MATA KULIAH
MANAJEMEN KELAUTAN
DISUSUN OLEH:
1. DANI SETIADI (011702573125001)
2. MARETI PRIMADONA (011702573125004)
3. TEGUH RISTIANTO (011702573125008)
4. TITA NURVITA (011702573125009)
5. WIDYASTUTI MUGI R (011702573125010)
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Mata Kuliah Manajemen Kelautan
yang berjudul “Perencanaan Strategis Pengelolaan Sumber Daya di Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil” dengan tepat waktu dan tanpa halangan berarti.
Laporan ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Manajemen
Kelautan. Kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Ir. Nurhayati, M.Si., selaku Ketua Jurusan Teknik Lingkungan;
2. Bapak Yudha Lestira Dhewantara, S.PI., M.Si., selaku dosen pengampu mata
kuliah Manajemen Kelautan;
3. Orang tua yang selalu memberikan dorongan dan kasih sayang; dan
4. Teman-teman yang telah banyak membantu kami dalam penyusunan laporan ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari kata
sempurna. Kritik dan saran senantiasa kami harapkan demi kemajuan di keesokan
harinya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca pada
umumnya. Terima kasih.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ............................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG ................................................................................... 1
1.2. RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 2
1.3. TUJUAN DAN MANFAAT ......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ................................... 3
2.2. SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ...... 6
2.3. KEBIJAKAN & PERATURAN TERKAIT PENGELOLAAN WILAYAH
PESISIRDAN PULAU-PULAU KECIL ....................................................... 14
2.4. KONSEP PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL .............................................................................. 15
2.5. PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN POTENSI PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL DI DAERAH ........................................................ 19
BAB III PERMASALAHAN & PEMBAHASAN
3.1. ANATOMI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ...................................................... 21
3.2. TINDAK LANJUT PENYELESAIAN PERENCANAAN
PENGELOLAAN SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR DAN PULAU-
PULAU KECIL............................................................................................. 28
3.3. KEBERHASILAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGELOLAAN
SUMBER DAYA WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL ...... 30
BAB IV PENUTUP
4.1. KESIMPULAN ............................................................................................. 32
4.2. SARAN ......................................................................................................... 32
ii
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Wilayah pesisir dan pulau pulau kecil terdapat berbagai ekosistem alami yang
memiliki fungsi berlainan, misalnya hutan bakau, padang lamun, estuaria, delta, dan
terumbu karang. Selain dimanfaatkan sebagai sumberdaya alam pesisir, ekosistem
1
tersebut juga memiliki fungsi ekologi yang penting yaitu sebagai pelindung pantai,
pengatur luapan banjir, sebagai tempat mengendapnya sedimen atau bahan pencemar dan
tempat berlindung juga berkembangnya jenis – jenis biota yang memiliki potensi
ekonomi yang tinggi. Disisi lain, wilayah pesisir juga merupakan wadah kehidupan
manusia dan makhluk hidup lainnya, yang mengandung potensi sumberdaya pesisir yang
bersifat terbatas. Selain itu wilayah pesisir dan pulau pulau kecil digunakan juga sebagai
wadah berbagai aktifitas manusia dengan intensitas yang tinggi, misal permukiman,
kawasan industri, pertanian, pertambakan, pelabuhan, rekreasi dan pariwisata,
pertambangan, pembangkit tenaga listrik, dan konservasi sumberdaya alam. Oleh karena
itu wilayah pesisir disamping menjadi pusat kegiatan juga dapat menjadi pusat konflik
atau benturan antara kepentingan sektor yang satu dengan sektor yang lainnya. Oleh
sebab itu perlu adanya suatu perencanaan strategis pengelolaan sumberdaya di
wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan
batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air
yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut,
perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas,
sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar
dari pada daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini
masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan
aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat
seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Bengen, 2002).
3
kondisi lingkungan biofisik yang khas, sehingga perlu menjadi pertimbangan
dalam kajian dan penentuan pengelolaannya agar berkelanjutan. Hal ini akan
berpengaruh pula terhadap pola permukiman yang berkembang di pulau-pulau
kecil berdasarkan aktivitas yang sesuai dengan kondisi lingkungan biofisik
tersebut. Misalnya tipologi pulau kecil lebih dominan ke arah pengembangan
budidaya perikanan, maka kemungkinan besar pola permukiman yang
berkembang adalah masyarakat nelayan.
a. Wilayah laut yang berada di bawah yurisdiksi suatu Negara adalah : 1. Perairan
Pedalaman (Internal Waters), 2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters) 3.
