Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia, yang memiliki 17.504 pulau yang
membentang dari Sabang sampai Meraoke dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000
Km serta luas wilayah laut sekitar 5,9 juta Km. Sebagai negara kepulauan berdasarkan UU
Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan Negara Kepulauan (Archipelago State) oleh
konfrensi PBB yang diakui oleh dunia Internasional maka lndonesia mempunyai kedaulatan
atas keseluruhan wilayah laut lndonesia. Indonesia terletak pada posisi silang yang sangat
strategis di antara Benua Asia dan Benua Australia. Peranan laut sangat penting sebagai
pemersatu bangsa serta wilayah lndonesia dan konsekwensinya Pemerintah berkewajiban atas
penyelenggaraan pemerintahan dibidang penegakan hukum baik terhadap ancaman
pelanggaran terhadap pemanfaatan perairan serta menjaga dan menciptakan keselamatan dan
keamanan pelayaran.
Indonesia merupakan penghasil berbagai industri maritim seperti industri perikanan, wisata
bahari, industri perkapalan dan jasa docking, jasa pelabuhan maupun sumberdaya mineral
dan energy, disamping itu Indonesia juga memiliki sumberdaya alam hayati sangat beragam
seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan, terumbu karang dan taman wisata bawah laut, serta
sumberdaya alam non hayati seperti mineral dan tambang serta harta karun dan kerangka
kapal beserta barang bawaan yang terkubur didalamnya, maka keberaadaannya harus di
pelihara dan dijaga kelestariannya.
Laut sebagai jalur komunikasi (sea lane on communication) diartikan bahwa pemanfaatan
laut untuk kepentingan lalu-lintas pelayaran antar pulau, antar negara maupun antar benua
baik untuk angkutan penumpang maupun barang, maka perlu di tentukan alur perlintasan
laut kepulauan Indonesia bagi kepentingan pelayaran lokal maupun internasional serta
fasilitas keselamatan pelayaran seperti Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP),
Telekomunikasi Pelayaran, Kapal Negara Kenavigasian, Bengkel Kenavigasian, Survey
Hidrografi untuk menentukan alur pelayaran yang amam serta infrastruktur lainnya.
Pengaturan alur lalu-lintas dan perambuannya guna kelancaran dan keselamatan pelayaran
merupakan tanggung jawab pemerintah dan kita bersama sebagai penguasa, pengelola, serta
pengguna atas Laut. Untuk itu maka perlu ditetapkan fungsi wilayah perairan guna
pemanfaatan sumberdaya alam agar tidak saling menggangu antar kegiatan pengelolaan laut
yang dapat menimbulkan dampak lingkungan khususnya kecelakaan terhadap transportasi
laut dengan menetapkan alur dan pelintasan melalui pelaksanaan penandaan terhadap bahaya
kenavigasian serta pemutakhiran kondisi perairan melalui kegiatan survey hidrografi dan
kemudian diumumkan ke dunia pelayaran.
WILAYAH PERAIRAN DI INDONESIA
Deklarasi Juanda menekankan bahwa lndonesia sebagai negara kepulauan yang merupakan
kesatuan wilayah darat, laut termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya serta udara diatasnya
maupun seluruh kekayaannya merupakan suatu kesatuan wilayah lndonesia. Berdasarkan
konvensi PBB tentang hukum laut 1982 (UNCLOS 1982) yang menempatkan hak dan
kewajiban negara dalam memanfaatkan laut sesuai dengan status hukum bagian laut yang
berbeda. Dalam mengelola potensi laut ada beberapa jenis laut yang dibedakan atas derajat
dan tingkat kewenangan pemerintah lndonesia terhadap laut-laut tersebut dan perlu mendapat
perhatian serta dikelola baik oleh pemerintah lndonesia maupun bersama negara tetangga.
Batas maritim lndonesia ditetapkan melalui kebijakan nasional, bilateral, regional, serta
lnternasional namun dalam konteks bilateral dan regional masih banyak garis batas yang
belum ditetapkan khususnya yang berkaitan dengan berbagai kawasan laut. Melalui PP
Nomor 38 Tahun 2002 tentang penetapan 183 garis pangkal bagi perairan dengan batas laut
wilayah 12 mil dari garis pangkal tersebut. Walaupun Indonesia belum menetapkan zona
tambahan di luar 12 mil laut wilayah namun telah mengumumkan dan mengundangkan ZEE
seluas 200 mil dari garis pangkal. Untuk negara kepulauan (Archipelago State) maka
penetapan titik dasar (base point) dihitung dari pulau-pulau terluar ataupun karang yang
tenggelam sewaktu air pasang (low tide elevation) yang diberi penandaan dengan SB. Secara
lnternasional lndonesia telah berhasil menetapkan selat Malaka yang dapat digunakan sebagai
alur lnternasional dan sumbu dari 3 (tiga) alur laut kepulauan lndonesia (ALKI) melintasi
perairan nusantara dan laut teritorial serta penetapan Traffic Separation Scheme (TSS) di
selat Malaka melalui konsultasi yang intensif dengan negara-negara maritim dan konvensi
organisasi maritim lnternasional.
MAKSUD DAN TUJUAN
Keamanan dan Keselamatan Pelayaran merupakan faktor yang sangat penting untuk
menunjang kelancaran transportasi laut dan mencegah terjadinya kecelakaan dimana
penetapan alur pelayaran dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan
pelayaran melalui pemberian koridor bagi kapal-kapal berlayar melintasi perairan yang
diikuti dengan penandaan bagi bahaya kenavigasian. Penyelenggaraan alur pelayaran yang
meliputi kegiatan program, penataan, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaannya
ditujukan untuk mampu memberikan pelayanan dan arahan kepada para pihak pengguna jasa
transportasi laut untuk memperhatikan kapasitas dan kemampuan alur dikaitkan dengan bobot
kapal yang akan melalui alur tersebut agar dapat berlayar dengan aman, lancar dan nyaman.
