Disusun Oleh :
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Definisi Judul
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 2/3 dari keseluruhan
wilayahnya merupakan wilayah laut, dengan jumlah pulau yang mencapai sekitar 17.504
dan pajang garis pantasi sejauh 81.000 km. Dari kondisi negara yang demikian, kelautan
Indonesia menyimpan potensi sumber daya hayati ataupun non hayati yang sedemikian
besar mulai dari perairan pedalaman hingga Zona Ekonomi Eksklusif. Potensi sumber daya
hayati laut terbesar Indonesia berasal dari Perikanan. Dalam satu dekade terakhir
ekspolitasi dan eksplorasi hasil perikanan di Indonesia menunjukan peningkatan yang
sangat signifikan.
Namun selain berpotensi, kegiatan ekspolarasi perikanan di laut dibarengi tindak
pidana yang sangat merugikan Indonesia. Menurut Badan Pangan dan Pertanian Dunia
(Food and Agriculture Organization / FAO), kegiatan tindak pidana perikanan disebut
dengan istilah Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU-Fishing), yang berarti bahwa
penangkapan ikan dilakukan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan.
Praktek penangkapan ikan secara ilegal merupakan tindak kriminal lintas negara yang
terorganisir dan telah menyebabkan kerusakan serius bagi Indonesia dan negara negara
di kawasan Asia Pasifik lainnya. Selain merugikan secara ekonomi, sosial, dan ekologi
praktik ini merupakan tindakan yang melemahkan kedaulatan wilayah suatu bangsa.
Guna mewujudkan dan memperjelas kedaulatan bangsa Indonesia, pada bulan Oktober
2010 lalu, Indoensia bersama negara yang tergabung dalam Asia Pasific Economic
Development (APEC) telah bersepakat untuk lebih gencar memerangi dan mengatasi
tindak penangkapan ikan secara ilegal. Kesepakatan itu tercantum dalam Deklarasi Paracas
yang merupakan hasil dari pertemuan para Menteri Kelautan dari negara yang tergabung
di APEC di Paracas, Peru.
Pada Bulan Oktober 2014, Pemerintah mempertegas pengaturan kelautan Indonesia
dengan disahkannya UU No 32/2014 tentang Kelautan. Undang undang tersebut
menjabarkan bahwa pengelolaan kelautan harus sesuai dengan kepentingan pembangunan
nasional. Pengelolaan kelautan harus merefleksikan kedaulatan bangsa yang dijaga
keberlangsungan dan keberlanjutannya. Pengeloaan kelautan bertujuan menjadikan segala
sumber
dayanya
menjadi
kebermanfaatan
yang mampu
mensejahterakan
dan
memakmurkan rakyat Indonesia. Hal tersebut senada dengan konstitusi dasar Indonesia
yakni Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) yang berbunyi : Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar
kemakmuran rakyat
Bab 2
Rumusan Masalah
2.1 Apakah yang menyebabkan terjadinya illegal fishing di Indonesia ?
2.2 Apa saja dampak yang ditimbulkan dari kegiatan illegal fishing ?
2.3 Bagaimana upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing ?
Bab 3
Pembahasan
3.1 Penyebab Terjadinya Illegal Fishing di Indonesia
1) Tingkat Konsumsi Ikan Global Yang Semakin Meningkat
Ikan mengandung sumber protein yang sangat besar dan tidak terlalu banyak
mengandung lemak berbahaya bagi tubuh manusia, sehingga ikan sangat banyak diburu
oleh para konsumen baik di Indonesia maupun di dunia, data yang penyusun dapatkan
dari WALHI bahwa dalam kurun 5 tahun terakhir, konsumsi ikan nasional melonjak
hingga lebih dari 1.2 juta ton seiring pertumbuhan penduduk Indonesia yang mencapai
1.34% per tahun. Sehingga persentase kenaikan nilai impor perikanan nasional
menduduki angka 12,51% (2004-2005), berada jauh di bawah nilai rata-rata ekspor
perikanan yang hanya sebesar 1,6%.66 Sebuah fakta yang menunjukan meningkatnya
konsumsi ikan di masyarakat Indonesia saat ini dengan pola konsumsi ikan yang naik
yaitu telah mencapai kisaran 26 kg/kapita/tahun. Sedangkan ditingkatan dunia
meningkatnya konsumsi ikan diperkirakan FAO akan terus meningkat.
