Anda di halaman 1dari 38

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH
MANAJEMEN KELAUTAN

PERENCANAAN STRATEGIS PENGELOLAAN SUMBER DAYA


DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

DISUSUN OLEH:
1. DANI SETIADI (011702573125001)
2. MARETI PRIMADONA (011702573125004)
3. TEGUH RISTIANTO (011702573125008)
4. TITA NURVITA (011702573125009)
5. WIDYASTUTI MUGI R (011702573125010)

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Mata Kuliah Manajemen Kelautan
yang berjudul “Perencanaan Strategis Pengelolaan Sumber Daya di Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil” dengan tepat waktu dan tanpa halangan berarti.
Laporan ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Manajemen
Kelautan. Kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Ir. Nurhayati, M.Si., selaku Ketua Jurusan Teknik Lingkungan;
2. Bapak Yudha Lestira Dhewantara, S.PI., M.Si., selaku dosen pengampu mata
kuliah Manajemen Kelautan;
3. Orang tua yang selalu memberikan dorongan dan kasih sayang; dan
4. Teman-teman yang telah banyak membantu kami dalam penyusunan laporan ini.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari kata
sempurna. Kritik dan saran senantiasa kami harapkan demi kemajuan di keesokan
harinya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca pada
umumnya. Terima kasih.

Penyusun

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ............................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG ................................................................................... 1
1.2. RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 2
1.3. TUJUAN DAN MANFAAT ......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ................................... 3
2.2. SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ...... 6
2.3. KEBIJAKAN & PERATURAN TERKAIT PENGELOLAAN WILAYAH
PESISIRDAN PULAU-PULAU KECIL ....................................................... 14
2.4. KONSEP PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL .............................................................................. 15
2.5. PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN POTENSI PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL DI DAERAH ........................................................ 19
BAB III PERMASALAHAN & PEMBAHASAN
3.1. ANATOMI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ...................................................... 21
3.2. TINDAK LANJUT PENYELESAIAN PERENCANAAN
PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR DAN PULAU-
PULAU KECIL............................................................................................. 28
3.3. KEBERHASILAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGELOLAAN
SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ...... 30
BAB IV PENUTUP
4.1. KESIMPULAN ............................................................................................. 32
4.2. SARAN ......................................................................................................... 32

ii
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dilihat dari aspek geografis merupakan negara dengan prosentase


sebagian besar merupakan wilayah perairan yang tergugus pulau – pulau besar dan kecil,
memiliki 17.510 pulau dan panjang garis pantai mencapai kurang lebih 81.000 km
(DKP,2008). Luas wilayah laut mencakup 70 persen (%) dari total wilayah Indonesia.
Secara geografis letak kepulauan Indonesia sangat startegis yakni berada di daerah tropis
yang diapit oleh dua benua (Asia dan Australia), dua samudera (Pasifik dan India), serta
merupakan tiga pertemuan tipe lempeng besar yakni Eurasia, India – Australia dan
Pasifik. Hal tersebut menjadikan kepulauan Indonesia dikaruniai kekayaan sumberdaya
kelautan yang berlimpah, baik berupa sumberdaya hayati dan non-hayati.

Pengembangan wilayah pesisir dan laut merupakan suatu keharusan yang


dilakukan saat ini. Sejak tahun 1982, berdasarkan hukum laut internasional (UNCLOS)
luas lautan indonesia mencapai 5,8 juta kilometer persegi termasuk Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 kilometer persegi. Wilayah pesisir memiliki nilai strategis
karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
berkesinambungan dan memiliki sumberdaya alam (hayati dan non hayati) dan jasa
lingkungan yang sangat rentan terhadap berbagai perubahan akibat pembangunan dan
bencana alam yang rentan terjadi (seperti; gelombang pasang, banjir,erosi dan badai).
Kekayaan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil memiliki daya
tarik bagi berbagai pihak untuk eksploitasi. Adapun sumberdaya yang terdapat di wilayah
pesisir dan pulau pulau kecil yaitu dibagi atas dua kelompok besar yaitu sumberdaya
manusia dan sumberdaya alam. Sumberdaya alam yang ada, dibagi atas empat kategori,
yaitu : (a) sumberdaya dapat pulih, seperti ikan, mangrove dan terumbu karang, (b)
sumberdaya tidak dapat pulih, seperti mineral, pasir laut dan garam, (c) jasa lingkungan
kelautan, seperti wisata bahari, transportasi laut, dan energi kelautan serta (d) benda
berharga tenggelam.

Wilayah pesisir dan pulau pulau kecil terdapat berbagai ekosistem alami yang
memiliki fungsi berlainan, misalnya hutan bakau, padang lamun, estuaria, delta, dan
terumbu karang. Selain dimanfaatkan sebagai sumberdaya alam pesisir, ekosistem

1
tersebut juga memiliki fungsi ekologi yang penting yaitu sebagai pelindung pantai,
pengatur luapan banjir, sebagai tempat mengendapnya sedimen atau bahan pencemar dan
tempat berlindung juga berkembangnya jenis – jenis biota yang memiliki potensi
ekonomi yang tinggi. Disisi lain, wilayah pesisir juga merupakan wadah kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, yang mengandung potensi sumberdaya pesisir yang
bersifat terbatas. Selain itu wilayah pesisir dan pulau pulau kecil digunakan juga sebagai
wadah berbagai aktifitas manusia dengan intensitas yang tinggi, misal permukiman,
kawasan industri, pertanian, pertambakan, pelabuhan, rekreasi dan pariwisata,
pertambangan, pembangkit tenaga listrik, dan konservasi sumberdaya alam. Oleh karena
itu wilayah pesisir disamping menjadi pusat kegiatan juga dapat menjadi pusat konflik
atau benturan antara kepentingan sektor yang satu dengan sektor yang lainnya. Oleh
sebab itu perlu adanya suatu perencanaan strategis pengelolaan sumberdaya di
wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan pada penulisan makalah ini,


maka rumusan permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kebijakan terhadap pengelolaan sumbedaya di wilayah pesisir dan


pulau pulau kecil?
2. Bagaimana konsep dan pengaturan perencanaan strategis yang dapat diterapkan
terkait pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Adapun manfaat dan tujuan penyusunan makalah ini adalah

1. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan, konsep dan pengaturan perencanaan


strategis terhadap pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau pulau
kecil.
2. Menambah referensi pengetahuan mengenai perencanaan pengelolaan
sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan
batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air
yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut,
perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas,
sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar
dari pada daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini
masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan
aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat
seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Bengen, 2002).

Sedangkan untuk pulau pulau kecil didefinisikan berdasarkan dua kriteria


utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya. Definisi
pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional sesuai dengan Kep. Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No.
67/2002 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 ,
dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Di samping
kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara
ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang
jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; mempunyai
sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai
tinggi; tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air
(catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan
sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.

Berdasarkan tipenya, pulau-pulau kecil dibedakan menjadi pulau benua,


pulau vulkanik dan pulau karang. Masing-masing tipe pulau tersebut memiliki

3
kondisi lingkungan biofisik yang khas, sehingga perlu menjadi pertimbangan
dalam kajian dan penentuan pengelolaannya agar berkelanjutan. Hal ini akan
berpengaruh pula terhadap pola permukiman yang berkembang di pulau-pulau
kecil berdasarkan aktivitas yang sesuai dengan kondisi lingkungan biofisik
tersebut. Misalnya tipologi pulau kecil lebih dominan ke arah pengembangan
budidaya perikanan, maka kemungkinan besar pola permukiman yang
berkembang adalah masyarakat nelayan.