Pengaturan pemanfaatan perairan bagi transportasi dimaksudkan untuk menetapkan alur
pelayaran yang ada di laut, sungai, danau serta melakukan survey hidrografi guna
pemutakhiran data kondisi perairan untuk kepentingan keselamatan berlayar. Tujun
penjelasan tentang keselamatan pelayaran disamping menegaskan konsekwensi untuk
menindak lanjuti hasil konvensi IMO terhadap Pemerintah tentang keselamatan pelayaran
sekaligus mensosialisaikan tentang tugas dan peran Direktorat Kenavigasian Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut dimaksudkan juga untuk memberikan masukan bagi upaya
mencari solusi kedepan yang diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan yang
timbul.
Keselamatan maritim merupakan suatu keadaan yang menjamin keselamatan berbagai
kegiatan dilaut termasuk kegiatan pelayaran, eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam dan
hayati serta pelestarian lingkungan hidup. Untuk itu diperlukan tata kelautan dan penegakkan
hukum dilaut dalam menjamin keselamatan, keamanan, ketertiban dan perlindungan
lingkungan laut agar tetap bersih dan lestari guna menunjang kelancaran lalu lintas pelayaran.
Konsep kriteria dan pengaturan di bidang kelautan mempunyai implikasi yang luas dan harus
dipertimbangkan dalam pemanfaatan ruang laut Nasional.
PEMANFAATAN PERAIRAN
Kedaulatan negara atas laut dapat diartikan sebagai hak bagi negara untuk melakukan
penguasaan dan pengelolaan atas laut guna dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat. Effektivitas kedaulatan negara di laut sangat tergantung kepada
kemampuan dan kapasitas pemerintah dalam pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam khususnya di laut untuk selanjutnya mendukung aplikasi peran seluruh komponen
bangsa dalam pengelolaan laut.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia menetapkan bahwa
kepulauan dan perairan lndonesia menjadi satu kesatuan sedangkan laut yang
menghubungkan antar pulau yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dan
kedaulatan Negara RI mencakup perairan Indonesia, ruang udara diatasnya, dasar laut dan
tanah dibawahnya beserta sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya serta lebar laut
wilayah dinyatakan 12 mil laut diukur dari garis pangkal menuju luar.
Posisi geografi lndonesia yang berada dipersilangan jalur transportasi dunia yang penting,
memberikan kedudukan dan peranan strategis bagi bangsa lndonesia dalam hubungan antar
bangsa. Kondisi geografi ini mensyaratkan semakin diintensifkannya peranan Perhubungan
Laut dalam penyelenggaraan transportasi dan komunikasi disamping untuk menjamin
terwujudnya kesatuan dan keutuhan yang kokoh bagi seluruh bangsa dan wilayah Republik
lndonesia. Penegakan kedaulatan di laut ditujukan untuk membela negara secara nyata.
Penegakan hukum merupakan upaya penegakan undang-undang serta peraturan-peraturan
yang menjadi instrumen pengaturan mengenai wilayah kedaulatan negara, penggunaan laut
sebagai sarana perhubungan laut, udara dan komunikasi serta mengatur tata tertib
pemanfaatan sumberdaya di laut maupun lingkungan hidup dan ekosistemnya.
PENYELENGGARAAN TRANSPORTASI
Wilayah laut dan pesisir merupakan kawasan strategis untuk berbagai aktivitas serta
mempunyai karakteristik dan masalah yang unik dan kompleks yang ditandai dengan
keberadaan berbagai pengguna jasa melakukan aktivitas dalam memanfaatkan sumberdaya
alam menurut cara pandang yang berbeda. Keanekaragaman aktivitas yang menghasilkan
berbagai produktivitas sumber daya alam menjadi daya tarik bagi pengguna jasa untuk
melakukan pengelolaan dengan memanfaatkan kemudahan dalam pengelolaannya. Kegiatan
ini dapat menimbulkan berbagai pemusatan pembangunan dan pengelolaan di wilayah
tertentu yang memiliki skala dan intensitas yang tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa
pertumbuhan ekonomi wilayah meningkat dan untuk mendukung aneka kegiatan angkutan
lalu-lintas laut maka perlu di alokasikan kawasan tertentu guna difungsikan sebagai alur
pelayaran yang terbebas dari segala aktivitas kelautan.
Dengan memperhatikan keselamatan dan keamanan berlayar di perairan atupun di alur
pelayaran guna menghindari kecelakaan maka dapat diartikan juga bahwa kapal di dalam
melakukan pelayaran sekaligus menjaga kelestarian lingkungan alur pelayaran sehingga
dapat menghindari terjadinya konflik dalam pemanfaatan wilayah perairan.Setiap kapal yang
berlayar di wilayah alur pelayaran ataupun pelabuhan harus dilakukan dengan kecepatan
aman serta disesuaikan dengan kondisi perairan dan dibawah pengawasan Adpel. Hal ini
dimaksudkan agar lalu-lintas angkutan laut berlangsung aman dan mampu menjaga kondisi
perairan serta dapat merangsang pembangunan yang berbasis pemberdayaan dan kekuatan
lokal.
Dalam melakukan berbagai kegiatan di laut dan pesisir diterapkan berbagai peraturan
perundangan-undangan di bidang kemaritiman Nasional dan lnternasional seperti hasil
konvensi produk lnternasional United Nation, International Maritime Organization dan lain
sebagainya. Penerbitan peraturan lalu-lintas kapal dimaksudkan agar setiap kapal yang
berlayar di perairan bebas dan menyusuri alur khususnya alur yang sempit ataupun berada di
perairan pelabuhan akan selalu berhati-hati terhadap bahaya tubrukan. Artinya bahwa kapal
akan melakukan gerakan disesuaikan dengan kondisi perairan sehingga tidak menimbulkan
dampak baik terhadap bahaya kecelakaan maupun lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai aturan diterbitkan badan dunia guna mencegah tubrukan di laut dalam rangka
mempertahankan tingkat tinggi keselamatan di laut.
PERAN PERHUBUNGAN LAUT DALAM KESELAMATAN PELAYARAN
Mengaktifkan sebuah institusi secara menyeluruh yang dikaitkan dengan tugas dan fungsi
Kenavigasian sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 21 tahun 1992 tentang pelayaran
bukanlah hal yang mudah bahkan tak semudah yang digambarkan ataupun direncanakan
diatas kertas. Hal inilah yang dirasakan oleh Direktorat Kenavigasian yang sejak awal sudah
menyadari beratnya tanggung jawab dan harapan yang diamanatkan oleh ketentuan undangundang ataupun kewajiban dari mandatori dari hasil konvensi peraturan lnternasional serta
rumitnya masalah bahkan konflik yang dihadapi dilapangan.