Laut Wilayah (Territorial Sea), 4. Zona Tambahan (Contiguous Zone), 5. Zona
Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone), 6. Landas Kontinen
(Continental Shelf).
b. Wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi suatu Negara adalah: 1. Laut Lepas
(High Seas), 2. Dasar Laut Dalam / kawasan (Area / Deep Sea Bed).
1. Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60%
dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis
4
pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal
perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang.
2. Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten
berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing
daerah otonomi tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam
pengolahan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
6. Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan
lauatan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a) pertambangan
dengan diketahuinya 60% cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7
juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan di dunia, (c)
pariwisata bahari yang diakui duniadengan keberadaan 21 spot potensial, dan
(d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) sebagai
daya tarik bagi pengembangan kegiatan “ecotaurism”.
5
7. Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut
tripis dunia kerena hamper 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia
terdapat di Indonesia.
Menurut Charle (2001), keberlanjutan sistem pesisir dan pulau pulau kecil
ditopang beberapa dimensi, yaitu :
6
2.2.1 Sumberdaya Manusia Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
Sumber daya mausia yang dimaksud dalam sub bab ini adalah masyarakat
pesisir. Masyarakat pesisir, secara harafiah diartikan sebagai masyarakat yang
berdomisili di wilayah pesisir. Namun pemahaman dalam konteks pengembangan
masyarakat (community development), “nomenklatur” masyarakat pesisir
dipadankan dengan kelompok masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir
yang hidupnya masih “tertinggal” (e.g. nelayan, pembudidaya ikan, buruh
pelabuhan, dsb) dibandingkan dengan kelompok masyarakat pesisir lainnya (e.g.
pedagang, pengusaha perhotelan, dsb) yang lebih sejahtera. Kebijakan sosial
ekonomi (pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur, kelembagaan) dalam
pengembangan masyarakat pesisir yang “tertinggal” tersebut perlu ditinjau
kembali (revisited) dan direkayasa ulang (re-engineering) mengingat perbaikan
kehidupannya sangat lambat khususnya nelayan yang sebagian besar masuk
kategori miskin dari kelompok yang paling miskin (poor of the poorest)
(Kusumastanto, 2010).
7
Tabel 2.2.1 Kondisi Spesifik Masyarakat Pesisir
8
2.2.2 Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
a. Sumberdaya Hayati
Terumbu karang
9
pesisir, dan bersama ekosistem pantai lainnya menyediakan makanan dan
menjadi tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi
tinggi.
Hutan Mangrove
10
sebagai habitat bagi bermacam-macam binatang seperti binatang laut (udang,
kepiting, dan beberapa jenis ikan), dan binatang melata lainnya.
Terumbu Karang
11
organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1992). Di
Indonesia, ekosistem terumbu karang menempati kira-kira 7.500 km2 yang
terbentang sepanjang 17.500 km dengan potensi dapat dimanfaatkan seperti
berbagai jenis ikan hias, lobster, penyu, kima, teripang dan lain-lain. Terumbu
karang juga dimanfaatkan untuk bahan bangunan, pembuatan jalan, pelabuhan
udara dan bahan baku.
Rumput Laut
Perikanan
12
b. Sumberdaya Non Hayati
Pertambangan
Energi Kelautan
Dengan luas wilayah laut yang lebih besar dibandingkan darat maka
potensi energi kelautan memiliki prospek yang baik sebagai energi alternatif
untuk mengantisipasi berkurangnya minyak bumi, LNG, batubara, dan lain-lain
sepanjang kemampuan negara diarahkan untuk pemanfaatannya. Sumberdaya
kelautan yang mungkin digunakan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah
Konversi Energi Panas Samudera/Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC),
Panas Bumi (Geothermal), Ombak dan Pasang Surut.
c. Sumberdaya Buatan
Sumberdaya buatan yang dimaksudkan dalam subbab ini adalah
infrastruktur laut yang berhubungan dengan kelautan dan perikanan.
infrastruktur laut merupakan salah satu hal penting dalam perencanaan pesisir.
