Anda di halaman 1dari 96

Penilaian Performa

Pengelolaan Perikanan
Menggunakan Indikator EAFM
(Ecosystem Approach to Fisheries Management)
Kajian pada perikanan di Wilayah Kabupaten Flores Timur

Disusun Oleh
Donny Bessie FPIK Universitas Kristen Arta Wacana Kupang
Dwi Ariyogagautama WWF-Indonesia

Juni 2012

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM


KATA PENGANTAR

Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah


diamanatkan oleh Undang-Undang No. 31 tahun 2004 yang ditegaskan kembali pada
perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang No 45 tahun 2009.
Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi
yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan
ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan
sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri.
Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap
pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management, selanjutnya
disingkat EAFM) menjadi sangat penting.
Kabupaten Flores Timur sebagai salah satu kabupaten perikanan terbesar di
Nusa Tenggara Timur memiliki potensi sumberdaya perikanan ekonomis yang
menjanjikan disepanjang perairan Kabupaten Flores Timur seluas 2.064,65 km² telah
menopang perekonomian daerah. Kebijakan yang berdampak berkelanjutannya sektor
kelautan dan perikanan sudah menjadi urgensi dalam setiap sendi kebijakan daerah.
Melalui kajian EAFM yang bersifat komprehensif, meliputi domain Sumberdaya ikan,
Teknologi Penangkapan, Habitat dan ekosistem, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan
diharapkan dapat menggambarkan performa pengelolaan perikanan berbasis ekosistem
yang diterapkan di kabupaten Flores Timur.
Laporan Kajian EAFM ini dapat dijadikan salah satu acuan sebagai dasar
pembuatan perencanaan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di kabupaten Flores
Timur agar lebih efisien dan terfokus. Demikian laporan ini dibuat, semoga dapat
bermanfaat bagi sebesar-besarnya bagi pengembangan sector kelautan dan perikanan di
Kabupaten Flores Timur secara berkelanjutan dan bertanggungjawab.

Larantuka, Juni 2012

Tim Penyusun

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM


PRAKATA

Sektor perikanan merupakan salah satu komoditi unggulan di kabupaten Flores


Timur, sehingga upaya dalam pelestarian perikanan yang berkelanjutan merupakan
agenda yang diprioritaskan untuk didorong dalam mendukung pembangun
perekonomian di kabupaten ini. Dalam upaya melakukan pengelolaan perikanan yang
berkelanjutan, DKP kabupaten Flores Timur, WWF-Indonesia dan Universitas Kristen
Artha Wacana (UKAW) bekerjasama dalam melakukan penilaian performace dari
pengelolaan perikanan berbasis ekosistem atau Ecosystem Approach To Fisheries
Management (EAFM), yang kemudian diverifikasi bersama dengan SKPD terkait di
kabupaten Flores Timur, akademisi dan pengusaha perikanan dalam memperkuat
analisa laporan studi Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem di kabupaten Flores
Timur.
Dalam laporan Studi Pengelolaan Perikanan berbasis Ekosistem ini dilakukan
secara komprehensif, dengan mengidentifikasi 33 indikator dari 6 domain, yang
meliputi Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan, Habitat dan ekosistem, Sosial,
Ekonomi dan kelembagaan. Berdasarkan hasil laporan studi ini diketahui dengan jelas
indikator yang perlu dilakukan perbaikan dan peningkatan dalam mendukung perikanan
yang berkelanjutan.
Saya menyambut baik laporan ini dengan harapan dapat digunakan oleh
praktisi dan akademisi dalam dalam memperoleh gambaran terhadap kondisi
pengelolaan perikanan yang terkini. Selain itu, diharapkan laporan ini juga dapat
digunakan dalam perumusan kebijakan, strategi dan kegiatan pengelolaan perikanan
agar sumberdaya ikan lestari dan menghasilkan manfaat optimal untuk sebesar-besar
untuk masyarakat Kabupaten Flores Timur sebagai implementasi dari Pasal 33(3)
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan


Kabupaten Flores Timur

Ir.M.I.Erna Di Silva
Pembina TK.1
NIP. 19620626 199503 2 001

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM


DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................................................ 2
Prakata ........................................................................................................................................ 3
Daftar Isi ..................................................................................................................................... 4
Daftar Tabel ................................................................................................................................ 5
Daftar Gambar ............................................................................................................................ 6
I Pendahuluan ........................................................................................................................ 7
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................. 7
1.2 Tujuan dan Manfaat Studi ........................................................................................... 10
II Sekilas Kondisi Perikanan .................................................................................................. 11
2.1 Kabupaten Flores Timur ............................................................................................. 11
2.1.1Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Flores Timur ........................................... 11
2.1.2Statistik Perikanan Kabupaten Flores Timur ............................................................... 13
III Metode Penilaian Performa Indikator EAFM ..................................................................... 14
3.1 Pengumpulan data....................................................................................................... 14
3.2 Analisa Komposit ....................................................................................................... 15
IV Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan ............................................................................ 17
4.1 Hasil Penilaian PerIndikator Pada Domain Sumberdaya Ikan Kabupaten Flores Timur17
4.1.1 Domain Sumberdaya Ikan .................................................................................... 17
4.1.2 Domain Habitat dan Ekosistem ............................................................................ 27
4.1.3 Domain Teknis Penangkapan Ikan ....................................................................... 39
4.1.4 Domain Sosial ..................................................................................................... 48
4.1.5 Domain Ekonomi ................................................................................................. 53
4.1.6 Domain Kelembagaan .......................................................................................... 60
V Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan ......................................................................... 68
VI Kesimpulan dan Rekomendasi ........................................................................................... 72
6.1 Kesimpulan................................................................................................................. 72
6.2 Rekomendasi .............................................................................................................. 73
Daftar Pustaka........................................................................................................................... 74
Lampiran .................................................................................................................................. 76

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM


DAFTAR TABEL

Tabel 1. Estimasi potensi sumberdaya ikan pada WPP 573, WPP 713 & WPP 714... 8

Tabel 2. Status tingkat pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan ..................... 9

Tabel 3. Komposisi Alat Tangkap di Kabupaten Flores Timur ............................. 13

Tabel 4. Lokasi Pengambilan Data Survey EAFM ............................................... 15

Tabel 5. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera.... 16

Tabel 6. Analisis Komposit Domain Sumberdaya Ikan.......................................... 17

Tabel 7. Analisis Komposit Domain Habitat dan Ekosistem.................................. 27

Tabel 8. Analisis Komposit Domain Teknis Penangkapan Ikan ........................... 39

Tabel 9. Analisis Komposit Domain Sosial............................................................ . 48

Tabel 10. Analisis Komposit Domain Ekonomi ..................................................... 53

Tabel 11. Analisis Komposit Domain Kelembagaan................................................. 60

Tabel 12. Status dan Performa Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Flores Timur 68

Tabel 13. Elemen Dasar Rencana Pengelolaan Perikanan......................................... 70

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan ............................................... 7

Gambar 2. Peta Kabupaten Flores Timur .......................................................... 12

Gambar 3. Grafik CPUE Kabupaten Flores Timur peridoe 2006 – 2010 ........... 20

Gambar 4. Agregat Domain Sumberdaya Ikan .................................................. 25

Gambar 5. Agregat Domain Habitat dan Ekosistem .......................................... 37

Gambar 6. Agregat Domain Teknis Penangkapan Ikan ..................................... 46

Gambar 7. Agregat Domain Sosial.................................................................... 51

Gambar 8. Pendapatan Nelayan Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap ....... 55

Gambar 9. Pendapatan Nelayan Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap.... 56

Gambar 10. Saving Ratio Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap ................... 57

Gambar 11. Saving Ratio Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap ............... 58

Gambar 12. Agregat Domain Ekonomi ............................................................... 58

Gambar 13. Agregat Domain Kelembagaan ........................................................ 67

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM


BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang beragam dan


melimpah pada lautnya yang mencapai luas sekitar 5,8 juta km2. Estimasi potensi
sumberdaya perikanan laut di Indonesia diperkirakan oleh kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) tahun 2011 sebesar 6.520.300 ton/tahun. Potensi tersebut terdiri atas
55,9% dari perikanan pelagis kecil,22,3% berasal dari perikanan demersal, 17,6%
perikanan pelagis besar, 2,2% perikanan ikan karang konsumsi, 1,5% bersumber dari
udang Penaeid, 0,4% berasal dari cumi-cumi dan 0,1% berasal dari lobster.

Besarnya potensi perikanan yang tersebar di perairan Indonesia, membuat KKP


membagi perairan di Indonesia menjadi 11 bagian yang sering disebut dengan Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP), hal ini dilakukan untuk mengefesiensikan pengelolaan
perikanan yang ada. Perhitungan estimasi potensi perikanan, pengkajian stock
assesment hingga kebijakan perikanan selalu berdasarkan 11 WPP tersebut. Berikut
pembagian WPP di Indonesia :

Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan (KepMen No, 45 tahun 2011)

Berdasarkan Kepmen KP 45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya


Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM


Timur (NTT) bersinggungan dengan 3 WPP yang ada, dengan potensi sumberdaya ikan
sebesar 26,1% dari total 1.699,4 Ton pertahunnnya, yang daerah itu berada di WPP 573
mulai dari Perairan Samudera Hindia bagian selatan Jawa hingga Nusa Tenggara, Laut
Sawu dan Laut Timor bagian barat, WPP 713 yaitu dari Perairan Selat Makasar, Teluk
Bone, Laut Flores dan Laut Bali dan WPP 714 yaitu Perairan Teluk Tolo dan Laut
Banda. Sedangkan Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor termasuk dalam 2 WPP
yaitu WPP 573 dan WPP 714.

Tabel 1. Estimasi potensi sumberdaya ikan pada WPP 573, WPP 713 dan WPP 714
(KepMen 45 tahun 2011)
Kelompok Sumberdaya Ikan Samudera Selat Laut Total
Hindia Makasar- Banda
(WPP 573) Laut Flores (WPP 714)
(WPP 713)
Ikan Pelagis Besar 201,4 193,6 104,1 499,1
Ikan Pelagis Kecil 210,6 605,4 132,0 948
Ikan Demersal 66,2 87,2 9,3 162,7
Udang Penaeid 5,9 4,8 - 10,7
Ikan Karang konsumsi 4,5 34,1 32,1 70,7
Lobster 1,0 0,7 0,4 2,1
Cumi-Cumi 2,1 3,9 0,1 6,1
Total Potensi (1.000 491,7 929,7 278,0 1.699,4
ton/tahun)

Melalui Kepmen ini, KKP juga sudah mengestimasi besaran pemanfaatan


perikanan berdasarkan WPP yang ada. Pendugaan status pemanfaatan perikanan
tersebut digolongkan menjadi 4 bagian yaitu Over exploited (O), Fully exploited (F),
Moderate (M), dan Moderate to Exploited (M-F).

Namun dalam assessment potensial (KepMen 45 tahun 2011 ) oleh KKP ini,
yang dilakukan hanya mempertimbangkan kondisi pemanfaatan perikanannya saja,
sedangkan aspek ekosistem, aspek sosek dan kelembagaan masih belum terkaji dalam
format yang baku. Untuk itu sejak tahun 2010 hingga saat ini WWF Indonesia dalam hal
ini berinisiasi dalam memfasilitasi pembuatan Indikator pengelolaan perikanan yang
berbasis ekosistem bersama Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap, Kementrian Kelautan dan Perikanan dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) dengan konsep tersebut dinamakan

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM


Ecosystem Approach for Fisheries Management (EAFM).EAFM merupakan indikator
asessment perikanan yang akan dilakukan bertahap di masing-masing WPP yang ada di
Indonesia.

Tabel 2. Status tingkat pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia (KepMen


45 tahun 2011)

Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor merupakan kabupaten kepulauan


yang memiliki 2 WPP yaitu WPP 573 dan 714. Pendataan di kedua kabupaten ini
penting dilakukan mengingat semakin meningkatnya permintaan pasar akan produk
perikanan diwilayah timur Indonesia termasuk ketiga kabupaten ini. Tanpa diimbangi
oleh pendataan dari sisi ekosistem, sosek, teknik penangkapan yang ada dan
kelembagaan yang tergabung dalam EAFM sebagai dasar pengelolaan perikanan
tentunya hal ini akan berdampak semakin tidak terarahnya kebijakan perikanan dalam
mendukung perikanan yang berkelanjutan dalam meningkatkan perekonomian
kabupaten.

Melalui pendataan perikanan berdasarkan indikator EAFM ini, diharapkan dapat


menjadi baseline data bagi pemerintah baik itu di KKP pusat dan Pemerintah masing-
masing kabupaten dan akan menjadi data pendukung untuk dalam pembentukan
kawasan konservasi dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD)

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM


masing-masing kabupaten, untuk mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir dan
sekitarnya.

1.2 Tujuan dan Manfaat Studi


Kegiatan ini memiliki tujuan,antara lain :

1. Mengumpulkan data indikator EAFM di kabupaten Flores Timur


2. Pembaharuan pemetaan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut
3. Mengumpulkan data dasar perikanan didesa yang memiliki aktivitas perikanan
yang tinggi. (Perikanan pelagis besar, pelagis kecil dan demersal).

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 10


BAB II. SEKILAS KONDISI PERIKANAN

2.1. Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Flores Timur

2.1.1 Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Flores Timur

Kabupaten Flores Timur merupakan kabupaten kepulauan yang terdiri dari 17


pulau (3 buah pulau yang dihuni dan 14 pulau yang tidak dihuni) pulau yang dihuni
antara lain adalah Pulau Flores bagian timur, Pulau Adonara dan Pulau Solor. Luas
wilayah daratan 1.812,85 km² dan luas laut 2.064,65 km² dengan perincian yaitu Flores
Timur daratan 1.066,87 km², Pulau Adonara 519,64 km², Pulau Solor 226,34 km².
Flores Timur memilki 4 gunung berapi, yaitu Gunung Lewotobi Laki-laki, Gunung
Lewotobi Perempuan, Gunung Leraboleng serta Gunung Boleng. Terletak antara 8º40”
- 8º40” LS dan 122º20 “ BT dan berbatasan dengan sebelah utara Laut Flores, sebelah
selatan Laut Sawu, sebelah timur Kabupaten Lembata dan sebelah barat Kabupaten
Sikka. Secara administratif Kabupaten Flores Timur terdiri dari 19 wilayah kecamatan,
229 desa dan 21 kelurahan, yang termasuk dalam desa pesisir tercatat sebanyak 121
desa.

Secara topografi bentangan alam Kabupaten Flores Timur merupakan wilayah


yang topografinya terdiri dari perbukitan dan pegunungan dengan beberapa faktor
lainnya, seperti :
Kemiringan : 0 – 12 % (417.20 km²), 12 – 40 % (799.86 km²) dan > 40 % (615.79
km²)
Ketinggihan : 0 – 12 m (568.81 km²), 100 – 500 m (934.63 km²) dan > 500 m
(291.41 km²)
Tekstur Tanah : Kasar (934.63 km² ), Sedang (856,17 km² ) dan Halus (38.56 km²)

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 11


KEC.

Gambar 2. Peta Kabupaten Flores Timur (Bappeda kabupaten Flotim, 2011)

Iklim Kabupaten Flores Timur terdiri dari dua musim, yaitu musim kemarau
dengan iklim yang kering berlangsung antara bulan Juni - September, serta musim hujan
dengan iklim basa berlangsung antara bulan Desember - Maret. Keadaan tersebut
berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei
dan Oktober-November.Hal ini menjadikan Flores Timur sebagai wilayah yang
tergolong kering, dimana hanya 4 bulan (Januari-Maret dan Desember) yang
keadaannya relatif basah serta 8 bulan sisanya relatif kering.Curah hujan tidak merata
dengan rata-rata 300-2000 mm dengan jumlah hari hujan 60-150 hari / tahun dan
kedalamam 500-2000 mm / tahun (Flores Timur dalam Angka, 2011).

Secara potensi biodiversitas di Kabupaten Flores Timur memiliki 16 jenis bakau


dengan luasan 630,83 ha disepanjang pesisir, sedangkan jenis lamun yang ditemukan
sebanyak 5 jenis dengan luasan padang lamun sebesar 1.639,82 Ha. Tutupan karang
hidup di kabupaten Flores Timur secara umum berkisar 55,13% – 71,97% yang artinya
masih dalam kondisi baik, jenis karang batu yang tercatat sebanyak 345 jenis dari 19

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 12


suku/famili dansedangkan ikan karang yang tercatat sebanyak 210 jenis yang termasuk
dalam 33 sukudengan densitas sebanyak 952 ekor ikan perluas areal 250m2(WWF,
2009)

2.1.2. Statistik Perikanan Kabupaten Flores Timur

Penduduk Kabupaten Flores Timur berdasarkan registrasi BPS Kabupaten Flores


Timur 2011 sebanyak 232.605 jiwa. Jumlah tersebut 110.976 jiwa (47,71%) laki-laki
dan 121.629 jiwa (52.28 %) perempuan dengan jumlah kepala keluarga (KK) 53.969.
Persebaran penduduk tidak merata antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, tingkat
kepadatan rata-rata 128,31 jiwa/km² dan yang terpadat terdapat di Kecamatan
Larantuka, yaitu 492 jiwa/km² dan yang terendah/kurang terdapat di Kecamatan
Tanjung Bunga, yaitu 50,65 jiwa/km².

Terdapat 5 kategori armada yang dapat dijumpai di kabupaten ini yang terhitung
sebanyak2097 armada yang terdiri atas 7,9% (165 armada) merupakan jukung, 9,8%
(206 armada) adalah perahu papan, 32%(672 armada) adalah motor tempel,15,1%(316
armada) adalah kapal motor < 5 GT dan 35,2%(738 armada) adalah kapal motor >5 GT
(Flores Timur dalam Angka, 2011)

Terdapat 9 kategori Alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Flores Timur


dengan jumlah sebanyak 1008 buah/set. Berikut tabel jumlah alat tangkap yang
ditemukan di Kabupaten Flores Timur :

Tabel 3. Komposisi Alat Tangkap di Kabupaten Flores Timur ( Data Statistik


Perikanan Tangkap Provonsi NTT, 2008)

No Alat Tangkap Jumlah Pesentase (%)

1 Pukat Pantai 70 6,9


2 Pukat Cincin 100 9,9
3 Jaring Insang 160 15,9
4 Bagan 23 2,3
5 Huhate 56 5,6
6 Pancing Tonda 85 8,4
7 Pancing Lainnya 260 25,8
8 Alat Lainnya 254 25,2

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 13


BAB III
METODE PENILAIAN PERFORMA INDIKATOR EAFM

3.1. Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan untuk Survey EAFM mencakup 6 Indikator, antara lain:
Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan, Habitat, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan.
Dalam pengumpulan data dibagi menjadi 2 proses yaitu melalui data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan denganpengambilan data yang dilakukan
dengan metode interview dan observasi terarah secara kualitatif melalui kuesioner
perikanan pelagis besar, pelagis kecil dan ikan karang (demersal) kepada responden
rumah tangga perikanan.Interview akan dilakukan secara perorangan

Penentuan responden berdasarkan pada hal-hal berikut ini :

a. Nelayan yang telah memiliki pengalaman dalam bidang tersebut minimal 5 tahun
(tentatif), diutamakan lebih dari 10 tahun.
b. Bersedia diwawancarai.
c. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi
berdasarkan kriteria Klasifikasi alat tangkap dan jenis armada
d. Jumlah sampel tidak terikat, wawancara hanya menargetkan terpenuhinya semua
informasi yang dibutuhkan.
e. Perwakilan terhadap pemilik kapal yang mengoperasikan armada penangkapan,
pemilik kapal yang tidak mengoperasikan kapal dan ABK

Pengambilan data Sekunder dalam survey ini yaitu dengan observasi kajian
ilmiah, dokumen laporan pemerintah dan Kebijakan nasional dan daerah yang
mencakup pengelolaan wilayah pesisir dan laut di kabupaten Flores Timur

Dalam Metode penentuan lokasi, berdasarkan pada hal-hal berikut ini :


a. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari populasi
berdasarkan kriteria Jumlah RTP, Klasifikasi alat tangkap dan jenis armada
b. Merupakan daerah yang dikelola dalam perrencanaan tata ruang wilayah atau
zonasi

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 14


Pemilihan lokasi pendataan perikanan dilakukan pada 3 jenis perikanan tangkap
yang terdapat di kabupaten Flores Timur, yaitu : perikanan Pelagis Besar (Tuna),
Pelagis kecil dan Demersal (Ikan Karang). Desa yang teridentifikasi sebanyak 10 desa
yang terbagi atas 6 Kecamatan di kabupaten Flores Timur. Berikut lokasi survei yang
teridentifikasi:

Tabel 4. Lokasi Pengambilan Data Survey EAFM


Kecamatan Desa
No
1 Solor Timur Motonwutun
2 Solor Timur Watobuku
3 Solor Timur Lohayong 1
4 Larantuka Waibalun
5 Adonara Timur Terong
6 Adonara Timur Lamahalajaya
7 Ile Boleng Boleng
8 Witihama Pledo (Mekko)
9 Klubagolit Sagu
10 Klubagolit Adonara

2.2. Analisa Komposit


Domain Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan Ikan, Sosial, Ekonomi dan
Kelembagaan yang terdapat pada kuesinoer (Terlampir) akan diberikan nilai
berdasarkan status atau kondisi terkini pada saat kajian EAFM dilakukan. Penentuan
nilai status untuk setiap indikator dalam domain habitat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert berbasis ordinal 1,2,3.
Semakin baik status indikator, maka semakin besar nilainya, sehingga berkontribusi
besar terhadap capaian EAFM.

Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator yang
bersangkutan atau dengan rumusan: Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai Bobot. Nilai
indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai indeks dari indikator
lainnya dalam setiap domain menjadi suatu nilai indeks komposit. Kemudian, nilai
indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5 penggolongan kriteria dan
ditampilkan dengan menggunakan bentuk model bendera (flag model) seperti terlihat
pada Tabel berikut ini:

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 15


Tabel 5. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera
Nilai Agregat Model Bendera Deskripsi/Keterangan
Komposit
100-125 Buruk
126-150 Kurang
151-200 Sedang
201-250 Baik
251-300 Baik Sekali

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 16


BAB IV
ANALISIS TEMATIK WILAYAH PENGELOLAAN
PERIKANAN

4.1. Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Flores Timur

4.1.1. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Sumberdaya Ikan

Domain Sumberdaya ikan terdapat 6 indikator yang dikaji dalam


penentuan status pada kondisi sumberdaya ikan, gambaran mengenai indikator-
indikator yang termasuk dalam domain sumberdaya ikan berdasarkan hasil
analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini :

Tabel 6. Analisis Komposit Domain Sumberdaya Ikan


MONITORING/
DEFINISI/ BOBOT
INDIKATOR PENGUMPULA KRITERIA SKOR NILAI
PENJELASAN (%)
N
1. CPUE Baku CPUE adalah hasil Logbook, 1 = menurun 1 40 40
tangkapan per satuan Enumerator, tajam
upaya penangkapan. Observer
Upaya penangkapan 2 = menurun
harus distandarisasi sedikit
sehingga bisa 3 = stabil atau
menangkap tren meningkat
perubahan upaya
penangkapan.

2. Ukuran - Panjang total Interview, 1 = trend 2 20 40


ikan - Panjang standar Sampling ukuran rata-
- Panjang karapas / program secara rata ikan yang
sirip (minimum dan reguler untuk ditangkap
maximum size, LFA (Length semakin kecil;
modus) Frequency
Analysis)
2 = trend
ukuran relatif
tetap;
3 = trend
ukuran
semakin besar

3. Proporsi Persentase ikan yang Interview, 1 = banyak 2 15 30


ikan yuwana ditangkap sebelum Sampling sekali (> 60%)
(juvenile) mencapai umur program secara
yang dewasa (maturity). reguler
ditangkap 2 = banyak
(30 - 60%)
3 = sedikit
(<30%)

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 17


MONITORING/
DEFINISI/ BOBOT
INDIKATOR PENGUMPULA KRITERIA SKOR NILAI
PENJELASAN (%)
N
4. Komposisi Jenis target dan non- Logbook, 1 = proporsi 2 10 20
spesies target (discard dan by observasi, target lebih
catch) interview sedikit
2 = proporsi
target sama
dgn non-
target
3 = proporsi
target lebih
banyak
5. Spesies ETP Populasi spesies ETP Survey dan 1= banyak 1 5 5
(Endangered species, monitoring, tangkapan
Threatened species, logbook, spesies ETP;
and Protected observasi,
species) sesuai interview
dengan kriteria CITES 2= sedikit
tangkapan
spesies ETP;
3 = tidak ada
spesies ETP
yang
tertangkap
6. "Range SDI yang mengalami Survey dan 1 = semakin 2 10 20
Collapse" tekanan penangkapan monitoring, sulit;
sumberdaya akan "menyusut" logbook, 2 = relatif
ikan biomassa-nya secara observasi, tetap;
spasial sehingga interview 3 = semakin
semakin sulit / jauh mudah
untuk
ditemukan/dicari. 1 = fishing 2
ground
menjadi
sangat jauh
2= fishing
ground jauh
3= fishing
ground relatif
tetap jaraknya
155
Agregat

4.1.1.1 Indikator CPUE


Sesuai pada tabel indikator Catch Per Unit Effort (CPUE) Baku dalam
domain Sumberdaya Ikan memiliki bobot terbesar dibandingkan indikator
lainnya, yaitu disebut dengan killer indikator sebesar 40 point. Hal ini
dikarenakan kuatnya hubungan antara CPUE dengan status biomass stock ikan,
sehingga indicator ini banyak digunakan sebagai pengganti pada parameter
biomasa, manakala data biomassa tidak tersedia (Modul EAFM, 2012).

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 18


CPUE didefinisikan
sebagai laju tangkap
perikanan per tahun yang
diperoleh dengan
menggunakan data time
series, minimal selama 5
tahun. Sedangkap effort atau
upaya penangkapan ikan itu sendiri diartikan jumlah waktu yang dihabiskan untuk
menangkap ikan di wilayah perairan tertentu. Tujuan perlunya menganalisa
indikator ini adalah untuk mengetahui trend perubahan stock perikanan dari waktu
ke waktu. Trend CPUE yang cenderung menurun, dapat dijadikan sebagai indikasi
dampak negatif terhadap stok ikan atau bahkan kecenderungan overfishing. Oleh
karena itu nilai CPUE tertinggi adalah ketika penangkapan ikan yang banyak
namun tetap memberikan ruang ikan untuk bereproduksi dan berkembang untuk
terus mendukung penangkapanyang lestari.
Berdasarkan analisa data statistik perikanan provinsi NTT selama 5 tahun
(tahun 2006 - 2010) di kabupaten Flores TImur bentuk grafik CPUE menunjukkan
tren penurunan dalam 4 tahun terakhir. Hal ini memberikan gambaran mulai
terjadi penurunan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Flores Timur secara
umum baik di sektor perikanan pelagis dan demersal. Pembobotan yang dilakukan
termasuk dalam kategori 1 yaitu CPUE menurun signifikan. Menurunnya
tangkapan ikan pertrip pada perikanan pelagis dan demersal menunjukan bahwa
status penangkapan cenderung tidak efektif, meningkatnya effort atau usaha
penangkapan trip sepanjang tahun tidak diiringi dengan peningkatan produksi
hasil tangkapan yang signifikan.
Penambahan usaha penangkapan seperti menambah armada penangkapan
atau meningkatkan intensitas penangkapan dan waktu penangkapan yang ada
perlu mempertimbangkan laju reproduksi ikan yang berbeda-beda. Kebijakan
perikanan tangkap di Kabupaten Flores Timur kedepannya diharapkan perlu
adanya pengaturan dalam penangkapan, baik berupa pengaturan alat tangkap yang
lebih selektif, pengaturan wilayah tangkap dengan system zonasi, atau juga
pengaturan pada musim penangkapan tertentu.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 19


Gambar 3. Grafik CPUE Kabupaten Flores Timur peridoe 2006 – 2010

4.1.1.2 Indikator Ukuran Ikan


Pengambilan data indikator ukuran ikan hal ini dilakukan bertujuan
mengetahui ukuran panjang ikan sebagai data untuk analisis frekuensi panjang
(length frequency analysis) yang selanjutnya akan dapat diduga laju eksploitasi
dari suatu unit stok ikan. Jika terjadi penurunan nilai ukuran ikan secara temporal
maka mengindaksikan terjadinya kecenderungan tangkap lebih (overfishing) pada
perairan tersebut. (Jackson et al., 2001; Orensanz et al., 1998, dalam Modul
EAFM, 2012). Kedewasaan ikan yang siap bertelur dapat ditentukan melalui
ukuran ikan, oleh karena itu tren mengecilnya ukuran jenis ikan tertentu yang
tertangkap menunjukan terganggunya pola reproduksi ikan tersebut sehingga akan
berdampak pada produktivitas hasil tangkapan diperairan tersebut kedepannya.
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa 87,64% responden (baik
untuk nelayan ikan pelagis kecil, pelagis besar dan demersal) lebih setuju ukuran
ikan dalam lima tahun terakhir relatif berukuran sama, 7,86% responden
menyatakan ukuran ikan yang ditangkap lebih kecil, 2,25% menyatakan ukuran
ikan lebih besar, dan 2,25% responden menyatakan tidak tahu. Hasil analisa
menunjukan pada status sedang atau kriteria 2 yang menyatakan ukuran ikan yang
didapatkan dalam 5 tahun terakhir relatif tetap, indikator ini menunjukan bahwa
menurut persepsi responden perikanan di Kabupaten Flores Timur cenderung

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 20


belum terjadi penangkapan berlebih. Namun jika dibandingkan dengan indikator
CPUE pada domain yang sama, hasil tangkapan per trip semakin menurun dalam
waktu 5 tahun terakhir (2006-2010). Data menunjukan produksi ikan semakin
menurun dengan ukuran ikan yang sama, jika hal ini terus berlangsung hasil
tangkapan ikan yang tertangkap cenderung yang berukuran lebih kecil atau ikan
akan beradaptasi terhadap tekanan penangkapan berlebih dengan bereproduksi
lebih awal. Kajian lebih detil dalam pengukuran ikan hasil tangkapan nelayan
secara langsung kedepannya perlu dilakukan untuk mengakuratkan penentuan
indikator ini.

4.1.1.3 Indikator Proporsi Ikan Yuana (Juvenile)


Indikator selanjutnya adalah mengetahui proporsi ikan yuana (juvenile)
dalam penangkapan nelayan berdasarkan alat tangkapnya.Secara definisi Ikan
yuana (juvenile) merupakan ukuran suatu tahap dalam pertumbuhan ikan yang
belum masuk kategori ukuran dewasa (mature). Unit satuan yang digunakan
untuk indikator proporsi ikan yuana yang ditangkap ialah (ton, kg, % proporsi)
yang dibandingkan dengan biomasa ikan
secara keseluruhan dari hasil tangkapan untuk
setiap alat tangkap pada perairan tertentu yang
diamati. Indikator ini dapat menggambarkan
ukuran mata jarring suatu alat tangkap yang
digunakan. dengan demikian jika ikan ukuran
yuana pada setiap penangkapan memiliki
proporsi yang lebih besar, mengindikasikan
bahwa ukuran mata jaring yang digunakan
terlalu kecil dan perlu disesuaikan kembali
dengan ukuran ikan yang sudah dewasa
(Modul EAFM, 2012).
Indikator proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap diberikan status
sedang (nilai 30) dengan kriteria 2 yaitu terjadi penangkapan ikan belum dewasa
(juvenile) sebanyak 30-60% dari setiap hasil tangkapan. Indikator ini
menyediakan pilihan yang bersifat luas untuk penggolongan keberlanjutan yang

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 21


buruk dan baik. Untuk ikan-ikan yang belum dewasa tertangkap lebih dari 60%
dari total tangkapan, maka penggolongan keberlanjutan termasuk buruk karena
penangkapan juvenile berlebih akan berdampak pada reproduksi ikan yang rendah
atau terjadi perubahan pola repoduksi dengan berkurangnya ukuran jenis ikan
yang tertangkap (mengecil), Sebaliknya keberlanjutan termasuk baik, bila yang
belum dewasa tertangkap kurang dari 30% dari total tangkapan. Di Kabupaten
Flores Timur pada musim puncak, sedang, dan paceklik rata-rata ikan yuwana
(juvenile) yang tertangkap 30-60%. Berdasarkan data interview didapatkan
77,78% responden mendapatkan jenis ikan juvenile berkisar 30-60% dan 22,22%
responden tidak menjawab. Spesies ikan juvenile yang sering ditangkap nelayan
pada perikanan demersal yaitu: Kerapu, Kerapu Capan, Kakap (Kaburak,
Kamera), Pahada (Baronang), dan Biji Nangka (Gerot-gerot), sedangkan pada
perikanan pelagis seperti ikan Layang, Selar, Kombong, Tongkol, Tuna,
Cakalang, Sembe, Tuda.
Penangkapan ikan juvenile
yang tergolong banyak di
Kabupaten Flores Timur,
menunjukan bahwa mata jarring
yang digunakan nelayan dalam
penangkapan pelagis dan demersal
masih lebih kecil dibandingkan
jenis ikan target, sehingga ikan
yuana yang belum dewasa juga
turut tertangkap. Jika hal ini terus berlangsung tentunya merupakan suatu
pemborosan sumberdaya ikan, ikan yang belum dewasa untuk bertelur tertangkap
dan tentunya memotong satu siklus reproduksi ikan tersebut. Kebijakan
Pemerintah Daerah yang implementatif dalam mendorong alat tangkap dan cara
tangkap yang selektif dalam perikanan demersal dan pelagis merupakan solusi
yang efektif dalam mengurangi penangkapan ikan yuana.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 22


4.1.1.4 Indikator Komposisi Spesies
Indikator komposisi spesies merupakan ukuran biomassa spesies tertentu
yang menjadi target penangkapan dan spesies yang bukan target penangkapan
terhadap jumlah seluruh hasil tangkapan dari suatu alat tangkap. Tujuan dari
penentuan indeks komposisi spesies ialah untuk mengetahui komposisi spesies
ikan dan non-ikan yang menjadi target penangkapan dan yang bukan target
penangkapan atau dengan kata lain non target (bycatch). Penentuan proporsi
ikan tersebut dilakukan terhadap hasil tangkapan suatu alat tangkap di daerah
yang diamati. Interpretasi indikator untuk nilai komposisi spesies yaitu dengan
melihat tingkat selektifitas alat tangkap yang digunakan untuk menangkap stock
ikan. Jika hasil tangkapan dari suatu alat tangkap didapati spesies non target
(bycatch) proporsinya lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang menjadi target
penangkapan, menunjukan bahwa alat tangkap tersebut tidak selektif (Modul
EAFM, 2012).
Dalam analisa indikator komposisi spesies melalui interview terhadap
responden menyatakan hasil tangkapan ikan target sebanding dengan jumlah
tangkapan non target. Responden yang mendapatkan hasil sampingan, 97,6%
menyatakan memanfaatkan dengan cara: 1) Dijual dimana nelayan memperoleh
sejumlah uang dari hasil penjualan, 2) Diolah menjadi ikan olahan atau bentuk
lainnya dimana nelayan memperoleh sejumlah uang dari penjualan ikan olahan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga, 3) Dikonsumsi sendiri untuk memenuhi
kebutuhan protein keluarga. Sedangkan 2,4% responden yang melepas hasil
tangkapan non target terutama jenis hewan yang dilindungi seperti lumba-lumba
dan penyu. Penangkapan sampingan perlu disikapi terutama pada jenis-jenis biota
yang dilindungi secara undang-undang atau jenis yang terancam punah dan
stocknya di alam kurang. Pengembangan teknologi yang selektif dan cara
penangkapan yang efisien untuk ikan target perlu dikembangkan. Pembuatan
modul cara tangkap yang ramah lingkungan untuk perikanan demersal dan pelagis
merupakan salah satu media dalam peningkatan kapasitas nelayan di kabupaten
Flores Timur.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 23


4.1.1.5 Indikator Spesies ETP
Indikator spesies Endangered species, Threatened species, and Protected
species (ETP) atau Jenis biota yang terancam punah, rentan dan yang sudah
dilindungi. Menurut kategori IUCN Red List Endangered (EN) atau Genting
species diartikan sebagai jenis biota yang tidak termasuk dalam terancam kritis
(Critically endangered) namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi
di alam dan dimasukkan ke dalam kategori Extinct in the Wild jika dalam waktu
dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti tidak dilakukan. Sedangkan
peraturan jenis biota yang dilindung dalam perundangan di Indonesia tercakup
dalam lampiran Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa.
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa di nelayan di desa
target penelitian tidak seluruhnya memahami
jenis-jenis biota yang dilindungi tersebut.
59,2% responden menyatakan jenis biota
yang dilindungi antara lain : paus, lumba-
lumba, penyu, hiu, duyung dan terumbu
karang. 25,5% responden tidak memahami
jenis biota yang dilindungi dan 15,3% tidak
menjawab. Dalam sepanjang tahun 2010, 98
responden menyatakan telah menangkap
jenis ETP setidaknya : Penyu= 59 ekor, Kima= 845 ekor, Lumba-lumba= 33
ekor, Duyung= 3 ekor, Nautilus= 59 ekor, dan Batu Laga= 3 ekor. Prinsip kehati-
hatian berlaku pada indikator ini setidaknya penangkapan ETP lebih dari 3 ekor
sudah tergolong buruk. Hal ini dikarenakan jenis-jenis ETP sebagai bagian
ekosistem dan rantai makanan jika mengalami ketidakstabilan akan berpengaruh
terhadap ekosistem yang ada. Sosialisasi mengenai jenis-jenis biota ETP disetiap
kegiatan kemasyarakat dan penerapan aturan yang tegas dalam perdagangannya
merupakan salah satu solusi dalam mengurangi pemanfaatan biota yang terancam
punah, rentan punah dan diindungi.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 24


4.1.1.6 Indikator Range Collapse
Indikator "Range Collapse" dalam indicator sumberdaya ikan dapat
diartikan suatu fenomena yang umum terjadi pada stok ikan jika stok ikan
yang bersangkutan mengalami kondisi overfishing. Secara teknis, didefinisikan
sebagai yakni pengurangan drastis wilayah/ruang spasial ekosistem laut yang
biasanya dihuni oleh stok ikan tertentu. Untuk menentukan ada tidak range
collapse ini, maka indikator yang paling mudah adalah melihat apakah
terjadi indikasi terhadap semakin sulitnya mencari lokasi penangkapan ikan
(fishing ground), karena secara spasial, wilayah penangkapan ikan menjadi
semakin jauh dari lokasi fishing ground sebelumnya. Unit yang digunakan untuk
indikator range collapse sumberdaya ikan ialah dilihat berdasarkan hasil
tangkapan per upaya (CPUE) secara temporal dari tahun ke tahun serta seberapa
jauh jarak tempuh (mil atau km) untuk setiap kali trip penangkapan ikan
dibandingkan jarak pada tahun-tahun sebelumnya (Modul EAFM).
Berdasarkan hasil analisa interview, responden menyatakan 78,82%
nelayan setuju bahwa lokasi penangkapan responden selalu tersedia stok ikan
dalam jumlah banyak dan dekat dengan fishing base, namun persepsi ini
berbanding terbalik dengan analisa tren CPUE di Kabupaten Flores Timur dalam
4 tahun terakhir yang justru cenderung menurun. Responden juga menyatakan
bahwa pada musim tertentu nelayan ikan demersal dan pelagis menangkap
hingga ke wilayah kabupaten Lembata dan Sikka. Seperti wilayah perairan
Balauring, Waijarang, Loang, Batu Lobang, dan Tanjung Naga pada kabupaten
Lembata dan perairan Paga pada kabupaten Sikka, dan laut Sawu. Oleh karena itu
indicator Range Collapse termasuk dalam kategori Sedang.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 25


Gambar 4. Agregat Domain Sumberdaya Ikan
Berdasarkan nilai komposit di tiap indikator seperti ditunjukan pada
gambar no. 4. Secara keseluruhan domain sumberdaya ikan di Kabupaten Flores
Timur diberikan status sedang atau kuning dengan nilai komposit 155 dari
pengukuran maksimal 300.
Secara umum domain sumberdaya ikan menunjukan kondisi sumberdaya
ikan yang ada, baik dalam perikanan demersal dan pelagis berstatus sedang atau
kuning yang diartikan jika pemanfaatan perikanan tetap pada kondisi yang ada,
maka akan terjadi kecenderungan penurunan sumberdaya ikan, hal ini ditunjukan
pada hasil analisis indikator CPUE Baku sebagai indikator inti dalam domain ini
(Killer Indikator) menunjukkan status buruk atau semakin menurun, begitu juga
dengan indikator spesies ETP yang tertangkap baik target maupun non target.
Upaya dalam meningkatkan sumberdaya ikan demersal dan pelagis di
perairan kabupaten Flores Timur untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sudah
seharusnya menjadi prioritas kebijakan di kabupaten ini. Kebijakan dalam
pengumpulan data primer yang konsisten baik dalam perikanan skala besar dan
tradisional dalam mendukung hasil analisa yang lebih akurat juga perlu
diterapkan. Hal ini bisa didukung dengan pengumpulan data logbook perikanan
tangkap dari private sector atau pengusaha perikanan, pengumpulan data profil
perikanan didesa pesisir dan juga bekerjasama dengan akademisi yang melakukan
riset di kabupaten Flores Timur.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 26


4.1.2. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Habitat dan Ekosistem
Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain
habitat dan ekosistem berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel
di bawah ini.