Dukungan masyarakat terhadap keselamatan pelayaran dan fasilitasnya tidak datang dengan
sendirinya namun kebutuhan dan kepercayaan masyarakat akan keselamatan pelayaran serta
sosialisasi lebih berperan. Sesuai dengan PP Nomor 81 tahun 2000 tentang Kenavigasian
dimana Direktorat Kenavigasian Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang berperan dan
bertanggung jawab terhadap fungsi keselamatan pelayaran belum dikenal ataupun diakui
berbagai pihak baik instansi Pemerintah maupun masyarakat pengguna jasa namun untuk
manfaatnya sudah dirasakan.
Persoalannya kepercayaan publik kepada institusi itulah yang tidak ada selama ini.
Masyarakat hanya mengeluh dan melakukan kritik tentang adanya fasilitas keselamatan
pelayaran yang tidak optimal serta janji-janji pemerintah tentang pembangunan dan perbaikan
bila dalam kerusakan. Yang diperlukan masyarakat adalah hasil dan bukti pelaksanaan dan
juga banyak masyarakat belum mendukung langkah-langkah yang dilakukan (SBNP hilang)
namun pengelolaan keselamatan pelayaran tidak boleh berhenti. Sepanjang laporan
masyarakat masih ada yang berarti keberadaan fasilitas masih dibutuhkan dan sangat
mengganggu apabila tidak berfungsi. Bahkan hingga saat ini setelah banyak langkah yang
telah ditempuh masih terus saja ada pihak yang mengecam kinerja Direktorat Kenavigasian
diantaranya tidak berfungsinya SBNP hingga terjadinya kapal tubrukan ataupun kandas.
Menurut tugas pokok dan fungsi Direktorat Kenavigasian maka langkah yang dilaksanakan
baru sebagian antara lain kegiatan penyelenggaraan SBNP dan Telkompel dari tugas
Kenavigasian (sesuai UU no 17). Apabila ditemukan berbagai kendala maka perlu diambil
langkah-langkah maksimum guna mengatasinya namun sepanjang tidak didasari
pertimbangan objektif perlu diambil langkah darurat.
Melaksanakan fungsi keselamatan pelayaran bukan hal yang mudah yang harus diikuti oleh
semua instansi dan ditunjang dana yang cukup serta kesadaran semua pihak termasuk
masyarakat pengguna serta pesisir dan kelautan. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah
membangun menejemen dan aturannya, mendorong pemerintah melakukan terobosan atau
reformasi, mewujudkan fasilitas sarana dan prasarana keselamatan pelayaran serta
membangun kepercayaan ataupun kesadaran masyarakat dan memacu pembentukan payung
aturan. Keselamatan pelayaran merupakan kebutuhan sehingga perlu segera diwujudkan dan
mengaktifkan fungsi-fungsi keselamatan pelayaran melalui pembentukan lembaga dan
menejemen serta fasilitas sarana dan prasarananya.
sistem kawat, optik, radio ataupun sistem elektromagnetik lainnya dalam dinas bergerak
pelayaran yang merupakan bagian dari keselamatan pelayaran segera disampaikan kepada
pihak atau pemerintah yang terkait.
Guna ketertiban perairan serta keamanan dan keselamatan navigasi maka setiap perencanaan
kegiatan kelautan harus dikoordinasikan dengan Direktorat Kenavigasian agar tidak terjadi
tumpang tindih penempatan ataupun pembangunan fasilitas kelautan yang dapat mengganggu
kelancaran aktivitas pelayaran. Oleh karenanya penyelenggaraan Kenavigasian perlu
ditetapkan:
Penyelenggaraan Kenavigasian dilakukan guna mengatasi terjadinya kecelakaan ataupun
tingginya waktu tunggu kapal melalui penyesuaian fasilitas pengembangan fasilitas
pelabuhan serta keselamatan pelayaran dan fasilitas alur pelayaran terhadap peningkatan
kepadatan traffik.
SBNP merupakan fasilitas keselamatan pelayaran yang meyakinkan kapal untuk berlayar
dengan selamat, effisien, menentukan posisi kapal, mengetahui arah kapal yang tepat dan
mengetahui posisi bahaya di bawah permukaan laut dalam wilayah perairan laut yang luas.
Fasilitas SBNP tidak hanya digunakan untuk transportasi laut namun juga digunakan untuk
pembangunan kelautan dan nelayan. SBNP diperlukan sebagai tanda bagi para navigator
yang dipergunakan sejak adanya pelayaran menyeberang laut dan menyusur pantai dalam
rangka melakukan kegiatan niaga ataupun perang.
Pada awalnya tanda visual diwujudkan berupa nyala api diatas bukit yang tinggi untuk malam
hari sedangkan siang hari berupa asap yang mengepul. Dengan berkembangnya teknologi dan
informasi maka akan digunakan berbagai sumber cahaya SBNP antara lain jaringan PLN,
generator (mensu) ataupun solar cell dan untuk dapat dilakukan pemantauan dan
pengendalian dari jarak jauh diarahkan kepada otomatisasi guna effisiensi.
eksploitasi serta konservasi sumberdaya alam, rute yang biasa digunakan pelayaran
lnternasional dan rekomendasi organisasi lnternasional yang berwenang.
Dengan ditentukannya alur pelayaran tersebut yang diikuti persyaratan berjalan terus tanpa
henti, langsung dan secepatnya dimaksudkan juga untuk mempermudah pengawasan terhadap
keberadaan kapal asing selama berada di wilayah lndonesia serta tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan (limbah kapal) ataupun bahaya penyalahgunaan oleh negara
pengguna alur yang dapat mengganggu kestabilan negara. Masalahnya alur pelayaran hanya
tergambar di peta laut dan pemberian beberapa SBNP sebagai tanda alur dimana masyarakat
masih awam terhadap pengertian dan penggunaan SBNP tersebut. Untuk itu perlu dilakukan
sosialisasi kepada masyarakat maritim tentang keberadaan alur tersebut agar tidak terjadi
tumpang tindih dalam pemanfaatan perairan seperti kegiatan nelayan ataupun off shore di
alur yang dapat menimbulkan kecelakaan bagi kapal yang berlayar.