2) Sumber Daya Ikan di Negara Lain Semakin Berkurang
Perkembangan teknologi yang sangat cepat selama beberapa dekade ini ikut
mempengaruhi terhadap persediaan ikan di laut Internasional dikarenakan teknologi
canggih yang digunakan para nelayan itu menambah jumlah tangkapan ikan yang
sangat besar sehingga produksi ikan mengalami habis akibat tidak seimbangnya antara
penangkapan dan pembibitan kembali.
Publikasi Food and Agriculture Organization (FAO) 2007 menunjukan bahwa,
sekitar 52 persen stok ikan laut dunia telah mengalami full exploited. Artinya sekitar
52 persen stok ikan laut dunia sudah tertutup untuk dieksploitasi lebih lanjut. Selain
itu, laporan FAO tersebut juga menyatakan bahwa sekitar 17 persen perikanan dunia
sudah mengalami kelebihan tangkap (overexploited). Bahkan dalam publikasi Jurnal
Science bulan November 2006, disebutkan apabila pertumbuhan eksploitasi sumber
daya ikan seperti saat ini, maka diperkirakan perikanan komersil dunia akan runtuh
pada tahun 2050.
Bisa kita bayangkan, karena negara-negara dengan teknologi canggih telah
mengalami krisis ikan di laut mereka sedangkan kebutuhan ikan laut di negara-negara
maju tersebut sangat besar maka yang terjadi adalah ekspansi penangkapan ikan
terhadap negara lain yang dianggap masih mempunyai stok ikan yang banyak, salah
satu tujuan ekspansinya adalah Indonesia. Tentunya jika ekspansi ikan tersebut
dilakukan secara ilegal dan tidak memenuhi syarat, maka yang terjadi adalah illegal
fishing yang dilakukan di perairan Indonesia.
3) Sumber Daya Ikan di Negara Lain Semakin Berkurang
Armada perikanan Indonesia disebut lemah karena kurangnya perhatian
pemerintah terhadap para nelayan selaku pelaku utama dalam armada perikanan,
sampai saat ini komposisi armada perikanan tangkap masih didominasi oleh armada
skala kecil (< 30 GT) yaitu sekitar 99.04 persen. Sementara itu sekitar 45.5 persen dari
armada skala kecil tersebut adalah armada perahu tanpa motor, sangat lemah dan
tertinggal jauh dari nelayan asing yang menggunakan kapal-kapal besar dengan daya
tangkap dalam jumlah besar Selain melalui VMS, upaya pengawasan terhadap
aktivitas penangkapan ikan dilakukan melalui patroli di laut, yaitu melalui sistem
(MCS) Monitoring, Controlling, and Surveillance dan berupa pengembangan Sistem
Pengawasan Masyarakat (SISWASMAS). MCS dilakukan melalui patroli rutin oleh
DKP maupun operasi terpadu dengan seluruh unsur penegak hukum di laut seperti TNI
AL, Polair dan TNI AU, serta melibatkan kelompok pengawas masyarakat
(Pokwasmas).
Penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal asing di Indonesia sudah menjadi
fakta. dalam laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), The State of World
Fisheries and Aquaculture 2014, Indonesia tidak termasuk negara dalam 10 besar
negara eksportir ikan. Indonesia sebagai negara maritim luput dari catatan organisasi
dunia sebagai eksportir ikan. Berdasarkan laporan itu, 10 negara eksportir ikan adalah
Tiongkok, Norwegia, Thailand, Vietnam, Amerika Serikat, Cile, Kanada, Denmark,
Spanyol, dan Belanda.