Tabel 7. Analisis Komposit Domain Habitat dan Ekosistem

DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT


INDIKATOR KRITERIA SKOR NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)

1. Kualitas Limbah yang Data sekunder, sampling, 1= tercemar; 0 20 0


perairan teridentifikasi monitoring, 2=tercemar sedang;
secara klinis, audio >> Sampling dan monitoring : 4 3= tidak tercemar
dan atau visual kali dalam satu tahun
(Contoh :B3-bahan (mewakili musim dan
berbahaya & peralihan)
beracun)
Tingkat kekeruhan Survey, monitoring dan data 1= > 20 mg/m^3 0
(NTU) untuk sekunder, CITRA SATELIT konsentrasi tinggi ;
mengetahui laju >> monitoring : dengan coastal 2= 10-20 mg/m^3
sedimentasi bouy/ water quality checker konsentrasi sedang;
perairan (continous), Citra satelite (data 3= <10 mg/m^3
deret waktu) dan sedimen trap konsentrasi rendah
(setahun sekali) => pengukuran Satuan NTU
turbidity di Lab
Eutrofikasi >> Survey : 4 kali dalam satu 1= konsentrasi klorofil 0
tahun (mewakili musim dan a > 10 mg/m^3 terjadi
peralihan) eutrofikasi;
>> monitoring : dengan coastal 2= konsentrasi klorofil
bouy/ water quality checker a 1-10 mg/m^3
(continous), Citra satelite (data potensi terjadi
deret waktu) eutrofikasi; dan
3= konsentrasi klorofil
a <1 mg/m^3 tidak
terjadi eutrofikasi
2. Status Luasan tutupan, Survey dan data sekunder, 1=tutupan rendah, 2 15 30
lamun densitas dan jenis monitoring, CITRA SATELIT. 29,9%;
Lamun. >> Sampling dan monitoring : 2=tutupan sedang, 30-
Seagrass watch 49,9%;
(www.seagrasswatch.org) dan 3=tutupan tinggi,
seagrass net 50%
(www.seagrassnet.org)
1=keanekaragaman 2
rendah (H' < 3,2 atau
H' < 1);
2 = kanekaragaman
sedang (3,20<H’<9,97
atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman
tinggi (H’>9,97 atau
H’>3)

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 27


3. Status Kerapatan, nilai Survey dan data sekunder, 1=kerapatan rendah, 3 15 30
mangrove penting, perubahan CITRA SATELIT, foto udara <1000 pohon/ha,
luasan dan jenis >> Citra satelite dengan tutupan <50%;
mangrove resolusi tinggi (minimum 8 m) - 2=kerapatan sedang
minimal satu tahun sekali 1000-1500 pohon/ha,
dengan diikuti oleh survey tutupan 50-75%;
lapangan 3=kerapatan tinggi,
>> Survey : Plot sampling >1500 pohon/ha,
tutupan >75%
1=keanekaragaman 3
rendah (H' < 3,2 atau
H' < 1);
2 = kanekaragaman
sedang (3,20<H’<9,97
atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman
tinggi (H’>9,97 atau
H’>3)
1= luasan mangrove 1
berkurang dari data
awal;
2= luasan mangrove
tetap dari data awal;
3= luasan mangrove
bertambah dari data
awal
1 = INP rendah; 1
2 = INP sedang;
3 = INP tinggi

4. Status > Persentase Survey dan data sekunder, 1=tutupan rendah, 1 15 15


terumbu tutupan karang CITRA SATELIT, foto udara <25%;
karang keras hidup (live >> Survey : Transek (2 kali 2=tutupan sedang, 25-
hard coral cover). dalam setahun) 49,9%;
>> Citra satelite dengan hiper 3=tutupan tinggi,
spektral - minimal tiga tahun >50%
sekali dengan diikuti oleh
survey lapangan 1=keanekaragaman 1
rendah (H' < 3,2 atau
H' < 1);
2 = kanekaragaman
sedang (3,20<H’<9,97
atau 1<H’<3);
3 = keanekaragaman
tinggi (H’>9,97 atau
H’>3)
5. Luasan, waktu, Fish Eggs and Larva survey, GIS 1=tidak diketahui 1 15 15
Habitat siklus, distribusi, dgn informasi Citra Satelit, adanya habitat
unik/khusus larva drift, spill Informasi Nelayan, SPAGs unik/khusus;
(spawning over, dan (Kerapu dan kakap), ekspedisi 2=diketahui adanya
ground, kesuburan perairan oseanografi habitat unik/khusus
nursery tapi tidak dikelola
ground, dengan baik;
feeding 3 = diketahui adanya
ground, habitat unik/khusus
upwelling). dan dikelola dengan
baik

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 28


6. Status Tingkat Survey dan data sekunder, 1=produktivitas 0 10 0
dan produktivitas CITRA SATELIT, foto udara rendah;
produktivitas perairan estuari >> Survey : 2 kali dalam 2=produktivitas
Estuari dan setahun sedang;
perairan >> Citra satelite dengan 3=produktivitas tinggi
sekitarnya resolusi tinggi - minimal
dilakukan 2 kali setahun
dengan diikuti oleh survey
lapangan
7. Untuk mengetahui Survey dan data sekunder, > State of knowledge 1 10 20
Perubahan dampak perubahan CITRA SATELIT, data deret level :
iklim iklim terhadap waktu, monitoring 1= belum adanya
terhadap kondisi perairan dan kajian tentang dampak
kondisi habitat perubahan iklim;
perairan dan 2= diketahui adanya
habitat dampak perubahan
iklim tapi tidak diikuti
dengan strategi
adaptasi dan mitigasi;
3 = diketahui adanya
dampak perubahan
iklim dan diikuti
dengan strategi
adaptasi dan mitigasi
> state of impact (key
indikator
menggunakan
terumbu karang):
1= habitat terkena
dampak perubahan 3
iklim (e.g coral
bleaching >25%);
2= habitat terkena
dampak perubahan
iklim (e.g coral
bleaching 5-25%);
3= habitat terkena
dampak perubahan
iklim (e.g coral
bleaching <5%)
Agregat 110

4.1.2.1 Indikator Kualitas Perairan


Indikator kualitas perairan merupakan indikator dengan bobot terbesar
pada domain habitat ini. Hal dikarenakan indicator ini dievaluasi dalam rangka
mengetahui kualitas dan kesehatan lingkungan perairan, serta mengetahui tingkat
percemaran perairan yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan
berdampak terhadap keseluruhan ekosistem atau habitat laut. Lebih lanjut,
pencemaran perairan ini didefinisikan sebagai dampak negatif (pengaruh
yang membayakan) bagi kehidupan biota, sumberdaya, kenyamanan ekosistem

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 29


perairan, serta kesehatan manusia, dan nilai guna lainnya dari ekosistem perairan
tersebut. Suatu perairan dikatakan tercemar jika salah satu dari parameter baku
mutu air melebihi ambang batas atau standar pencemaran yang telah ditetapkan.
Standar pencemaran atau baku mutu air di Indonesia ditetapkan berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air
Kualitas perairan mencakup karakteristik fisika, kimia, dan biologi
perairan, yaitu suatu ukuran tentang kondisi relatif suatu perairan terhadap
standar yang ditentukan untuk kesehatan ekosistem di dalamnya. Kualitas perairan
dapat ditentukan oleh keberadaan dan kuantitas kontaminan serta oleh faktor fisik
dan kimia seperti pH, konduktifitas, oksigen terlarut, salinitas dll.
Dalam melakukan kajian EAFM terdapat tiga sub-indikator kualitas
perairan yang penting untuk diukur yaitu keberadaan limbah yang dapat
dideteksi secara klinis dan visual, tingkat kekeruhan perairan, dan eutrofikasi
(Modul EAFM, 2012).
Berdasarkan pengumpulan data sekunder, indikator kualitas perairan
merupakan salah satu dari indikator yang tidak dapat dianalisa dan dibahas dalam
domain ini karena tidak tersedia data atau kajian ilmiah yang mencakup limbah
(B3), tingkat kekeruhan, dan eutrofikasi di perairan Kabupaten Flores Timur.
Oleh karena itu penilaian indikator ini menjadi 0. Pentingnya mengetahui kondisi
perairan laut sebagai barometer kualitas habitat sudah sebaiknya didukung dengan
program pengambilan data secara periodik oleh Dinas yang terkait.

4.1.2.2 Indikator Status Lamun


Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya
menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Lamun tumbuh subur terutama
di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai atau goba yang dasarnya
berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, dengan kedalaman
sampai dengan 4 meter. Dalam perairan yang sangat jernih, beberapa jenis
lamun bahkan ditemukan tumbuh sampai kedalaman 8 – 15 meter dan 40
meter.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 30


Kajian pada indikator ini bertujuan untuk mengetahui tutupan dan
densitas (kerapatan) lamun, serta keberadaan jenis lamun di suatu wilayah.
Ekosistem padang lamun sangat penting artinya bagi kehidupan penyu hijau dan
dugong, karena tumbuhan ini merupakan sumber makanan bagi kedua jenis
hewan yang dilindungi tersebut. Selain itu, ekosistem padang lamun juga dikenal
sebagai daerah asuhan berbagai juvenil ikan dan sebagai daerah perlindungan dari
predator bagi ikan-ikan kecil. Beberapa studi menyatakan bahwa telah ditemukan
360 soesies ikan yang berasosiasi dengan padang lamun. Spesies yang bernilai
ekonomi dan dominan adalah siganid (Baronang). Berbagai fungsi penting
ekosistem lamun tersebut mendasari bahwa status padang lamun merupakan salah
satu indikator yang penting untuk diketahui dengan tujuan untuk mengetahui
kualitas dan produktivitas ekosistem perairan; untuk mengetahui keberhasilan
rekruitmen suatu biota; dan untuk mengetahui daerah pemijahan dan asuhan
berbagai biota perairan yang dapat mendukung ketersediaan sumberdaya ikan
(Modul EAFM, 2012).
Berdasarkan hasil kajian Survey Ekologi di kabupaten Flores Timur tahun
2009 oleh WWF menunjukan luasan lamun di kabupaten Flores Timur tergolong
sedang yaitu berada pada kisaran angka 30%-49,9% dan berdasarkan analisa Citra
Aster pada tahun 2009 teridentifikasi luasan lamun di Kabupaten Flores Timur
adalah 1,639.82 ha. Dari 13 jenis lamun yang ditemukan di sepanjang perairan
Indonesia (Den Hartog 1970 dalam Modul EAFM, 2012), di perairan kabupaten
Flores Timur teridentifikasi sebanyak 5 (lima) spesies lamun yang dijumpai.
Kelima spesies tersebut yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
Cymomodocea rotundata, Halophila ovalis, dan Halodule sp. Persen tutupan
lamun tertinggi yaitu di Desa Riang Sungai (Solor Barat) sebesar 45% dan
tutupan terendah di Pulau Knawe sebesar 19,6%. Keberdaaan lamun di perairan
kabupaten Flores Timur perlu dijaga dikarenakan secara alami fungsi fisika-kimia
lamun dapat memperlambat laju abrasi pantai, karena lamun merupakan
perangkap sedimen (sedimen trap) dan fungsi penting lainnya adalah lamun dapat
mengendapkan zat pencemar untuk diolah kembali oleh biota pengurai (detritus),
sehingga mendukung perbaikan kualitas perairan secara alami.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 31


4.1.2.3 Indikator Status Mangrove
Hutan mangrove seringkali disebut dengan hutan pasang surut, hutan
payau, atau hutan bakau. Bila dibandingkan dengan hutan daratan, hutan
mangrove memiliki produktifitas primer yang paling tinggi. Hutan mangrove
dapat memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat
penting sebagai sumber energi bagi biota yang hidup di perairan sekitarnya.
Secara singkat, mangrove merupakan ekosistem pesisir yang penting bagi
manusia dengan banyak manfaat dan fungsi diantaranya: Sebagai peredam
gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap
sedimen; Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove;
daerah asuhan (nursery
ground); daerah mencari
makan (feeding ground), dan
daerah pemijahan (spawning
ground) berbagai jenis ikan,
udang, dan biota laut lainnya;
pemasok larva ikan, udang,
dan biota laut lainnya dan
juga dapat menjadi tempat
wisata.
Berdasarkan pada berbagai fungsi penting mangrove, maka indikator
mangrove merupakan salah satu indikator yang penting dalam kajian EAFM.
Tingkat kerapatan, nilai penting, keanekaragaman, dan perubahan luasan
mangrove merupakan informasi yang dibutuhkan untuk melihat kualitas dan
kuantitas ekosistem mangrove di suatu wilayah pesisir. Evaluasi atau kajian
kondisi mangrove dilakukan dalam rangka mengetahui kualitas dan produktivitas
ekosistem; untuk mengetahui keberhasilan rekruitmen terutama bagi spesies-
spesies penting yang siklus hidupnya berada pada ekosistem mangrove; dan untuk
mengetahui kondisi daerah pemijahan dan asuhan berbagai jenis ikan yang
berasosiasi dengan ekosistem mangrove (Modul EAFM, 2012).
Penilaian pada indikator status mangrove dapat dianalisa berdasarkan 4
kriteria yaitu : Kerapatan pohon bakau, Keanekaragaman jenis, perbandingan

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 32


Luasan bakau, dan Indeks Nilai Penting (INP) direrata berdasarkan analisa di ke 4
kriteria tersebut diberikan status sedang. Berikut analisa per kriteria yang dapat
dianalisa, berdasarkan hasil penelitian WWF (2009), di 13 stasiun di Kabupaten
Flores Timur menunjukkan bahwa kerapatan tingkat pohon terkategori sedang
yaitu dengan rata-rata 10.193 pohon/hektar di 10 stasiun, kerapatan ini
menunjukan kondisi yang cukup baik dalam mendukung pertumbuhan mangrove
didaerah tersebut baik mencakup factor suhu, salinitas dan substrat (Romadhon,
A, 2008), Sedangkan keanekaragaman bakau cukup tinggi dengan hasil sampling
vegetasi bakau di 13 lokasi di Kabupaten Flores Timur ditemukan 16 jenis bakau
(Acrostichum speciosum, Aegialitis annulata, Avicennia marina, Bruguiera
cylindrical, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera sexangula, Ceriops decandra,
Ceriops tagal, Excoecaria agallocha, Heritiera globosa, Lumnitzera racemosa,
Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Sonneratia
alba, dan Sonneratia caseolaris), dari 8 family yaitu: Avicenniaceae,
Combretaceae, Euphorbiaceae.
Tercatat juga luasan bakau yang dapat diidentifikasi berdasarkan citra
Aster tahun 2009 seluas 630.83 ha namun hasil wawancara dengan masyarakat
menyatakan bahwa luasan hutan bakau cenderung berkurang dan belum tersedia
data awal (sebelum survey) hutan mangrove di Kabupaten Flores Timur.
Sementara Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 – 300 %, dari 13 lokasi
yang dilakukan sampling di kabupaten Flores Timur didapatkan nilai rata-rata
55,22% yang termasuk dalam kondisi rendah. Adapun jenis-jenis mangrove yang
memiliki INP dominan, antara lain : Sonneratia alba di daerah Weri, Desa
Lewobunga, Lewolaga, Menanga dan Baniona; Rhizopora apiculata didaerah
Watotutu, Halakodanuan, Belogili, Sinamalaka, dan Kolaka; Ceriops decandra
didaerah Tiwatobi dan Kolaka; Aegialitis annulata didaerah Konga (WWF, 2009).
4 Jenis yang memiliki nilai penting dalam ekosistem mangrove tersebut
ditiap stasiun sampling seharusnya lebih diprioritaskan untuk dijaga dan
dilestarikan disamping juga jenis lainnya, karena nilai penting jenis ini
memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis
tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove dan nilai penting dari tiap jenis

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 33


mangrove sangat tergantung pertumbuhan mangrove yang didukung oleh
ketersediaan nutrient dan bahan oganik (Supriharyono dalam Romadhon , 2008)
Seperti halnya ekosistem Mangrove dan Padang Lamun, Terumbu karang
juga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi dan ombak
besar, serta sebagai aset pariwisata bahari yang banyak menghasilkan devisa bagi
negara. Ditinjau dari aspek ekonomi, terumbu karang memberikan sumbangan
yang cukup besar untuk sektor perikanan. CAESAR (1996) menyatakan bahwa
terumbu karang yang termasuk dalam kategori sangat baik dapat
menyumbangkan 18 ton ikan per km2/tahun, sedangkan yang termasuk dalam
kategori baik dan cukup adalah sebesar 13 ton/km2 /tahun dan 8 ton/km 2
/tahun. Apabila dikalkulasikan secara ekonomi, nilai terumbu karang yang ada di
perairan Indonesia adalah sebesar 4,2 milyar $US dari aspek perikanan, wisata
dan perlindungan laut. Nilai ini belum termasuk nilai manfaat terumbu karang
sebagai pelindung pantai, bahan bangunan, sumber pangan serta obat-obatan.
Namun demikian, terumbu karang juga merupakan ekosistem yang sangat rentan
terhadap gangguan akibat kegiatan manusia yang tidak terkendali, dan
pemulihannya memerlukan waktu yang lama.

4.1.2.4 Indikator Status Terumbu Karang


Kajian kondisi terumbu karang bertujuan untuk mengetahui persentase
tutupan karang hidup dan keanekaragaman jenis karang di dalam suatu wilayah.
Persentase tutupan karang hidup ini merupakan indikator kondisi terumbu
karang dimana semakin
tinggi tutupan karang hidup
maka semakin baik kondisi
dan produktifitas perikanan,
terutama ikan-ikan yang
secara langsung berasosiasi
dengan terumbu karang.
Sedangkan keanekaragaman
jenis terumbu karang
merupakan indikator kesehatan

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 34


lingkungan perairan. Kondisi terumbu karang dievaluasi dalam rangka
mengetahui kualitas dan produktivitas ekosistem. Selain itu, tutupan karang
hidup dan keanekaragaman jenis juga terkait langsung dengan keberhasilan
rekruitmen; dan untuk mengetahui daerah pemijahan dan asuhan di suatu
perairan (Modul EAFM, 2012)
Indikator status terumbu karang diberikan status buruk, hal ini dikarenakan
berdasarkan data terbaru pada survey kesehatan karang atau Reef Health tahun
2012, teridentifikasi terumbu karang Flores Timur berada pada kondisi buruk-
sedang (< 50%), dengan rata-rata 21% terkategori buruk dengan temuan sebagian
besar kerusakan diakibatkan adanya aktvitas destructive fishing terutama
penggunaan bom ikan. Rusaknya terumbu karang secara langsung akan
berdampak pada produktivitas perikanan demersal, dan perikanan pelagis juga
akan berpengaruh selanjutnya sebagai rantai makanan dalam siklus perikanan.
Perlunya upaya dalam menjaga dan merehabilitasi ekosistem terumbu karang
mutlak dilakukan di Kabupaten Flores Timur untuk meningkatkan produktivitas
perikanan yang semakin menurun.

4.1.2.5 Indikator Habitat Unik atau Khusus


Habitat unik atau khusus didefinisikan sebagai habitat atau spesies
khusus yang mempunyai nilai ekologi dan ekonomi yang sangat tinggi,
sehingga perlu mendapat perhatian khusus dalam pemantauannya. Informasi
tentang lokasi-lokasi spawning ground, nursery ground, feeding ground, dan
upwelling sangat penting untuk menentukan bahwa suatu perairan memiliki
habitat unik/khusus yang berperan dalam mendukung keberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya perikanan. Selain itu, spesies endemik, langka, dan terancam punah
adalah beberapa kriteria lain yang dapat dipakai dalam menentukan
habitat/spesies unik/langka. Hal ini penting dikaji karena lokasi-lokasi tersebut
merupakan tempat bagi berbagai jenis ikan tumbuh dan berkembangbiak, yang
pada akhirnya dapat mendukung kegiatan perikanan di sekitarnya.
Indikator habitat/spesies unik/khusus dievaluasi dalam rangka untuk
memberikan dasar yang kuat bagi pengelolaan perikanan yang harus
dilakukan baik melalui Pengaturan dengan system buka tutup berdasarkan musim

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 35


(open close area season), pengaturan alat tangkap, penentuan lokasi tangkap
(fishing ground), atau pun dengan pengembangan kawasan konservasi perairan.
Dengan mengetahui habitat-habitat unik/khusus tersebut, maka pengelola
perikanan dapat dengan mudah memetakan dan mengatur bagaimana pengelolaan
perikanan berkelanjutan dapat dijelaskan kepada stakeholders terkait dan
diimplementasikan secara optimal (Modul EAFM, 2012).
Sama halnya dengan indikator kualitas air, kajian ilmiah (riset) terkait
habitat penting seperti lokasi peneluran ikan, lokasi peneluran penyu, feeding
ground penyu, lokasi-lokasi migrasi beberapa ikan endemik, langka, dan terancam
punah seperti paus dan duyung belum teridentifikasi. Wilayah ini sangat penting
sebagai daya dukung sumberdaya perikanan disuatu area dan dengan mengetahui
habitat penting pengelolaan sumberdaya laut akan lebih terfokus dan efisien
dalam wilayah tertentu namun berdampak luas. Dalam mendukung rencana
pengelolaan perikanan disarankan Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan
lembaga penelitian atau akademisi dan LSM dalam melakukan kajian habitat
penting ini.

4.1.2.6 Indikator Produktivitas Estuary


Indikator selanjutnya adalah menganalisa produktivitas estuary dan
perairan sekitarnya. Perlu diketahui bahwa defiisi Estuari adalah suatu perairan
semi tertutup yang berada di bagian hilir sungai dan masih berhubungan dengan
laut, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran antara air tawar dan air
laut. Kebanyakan estuari
didominasi oleh substrat lumpur
yang berasal dari endapan yang
dibawa oleh air tawar maupun air
laut. Karena partikel yang
mengendap kebanyakan bersifat
organik, substrat dasar estuari
biasanya kaya akan bahan organik,
yang menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuaria.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 36


Tujuan dari kajian produktifias estuary dan perairan sekitarnya ini adalah
untuk mengetahui kualitas dan produktivitas perairan yang dihitung dari
konsentrasi klorofil a; Selain itu, indikator ini dapat menjelaskan tentang
pentingnya suatu estuari sebagai daerah asuhan bagi beberapa spesies perikanan
yang bernilai ekonomis (Modul EAFM, 2012).
Indikator status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya tidak
dapat dianalisis tidak tersedianya data primer dan sekunder menyangkut
produktivitas estuari di Flores Timur oleh karena itu penilaian pada indikator ini
adalah kosong (0). Pentingnya mengetahui informasi indikator ini bagi kabupaten
Flores Timur yaitu produktivitas estuarine menyediakan unsur hara bagi
ekosistem laut. Semakin tinggi produktivitas perairan estuari, maka akan
semakin besar peran estuari dalam mendukung produksi sumberdaya ikan di
perairan sekitarnya.