POLA PENENTUAN ALUR PERLINTASAN
Tujuan penetapan alur adalah untuk memperoleh alur pelayaran yang ideal dan memenuhi
berbagai aspek kepentingan keselamatan dan kelancaran berlayar serta effisien dalam
penyelenggraannya.Kawasan alur pelayaran ditetapkan oleh batas-batas yang ditentukan
secara jelas berdasarkan koordinat geografis serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan
pelayaran.
Penentuan dan pengaturan alur pelayaran di laut, sungai, danau serta penyelenggaraannya dan
juga pengaturan sistem rute dan tata cara berlalu lintas perlu diprogramkan guna kelancaran
dan keselamatan berlayar. Disamping itu pengaturan terhadap bangunan atau instalasi dan
gelaran kabel atau pipa bawah air di perairan khususnya di alur pelayaran.
Dari aspek keselamatan dan strategis perairan maka pada beberapa lokasi perlu dilengkapi
dengan fasilitas Vessel Traffic lnformation System (VTIS) ataupun Radar Beacon (RACON)
sebagai persyaratan. Dengan dipenuhinya semua persyaratan alur pelayaran kemudian
ditetapkan oleh Menteri dan disiarkan ke dunia maritim melalui lnternational Maritime
Organisation (IMO).
Mengacu kepada konvensi IMO pada Mei 1998 telah mengadopsi standard penggunaan suatu
sistem pelaporan kapa-kapal di laut kepada operator di darat pemantau lalu-lintas (Automatic
Identifikasi System-AIS) untuk memantau keselamatan pelayaran seperti menghindari
tubrukan di laut. Peralatan ini dihubungkan VTIS (Vessel traffic Information System) untuk
mengetahui nama, posisi, kecepatan dan haluan kapal yang kemudian informasi ini
dimasukkan dalam system AIS dan dipantau terus-menerus
BANGUNAN DAN INSTANSI
Bangunan dan instalasi adalah instalasi yang berada pada suatu lokasi di perairan Indonesia
baik yang kelihatan di permukaan maupun bawah air dalam jangka waktu sementara atau
selamanya dapat membahayakan pelayaran. Pada area lokasi bangunan dan instalasi perlu
ditetapkan daerah terlarang maupun daerah aman melalui penempatan SBNP, dipetakan dan
diumumkan ke dunia pelayaran.
Dengan tumbuh dan berkembangnya bangunan lepas pantai (offshore) dan semakin
meningkatnya kegiatan lalu-lintas pelayaran di perairan Indonesia perlu dilakukan pengaturan
mengenai penyelenggaraan SBNP dalam rangka membantu keamanan dan keselamatan
berlayar. Tugas pengendalian dan pengawasan bangunan lepas pantai dilakukan oleh BP
Migas dan Ditjen Migas Departemen Energi dan Sumberdaya Energi dan Mineral sedangkan
terhadap pengawasan SBNP dilakukan oleh DJPL Association of Lighthouse Authorities
(IALA) yang telah menetapkan Recommendation for the making of Offshore Structure dan
Indonesia sebagai salah satu negara anggota IALA menganggap perlu untuk mengatur lebih
lanjut ketentuan Recommendation for the making of Offshore Structure
Pasca operasi adalah masa dimana instalasi minyak dan gas bumi dinyatakan tidak lagi
operasi atau bermanfaat untuk keperluan produksi dan hal ini akan berdampak terhadap
kegiatan pemanfaatan laut lainnya apabila tidak segera dikendalikan yakni melakukan
pembongkaran instalasi atau program decomunisioning sesuai ketentuan yang berlaku dan
kewajiban yang telah diatur dalam kontrak kerja sama Technical Assistance Contract (TAC).
PEMANDUAN
Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan kapal dan kerugian lain dalam
pelayaran adalah dengan melaksanakan jasa pemanduan. Karena pandu dianggap seorang
navigator yang sangat mengetahui kondisi dan sifat perairan setempat disamping keahliannya
untuk mengendalikan kapal melalui saran atau komando perintahnya kepada nakhoda
sehingga kapal dapat melayari suatu perairan dengan selamat.
Perairan pandu dialokasikan untuk kepentingan keselamatan pelayaran dan ketertiban
maupun kelancaran lalu-lintas kapal pada wilayah perairan tertentu. Faktor yang
mempengaruhi penetapan perairan tertentu menjadi perairan pandu antara lain :
dengan kesiapan pemberian petunjuk dan pengenalan wilayah laut tersebut dengan Sarana
Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) serta dituangkan pada peta laut. Fungsi SBNP adalah
sebagai penentu posisi kapal dan menunjukan wilayah yang aman bagi kapal yang berlayar
dan juga tanda perbatasan negara serta pemberitahuan tentang adanya bahaya dan rintangan
kenavigasian.
KONDISI TRAFFIK
Perkembangan perekonomian selalu diikuti oleh peningkatan traffik serta perkembangan
teknologi kapal dan informasi sehingga hal ini menjadi tantangan bagi penyelenggaraan alur
pelayaran. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi hampir di semua wilayah perlu dicermati
terhadap peningkatan lalu-lintas angkutan laut dan kebutuhan akan alur pelayaran antara lain
selat Malaka atau alur pelabuhan Surabaya yang menunjukkan peningkatan jumlah traffik
dan jenis kapal yang signifikan sehingga perlu mendapat perhatian bagi pengelola alur.
Beberapa kasus kecelakaan kapal baik tubrukan ataupun kandas kapal menunjukkan adanya
kelemahan pada alur pelayaran beserta fasilitasnya sehingga perlu dilakukan penelitian
penyebabnya.
Seperti data traffik alur pelabuhan Surabaya yang menunjukkan bahwa jumlah kunjungan
kapal petikemas lnternasional cenderung menurun namun sebaliknya total GRT kapal
cenderung meningkat yang berarti dimensi kapal yang berkunjungan makin besar. namun
untuk jenis pelayaran lainnya cenderung stabil.