Pada 2012, nilai ekspor Thailand 8,07 miliar dollar AS dan Vietnam 6,27 miliar
dollar AS. Nilai itu jauh lebih besar daripada nilai ekspor ikan dan udang dari
Indonesia. Merujuk data Badan Pusat Statistik yang diolah Kementerian Perdagangan,
nilai ekspor ikan, termasuk udang, dari Indonesia pada 2012 hanya 2,75 miliar dollar
AS. Pada 2013, nilai ekspornya 2,85 miliar dollar AS. Per September 2014, nilai
ekspor baru 2,26 miliar dollar AS. Data itu menunjukkan sector perikanan Indonesia
ibarat babak belur dalam mendorong ekspor, kegiatan ekonomi, kesejahteraan
masyarakat, dan harkat bangsa. Sektor perikanan dijajah oleh praktik penangkapan
ikan secara ilegal. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan,
persoalan penangkapan ikan secara ilegal (ilegal fishing) ibarat gunung es. Apa yang
terlihat selama ini hanya bagian permukaan. Penangkapan ikan ilegal menyimpan
berbagai persoalan lain yang tak terungkap, seperti perdagangan kayu ilegal dan
perdagangan manusia yang menggunakan atau berkedok kapal ikan. Dari laporan
FAO, dari 54 negara yang dikaji, kerugian praktik illegal, unreported, and unregulated
fishing (IUU) diperkirakan 11 juta-26 juta ton ikan dengan nilai 10 miliar-23 miliar
dollar AS. Jumlah penangkapan ikan yang tak dilaporkan dari Indonesia diperkirakan
1,5 juta ton per tahun. Tak ada angka pasti berapa nilai kerugian akibat praktik IUU di
Indonesia. Diperkirakan, kerugiannya lebih dari Rp 100 triliun per tahun.
4) Lemahnya Pengawasan Aparat di Laut Indonesia
Lemahnya sikap reaktif aparat yang berkewajiban mengawasi laut Indonesia
adalah salah satu faktor penyebab maraknya kasus illegal fishing yang banyak terjadi
di perairan Indonesia saat ini, padahal Indonesia memiliki banyak peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perikanan dan kelautan, sekitar belasan
peraturan yang mengatur perikanan dan kelautan tersebut. Salah satu upaya
pengawasan dari pihak pemerintah adalah dengan adanya Vessel Monitoring System
(VMS) yaitu sebuah sistem monitoring kapal ikan dengan alat transmitor yang
berfungsi untuk mengawasi proses penangkapan ikan yang dilakukan di perairan
Indonesia. Pengawasan VMS Mekanisme perikanan ilegal dengan modus kerjasama
dengan aparat disekitar perairan Sulawesi Utara dilakukan di darat melalui bantuan
satelit yang mengawasi kegiatan kapal penangkap ikan yang telah terpasang
transmitter. Menurut Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber daya
Kelautan dan Perikanan (Ditjen P2SDKP) DKP yang mengklaim bahwa VMS dapat
menanggulangi sekitar 50 persen masalah dari system penangkapan ikan yang
dilakukan secara ilegal. Namun demikian, implementasi VMS belum optimal karena
kurang mendapat respon dari para pemilik kapal penangkap ikan, yang merupakan
sasaran utama pemasangan VMS. Pada tahun 2010, baru terpasang transmitter
sebanyak 1.339 unit dari penambahan kapasitas 3.055 unit, sehingga masih ada 1.716
unit kapal yang belum memasang transmitter.