4.1.2.7 Indikator Perubahan Iklim Terhada Kondisi Perairan dan Habitat


Indikator terakhir pada domain ini adalah pengaruh perubahan iklim
terhadap kondisi perairan dan habitat. Indikator ini perlu diketahui untuk
menunjukan semakin besar dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan
dan habitat, maka keberlanjutan sumberdaya perikanan semakin terancam,
sehingga diperlukan strategi adaptasi dan mitigasi untuk menekan pengaruh
perubahan iklim tersebut. Perubahan iklim dapat menyebabkan kenaikan suhu
udara, kenaikan suhu permukaan laut, dan peningkatan konsentrasi
karbondioksida di udara. Pengaruh perubahan iklim ini sangat mempengaruhi
kondisi perairan, perubahan musim perikanan, kejadian kekeringan dan
kebanjiran, serta degradasi terumbu karang akibat tingginya suhu permukaan laut
yang menyebabkan pemutihan/bleaching.
Pada indikator ini tidak teridentifikasi adanya penelitian yang secara
spesifik terkait dampak perubahan iklim yang terjadi. Namun berdasarkan survey
Reef Health yang dilakukan oleh WWF tahun 2012, turut mengambil data
pemutihan karang sebagai salah satu indikator dampak perubahan suhu laut.long
Hasil pengamatan menunjukan pemutihan karang di 15 titik penyelaman
pemutihan karang < 5% yang tergolong masih rendah. Data kajian ini diperlukan

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 37


diketahui untuk kepentingan pengelolaan perikanan baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Beberapa kasus yang terjadi di bidang perikanan adalah
bergesernya musim perikanan pelagis, kondisi cuaca yang sulit diprediksi hingga
menurunnya produktivitas perikanan demersal dikarenakan adanya pemutihan
karang. Informasi dampak perubahan iklim mendukung dalam pembuatan strategi
adapatasi dan mitigasi perubahan iklim dalam sendi-sendi kebijakan pengelolaan
perikanan untuk mengurangi kerentanan masyarakat pesisir yang terkendala
dampak langsung fenomena perubahan iklim.

Gambar 5. Agregat Domain Habitat dan Ekosistem

Berdasarkan nilai komposit di tiap indikator seperti ditunjukan pada


gambar no.5 Secara keseluruhan domain habitat dan ekosistem di Kabupaten
Flores Timur diberikan status buruk atau merah dengan nilai komposit 110 dari
nilai total komposit 300. Hal ini dikarena dari 7 indikator yang dianalisis hanya 5
indikator dengan status sedang dan buruk sementara 2 indikator lainnya tidak
dianalisis karena tidak tersedia data pendukung yaitu pada indikator kualitas
perairan dan produktivitas estuari.
Domain habitat akan sangat menentukan kelimpahan dan keanekaragaman
sumberdaya ikan yang terdapat di dalamnya. Secara umum, semakin baik kondisi
habitat maka kelimpahan dan keanekaragaman sumberdaya semakin baik.
Perlunya upaya Pemerintah Daerah dalam mendorong pengumpulan data
terkait pengecheckan kualitas air dan status produktivitas estuaris perlu diketahui
dan diidentifikasi kondisinya sebagai satu bagian habitat yang tidak bisa
Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 38
dipisahkan. Baik buruknya kualitas air dan produktivitas estuarine akan
mempengaruhi kesehatan ekosistem didalamnya yang termasuk terumbu karang,
lamun dan bakau yang berpengaruh terhadap produktivitas perikanan disuatu
perairan.
Indikator Terumbu karang juga perlu menjadi perhatian utama dalam
pengelolaan perikanan di kabupaten Flores Timur. Tingginya persentase
kerusakan yang terjadi disepanjang perairan kabupaten ini tidak saja merugikan
produktivitas di sektor perikanan, namun juga disektor pariwisata. Upaya dalam
langkah pencegahan sebaiknya diupayakan peningkatan pengawasan yang efisien
dan tindakan yang tegas terhadap pelaku pengrusak terumbu karang perlu
dilakukan secara bersama, dan juga menindak pembeli jenis ikan-ikan yang
ditangkap dengan cara tidak ramah lingkungan. Sedangkan upaya untuk
melakukan rehabilitasi terumbu karang yang rusak dapat dilakukan dengan
program penanaman terumbu karang buatan.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 39


4.1.3. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Teknis Penangkapan Ikan
Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain
teknis penangkapan ikan berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam
Tabel di bawah ini.

Tabel 8. Analisis Komposit Domain Teknis Penangkapan Ikan


MONITORING/
DEFINISI/ BOBOT
INDIKATOR PENGUMPULA KRITERIA SKOR NILAI
PENJELASAN (%)
N
1. Metode Penggunaan alat dan Laporan hasil 1=frekuensi pelanggaran > 10 1 30 30
penangkapan metode pengawas kasus per tahun ;
ikan yang bersifat penangkapan yang perikanan, 2 = frekuensi pelanggaran 5-10
destruktif dan merusak dan atau survey kasus per tahun ;
atau ilegal tidak sesuai 3 = frekuensi pelanggaran <5
peraturan yang kasus per tahun
berlaku.
2. Modifikasi alat Penggunaan alat Sampling 1 = lebih dari 50% ukuran target 3 25 75
penangkapan tangkap dan alat ukuruan ikan spesies < Lm ;
ikan dan alat bantu yang target/ikan 2 = 25-50% ukuran target spesies
bantu menimbulkan dominan. < Lm
penangkapan. dampak negatif 3 = <25% ukuran target spesies <
terhadap SDI Lm

3. Fishing Besarnya kapasitas Interview, 1 = R kecil dari 1; 1 15 15


capacity dan dan aktivitas survey, 2 = R sama dengan 1;
Effort penangkapan logbook 3 = R besar dari 1

4. Selektivitas Aktivitas Statistik 1 = rendah (> 75%) ; 3 15 45


penangkapan penangkapan yang Perikanan 2 = sedang (50-75%) ;
dikaitkan dengan Tangkap, 3 = tinggi (kurang dari 50%)
luasan, waktu dan logbook, penggunaan alat tangkap yang
keragaman hasil survey tidak selektif)
tangkapan
5. Kesesuaian Sesuai atau tidaknya Survey/monito 1 = kesesuaiannya rendah (lebih 1 10 10
fungsi dan ukuran fungsi dan ukuran ring fungsi, dari 50% sampel tidak sesuai
kapal kapal dengan ukuran dan dengan dokumen legal);
penangkapan dokumen legal jumlah kapal. 2 = kesesuaiannya sedang (30-
ikan dengan 50% sampel tidak sesuai dengan
dokumen legal dokumen legal);
3 = kesesuaiannya tinggi (kurang
dari 30%) sampel tidak sesuai
dengan dokumen legal

6. Sertifikasi awak Kualifikasi kecakapan Sampling 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 1 5 5


kapal perikanan awak kapal kepemilikan 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%;
sesuai dengan perikanan. sertifikat 3 = Kepemilikan sertifikat >75%
peraturan.

Agregat 180

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 40


4.1.3.1 Indikator Metode Penangkapan Ikan yang bersifat destruktif
dan/atau ilegal
Indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan/atau
illegal dengan bobot terbesar dalam domain teknik penangkapan. Hal ini
dikarenakan penangkapan ikan yang merusak dan atau ilegal merupakan ancaman
yang paling besar bagi kelestarian
ekosistem pesisir dan laut di
Indonesia, terutama ekosistem
terumbu karang. Dampak dari
praktek-praktek penangkapan ikan
yang destruktif dan atau ilegal
tersebut, kini mulai dirasakan oleh
masyarakat nelayan, khususnya
untuk nelayan perikanan karang,
yang semakin sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan.
Secara definisi metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif atau
merusak adalah cara menangkap ikan yang dapat menimbulkan kerusakan
secara langsung, baik terhadap habitat (tempat hidup dan berkembang biak)
ikan maupun terhadap sumber daya ikan itu sendiri. Sementara, yang
dimaksud dengan metode penangkapan ikan yang ilegal adalah cara
menangkap ikan yang melanggar atau bertentangan dengan ketentuan
peraturan yang berlaku, baik ditingkat lokal, nasional, regional maupun
internasional (Modul EAFM, 2012).
Kriteria penilaian baik atau buruknya indikator metode penangkapan ikan
yang bersifat destruktif dan atau ilegal dalam pengelolaan perikanan dengan
pendekatan ekosistem di suatu perairan, adalah dengan melihat jumlah kasus
pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan metode penangkapan ikan yang
bersifat destruktif dan atau ilegal tersebut. Dengan demikian, unit yang digunakan
untuk indikator ini adalah jumlah kasus pelanggaran.
Berdasarkan pengumpulan data terhadap responden dan logbook
penangkapan ikan didesa Lamakera, teknik penangkapan dengan cara merusak
terjadi pelanggaran kasus > 10 kasus pertahun, dan hal ini terjadi sejak tahun 1996

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 41


hingga saat ini. Analisa data penelitian menunjukkan bahwa, rata-rata 20-30
kasus per tahun untuk aktivitas pemanfaatan yang merusak lingkungan, dimana
62,35% responden menyebut bom ikan sebagai penyebab terbesar dengan lokasi:
Lamantaun, Pulau Mas, Pulau Meko, Arang, Watotena, perairan Laut Sawu,
perairan Desa Boleng, Solor, Tanjung Bunga, Waimana, perairan Lamakera, Laut
Flores, Selat Solor, dan perairan Pantai Selatan, 1,18% akibat potasium, dan
4,71% pengambilan karang. Kondisi kesehatan karang yang sudah teridentifikasi
pada indikator sebelumnya, berada pada kondisi buruk-sedang (< 50%), dengan
rata-rata 21% yang tersisa masih dalam kondisi sehat, jika hal ini terus dibiarkan
perikanan demersal kedepannya akan collapse, dan secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap perikanan pelagis.
Menurut hasil
wawancara pada Survey
Percetion Monitoring di 44 desa
pesisir pada tahun 2010 oleh
DKP Kabupaten Flores Timur
bersama WWF 90,47% atau
1073 responden menyatakan
sudah memahami dan tidak
mengijinkan adanya aktivitas penangkapan yang merusak. Namun upaya dalam
meminimalisir aktivitas merusak masih belum efisien. Adanya dukungan pasar
yang selalu membeli produk hasil bom pada perikanan demersal dan pelagis turut
memicu keberadaan aktivitas merusak ini.
Perlu adanya upaya bersama dari berbagai pihak untuk bersama
meminimalisir aktivitas penangkapan merusak ini. Salah satu media sosialisasi
yang efektif diketahui adalah melalui media tv (televisi) yang setiap hari lebih
dominan diminati dibandingkan dengan membaca majalah/koran dan mendengar
radio setiap harinya. Televisi sebagai media informasi yang ditonton setiap hari
diminati responden sebanyak 53.29% (632 orang). Kegemaran responden dalam
membaca majalah/koran dan mendengar radio setiap harinya berturut-turut
sebanyak 7.25% (86 orang) dan 13.91% (165 orang) (WWF, 2012).

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 42


Pengawasan dan jalur informasi yang efektif perlu dilakukan oleh berbagai
pihak mulai dari masyarakat, pengusaha, pemerintah hingga aparat penegak
hukum. Pencabutan izin usaha bagi pengusaha yang membeli produk tidak ramah
lingkungan, pembinaan terhadap papaplele atau pembeli ditingkat pasar dapat
dilakukan sebagai salah satu solusi megurangi permintaan pasar terhadap produk
yang tidak ramah lingkungan.

4.1.3.2 Indikator Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu


penangkapan
Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
didefinisikan sebagai penggunaan alat tangkap dan dan alat bantu yang
tidak sesuai dengan peraturan yang dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap sumber daya ikan. Penentuan indikator ini dilakukan karena
modifikasi alat tangkap dan alat bantu yang tidak sesuai dengan peraturan akan
memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan. Umumnya
alat tangkap yang dimodifikasi tanpa memperhatikan peraturan atau panduan
yang telah ditetapkan pemerintah akan berpotensi mengancam kelestarian
sumber daya ikan. Sebagai contoh: penggunaan rumpon yang berlebihan
dengan jarak yang sangat berdekatan. Hal tersebut, tentu akan mengganggu
pola ruaya atau migrasi ikan, sehingga siklus hidup sumber daya ikan akan
terhalangi atau terpotong, yang pada akhirnya menyebabkan sumber daya ikan
akan menipis (depletion) dan bahkan bisa habis atau punah
Berdasarkan pengumpulan data dikabupaten Flores Timur diindentifikasi
modifikasi alat tangkap diberikan status baik. Hal ini ditunjukan dengan < 25%
alat tangkap yang dimodifikasi mendapatkan hasil tangkapan dibawah ukuran
dewasa. Data ukuran ikan target yang dominan tertangkap rata-rata berukuran
layak tangkap, hanya dalam jumlah sedikit ikan pelagis besar (tongkol dan tuna)
yang sering tertangkap dengan ukuran dibawah normal (belum matang gonad).
Untuk jenis alat tangkap dan alat bantu yang dimodifikasi, data penelitian
menunjukkan bahwa hanya 2,35% nelayan yang melakukan modifikasi alat
tangkap jarring insang yang dibuat semakin besar.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 43


Adapun berdasarkan alat tangkap yang digunakan responden yang
mencakup perikanan demersal dan pelagis di kabupaten Flores Timur, secara
keseluruhan terdapat 40 jenis ikan yang umum ditangkap yaitu Banyar, Bawo,
Beduk, Biji Nangka, Cakalang, Gergahing, Hiu, Kakap kuning, Kakap Merah,
Keburak, Kembung, Kemera, Kerapu sosis, Kerapu bebek, Kerapu Capan,
Kerapu Karet Merah, Kerapu Macan, Kerapu Malabar, Kerapu Sue-sue, Kerapu
Sunu, Lamada, Layang, Layar, Mana, Marlin, Matekena, Melus, Pahada, Pari,
Selar, Sembe/Lember, Simba, Sura/Motong, Tembang, Teri/Gele, Tongkol, Tuda,
Tuna Mata Besar, Tuna Sirip Kuning dan Gurita.

4.1.3.3 Indikator Fishing Capacity


Fishing capacity didefinisikan sebagai jumlah hasil tangkapan ikan
maksimum yang dapat dihasilkan pada periode waktu tertentu (tahun) oleh satu
kapal atau armada bila
dioperasikan secara penuh,
dimana upaya dan tangkapan
tersebut tidak dihalangi oleh
berbagai tindakan pengelolaan
perikanan yang menghambatnya.
Satuan unit yang digunakan untuk
fishing capacity adalah ton/tahun.
Fishing capacity menjadi input control dalam manajemen perikanan
tangkap. Input perikanan yang berlebih berpotensi menimbulkan kapasitas yang
berlebih (over capacity). Overcapacity yang berlangsung terus menerus akan
menyebabkan overfishing, sehingga hal ini tentu saja akan dapat menghambat
terwujudnya perikanan yang berkelanjutan dan lestari (Modul EAFM, 2012).
Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengetahui tingkat
intensitas penangkapan ikan dan perkiraan dampaknya terhadap kelestarian
sumber daya ikan di suatu wilayah perairan tertentu. Berdasarkan hasil analisa
survey, indikator fishing capacity dan effort diberikan status buruk. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hasil tangkapan per unit usaha (CPUE) mengalami
penurunan dalam 4 tahun terakhir, dan berdasarkan interview didapatkan 67,73%

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 44


responden yang menyatakan telah terjadi penurunan hasil tangkapan dalam kurun
waktu 5 tahun terakhir (2008 - 2012), Sedangkan dari ukuran ikan dalam 5 tahun
terakhir 87,64% responden (baik untuk nelayan ikan pelagis kecil/besar dan
demersal) yang menyatakan berukuran relatif sama, sementara trip penangkapan
cukup besar dengan rata-rata trip per alat tangkap yaitu: jaring insang
hanyut/dasar 6-8 jam, pancing 8 jam, purse seine 6-7 jam, long line 10 jam, pole
and line 6-7 jam, bagan apung 8 jam, dan lampara 8 jam.
Hal ini menunjukan bahwa aktifitas penangkapan yang dilakukan oleh
nelayan demersal dan pelagis cenderung meningkat dengan menambahkan effort
dalam penangkapannya, baik melalui lamanya waktu melaut dan frekuensi trip.
Penilaian keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan
perikanan dapat diindikasikan dengan meningkat atau menurunnya
kecenderungan fishing capacity dan effort. Bila kecenderungannya relatif
tetap, apalagi menurun, maka pengelolaan perikanannya dapat dianggap
berhasil dalam mengendalikan input perikanan, namun sebaliknya,
pengelolaan perikanan dianggap belum berhasil, bila kecenderungannya selalu
terus meningkat. Oleh karena itu berlebihnya input perikanan (armada
penangkapan ikan) berpotensi menimbulkan degradasi sumber daya ikan.

4.1.3.4 Indikator Selektivitas Penangkapan Ikan


Selektivitas penangkapan didefinisikan sebagai aktivitas penangkapan ikan
yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan.Pemilihan
indikator ini dilakukan karena selektivitas penangkapan yang rendah akan
memberikan dampak langsung
terhadap kelestarian sumber daya
ikan. Kriteria penilaian baik atau
buruknya indikator selektivitas
penangkapan dalam pengelolaan
perikanan dengan pendekatan
ekosistem di suatu perairan, adalah
dengan menghitung prosentase

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 45


penggunaan alat tangkap yang tergolong tidak atau kurang selektif terhadap
jumlah total alat tangkap yang ada di suatu perairan tertentu.
Alat tangkap yang tergolong memiliki selektivitas tinggi antara lain :
Pancing; jaring insang; alat pengumpul kerang; jaring angkat (bagan perahu,
bagan tancap), pukat cincin (purse seine), perangkap (Sero, Bubu). Sedangkan
yang tergolong selektivitas rendah antara lain : Pukat hela (pukat udang, pukat
ikan); pukat kantong (lampara, pukat pantai);dan muroami (Modul EAFM, 2012).
Indikator selektivitas penangkapan diberikan status baik yaitu alat
tangkap yang kurang selektif berada < 50% berdasarkan proporsi alat tangkap
yang digunakan oleh responden yang diwawancarai. Analisa prosentase
penggunaan alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau kurang selektif (PS')
mendapatkan nilai= 18,75%, karena dari total 16 jenis alat tangkap yang
digunakan (bagan apung, bubu, jaring insang dasar, jaring insang hanyut, kelong,
lampara, long line, panah, pancing dasar, pancing hanyut, pancing tonda, pole and
line, pukat hiu, pukat kombong, purse seine, dan tombak) terdapat 3 alat tangkap
yang berselektivitas rendah yaitu: lampara, pukat hiu, dan pukat kombong,
sedangkan jika menggunakan data statistik perikanan tangkap provinsi NTT tahun
2010. Nilai selektifitas alat tangkap di kabupaten Flores Timur sebesar 17,2%
yang juga digolongkan pada kriteria baik.

4.1.3.5 Indikator Kesesuaian Fungsi dan Ukuran Kapal Penangkapan Ikan


dengan Dokumen Legal
Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen
legal didefinisikan sebagai perbandingan antara dokumen surat legal yang dimiliki
dengan aktivitas nyata dari fungsi dan dimensi ukuran kapal dalam melakukan
operasi penangkapan ikan. Pemilihan indikator ini dilakukan, karena bila antara
surat ijin yang dikeluarkan berbeda dengan aktivitas kenyataan yang ada, maka
hal ini dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar aturan atau illegal fishing,
dan secara tidak langsung tentunya akan berpotensi mengancam kelestarian
sumber daya ikan. Akibat selanjutnya tentu akan sulit atau bahkan tidak akan
mungkin mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggungjawab (responsible
fisheries) (Modul EAFM, 2012).

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 46


Indikator kesesuaian
fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikan dengan
dokumen legal diberikan status
buruk (nilai 10) dengan kriteria
>50% responden tidak memiliki
kesesuaian fungsi dan ukuran
kapal. Berdasarkan hasil interview 83,8% responden tidak memliki izin, hanya
16,2% saja armada yang memiliki izin. Armada yang memiliki dokumen kesesuai
ukuran kapal adalah armada diatas 5GT, sedangkan mayoritas responden
merupakan armada dibawah 5 GT, sehingga penilaian indikator ini menjadi
rendah. Pemerintah Daerah sebaiknya melakukan pendataan dan pendaftaran
setiap armada kecil (<5GT) yang ada dikabupaten Flores Timur, sehingga selain
mempermudah analisa kesesuain fungsi dan ukuran kapal, informasi ini dapat
digunakan dalam analisa indikator fishing capacity.