Berbeda dengan data traffik selat Malaka yang menunjukkan jumlah traffik dan dimensi
kapal yang melintasi selat Malaka cenderung meningkat. Selat Malaka dilalui oleh sekitar
300 unit kapal setiap bulannya termasuk diantaranya kapal super tangker minyak dan gas
alam cair (VLCC) serta super container dengan kapasiatas hingga 5 juta ton. Jalur
transportasi strategis tersebut disamping memberikan manfaat secara ekonomi juga
mengandung resiko terhadap bahaya kerugian dari aspek keselamatan maupun ekologi.
Perhitungan terhadap biaya pemeliharaan alur pelayaran baik dari aspek perairan maupun
perawatan fasilitas SBNP belum ada kritarianya yang dapat dijadikan pedoman dalam
mentukan klaim kerugian. Pedoman tersebut merupakan dokumen yang memuat petunjuk
praktis untuk antisipasi terjadinya kerusakan dan perawatan serta pemeliharaan SBNP mulai
dari traffik, identifikasi kerusakan, rahabilitasi serta melakukan klaim.
Penentuan dan pengaturan alur pelayaran seperti di laut, sungai, danau serta
penyelenggaraannya dan juga pengaturan sistem rute dan tata cara berlalu lintas perlu
diprogramkan guna kelancaran dan keselamatan berlayar disamping mengatur masalah
bangunan atau instalasi di perairan khususnya di alur pelayaran. Penetapan sistem rute dan
tata cara berlalu lintas didasarkan kepada
PEMANFAATAN TEKNOLOGI DAN INFORMASI
Tuntutan terhadap jasa transportasi laut yang cepat, tepat, aman, nyaman, teratur dan
terjangkau oleh para pengguna jasa semakin meningkat namun hal tersebut kurang diimbangi
oleh pemberian pelayanan yang layak dari aparat yang bekerja dilapangan. Peranan jasa
transportasi laut yang effisien dan effektif sangat dominan dalam memperlancar arus barang
maupun penumpang dan oleh karena itu perlu diperhatikan keseimbangan dalam penyediaan
fasilitas sarana dan prasarana transportasi laut.
Melalui perpaduan unsur teknologi dan informasi yang cukup canggih akan mampu
menghadirkan peralatan kenavigasian bukan hanya sekedar alat pengaman dan komunikasi
namun dapat juga sebagai alat transmisi data. Bagi para pengguna jasa yang mobilitasnya
tinggi hal ini sangat membantu dan dengan adanya perkembangan teknologi dimana masalah
jarak dan tarif sudah bukan merupakan penghalang.
Teknologi dan informasi dapat memberi peluang kepada pengguna jasa untuk mendapatkan
pelayanan yang lebih baik yang dampak lanjutnya akan meningkatkan kelancaran transportasi
laut. Perkembangan demi perkembangan sangat diharapkan dari teknologi dan informasi
seperti munculnya AIS ataupun VTIS yang akan memudahkan kegiatan pengamatan laut
dalam memantau keamanan dan keselamatan laut. Konvergensi teknologi merupakan hal
yang tidak dapat dihindari dan harus dapat diakomodsikan serta dimanfaatkan dan ditanggapi
secara positif dalam bentuk penyesuaian maupun peningkatan menejemen dan peralatan serta
SDM.
lnternasional Maritime Organization (IMO) dan Savety of Life at Sea (SOLAS) chapter V
regulation 19 tentang implementasi Automatic ldentification System (AIS) menetapkan setiap
kapal harus dilengkapi oleh peralatan AIS. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui
identitas dan posisi kapal serta dapat menuntun kapal apabila terjadi kondisi darurat
(emergency).
Sejalan dengan ketentuan tersebut peralatan AIS dapat dimanfaatkan untuk melakukan
pengawasan dan mengatur cara berlalu-lintas di alur pelayaran maupun di lingkungan
pelabuhan serta di daerah perairan perbatasan ataupun wilayah terpencil dalam rangka
mendukung sistem keamanan dan keselamatan pelayaran. Hal ini dilakukan dengan
menempatkan peralatan AIS tersebut pada lokasi tertentu yang dinilai strategis sebagai fungsi
SBNP.
KESIMPULAN
Dalam rangka mewujudkan Keselamatan Pelayaran maka fungsi kegiatan Kenavigasian yang
meliputi kegiatan yang berkaitan dengan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP),
Telekomunikasi Pelayaran (Telkompel), Hidrografi, Alur dan Pelintasan, Bangunan atau
lnstalasi, Pemanduan, penanganan kerangka kapal dan Salvage, dan atau Pekerjaan Bawah
Air (PBA) untuk kepentingan Keselamatan Pelayaran serta harus didukung dengan
seperangkat hukum yang memadai
Untuk menjamin kepentingan Nasional di perairan maka semua fungsi keselamatan pelayaran
harus dapat berjalan dengan tertib, terarah dan mempunyai landasan hukum yang mantap
Kecenderungan masing-masing instansi menerbitkan produk hukum yang tidak terintegrasi
yang mengakibatkan terjadi kesimpang-siuran dan tumpang tindih dalam melaksanakan
pemanfaatan laut
Bahwa sesungguhnya penetapa alur pelayaran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
tata ruang Nasionap secara keseluruhan khususnya di perairan sehingga merupakan satu
dimensi yang tidak terpisahkan dari dimensi-dimensi yang lain yang membentuk tataruang
nasional.
Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan
keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan
lingkungan maritim.
Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal,
pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan,
kesejahteraan
Awak Kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan
pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di
perairan tertentu.
Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi,
bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk
perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat
setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
Badan Klasifikasi adalah lembaga klasifikasi kapal yang melakukan pengaturan kekuatan
konstruksi dan permesinan kapal, jaminan mutu material marine, pengawasan pembangunan,
pemeliharaan, dan perombakan kapal sesuai dengan peraturan klasifikasi.
Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga
angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang
berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan
terapung yang tidak berpindah-pindah.
Kapal Perang adalah kapal Tentara Nasional Indonesia yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kapal Negara adalah kapal milik negara digunakan oleh instansi Pemerintah tertentu yang
diberi fungsi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
menegakkan hukum serta tugas-tugas Pemerintah lainnya.