5) Lemahnya Penegakan Hukum di Laut Indonesia
Laut Indonesia yang merupakan hampir 75 persen daerah kedaulatan Indonesia
saat ini masih dipandang sebelah mata oleh semua pihak, buktinya adalah penegakan
hukum yang masih lemah dan bahkan ada daerah laut yang tidak pernah sama sekali
terjamah oleh patroli aparat TNI Angkatan Laut maupun Polisi Air, kondisi
menghawatirkan itu menyebabkan tidak terkendalinya tindak kejahatan di laut
Indonesia, dan membuat kesempatan para pelaku illegal fishing menjadi leluasa
hubungan kerja (PHK) karena tidak ada lagi pasokan bahan baku, seperti di Tual dan
Bejina. Hasil penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing atau kapal nelayan Indonesia
tersebut biasanya langsung dibawa keluar Indonesia melalui trans-shipment, yang
bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 tahun 2006,
yaitu mewajibkan hasil tangkapan ikan diturunkan dan diolah di darat. Saat ini banyak
kapal ikan Indonesia yang lebih memilik menjual hasil tangkapannya di wilayah perairan
Indonesia ke pihak luar (misalnya Perusahaan Pengolahan Ikan di Philipina dan Taiwan)
dibanding menyuplai untuk kebutuhan domestik.
a. Melarang melakukan pemindahan ikan hasil tangkapan dari dan/atau kepada kapal
penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan lainnya di seluruh wilayah
Indonesia, baik di laut maupun di pelabuhan.
b. Melarang melakukan pendaratan dan/atau memindahkan ikan hasil tangkapan ke
kapal lain, mengisi bahan bakar, mengisi logistic atau terlibat dalam transaksi
perdagangan lainnya.
c. Melarang setiap orang dan/atau badan hukum Indonesia menyewa setiap kapal
yang tercantum dalam daftar provisional IUU Vessel List danIUU Vessels List.
d. Melarang setiap orang dan/atau badan hukum Indonesia membeli ikan dan/atau
melakukan impor ikan yang berasal dari kapal yang tercantum dalam provisional
IUU Vessel List dan IUU Vessels List.
e.
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945,
dengan
Instruksi yang dikeluarkan Presiden untuk mengambil langkah tegas terhadap para
pelaku pencurian ikan di wilayah perairan Indoneisia yang salah satunya dilakukan
dengan menenggelamkan kapal dilakukan dengan berpedoman kepada Pasal 69 ayat (1)
dan ayat (4) Undang-Undang Perikanan, yang menyatakan: Kapal pengawas perikanan
berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia; selanjutnya dalam
melaksanakan fungsi sebagaimana tersebut penyidik dan/atau pengawas perikanan
dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal
perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Adapun di dalam Penjelasan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Perikanan juga
dijelaskan mengenai pengertian bukti permulaan yang cukup, yaitu: Yang dimaksud
dengan bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya
tindak pidana di bidang perikanan oleh kapal perikanan berbendera asing, misalnya
kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki SIPI dan SIKPI, serta nyata-nyata
menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia.
Dari ketentuan Pasal 69 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Perikanan jelaslah
bahwa setiap penegak hukum dibidang perikanan dalam hal ini adalah pengawas
perikanan yang berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum dibidang
perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dapat melakukan
tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal yang
berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dalam arti, terdapat bukti
permulaan untuk menduga tindak pidana dibidang perikanan, misalnya kapal perikanan
berbendera asing tidak memiliki SIPI dan SIKPI, serta nyata-nyata menangkap dan/atau
mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa tindakan khusus tersebut tidak dapat dilakukan
dengan sewenang-wenang, tetapi hanya dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas
perikanan yakin bahwa kapal perikanan berbendera asing tersebut betul-betul
melakukan tindak pidana di bidang perikanan. Pemenuhan unsur bukti permulaan yang
cukup dalam pasal tersebut sangatlah sederhana, sepanjang kapal tersebut berada di
perairan Indonesia tanpa dokumen yang sah dan ada bukti ikan yang mereka tanggkap
maka sudah bisa dilakukan penenggelaman.