Penentuan batas wilayah pesisir dan laut tidak dapat disamakan


antara ketentuan dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK dengan
UNCLOS 1982. UU Nomor 27 Tahun 2007 berlaku pada batas wilayah
administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil diukur
dari garis pantai, sedangkan UNCLOS 1982 tidak menentukan batas wilayah
pesisir maupun cara pengukurannya. Menurut UNCLOS 1982, pengertian /
batasan wilayah pesisir tidak diatur, tetapi UNCLOS 1982, membagi laut ke
dalam zona-zona yaitu:

a. Wilayah laut yang berada di bawah yurisdiksi suatu Negara adalah : 1. Perairan
Pedalaman (Internal Waters), 2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters) 3.
Laut Wilayah (Territorial Sea), 4. Zona Tambahan (Contiguous Zone), 5. Zona
Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone), 6. Landas Kontinen
(Continental Shelf).
b. Wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi suatu Negara adalah: 1. Laut Lepas
(High Seas), 2. Dasar Laut Dalam / kawasan (Area / Deep Sea Bed).

Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna


strategis bagi pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai
salah satu pilar ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah
dikemukakan beberapa ahli dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan
hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut antara lain adalah :

1. Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60%
dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis

4
pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal
perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang.

2. Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten
berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing
daerah otonomi tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam
pengolahan dan pemanfaatan wilayah pesisir.

3. Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar


mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung berbagai
asset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki nilai
ekonomi dan financial yang sangat besar.

4. Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi


terhadap pembentuka PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu,
pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future
resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini
belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat
ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.

5. Wilyah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen


(exporter) sekaligus sebagi simpul transportasi laut di Wilayah Asia Pasifik.
Hal ini menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-
produk sektor industri Indonesia yang tumbuh cepat (4%-9%)

6. Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan
lauatan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a) pertambangan
dengan diketahuinya 60% cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7
juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan di dunia, (c)
pariwisata bahari yang diakui duniadengan keberadaan 21 spot potensial, dan
(d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) sebagai
daya tarik bagi pengembangan kegiatan “ecotaurism”.

5
7. Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut
tripis dunia kerena hamper 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia
terdapat di Indonesia.

8. Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan


antar Negara maupun antar daerah yang sensitive dan memiliki implikasi
terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).

2.2 Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil

Menurut Charle (2001), keberlanjutan sistem pesisir dan pulau pulau kecil
ditopang beberapa dimensi, yaitu :

1. Dimensi ekologi (ecological sustainability) yang mencakup kelestarian


sumberdaya, kelestarian spesies, serta kelestarian ekosistem.
2. Dimensi sosialekonomi (socio-economic sustainablity), yang berarti kelestarian
kesejahteraan sosialekonomi para pelakunya, yang basisnya adalah
keberlanjutan keuntungan dan distribusinya kepada seluruh pelaku, serta
keberlanjutan sistem sumberdaya pesisir, baik di tingkat ekonomi lokal
maupun global.
3. Dimensi masyarakat (community sustainaibility) yang berorientasi pada
keberlanjutan masyarakat sebagai sebuah sistem, yang di dalamnya mencakup
nilai budaya, aturan lokal, pengetahuan, dan kohesivitas.
4. Dimensi kelembagaan (institutional sustainablity), yakni kesinambungan
kapasitas finansial, administrasi, dan organisasi, yang menjaga keberlanjutan
tiga dimensi sebelumnya.

Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, sumberdaya di wilayah


pesisir dibagi atas dua aspek utama yiatu sumberdaya manusia dan sumberdaya
alam.

6
2.2.1 Sumberdaya Manusia Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil

Sumber daya mausia yang dimaksud dalam sub bab ini adalah masyarakat
pesisir. Masyarakat pesisir, secara harafiah diartikan sebagai masyarakat yang
berdomisili di wilayah pesisir. Namun pemahaman dalam konteks pengembangan
masyarakat (community development), “nomenklatur” masyarakat pesisir
dipadankan dengan kelompok masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir
yang hidupnya masih “tertinggal” (e.g. nelayan, pembudidaya ikan, buruh
pelabuhan, dsb) dibandingkan dengan kelompok masyarakat pesisir lainnya (e.g.
pedagang, pengusaha perhotelan, dsb) yang lebih sejahtera. Kebijakan sosial
ekonomi (pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur, kelembagaan) dalam
pengembangan masyarakat pesisir yang “tertinggal” tersebut perlu ditinjau
kembali (revisited) dan direkayasa ulang (re-engineering) mengingat perbaikan
kehidupannya sangat lambat khususnya nelayan yang sebagian besar masuk
kategori miskin dari kelompok yang paling miskin (poor of the poorest)
(Kusumastanto, 2010).

Masyarakat pesisir pada umumnya memiliki karakteristik yang plural


(merupakan akulturasi budaya perkotaan dan pedesaan dari berbagai wilayah).
Ada beberapa karakteristik masyarakat pesisir yaitu :

(a) Budaya terbuka


(b) Sumber kehidupannya tergantung pada sumberdaya alam
(c) Aktifitas ekonominya sangat dipengaruhi oleh cuaca dan musim
(d) Peran pasar sangat menentukan dalam berkembangnya aktivitas masyarakat

Sebagai ilustrasi : masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai


nelayan, sangat tergantung dari kondisi lingkungan laut yang sangat rentan dari
kerusakan, seperti penghancuran terumbu karang (coral reef), mangrove, serta
padang lamun (seagrass), pencemaran, maupun bencana laut. Masyarakat pesisir
sering disebut sebagai masyarakat miskin, jika dilihat dari tingkat perekonomian.
Menurut Hanson, A.J (1984), kondisi spesifik masyarakat pesisir dibedakan atas
tiga aspek yang tertera pada Tabel 2.2.1 Kondisi Spesifik Masyarakat Pesisir.

7
Tabel 2.2.1 Kondisi Spesifik Masyarakat Pesisir

Tipologi Kondisi Spesifik


Ekologis / - Zona ekologi yang luas dengan luasan area yang dikelola relatif
Geografi sempit
- Aspek fisik lautan menyebabkan produktivitas yang tinggi
dalam kegiatan satu hari pelayaran
- Adanya keterbatasan dalam transportasi laut, pelabuhan atau
alternatif untuk memanfaatkan bagian daratan
Ekonomik - Sumber daya yang berfluktuasi dari ketersediaan pasar
menyebabkan variasi pendapatan dan ketidakpastian
- Lokasi komunitas yang terisolasi membuat biaya tinggi dalam
membangun dan memelihara infrastruktur, investment agak
sulit, dan modal berlebih di beberapa lapisan masyarakat
Sosial - Akseske pelayanan sosial terbatas seperti layanan kesehatan dan
pendidikan dibandingkan dengan di pedesaan di daratan,
kalaupun ada terkadang tidak sesuai dengan yang diperlukan
- Adanya intervensi orang luar untuk membentuk organisasi untuk
self-help yang memberdayakan masyarakat semacam koperasi
perikanan. Kelompok nelayan dan lain lain.
- Keeratan hubungan dalammasyarakat yang cukup tinggi
- Ketergantungan pada hukum positif, umumnya masyarakat
memiliki aturan lokal untuk memanfaatkan sumberdaya
setempat
- Adanya tindak kejahatan oleh orang – orang tertentu berupa
pembajakan, pemukulan dan tindakan lain dan kurang
diperhatikan oleh pemerintah.

