Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

“ PERAN RISET EKOTOKSIKOLOGI LOGAM BERAT DALAM


PENGELOLAAN EKOSISTEM PERAIRAN PANTAI ”

Dosen Pengampu : Dr. Ir. Edison Harteman, M.Si

Disusun Oleh:

IRA WISTALIA PURBA


CDA 118 054

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS PERTANIAN

JURUSAN PERIKANAN

PRODI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
dan rahmatnya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Adapun
makalah ini membahas tentang “Peran Riset Ekotoksikologi Logam Berat Dalam
Pengelolaan Ekosistem Perairan Pantai”. Adapun tujuan pembuatan makalah ini
adalah untuk pemenuhan tugas mata kuliah Ekotoksikologi.
Saya menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Oleh Karena itu sangat
diharapkan kritik dan saran bagi yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Palangka Raya, November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang........................................................................................................... 1


1.2 Rumusan masalah....................................................................................................... 4
1.3 Tujuan........................................................................................................................ 4
1.4 Manfaat ..................................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 5

2.1 Pengertian Ekotoksikologi Perairan.............................................................................. 5

2.2 Keberadaan Logam Berat Di Ekosistem Perairan Pantai......................................... 8

2.3 Perkembangan Riset Ekotoksikologi Logam Berat.................................................. 14

2.4 Peran Riset Ekotoksikologi Logam Berat Dalam Ekosistem Perairan Pantai......... 19

2.5 Arah Riset Ekotoksikologi Logam Berat Ke Depan................................................. 24

BAB III PENUTUP........................................................................................................... 26

3.1 Kesimpulan................................................................................................................... 26
3.2 Saran............................................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Butler, 1987 dalam Principles of Ecotoxicology, ekotoksikologi


adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada mahluk hidup, khususnya
populasi dan komunitas termasuk ekosistem, termasuk jalan masuknya agen dan
interaksi dengan lingkungan . Sedangkan menurut Andhika Puspito Nugroho, M.Si
dalam buku ajar Ekotoksikologi , ekotoksikologi mempelajari efek toksik substansi
(substances) pada non human species dalam suatu kompleks sistem (system).

Pembangunan berkembang dengan pesat mengantarkan manusia mencapai


kemajuan di berbagai bidang baik bidang industri, ekonomi, pendidikan, budaya,
sosial dan lain sebagainya. Namun demikian sudah sangat umum diketahui bahwa
pembangunan selain memberikan manfaat, juga menimbulkan resiko yang amat besar
bagi manusia apabila pembangunan tersebut tidak disertai pertimbangan-
pertimbangan lingkungan, baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
Pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan akan menimbulkan resiko berupa
rusaknya lingkungan, terganggunya ekosistem, baik ekosistem darat, udara maupun
perairan (Hadi 2005, Soemarwoto 2001, Mitchell, Setiawan dan Rahmi 2007).
Rusaknya lingkungan perairan antara lain disebabkan oleh adanya pencemara

Pencemaran di perairan dapat terjadi karena limbah industri maupun limbah


domestik dibuang ke perairan tanpa diolah terlebih dahulu, atau diolah tetapi kadar
polutannya masih di atas Baku Mutu yang ditetapkan. Undang-Undang R.I. No.32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada pasal 1
ayat 14 disebutkan bahwa pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia, sehingga melampaui Baku Mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan.

1
Pencemaran lingkungan perairan dapat disebabkan oleh polutan organik
maupun anorganik. Polutan organik yang sering mencemari perairan antara lain DDT,
PAH, pestisida, insektisida, deterjen dan limbah rumah tangga lainnya. Sedangkan
polutan anorganik yang sering dijumpai di perairan misalnya logam berat Cd
(Kadmium), Pb (Timbal), Hg (Merkuri), As (Arsen), Zn (seng), Cu (Tembaga), Ni
(Nikel), dan Cr (Krom). Polutan logam berat tersebut sangat berbahaya apabila
mencemari perairan, karena bersifat toksik, karsinogenik, bioakmulatif dan
biomagnifikasi (Kosnett 2007, Plaa 2007, Wardhana 2004). Kadmium, Timbal,
Merkuri merupakan logam berat yang sangat toksik dibandingkan logam berat
lainnya.

Industrialisasi, pengembangan kota, dan urbanisasi merupakan stressor paling


signifikan yang memengaruhi kualitas ekosistem perairan pantai. Seperti di banyak
negara berkembang, Indonesia mengalami laju pertumbuhan penduduk yang sangat
cepat, yakni 2,5 kali lipat dalam 60 tahun terakhir. Industrialisasi dan urbanisasi yang
cepat dan ketiadaan tata-ruang kawasan pesisir telah meningkatkan beban kontaminan
yang masuk ke ekosistem perairan pantai dan memunculkan permasalahan terkait
pengelolaan. Secara spesifik, permasalahan pengelolaan tersebut adalah (i) kurangnya
fasilitas perlakuan limbah cair (wastewater treatment facilities) dan infrastruktur
pengelolaan limbah padat serta (ii) kurangnya kesadaran masyarakat (publik dan
industri) dengan membuang limbah langsung ke badan air (sungai dan perairan
pantai).

Laju pertumbuhan industri dan urbanisasi yang cepat tidak diimbangi dengan
pengelolaan lingkungan yang terintegrasi, telah mengakibatkan penurunan kualitas
ekosistem perairan, terutama ekosistem perairan pantai. Kontaminan (logam berat,
pestisida, bahan organik persisten) masuk ke dalam ekosistem perairan pantai dari
daratan, terutama melalui sungai dan limpasan dari perkotaan. Penelitian kualitas air
yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun
2008, menunjukkan bahwa sebagian besar sungai utama di Indonesia telah tercemar
berat. Sebagai contoh, hasil riset bersama peneliti Indonesia dan Jerman (SPICE)

2
pada 2013 menunjukkan bahwa 50 jenis kontaminan organik ditemukan dalam air
Sungai Ciliwung dengan total transpor dari sungai ke Teluk Jakarta berkisar 5–17
ton per tahun. Hasil penelitian pada 2014 juga menunjukkan bahwa kerang hijau yang
dibudidayakan di Teluk Jakarta mengandung logam berat merkuri (Hg) dan arsenik
(As) yang melebihi baku mutu nasional (1,0 mg/kg). Hal ini memberikan gambaran
bahwa aktivitas manusia di daratan adalah sumber pencemar dan telah menyebabkan
terjadinya kontaminasi dan akumulasi kontaminan organik dan logam berat di Teluk
Jakarta. Masalah yang sama juga dapat dijumpai di beberapa ekosistem perairan
pantai di Indonesia, seperti di Teluk Lampung, Teluk Ambon, dan muara Sungai
Kapuas.