Selain itu infrastruktur memiliki peranan penting dalam perekonomiann
wilayah pesisir, seperti diantaranya adalah pelabuhan atau dermaga, jembatan,
dan sebagainya.
13
d. Jasa Jasa Lingkungan
14
kecil. Pada Undang-undang ini, memberikan pengaturan baru terkait pembagian
urusan pemerintahan umum, urusan pemerintahan absolut dan urusan
pemerintahan konkuren. Secara khusus undang-undang ini juga mengatur
pengelolaan wilayah laut 0-12 mil laut menjadi urusan pemerintah propinsi,
dimana sebelumnya wilayah laut 0- 12 mil laut pengelolaannya dibagi menjadi
urusan kabupaten/kota (0-4 mil laut atau sepertiga wilayah propinsi) dan 4 – 12
mil laut dikelola oleh pemerintah propinsi. Dengan perubahan ini disatu sisi akan
meningkatkan efektifitas pengelolaan perairan itu sendiri di mana tidak lagi
terbagi-bagi antara kabupaten/kota dengan pemerintah propinsi, namun di sisi lain
akan menimbulkan permasalahan kompleks dalam pengelolaan pulau-pulau kecil.
Secara garis besar terdapat tiga konsep yang umum digunakan dalam
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, antara lain sebagai berikut :
a. Keberadaan sumberdaya pesisir dan pulau pulau kecil yang besar dan beragam
b. Peningkatan pembangunan dan jumlah penduduk
15
c. Pergeseran konsentrasi kegiatan ekonomi global dari poros Eropa – Atlantik
menjadi poros Asia Pasifik
d. Wilayah pesisir dan lautan sebagai pusat pengembangan kegiatan industri
dalam proses pembangunan menuju era industrialisasi.
Wilayah pesisir yang tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu
sama lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang
menimpa suatu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu
wilayah pesisir, juga dipengaruhi oleh kegiatan manusia maupun proses-proses
alamiah yang terdapat di kawasan sekitarnya dan lahan atas (upland areas)
maupun laut lepas (oceans). Kondisi empiris di wilayah pesisir ini mensyaratkan
bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu harus
16
memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) yang dapat
mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Nuansa keterpaduan tersebut perlu
diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi mengingat bahwa suatu
pengelolaan terdiri dari 3 tahap utama, yaitu prencanaan, implementasi, dan
monitoring/evaluasi.
17
Strategi pengelolaan wilayah pesisir akan difokuskan untuk menangani isu
utama yaitu konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, yang secara simultan juga
berkaitan dengan penanganan isu yang lain. Pemikiran dasar dalam perumusan
strategi pengelolaan ini meliputi keberlanjutan (sustainability), perlindungan dan
pelestariaan, pengembangan, pemerataan, dan komunikasi. Dari pemikiran ini,
dirumuskan strategi pengelolaan yang mengakomodasi nilai-nilai, isu-isu, dan
visi pengelolaan.
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”
18
sumberdaya yang dimanfaatkannya bagi kelangsungan hidup mereka sehari hari.
Hal inilah yang menjadi substansi dari pelaksanaan otonomi daerah yang sering
didengung – dengungkan. Konsep pemberian tanggung jawab dan wewenang
wilayah pesisir, laut dan pulau pulau kecil didaerah daerah berjalan sesuai dengan
ketentuan yang tertera pada Undang Undang yang berlaku, pemberian tanggung
jawab dan wewenang ini dalam kaitannya dengan keikutsertaan masyarakat dalam
melindungi potensi sumberdaya alam pesisir dan pulau – pulau kecil agar tidak
rusak dan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.
2.5 Pemanfaatan Dan Pengelolaan Potensi Pesisir & Pulau Pulau Kecil Di
Daerah
19
bagi daerah maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau kota yang berada di pesisir dan pulau
pulau kecil. Jadi belum semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi
daerah pesisir.