8
2.2.2 Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil

Berdasarkan Undang – Undang No 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas


Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau pulau kecil, sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir dan pulau pulau
kecil terbagi atas empat golongan, yaitu sebagai berikut

a. Sumberdaya Hayati

Sumberdaya hayati yang ada di wilayah pesisir antara lain sebagai


berikut ini :

Terumbu karang

Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif kalsium


karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu
(karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup
bersimbiose dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari
algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat.
Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam.
Menurut Sawyer (1993) dan Cesar (1996) jenis manfaat yang terkandung
dalam terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu manfaat
langsung yaitu sebagai habitat bagi sumberdaya ikan (tempat mencari makan,
memijah dan asuhan), batu karang, pariwisata, wahana penelitian dan
pemanfaatan biota perairan lainnya dan manfaat tidak langsung seperti fungsi
terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan lain
sebagainya. Terumbu karang dapat menjadi sumber devisa yang diperoleh dari
penyelam dan kegiatan wisata bahari lainnya. Bahkan saat ini berbagai jenis
biota yang hidup pada ekosistem terumbu karang ternyata banyak mengandung
senyawa bioaktif sebagai bahan obat-obatan, makanan dan kosmetika. Selain
itu terumbu karang juga menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi perhatian
bagi para ahli, mahasiswa, perusahaan farmasi sebagai obyek penelitian.

Ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut


seperti ikan, karang, moluska dan krustasea bagi masyarakat di kawasan

9
pesisir, dan bersama ekosistem pantai lainnya menyediakan makanan dan
menjadi tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi
tinggi.

Padang Lamun (Seagrass)

Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki


rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun
mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang
dihasilkan secara sexual (dioecious). Lamun umumnya membentuk padang
lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari
untuk mendukung pertumbuhannya, biasanya hidup diperairan yang dangkal
dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2-12 meter, dengan sirkulasi air
yang baik. Substrat lumpur-berpasir merupakan substrat yang paling disukai
oleh lamun dan berada diantara ekosistem mangrove dan terumbu karang.

Secara ekologis, padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting


bagi wilayah pesisir yaitu sebagai produsen detritus dan zat hara; mengikat
sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakaran yang
padat dan saling menyilang; sebagai tempat berlindung, mencari makan,
tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang
melewati masa dewasanya di lingkungan ini; serta sebagai tudung pelindung
yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari. Selain itu,
padang lamun juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan budidaya
berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, tempat rekreasi dan sumber
pupuk hijau.

Hutan Mangrove

Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien


bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota,
penahan abrasi, amukan angin, taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah
intrusi air laut, dan lain sebagainya. Sedangkan secara ekonomis berfungsi
sebagai penyedia kayu, bahan baku obat-obatan dan lain-lain. Disamping itu,
ekosistem hutan mangrove juga memberikan manfaat tidak langsung, terutama

10
sebagai habitat bagi bermacam-macam binatang seperti binatang laut (udang,
kepiting, dan beberapa jenis ikan), dan binatang melata lainnya.

Hutan mangrove adalah daerah/zona yang unik yang merupakan


peralihan antara komponen laut dan darat, yang berisi vegetasi laut dan
perikanan (pesisir) yang tumbuh di daerah pantai dan sekitar muara sungai
(selain dari formasi hutan pantai) yang selalu atau secara teratur digenangi oleh
air laut serta dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasi laut dan perikanan
(pesisir) mangrove dicirikan oleh jenis-jenis tanaman bakau (Rhizopora spp.),
api-api (Avicenia spp.), prepat (Sonneratia spp.) dan tinjang (Bruguiera spp.).
Hutan mangrove di dunia ini sekitar 15,9 juta ha, sedangkan di Indonesia
terdapat 4,25 juta ha (Dahuri, 1997) yang tersebar di seluruh wilayah pantai di
Indonesia (Wartapura, 1991).

Menurut data pada tahun 1993, di Sumatera terdapat hutan mangrove


seluas 856.134 ha (Dahuri, 1997). Dari luas tersebut di Propinsi Sumatera
Utara terdapat 60.000 ha (Wartapura, 1991, Dartius, 1988). Hutan mangrove di
Sumatera terutama tersebar di Pantai Timur, disebabkan karena: (1) Pantai
Timur mempunyai dataran lebih rendah dibanding Pantai Barat Sumatera. (2)
Banyak sungai-sungai besar di Sumatera yang mengalir ke Pantai Timur.
Kondisi ini mendorong pertumbuhan mangrove di muara sungai makin subur
dan makin luas, karena banyak endapan yang terbawa arus sungai (Dahuri,
1997). Menurut Dahuri (2000) hingga tahun 1993 telah terjadi penurunan
kawasan laut dan perikanan (pesisir) mangrove sebesar 52% dari 5,2 juta ha
pada tahun 1982 menjadi 2,5 juta ha, yang berarti dalam jangka waktu 11
tahun telah rusak setengahnya.

Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas


lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Terumbu adalah
endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama
dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Medreporaria =
Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme -

11
organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1992). Di
Indonesia, ekosistem terumbu karang menempati kira-kira 7.500 km2 yang
terbentang sepanjang 17.500 km dengan potensi dapat dimanfaatkan seperti
berbagai jenis ikan hias, lobster, penyu, kima, teripang dan lain-lain. Terumbu
karang juga dimanfaatkan untuk bahan bangunan, pembuatan jalan, pelabuhan
udara dan bahan baku.

Rumput Laut

Rumput laut berbeda dengan padang lamun, di mana komunitas rumput


laut berkembang pada substrat yang keras sebagai tempat melekat. Jadi
mereka mampu mendaurulangkan nutrien kembali ke dalam ekosistem agar
tidak terperangkap di dasar laut (Nybakken, 1992). Beberapa jenis rumput laut
dijadikan makanan ternak, bahan baku obat-obatan, agar-agar dan lain-lain.
Dari 555 jenis rumput laut di Indonesia, sekitar 4 jenis yang telah
dikomersilkan yaitu Euchema, Gracillaria, Gelidium, dan Sargasum. Potensi
rumput laut di Indonesia dapat dilihat dari potensi lahan budidaya rumput laut
yang tersebar di 26 propinsi di Indonesia. Potensi ini secara keseluruhan
mencakup areal seluas 26.700 ha dengan potensi produksi sebesar 482.400 ton
per tahun (Dahuri, 2000).

Perikanan

Secara ekologis, di kawasan pesisir dan pulau pulau kecil Indonesia


memiliki spesies-spesies yang menggunakan karang sebagai habitatnya yaitu
ikan ekonomis penting seperti kerapu, napoleon, kima raksasa (Tridacna
gigas), teripang dan lain-lain sehingga komoditas seperti ini dapat dikatakan
sebagai komoditas spesifik pulau kecil. Ciri utama komoditas tersebut adalah
memiliki sifat penyebaran yang bergantung pada terumbu karang sehingga
keberlanjutan stoknya dipengaruhi oleh kesehatan karang.

12
b. Sumberdaya Non Hayati

Pertambangan

Aktivitas pertambangan banyak dilakukan di Indonesia pada propinsi-


propinsi tertentu. Dalam pemanfaatan potensi mineral di kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan perencanaan yang ketat dan
dilakukan secara berkelanjutan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Struktur batuan dan geologi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di
Indonesia adalah struktur batuan tua yang diperkirakan mengandung deposit
bahan-bahan tambang/mineral penting seperti emas, mangan, nikel dan lain-
lain. Beberapa aktivitas pertambangan baik pada tahap penyelidikan umum,
eksplorasi maupun eksploitasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil antara
lain : timah di P. Kundur, P. Karimun (Riau); nikel di P. Gag (Papua), P. Gebe
(Maluku Utara), P. Pakal (Maluku); batubara di P. Laut, P. Sebuku (Kalsel);
emas di P. Wetar, P. Haruku (Maluku) dan migas di P. Natuna (Riau).