Faktor utama yang menjadikan logam berat sebagai kontaminan berbahaya


adalah sifat logam berat yang tidak dapat dihancurkan (non-degradable) oleh
organisme hidup, terakumulasi di lingkungan, dan mengendap di dasar perairan
membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik melalui proses
adsorbsi dan absorpsi. Selain bersifat racun, logam berat dapat terakumulasi dalam
sedimen dan biota melalui flokulasi, bio-konsentrasi, bio-akumulasi, dan bio-
magnifikasi oleh biota laut. Oleh karena itu, dalam konteks pengelolaan ekosistem
perairan pantai, riset ekotoksikologi logam berat berperan penting untuk memberi
pemahaman komprehensif tentang kontaminan logam berat dan dinamikanya serta
faktor-faktor yang memengaruhi keberadaan dan dampaknya pada ekosistem perairan
pantai. Pemahaman ini merupakan dasar ilmiah yang sangat penting dalam
pengambilan keputusan tentang kebijakan pengelolaan ekosistem perairan pantai bagi
para manajer.

Makalah ini membahas tentang keberadaan logam berat di ekosistem perairan


pantai, perkembangan riset ekotoksikologi logam berat di tingkat global dan nasional,
peran riset ekotoksikologi logam berat dalam pengelolaan ekosistem perairan pantai
serta arah riset ekotoksikologi logam berat pada masa mendatang.

3
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Ekotoksikologi Perairan ?
2. Bagaimana Keberadaan Logam Berat Di Ekosistem Perairan Pantai ?
3. Bagaimana Perkembangan Riset Ekotoksikologi Logam Berat ?
4. Apa Saja Peran Riset Ekotoksikologi Logam Berat Dalam Pengelolaan
Ekosistem Perairan Pantai ?
5. Bagaimana Arah Riset Ekotoksikologi Logam Berat Ke Depan ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Ekotoksikologi Perairan
2. Mengevaluasi Keberadaan Logam Berat Di Ekosistem Perairan Pantai
3. Mengetahui Perkembangan Riset Ekotoksikologi Logam Berat
4. Mengetahui Peran Riset Ekotoksikologi Logam Berat Dalam Pengelolaan
Ekosistem Perairan Pantai
5. Mengetahui Arah Riset Ekotoksikologi Logam Berat Ke Depan
1.4 Manfaat

Manfaat penulisan ini adalah memberikan informasi kepada pembaca


mengenai peran riset ekotoksikologi logam berat dalam pengelolaan ekosistem
perairan pantai, serta mengetahui tentang bagaimana arah riset ekotoksikologi
logam berat ke depan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Ekotoksikologi Perairan

Istilah ekotoksikologi dikenalkan oleh Prof. Truhaut pada tahun 1969 dan
diturunkan dari kata “ekologi” dan “toksikologi”. Pengenalan istilah ini
merefreksikan tumbuhnya perhatian tentang efek bahan kimia lingkungan terhadap
spesies selain manusia.

Pengetahuan tentang racun sesungguhnya sudah ada sejak zaman dahulu


tetapi belum tersusun secara sistematis menjadi suatu ilmu. Baru pada awal abad ke-
16 seorang ahli racun terkenal yang hidup pada tahun 1493-1541, Phillipus Aureolus
Theophrastus Bombastus von Hohenhiem Paracelcus (PATBH Paracelcus)
memperkenalkan istilah toxicon (toxic agent) untuk zat (substansi) yang dalam
jumlah kecil dapat mengganggu fungsi tubuh. Ia adalah orang pertama yang
meletakkan dasar ilmu dalam mempelajari racun dan mengenalkan dalil sebagai
berikut :

1. Percobaan pada hewan merupakan cara yang paling baik dalam mempelajari
respon tubuh terhadap racun.
2. Efek suatu zat (kimia atau fisik) pada tubuh dapat merupakan efek terapi
(bermanfaat) dan efek toksik (merugikan).

Selanjutnya, toksikologi modern diperkaya oleh Mattieu Joseph Orfilla (1787-


1853). Ia merupakan orang pertama yang melakukan penelitian secara sistematis
tentang respon biologic anjing pada zat kimia tertentu. Ia memperkenalkan
toksikologi sebagai ilmu yang mempelajari racun, ia mengembangkan analisis
terhadap racun misalnya As (Arsen) dan meletakkan dasar toksikologi forensik.
Toksikologi juga dikembangkan oleh ahli lain seperti Francios Magendie (1783-
1855) yang meneliti striknin dan emetin.

5
Dua kata toksikologi lingkungan dengan ekotoksikologi yang hampir sama
maknanya ini sering sekali menjadi perdebatan. Toksikologi lingkungan adalah ilmu
yang mempelajari racun kimia dan fisik yang dihasilkan dan menimbulkan
pencemaran lingkungan (Cassaret, 2000). Sedangkan, menurut Butler (1978),
Ekotoksikologi adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada makhluk
hidup, khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem, termasuk jalan
masuknya agen dan interaksi dengan lingkungan. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa Ekotoksikologi perairan adalah ilmu yang membahas tentang racun baik kimia
maupun fisik pada makhluk hidup termasuk interaksinya dengan lingkungan perairan.
Dengan demikian ekotoksikologi merupakan bagian dari toksikologi lingkungan.
Kebutuhan akan toksikologi lingkungan

Ekotoksikologi adalah ilmu yang mengkaji perubahan-perubahan ekosistem


yang mengalami gangguan jangka panjang atau pendek (Boudou and Ribeyre 1989).
Menurut Rand and Petrocelli (1985) toksikologi perairan adalah ilmu yang mengkaji
kualitatif dan kuantitatif bahan-bahan kimia dan antropogenik lain atau xenobiotik
yang merugikan organisme perairan. Xenobiotik adalah zat-zat kimia yang asing bagi
tubuh organisme.

Berbagai senyawa kimia organik, anorganik atau mineral yang dibuang ke


dalam air dapat mengotori dan bersifat toksik sehingga dapat mematikan ikan dan
organisme air lainnya. Bahan toksik di perairan yang berupa zat-zat kimia beracun
dapat berasal dari kegiatan industri, air limbah tambang, erosi permukaan pada
tambang terbuka, pencucian herbisida dan insektisida serta akibat kecelakaan seperti
tumpahnya minyak atau pecahnya tanker kimia di laut (Southwick 1976). Khusus
tentang limbah yang berasal dari kegiatan industri, Dix (1981) menyatakan bahwa
pencemar yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh jenis industri.

Kehidupan mahluk hidup tergantung dari apa yang terjadi dilingkunganya.


Lingkungan yang bebas mudah dimasuki bahan-bahan yang tidak diketahui misalnya
Limbah. Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari proses peracunan atau sifat-sifat

6
bahan racun dan pengaruhnya terhadap mahluk hidup.Ilmu yang mempelajari
mengenai proses peracunan yang terjadi di lingkungan disebut ekotoksikologi.
Ekotoksigologi merupakan cabang ilmu dari Toksikologi. Wilayah perairan adalah zona
bebas dimana banyak effluent yang masuk baik secara langsung melalui pipa-pipa
pembuangan atau run off dari aliran bawah tanah.

