Anda di halaman 1dari 17

PAPER EKOLOGI MUARA DAN PANTAI

IDENTIFIKASI KERUSAKAN DAN PERENCANAAN


REHABILITASI EKOSISTEM PESISIR

OLEH

M. RUKIM
1504110296

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Paper dengan judul ”Identifikasi

Kerusakan Dan Perencanaan Rehabilitasi Ekosistem Pesisir ” Paper ini diajukan

sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan mata kuliah Ekologi Muara dan

Pantai pada Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir

Afrizal Tanjung M.Sc dan selaku Dosen mata kuliah Ekologi Muara dan Pantai serta

seluruh rekan-rekan yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan paper

ini.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penyelesaian paper ini. Oleh

sebab itu, jika terdapat kesalahan hendaklah rekan memberikan kritik dan saran yang

bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan paper ini untuk

kedepannya.

Pekanbaru, 08 Januari 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Isi Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................ ii

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................ 3
1.3 Manfaat .............................................................................................. 3

II. ISI
2.1. Identifikasi Kerusakan Ekosistem Pesisir ......................................... 4
2.1.1. Dampak Pembangunan Industri ............................................... 4
2.1.2. Dampak Deforestasi ................................................................. 4
2.1.3. Praktek merusak Ekosistem Pesisir.......................................... 5
2.1.4. Mangrove Forest Kliring.......................................................... 6
2.2. Perencanaan rehabilitasi wilayah pesisir............................................ 8
2.2.1. Aturan dasar dan Peraturan dalam merehabilitasi wilayah pesisir 9
2.2.2. Pembangunan Kelautan Berkelanjutan .................................... 10
2.2.3. Alternatif untuk Praktek Merusak ............................................ 11
III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan ........................................................................................ 12


3.2 Saran................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

iii
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepulauan Indonesia terdiri dari sekitar 17.508 pulau dengan lebih 81.290

km dari garis pantai. Sebagai negara kepulauan, Indonesia didominasi oleh

lingkungan laut. Wilayah laut mencapai 81,7% (5,8 juta kilometer persegi) dari luas

total bangsa. Selain 0,3 juta kilometer persegi wilayah perairan, yurisdiksi

Indonesia yang terbentang lebih dari 2,7 juta kilometer persegi lautan sebagai Zona

Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pesisir dan laut ekosistem, yang terdiri dari muara,

bakau, rumput laut, dan terumbu karang yang produktif. Telah dilaporkan

bahwa produksi kelautan utama dalam sistem ini dapat mencapai rata-rata 3.000

g C1m2 / tahun, dan bahkan di beberapa systemn seperti perairan terumbu

karang, produktivitas primer mereka dapat naik ke 11.680 g C / m2 / tahun,

misalnya sebagaimana dicatat di Hawaii oleh Gordon dan Kelly (Supriharyono,

2000).

Sebaliknya, produktivitas di sekitarnya hanya 21-27 g C / m2 / tahun.

Beberapa peneliti menyarankan bahwa secara umum, produksi utama sangat rendah

di laut terbuka, yang hanya sekitar 50-100 g C / m2 / tahun, dibandingkan dengan

di perairan karang (Supriharyono, 2000). Produktivitas primer yang tinggi dari

perairan pesisir menyebabkan berkumpulnya ikan dan invertebrata laut lainnya, di

daerah ini, baik untuk tujuan pemijahan, keperawatan, atau makan. Oleh karena itu,

produktivitas sekunder, seperti ikan, udang, dan invertebrata laut lainnya, biasanya
2

juga tinggi dalam sistem ini. Sektor perikanan bersama dengan kegiatan lainnya

di pesisir dan laut daerah, seperti pengiriman atau berlayar, kegiatan pelabuhan,

lepas pantai pengeboran minyak, perikanan laut, tambak (tambak) eksploitasi dan

wisata bahari memberikan penghasilan ekonomi nasional. Kegiatan ini menghasilkan

total 22% dari PDB (Gross Produk Domestik) pada tahun 1992 (Sugandhy, 1993).

Namun, kegiatan di atas dalam penggunaan sumber daya alam di wilayah pesisir

seringkali tumpang tindih antara satu sama lain, dan mengakibatkan penurunan

potensi sumber daya di daerah-daerah. Penurunan ini disinyalir di sebabkan oleh

kerusakan wilayah pesisir yang terus terjadi dari waktu kewaktu.

Sejak awal tahun 1990-an, fenomena degradasi biogeofisik sumberdaya

pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakan sumberdaya pesisir telah

mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove

terumbu karang dan estuari (muara sungai). Rusaknya ekosistem mangrove, terumbu

karang, dan estuari berimplikasi terhadap penurunan kualitas lingkungan untuk

sumberdaya ikan serta erosi pantai. Sehingga terjadi kerusakan tempat pemijahan dan

daerah asuhan ikan, berkurangnya populasi benur, nener, dan produktivitas tangkap

udang. Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang terlihat

dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir

yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan daya dukung

lingkungannya. Sehingga persoalan yang mendasar adalah mekanisme pengelolaan

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak efektif untuk memberi kesempatan

kepada sumberdaya hayati pesisir yang dimanfaatkan pulih kembali atau


3

pemanfaatan sumberdaya non-hayati disubstitusi dengan sumberdaya alam lain dan

mengeliminir faktor-faktor yang menyebabkan kerusakannya (Prasetyo dan wardana.