Kapal Asing adalah kapal yang berbendera selain bendera Indonesia dan tidak dicatat dalam
daftar kapal Indonesia.
Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau
operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum
dalam buku sijil.
Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal
dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Anak Buah Kapal adalah Awak Kapal selain Nakhoda.
Kenavigasian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Sarana Bantu NavigasiPelayaran, Telekomunikasi-Pelayaran, hidrografi dan meteorologi, alur dan perlintasan,
pengerukan dan reklamasi, pemanduan, penanganan kerangka kapal, salvage dan pekerjaan
bawah air untuk kepentingan keselamatan pelayaran kapal.
Navigasi adalah proses mengarahkan gerak kapal dari satu titik ke titik yang lain dengan
aman dan lancar serta untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan-pelayaran.
Alur-Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan
pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari.
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran adalah peralatan atau sistem yang berada di luar kapal
yang didesain dan dioperasikan untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi bernavigasi
kapal dan/atau lalu lintas kapal.
Telekomunikasi-Pelayaran adalah telekomunikasi khusus untuk keperluan dinas pelayaran
yang merupakan setiap pemancaran, pengiriman atau penerimaan tiap jenis tanda, gambar,
suara dan informasi dalam bentuk apa pun melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem
elektromagnetik lainnya dalam dinas bergerak-pelayaran yang merupakan bagian dari
keselamatan pelayaran.
Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam membantu, memberikan saran, dan informasi
kepada Nakhoda tentang keadaan perairan setempat yang penting agar navigasi-pelayaran
dapat dilaksanakan dengan selamat, tertib, dan lancar demi keselamatan kapal dan
lingkungan.
Perairan Wajib Pandu adalah wilayah perairan yang karena kondisi perairannya
mewajibkan dilakukan pemanduan kepada kapal yang melayarinya.
Pandu adalah pelaut yang mempunyai keahlian di bidang nautika yang telah memenuhi
persyaratan untuk melaksanakan pemanduan kapal.
Pekerjaan Bawah Air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau
kapal yang dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus,
yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan air.
PPP Morodemak pada hari rabu tanggal 8 Mei 2013 telah mangadakan Kegiatan Sosialisasi
Keselamatan Pelayaran. Melalui kegiatan ini diharapkan pula terwujudnya suatu komunikasi,
koordinasi, harmonisasi, integrasi dan sinergi antar nelayan dan pemerintah dalam
penanganan permasalahan yang terjadi. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka membina
nelayan agar lebih mengerti aturan dan hukum perikanan untuk keselamatan dalam berlayar.
kegiatan ini di ikuti oleh 30 nelayan di wilayah Tri Desa yaitu Morodemak, Purworejo dan
Margolinduk. Dalam kegiatan itu disampaikan materi tentang Tata cara mendaftarkan Surat
Kebangsaan (PAS Kecil), Pemeriksaan fisik alat penangkap ikan dan alat bantu penangkap
ikan, Sosialisasi peraturan Kapal < 30 GT, dan Tupoksi Satpol Air dalam keselamatan
pelayaran.
Pelatihan diikuti 30 peserta dari kelompok nelayan di Kabupaten Badung, khususnya yang
beroperasi di wilayah Kelurahan Jimbaran, Kedonganan dan Tuban.
Pelatihan dimaksudkan selain untuk memberi pengetahuan dan keterampilan tentang
pelayaran, juga meningkatkan disiplin dan keselamatan berlayar bagi nahkoda kapal/nelayan.
"Selain itu juga untuk mendidik para nahkoda kapal/nelayan untuk dapat meningkatkan
profesionalisme dan kompetensi dalam menjalankan profesinya serta mendorong peningkatan
mutu dan keterampilan dalam mengemudikan kapal," katanya.
Materi pelatihan antara lain menyangkut pengetahuan keselamatan berlayar, tertib berlayar,
rambu-rambu laut dan sistem komunikasi berlayar serta pengetahuan tentang SAR.
Hadir pada kesempatan tersebut sejumlah pejabat dari jajaran Dinas Peternakan, Perikatan
dan Kelautan Badung, Badan SAR Denpasar, Kantor Adpel Benoa, Kantor Distrik Navigasi
Denpasar, Lurah Jimbaran serta Bendesa Adat Jimbaran.(*)
Bupati Badung dalam sambutannya yang disampaikan Staf Ahli Made Witna menekankan
bahwa, keselamatan berlayar mempunyai arti penting bagi setiap pengguna maupun pelaku
jasa transportasi laut. Mengingat semakin banyaknya terjadi kecelakaan di laut, apalagi
belakangan ini terjadi anomali cuaca yang kurang menguntungkan sehingga diperlukan
pengetahuan dan profesionalisme dari setiap pelaku jasa transportasi laut. Dijelaskan jumlah
transportasi laut yang terdapat di Kabupaten Badung saat ini tercatat 2.126 buah. Dari jumlah
tersebut 1.482 buah merupakan jenis kapal penangkap ikan yang dikemudikan oleh nelayan,
sisanya sebanyak 644 buah digunakan untuk menunjang kegiatan wisata bahari.
Ketua Panitia I Made Widiana melaporkan, tujuan kegiatan ini guna mendorong peningkatan
mutu dan keterampilan nelayan dalam mengemudikan kapalnya serta selalu menjaga
ketertiban, keamanan, keselamatan, kelancaran dan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan
lalu lintas di laut. Pembinaan dan pelatihan keselamatan berlayar bagi nelayan diikuti
sebanyak 60 orang. Dengan pelatihan ini, sampai tahun 2014 jumlah nahkoda kapal/nelayan
yang sudah dilatih baru sebanyak 270 orang dari jumlah nelayan di Kabupaten Badung secara
keseluruhan sebanyak 1.909 orang
dari DPK Kabupaten Demak, Nurmidi dari Polsek Bonang dan Sukismo dari POSAL Morodemak.
Nanang selaku Kabid Tangkap DKP Kabupaten Demak menyampaikan beberapa hal penting,
diantaranya bahwa semua kapal harus mempunyai ijin, baik itu kapal tradisional maupun modern.