4.1.3.6 Indikator Sertifikasi Awak Kapal Perikanan Sesuai dengan Peraturan


Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan dapat
didefinisikan sebagai awak kapal perikanan yang telah memenuhi syarat
kecakapan tertentu untuk bekerja diatas kapal. Sertifikasi awak kapal dilakukan
dengan manfaat untuk penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung
jawab oleh awak kapal perikanan. Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk
mengestimasi tingkat prosentase sampel kapal penangkapan ikan yang
dioperasikan oleh awak kapal yang bersertifikat sesuai dengan peraturan dan
perkiraan penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab di suatu
wilayah perairan tertentu (Modul EAFM, 2012).
Tantangan analisa indikator sertifikasi awak kapal perikanan di kabupaten
Flores Timur adalah responden didominasi oleh kapal perikanan dibawah 5 GT
dan terdidentifikasi bahwa tidak memiliki sertifikasi awak kapal. karena tidak bisa
terukur secara formal, hanya berdasarkan pengalaman saja. Oleh karena itu
indikator ini diberikan status buruk. Sebaiknya indikator ini perlu disesuaikan
kembali dengan mempertimbangkan armada kecil yang berada diperairan

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 47


kabupaten Flores Timur. Faktor keselamatan pada aktivitas penangkapan (Sea
Safety) di daerah dengan dominasi armada kecil menjadi salah satu indikator yang
perlu dipertimbangkan dalam domain ini.

Gambar 6. Agregat Domain Teknis Penangkapan Ikan


Secara keseluruhan domain teknis penangkapan ikan di Kabupaten Flores
Timur diberikan status sedang atau kuning dengan nilai komposit 180 dari nilai
total nilai komposit 300. 6 indikator yang diuji/dianalisis terdapat 2 indikator yang
berstatus baik yaitu modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
dan selektivitas penangkapan), sedangkan 4 indikator lainnya berstatus buruk.
Tingginya frekuensi destructive fishing merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh besar terhadap rendahnya status domain Teknik penangkapan ikan
dan juga berpengaruh negatif terhadap domain lainnya terutama pada domain
habitat dan ekosistem. Begitu pula dengan indikator Fishing capacity, berlebihnya
kapasitas input perikanan, yakni armada penangkapan ikan yang digunakan untuk
menghasilkan hasil tangkapan ikan cenderung meningkat namun tidak diiringi
dengan peningkatan hasil tangkapan yang signifikan. Oleh karena itu perlunya
kebijakan yang menganut prinsip kehati-hatian dalam upaya penambahan unit
armada pada perikanan tertentu baik untuk perikanan demersal maupun pelagis.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 48


4.1.4. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Sosial
Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain
sosial berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini.

Tabel 9. Analisis Komposit Domain Sosial


DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
1. Partisipasi Keterlibatan Recording partisipasi 1 = kurang dari 50%; 1 40 40
pemangku pemangku dilaksanakan secara 2 = 50-100%;
kepentingan kepentingan kontinyu sesuai dengan 3 = 100 %
pentahapan pengelolaan
perikanan. Evaluasi dari
record ini dilakukan
setiap tahap dan siklus
pengelolaan.

2. Konflik Resources conflict, Arahan pengumpulan 1 = lebih dari 5 1 35 35


perikanan policy conflict, data konflik adalah kali/tahun;
fishing gear conflict, setiap semester (2 kali 2 = 2-5 kali/tahun;
konflik antar sector. setahun) atau sesuai 3 = kurang dari 2
musim (asumsi level of kali/tahun
competition berbeda by
musim)
3. Pemanfaatan Pemanfaatan Recording pemanfaatan 1 = tidak ada; 1 25 25
pengetahuan pengetahuan lokal TEK dilaksanakan secara 2 = ada tapi tidak
lokal dalam yang terkait dengan kontinyu sesuai dengan efektif;
pengelolaan pengelolaan pentahapan pengelolaan 3 = ada dan efektif
sumberdaya ikan perikanan perikanan. Evaluasi dari digunakan
(termasuk di record ini dilakukan
dalamnya TEK, setiap siklus pengelolaan
traditional dan dilakukan secara
ecological partisipatif
knowledge)

Agregat 100

4.1.4.1 Indikator Partisipasi Pemangku Kepentingan


Partisipasi pemangku kepentingan merupakan frekuensi keiikutsertaan
pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Jumlah
kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti oleh pemangku kepentingan
dihitung kemudian dibandingkan dengan seluruh kegiatan pengelolaan
sumberdaya ikan yang pernah dilakukan di lokasi yang diteliti. Pengukuran
partisipasi pemangku kepentingan ini bertujuan untuk melihat keaktifan
pemangku kepentingan dalam seluruh kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan.
Tingkat keaktifan pemangku kepentingan sangat menentukan keberhasilan
kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin aktif pemangku

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 49


kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat
keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan (Modul EAFM, 2012).
Data penelitian menunjukkan bahwa hanya 3% responden yang
menyatakan adanya keterlibatan dan kesepakatan dalam aktivitas pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut, kegiatan dan kesepakatan tersebut antara lain: tetap
menjaga kelestarian sumberdaya laut, tukar pikiran sesama nelayan, dan
sosialisasi terhadap masyarakat tentang habitat dan lingkungan laut. Status buruk
diberikan untuk indikator ini karena dari 100 responden, 97% responden tidak
berpartisipasi dan tidak aktif dalam kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Flores Timur. Pelibatan
masyarakat dalam setiap proses pembangunan mulai dari pembuatan perencanaan,
implementasi, pemantauan hingga evaluasi dalam perlu dilakukan, diketahui
bahwa salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam perencanaan adalah melalui
kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) baik ditingkat
desa hingga kabupaten.

4.1.4.2 Indikator Konflik Perikanan


Konflik perikanan merupakan pertentangan yang terjadi antar nelayan
akibat perebutan fishing ground (resources conflict) dan benturan alat
tangkap (fishing gear conflict). Konflik perikanan juga dapat terjadi akibat
pertentangan kebijakan (policy conflict) pada kawasan yang sama atau
pertentangan kegiatan antar sektor. Konflik diukur dengan frekuensi terjadinya
konflik sebagai unit indikator. Indikator ini bertujuan untuk melihat potensi
kontra produktif dan tumpang
tindih pengelolaan yang berakibat
pada kegagalan implementasi
kebijakan pengelolaan
sumberdaya ikan. Semakin tinggi
frekuensi konflik perikanan,
semakin sulit pengelolaan
sumberdaya perikanan. Demikian
pula sebaliknya, semakin rendah

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 50


frekuensi terjadinya konflik diharapkan semakin mudah implementasi
pengelolaan sumberdaya perikanan (Modul EAFM, 2012).
Hasil analisis data primer (wawancara nelayan) menyatakan bahwa,
konflik wilayah penangkapan terkategori rendah, karena 92% responden
menyatakan tidak terjadi konflik perebutan wilayah penangkapan dan hanya 8%
menyatakan adanya konflik karena perebutan kepemilikan rumpon dan
penggunaan bom ikan. Untuk konflik kategori antar alat tangkap 93% responden
menyatakan tidak terjadi konflik yang dimaksud, sementara kategori konflik antar
kebijakan atau aturan hanya 6% responden yang menyatakan adanya konflik
dikarenakan adanya perebutan lahan penangkapan, dan dari ketiga bentuk konflik
tersebut rata-rata frekuensi kurang dari 2 kali dalam setahun. Namun berdasarkan
hasil pencatatan tangkapan tuna (logbook) teridentifikasi aktivitas pemboman
yang terjadi lebih besar dari 5 kasus per tahun pada musim tuna dan didukung
juga dengan informasi dari nelayan Balauring, Kabupaten Lembata yang telah
dikumpulkan sebelumnya di lapangan terjadi konflik pemanfaatan sumberdaya
ikan di rumpon perairan Balauring antara kapal Pole and Line asal Kabupaten
Flores Timur dengan nelayan tuna didesa ini. Oleh karena itu status konflik pada
indikator tergolong tinggi atau dalam status buruk.
Konflik perikanan terkait wilayah tangkap antara nelayan Pole and Line
pada rumpon nelayan Lembata dan wilayah tangkap perikanan demersal
diwilayah Kabupaten Lembata seperti Loang, Tanjung Naga dan Batu Lobang.
Tantangan pada perikanan dikabupaten kepulauan terutama pada perikanan
pelagis adalah wilayah penangkapan jenis ikan migrasi tidak terpaut dengan
wilayah administrasi kabupaten. Oleh karena perlu adanya kesepakatan bersama
yang mendukung pengelolaan perikanan dengan kabupaten tetangga. Baik
mengatur mengenai pengaturan nelayan, rumpon, pendaratan ikan, investasi
sarana pendukung pasca tangkapan, hingga pencatatan hasil tangkapan.

4.1.4.3 Indikator Pemanfaatan Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan


Sumberdaya Ikan
Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan
merupakan ukuran dari keberadaan serta keefektifan pengetahuan lokal dalam

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 51


kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Ada tidaknya pengetahuan lokal dalam
kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti oleh efektif tidaknya
penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang
pernah dilakukan di lokasi yang diteliti. Tingkat keefektifan penerapan
pengetahuan lokal sangat menentukan keberhasilan kegiatan pengelolaan
sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin efektif penerapan pengetahuan lokal
dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan
pengelolaan sumberdaya ikan
Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya
ikan diberikan status rendah (nilai 25), hal ini dikarenakan dari 98 responden yang
diwawancarai 70% responden menyatakan tidak adanya pengetahuan lokal dalam
pengelolaan sumberdaya ikan dan 30% responden tidak memberikan jawaban.
Kearifan lokal yang telah teridentifkasi adalah adanya prosesi adat dalam
perburuan pari manta di desa Motonwutun dan Watobuku, namun kearifan lokal
tersebut tidak secara spesifik mengatur penangkapan ikan target. Kajian lebih
mendetail di setiap desa pesisir perlu diidentifikasi lebih lanjut, dikarenakan
kearifan lokal yang ada pun masih bisa didorongkan untuk mendukung
pengeloaan perikanan yang lebih selektif dan tetap mengakomodir nilai-nilai
budaya setempat.

Gambar 7. Agregat Domain Sosial


Secara keseluruhan domain sosial di Kabupaten Flores Timur diberikan
status buruk dengan nilai komposit 100 dari nilai total komposit 300, karena dari 3
indikator yang diuji/dianalisis semuanya berstatus buruk. Pentingnya
meningkatkan pemahaman dan mengefisiensikan pelibatan masyarakat dalam

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 52


setiap pembangunan terutama dalam pengelolaan wilayah laut sangat dibutuhkan,
adanya kerjasama diantara Pemerintah Daerah kabupaten Flores Timur dan
Kabupaten Lembata dalam pemanfaatan sumberdaya ikan perlu diperjelas, karena
tantangan pada kabupaten kepulauan adalah pemanfaatan perikanan yang sulit
dibatasi dalam wilayah administrasi. Perlunya mengidentifikasi kembali kearifan
lokal diwilayah pesisir dan mendorong hak ulayat terhadap pemanfaatan wilayah
laut yang berkelanjutan perlu menjadi agenda dalam peningkatan perencanaa
pemberdayaan masyarakat kedepannya.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 53


4.1.5. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Ekonomi
Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain
ekonomi berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di bawah ini.

Tabel 10. Analisis Komposit Domain Ekonomi


DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
1. kepemilikan aset perubahan Arahan frekuensi 1 = nilai aset berkurang 2 35 70
nilai/jumlah survey dan (lebih dari 50%) ;
aset usaha RTP pengumpulan data 2 = nilai aset tetap
cat :aset usaha pendapatan RTP (kurang dari 50%);
perikanan atau adalah menurut 3 = nilai aset bertambah
aset RT. musim tangkapan ikan (di atas 50%)
2. Nilai Tukar Rasio Pengumpulan data 1 = kurang dari 100, 1 30 30
Nelayan (NTN) penerimaan NTN menggunakan
terhadap sumber sekunder (BPS 2 = 100,
pengeluaran. dan PUSDATIN) yang 3 = lebih dari 100
dikumpulkan setiap
tahun
3. Pendapatan Pendapatan Arahan frekuensi 1= kurang dari rata-rata 3 20 60
rumah tangga total RTP yang survey (atau UMR,
(RTP) dihasilkan dari penggunaan 2= sama dengan rata-
usaha RTP note/catatan yang ada rata UMR,
di lapangan, mis: 3 = > rata-rata UMR
pengumpul ikan) dan
pengumpulan data
pendapatan RTP
adalah menurut
musim tangkapan ikan
4. Saving rate menjelaskan Arahan frekuensi 1 = kurang dari bunga 3 15 45
tentang rasio survey dan kredit pinjaman;
tabungan pengumpulan data 2 = sama dengan
terhadap pendapatan RTP bungan kredit
income adalah menurut pinjaman;
musim tangkapan ikan 3 = lebih dari bunga
kredit pinjaman
Agregat 205

4.1.5.1 Indikator Kepemilikan Aset


Kepemilikan aset merupakan perbandingan antara jumlah aset produktif
yang dimiliki rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Bila aset
produktif dari rumah tangga nelayan bertambah maka diberi nilai tinggi dan
sebaliknya. Aset produkstif merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk
kegiatan penangkapan ikan, budidaya ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan
ikan, bahkan kegiatan ekonomi lainnya seperti pertanian. Pengukuran

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 54


kepemilikan aset ini bertujuan untuk melihat kemampuan rumah tangga
nelayan dalam meningkatkan usaha ekonominya (Modul EAFM, 2012).
Data penelitian menunjukkan bahwa hanya 9,38% responden menyatakan
bahwa terjadi penambahan aset produktif berupa mesin dan alat tangkap,
sementara 90,62% menyatakan tidak terjadi pertambahan (tetap) aset produktif
yang mendukung pekerjaan sebagai nelayan. Aset produktif yang teridentifikasi
berupa alat tangkap, mesin perahu, perahu dan lahan atau rumah, sedangkan aset
non produktif berupa barang elektronik seperti TV, sound system dan VCD. Oleh
Karena itu indikator kepemilikan aset teridentifikasi masih dalam status sedang.

4.1.5.2 Indikator Nilai Tukar Nelayan


Indikator selanjutnya adalah Nilai Tukar Nelayan yang didefinsikan
sebagai rasio perbandingan antara pendapatan dengan pengeluaran rumah tangga
nelayan. Pengukuran nilai tukar ini bertujuan untuk melihat kemampuan
rumah tangga nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan
primer (pangan) maupun kebutuhan sekunder (non pangan) (Modul EAFM,
2012).
Berdasarkan analisa
diberikan status rendah, hal
ini bukan disebabkan karena
pendapatan nelayan lebih
kecil atau pengeluaran besar
dari pendapatan, namun tidak
tersedia data nilai tukar
nelayan dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Flores Timur, yang teridentifikasi
adalah Nilai Tukar Petani. Dengan ketiadaan data indikator NTN, kami
menyarankan kepada kepada instansi yang punya kompeten dalam hal ini BPS
Kabupaten Flores Timur, agar kedepannya data menyangkut NTN perlu
disiapkan, karena NTN merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat nelayan.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 55


4.1.5.3 Indikator Pendapatan Rumah Tangga Perikanan
Pendapatan rumah tangga perikanan merupakan seluruh pendapatan
yang diterima rumah tangga nelayan, yang bersumber dari pendapatan kepala
rumah tangga serta anggota rumah tangga, baik yang berasal dari bidang
perikanan maupun di luar bidang perikanan. Ukuran pendapatan adalah
rupiah/kepala keluarga/bulan. Indikator pendapatan rumah tangga menggunakan
upah minimum regional (UMR) sehingga bila pendapatan rumah tangga sama
dengan UMR maka rumah tangga perikanan tersebut dapat dikatakan tidak miskin
(Modul EAFM, 2012).

Gambar 8. Pendapatan Nelayan Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap

Berdasarkan hasil analisa indikator pendapatan rumah tangga (RTP)


dikabupaten Flores Timur termasuk dalam kategori Baik. Gambar 8 menunjukkan
bahwa dari 8 jenis alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga
perikanan untuk kategori perikanan pelagis, didapatkan nilai rata-rata terendah
sebesar Rp.1.167.398 per bulan untuk alat tangkap jaring insang dan tertinggi
untuk alat tangkap purse seine sebesar Rp. 6.361.555 per bulannya, dengan data
ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Kabupaten Flores Timur
sudah cukup baik berdasarkan nilai UMR Provinsi NTT Rp. 825.000 pada tahun
2011.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 56


Gambar 9. Pendapatan Nelayan Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap

Demikian juga dengan perikanan demersal pada Gambar 9, dari 4 jenis


alat tangkap yang dianalisis pendapatan rumah tangga perikanan, didapatkan nilai
rata-rata terendah sebesar Rp. 667.000 per bulan untuk alat tangkap bubu dan
tertinggi untuk alat tangkap jaring insang sebesar Rp. 905.915 per bulannya,
dengan data ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Kabupaten
Flores Timur sudah cukup baik karena kisaran nilai RTP perikanan demersal tidak
terlampau kecil dari nilai UMR Provinsi NTT.
Perkembangan armada dan alat penangkapan ikan di Kabupaten Flores
Timur dalam kurun waktu tahun 2006-2010 cenderung meningkat dan
berorientasi ke penggunaan armada dan alat penangkapan ikan modern.
Peningkatan ini dapat dipahami mengingat rumah tangga perikanan di Kabupaten
Flores Timur cenderung membaik kondisi ekonominya, namun disatu sisi hasil
tangkapan terus menurun (CPUE), berdasarkan hal tersebut peningkatan usaha
penangkapan sumberdaya ikan tidak berbanding lurus terhadap hasil tangkapan
dan kondisi perekonomian, namun nilai (harga) dari hasil tangkapan yang yang
mendorong perbaikan ekonomi masyarakat nelayan. Peningkatan kualitas hasil
tangkapan jauh lebih baik dibandingkan kuantitas penangkapan.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 57


4.1.5.4 Indikator Rasio Tabungan atau Saving Ratio
Rasio tabungan atau saving ratio (SR) merupakan rasio perbandingan
antara selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan dengan
pendapatannya. Pengukuran rasio tabungan (SR) ini bertujuan untuk melihat
potensi rumah tangga nelayan dalam menyimpan kelebihan pendapatannya
(Modul EAFM, 2012)
Berdasarkan hasil analisa pada indikator saving rate pada nelayan pelagis
dan demersal diberikan status baik. Data penelitian menunjukkan nilai tertinggi
saving ratio pada alat tangkap purse seine sebesar Rp. 5.427.735 dan terendah
pada alat tangkap huhate yang mendapatkan nilai minus (Gambar 10). Data ini
memberikan gambaran bahwa potensi nelayan di Flores Timur untuk menabung
cukup baik, sementara untuk SR pada alat tangkap huhate yang mendapatkan nilai
minus bukan berarti penggunaan alat tangkap ini tidak memberikan keuntungan
bahkan tidak punya peluang menabung bagi nelayan huhate, namun lebih
disebabkan responden tidak memberikan informasi yang sesuai. terkait
pengeluaran rumah tangga dan penghasilan tambahan dari rumah tangga
perikanan tersebut.

Gambar 10. Saving Ratio Perikanan Pelagis per Jenis Alat Tangkap

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 58


Gambar 11. Saving Ratio Perikanan Demersal per Jenis Alat Tangkap

Untuk saving ratio perikanan demersal (Gambar 11) juga menunjukkan


pola yang hampir sama dengan perikanan pelagis, dimana alat tangkap senapan
dan pancing mendapatkan nilai minus. Hal ini disebabkan juga responden tidak
memberikan informasi yang sesuai.