Energi Kelautan

Dengan luas wilayah laut yang lebih besar dibandingkan darat maka
potensi energi kelautan memiliki prospek yang baik sebagai energi alternatif
untuk mengantisipasi berkurangnya minyak bumi, LNG, batubara, dan lain-lain
sepanjang kemampuan negara diarahkan untuk pemanfaatannya. Sumberdaya
kelautan yang mungkin digunakan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah
Konversi Energi Panas Samudera/Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC),
Panas Bumi (Geothermal), Ombak dan Pasang Surut.

c. Sumberdaya Buatan
Sumberdaya buatan yang dimaksudkan dalam subbab ini adalah
infrastruktur laut yang berhubungan dengan kelautan dan perikanan.
infrastruktur laut merupakan salah satu hal penting dalam perencanaan pesisir.
Selain itu infrastruktur memiliki peranan penting dalam perekonomiann
wilayah pesisir, seperti diantaranya adalah pelabuhan atau dermaga, jembatan,
dan sebagainya.

13
d. Jasa Jasa Lingkungan

Pesisir dan pulau pulau kecil memberikan jasa-jasa lingkungan yang


tinggi nilai ekonomisnya yaitu sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan
kepariwisataan, media komunikasi, kawasan rekreasi, konservasi dan jenis
pemanfaatan lainnya, seperti wisata bahari, wisata terestrial dan wisata
kultural.

2.3 Kebijakan & Peraturan Terkait Pengelolaan Wilayah Pesisir dan


Pulau Pulau Kecil

Implementasi pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau


kecil dalam hukum nasional, dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu

- pertama ketentuan perundang-undangan nasional yang mengatur pengelolaan


wilayah pesisir yang bersifat konkrit dan mengikat (hard law), atau ketentuan
yang dihasilkan dari perjanjian internasional (treaty, convention, atau
agreement) baik yang bersifat bilateral, multilateral, global, regional maupun
sub-regional bagi negara-negara yang menyatakan diri siap terikat (express to
be bound) dan memberlakukannya di wilayahnya.
- Kedua, ketentuan-ketentuan yang berbentuk soft law, yaitu ketentuan-
ketentuan yang memuat prinsip-prinsip umum (general principles), bersifat
pernyataan sikap atau komitmen moral dan tidak mengikat secara yuridis. Daya
ikatnya tergantung kepada kesediaan negara-negara untuk menerimanya
sebagai hukum nasional, misalnya dalam bentuk deklarasi, piagam atau
protokol.

Di Indonesia saat ini kebijakan dan peraturan yang berkaitan tentang


pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil sendiri telah tertuang pada
Undang Undang No 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau pulau kecil. Kemudian regulasi tersebut mengalami perubahan dan tertuang
pada Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang
Undang No 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau

14
kecil. Pada Undang-undang ini, memberikan pengaturan baru terkait pembagian
urusan pemerintahan umum, urusan pemerintahan absolut dan urusan
pemerintahan konkuren. Secara khusus undang-undang ini juga mengatur
pengelolaan wilayah laut 0-12 mil laut menjadi urusan pemerintah propinsi,
dimana sebelumnya wilayah laut 0- 12 mil laut pengelolaannya dibagi menjadi
urusan kabupaten/kota (0-4 mil laut atau sepertiga wilayah propinsi) dan 4 – 12
mil laut dikelola oleh pemerintah propinsi. Dengan perubahan ini disatu sisi akan
meningkatkan efektifitas pengelolaan perairan itu sendiri di mana tidak lagi
terbagi-bagi antara kabupaten/kota dengan pemerintah propinsi, namun di sisi lain
akan menimbulkan permasalahan kompleks dalam pengelolaan pulau-pulau kecil.

2.4 Konsep Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau


Kecil

Secara garis besar terdapat tiga konsep yang umum digunakan dalam
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, antara lain sebagai berikut :

2.4.1 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil


Terpadu

Menurut Sain dan Krecth, pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara


terpadu atau sering disebut dengan pengelolaan pesisir terpadu (P2T) adalah
proses yang dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat
keputusan-keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan
wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan
terpadu adalah perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi
dalam cara yang dapat diterima secara politis. Terdapat empat alasan pokok yang
dikemukakan sebagai dasar pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil
secara terpadu yaitu

a. Keberadaan sumberdaya pesisir dan pulau pulau kecil yang besar dan beragam
b. Peningkatan pembangunan dan jumlah penduduk

15
c. Pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros Eropa – Atlantik
menjadi poros Asia Pasifik
d. Wilayah pesisir dan lautan sebagai pusat pengembangan kegiatan industri
dalam proses pembangunan menuju era industrialisasi.

Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses


pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan
aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi
dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsa/Negara, dan disiplin
ilmu. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat
banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu
dirumuskan suatu konsep penataan ruang (trategic plan) serta berbagai pilihan
objek pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil sekurangnya mengandung tiga
dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara
sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas,
wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal integration);
dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten,
propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration). Sedangkan keterpaduan
sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir
hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu (interdisciplinary
approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi,
hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah
pesisir pada dasarnya terdiri dari system sosial dan system alam yang terjalin
secara kompleks dan dinamis.

Wilayah pesisir yang tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu
sama lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang
menimpa suatu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu
wilayah pesisir, juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia maupun proses-proses
alamiah yang terdapat di kawasan sekitarnya dan lahan atas (upland areas)
maupun laut lepas (oceans). Kondisi empiris di wilayah pesisir ini mensyaratkan
bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu harus

16
memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) yang dapat
mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Nuansa keterpaduan tersebut perlu
diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi mengingat bahwa suatu
pengelolaan terdiri dari 3 tahap utama, yaitu prencanaan, implementasi, dan
monitoring/evaluasi.

2.4.2 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil


Berkelanjutan

Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan


secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan
secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat
membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan capital (capital maintenance),
dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara
ekologis mengandung arti bahwa, kegiatan yang dimaksud harus dapat
mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan
konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity),
sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu,
berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan
pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan,
mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat
(dekratisasi), identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Wiyana, 2004).

Pengelolaan terpadu menghendaki adanya kesamaan visi antar


stakeholders. Menyadari arti penting visi pengelolaan itu, maka perlu dipelopori
perumusan visi bersama seperti terwujudnya pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang didukung oleh
peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan dan penegakan hukum, serta
penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat. Mengacu
pada visi tersebut maka strategi pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan
berkelanjutan harus memperhatikan aspek sumberdaya manusia, hukum, tata
ruang, dan kesejahteraan bersama.

17
Strategi pengelolaan wilayah pesisir akan difokuskan untuk menangani isu
utama yaitu konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, yang secara simultan juga
berkaitan dengan penanganan isu yang lain. Pemikiran dasar dalam perumusan
strategi pengelolaan ini meliputi keberlanjutan (sustainability), perlindungan dan
pelestariaan, pengembangan, pemerataan, dan komunikasi. Dari pemikiran ini,
dirumuskan strategi pengelolaan yang mengakomodasi nilai-nilai, isu-isu, dan
visi pengelolaan.