Ekotoksikologi adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada
mahluk hidup, khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem, termasuk
jalan masuknya agen dan interaksi dengan lingkungan. Pengaruh pengaruh racun
dapat berupa letalitas (mortalitas) serta pengaruh subletal seperti gangguan
pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, tanggapan farmakokinetik, patologi,
biokimia, fisiologi, dan tingkah laku (Butler, 1987).

Dengan mempelajari ekotoksikologi dapat diketahui keberadaan polutan


dalam suatu lingkungan (ekosistem) yang dalam waktu singkat, dapat menyebabkan
perubahan biokimiawi suatu organisme. Selanjutnya perubahan tersebut dapat
mempengaruhi perubahan fisiologis dan respon organisme, perubahan populasi,
komposisi komunitas, dan fungsi ekosistem. Perubahan biokimiawi sampai dengan
ekosistem menunjukkan adanya peningkatan waktu respon terhadap bahan kimia,
peningkatan kesulitan untuk mengetahui hubungan respon dengan bahan kimia
spesifik, dan increasing importance (Puspito,2004).

Banyak zat-zat kimia yang di buang ke laut diantaranya adalah dari limbah-
limbah industri yang banyak memakai bahan kimia, atau limbah dari kegiatan
akuakultur yang biasanya menghasilkan limbah bahan-bahan organik.Zat-zat tersebut
diatas dapat menimbulkan efek terhadap perairan tempatpembuangan limbah tersebut.
Efek yang ada dapat mengakibatkan kualitas suatuperairan menurun atau efek
terhadap organisme air yang terpapar langsungdengan zat racun yang terlarut di
perairan. Efek keracunan yang terjadi dapatbersifat akut, sub-akut, khronis, delayed.
Hal ini ditentukan oleh waktu, lokasiorgan (lokal/sistemik). Kemampuan racun untuk

7
menimbulkan kerusakan apa bilamasuk kedalam tubuh dan lokasi organ yang rentan
disebut toksisitas.Toksisitas dapat ditentukan dari beberapa faktor yaitu:

 Spesies (jenis makhluk hidup: hewan, manusia dan tumbuhan)


 Portal of entry, cara masuknya zat racun tersebut : kulit, pernafasandan mulut
 Bentuk/ sifat kimia - fisik dll.

2.2 Keberadaan Logam Berat Di Ekosistem Perairan Pantai

Kontaminan logam berat di ekosistem perairan pantai berada dalam tiga


kompartemen, yaitu (a) logam berat terlarut di dalam air, tersuspensi, dan koloid; (b)
logam berat dalam kompartemen padatan tersuspensi yang terendapkan di sedimen;
dan (c) logam berat dalam kompartemen biota, yaitu komponen fisis/kimiawi yang
berinteraksi dengan biota/organisme.

Kontaminan Logam Berat dalam Air Laut

Kontaminan logam berat dalam air laut dapat dikategorikan ke dalam dua
komponen besar, yaitu kontaminan logam berat dalam komponen terlarut dan logam
berat yang terikat partikel tersuspesi (ligand). Partikel tersuspensi dapat berupa
debris, lanau (silt), lempung (clay), fitoplankton, dan zooplankton. Konsentrasi
logam berat dalam komponen terlarut umumnya sangat rendah, yaitu perseribu
(1/1000) sampai dengan per seratus (1/100) dibandingkan konsentrasi logam berat di
sedimen yang nilainya berkisar 0,01–180 mg/kg (tergantung jenis logam beratnya).
Selain sangat kecil, konsentrasi logam berat terlarut di ekosistem perairan pantai juga
sangat fluktuatif.

Empat faktor utama rendahnya logam berat dalam komponen terlarut di


ekosistem perairan pantai, yaitu (i) tingkat pengenceran volume air yang sangat
besar; (ii) tingginya partikel padatan tersuspensi (TSS) yang berperan sebagai ligand
logam terlarut; (iii) tingkat kesuburan perairan atau produktivitas primer
(fitoplantkon); dan (iv) aktivitas manusia di laut seperti, kegiatan budi daya, dan
penyemprotan lanau dalam upaya pencegahan ledakan mikroalga beracun.

8
Kualitas air laut sangat berperan penting, baik bagi tumbuh kembangnya
kehidupan biota, kegiatan perikanan budidaya dan perikanan tangkap, maupun bagi
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada regulasi terkait kualitas air laut
sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan regulatif tentang pengelolaan ekosistem
perairan pantai. Dalam kaitan pengelolaan ekositem perairan pantai tersebut, dari
hasil kerja sama riset ASEAN-Canada Marine Science Program (1993–1998), telah
dikembangkan panduan kualitas air laut, dan telah diadopsi sebagai baku mutu
kualitas air laut di tingkat ASEAN. Meskipun demikian, karena tingginya tingkat
fluktuasi konsentrasi logam berat terlarut di alam maka dalam implementasi baku
mutu kualitas air tersebut, perlu selalu dilakukan monitoring uji toksisitas air laut
secara rutin sebagai dasar prinsip kehati-hatian (precautionary approach).

Akumulasi Logam Berat dalam Sedimen Laut

Penelitian ekotoksikologi logam berat dalam sedimen ekosistem perairan


pantai di Indonesia dimulai pada 1990-an walaupun belum mencakup seluruh
wilayah Indonesia. Studi awal terkait ekotoksikologi logam berat dilakukan sebagai
upaya mendapat gambaran tentang sebaran konsentrasi logam berat dalam sedimen
ekosistem perairan pantai di Indonesia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
konsentrasi logam berat dalam sedimen di pantai kawasan barat Indonesia (KBI),
seperti di Pekan Baru, Jakarta, Cirebon, Semarang, dan Surabaya, jauh lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi logam berat di sedimen perairan pantai di kawasan timur
Indonesia (KTI), seperti di Kota Menado, Teluk Buyat, Ambon, dan estuari
Membramo.