20
BAB III
21
sedimentasi yang bersumber dari darat. Di berbagai daerah pesisir terutama di
perkotaan, kasus pencemaran sebagian besar disebabkan oleh kegiatan di hulu
DAS, seperti industri, rumah tangga, dan pertanian. Dampak negatif pada wilayah
ini berupa menurunnya kualitas perairan, tumpahan minyak, pencemaran dan
sedimentasi di kawasan delta atau muara.
Kasus intrusi air laut pun ditemukan, terutama kota-kota besar lainnya,
yang bahkan di Jakarta sudah menembus jauh ke darat. Air tanah yang tawar
menjadi barang langka. Hal ini tentu memberi dampak negatif bagi ekosistem
pesisir yang komplek terutama bagi terumbu karang dan penghuni di dalamnya.
Nyatanya sumberdaya di kawasan tersebut mengalami penurunan tidak hanya
pada sisi kualitas tetapi juga sisi kuantitas. Hasil studi dari beberapa lembaga
penelitian di Indonesia memperlihatkan bahwa tak kurang dari 42 persen terumbu
karang rusak berat dan 29 persen lainnya rusak. Hanya 23 persen yang baik dan 6
persen dalam kondisi sangat baik. Dalam kurun 15 tahun terakhir, terjadi
penurunan luas lahan hutan mangrove dari sekitar 4 juta hektar menjadi tinggal
2,4 juta hektar. Sementara itu di beberapa kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau
kecil, ditemukan kasus penurunan stok sumberdaya ikan karena praktek
penangkapan berlebih atau (over fishing).
Sebagai daerah yang memiliki sumberdaya perikanan dan biota laut lain
yang bernilai ekonomis, kawasan pesisir menjadi lokasi yang banyak dihuni dan
dijadikan lokasi usaha berbasis perikanan. Bukan itu saja tempatnya yang
berbatasan dengan laut dan darat, menjadikan daerah ini strategis untuk prasarana
transportasi dan bongkar muat barang. Banyak pihak yang berkepentingan akan
keberadaan kawasan itu dengan segala sumberdayanya, hingga tak pelak
menimbulkan konflik. Masalah ini terjadi di beberapa daerah. Salah satunya
ditemukan di Delta Mahakam Kalimantan Timur.
22
berbagai pemangku kepentingan yang memanfaatkan kawasan delta yang subur
itu, seperti antara pelaku usaha perikanan budidaya tambak dengan perikanan
tangkap tradisional, antara perikanan budidaya tambak dengan industri minyak
dan gas bumi. Pengusahaan minyak dan gas bumi sebagai salah satu kegiatan
usaha obyek vital nasional, seharusnya dibarengi dengan pengaturan yang
memadai dan terpadu dari sisi pemanfaatan kawasan pesisir itu. Ini diperlukan
untuk memberikan kepastian bagi pelaku usaha yang menginginkan jaminan
pengelolaan lingkungan berkelanjutan disertai keseimbangan distribusi kekayaan
SDA di kawasan tersebut.
23
umum (pengaturan mengenai tanah dan air); sedangkan mengenai sumber-sumber
kekayaan alam, baik hayati maupun nir-hayati, tunduk pada berbagai undang-
undang yang terkait untuk sektor tertentu saja yang dalam pelaksanaannya
menjadi wewenang kementerian yang berbeda-beda. Kewenangan-kewenangan
tersebut sebagian ada yang telah diserahkan dan/atau dilimpahkan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Akan tetapi dalam pelaksanaannya
sistem pengaturan demikian seringkali menimbulkan benturan kepentingan antara
sektor-sektor yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-
pulau kecil.
Selain itu tidak jarang pula timbul tumpang tindih wewenang manakala di
dalam suatu kesatuan ruang yang sama terdapat lebih dari satu jenis sumber
kekayaan alam dan jasa lingkungan yang potensial untuk dikembangkan pada saat
yang sama, baik dalam skala ekonomi regional maupun nasional. Pengaturan
mengenai tata ruang yang belum defi nitif dari pemerintah dapat diartikan sebagai
pembenar untuk memanfaatkan ruang bagi siapa saja atas nama kegiatan ekonomi.