2.4.3 Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil


Berbasis Masyarakat

Pengelolaan berbasisis masyarakat dapat diartikan sebagai suatu system


pengelolaan sumber daya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat
tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang
terkandung didalamnya (Nurmalasari, 2001). Dapat juga didefinisikan sebagai
suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada
masyarakat untuk mengelola sumberdayanya sendiri dengan terlebih dahulu
mendefinisikan kebutuhan, keinginan, tujuan serta aspirasinya. Di Indonesia
pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat sebenarnya telah ditetapkan dalam
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa :

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”

Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan


Negara atas sumber daya alam khususnya sumber daya pesisir dan lautan
diarahkan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat banyak, dan juga harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan
sekaligus memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan desa-desa
pantai.

Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat dalam mengelola


sumberdaya pesisir adalah upaya untuk mendekatkan masyarakat dengan

18
sumberdaya yang dimanfaatkannya bagi kelangsungan hidup mereka sehari hari.
Hal inilah yang menjadi substansi dari pelaksanaan otonomi daerah yang sering
didengung – dengungkan. Konsep pemberian tanggung jawab dan wewenang
wilayah pesisir, laut dan pulau pulau kecil didaerah daerah berjalan sesuai dengan
ketentuan yang tertera pada Undang Undang yang berlaku, pemberian tanggung
jawab dan wewenang ini dalam kaitannya dengan keikutsertaan masyarakat dalam
melindungi potensi sumberdaya alam pesisir dan pulau – pulau kecil agar tidak
rusak dan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.

2.5 Pemanfaatan Dan Pengelolaan Potensi Pesisir & Pulau Pulau Kecil Di
Daerah

Secara alamiah potensi pesisir dan pulau pulau kecil di daerah


dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan
tersebu yang pada umumnya terdiri dari nelayan. Nelayan di pesisir dan pulau
pulau kecil memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput laut, terumbu
karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutukan hidupnya. Pada umumnya
potensi pesisir dan kelautan yang di manfaatkan oleh nelayan terbatas pada upaya
pemenuhan kebutuhan hidup. Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-
besaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka
peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan.
Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada
sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada umumnya
usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak disektor pariwisata.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk
memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga memanfaatkan potensi
daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian
masyarakat di daerah.

Mengingat kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang


kelautan yang termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru

19
bagi daerah maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau kota yang berada di pesisir dan pulau
pulau kecil. Jadi belum semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi
daerah pesisir.

20
BAB III

PERMASALAHAN & PEMBAHASAN

3.1 Anatomi Masalah Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan


Pulau Pulau Kecil

Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir serta yang dilakukan oleh


masyarakat maupun daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan
sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh
terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Berikut ini dijabarkan
permasalahan secara umum yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan
daerah pesisir dan pulau pulau kecil yang ada di Indonesia.

3.1.1 Degradasi Ekosistem dan Sumberdaya Alam

Kawasan pesisir merupakan yang menjadi pusat kegiatan manusia dengan


beragam tujuan. Tingginya tingkat pemanfaatan kawasan ini telah mengakibatkan
ketidakseimbangan ekosistem dan penurunan daya dukung lingkungan pesisir
hingga kerusakan kawasan tersebut. Kegiatan perikanan tambak, misalnya telah
mengakibatkan tingginya laju konversi lahan mangrove menjadi lahan tambak dan
bagi peruntukan lainnya. Konservasi lahan yang pesat terlihat dalam kurun waktu
20 tahun terakhir. Laju perluasan konversi lahan mangrove menjadi tambak yang
dalam asumsi tetap mencapai sekitar 5 persen pertahun selama ini bahkan
menunjukkan kecenderungan yang terus bertambah.

Perubahan fungsi lahan dari kawasan mangrove menjadi tambak


memberikan dampak yang mengkhawatirkan terhadap proses-proses ekobiofisik
yang mengganggu fungsi yang seharusnya terjadi di dalam ekosistem tersebut,
seperti terjadinya erosi (abrasi pantai), hilangnya jalur hijau pantai yang berfungsi
sebagai peredam dan pelindung terhadap gelombang dan arus kuat, menurunnya
kualitas perairan, menurunnya keanekaragaman hayati, hilangnya habitat, tempat
ikan dan biota laut lain mencari makan, tumbuh kembang, dan memijah.
Penurunan kualitas lingkungan pesisir terutana disebabkan oleh pencemaran dan

21
sedimentasi yang bersumber dari darat. Di berbagai daerah pesisir terutama di
perkotaan, kasus pencemaran sebagian besar disebabkan oleh kegiatan di hulu
DAS, seperti industri, rumah tangga, dan pertanian. Dampak negatif pada wilayah
ini berupa menurunnya kualitas perairan, tumpahan minyak, pencemaran dan
sedimentasi di kawasan delta atau muara.

Kasus intrusi air laut pun ditemukan, terutama kota-kota besar lainnya,
yang bahkan di Jakarta sudah menembus jauh ke darat. Air tanah yang tawar
menjadi barang langka. Hal ini tentu memberi dampak negatif bagi ekosistem
pesisir yang komplek terutama bagi terumbu karang dan penghuni di dalamnya.
Nyatanya sumberdaya di kawasan tersebut mengalami penurunan tidak hanya
pada sisi kualitas tetapi juga sisi kuantitas. Hasil studi dari beberapa lembaga
penelitian di Indonesia memperlihatkan bahwa tak kurang dari 42 persen terumbu
karang rusak berat dan 29 persen lainnya rusak. Hanya 23 persen yang baik dan 6
persen dalam kondisi sangat baik. Dalam kurun 15 tahun terakhir, terjadi
penurunan luas lahan hutan mangrove dari sekitar 4 juta hektar menjadi tinggal
2,4 juta hektar. Sementara itu di beberapa kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau
kecil, ditemukan kasus penurunan stok sumberdaya ikan karena praktek
penangkapan berlebih atau (over fishing).

3.1.2 Konfik Pemanfaatan Ruang

Sebagai daerah yang memiliki sumberdaya perikanan dan biota laut lain
yang bernilai ekonomis, kawasan pesisir menjadi lokasi yang banyak dihuni dan
dijadikan lokasi usaha berbasis perikanan. Bukan itu saja tempatnya yang
berbatasan dengan laut dan darat, menjadikan daerah ini strategis untuk prasarana
transportasi dan bongkar muat barang. Banyak pihak yang berkepentingan akan
keberadaan kawasan itu dengan segala sumberdayanya, hingga tak pelak
menimbulkan konflik. Masalah ini terjadi di beberapa daerah. Salah satunya
ditemukan di Delta Mahakam Kalimantan Timur.

Konversi mangrove, khususnya Nipah secara besar-besaran menjadi


tambak telah memicu konflk pemanfaatan ruang sumberdaya dan lahan antara

22
berbagai pemangku kepentingan yang memanfaatkan kawasan delta yang subur
itu, seperti antara pelaku usaha perikanan budidaya tambak dengan perikanan
tangkap tradisional, antara perikanan budidaya tambak dengan industri minyak
dan gas bumi. Pengusahaan minyak dan gas bumi sebagai salah satu kegiatan
usaha obyek vital nasional, seharusnya dibarengi dengan pengaturan yang
memadai dan terpadu dari sisi pemanfaatan kawasan pesisir itu. Ini diperlukan
untuk memberikan kepastian bagi pelaku usaha yang menginginkan jaminan
pengelolaan lingkungan berkelanjutan disertai keseimbangan distribusi kekayaan
SDA di kawasan tersebut.

