laut Jawa. Jurnal Kebijakan
Perikanan Indonesia., 5(1): 17-24.
Telussa,. 2016. Kajian Stok Ikan Pelagis Kecil dengan Alat Tangkap Mini Purse
Seine di Perairan Lempasing, Lampung. Jurnal Satya Minabahari., 1(2):
32-42.
63
LAMPIRAN
64
PETA LOKASI PERAIRAN LAUT JAWA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
PETA
PERAIRAN LAUT JAWA
KELOMPOK 7
65
Lampiran 2. Gambar Ikan beserta nama lokal, latin, dan internasionalnya
dan Gambar Alat Tangkap beserta nama lokal dan internasional
66
4 - Nama lokal : Jaring Insang
Hanyut
- Nama internasional :
Driftnets
67
Lampiran 3. Perhitungan CPUE (per alat tangkap), FPI (per alat tangkap),
1. Perhitungan CPUE
Tahun 2013
Payang : = = 0,030546075
Tahun 2014
Payang : = = 0,023552632
68
Jaring Insang Hanyut : = = 0,001842546
Tahun 2015
Payang : = = 0,024775087
69
Tahun 2016
Payang : = = 0,026227106
2. Perhitungan FPI
2013
Payang :
70
Pukat Pantai :
2014
Payang :
Pukat Pantai :
2015
71
Payang :
Pukat Pantai :
2016
Payang :
Pukat Pantai :
72
Jaring Tiga Lapis :
Tahun 2013
Tahun 2014
Tahun 2015
73
Jaring Tiga Lapis : TRIP × FPI = 3.439 × 1 = 3439
Tahun 2016
MSY =
= 361,7859016 ton/tahun.
5. Perhitungan Foptimum
Fopt =
74
= -
= 3984,346508
75