Kapal dengan ukuran kurang dari 7 GT di daftarkan di Dinas Perhubungan Kabupaten Demak,
kemudian 7-30 GT di daftarkan di Provinsi dan lebih dari 30 GT di daftarkan di Kementerian
Ujarnya.
Dengan terdaftarnya semua nelayan maka kedepan, dalam pembuatan kartu Nelayan akan sangat
mudah, karena secara tidak langsung nelayan telah terdata di Dinas Kelautan dan Perikanan. Dalam
hal keselamatan nelayan harus mempunyai pelampung, dan DKP Kabupaten Demak memberi solusi
agar nelayan dapat membentuk KUB- KUB Nelayan dan mengajukan proposal bantuan pelampung,
sehingga DKP Kabupaten Demak bisa mengusahakan bantuan tersebut.
Keselamatan merupakan kebutuhan begitulah yang selama ini di gadang- gadang oleh kepolisian,
hal itu di sampaikan oleh Nurmidi, Kasat Polair, pada waktu memberikan materi. dalam setiap
patroli, Polair menemukan banyak sekali nelayan yang tidak mempunyai surat-surat perijinan, oleh
karena itu Polair akan terus melakukan pembinaan terhadap nelayan. Sesuai dengan tugas
Kepolisian bahwa kami akan melindungi , mengayomi, dan melayani masyarakat, khususnya
masyarakat nelayan ujar Nurmidi.
Narasumber terakhir dari POSAL Morodemak yaitu Sukismo menyampaikan bahwa keselamatan
pelayaran merupakan usaha meminimalkan segala resiko pelayaran di laut. Kami berharap kedepan
jangan sampai terjadi kecelakaan di laut, nelayan juga perlu memeperhatikan alat keselamatan,
syukur- syukur nelayan menggunakan alat komunikasi radio, sehingga kalau terjadi sesuatu bisa
langsung di ketahui ujar Sukismo.
TEMPO.CO, Banyuwangi - Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, Jawa
Timur, Pujo Hartanto, mengatakan separuh dari 3.000 kapal nelayan yang berkapasitas di bawah 7
gross ton (GT) tidak memiliki pass berlayar.
Menurut Pujo, pass jalan merupakan salah satu kelengkapan dokumen kapal untuk menentukan
apakah kapal yang dipakai nelayan laik dioperasikan atau tidak. Pass jalan berlaku satu tahun dan
bisa diperpanjang karena sangat penting fungsinya demi menjamin keselamatan pelayaran. "Kalau
pada kendaraan di jalan, pass jalan perahu semacam uji kir," katanya kepada Tempo, Rabu 11 April
2012.
Pujo menjelaskan saat ini Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengajukan rancangan peraturan
daerah tentang ketentuan pass jalan bagi kapal di bawah 7 GT kepada DPRD. Setelah peraturan
daerah itu disahkan dan diberlakukan, penerbitan pass jalan kapal kecil yang semula ditangani oleh
Kantor Pelabuhan Ketapang dialihkan ke Dinas Perhubungan.
Pujo mengakui banyaknya kapal kecil yang tidak memiliki pass jalan karena masih rendahnya
sosialisasi. Banyuwangi dianggapnya ketinggalan dalam pembuatan perda tersebut karena daerah
lain sudah lama memberlakukannya.
Akibat banyaknya kapal yang tidak punya pass jalan, selama ini tingkat kecelakaan nelayan cukup
tinggi yang diduga karena kapal tidak laik jalan. "Kami juga tidak bisa melakukan uji petik karena
belum ada perda," ujar Pujo.
Kepala Kantor Pelabuhan Ketapang Banyuwangi, Sentot Budi Santoso, mengakui masih banyak kapal
nelayan di bawah 7 GT tidak memiliki pass jalan. Bahkan, menurut dia, jumlah kapal yang punya pass
jalan tidak sampai 10 persen.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) cabang Banyuwangi, Hasan Basri, mengatakan
nelayan enggan mengurus pass jalan karena birokasinya yang terlalu panjang dan rumit. Menurut
Hasan, untuk mendapatkan pass jalan nelayan harus datang ke Dinas Perhubungan di pusat kota dan
menempuh perjalanan dua jam dari tempat nelayan bekerja.
Selain itu, nelayan harus melengkapinya dengan berbagai surat keterangan seperti dari desa dan
kecamatan. "Waktu pengurusan juga tidak bisa selesai satu hari," ucap Hasan.
Menurut Hasan, nelayan meminta supaya pemerintah Banyuwangi mendirikan pusat pelayanan pass
jalan di setiap pelabuhan, sehingga lebih memudahkan nelayan mengurusnya. TEMPO.CO,
Banyuwangi - Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Pujo
Hartanto, mengatakan separuh dari 3.000 kapal nelayan yang berkapasitas di bawah 7 gross ton (GT)
tidak memiliki pass berlayar.
Menurut Pujo, pass jalan merupakan salah satu kelengkapan dokumen kapal untuk menentukan
apakah kapal yang dipakai nelayan laik dioperasikan atau tidak. Pass jalan berlaku satu tahun dan
bisa diperpanjang karena sangat penting fungsinya demi menjamin keselamatan pelayaran. "Kalau
pada kendaraan di jalan, pass jalan perahu semacam uji kir," katanya kepada Tempo, Rabu 11 April
2012.
Pujo menjelaskan saat ini Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengajukan rancangan peraturan
daerah tentang ketentuan pass jalan bagi kapal di bawah 7 GT kepada DPRD. Setelah peraturan
daerah itu disahkan dan diberlakukan, penerbitan pass jalan kapal kecil yang semula ditangani oleh
Kantor Pelabuhan Ketapang dialihkan ke Dinas Perhubungan.
Pujo mengakui banyaknya kapal kecil yang tidak memiliki pass jalan karena masih rendahnya
sosialisasi. Banyuwangi dianggapnya ketinggalan dalam pembuatan perda tersebut karena daerah
lain sudah lama memberlakukannya.
Akibat banyaknya kapal yang tidak punya pass jalan, selama ini tingkat kecelakaan nelayan cukup
tinggi yang diduga karena kapal tidak laik jalan. "Kami juga tidak bisa melakukan uji petik karena
belum ada perda," ujar Pujo.