Riset akumulasi logam berat dalam sedimen umumnya dilakukan di kawasan


barat Indonesia, terutama di pantai utara Pulau Jawa (Jakarta dan Semarang), pantai
timur Pulau Sumatra (Teluk Kelabat dan Pantai Dumai), pantai Kalimantan (Delta
Berau dan muara Sungai Kapuas), dan hanya beberapa dilakukan di pantai Maluku
(Teluk Ambon) dan Papua (muara Sungai Digul dan Laut Arafura). Konsentrasi
logam berat di sedimen cenderung tinggi di perairan pantai yang berjarak kurang dari

9
5 km dari garis pantai. Sebagai contoh, konsentrasi logam berat (Pb dan Cu) dalam
sedimen di Teluk Jakarta pada jarak kurang dari 5 km dari garis pantai, jauh lebih
tinggi dibandingkan konsentrasi logam berat yang berjarak lebih dari 10 km.
Tingginya konsentrasi logam berat dalam sedimen mendekati garis pantai tersebut
diakibatkan oleh tingginya tingkat adsorpsi dan absorpsi oleh partikel-partikel
tersuspensi, yang akhirnya bersama dengan partikel-partikel tersuspensi tersebut
logam berat mengendap di dasar perairan pantai. Hasil riset menunjukkan bahwa
konsentrasi logam berat dalam sedimen memiliki tingkat fluktuasi rendah atau relatif
stabil. Oleh karena itu, konsentrasi logam berat dalam sedimen merupakan indikator
yang lebih baik bagi penentuan tingkat pencemaran logam berat di perairan pantai
dibandingkan kontaminasi logam berat dalam air laut.

Konsentrasi total logam dalam sedimen belum memberikan informasi tentang


ketersediaan biologis (bioavailability) logam berat bagi biota yang hidup di
dalamnya. Konsentrasi total logam berat dalam sedimen juga tidak memberikan
informasi tentang daya racun bagi organisme laut. Oleh karena itu, penelitian dalam
upaya menjawab keterkaitan proses spesiasi logam berat dan tingkat ketersediaan
biologis logam berat bagi biota bentik telah dilakukan di beberapa ekosistem perairan
pantai, misalnya spesiasi logam Pb, Cd, Cu, dan Zn dalam sedimen di perairan Teluk
Jakarta; logam Pb, Cr, Cu, dan Zn dalam sedimen di Delta Berau; dan sedimen di
pantai Dumai. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa spesiasi logam berat
dalam sedimen yang mengalami pengaruh antropogenik banyak berikatan dengan
ligand mangan-oksida (Mn-Ox) dan besi oksida (Fe-Ox), sedangkan logam berat
dalam sedimen alami umumnya berikatan dengan fraksi organik. Hasil riset spesiasi
logam berat memberikan pemahaman baru bahwa hanya logam berat yang
berasosiasi dengan manganoksida (Mn-Ox) dan besi-oksida (Fe-Ox) yang mengalami
proses bioakumulasi oleh organisme laut. Ikatan logam berat dengan Mn and Fe-
oksida memiliki ikatan yang lemah sehingga mudah terserap oleh biota.

10
Gambar : Kecenderungan Sebaran Logam Berat (Pb dan Cu) dalam Sedimen di
Teluk Jakarta

Gambar : Perbandingan Geokimia Logam Berat Timbal (Pb) dalam Sedimen (a)
Teluk Jakarta dan (b) Estuari Berau

11
Bioakumulasi Logam Berat

Prof. Samuel Luoma dari U.S. Geological Survey menyampaikan bahwa


proses geokimia logam dan fisiologi hewan merupakan dua faktor penting dalam
menentukan tingkat bioakumulasi logam berat. Pada saat kontaminan logam masuk
ke dalam ekosistem perairan pantai, kontaminan tersebut mengalami pemisahan
dalam fase padat (partikel) dan terlarut. Pada setiap fase tersebut, terjadi proses
spesiasi ataupun partisi lanjutan ke dalam suspensi yang spesifik (ligand) sehingga
biota akan terpapar, baik dalam bentuk partikel (makanan) maupun dalam bentuk
logam terlarut. Kuantitas logam yang terakumulasi dalam jaringan biota dipengaruhi
oleh status fisiologis biota (larva, muda/juvenile, dewasa) dan faktor-faktor biologis
lainnya (tingkah laku makan dan strategi akumulasi).

Proses bioakumulasi logam berat dalam tubuh biota laut, secara garis besar
ada dua tahapan proses. Pertama, logam berat masuk ke dalam tubuh (melalui media
dan makanan), logam berat secara metabolis tersedia, dan secara potensial akan
berikatan dengan beragam molekul di dalam sel penerima dan disebarkan melalui
cairan tubuh. Selanjutnya, proses tahap kedua, logam berat dalam cairan tubuh yang
memiliki konsentrasi berlebihan akan mengalami proses detoksifikasi dan disimpan
dalam organ tubuh, misalnya dalam sel hati atau sel ginjal, untuk diakumulasi
sementara atau permanen.

Riset lapangan terkait bioakumulasi logam berat pada spesies udang dan ikan
pertama kali dilakukan di muara Angke, Teluk Jakarta pada 1980-an, dan kemudian
dilanjutkan pada beberapa spesies kerang dan siput laut. Riset bioakumulasi logam
berat di perairan Teluk Jakarta menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi logam
merkuri (Hg) dalam ikan tuna sirip kuning, ikan marlin, dan kerang hijau telah
melebihi baku mutu nasional. Riset bioakumulasi logam berat juga dilakukan pada
berbagai jenis ikan dan kerang di perairan tercemar akibat kegiatan menambangan
emas tradisional di Sulawesi Utara.

12
Hasil riset tersebut secara umum menunjukkan bahwa bioakumulasi logam
berat oleh biota laut terjadi sangat tinggi, terutama pada jenis-jenis kerang atau biota
yang hidupnya bentik (menetap). Oleh karena itu, dalam kegiatan monitoring
pencemaran logam berat disarankan untuk menggunakan biota indikator yang
memiliki sifat hidup menetap (bentik), pola makannya menya- ring (filter-feeding
behavior), dan pola distribusi geografisnya luas.

Keterangan: Konsentrasi di air sangat kecil (tidak terdeteksi), namun absorpsi


oleh partikel, dan terakumulasi dalam sedimen dan biota.

Gambar : Penyebaran Kontaminan Logam Berat Pb dalam Jejaring Rantai


Makanan di Estuari Berau

13
Gambar : Skema Proses Bioakumulasi Logam Berat pada Invertebrata Laut, Udang

2.3 Perkembangan Riset Ekotoksikologi Logam Berat

1. Riset Ekotoksikologi Logam Berat di Tingkat Global

Perkembangan riset ekotoksikologi dimulai oleh peneliti di sejumlah negara


maju. Di Jepang, pada pertengahan 1950-an, terjadi kasus penyakit minamata sebagai
akibat pencemaran industri petrokimia yang membuang limbah logam berat merkuri
ke ekosistem perairan pantai. Pada masa yang bersamaan di akhir 1950-an, kasus
penggunaan pestisida sintetis (DDT, DDE) secara masif bagi pertanian telah
menyebabkan berkurangnya populasi burung di beberapa negara bagian di Amerika
Serikat. Carson, peneliti pada US Fish and Wildlife Service, yang mendalami
masalah-masalah lingkungan akibat pengunaan pestisida, menulis buku Silent Spring
pada 1962. Tulisan Carson telah menginspirasi banyak peneliti dan pegiat
lingkungan (conser- vationists) tentang pentingnya pemahaman dampak buruk dari
pestisida dan penggunaan produk-produk industri. Hal ini juga mendorong para
regulator dan periset melakukan upaya perbaikan pengelolaan lingkungan dan
pengembangan riset pencemaran, termasuk bidang ilmu ekotoksikologi logam berat.
Masalah pencemaran logam berat, terutama diakibatkan oleh remobilisasi logam

14
berat yang ada di alam akibat aktivitas industri penambangan mineral, dan juga
akibat penggunaan produk berbahan dasar logam berat dalam kegiatan industri,
seperti pertanian, kehutanan, industri cat, dan galangan kapal. Penelitian masalah-
masalah pencemaran logam berat di tingkat global berlangsung tidak mengikuti
periode waktu, melainkan berkembang bersamaan pada setiap bidang ilmunya,
seperti kelompok peneliti geologi, toksikologi, dan ekologi.