Jika tidak dibarengi dengan pengaturan yang memadai dan menyeluruh,


potensi konflik antar pengguna kawasan akan tetap terbuka. Ini karena jumlah
pengguna yang terus meningkat sedangkan lahan yang tersedia tetap. Kondisi di
lapangan ini merupakan cerminan dari kebijakan di level institusi pemerintahpusat
maupun daerah. Pada level institusi, ternyata pembangunan di kawasan pesisir,
laut dan pulau kecil masih menggunakan pola pendekatan sektoral, yang hanya
memperhatikan keuntungan masing-masing sektor dan mengabaikan dampak
negatif yang timbul bagi sektor lain. Konflik penggunaan ruang di wilayah pesisir,
laut dan pulau-pulau kecil pun muncul karena belum seluruh daerah memiliki tata
ruang terpadu. Selain itu belum ada pengaturan tentang pemanfaatan ruang di
daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang dan Undang- Undang No. 01 Tahun 2014 tentang
Perubahan Undang Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Tanpa adanya hal tersebut pada akhirnya akan
membawa implikasi besar yang mengancam kelestarian lingkungan wilayah
pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

Pada sisi formal, tidak dapat dipungkiri bahwa perencanaan pengelolaan


wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil sampai saat ini belum
terimplementasikan secara optimal dan terpadu. Artinya, wilayah pesisir, laut dan
pulau-pulau kecil sebagai bagian dari wilayah nasional hanya tunduk pada
pengaturan yang berlaku umum. Sepanjang mengenai unsur lautnya tunduk pada
pengaturan hukum laut, dan unsur darat tunduk pada pengaturan yang berlaku

23
umum (pengaturan mengenai tanah dan air); sedangkan mengenai sumber-sumber
kekayaan alam, baik hayati maupun nir-hayati, tunduk pada berbagai undang-
undang yang terkait untuk sektor tertentu saja yang dalam pelaksanaannya
menjadi wewenang kementerian yang berbeda-beda. Kewenangan-kewenangan
tersebut sebagian ada yang telah diserahkan dan/atau dilimpahkan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Akan tetapi dalam pelaksanaannya
sistem pengaturan demikian seringkali menimbulkan benturan kepentingan antara
sektor-sektor yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-
pulau kecil.

Selain itu tidak jarang pula timbul tumpang tindih wewenang manakala di
dalam suatu kesatuan ruang yang sama terdapat lebih dari satu jenis sumber
kekayaan alam dan jasa lingkungan yang potensial untuk dikembangkan pada saat
yang sama, baik dalam skala ekonomi regional maupun nasional. Pengaturan
mengenai tata ruang yang belum defi nitif dari pemerintah dapat diartikan sebagai
pembenar untuk memanfaatkan ruang bagi siapa saja atas nama kegiatan ekonomi.
Perdebatan boleh-tidaknya menggunakan kawasan Delta Mahakam misalnya,
tidak direspon oleh pemilik kewenangan administratif untuk memaksakan sanksi
terhadap pengguna kawasan tanpa dokumen hukum yang memadai. Mertokusumo
(2005) mengemukakan, hukum harus dibuat dengan prosedur baku dan
kandungan kaedah yang tidak memihak, obyektif, otonom dan konsisten sehingga
dengan mudah dapat diaktifkan ketika terjadi peristiwa-peristiwa konkret yang
memerlukan penyelesaian.

Dengan demikian, pengaturan mengenai suatu kawasan pesisir seperti


Delta Mahakam, khususnya pada tingkat kewenangan daerah sudah seyogyanya
menjangkau kebutuhan-kebutuhan bagi kepentingan berbagai pihak dengan
menempatkan nilai kestrategisan baik dilihat dari sisi ekologis, sosial dan
ekonomi. Harus diakui, kebijakan yang ada saat ini hanya berorientasi pada
eksploitasi sumberdaya pesisir, laut dan pulau- pulau kecil untuk kepentingan
ekonomi jangka pendek semata. Sementara itu hak-hak masyarakat adat dan lokal
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecilnya masih
kurang dihargai. Pada pengelolaan sumberdaya di kawasan itu, dapat lestari

24
dengan menerapkan kearifan lokal. Penegakan hukum lingkungan di pesisir, laut
dan pulau-pulau kecil dilaksanakan melalui kearifan tradisional, antara lain di
bawah norma tabu. Hukum tidak- tertulis itu ternyata sangat efektif bahkan masih
tersisa efektivitasnya di abad moderen ini.

3.1.3 Tekanan Populasi Penduduk

Kawasan yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati maupun nir-


hayati yang besar, memang menjadi daya tarik (pulling factors) tidak hanya bagi
para investor nasional maupun multi nasional skala besar (large scale
investments) tetapi juga kehadiran masyarakat dari luar daerah ataupun antar
pulau (migrants). Akibatnya jumlah populasi penduduk meningkat secara pesat
khususnya dalam satu dekade terakhir, bukan akibat dari kelahiran melainkan
migrasi penduduk. Peningkatan populasi penduduk tentu saja akan diikuti dengan
semakin besarnya kebutuhan hidup, sehingga akan mengakibatkan tekanan dan
perubahan lingkungan. Perubahan ini berhubungan dengan adanya kebutuhan
ruang dan sumberdaya alam setempat. Karena itu mendorong terjadinya
perubahan dan konversinya sesuai dengan kebutuhan dan tentu saja limbah yang
dihasilkan dari setiap pemanfaatan sumberdaya tersebut. Demikian pula
peningkatan jumlah penduduk atau pemukim disertai dengan berbagai kebutuhan
akan memberi tekanan kepada sumberdaya alam hayati dan nir-hayati yang
meskipun kaya tetapi pada dasarnya tetap terbatas dibandingan kebutuhan atau
tuntutan manusia. Akibat yang ditimbulkan adalah penurunan kualitas lingkungan
hidup itu sendiri pada saat beban lingkungan terlalu berat dan degradasi
sumberdaya alam terjadi.

Beban lingkungan juga akan menjadi lebih berat bilamana peningkatan


penduduk atau pemukim bukan berasal dari masyarakat yang terdidik atau
memiliki keterampilan yang memadai guna dapat memanfaatkan sumberdaya
alam secara baik dan berkesinambungan. Padahal dalam faktanya sebagian besar
migran yang hadir adalah para pencari kerja dan pencari lapangan berusaha yang
gagal di tempat asalnya akibat persaingan hidup yang semakin berat. Motivasi

25
untuk berhasil yang demikian besar tetapi tidak diimbangi dengan latar belakang
pendidikan dan keterampilan yang memadai mengakibatkan pemanfaatan
sumberdaya alam dilakukan secara serampangan, tidak memperhatikan peraturan
perundangan yang ada dan cenderung serakah. Rambu-rambu lingkungan yang
menjadi karakter kerentanan ekosistem mangrove maupun etika budaya yang
menyertainya yang selama ini dikenal dengan kearifan lokal tidak lagi
dipedulikan.