Gambar 12. Agregat Domain Ekonomi

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 59


Berdasarkan perhitungan komposit yang ditunjukan pada gambar 12.
Secara keseluruhan domain ekonomi di Kabupaten Flores Timur diberikan status
baik dengan nilai komposit 205 dari nilai komposit total sebesar 300. Hal ini
dikarenakan 4 indikator yang diuji/dianalisis hanya 1 indikator yang berstatus
buruk yaitu Nilai Tukar Nelayan/NTN, sedangkan 3 indikator lainnya berstatus
baik dan sedang
Kajian lebih lanjut terkait tingkat menabung nelayan masih perlu
dilakukan, dikarenakan Rasio tingkat menabung atau Saving Rate merupakan
salah satu indikator kesejahteraan masyarakat nelayan. Memberikan pemahaman
terhadap management ekonomi rumah tangga dengan memprioritaskan
pengeluaran produktif, pendidikan, dan kesehatan dapat menata kembali
kesejahteraan masyarakat nelayan di Flores Timur dengan tingkat pendapatannya
yang memang sudah baik.
Salah satu solusi dalam menyikapi tren menurunnya produksi perikanan
tangkap adalah melalui budidaya terutama pada komoditi rumput laut, dalam
kajian kelayakan bisnis disektor budidaya rumput laut di kabupaten Flores Timur
tahun 2012, menyebutkan bahwa nilai keuntungan dalam berinvestasi rumput laut
menghasilkan 1,34-3,04 kali dari modal awal dengan kurun waktu 4 bulan hingga
12 bulan. Terutama pada Desa Wure, Kelurahan Ritaebang, Wure dan desa
Waiwuring. Layaknya kondisi perairan disepanjang perairan Kabupaten Flores
Timur turut mendukung sehat sectkr ini. Pengalaman nelayan pembudidaya
mengenai metode budidaya sudah baik, mendorong perbaikan dalam teknis
penanganan hasil panen akan mendorong harga rumput laut yang lebih berkualitas
dan bernilai tinggi. Dalam mendorong pemasaran produk dan nilai ekonomis
produk rumput laut ini ditataran masyarakat perlu juga mempersiapkan Kelompok
Usaha Bersama (KUB) dalam langkah awal dalam pembentukan koperasi nelayan
yang memiliki keunggulan dalam akses permodalan.
.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 60


4.1.6. Hasil Penilaian Per Indikator Pada Domain Kelembagaan
Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain
kelembagaan berdasarkan hasil analisis EAFM ditampilkan dalam Tabel di
bawah ini

Tabel 11. Analisis Komposit Domain Kelembagaan


DEFINISI/ MONITORING/ BOBOT
INDIKATOR KRITERIA SKOR NILAI
PENJELASAN PENGUMPULAN (%)
1. Kepatuhan Tingkat kepatuhan Monitoring ketaatan: 1= lebih dari 5 kali terjadi 2 25 62.5
terhadap prinsip- (compliance) 1. Laporan/catatan pelanggaran hukum dalam
prinsip perikanan seluruh pemangku terhadap pelanggaran pengelolaan perikanan;
yang bertanggung kepentingan WPP formal dari pengawas, 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran
jawab dalam terhadap aturan 2. hukum;
pengelolaan main baikformal Wawancara/kuisioner 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran
perikanan yang maupun tidak (key person) terhadap hukum
telah ditetapkan formal pelanggaran non formal
Non formal 3
baik secara formal termasuk ketaaatan
1= lebih dari 5 informasi
maupun non-formal terhadap peraturan
pelanggaran,
(Alat) sendiri maupun
2= lebih dari 3 informasi
peraturan diatasnya
pelanggaran,
3= tidak ada informasi
pelanggaran

2. Kelengkapan Sejauh mana 1) Benchmark sesuai 1 = tidak ada; 2 22 44


aturan main dalam kelengkapan dengan Peraturan 2 = ada tapi tidak lengkap;
pengelolaan regulasi dalam nasional, 3 = ada dan lengkap
perikanan pengelolaan 2) membandingkan
perikanan situasi sekarang dengan Elaborasi untuk poin 2 2
yang sebelumnya 1= ada tapi jumlahnya berkurang;
3) replikasi kearifan 2= ada tapi jumlahnya tetap;
lokal 3= ada dan jumlahnya bertambah

Ada atau tidak Survey dilakukan 1=tidak ada penegakan aturan 2


penegakan aturan melalui wawancara/ main;
main dan kuisioner: 2=ada penegakan aturan main
efektivitasnya 1) ketersediaan alat, namun tidak efektif;
orang 3=ada penegakan aturan main dan
2) bentuk dan efektif
intensitas penindakan 1= tidak ada alat dan orang; 2
(teguran, hukuman) 2=ada alat dan orang tapi tidak
ada tindakan;
3= ada alat dan orang serta ada
tindakan
1= tidak ada teguran maupun 2
hukuman;
2= ada teguran atau hukuman;
3=ada teguran dan hukuman
3. Mekanisme Ada atau tidaknya Survey dilakukan 1=tidak ada mekanisme 2 18 36
pengambilan mekanisme dengan : analisis pengambilan keputusan;
keputusan pengambilan dokumen antar 2=ada mekanisme tapi tidak
keputusan dalam lembaga dan analisis berjalan efektif;
pengelolaan stakeholder melalui 3=ada mekanisme dan berjalan
perikanan wawancara/kuisioner efektif

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 61


1= ada keputusan tapi tidak 2
dijalankan;
2= ada keputusan tidak
sepenuhnya dijalankan;
3= ada keputusan dijalankan
sepenuhnya
4. Rencana Ada atau tidaknya Survey dilakukan 1=belum ada RPP; 1 15 15
pengelolaan RPP untuk wilayah dengan 2=ada RPP namun belum
perikanan pengelolaan wawancara/kuisioner: sepenuhnya dijalankan;
perikanan dimaksud 1. Adakah atau tidak 3=ada RPP dan telah dijalankan
RPP disuatu daerah sepenuhnya
2. Dilaksanakan atau
tidak RPP yang telah
dibuat
5. Tingkat Semakin tinggi Survey dilakukan 1=konflik antar lembaga (kebijakan 3 11 33
sinergisitas tingkat sinergi antar dengan : analisis antar lembaga berbeda
kebijakan dan lembaga (span of dokumen antar kepentingan);
kelembagaan control-nya rendah) lembaga dan analisis 2 = komunikasi antar lembaga
pengelolaan maka tingkat stakeholder melalui tidak efektif;
perikanan efektivitas wawancara/kuisioner 3 = sinergi antar lembaga berjalan
pengelolaan baik
perikanan akan
semakin baik
Semakin tinggi Survey dilakukan 1= terdapat kebijakan yang saling 3
tingkat sinergi antar dengan : analisis bertentangan;
kebijakan maka dokumen antar 2 = kebijakan tidak saling
tingkat efektivitas lembaga dan analisis mendukung;
pengelolaan stakeholder melalui 3 = kebijakan saling mendukung
perikanan akan wawancara/kuisioner
semakin baik
6. Kapasitas Seberapa besar Survey dilakukan 1=tidak ada peningkatan; 3 9 27
pemangku frekuensi dengan 2 = ada tapi tidak difungsikan;
kepentingan peningkatan wawancara/kuisioner 3 = ada dan difungsikan
kapasitas terhadap:
pemangku 1) Ada atau tidak,
kepentingan dalam berapa kali
pengelolaan 2) Materi
perikanan berbasis
ekosistem
7. Keberadaan Dengan adanya Survey dilakukan 1= tidak ada single authority ;
otoritas tunggal single authority dengan : analisis 2 = lebih dari satu authority;
1 4 4
pengelolaan akan meningkatkan dokumen antar 3 = ada single authority
perikanan efektivitas lembaga
kelembagaan
pengelolaan
perikanan
AGREGAT 221,5

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 62


4.1.6.1 Indikator Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah
ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat)

Dalam bidang perikanan, berbagai peraturan baik formal maupun informal


telah banyak dibuat untuk menjamin keberlanjutan perikanan. Beberapa peraturan
formal guna menjamin perikanan berkelanjutan telah dikeluarkan dalam berbagai
skala. Pada lingkup internasional, telah ditetapkan Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) sebagai menjadi asas dan standar internasional
mengenai pola perilaku bagi praktek perikanan yang bertanggungjawab. Pada
level nasional, telah dikeluarkan berbagai perundangan dalam skala tingkat
keputusan yang berbeda-beda mulai dari undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan menteri dan sampai peraturan daerah terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Demikian halnya di tingkat masyarakat, sebagian masyarakat pesisir
di Indonesia telah mengembangkan aturan dan norma-norma dalam mengelola
sumberdaya perikanan. Hukum adat tersebut terbukti sampai saat ini masih dapat
diterapkan dengan baik karena mengikat masyarakat secara sosial yang ditandai
dengan aspek kepatuhan (comlience) terhadap aturan. Kapatuhan kadangkala
tidak menjadi longgar ketika dibangun dalam bentuk hukum formal. Hukum
positif (formal) seringkali alpa dalam mendorong kesadaran masyarakat untuk
mentaatinya. Tetapi hukum sosial sebagaimana yang terjadi dalam hukum adat
seringkali justru membangun kesadaran masyarakat untuk mentaatinya (Modul
EAFM, 2012).
Indikator kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal
maupun non-formal diberikan status sedang. Hasil wawancara dengan pihak DKP
menyebutkan bahwa dalam setahun tercatat 3 pelanggaran, yaitu: 1) Perijinan
tidak lengkap dengan kategori ringan dan dilakukan pembinaan serta melengkapi
dokumen sesuai kebutuhan, 2) Pelanggaran daerah penangkapan dengan kategori
ringan dan dilakukan pembinaan, 3) Cara penangkapan tidak ramah lingkungan
dengan kategori berat dan dilakukan sosialisasi, pembinaan, pemberian sanksi dan

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 63


denda sesuai peraturan daerah yang berlaku. Untuk pelangaran terhadap aturan
non formal tidak ada informasi pelanggaran.
Berdasarkan hasil kajian aktivitas pelanggaran penangkapan merusak terus
terulang, terutama ketika musim migrasi tuna. Tidak hanya meningkatkan
frekuensi pengawasan daerah perairan, pengembangan sistem pengawasan melalui
aturan non formal perlu dikembangkan di kabupaten Flores Timur.
Mengembangkan kembali kearifan lokal yang ada dalam mendukung pemanfaatan
perikanan yang lestari dengan hukuman sosial, serta perlunya serangkaian
pendidikan mengenai pemanfaatan dan perlindungan kawasan laut yang
berkelanjutan.

4.1.6.2 Indikator Kelengkapan Aturan Main dalam Pengelolaan Perikanan


Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan didefinisikan
sebagai tingkat ketersediaan regulasi (peraturan), peralatan, petugas dan
infrastruktur pengelolaan perikanan lainnya dan ada tidaknya penegakan aturan
main serta efektifitasnya dalam pengelolaan perikanan. Peraturan yang lengkap
menjadi dasar dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab.
Kelengkapan peraturan tidak secara otomatis dapat terimplementasi dengan baik.
Oleh karena itu dibutuhkan adanya penegakan aturan tersebut. Ketersediaan
aturan saja tidak cukup dan menjamin terlaksananya aturan dengan baik. Tetapi
harus diikusi dengan penegakan hukum yang nyata. Sehingga aturan yang dibuat
bersifat fungsional (Modul EAFM, 2012).
Indikator kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan diberikan
status sedang. Adanya beberapa peratuan yang mendukung upaya pemanfaatan
dan pelestarian sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Flores Timur, yaitu:
ketentuan perijinan usaha penangkapan ikan dan Peraturan Daerah Kabupaten
Flores Timur No.4 tahun 2005 tentang retribusi penggantian biaya administrasi.
Dari sisi jumlah aturan formal yang ada terdapat dalam jumlah yang tetap,
sementara jumlah pelanggaran yang tercatat pihak dinas terdapat pelanggaran
yang sudah diproses atau ditetapkan statusnya dan dilakukan penegakan aturan
main serta efektif.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 64


Adanya upaya dan kesadaran masyarakat dalam membantu pengawasan
terhadap tindak pidana di laut dan membantu dalam memberikan informasi
terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di laut. Namun terkait dalam
pengaturan sumberdaya perikanan belum dibakukan dalam bentuk produk hukum
yang ada baik berupa Surat Keputusan hingga Peraturan Daerah di kabupaten
Flores Timur. Perlunya aturan formal dalam mengelola perikanan di perairan
kabupaten Flores Timur perlu dilakukan dan juga perlunya mengadopsi aturan
perikanan nasional guna diterapkan di level kabupaten dengan disesuaikan kondisi
perairan yang ada guna mendukung perikanan berkelanjutan di kabupaten Flores
Timur.

4.1.6.3 Indikator Mekanisme Pengambilan Keputusan


Mekanisme kelembagaan didefinisikan sebagai metode/prosedur
kelembagaan dalam masyarakat dibangun. Kelembagaan itu sendiri menurut
Douglas North, Shaffer (1995) and Coase sebagai peraturan formal dan informal
yang mengatur atau mempengaruhi perilaku masyarakat seiring interaksi mereka
dalam aktivitas politik dan ekonomi. Tujuan penggunaan indikator ini dalam
domain kelembagaan adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas pengambilan
keputusan dalam pengelolaan perikanan. Mekanisme kelembagaan memastikan
bahwa semua sistem pengelolaan telah tersedia. Semua aturan main telah
disepakati dan menjadi prosedur baku dalam pengelolaan perikanan (Modul
EAFM, 2012)
Berdasarkan hasil analisa pada indikator ini di Kabupaten Flores Timur
digolongkan dalam status sedang. Secara spesifik belum tergambar dari rekapan
kuisioner tentang mekanisme pengambilan keputusan dalam pengelolaan
perikanan, namun dapat terlihat bahwa telah terbentuk wadah (kelembagaan
formal) yang mendukung mekanisme kelembagaan ditingkat masyarakat dan
selalu dibina/dipantau DKP Flores Timur yaitu kelompok masyarakat pengawasan
(Pokmaswas) yang sudah terbentuk sebanyak 7 kelompok yang tersebar di 7
kecamatan. Namun terkait implementatif, mekanisme kelembagaan dilevel
masyarakat tersebut kurang berjalan dengan efektif. Oleh karena itu langkah awal
untuk melihat efektifitas suatu mekanisme kebijakan berjalan dengan efektif,

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 65


perlu adanya kajian lebih lanjut terhadap efektivitas kebijakan perikanan yang
tepat guna mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

4.1.6.4 Indikator Rencana Pengelolaan Perikanan


Berdasarkan UU No.31/2004 tentang perikanan yang diubah menjadi UU
No,45/2009 tentang perikanan pasal 7 ayat 1 huruf a menjelaskan bahwa dalam
rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, menteri menetapkan
rencana pengelolaan perikanan (RPP). RPP merupakan pedoman dan acuan
dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial dalam
merencanakan, memanfaatkan dan mengawasi kegiatan perikanan. RPP dapat
dibangun berbasis kawasan perairan (perairan pesisir, perairan umum) atau
berbasis komoditas perikanan (RPP perikanan Bilih, RPP perikanan lemuru, dst).
RPP mutlak diperlukan sebagai stadar operasional dalam melaksanakan tata
kelola perikanan yang bertanggungjawab. Dengan demikian unit kegiatan dari
indikator RPP adalah ada tidaknya RPP dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan
(WPP) yang dimaksud dan sejauhmana RPP tersebut dijalankan (Modul EAFM,
2012) dilevel Pemerinta Daerah identifikasi terkait RPP dapat dilakukan disetiap
kebijakan daerah yang mendukung pengelolaan perikanan berbasis ekosistem,
seperti pada dokumen RTRW, Rencana Induk Kelautan dan Perikanan, Peraturan
Daerah maupun Surat Keputusan Bupati.
Berdasarkan hasil analisa Rencana Pengelolaan Perikanan dari dokumen
perencanaan yang daearh belum teridentifikasi, baik yang meliputi RTRW dan
Renstra. Dokumen yang teridentifikasi hanya berkaitan dengan penegakan aturan
yaitu pembentukan kelompok masyarakat pengawasan (Pokmaswas). Minimnya
perencanaan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dalam pembangunan,
dikhawatirkan pemanfaatan perikanan tidak terarah dengan baik. Penilaian
performa pemanfaatan perikanan melalui Kajian EAFM dapat menjadi dasar
dalam pembuatan Rencana Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan baik dalam
jangka pendek (tahunan) hingga jangka panjang yang terakomodir dalam RTRW.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 66


4.1.6.5 Indikator Tingkat sinergisitas antar kebijakan dan lembaga dalam
pengelolaan perikanan
Tingkat sinergisitas antar kebijakan dan lembaga dalam pengelolaan
perikanan dapat diartikan sebagai adanya keterpaduan gerak dan langkah antar
lembaga dan antar kebijakan dalam pengelolaan perikanan sehingga tidak
memunculkan adanya konflik kepentingan dan benturan kebijakan.Adapun
tingkat sinergitas yang diukur meliputi unsur perizinan, unsur operasional
pengelolaan perikanan, dan unsur konservasi dan pemulihan (Modul EAFM,
2012)
Indikator tingkat
sinergisitas kebijakan dan
kelembagaan pengelolaan
perikanan diberikan status baik.
Berdasarkan hasil analisa
interview responden yang
meliputi Bappeda, Dinas
Kelautan dan Perikanan, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata,
Kantor Lingkungan Hidup, Polaiur, Dinas Kehutanan menyatakan tidak ada
konflik yang tumpang tindih dalam kebijakan terkait pemanfaatan kelautan.
Kajian dokumen kebijakan masih lebih banyak mengadopsi Undang-Undang
nasional, oleh karena itu pendadaran dilevel kebijakan daerah perlu didorong
untuk menjawab permasalahan yang bersifat lokal. Melalui keterlibatan
Pemerintah Daerah dalam mendorong tahapan EAFM kedalam rencana
pengelolaan perikanan merupakan suatu bentuk sinergitas kebijakan yang meliputi
lintas SKPD.

4.1.6.6 Kapasitas Pemangku Kepentingan


Pengelolaan perikanan ditentukan oleh seberapa jauh kapasitas pemangku
kepentingan dalam mengelola perikanan. Ketersediaan peraturan tidak menjamin
dapat ditafsirkan dengan baik tanpa didukung oleh kapasitas pemangku
kepentingan yang memadai. Kapasitas pemangku kepentingan menentukan baik

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 67


buruknya kebijakan yang akan dipilih dalam pengelolaan perikanan. Kapasitas
pemangku kepentingan juga terlibat dalam menafsirkan perundangan yang
berlaku terkait dengan pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, semakin tinggi
tingkat kompetensi pemangku kepentingan, maka efektifitas pengelolaan
perikanan semakin terjamin (Modul EAFM, 2012)
Berdasarkan hasil analisa indikator kapasitas pemangku kepentingan
diberikan status baik. Semenjak tahun 2009 hingga tahun 2012, telah dilakukan
serangkaian peningkatan kapasitas terkait pengelolaan kelautan dan perikanan
yang dilakukan bersama WWF-Indonesia. Peningkatan kapasitas pemangku
kepentingan ditandai diinisiainya pembentukan tim terpadu Kawasan Konservasi
Perairan Daerah dan tim pengawasan sumberdaya laut (MCS) melalui SK Bupati,
dan turut terlibat aktif dalam kegiatan penelitian ekologi dan perikanan di
kabupaten Flores Timur. Upaya mendorong substansi pengelolaan perikanan
berbasis ekosistem dalam perencanaan daerah merupakan salah satu inisiasi
adanya peningkatan kebijakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan di
kabupaten Flores Timur.

4.1.6.7 Keberadaa Otoritas Tunggal Pengelolaan


Indikator keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan diberikan
status buruk. Belum ditemukan adanya single authority ditingkat kabupaten
mengacu pada dokumen RTRW yang ada. Pengelolaan perikanan dan mekanisme
pengambilan keputusan atas kebijakan dalam pengelolaan perikanan belum
teridentifikasi didalam dokumen perencanaan daerah. Saling berkaitannya dengan
indikator lainnya dalam domain kelembagaan, suatu produk hukum yang
mengatur pengelolaan perikanan di kabupaten Flores Timur sudah menjadi hal
yang urgensi untuk dilakukan dalam meningkatkan pemanfaatan perikanan yang
berkelanjutan.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 68


Gambar 13. Agregat Domain Kelembagaan
Secara keseluruhan domain kelembagaan di Kabupaten Flores Timur
diberikan status baik dengan nilai komposit 221,5 dari nilai total komposit 300,
karena dari 7 indikator yang diuji/dianalisis hanya 2 indikator yang berstatus
buruk yaitu belum teridentifikasinya rencana pengelolaan perikanan dan adanya
Keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan, sedangkan 5 indikator
lainnya berstatus baik dan sedang.
Domain kelembagaan sebagai domain yang mengkaji penataan institusi
(institutional arrangements) yang ditentukan oleh beberapa unsur seperti aturan
operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk
menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan
operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Modul EAFM,
2012) baik dilevel Pemerintahan dan juga lembaga adat melalui kearifan lokal) .
Kepatuhan terhadap prinsip-prisip perikanan yang bertanggungjawab baik yang
formal maupun berupa hukum adat, menjadi ukuran paling penting dalam
menjamin keberlanjutan perikanan, oleh karena ketegasan rencana pengelolaan
perikanan yang efektif baik berupa dokumen legal hingga hukum sosial perlu
ditingkatkan di kabupaten Floers Timur.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 69


BAB V
ANALISIS KOMPOSIT WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN

Dari hasil analisis komposit tematik yang telah dilakukan untuk setiap
aspek pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten Flores
Timur, tahapan selanjutnya adalah mengestimasi keragaan agregat wilayah
pengelolaan perikanan dengan menggunakan teknis komposit antar tematik. Hasil
estimasi tematik masing-masing aspek kemudian digabung menjadi satu indeks
dengan asumsi tidak ada perbedaan bobot masing-masing aspek. Dengan kata
lain, dalam analisis agregat seluruh aspek dianggap penting (Adrianto dkk, 2012).
Hasil analisis komposit agregat selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 14 berikut
ini.