Tindakan tegas ini diprediksi akan efektif akan menimbulkan efek jera karena
kapal tersebut merupakan alat produksi utama pelaku pencurian. Kalau kapal dan
perlengkapannya yang berharga mahal tersebut ditenggelamkan, pencuri akan berpikir
seribu kali untuk mengulangi pencurian di wilayah Indonesia karena motif pencurian
adalah mencari keuntungan. Persoalan illegal fishing oleh kapal asing bukanlah
persoalan hilangnya sumberdaya perikanan belaka, melainkan juga soal pelanggaran
kedaulatan negara yang merupakan hal sangat prinsip, untuk itu penegakan hukum dan
kedaulatan kita harus benar-benar ditegakkan. Upaya tindakan tegas berupa
penenggelaman kapal ini dalam diplomasi internasional juga dirasakan sangat efektif,
satu tindakan konkrit dan tegas jauh lebih penting dan efektif daripada seribu ancaman
Praktik pembakaran dan penenggelaman kapal ikan asing yang tertangkap tangan
mencuri ikan adalah praktik yang lumrah yang juga dilakukan banyak negara lain,
seperti China dan Malaysia yang banyak menenggelamkan kapal-kapal ikan Vietnam,
serta Australia yang pernah menenggelamkan kapal ikan asal Thailand. Bahkan kapalkapal nelayan Indonesia yang tertangkap melintas batas regional pun, dibakar.
Pemerintah Indonesia tak pernah memprotes, sepanjang anak buah kapal (ABK)
selamat. Dengan demikian, sepanjang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan
peraturan hukum, kebijakan ini tidak akan mengganggu hubungan bilateral Indonesia
dengan negara-negara asal kapal.
Bab 4
Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan
1. Praktek penangkapan ikan secara ilegal merupakan tindak kriminal lintas negara yang
terorganisir dan telah menyebabkan kerusakan serius bagi Indonesia dan negara
negara di kawasan Asia Pasifik lainnya. Selain merugikan secara ekonomi, sosial,
politik, dan ekologi praktik ini merupakan tindakan yang melemahkan kedaulatan
wilayah suatu bangsa
2. Maraknya kegiatan penangkapan ikan secara ilegal yang terjadi di laut Indonesia
semakin mengkhawatirkan. Kerugian negara akibat aktivitas illegal fishing mencapai
300 triliyun rupiah per tahun. Besarnya angka kerugian tersebut mengancam
kesejahteraan nelayan local dan juga kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan.
Bab 5
Daftar Pustaka dan Referensi
Abdul Qodir Jailani, Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing: Upaya Mencegah
dan Memberantas Illegal Fishing dalam Membangun Poros Maritim Dunia, Jakarta:
Supremasi Hukum Vol.3, 2014.
Dina Sunyowati, Dampak Kegiatan IUU-Fishing, Surabaya: Seminar Nasional Peran dan
Upaya Penegak Hukum dan Pemangku Kepentingan Dalam Penanganan dan
Pemberantasan IUU Fishing di Wilayah Perbatasan Indonesia, 2014
Ignatius Yogi W S, Upaya Negara Indonesia Dalam Menangani Masalah Illegal Fishing di
Zona Eksklusif Indoensia, Yogyakarta: Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Atmajaya Yogyakarta, 2014
Rio Andri, TInjaun Kriminologi Terhadap Pencuruian Ikan di Wilayah Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia Oleh Kapal Asing Dalam Perkara No. 319 / PID / B / 2006 /
PN.Dumai, Riau: Skripsi Fakultas Hukum Riau, 2010
Zaqiu Rahman, Penenggelaman Kapal Sebagai Usaha Memberantas Illegal Fishing, Jakarta:
Jurnal Rechts Vinding, 2015
https://bisnis.tempo.co/read/news/2015/12/30/090731840/kaleidoskop2015-aksi-bersih-bersih-ala-menteri-susi
https://hukumonline.com/