Perkembangan riset pencemaran laut di tingkat global dapat dicermati dalam


tiga perspektif disiplin ilmu. Perspektif pertama adalah geokimia lingkungan
(environmental geochemistry) yang mencoba mengukur kuantitas cemaran logam
dan menginterpretasikan penyebaran dan proses kimia yang terjadi sebagai upaya
memahami nasib dari logam berat. Perspektif kedua adalah toksikologi terapan
(applied toxicology) yang merespons kebutuhan yang berkaitan dengan regulasi
(regulatory), dan beberapa aspek kajian risiko (risk assessment) logam berat.
Perspektif ilmunya sangat fokus pada penelitian yang akan secara langsung
memengaruhi proses regulasi (regulatory process). Perspektif ketiga lebih holistik
dan berorientasi pada pemahaman proses di lapangan, yang mana riset tentang nasib
(fate), implikasi biologis, dan pengaruhnya (effect) pada ekosistem alam. Perspektif
ketiga ini dikenal dengan ekotoksikologi yang menitikberatkan pada aspek
biokimia/fisiologi, observasi biologis, dan ekologis serta eksperimen yang
berorientasi proses.

Dalam perkembangannya, riset ekotoksikologi logam berat sebagai bidang


ilmu multidisplin cenderung mengarah pada spesialisasi kepakaran, baik dalam
tataran regional maupun global. Spektrum riset ekotoksikologi logam berat dimulai
dari yang sangat dasar, seperti gen dan ultrastruktur jaringan, perkembangan embrio,
respons di tingkat spesies dan di tingkat ekosistem, hingga ke tingkat lanjut
(advance) seperti modeling pencemaran logam berat. Semua tingkatan hasil-hasil
riset tersebut menunjukkan gambaran bahwa konsentrasi kontaminan logam berat
dapat memberikan pengaruh negatif pada tingkat integritas ultrastruktur jaringan,
kesehatan individu, dan ekosistem.

15
2. Riset Ekotoksikologi Logam Berat di Indonesia

Jika dibandingkan negara-negara di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur,


kondisi riset ekotoksikologi di Indonesia dapat dikatakan tertinggal jauh hampir dua
dasawarsa. Ilmu ekotoksikologi logam berat di Indonesia baru berkembang sekitar
awal 1980- an, dengan kembalinya beberapa peneliti atau dosen Indonesia dari tugas
belajar, terutama dari Jepang dan Thailand. Riset ekotoksikologi logam berat juga
dikategorikan ilmu yang perkembangannya relatif baru dibandingkan riset-riset
pencemaran di daratan. Hasil penelusuran referensi menunjukkan bahwa riset
pencemaran laut mulai berkembang pada awal 1980-an, terutama dengan adanya isu-
isu pencemaran akibat kegiatan budidaya kerang hijau di Teluk Jakarta.

Riset ekotoksikologi logam berat di Indonesia dapat ditelusur berdasarkan


periode waktu, karena bidang riset ekotoksikologi masuk dalam lingkungan akademik
di mana cabang-cabang ilmu lain belum fokus pada masalah pencemaran laut. Oleh
karena itu, riset ekotoksikologi logam berat di Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga
tahap perkembangan. Tahap pertama (1980–1990), riset ekotoksikologi berfokus pada
pengembangan analisis konsentrasi logam terlarut di air dan biota yang dilakukan
sejak awal 1980-an, terutama terkait aktivitas budi daya kerang, penambangan pasir,
penambangan batu bara, dan pengembangan kota.

Pengembangan indikator pencemaran logam berat di ekosistem perairan pantai


berdasarkan konsentrasi logam terlarut tidak mudah diimplementasikan dalam upaya
pengelolaan ekosistem perairan pantai. Hal ini dikarenakan tingkat fluktuasi
kosentrasi logam berat dalam air yang tinggi sehingga tidak mudah digunakan
sebagai dasar hukum penindakan kasus pencemaran. Oleh karena itu, pada awal
1990-an, riset ekotoksikologi difokuskan pada pemahaman tentang konsentrasi logam
berat dalam komponen biota dan habitat biota bentik (sedimen).

16
garis tebal : nasib dan pengaruh (fate & effect ) kontaminan logam berat; garis
putus-putus : perkembangan ekotoksikologi logam berat

Gambar : Perkembangan Riset Ekotoksikologi Logam Berat Sejak Tahun 1980


Sampai Sekarang di Indonesia

Tahap kedua (1990–2000), riset ekotoksikologi difokuskan pada


kompartemen sedimen suatu ekosistem dengan dasar pertimbangan bahwa sedimen
merupakan ‘sink’ atau penyerap kontaminan logam. Riset kontaminan logam di
sedimen dilakukan bersamaan dengan pengembangan indikator biota (bioindikator)
bentik pencemaran ekosistem perairan pantai. Gambaran umum menunjukkan bahwa
sedimen di beberapa pantai di kawasan barat Indonesia (KBI), seperti di Teluk
Kelabat, pantai Dumai, muara Sungai Kapuas, cenderung memiliki konsentrasi
logam berat lebih tinggi dibandingkan di beberapa pantai di kawasan timur Indonesia
(KTI), seperti Delta Berau, Teluk Ambon, dan estuari Sungai Digul. Hal ini
menunjukkan kuatnya pengaruh aktivitas manusia akibat pertumbuhan industri, kota
pantai, dan penduduk yang terkonsentrasi di KBI, sementara pengelolaan limbah
belum maksimal.

17
Riset ekotoksikologi logam berat di sedimen berkembang melalui pendekatan
geokimia yang menganalisis spesiasi kontaminan logam dalam berbagai fraksi. Hasil
riset tersebut melahirkan pemahaman baru bahwa konsentrasi logam total dalam
sedimen tidak serta merta menggambarkan kondisi suatu ekosistem yang telah
tercemar. Boleh jadi tingginya konsentrasi logam di dalam sedimen merupakan
kondisi alami, seperti dalam ekosistem estuari membramo dan Delta Berau.