Tabel.12 Status dan Performa Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Flores Timur

Domain Nilai Komposit Deskripsi

Sumberdaya Ikan 155 Sedang


Habitat & ekosistem 110 Buruk
Teknik Penangkapan Ikan 180 Sedang
Sosial 100 Buruk
Ekonomi 205 Baik
Kelembagaan 221.5 Baik
Aggregat 161.92 Sedang

Berdasarkan hasil analisis indeks dekomposit untuk Ecosystem Approach


to Fisheries Management di Kabupaten Flores Timur menunjukan status sedang
dengan flag modeling berwarna kuning dengan nilai akhir agregat sebesar 161,92
dari nilai maksimal 300. Domain yang perlu mendapat mendapat perhatian yaitu:
Domain Sumberdaya Ikan (untuk indikator CPUE Baku dan Spesies ETP),
Domain Habitat & Ekosistem (untuk indikator kualitas perairan, status terumbu
karang, habitat unik/khusus, produktivitas estuary, dan perubahan iklim terhadap
kondisi perairan), Domain Teknik Penangkapan Ikan (untuk indikator metode

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 70


penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan/atau illegal, fishing capacity dan
effort, kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen
legal, dan sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan), dan Domain
Sosial (untuk semua indikator).
Dari domain ekonomi, indikator saving rate sudah sangat baik (rata-rata
saving rate perikanan pelagis sebesar Rp. 1.716.337 dan rata-rata saving rate
perikanan demersal sebesar Rp. 244.968), ini menunjukkan bahwa kemampuan
nelayan menabung di Kabupaten Flores Timur terkategori baik. Sebagai salah satu
kabupaten penghasil produk eksport pelagis besar, pengembangan disektor
perikanan sudah selayaknya mentargetkan peningkatan ekonomi masyarakat
nelayan bukan hanya peningkatan kualitas hasil penangkapan dibandingkan
kuantitas untuk meningkatkan posisi tawar harga jual nelayan juga perlunya
kebijakan dalam mengurangi non IUU (Illegal, Unreported and Unregulated).
Melalui pencatatan hasil tangkapan nelayan baik skala besar hingga kecil,
terdaftarnya armada dan alat tangkap ditingkat desa dengan lebih efisien dan
menekan angka kerusakan sumberdaya laut dengan kebijakan pengawasan
perairan yang efisien.
Dari sisi potensi sumberdaya hayati laut, wilayah Laut Flores Timur
merupakan bagian terbesar dari total luas wilayah Flores Timur (69%). Hamparan
wilayah Laut Flores Timur yang terbentang antara pulau-pulau besar dan pulau-
pulau kecil, dengan selat dan teluk-teluk, mengandung potensi perikanan dan
kelautan yang kaya. Selain itu juga telah dibangun sebuah prasarana pendukung
bagi pengembangan usaha perikanan tangkap yaitu Pelabuhan Pendaratan Ikan di
Kota Larantuka. Dengan potensi tersebut, maka pemerintah Kabupaten Flores
Timur telah mengkomodirnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Kabupaten Flores Timur Tahun 2012-2016. Untuk itu
penentuan kebijakan sangat diperlukan, yaitu keterlibatan nelayan dan stakeholder
lainnya, agar kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah Kabupaten
Flores Timur berguna dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan. Ketersediaan dan peran serta stakeholder merupakan faktor kunci agar
pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Flores Timur dapat dikelola
untuk tujuan berkelanjutan dan lestari.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 71


Potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Flores Timur yang relatif
besar sebagai sumber perekonomi kabupaten, dan didukung dengan kelembagaan
yang baik (analisis kelembagaan EAFM mendapat status baik/flag modeling
hijau). Ini menjadi modal bagi pemerintah daerah dan stakeholder lainnya
merumuskan format pengelolaan perikanan berkelanjutan dan lestari, dalam
bentuk yang baku dan dapat diterapkan, yaitu membuat Dokumen Rencana
Pengelolaan Perikanan (RPP) Kabupaten Flores Timur sebagai acuan dalam
pengelolaan perikanan.
Dalam konteks proses perencanaan RPP di atas, Kusumastanto dkk (2006),
menyarankan agar peran stakeholders selalu muncul dalam setiap tahapan mulai
dari formulasi sampai evaluasi. Dengan demikian, pendekatan partisipatif menjadi
salah satu syarat utama dalam proses penyusunan RPP, karena prinsip dasar dari
RPP adalah sifat komprehensif dan holistik dari sistem perikanan yang akan
menjadi subjek pengelolaannya.
Elemen dasar RPP yang disarankan Kusumastanto dkk (2006) seperti
terlihat pada Tabel 17, yaitu:

Tabel 13. Elemen Dasar Rencana Pengelolaan Perikanan


No Elemen
1 Prinsip-prinsip pengelolaan
1.1 Misi
1.2 Tujuan Pembangunan dan Pengelolaan Perikanan
1.3 Kebijakan dan Perencanaan Perikanan
1.4 Profil Wilayah
2 Profil Perikanan
2.1 Keterkaitan antar Sektor
2.2 Keadaan Umum Perikanan
2.3 Industri Perikanan
3 Pengelolaan Perikanan
3.1 Proses dan Perencanaan Perikanan
3.2 Pengelolaan Wilayah Pesisir
3.3 Peraturan Perikanan

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 72


3.4 Wilayah Perikanan
3.5 Kerangka Organisasi Pengelolaan
3.6 Riset Perikanan dan Statistik
3.7 MCS (Monitoring, Control, and Surveillance) dalam Pengelolaan
Perikanan
3.8 Inspeksi, perizinan, dan Sistem Lisensi
4 Pembangunan Perikanan
4.1 Visi Pemerintah tentang Perikanan
4.2 Visi Sektor Produksi (penangkapan ikan dan budidaya)
4.3 Visi Pengolahan Hasil Perikanan
5 Pengelolaan Perikanan Spesifik
6 Opsi Pengelolaan Perikanan
7 Glosarium

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 73


BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:


1. Analisis indeks dekomposit EAFM di Kabupaten Flores Timur menunjukan
status sedang dengan flag modeling berwarna kuning dan nilai akhir agregat
sebesar 161,92. Domain yang perlu diprioritaskan dalam pengelolaan
perikanan yang berkelanjutan kedepannya yaitu: Domain Sumberdaya Ikan
pada indikator CPUE baku dan Tingkat penangkapan spesies ETP; Domain
Habitat & Ekosistem pada pelengkapan data indikator Kualitas perairan laut,
produktivitas estuari dan perairan sekitarnya, dan habitat khusus; Domain
Teknik Penangkapan Ikan pada indikator metode penangkapan ikan yang
bersifat destructive dan illegal, Fishing capacity, kesesuaian fungsi dan
ukuran kapal dan sertifikasi awak kapal; dan Domain Sosial pada indikator
partisipasi pemangku kepentingan, Konflik perikanan dan pemanfaatan
pengetahuan lokal dalam pengelolaan perikanan.
2. Aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated perikanan (IUU Fishing) di
daerah penelitian, terutama Kabupaten Flores TImur sudah harus segera
ditangani serius oleh aparat penegak hukum dan stakeholder lainnya, karena
akan menghambat upaya-upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan
3. Penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan merupakan hal yang
urgen dan mendesak untuk mendukung upaya-upaya pengelolaan perikanan.
4. Restorasi dan perlindungan ekosistem menjadi faktor kunci dalam pengelolaan
perikanan menuju perikanan yang berkelanjutan

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 74


6.2. Rekomendasi

Beberapa rekomendasi yang diberikan pada hasil penelitian ini, yaitu:


1. Perlu adanya serial diskusi lintas SKPD, akademisi dan masyarakat dalam
membahas peningkatan nilai komposit pada analisa EAFM sebagai dasar
Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP).
2. Penegakan hukum lebih diefisiensikan dengan mengakomodir hukum adat
atau non formal yang berlaku di masyarakat. Perlu adanya kajian lebih lanjut
dalam mengidentifikasi aturan non formal sebagai peluang penegakan hukum
secara sosial.
3. Perlunya membuat mekanisme implementasi pencatatan, pengumpulan dan
analisa hasil tangkapan perikanan perlu diperkuat tidak hanya di tingkat
private sektor namun juga didesa pesisir sebagai data primer yang akurat
dalam pengkajian Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem dan juga
mendukung informasi statistik perikanan kabupaten.
4. Perlunya menindaklanjuti kajian EAFM sebagai basis pengeloalan perikanan
yang berkelanjutan dalam dokumen perencanaan daerah baik jangka pendek
dalam bentuk Renstra dan juga jangka panjang dalam bentuk RTRW.
5. Metode analisa data pada indikator EAFM memiliki tingkatan keakuratan data
yang disesuaikan dengan kondisi yang ada dilokasi survey, terutama pada
Domain Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan, Habitat dan Ekosistem dan
Ekonomi. Metode pengumpulan data yang diutamakan adalah data primer dan
kajian ilmiah, salah satu yang mendukung hal ini adalah data logbook
perikanan dan kajian ilmiah. Data persepsi masyarakat melalui interview
dilakukan untuk memperkuat justifikasi hal tersebut.
6. Perlunya mendorong upaya perlindungan dan pemulihan sumberdaya laut
dengan mensinergikan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem dengan
kawasan konservasi perairan daerah di Kabupaten Flores Timur

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 75


DAFTAR PUSTAKA

Adrianto L, Abdulah H, Achmad F, Audillah A, Handoko AS, Imam M, Mukhlis


K, Sugeng HW, dan Yusli W., 2012. Modul Penilaian Pendekatan
Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan (EAFM). Jakarta: Direktorat
Sumberdaya Ikan, WWF-Indonesia, dan Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan IPB.

Adrianto L, Arsyad AM, Ahhmad S, dan Dede IH., 2011. Konstruksi Lokal
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia. PT Penerbit IPB Press.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor, 2010. Alor dalam Angka 2010. Kabupaten
Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lembata, 2011. Lembata dalam Angka 2011.
Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Flores Timur, 2011. Flores Timur dalam Angka
2011. Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2006. Statistik
Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2007. Statistik
Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2008. Statistik
Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2009. Statistik
Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2010. Statistik
Perikanan Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Fauzi A., 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis, dan Gagasan.
Penerbit PT. Gramedia Utama. Jakarta.

Fauzi A dan Suzy Anna., 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan
untuk Analisis Kebijakan. Penerbit PT. Gramedia Utama. Jakarta.

Kusumastanto, T, Luky Adrianto, dan Ario Damar., 2006. Pengelolaan Wilayah


Pesisir dan Laut. Universitas Terbuka. Departemen Pendidikan Nasional.
Jakarta.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 76


Lain A. H.,2011. Analisis Ekologi–Ekonomi Pengelolaan Perikanan berbasis
Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi,
Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara). Tesis Pasca Sarjana,
Intitut Pertanian Bogor.

Sumardjono M, Nurhasan I, Ernan R, dan Damai AA., 2011. Pengaturan


Sumberdaya Alam Antara yang Tersurat dan Tersurat. Kajian Kritis
Undang-undang Terkait Penataan Ruang dan Sumberdaya Alam. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Flores


Timur Tahun 2012-2016. Dokumen Perencanaan Daerah Kabupaten
Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Romadhon, A. 2008. Kajian Nilai Ekologi Melalui Inventarisasi dan Nilai Indeks
Penting (INP) Mangrove Terhadap Perlindungan Lingkungan di
Kepulauan Kangean. Embryo Vol.5 No.1

Widodo J dan Suadi., 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah


Mada University Press, Yogyakarta.

WWF, 2009. Survei Ekologi Kabupaten Alor. Laporan Kegiatan. Yayasan WWF
Indonesia, Solor-Alor Project. Lembata, NTT.

WWF, 2009. Survei Ekologi Kabupaten Lembata. Laporan Kegiatan. Yayasan


WWF Indonesia, Solor-Alor Project. Lembata, NTT.

WWF, 2009. Survei Ekologi Kabupaten Flores TImur. Laporan Kegiatan.


Yayasan WWF Indonesia, Solor-Alor Project. Lembata, NTT.

WWF, 2012. Survey Reef Health Kabupaten Alor. Laporan Kegiatan. Yayasan
WWF Indonesia, Solor-Alor Project. Alor, NTT.
WWF, 2012. Studi Kelayakan Bisnis Perikanan Karang, Budidaya Ikan Karang
dan Rumput Laut di Kabupaten Flores Timur dan Lembata. Laporan
Kegiatan. Yayasan WWF Indonesia Solor-Alor Project. Alor, NTT

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 77


Lampiran 1. Kuesioner Perikanan Karang dan Pelagis

KUISIONER PERIKANAN KARANG DAN PELAGIS

Interviewer : Tanggal :
Nama Nelayan : ................................. Anggota keluarga : ......orang
Alamat : ................................. Umur : .......Tahun
Pendidikan : ..................................
Lama melakukan pekerjaan sebagai nelayan : ............ Tahun
Alat Tangkap yang digunakan : ............
A. INDIKATOR KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA
1. Jenis dan ukuran ikan apa saja yang paling sering Anda tangkap? Berapa rata-rata
jumlah tangkapan ikan setiap trip.

Jumlah
Target Jenis Berat/ Tangkapan/Trip Harga Ikan (Rp)
Panjang (Kg)
Penangkapan Ekor
(cm)
(Kg) Pun Sed Pace Pun Sed Pace
cak ang klik cak ang klik
1. Demersal a. Kerapu.........
(Ikan batu) b. Kerapu.........
c. Kerapu.........
a. Kakap...........
b. kakap...........
c. Kakap...........
2. Pelagis a. Tuna Sirip Kuning
Besar b. Tuna Mata Besar
c. Tongkol
d. Cakalang
3. Pelagis a. Banyar (Kombong)
Kecil b. Kembung
c. Layang/Terbang
d. Golok-golok
(Parang)
e. Tembang
f. Belo-belo
g. Sembe/Lember
4. Ikan jenis
Lainnya

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 78


2. Jenis dan jumlah tangkapan sampingan ikan/hewan lain yang tertangkap tidak
sengaja / bukan target tangkapan.
a. …………………………………………… Jumlah/berat : ………………………………..
b. …………………………………………… Jumlah/berat : ………………………………..
c. …………………………………………… Jumlah/berat : ………………………………..

3. Apakah ada penanganan tangkapan sampingan :


a. Mati dan dibuang b. Diambil untuk dimakan sendiri /dijual c. Masih hidup
dan dilepas
Penanganan/perlakuan lain :
4. Dalam 5 tahun terakhir, bagaimana ukuran ikan hasil tangkapan yang diperoleh?
a. Lebih besar b. Relatif Sama saja c. Lebih kecil d. Tidak Tahu

5. Dalam 5 tahun terakhir, bagaimana jumlah ikan hasil tangkapan yang anda
peroleh?
a. meningkat lebih dari 2 kali lipat d. berkurang tidak sampai setengahnya
b. meningkat tidak sampai 2 kali lipat e. berkurang sampai setengahnya
c. sama saja f. berkurang sampai lebih dari
setengahnya

6. Apabila jumlah hasil tangkapan meningkat, menurut anda faktor apa yang paling
berperan ?
a. Ikannya bertambah banyak d. Tidak Tahu

b. Alat penangkapan ikan bertambah baik e. Lainnya:


...........................................
c. Iklim mendukung (cuaca yang baik) (Sebutkan)

7. Apakah Bapak dapat membedakan anak ikan (Ikan belum dewasa) yang ikut
tertangkap ? Ya - Tidak
8. Bagaimana komposisi ikan juvenil (anakan) yang tertangkap dibandingkan ikan
dewasa dalam 1-5 tahun sebelumnya :
Kalender Jenis Ikan
Perikanan
Kerapu Kakap Tuna Cakalang Tongkol Layang
Musim Puncak
Musim Sedang
Musim Paceklik
Isi dengan persentase komposisi juvenil yang tertangkap
<30% dari hasil tangkapan, 30-60% dari hasil tangkapan, >60% dari hasil
tangkapan atau tidak tahu

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 79


9. Menurut Anda, Bagaimana jarak lokasi tangkapan anda sekarang dibandingkan 5 –
10 tahun sebelumnya
a. Semakin Jauh b. Semakin dekat c. Sama saja (Pilih
Salah satu)
10. Apakah Anda tahu tentang hewan-hewan laut yang tidak boleh ditangkap? Ya
Tahu - Tidak Tahu, Jika Tahu, sebutkan apa saja? ......................................
11. Apakah Anda atau nelayan lain pernah menangkap hewan-hewan laut, seperti
dibawah ini dan dalam kurun waktu 1-5 tahun dan berapa jumlahnya?
a. Lumba-lumba : .............. ekor e. Kima : ...............ekor
b. Paus : ...............ekor f. Batu Laga : ...............ekor
c. Duyung : ...............ekor g. Akar Bahar : ...............ekor
d. Penyu : ...............ekor h. Nautilus : ...............ekor
12. Jelaskan bagaimana nelayan menentukan Daerah Penangkapan Ikan (DPI)sebelum
melakukan operasi penangkapan?
a. Berdasarkan pengalaman
b. Informasi dari nelayan yang lain
c. Informasi dari pelabuhan/dinas kelautan dan perikanan (data arus, pasang
surut, suhu permukaan, dll)
d. Lainnya, jelaskan……………………………………
13. Sebutkan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) yang sering didatangi oleh nelayan:
Nama Daerah Jarak dari FB*) Ikan dominan
No. Bulan apa saja
Penangkapan Ikan (mil;km;jam)**) tertangkap
1.
2.
3.
4.
*) FB = Fishing Base; FG = fishing ground
**) Bila satuannya jam, sebutkan kecepatan rata-rata mesin kapal yang digunakan.

14. Daerah penangkapan ikanmana yang paling sering didatangi nelayan? Mengapa?

15. Sebutkan daerah pengkapan ikanterjauh yang pernah dicapai oleh nelayan?
Mengapa?

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 80


B. INDIKATOR HABITAT - Lingkungan

1. Apakah Anda mengetahui kondisi Ikan bertelur yang tertangkap?


Ya - Tidak. Jika ya, sebutkan:
Ciri-Ciri
Tanggal
Berat Panjang ikan
Lokasi (bulan Musim
Jenis Ikan Bulan bertelur/
(Kg) (Cm) Penangkapan purnama Angin
Akan
/gelap)
Kawin

C. INDIKATOR PRAKTEK PENANGKAPAN IKAN

1. Jenis alat tangkap apa yang Anda gunakan:


..............................................................................

2. Konstruksi alat tangkap, ukuran (nomor) dan jenis bahan yang Anda digunakan:
....................
a. Ukuran Mata Kail :
b. Jenis dan Ukuran Senar :
c. Panjang dan besaran mata jaring :
3. Cara penangkapan ikan dan pemanfaatan sumberdaya laut yang merusak di sekitar
lokasi Anda:
Frekuensi Bulan
Jenis kejadian
No Lokasi Aktivitas Asal Pelaku /Tahun
Pelanggaran
(Kali)
1. Bom Ikan
2. Potasium
3. Pengambilan
Karang
4 Penangkapan
penyu atau
telur penyu
5 ………………..

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 81


4. Jenis Ikan yang tertangkap berdasarkan alat tangkap yang digunakan:
Jenis Umpan
Alat Umpan Umpan Alat Bantu
Jenis Ikan Umpan Mati
Tangkap Hidup buatan Penangkapan*
(jenis Ikan)
(jenis Ikan) (Bahan)

*Alat Bantu penangkapan : Rumpon, Lampu,dll


5. Apakah ada modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan dilokasi
anda?
Ya Ada - Tidak Ada :
Kalau ada, jelaskan dalam tabel berikut
Jenis non
Alat tangkap Bagian yang Jenis Ukuran rata-
target yang
modifikasi dimodifikasi Tangkapan rata
tertangkap

6. Apakah ada modifikasi alat tangkap yang dilakukan nelayan sehingga bisa
mengakibatkan kerusakan sumberdaya/lingkungan? Ya ada - Tidak ada.
Kalau Ada, jelaskan modifikasi alat tangkapnya dan akibatnya yang merusak
............................

7. Trip Penangkapan berdasarkan alat tangkapan


Jumlah hari libur
No. Alat Tangkap Jumlah Trip*
melaut/Tahun
1.
2.
3.
4.
*) jam per hari atau hari per trip.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 82


8. Jika nelayan tidak melaut/libur, apa sebabnya? (istirahat, cuaca, hari besar
agama,dll) Sebutkan!

9. Kegiatan apa yang dilakukan jika tidak melaut?

D. INDIKATOR SOSIAL

1. Sebutkan ada atau tidak adanya koperasi nelayan atau asosiasi/kelompok/forum


nelayan:
a. Ada (Namanya: ....................................)
b. Tidak Ada
c. Tidak Tahu

2. Jika ADA, Apakah Anda menjadi Anggota atau Tidak? Apa alasan Anda?
a. Jadi Anggota, Alasan: ....................................
b. Tidak Jadi Anggota, Alasan: ...................................
3. Sudah berapa lama Anda menjadi Anggota?
a. Kurang dari 1 tahun c. 3 – 6 tahun
b. 1 – 3 tahun d. Lebih dari 6 tahun

4. Apa manfaat yang Bapak peroleh dari kelompok tersebut? .....................................


5. Jika TIDAK ADA, Apakah Anda membutuhkan koperasi nelayan atau
asosiasi/kelompok/forum nelayan?
a. BUTUH, Alasan: ...........................
b. TIDAK BUTUH, Alasan: .........................

6. Apa aktivitas koperasi atau asosiasi/kelompok/forum nelayan di daerah Bapak?


.........................................
Apakah ada aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan Sumberdaya Ikan?
Tidak Ada / Ada, sebutkan .................................
7. Apakah ada kelompok informal seperti masyarakat/pemuka adat atau kearifan lokal
dalam pengelolaan sumberdaya ikan?
a. Tidak ada
b. Ada tetapi tidak berhubungan dengan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
c. Ada dan berhubungan dan pengelolaan SDA.