Perdebatan boleh-tidaknya menggunakan kawasan Delta Mahakam misalnya,
tidak direspon oleh pemilik kewenangan administratif untuk memaksakan sanksi
terhadap pengguna kawasan tanpa dokumen hukum yang memadai. Mertokusumo
(2005) mengemukakan, hukum harus dibuat dengan prosedur baku dan
kandungan kaedah yang tidak memihak, obyektif, otonom dan konsisten sehingga
dengan mudah dapat diaktifkan ketika terjadi peristiwa-peristiwa konkret yang
memerlukan penyelesaian.
24
dengan menerapkan kearifan lokal. Penegakan hukum lingkungan di pesisir, laut
dan pulau-pulau kecil dilaksanakan melalui kearifan tradisional, antara lain di
bawah norma tabu. Hukum tidak- tertulis itu ternyata sangat efektif bahkan masih
tersisa efektivitasnya di abad moderen ini.
25
untuk berhasil yang demikian besar tetapi tidak diimbangi dengan latar belakang
pendidikan dan keterampilan yang memadai mengakibatkan pemanfaatan
sumberdaya alam dilakukan secara serampangan, tidak memperhatikan peraturan
perundangan yang ada dan cenderung serakah. Rambu-rambu lingkungan yang
menjadi karakter kerentanan ekosistem mangrove maupun etika budaya yang
menyertainya yang selama ini dikenal dengan kearifan lokal tidak lagi
dipedulikan.
26
sudah ada ataupun yang memang harus dibentuk. Kelembagaan yang akan
berfungsi untuk mengurus ataupun mengelola, baik dalam bentuk organisasi
ataupun peraturan kebijakan yang dikeluarkannya. Sebagai wilayah dengan
kekayaan sumberdaya alam dan sarat dengan kepentingan berbagai sektor ataupun
pengguna, yang selanjutnya diistilahkan sebagai parapihak atau pemangku
kepentingan, kawasan pesisir memang menawarkan tantangan yang berat.
Lebih jauh bila dilihat secara lebih detil para pengguna dan pelakunya
masing-masing, dari perusahaan besar skala nasional dan multi nasional hingga ke
tingkat kelompok masyarakat, maka kompleksitas parapihak akan semakin tinggi.
Kompleksitas ini tentu saja akan sangat mempengaruhi berfungsinya dan apalagi
kinerja dari lembaga-lembaga yang ada, dikarenakan ada kemungkinan tumpang
tindih atau pertentangan. Identifikasi parapihak beserta kepentingan dan
pengaruhnya menjadi sangat penting dalam rangka merancang/merancang ulang
kelembagaan dan tata kelola (governance), termasuk tata hubungan kerja yang
lebih tepat.
27
3.2 Tindak Lanjut Penyelesaian Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil
Dari permasalahan yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, ada
beberapa tindak lanjut yang dapat dilakukan untuk penanganan masalah tersebut
yaitu dengan pelaksanaan perencanaan strategis dan perencanaan zonasi.
1. Membagi visi
Strategi yang disusun ini haruslah berbasis luas dan menyeluruh, serta
memiliki pendekatan antarsektor dan berjangka panjang dalam mendorong
keterpaduan tersebut. Penerapannya harus meliputi proses berkelanjutan pada
pengelolaan dan perencanaan yang terkoordinasi dan terpadu, melalui proses
yang panjang dalam konsultasi dengan para pemangku kepentingan. Proses
tersebut membangun kerjasama dan mendorong penguatan komitmen diantara
pemangku kepentingan untuk mengimplementasikan program aksi.
28
Dengan cara ini akan mendorong rasa memiliki yang kuat dan
pemahaman yang baik tentang kebutuhan dan tujuan dari program aksi
tersebut. Oleh karena itu strategi harus berorientasi pada masyarakat dan
merefleksikan aspirasi dari komunitas.
29
pulau-pulau kecil untuk keperluan mitigasi bencana perlu mengacu pada beberapa
prinsip dasar rencana zonasi/penataan ruang guna meminimalisasi risiko bencana.
Ke-7 prinsip itu adalah :
1. Kenali kawasan pesisir dan pulau- pulau kecil rawan bencana sebagai ancaman
bahaya,
2. Kenali bentuk dan tipe wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (landai, terjal,
berbatu, dan berpasir),
3. Identifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
(perikanan, pariwisata, pemukiman, dan transportasi),
4. Identifikasi kebutuhan kawasan konservasi dan perlindungan bencana
(mangrove, hutan pantai, dan sand dune),
5. Kenali karakter/fungsi sarana dan prasarana wilayah yang ditempatkan (break
water, pelabuhan, dan bangunan tinggi).