Tahap ketiga (2000–sekarang) merupakan periode yang dapat dikategorikan


sebagai masa pematangan riset ekotoksikologi logam berat di Indonesia. Riset
difokuskan pada pengembangan spesies-spesies yang potensial sebagai indikator
pencemaran dan pengembangan teknik uji toksisitas (bioassay). Riset bioindikator
logam berat, terutama difokuskan pada spesies moluska, spesies krustasea, dan
spesies ikan. Hasil kajian menunjukkan bahwa spesies yang bersifat menetap (jenis-
jenis bivalvia atau kerang) paling cocok sebagai biota indikator dalam program
monitoring karena memiliki beberapa sifat spesifik, yaitu (i) kerang merupakan biota
yang paling dominan dan sebarannya luas di perairan pantai, (ii) kerang merupakan
spesies yang paling toleran terhadap beragam kondisi lingkungan dan pencemaran,
(iii) sifat hidupnya yang menetap sehingga lebih baik dibandingkan jenis krustasea
atau ikan yang bersifat bergerak (mobile), (iv) pola makannya yang menyaring
partikel tersuspensi sehingga mampu menyaring banyak kontaminan, dan (v) kerang
sangat mudah ditransplantasikan ke lokasi yang diduga tercemar jika diperlukan.

Hasil riset menunjukkan bahwa pengembangan bioindikator memerlukan


lebih dari satu spesies biota, dan paling sedikit mewakili tiga taksa organisme.
Multispesies ini diperlukan karena sensitivitas biota terhadap kontaminan logam berat
sangat dipengaruhi oleh spesies dan tahapan awal dari siklus hidup suatu biota.

18
2.4 Peran Riset Ekotoksikologi Logam Berat Dalam Pengelolaan
Ekosistem Perairan Pantai

Sumber kontaminasi logam berat pada ekosistem perairan pantai terutama


berasal dari aktivitas manusia di wilayah terestrial, seperti konversi hutan primer
menjadi kawasan perkebunan, industri pertanian dan perikanan (pupuk dan
pestisida), industri peleburan baja, industri farmasi, industri minyak dan gas serta
penambangan ilegal. Logam berat yang termobilisasi akibat aktivitas manusia
berdampak buruk bagi biota yang ada pada ekosistem perairan pantai dan bagi
kesehatan manusia.

Pengelolaan kawasan pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem


perairan pantai, seperti hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan
estuaria, mengandung dimensi keterpaduan, yaitu keterpaduan sektoral,
keterpaduan bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. Dari dimensi ekologis, agar
pengelolaan ekosistem perairan pantai dapat berlangsung secara berkelanjutan,
tiga persyaratan harus dipenuhi, yaitu (1) adanya tata ruang wilayah pesisir; (2)
pemanfaatan sumber daya alam secara optimal; dan (3) perlunya pengendalian
pencemaran. Dalam konteks dimensi ekologis inilah peran riset ekotoksikologi
logam berat berkontribusi dalam pengelolaan ekosistem perairan pantai.
Sementara itu, peran tidak langsung riset ekotoksikologi dalam konteks
keterpaduan antarsektor lebih menekankan pada aspek perencanaan wilayah
pesisir di mana banyak sektor berkepentingan, seperti pertambangan dan energi,
perikanan, perhubungan, pariwisata, sedangkan di daratan terkait dengan sektor
pertanian, kehutanan, dan pertambangan.

1. Pengelolaan Ekosistem Perairan Pantai

Kontribusi riset ekotoksikologi dalam pengelolaan ekosistem perairan pantai


di beberapa negara maju, seperti Kanada, Prancis, dan Korea Selatan, sangat
signifikan. Riset ekotoksikologi menjadi salah satu bidang dalam pengelolaan
wilayah pesisir dan kajian risiko ekologis (ecological risk assessement). Sebagai

19
teladan, muara Sungai Fraser di pantai Pasifik Kanada kaya akan sumber daya alam.
Konflik kepentingan antara industri migas, tambang, dan perikanan salmon memaksa
pemerintah provinsi British Columbia menyusun program Fraser River Estuary
Management Program (FREMP) sebagai upaya pengembangan ekonomi, dan pada
saat yang sama mempertahankan kualitas air, meningkatkan produktivitas muara, dan
memperbaiki tempat rekreasi. Teladan lain terkait peran riset ekotoksikologi, yaitu di
Teluk Masan, Korea Selatan, yang merupakan salah satu teluk yang tercemar berat
akibat pembangunan pelabuhan, reklamasi pantai, limbah industri, dan limbah
perkotaan yang tidak diproses. Limbah industri menyebabkan penutupan pantai
rekreasi Gapo (1975) dan pelarangan perikanan kerang (1979) akibat pencemaran
logam berat dan bakteri. Dengan pedekatan ekotoksikologi dan pembangunan
treatment-plant air limbah, Teluk Masan mengalami perbaikan kualitas air 35 tahun
kemudian. Pembelajaran tentang penggunaan hasil riset ekotoksikologi telah banyak
dilakukan di banyak negara maju, demikian juga di negara berkembang, seperti
Republik Rakyat Tiongkok (RRT), India, dan Filipina.

Dalam kurun waktu kurang dari empat dasawarsa, kota-kota di Indonesia,


terutama kota-kota pantai di Pulau Jawa, pantai timur Sumatra, dan sebagian Pulau
Kalimantan mengalami laju pertumbuhan penduduk dan industri yang sangat pesat.
Pertumbuhan tersebut mendorong perluasan kawasan perkotaan dengan mengonversi
hutan-hutan pantai, yang pada akhirnya menyebabkan kontaminasi dan penurunan
kualitas lingkungan ekosistem perairan pantai.

20
Gambar (a) Konsentrasi Hg Terlarut di Air, dan (b) Hg Total dalam Sedimen
di Beberapa Anak Sungai Kapuas dan Perairan Pantai Kalimantan Barat

Kurangnya fasilitas pengelolaan limbah dan lemahnya penegakan hukum


lingkungan menyebabkan limbah industri, seperti logam berat, hidrokarbon, biosida,
dan limbah domestik menjadi sumber input kontaminan ke ekosistem perairan pantai.
Secara umum, ekosistem perairan pantai yang berdekatan dengan kota-kota pantai di
Indonesia mengalami pencemaran bahan organik (nitrogen dan fosfor) dan
peningkatan kontaminan logam berat di sedimen.