Proses sosiologis dari kompetisi, kontravensi dan berujung pada konfl ik


sosial terjadi, baik secara vertikal (antara masyarakat dengan pengusaha besar atau
pemerintah) maupun horizontal (antar kelompok masyarakat sendiri). Konflik ini
akan semakin tinggi bilamana tidak dikelola atau dicarikan solusinya serta
sumberdaya yang semakin langka. Cakupan dan eskalasi konfl ik telah diuraikan
dalam sub-bab terdahulu. Uraian panjang di atas menggarisbawahi bahwa guna
mengelola kawasan pesisir disamping aspek bio-fi sik juga diperlukan perhatian
pengelolaan sosialnya tidak terkecuali persoalan demografi yaitu berkaitan dengan
pengaturan jumlah dan kualitas penduduk. Jangankan masyarakat yang heterogen,
secara teoritis masyarakat yang relatif homogen juga pada dasarnya bukan satu
kesatuan. Karena di dalamya juga ada friksi dan kepentingan yang dipengaruhi
oleh sistem di luarnya, khususnya yang lebih kuat. Dengan kata lain mengelola
demografi tidak boleh diabaikan dan dipandang tanpa tantangan.

3.1.4 Kelembagaan dan Tata Kelola yang Lemah

Pertambahan populasi penduduk khususnya akibat migrasi dari berbagai


daerah ke kawasan pesisir yang membawa beragam nilai-nilai budaya seringkali
tidak berdampak positif bagian lingkungannya. Yang terjadi adalah proses
adaptasi, asimilasi ataupun akulturasi yang tidak berlangsung secara alami dan
mulus hingga terbentuk ketidakseimbangan sosial bahkan berujung pada konflik.
Pandangan yang menempatkan kawasan sebagai milik bersama menjadikan nilai-
nilai ataupun etika yang diterapkan sulit untuk terharmonisasikan tanpa ada
campur tangan dari pihak berwenang atau Pemerintah melalui kelembagaan yang

26
sudah ada ataupun yang memang harus dibentuk. Kelembagaan yang akan
berfungsi untuk mengurus ataupun mengelola, baik dalam bentuk organisasi
ataupun peraturan kebijakan yang dikeluarkannya. Sebagai wilayah dengan
kekayaan sumberdaya alam dan sarat dengan kepentingan berbagai sektor ataupun
pengguna, yang selanjutnya diistilahkan sebagai parapihak atau pemangku
kepentingan, kawasan pesisir memang menawarkan tantangan yang berat.

Jika ditinjau dari kewenangan kewilayahannya saja, maka secara jelas


sesuai dengan tata ruangnya terbagi atas dua wilayah besar yang hampir sama
luasnya, yaitu Areal Penggunaan Lain (APL) yang pada dasarnya menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah serta Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat c.q. Kementerian Kehutanan. Akan tetapi
jika ditinjau dari kategorinya sebagai ekosistem yang rentan, maka masuk dalam
klasifi kasi Kawasan Lindung yang tentu saja tidak bisa dilepaskan dari
kepentingan Kementerian Lingkungan Hidup dan institusi sejenis di tingkat
daerah. Belum lagi bilamana ditinjau dari potensi sumberdaya alam daratan dan
perairan yang dimilikinya, maka sektor-sektor pembangunan atau perekonomian
lainnya seperti Perikanan dan Kelautan, Pertambangan (Energi dan Sumberdaya
Mineral), dan Perkebunan juga sangat penting.

Lebih jauh bila dilihat secara lebih detil para pengguna dan pelakunya
masing-masing, dari perusahaan besar skala nasional dan multi nasional hingga ke
tingkat kelompok masyarakat, maka kompleksitas parapihak akan semakin tinggi.
Kompleksitas ini tentu saja akan sangat mempengaruhi berfungsinya dan apalagi
kinerja dari lembaga-lembaga yang ada, dikarenakan ada kemungkinan tumpang
tindih atau pertentangan. Identifikasi parapihak beserta kepentingan dan
pengaruhnya menjadi sangat penting dalam rangka merancang/merancang ulang
kelembagaan dan tata kelola (governance), termasuk tata hubungan kerja yang
lebih tepat.

27
3.2 Tindak Lanjut Penyelesaian Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil

Dari permasalahan yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, ada
beberapa tindak lanjut yang dapat dilakukan untuk penanganan masalah tersebut
yaitu dengan pelaksanaan perencanaan strategis dan perencanaan zonasi.

3.2.1 Perencanaan Strategis

Strategi pengelolaan pesisir merupakan komponen kritikal. Karena dalam


penyusunan dituntut membuat kerangka kerja pengelolaan dan perencanaan yang
terpadu. Strategi di sini haruslah yang terkait dengan strategi pembangunan
berkelanjutan di kawasan pesisir. Strategi ini hendaknya berfungsi mereformasi
kebijakan yang tidak tepat sebaliknya mendorong praktek pengelolaan yang baik
atau good governance, memformulasikan konsultasi antar lembaga, serta
menggalang kerjasama multisektor dan partisipasi para pemangku kepentingan.
Perencanaan ini digunakan untuk mengatasi konflik yang muncul akibat beragam
pemanfaatan pesisir, meningkatkan kualitas lingkungan, melindungi keragaman
hayati, mempromosikan pembangunan ekonomi ramah lingkungan dan
menciptakan peluang investasi berbasis lingkungan. Oleh karena itu strategi yang
disusun ini haruslah berbasis luas dan menyeluruh, serta memiliki pendekatan
antar sektor dan berjangka panjang dalam mendorong keterpaduan tersebut.
Penerapannya harus meliputi proses berkelanjutan pada pengelolaan dan
perencanaan yang terkoordinasi dan terpadu, dengan tiga point utama sebagai
berikut :

1. Membagi visi
Strategi yang disusun ini haruslah berbasis luas dan menyeluruh, serta
memiliki pendekatan antarsektor dan berjangka panjang dalam mendorong
keterpaduan tersebut. Penerapannya harus meliputi proses berkelanjutan pada
pengelolaan dan perencanaan yang terkoordinasi dan terpadu, melalui proses
yang panjang dalam konsultasi dengan para pemangku kepentingan. Proses
tersebut membangun kerjasama dan mendorong penguatan komitmen diantara
pemangku kepentingan untuk mengimplementasikan program aksi.

28
Dengan cara ini akan mendorong rasa memiliki yang kuat dan
pemahaman yang baik tentang kebutuhan dan tujuan dari program aksi
tersebut. Oleh karena itu strategi harus berorientasi pada masyarakat dan
merefleksikan aspirasi dari komunitas.

2. Platform untuk pengelolaan yang baik


Menciptakan sebuah platform untuk pengelolaan pemerintahan yang
baik melalui proses pembangunan yang demokratik dan transparan dan
pelaksanaan reformasi kebijakan dan melalui program aksi yang dibangun atas
dasar kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta di dukung oleh prinsip ilmiah
yang baik itu merupakan mekanisme efektif untuk menempa dukungan politik
mendukung reformasi kebijakan yang diperlukan.
3. Perencanaan Implementasi Strategi Pesisir (CSIP) atau Perencanaan Strategsi
Pengelolaan Lingkungan (SEMP)
Garis besar perencanaan langkah strategis diperlukan untuk
menerapkan strategi pesisir. Mereka fokus pada pembangunan kapasitas,
perbaikan sistem pembuatan kebijakan, memperkuat perencanaan penggunaan
lingkungan dan sumberdaya, mengidentifi kasi peluang untuk investasi
lingkungan dan mengembangkan mekanisme pendanaan berkelanjutan. Mereka
juga menentukan langkah- langkah yang harus diambil untuk mengeksekusi
strategi, menentukan peran dari berbagai stakeholder, dan menunjukkan
langkah-langkah untuk memantau pelaksanaan stategi.