8. Apa saja yang diatur dalam aturan adat tersebut? Sebutkan: .......................................
Sudah berapa lama aturan adat tersebut?
a. kurang dari 50 tahun b. 50-100 tahun c. Lebih dari 100 tahun

9. Apakah aturan adat tersebut sudah diformalkan? Ya - Tidak


Berupa.............. (Perdes, Perda, Kesepakatan tertulis)

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 83


10. Apa manfaat aturan adat tersebut bagi nelayan? Sebutkan: ............................

11. Dalam melakukan pekerjaan menangkap ikan, apakah ada sistem kerja dengan
bos/koordinator/ ponggawa tempat menjual ikan? YA / TIDAK

12. Jika YA, bagaimana keterikatan sistem kerja bos/koordinator dengan nelayan?
a. Nelayan terikat sepenuhnya
b. Ada tetapi nelayan tidak terikat sepenuhnya
c. Tidak terikat sama sekali

13. Konflik apa yang pernah/terjadi di daerah Anda terkait dengan pengelolaan
sumberdaya perikanan
a. Konflik perebutan wilayah penangkapan di: ...................................…………...
Penyebab: ......................................................................................................
Frekuensi kejadian:
1) setiap melaut 4) Setiap tahun
2) setiap minggu 5) Tidak Pernah
3) setiap bulan

b. Konflik antar jenis alat tangkap yaitu: ...........................................................


Penyebabnya: .................................................................................................
Frekuensi kejadian:
1) setiap melaut 4) Setiap tahun
2) setiap minggu 5) Tidak Pernah
3) setiap bulan

c. Konflik antar peraturan/kebijakan yang ada, yaitu: ........................................


Penyebabnya: ..................................................................................................
Frekuensi kejadian:
1) setiap melaut 4) Setiap tahun
2) setiap minggu 5) Tidak Pernah
3) setiap bulan

d. Konflik antar sektor yaitu antara penangkapan ikan, budidaya,


pelabuhan/dermaga, kawasan konservasi, pembangunan/reklamasi, jalur
pelayaran, pencemaran karena limbah industri, pariwisata, lintas batas negara,
dan lain-lain (SEBUTKAN JENIS SEKTOR YANG PERNAH Atau MENGALAMI
KONFLIK)
Yaitu: ...........................................................................................................
Penyebab: ...................................................................................................
Frekuensi kejadian:
1) setiap melaut 4) Setiap tahun
2) setiap minggu 5) Tidak Pernah
3) setiap bulan

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 84


E. INDIKATOR EKONOMI

1. Anggota keluarga/tanggungan dan penghasilan :


Tanggungan Umur (Tahun) Pendidikan Pekerjaan Penghasilan (Rp/bulan)
Istri
Anak 1
Anak 2
Keponakan
Orang tua

2. Aset apa saja yang Bapak miliki pada 1 tahun yang lalu dibandingkan saat ini
Bertambah/ Aset Non Bertambah/
Aset Produktif 2011 2012 2011 2012
Berkurang Produktif Berkurang
Perahu Televisi
Mesin Sound system
Alat Tangkap DVD/VCD Player
Sepeda Motor Play station
Lemari es
Generator
HP
Tanah/Lahan
Rumah

3. Unit/Armada Penangkapan
Jumlah armada
Bahan utama kayu/fiber/besi/………..
Ukuran (m) p: l: d: GT :

Tahun & tempat Harga : Rp.


pembelian Umur ekonomis : tahun
Perijinan Armada Ada / Tidak Ada
Palka Jumlah : (Buah) Volume: (m3/ton)
Dinding terbuat dari : stereofoam/fibre/kayu/…………………
*) Ambil foto kapal/perahu tampak samping (seluruh badan kapal) dan tampak
depan (tinggi haluan tepat di depan pandangan)

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 85


4. Karakteristik Mesin Kapal/Perahu :
No. Karakteristik Mesin Kapal Ukuran/Satuan
1. Jenis mesin (pilih salah satu) (inboard/outboard)
2. Mesin utama :
- Merk ..............................
- Kekuatan/daya .............................. (HP/PK)
- Bahan bakar (solar, bensin,…) ..............................
Mesin bantu :
- Merk ..............................
- Kekuatan/daya .............................. (HP/PK)
- Bahan bakar (solar, bensin,…) ..............................
3. Tempat pembelian ..............................
4. Harga mesin
- Mesin utama .............................. (Rp.)
- Mesin tambahan .............................. (Rp.)

5. Mesin kapal/perahu dibeli dengan cara : tunai/kredit/………..


Jelaskan cara pembayarannya : ………………………………………………………………………………
6. Alat Tangkap
Karakteristik Alat Tangkap
No. Karakteristik Alat Tangkap*) Keterangan (Ukuran/Satuan)
1. Jenis alat tangkap :
- .............................................. P = .................................................. m
- .............................................. P = .................................................. m
- .............................................. P = .................................................. m
2. Jumlah piece .............................................. (buah)
3. Ukuran mata jaring**) .............................................. (cm/inc)
4. Jumlah pancing per piece .............................................. buah
5. Tempat pembelian ..............................................
6. Harga alat tangkap siap pakai .............................................. (Rp.)
*) buat sketsa alat tangkapnya
**) khusus untuk purse seine/Lampara
7. Bahan/alat tangkap dibeli dengan cara : tunai/kredit/……………
Jelaskan cara pembayarannya ………………………………………………………………………………
8. Sebutkan komposisi nelayan yang mengoperasikan alat tangkap terdiri dari :
- Nahkoda : orang
- Fishing master : orang
- ABK : orang
Jelaskan Sistem Bagi Hasil antara pemilik kapal dengan nahkoda, KKM, ABK) :
*) Jika dalam 1 kapal nelayan lebih dari 1 orang
9. Apakah pemilik kapal ikut dalam operasi penangkapan? -Ya - Tidak

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 86


10. Biaya Perawatan/Perbaikan
Biaya Perawatan Kapal/Perahu, Mesin kapal dan Alat Tangkap per tahun :
o Kapal : Rp. ............................... per tahun/bulan
o Alat Tangkap : Rp. ............................... per tahun/bulan
o Mesin Utama : Rp. ............................... per tahun/bulan
o Mesin Tambahan : Rp. ............................... per tahun/bulan
o Peralatan lain : Rp. ............................... per tahun/bulan

11. Operasi Penangkapan Ikan


Kebutuhan Perbekalan Melaut Tiap Trip:
No Jenis Perbekalan Jumlah *) Harga/satuan*)
*)
1 Solar
2 Bensin
3 Minyak Tanah
4 Konsumsi (makanan+rokok)
5 Es
6 Garam
7 Air
8 ……………….…………………
*) Sebutkan satuannya: liter, m3, ton, balok, dst.

12. Bagaimana cara pembayaran bahan perbekalan melaut diatas?


Tunai/Kredit/..............
Jelaskan!..................
13. Bagaimana Hasil tangkapan nelayan berdasarkan kalender musim ikan :
Rata-rata Lokasi
Kategori Bulan Jenis ikan Harga per jenis
produksi per Penangka
Musim Ikan Melaut dominan ikan dominan
trip (kg/trip) pan
- -
Musim
puncak - -

Musim - -
sedang - -

Musim - -
paceklik - -

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 87


14. Apakah Anda memiliki sumber pendapatan lain selain menjual hasil tangkapan ikan?
Jika ada, sebutkan: ....................................................
Berapa pendapatannya: Rp. ............................. Hari – Minggu – Bulan

15. Kebutuhan untuk keperluan keluarga sehari-hari:


o Sekolah anak ......... : Rp. per minggu – bulan – tahun
o Listrik/Air : Rp. ......... per minggu – bulan
o Belanja dapur : Rp. ......... per hari – bulan – minggu
o Pengobatan : Rp. ......... per bulan – tahun
o Rekreasi : Rp. ......... per bulan – tahun
o Belanja Lain : Rp. ......... per bulan – tahun
o Bayar hutang : Rp. ......... per bulan – tahun
o Pengeluaran lain : Rp. ......... per bulan – tahun

16. Pendapatan Nelayan & Sistem Bagi Hasil:


Sebutkan perkiraan pendapatan kotorBapak per bulan atau per trip dari kegiatan
penangkapan ikan:
Tertinggi : Rp .............................. bulan/trip (Coret yang tidak perlu)
Sedang : Rp .............................. bulan/trip (Coret yang tidak perlu)
Terkecil : Rp .............................. bulan/trip (Coret yang tidak perlu)

17. Sebutkan perkiraan pengeluaran bapak per bulan atau per trip dari kegiatan
penangkapan ikan:
Tertinggi : Rp .............................. bulan/trip (Coret yang tidak perlu)
Sedang : Rp .............................. bulan/trip (Coret yang tidak perlu)
Terkecil : Rp . .............................. bulan/trip (Coret yang tidak perlu)

18. Apakah anda punya tabungan ?


a. ya b. tidak
Kalau “ya” berupa apa ?
a. tabungan di bank
b. tabungan di koperasi
c. tanah
d. hewan (seperti sapi, dll)
e. lainnya,sebutkan.......................................................

19. Dalam 2-3 tahun terakhir, bagaimana kondisi tabungan ?


a. meningkat b. sama saja c. turun

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 88


Lampiran 2. Kuesioner Kelembagaan

INDIKATOR KELEMBAGAAN

Interviewer : ……………………. Tanggal : …………………….

Nama : ................................
Umur : ................................
Pendidikan : ................................
Alamat : ................................
Lembaga / Posisi : ................................
Berapa lama di bidang ini : ................................

Domain Kelembagaan (Kuisioner Khusus Aparat dan atau LSM)

1. Berapa kali pelanggaran dalam 1 (satu) tahun yang dilakukan oleh nelayan?

2. Apa jenis pelanggaran yang biasa dilakukan ?


Untuk menjawab pertanyaan ini, isikan dalam kolom berikut dengan memberikan
chek list ( ) sesuai jawaban.
No Jenis Pelanggaran Kriteria 1) Penindakan 2) Kategori 3)
a b c d e a b c

1) Kriteria pelanggaran apa saja yang ditemukan


a. Kesesuaian fisik dan administrasi untuk kapal
b. Penggunaan alat tangkap terlarang
c. Perijinan yang tidak lengkap
d. Pelanggaran terhadap daerah penangkapan
e. Cara/Metode penangkapan yang tidak ramah lingkungan
2) Bentuk penindakan apa yang dilakukan pada setiap pelanggaran ?
3) Kategori pelanggaran
a. Berat b. Sedang c. Ringan

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 89


3. Kebijakan apa saja yang berlaku dalam pengelolaan perikanan di wilayah ini ?
a.Perijinan usaha penangkapan
b. Operasionalisasi penangkapan (armada dan alat tangkap)
c. Konservasi dan pemulihan
d. ..........................................

4. Bagaimana kelengkapan peraturan nasional yang anda gunakan dalam pengelolaan


perikanan ? coba sebutkan ?
No Lingkup peraturan Jenis Peraturan Nasional Kelengkapan
1)
A B 2) C 3)
1 Perijinan usaha penangkapan 1.
2.
3.
2 Operasonalisasi penangkapan 1.
(kapal dan alat)
2.
3.
3 Upaya konservasi dan 1.
pemilihan
2.
3.
Ket : 1) ada ; 2) ada tapi tidak lengkap; 3) tidak ada

5. Jika ”B (ada tapi tidak lengkap)”, maka bagaimana jumlah peraturan nasional
tersebut ?
a. Ada tapi jumlahnya berkurang
b. Ada tapi jumlahnya tetap
c. Ada dan jumlahnya bertambah

6. Bagaimana kelengkapan peraturan daerah (yang sesuai dengan peraturan nasional)


yang anda gunakan dalam pengelolaan perikanan selama ini ? coba sebutkan ?
No Lingkup Peraturan Jenis Peraturan Daerah Kelengkapan
A 1) B 2) C 3)
1 Perijinan usaha 1.
penangkapan
2.
3.
2 operasonalisasi 1.
penangkapan
2.
(kapal dan alat)
3.

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 90


3 upaya konservasi 1.
dan pemulihan
2.
3.
Ket : 1) ada ; 2) ada tapi tidak lengkap; 3) tidak ada

7. Jika ”B (ada tapi tidak lengkap)”, bagaimana jumlah peraturan daerah tersebut ?
a. Ada tapi jumlahnya berkurang
b. Ada tapi jumlahnya tetap
c. Ada dan jumlahnya bertambah

8. Jika dibandingkan dengan peraturan yang lama, apakah ada peraturan yang baru
dibuat ?
a. ada, jika ada sebutkan :
- .............................................................................
- .............................................................................
- .............................................................................
b. tidak ada

9. Jika dibandingkan dengan peraturan yang lama, apakah ada peraturan yang
dihapuskan ?
a. ada, jika ada sebutkan :
- .............................................................................
- .............................................................................
- .............................................................................
b. tidak ada
10. Peraturan apa lagi yang masih kurang dalam pengelolaan perikanan di wilayah ini?
Sebutkan .......................................

11. Bagaimana penegakan aturan/hukum terhadap pelanggaran yang terjadi?


a. Tidak ada penegakan aturan
b. Ada penegakan aturan namun tidak efektif;
c. Ada penegakan aturan main dan efektif

12. Bagaimana keberadaan aparat dalam menjalankan penegakan aturan/hukum


terhadap pelanggaran yang terjadi?
a. Tidak ada aparat;
b. Ada aparat tetapi tidak cukup;
c. Jumlah aparat cukup.

13. Jenis alat/sarana (seperti speed boat) menjalankan penegakan aturan/hukum


terhadap pelanggaran yang terjadi?

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 91


a. Speedboat/kapal : CUKUP - TIDAK CUKUP
b. Biaya operasional : CUKUP - TIDAK CUKUP
c. Lainnya: ........................ : CUKUP - TIDAK CUKUP

14. Setelah dilakukan tindakan berupa teguran atau hukuman, apakah pelanggaran yang
sama masih terjadi oleh pelaku yang sama?
a. Ya masih terjadi, karena...................................
Tidak lagi, karena ...............................

15. Lembaga apa saja yang terlibat dalam pengambilan keputusan terkait dengan hal-hal
berikut terkait dengan pengelolaan perikanan di wilayah anda ?
a. Perijinan usaha penangkapan
1) ...........
2) ...........
3) ...........
b. Operasionalisasi penangkapan (armada dan alat tangkap)
1) ...........
2) ...........
3) ...........
c. Konservasi dan pemulihan
1) ...........
2) ...........
3) ...........

16. Bagaimana mekanisme pengambilan keputusan yang diambil dalam pengelolaan


perikanan di instansi/wilayah anda yang terkait dengan hal-hal sebagai berikut :
(Gambarkan dengan bagan)
i.Perijinan usaha penangkapan
..............................................................

ii.Operasionalisasi penangkapan (armada dan alat tangkap)


..............................................................

iii.Konservasi dan pemulihan


..............................................................
17. Bagaimana efektivitas pengambilan keputusannya ?(coret yang tidak perlu)
a. Perijinan usaha penangkapan (efektif / tidak efektif)
Jelaskan :
..............................................................................................................................
b. Operasionalisasi penangkapan (armada dan alat tangkap) (efektif / tidak efektif)
Jelaskan :
..............................................................................................................................

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 92


c.Konservasi dan pemulihan (efektif / tidak efektif)
Jelaskan :.............................................................................................................
18. Apakah masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan di wilayah Anda ?
a. Ya b. Tidak

19. Jika “Ya”, apakah memiliki kewenangan untuk menentukan/membuat keputusan?


a. Ya b. Tidak

20. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan ?


..............................................................................................................................
21. . Apakah anda (instansi) punya rencana pengelolaan perikanan (RPP) mengenai
pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem ?

22. Apakah RPP tersebut dijalankan ?


a. Ya b. Tidak

23. Jika “ya”, bagaimana pelaksanaannya ?


a. Belum sepenuhnya dijalankan
b. Sudah dijalankan sepenuhnya

24. Apakah ada hambatan/permasalahan dalam pelaksanaannya ?


..............................................................................................................................
25. Jika “tidak”, kenapa tidak membuat RPP, apakah ada hambatan ? Jelaskan:
..............................................................................................................................
26. Apakah dalam mengeluarkan perijinan mengadakan koordinasi dengan lembaga lain?
a. ya b. tidak
27. Jika “ya”, lembaga apa saja yang terlibat dalam proses perijinan tersebut ?
..............................................................................................................................
28. Apakah adakah dukungan dari lembaga luar dalam penegakan aturan yang
dikeluarkan oleh dinas kelautan dan perikanan ?
a. ya b. tidak
29. Apakah ada aktivitas penegakan aturan yang merupakan aturan lembaga lain yang
mendukung kegiatan operasional penangkapan ?
a. ya b. Tidak

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 93


30. Jika “ya”, lembaga apa yang melakukan ?
..............................................................................................................................
Apakah ada kegiatan konservasi dan pemulihan di daerah ini ?
a. ya b. tidak
31. Jika “ya”, lembaga apa yang melakukan ?
..............................................................................................................................
32. Apakah ada konflik antar lembaga dalam pengelolaan kawasan konservasi ?
a. ya b. tidak

33. Jika “ya”, lembaga apa saja yang tidak bersinergi/konflik dalam pengelolaan kawasan
konservasi ?
..............................................................................................................................
34. Sebutkan kebijakan yang anda keluarkan terkait dengan perijinan, operasional
penangkapan, konservasi dan pemulihan dalam pengelolaan perikanan ? Lembaga
mana saja yang mengeluarkan? dan bagaimana sifat dari kebijakan tersebut ?
(tuliskan jawaban dalam kolom yang disediakan)

No Kebijakan Lembaga yang mengeluarkan Sifat kebijakan


A B C
I Perijinan
1
2
3
II Operasional penangkapan
1
2
3
II Konservasi dan Pemulihan
1
2
3
Ket : A = Kebijakan perijinan saling mendukung
B = Kebijakan perijinan tidak saling mendukung
C = Kebijakan perijinan saling bertentangan

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 94


35. Berapa kali anda mendapatkan penyuluhan perikanan tangkap?
a. < 2 kali per bulan c. 5 – 10 kali per bulan
b. 2 – 4 kali per bulan d. > 10 kali per bulan

36. Apakah penyuluhan yang dilakukan bermanfaat bagi usaha perikanan tangkap anda?
a. Sangat bermanfaat c. bermanfaat e. tidak bermanfaat
b. agak bermanfaat d. kurang bermanfaat
37. Apakah anda pernah mengikuti pelatihan perikanan tangkap?:
a.Ya b. Tidak
38. Jika Ya, dalam 2-3 tahun terakhir berapa kali anda mengikuti pelatihan?
a. satu kali b. 2 – 4 kali c. lebih dari 4 kali
39.Menurut anda apakah pelatihan yang anda ikuti bermanfaat bagi usaha perikanan
tangkap anda?
a. sangat bermanfaat c. bermanfaat e. tidak bermanfaat
b. agak bermanfaat d. kurang bermanfaat
40. Apakah pernah mengikuti kegiatan pelatihan terkait dengan pengelolaan perikanan ?
a. ya b. Tidak
41. Program pengembangan kapasitas apa saja yang pernah diikuti untuk meningkatkan
kemampuan dalam EAFM ? Sebutkan waktu kapan (bulan apa atau tahun berapa)
a. Pelatihan: ..............................Waktu: ..........................................
b. Workshop: ............................. Waktu:............................................
c. Seminar: .............................. Waktu:...............................................
d. Studi Banding: ....................... Waktu:..............................................
e. Tugas Belajar: ........................ Waktu:.......................................
f. Program lain: .......................... Waktu:..................................
42. Apakah pelatihan yang ada sesuai/cocok atau tidak dengan profesi yang dikerjakan ?
a. ya b. tidak
43. Jika ada, materi apa saja yang diterima ?
........................................................................................................................................
44. Siapa yang memberikan materi ?
......................................................................................................................
45. Bagaimana anda melaksanakan pekerjaan, setelah dan sebelum anda mengikuti
pelatihan ?
- Sebelum : ......................................................................................................
- Sesudah : ......................................................................................................

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 95


46. Bagaimana tingkat kapasitas stakeholder perikanan yang ada dalam pelaksanaan
pengelolaan perikanan
1) Aparat instansi teknis
a. Sangat Paham b. Sedang
c. Kurang d. Sangat Kurang
2) Aparat instansi lain
a. Sangat Paham b. Sedang
c. Kurang d. Sangat Kurang
3) Akademisi/Peneliti
a. Sangat Paham b. Sedang
c. Kurang d. Sangat Kurang
4) Petugas keamanan
a. Sangat Paham b. Sedang
c. Kurang d. Sangat Kurang
5) Industri/Pengusaha
a. Sangat Paham b. Sedang
c. Kurang d. Sangat Kurang
6) Nelayan/Masyarakat
a. Sangat Paham b. Sedang
c. Kurang d. Sangat Kurang
7) Lainnya.........................
a. Sangat Paham b. Sedang
c. Kurang d. Sangat Kurang

47. Apakah di wilayah ini ada satu dokumen peraturan yang merangkul semua lembaga
terkait dalam pengelolaan perikanan di wilayah Anda? ADA - TIDAK ADA
48. Jika ADA, sebutkan nama dokumen peraturan tersebut: .................................

49. Lembaga yang mengeluarkan dokumen tersebut: ...................................

50. Berdasarkan dokumen tersebut, apakah ada satu lembaga/badan yang memiliki
otoritas tunggal dalam menentukan pengelolaan perikanan di wilayah tersebut?
YA - TIDAK
51. Sebutkan nama lembaganya: .......................
52. Jika YA, apakah otoritas tunggal ini sudah dijalankan? YA - BELUM.
53. Jika YA, Sudah berapa lama dijalankan?
54. Jika TIDAK, lembaga apa saja yang melakukan pengelolaan perikanan di wilayah ini?
55. Sebutkan lembaga/instansi/badan apa saja: ..................................
Lembaga apa yang paling dominan? ...................... Mengapa? .................................

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 96

Anda mungkin juga menyukai