Sebagai contoh, riset ekotoksikologi di dua lokasi ekosistem muara Sungai


Kapuas dan Teluk Jakarta. Peran riset ekotoksikologi logam berat di perairan Teluk
Jakarta memberikan masukan kepada kementerian dan pemerintah daerah terkait
pencemaran logam berat pada 2003–2006. Riset diinisiasi dengan kajian Millennium
Teluk Jakarta. Kajian - kajian yang dilakukan, antara lain distribusi logam berat baik
di air, spesiasi logam berat dalam sedimen, dan bioakumulasi logam berat dalam
kerang hijau serta tingkat toksisitas logam berat terhadap krustasea.

Hasil riset ini telah memberikan banyak bukti-bukti dasar bahwa Teluk
Jakarta telah mengalami penurunan fungsi ekologis akibat tingkat pencemaran logam
berat dan bahan organik. Berdasarkan hasil riset tersebut, direkomendasikan bahwa
perairan Teluk Jakarta tidak layak untuk kegiatan budi daya biota laut. Namun
demikian, rekomendasi tersebut dilaksanakan secara parsial. Dinas Kelautan dan

21
Pertanian DKI Jakarta memindahkan kegiatan budi daya kerang hijau ke wilayah
yang berjarak lebih dari 5 km dari garis pantai sebagai upaya keamanan produk budi
daya.

Riset pencemaran logam berat di Sungai Kapuas dan beberapa anak sungainya
akibat kegiatan tambang emas tradisional dilakukan LIPI bersama Pusat Pengelolaan
Ekoregion Kalimantan (KLH) dan Universitas Tanjungpura selama tiga tahun (2010–
2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat dalam air relatif
kecil, namun dalam sedimen dapat mencapai 1000 kali lipat konsentrasi logam berat
dalam air. Dari 32 jenis ikan konsumsi masyarakat, tiga jenis ikan (ikan timah, ikan
kembung, dan ikan tengiri papan) yang berkontribusi besar terhadap akumulasi Hg,
Pb, dan Cd. Tingkat risiko akumulasi logam berat Hg dari ikan sungai lebih tinggi
daripada ikan laut. Berdasarkan hasil kajian tersebut direkomendasikan bahwa
kebijakan pengelolaan ekosistem perairan diarahkan pada (1) pelarangan praktik
penambangan tradisional, (2) pemantauan konsentrasi logam berat di sedimen dan
ikan konsumsi, dan (3) penyebaran informasi dampak buruk kegiatan tambang
tradisional. Pemerintah Daerah Kalbar telah melakukan diseminasi dan mengeluarkan
peraturan daerah (PERDA) yang melarang perdagangan merkuri sebagai bahan
penambangan emas.

2. Uji Toksisitas Logam Berat pada Biota Laut

Uji toksisitas adalah salah satu teknik untuk mengetahui apakah air laut atau
sedimen telah tercemar logam berat atau belum. Uji ini dapat digunakan sebagai
instrumen pengelolaan limbah industri yang masuk pada ekosistem perairan. Uji
toksisitas logam berat pada prinsipnya adalah memahami bagaimana toksikokinetik
kontaminan pada biota laut. Parameter yang diobservasi dapat pada tingkat selular
(kerusakan organel, sel, jaringan) atau pada tingkat spesies (tingkah laku makan,
tingkah laku berenang, sub-lethal, dan lethal). Uji toksisitas dengan meng- gunakan
biota lokal telah dikembangkan melalui kerangka kerja sama ASEAN-Canada
Marine Science Program (1993–1998). Beberapa spesies lokal, seperti larva landak

22
laut, larva udang, larva kerang hijau, anakan ikan bandeng, dan ikan kakap digu-
nakan sebagai hewan uji dalam kajian daya racun logam berat. Sebagian besar biota
tropis tersebut telah terbukti sangat cocok sebagai biota uji dalam uji toksisitas.

Pengembangan uji toksisitas atau uji biologis sedimen mengalami stagnansi


selama lebih dari 10 tahun (1998–2018) dikarenakan kondisi laboratorium yang
kurang mendukung, dan riset lingkungan atau pencemaran yang tidak menjadi
prioritas riset lembaga. Kajian tentang pengembangan biota uji mendapat momentum
positif, dengan adanya jejaring peneliti di tingkat regional, seperti IOC-Westpac
Research Network, JSPS Marine Science Network. Pengembangan potensi
amphipoda dan ikan medaka sebagai hewan uji baru mulai dilakukan lagi pada akhir
2010-an bekerja sama dengan peneliti Jepang dan Malaysia. Amphipoda merupakan
sumber makanan penting bagi ikan-ikan komersial sehingga sangat baik digunakan
sebagai kandidat indikator kesehatan ekosistem perairan pantai. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa amphipoda (Granddierella bonnieroides) ideal sebagai biota
model dalam toksisitas sedimen tercemar. Demikian juga dengan ikan medaka yang
penyebarannya hampir di seluruh perairan Indonesia. Laboratorium Ekotoksikologi
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (P2O LIPI) telah berhasil mengembangbiakkan
ikan medaka jawa (Oryzia javanicus) tersebut sebagai biota stok uji dan menguji
sensitivitasnya .

Satu tahapan yang sangat diperlukan dalam pengembangan sistem deteksi


bahan pencemar logam berat adalah identifikasi gen yang bertanggung jawab
terhadap cemaran logam berat, misalnya gene metallothioneins. Sampai saat ini, uji
toksisitas atau uji biologis, baik air maupun sedimen tercemar, masih dalam tahap
pengembangan. Faktor utama yang menghambat perkembangan riset toksisitas
logam berat dengan menggunakan spesies lokal adalah ketidaksiapan infrastruktur
laboratorium.

23
2.5 Arah Riset Ekotoksikologi Logam Berat Ke Depan

Merujuk pada hasil-hasil riset dan perjalanan riset logam berat (eksperimen
di laboratorium dan observasi di lapangan) oleh kelompok peneliti ekotoksikologi
P2O LIPI selama kurang lebih 25 tahun, pemahaman nasib logam berat dan tingkah
laku biota dalam merespons kontaminan logam berat di ekosistem perairan
berkontribusi nyata bagi upaya pengelolaan ekosistem perairan pantai. Penyebaran
kontaminan logam berat di tingkat spesies, spesiasi logam berat dalam sedimen, dan
proses bioakumulasi oleh biota telah dikaji, baik di tingkat laboratorium maupun di
tingkat lapangan.