6. Kenali karakter sosial-budaya serta sosial-ekonomi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil (menentukan kerentanan dan risiko),
7. Kembangkan konsep rencana zonasi/penataan ruang dengan
mempertimbangkan keindahan, keberaturan, dan keselamatan.
30
di tingkat kabupaten/kota. Namun dengan tetap memperhatikan keserasian
antara program- program yang dilaksanakan di tingkat pemerintahan yang
lebih tinggi.
3. Melibatkan Seluruh Pemangku Kepentingan. Salah satu kunci keberhasilan
proyek atau program pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau pulau
kecil adalah adanya peran dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder)
terkait. Keterlibatan mereka mulai dari indentifi kasi masalah, pencarian
alternatif pemecahan masalah, penyusunan program, pelaksanaan program,
serta evaluasi program. Tanpa keterpaduan dan peran serta optimal dari semua
pemangku kepentingan, tujuan dan sasaran pengelolaan pengelolaan sumber
daya wilayah pesisir dan pulau pulau kecil akan sulit tercapai.
4. Masyarakat sebagai Ujung Tombak. Keberhasilan suatu program dan
perencanaan pengelolaan, ternyata banyak ditentukan oleh masyarakat di lokasi
kegiatan. Karena itu sejak awal pelaksanaan perencanaan dan pengelolaan,
masyarakat hendaknya mendapat perhatian utama yaitu dalam upaya memberi
pemahaman, dan mendorong partisipasi serta memberdayakannya hingga dapat
mandiri dalam pengelolaan. Mengedepankan masyarakat sebagai ujung tombak
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau pulau kecil sesuai dengan
konsep dasar pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil yang
desentralistik dan berbasis masyarakat.
5. Pemberdayaan Masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan untuk itu adalah
melalui pelatihan. Banyak jenis pelatihan dapat dilakukan dalam program
pembangunan pesisir dan pulau pulau kecil, namun yang terbukti berhasil dan
berdaya guna optimal adalah pelatihan yang didasarkan pada analisis
kebutuhan (demand-driven) dan bukan supply-driven.
6. Dukungan Riset dan Informasi Ilmiah. Program pembangunan sudah
selayaknya didukung dengan riset dan informasi ilmiah. Dalam hal ini
perguruan tinggi dan lembaga riset berperan dalam mendorong pembaharuan di
berbagai hal, termasuk dalam pembuatan strategi dan pendekatan, penentuan
teknologi yang sesuai kondisi setempat.
7. Pemanfaatan Teknologi. Faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan pulau pulau kecil adalah Teknologi. Pengalaman
31
menunjukkan bahwa penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat
memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan penerapan
teknologi yang tidak layak.
8. Terbuka dan Terukur. Karena perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir
dan pulau pulau kecil ini harus melibatkan semua pemangku kepentingan dan
berbasis masyarakat maka agar pelaksanaan pengelolaan berhasil dan
berkelanjutan maka perlu mengikuti kaidah keterbukaan dan akuntabilitas yaitu
dapat dipertanggungjawabkan atau terukur. Dengan demikian akan
menimbulkan kepercayaan dari masing-masing pemangku kepentingan yang
terlibat.
9. Penegakan Hukum. Dalam pengelolaan memang perlu dukungan aturan atau
perundangan yang berisi pula sanksi terhadap pelanggaran. Langkah lebih
lanjut adalah penegakan hukum terhadap ketentuan yang berlaku. Sayangnya
saat ini penegakan hukum merupakan aspek yang sangat lemah di Indonesia.
Padahal, aspek ini merupakan faktor yang terpenting bagi kerberhasilan
pengelolaan pesisir. Penegakan hukum termasuk hukum adat yang terkait perlu
dilakukan secara konsisten dalam pengelolaan tersebut.
32
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
32
Dari hal tersebut diharapkan untuk kedepannya bisa dilakukan pelaksanaan
pengelolaan sebagai berikut :
33