3.2.2 Perencanaan Zonasi

Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau - pulau kecil dilakukan


dengan mempertimbangkan keserasian dan keseimbangan dengan daya dukung
ekosistem, fungsi pemanfaatan dan perlindungan, dimensi ruang dan waktu,
dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan. Di
sini, fungsi perlin- dungan juga memasukkan aspek perlindungan terhadap
ancaman bencana. Karena itu dalam menata kembali ruang wilayah pesisir dan

29
pulau-pulau kecil untuk keperluan mitigasi bencana perlu mengacu pada beberapa
prinsip dasar rencana zonasi/penataan ruang guna meminimalisasi risiko bencana.
Ke-7 prinsip itu adalah :

1. Kenali kawasan pesisir dan pulau- pulau kecil rawan bencana sebagai ancaman
bahaya,
2. Kenali bentuk dan tipe wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (landai, terjal,
berbatu, dan berpasir),
3. Identifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
(perikanan, pariwisata, pemukiman, dan transportasi),
4. Identifikasi kebutuhan kawasan konservasi dan perlindungan bencana
(mangrove, hutan pantai, dan sand dune),
5. Kenali karakter/fungsi sarana dan prasarana wilayah yang ditempatkan (break
water, pelabuhan, dan bangunan tinggi).
6. Kenali karakter sosial-budaya serta sosial-ekonomi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil (menentukan kerentanan dan risiko),
7. Kembangkan konsep rencana zonasi/penataan ruang dengan
mempertimbangkan keindahan, keberaturan, dan keselamatan.

3.3 Keberhasilan Pelaksanaan Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya


Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil

Hal yang menjadi poin pokok dalam keberhasilan perencanaan


pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau pulau kecil, diantaranya adalah
:

1. Pendekatan Menyeluruh. Dengan pendekatan menyeluruh hasil optimal yang


berkelanjutan dapat dicapai dalam memenuhi Prinsip Dasar Pengelolaan
Wilayah Pesisirdan Pulau Pulau Kecil, yang mencakup keterpaduan,
desentralisasi pengelolaan, pembangunan berkelanjutan, peran serta
masyarakat dan kepastian hukum.
2. Mulai dari Tingkat Lokal. Program pengelolaan wilayah pesisir terpadu dapat
mencapai hasil secara lebih efektif apabila dilakukan pada tingkat lokal, yaitu

30
di tingkat kabupaten/kota. Namun dengan tetap memperhatikan keserasian
antara program- program yang dilaksanakan di tingkat pemerintahan yang
lebih tinggi.
3. Melibatkan Seluruh Pemangku Kepentingan. Salah satu kunci keberhasilan
proyek atau program pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau pulau
kecil adalah adanya peran dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder)
terkait. Keterlibatan mereka mulai dari indentifi kasi masalah, pencarian
alternatif pemecahan masalah, penyusunan program, pelaksanaan program,
serta evaluasi program. Tanpa keterpaduan dan peran serta optimal dari semua
pemangku kepentingan, tujuan dan sasaran pengelolaan pengelolaan sumber
daya wilayah pesisir dan pulau pulau kecil akan sulit tercapai.
4. Masyarakat sebagai Ujung Tombak. Keberhasilan suatu program dan
perencanaan pengelolaan, ternyata banyak ditentukan oleh masyarakat di lokasi
kegiatan. Karena itu sejak awal pelaksanaan perencanaan dan pengelolaan,
masyarakat hendaknya mendapat perhatian utama yaitu dalam upaya memberi
pemahaman, dan mendorong partisipasi serta memberdayakannya hingga dapat
mandiri dalam pengelolaan. Mengedepankan masyarakat sebagai ujung tombak
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau pulau kecil sesuai dengan
konsep dasar pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil yang
desentralistik dan berbasis masyarakat.
5. Pemberdayaan Masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan untuk itu adalah
melalui pelatihan. Banyak jenis pelatihan dapat dilakukan dalam program
pembangunan pesisir dan pulau pulau kecil, namun yang terbukti berhasil dan
berdaya guna optimal adalah pelatihan yang didasarkan pada analisis
kebutuhan (demand-driven) dan bukan supply-driven.
6. Dukungan Riset dan Informasi Ilmiah. Program pembangunan sudah
selayaknya didukung dengan riset dan informasi ilmiah. Dalam hal ini
perguruan tinggi dan lembaga riset berperan dalam mendorong pembaharuan di
berbagai hal, termasuk dalam pembuatan strategi dan pendekatan, penentuan
teknologi yang sesuai kondisi setempat.
7. Pemanfaatan Teknologi. Faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan pulau pulau kecil adalah Teknologi. Pengalaman

31
menunjukkan bahwa penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat
memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan penerapan
teknologi yang tidak layak.
8. Terbuka dan Terukur. Karena perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir
dan pulau pulau kecil ini harus melibatkan semua pemangku kepentingan dan
berbasis masyarakat maka agar pelaksanaan pengelolaan berhasil dan
berkelanjutan maka perlu mengikuti kaidah keterbukaan dan akuntabilitas yaitu
dapat dipertanggungjawabkan atau terukur. Dengan demikian akan
menimbulkan kepercayaan dari masing-masing pemangku kepentingan yang
terlibat.
9. Penegakan Hukum. Dalam pengelolaan memang perlu dukungan aturan atau
perundangan yang berisi pula sanksi terhadap pelanggaran. Langkah lebih
lanjut adalah penegakan hukum terhadap ketentuan yang berlaku. Sayangnya
saat ini penegakan hukum merupakan aspek yang sangat lemah di Indonesia.
Padahal, aspek ini merupakan faktor yang terpenting bagi kerberhasilan
pengelolaan pesisir. Penegakan hukum termasuk hukum adat yang terkait perlu
dilakukan secara konsisten dalam pengelolaan tersebut.

32
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari hasil paparan pada bab sebelumnya, dalam keberhasilan untuk


perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau
pulau kecil memerlukan kerjasama dari beberapa lintas sektor baik itu dari
pemangku adat, pemerintah daerah, maupun masyarakat sekitar. Selain itu
keterbukaan dalam pelaksanaan program, adanya usaha pemberdayaan
masyarakat serta penegakan hukum dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya
yang ada di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil memiliki peranan penting
terhadap keberhasilan pelaksanaan perencanaan pengelolaan sumberdaya.

Adanya pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil


diharapkan mampu memberikan dampak positif baik secara sosial, ekonomi,
budaya dan lingkungan.

4.2 Saran

Hal – hal yang dapat menentukan keberhasilan atas pelaksanaan


pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau pulau kecil hendaknya dipakai
sebagai bahan pertimbangan dalam merancang dan melaksanakan program di
masa depan. Faktor-faktor penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil hendaknya dimasukkan dalam
desain perencanaan dan kebijakan sejak awal, sehingga perencanaan perencanaan
lannjutan di masa depan akan memiliki potensi keberhasilan dan keberlanjutan
yang lebih tinggi.

32
Dari hal tersebut diharapkan untuk kedepannya bisa dilakukan pelaksanaan
pengelolaan sebagai berikut :

1. Pengelolaan yang dapat memelihara sumberdaya yang ada dan sekaligus


meningkatkan kualitas dan kuantitasnya.
2. Pemanfaatan sumberdaya yang terbarukan dapat rasional, optimal, efisien,
sesuai dengan renewable level yang disyaratkannya.
3. Pemanfaatan sumberdaya yang tidak terbarukan bisa diimbangi dengan upaya
untuk mencari sumber alternatif atau bahan substitusi yang lebih ramah
lingkungan.

33

Anda mungkin juga menyukai