Kekurangan eksperimen yang telah dilakukan sampai saat ini adalah


ekperimen dilakukan dengan paparan satu jenis kontaminan (single contaminant
exposure). Di alam, biota laut terpapar oleh campuran kontaminan (cocktail
contaminants) sehingga potensi proses akumulasi juga kemungkinan akan berbeda.
Potensi efek sinergitas atau antagonistic dari beragam kontaminan pada biota juga
belum dikaji. Skenario kondisi alam, misalnya perairan dengan tingkat derajat
keasaman (pH) berbeda akibat pengasaman laut (ocean acidification) atau absorprsi
logam oleh mikroplastik belum pernah dilakukan. Berdasarkan pertimbangan hasil-
hasil penelitian dan skenario masa depan maka ada dua arah riset ekotosikologi yang
disarankan agar riset menjadi lebih aplikatif dan mampu menjawab permasalahan
pembangunan pada masa yang akan datang. Pertama, riset ekotoksikologi harus
diarahkan pada skala ekosistem. Riset terkait kuantifikasi beban kontaminan yang
berasal dari daratan ke ekosistem perairan pantai, dan pengembangan model
kapasitas asimilasi ekosistem perairan pantai untuk menerima beban pencemaran dari
daratan. Agenda riset ini akan menjadi dasar pengelolaan limbah cair dari limbah
industri dan rumah tangga, pengembangan indeks kesehatan ekosistem perairan, dan
bioremediasi ekosistem tercemar. Kedua, riset lebih difokuskan pada skala gen dan
populasi. Pengembangan riset ekotoksikologi memfokuskan riset pada bahan-bahan

24
pencemar baru dan beragam jenis kontaminan baru (new emerging contam- inants),
seperti mikro dan nanoplastik, produk limbah farmasi (pharmaceutical products), dan
beragam pestisida pengganggu siklus hormon (hormone disruptive agents). Arah
riset kedua ini sebagai riset dasar untuk memahami pengaruh multi kontaminan
(multiple stressors) pada tingkat gen atau populasi.

Dalam konteks operasional, riset ekotoksikologi juga memerlukan


pendekatan lebih terintegrasi antara eksperimen di laboratorium dan observasi di
lapangan serta modeling kontaminan. Berdasarkan hasil kajian hampir 25 tahun
terkait masalah-masalah pencemaran laut, hampir 80% riset ekotoksikologi logam
berat di Indonesia dilakukan di tingkat lapangan. Riset lapangan memiliki kelemahan
dalam menguji konsep dasar tentang nasib dan tingkah laku kontaminan karena
tingkat kompleksitas ekosistem perairan pantai yang sangat dinamis. Oleh karena itu,
riset ekotoksikologi ke depan harus mengintegrasikan riset lapangan (observasi) dan
riset laboratorium (ekperimen).

Informasi nasib dan efek kontaminan logam berat terhadap biota laut
merupakan data dasar dalam membangun kajian risiko ekologis kontaminan logam.
Oleh karena itu, riset spesiasi logam berat di sedimen dan uji biologis menggunakan
spesies lokal akan mengurangi ketidakpastian dalam pengambilan keputusan dan
memperkuat keefektifan regulasi atau peraturan pemerintah tentang baku mutu atau
dampak suatu kontaminan pada ekosistem perairan pantai.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Riset ekotoksikologi logam berat pada tingkatan spesies maupun di tingkat


ekosistem telah mengalami kemajuan yang signifikan dalam kurun waktu 30 tahun
terakhir di Indonesia. Nasib kontaminan logam berat di ekosistem perairan pantai
dapat dipahami melalui distribusi logam berat di air, spesiasi logam berat dalam
sedimen, dan toksikokinetik logam berat dalam biota laut. Berdasarkan perjalanan
riset tentang ekotoksikologi logam berat dalam pengelolaan ekosistem perairan
pantai dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Logam berat dalam sedimen menunjukkan pola spesiasi logam yang berbeda
antara sedimen yang mengalami pengaruh aktivitas manusia (disturbed
ecosystem) dan sedimen alami (undisturbed ecosystem).
2. Spesiasi logam berat dalam sedimen dapat digunakan sebagai indikator
pencemaran logam berat yang lebih dapat dipertanggungjawabkan (reliable)
dibandingkan logam berat terlarut dalam air (solute form).
3. Indikator multispesies merupakan salah satu pendekatan utama untuk
mengukur tingkat pencemaran atau kesehatan ekosistem laut.
4. Integrasi indikator multispesies dan spesiasi logam berat dalam sedimen dapat
memperkuat upaya pengelolaan ekosistem perairan pantai.
5. Uji toksisitas logam berat terhadap spesies lokal atau spesies tropis dapat
menjadi dasar utama penyusunan kebijakan atau peraturan terkait kualitas atau
tingkat kesehatan ekosistem perairan pantai.

26
3.2 Saran

Pengembangan biota laut tropis sebagai biota uji toksisitas merupakan


bidang ekotoksikologi laut yang paling lambat perkembangannya di Indonesia.
Sampai saat ini, di Indonesia tidak ada laboratorium yang dikategorikan memenuhi
standar (ISO17025) sebagai fasilitas uji toksisitas logam berat bagi organisme laut.
Oleh karena itu, sains ekotoksikologi laut (logam berat) dalam arti yang luas masih
membutuhkan pengembangan. Diharapkan hasil-hasil riset ekotoksikologi dapat
membantu para pengambil kebijakan atau manajer dalam upaya perlindungan sumber
daya hayati laut dan pengelolaan ekosistem perairan pantai.

27
DAFTAR PUSTAKA

Arifin Z. Dampak kegiatan tambang emas tradisional pada eko- sistem perairan di
Kalimantan Barat. Dalam: Anwar HZ, Harjono H (Ed). Perspektif terhadap
kebencanaan dan lingkungan di Indo- nesia: Studi kasus dan pengurangan
dampak risikonya. Bandung: LIPI; 2011.

Hutagalung HP, Razak H. Pengamatan pendahuluan kandungan Pb dan Cd di air dan


biota di Muara Angke. Oseanologi di Indo- nesia. 1982; 15: 1–10.

Arifin Z. Kajian kecenderungan perubahan kontaminan logam berat di perairan Teluk


Jakarta. Dalam: Ruyitno (Ed). Kajian pe- rubahan ekologis perairan Teluk
Jakarta dalam 20 tahun terakhir. Jakarta: LIPI Press; 2008.

Nugroho A, Prartono T, Arifin Z. Konsentrasi Cr dan Zn di air laut, padatan


tersuspensi, organisme dan partisinya di sedimen Delta Berau, Kalimantan
Timur. Ilmu Kelautan. 2010; (2): 447– 461.

Manullang CY, Lestari, Tapilatu Y, Arifin Z. Assessment of Fe, Cu, Zn, Pb, Cd and
Hg in Ambon Bay surface sediments. Mar. Res. Indonesia. 2017; 42(2): 77–
86.

Hutagalung HP, Manik J. Logam berat di air dan sedimen di es- tuari sungai Digul
dan laut Arafura. Pesisir dan Pantai Indonesia
VII. Jakarta: P2O-LIPI; 2002.

Arifin Z, Fadlina D. Fraksinasi logam berat Pb, Cd, Cu dan Zn dalam sedimen dan
bioavailabilitasnya bagi biota di Perairan Teluk Jakarta. Ilmu Kelautan. 2009;
14(1): 27–32.

28
29

Anda mungkin juga menyukai