Kepala Kantor Pelabuhan Ketapang Banyuwangi, Sentot Budi Santoso, mengakui masih banyak kapal
nelayan di bawah 7 GT tidak memiliki pass jalan. Bahkan, menurut dia, jumlah kapal yang punya pass
jalan tidak sampai 10 persen.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) cabang Banyuwangi, Hasan Basri, mengatakan
nelayan enggan mengurus pass jalan karena birokasinya yang terlalu panjang dan rumit. Menurut
Hasan, untuk mendapatkan pass jalan nelayan harus datang ke Dinas Perhubungan di pusat kota dan
Dari data pukul 03 UTC (11.00 WITA) dan 06 UTC (14.00 WITA) pengamatan cuaca di
Kantor BMKG terdekat, tidak terdapat pertumbuhan awan-awan konvektif yang signifikan
seperti awan Cumulonimbus. Hanya ada awan-awan cumulus dengan ketinggian puncak
sekitar 2100 meter. Kecepatan angin juga menunjukan angka yang normal yaitu antara 5 6
knots.
Renungan Bersama
Dari tinjauan beberapa faktor cuaca tersebut, bisa disimpulkan bahwa keadaan cuaca saat
peristiwa ini adalah baik-baik saja. Tidak ada keadaan signifikan yang seperti angin kencang,
hujan, atau Bandai Guntur yang dapat menyebabkan terbaliknya kapal. Gelombang laut pun
saat kejadian berada di level normal bahkan untuk kapal sejenis kapal nelayan masih dapat
berlayar.
Faktor kelalaian nahkoda memang jadi satu-satunya yang beralasan saat ini. Ya, menurut
penuturan saksi mata, kapal tiba-tiba memutar haluan dan menyebabkan kapal terbalik. Saksi
mata juga menuturkan bahwa yang mengemudikan kapal saat itu bukanlah kapten kapal,
melainkan boi-boi atau Anak Buah Kapal (ABK). Faktor lainnya yang menurut saya juga
berpengaruh adalah faktor kapal itu sendiri. Kapal ini memang bukan diperuntukan untuk
mengangkut penumpang, apalagi hingga ratusan orang. Menurut beberapa sumber, kapal
adalah kapal untuk mencari ikan.
Mengapa event sebesar ini masih mengalami kendala di sarana dan prasarana? Sarana seperti
kapal-kapal khusus penumpang untuk para peziarah merupaka sarana vital dalam event yang
bisa dibilang berkapasitas internasional ini. Bayangkan saja, seluruh umat Kristiani baik dari
dalam maupun luar negeri datang berziarah ke Larantuka. Peristiwa seperti ini tentunya dapat
mencoreng nama Indonesia di mata dunia. Kapal-kapal khusus penumpang tentunya memiliki
alat-alat keselamatan standar seperti pelampung dan peralatan lain yang dapat mengurangi
dampak negatif apabila terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan.
Akhir kata, saya turut berduka cita atas kejadian ini, semoga keluarga penumpang yang
meninggal dunia diberi ketabahan dan arwah para penumpung yang meninggal di terima di
sisi-Nya.*
RMOL. Pemerintah perlu memberikan jaminan perlindungan jiwa kepada nelayan. Sebab, jumlah
nelayan yang meninggal akibat kecelakaan saat beraktivitas di tengah laut terus mengalami
peningkatan selama empat tahun terakhir.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat, pada tahun 2010 ada 86 nelayan
meninggal, meningkat menjadi 149 orang pada 2011 dan sebanyak 160 orang pada 2012. Bertambah
lagi di tahun 203 menjadi 225 nelayan tradisional yang meninggal.
Koordinator Pendidikan dan Penguatan Jaringan Kiara, Slamet Daryoni memperkirakan, tahun ini
angka kecelakaan kapal nelayan yang menimbulkan korban jiwa akan mengalami peningkatan seiring
kondisi cuaca buruk di perairan yang semakin ekstrem.
"Apalagi, hingga Juli 2014 sudah ada 207 nelayan yang meninggal akibat kecelakaan di laut, tentu
angka tersebut diperkirakan terus meningkat hingga akhir tahun nanti," katanya di Jakarta, Kamis
(25/9).
Sebagian besar kapal nelayan tradisional berukuran kecil ini tidak memiliki alat keselamatan
sehingga dengan mudah dihantam gelombang disertai angin kencang. Mereka berlayar tanpa
perlindungan dan jaminan jiwa, sosial kesehatan maupun pendidikan dari pemerintah. Selain itu,
semakin sulitnya akses melaut akibat praktik pembangunan yang tidak ramah lingkungan, serta
ancaman bencana yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seiring perubahan iklim yang
cukup ekstrem.
Berdasarkan Pasal 7 ayat 2 UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, status cuaca ekstrem di
laut semestinya dikategorikan sebagai bencana nasional. Apalagi, Badan Metereologi, Klimateologi
dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan informasi perkiraan cuaca dan peringatan dini apabila ada
perkiraan cuaca buruk di perairan yang membahayakan keselamatan nelayan.
"Ironisnya, informasi yang disediakan BMKG ini tidak dijadikan sebagai panduan oleh pemerintah
untuk melindungi nelayan, akibatnya angka kecelakaan kapal nelayan dan korban jiwa di laut terus
mengalami peningkatan yang cukup tinggi," ujarnya.[wid]
Agustus 2014 bertempat di Dusun Amed, Desa Purwa Kerti Kecamatan Abang Kabupaten
Karangasem.
I Ketut Dana menyampaikan dalam sambutannya bahwa keselamatan kapal,disamping
keselamatan berlayar,keselamatan jiwa dilaut dan keselamatan lingkungan maritim
merupakan salah satu komponen penting dalam mendukung keselamatan pelayaran, sehingga
dapat meminimalisasi terjadinya kecelakaan kapal,korban jiwa dan harta benda dilaut dan
pencemaran lingkungan.
Dalam penyuluhan tersebut menghadirkan 4 narasumber :
Pemaparan pertama di sampaikan dari Kepala Dinas Perhubungan, Informasi dan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1
2
3
4
5
6