2011). Sedangkan upaya rehabilitasi pada lingkungan ini masih berjalan sangat

sedikit dikarenakan kurangnya anggaran untuk merehabilitasi selain itu laju

deforestasi lebih cepat dari rehabilitasi dengan demikian bagian bagian yang

kerusakannya terlalu parah sulit untuk di rehabilitasi karena pengaruh fisika yang

kuat. Makalah ini menjelaskan beberapa ringkasan dari studi yang telah dilakukan

di banyak bagian wilayah pesisir Indonesia juga melaporkan strategi nasional

untuk pengelolaan pesisir di Indonesia.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk

1. Meng identifikasi kerusakan ekosistem pesisir.

2. Mengetahui perencanaan rehabilitasi ekosistem pesisir.

1.3. Manfaat

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis, diharapkan dengan tulisan ini dapat menambah

perbendaharaan khazanah pengetahuan tentang identifikasi kerusakan ekosistem

pesisir dan pembelajaran tentang perencanaan rehabilitasi ekosistem pesisir.

2. Manfaat praktis, dengan makalah ini dapat memberikan informasi kepada

pembaca, sekaligus sebagai rujukan terhadap pembuatan makalah berikutnya.


4

II. ISI

2.1. Identifikasi Kerusakan Ekosistem Pesisir


2.1.1. Dampak Pembangunan Industri

Pembangunan nasional di sebagian besar negara-negara berkembang,

termasuk Indonesia ditandai dengan meningkatnya jumlah industri. Jumlah industri

meningkat sekitar 256% antara tahun 1978-1995 di Indonesia, dengan rata-rata

sekitar 15% / tahun (BPS, 1995). Mayoritas industri ini berkembang pesat di kota-

kota besar, terutama di daerah pesisir. Sayangnya, tidak semua industri yang

dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah. Oleh karena itu, limbah mereka

sering mencemari sungai atau aliran, dengan demikian mereka akhirnya mencemari

laut. Hal ini mengakibatkan penurunan kemungkinan kualitas air di sungai, dan / atau

perairan laut, dengan risiko kerusakan dan degradasi ekosistem laut dan pesisir.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya kegiatan lain seperti kliring mangrove.

Produksi ikan di perairan pesisir di Sulawesi Utara, misalnya, menurun sekitar 1,53%

pada tahun 1991 karena pembukaan hutan bakau intensif (Supriharyono et al, 1993).

Selain itu pada tingkat peningkatan pengiriman, beberapa diantaranya membawa

bahan-bahan beracun dan berbahaya, mungkin membahayakan organisme laut oleh

polusi laut juga.

2.2.2. Dampak Deforestasi

Ini adalah fakta bahwa banyak hutan di daerah atas telah diubah, baik untuk

tujuan pertanian atau pemukiman. deforestasi seperti menghasilkan tingkat

sedimentasi yang tinggi di perairan pesisir. Supriharyono (1986), melaporkan


5

bahwa Deforestasi dan pengelolaan lahan yang buruk di daerah daerah atas telah

menghasilkan tingkat sedimentasi yang tinggi di pantai utara perairan Jawa Tengah,

yang diterima oleh aliran sungai dan air sungai dari daerah terkikis. Sedimentasi yang

mencapai sekitar 135 mg / cm2 / bulan. Selain itu, ini mengakibatkan penurunan

hidup cakupan terumbu karang di beberapa daerah, dari sekitar 40% menjadi di

bawah 30% (Supriharyono, 1990). Sisa karang hidup menunjukkan kondisi stres

dengan pertumbuhan yang lambat (Supriharyono, 1986, 1988, 1990). Dalam

penelitian terbaru di Karimunjawa National Park, Supriharyono et al (1999)

melaporkan bahwa kliring mangrove di Karimunjawa dan Kepulauan Kamojan

telah mempengaruhi pertumbuhan karang di pulau-pulau tertutup untuk kegiatan

pemotongan, misalnya Pulau Cemara Kecil.

2.2.3. Praktek merusak Ekosistem Pesisir

Karena sebagian besar industri yang terletak di daerah pesisir, daerah operasi

penangkapan ikan dari nelayan skala kecil menjadi sempit dan sempit. Sementara itu,

di masyarakat pesisir, kondisi sosial mayoritas anggotanya, khususnya nelayan, yang

mengerikan. Sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan dan ketertampilan

yang rendah, sebagian hanya selesai Sekolah Dasar (Preliminary Sekolah), dan

beberapa dari mereka bahkan tidak lulus. Oleh karena itu dalam kondisi ini, sangat

sulit bagi mereka untuk bersaing dengan nelayan dengan teknologi penangkapan ikan

yang modern. Sebagai hasil dari pendidikan dan keterampilan yang rendah, banyak

dari mereka yang hanya digunakan di daerah pesisir. Beberapa dari mereka bahkan

menggunakan teknik penangkapan ikan yang merusak, seperti explosives

penggunaan dan bahan beracun (KCN). Praktek ini ditemukan di banyak tempat di
6

ekosistem pesisir dan laut di Indonesia, misalnya Selat Malacca, Kepulauan Riau

(Sumatera Timur), Teluk Jakarta (Jawa Barat), Kepulauan Karimunjawa (Jawa

Tengah), Bunaken (Sulawesi Utara), Taka Bonerate pulau (Sulawesi Selatan),

Padaido pulau (Biak Numfor Papua), dan lain-lain . Praktek penangkapan ikan

tersebut mengakibatkan kehancuran laut dan sistem pesisir, terutama terumbu karang

(Supriharyono et al, 1990; 1992; 1993).

2.2.4. Mangrove Forest Kliring

Banyak peneliti, misalnya Soegiarto dan Polunin, 1982; KLH, 1993, telah

melaporkan bahwa mangrove, sebagai bagian dari ekosistem, memberikan potensi

ekonomi yang berharga di daerah pesisir, karena sistem ini mengandung

produktivitas laut tinggi, seperti ikan, udang, lobster, moluska, dan kura-kura.

Sayangnya, tribun bakau sering dipotong karena beberapa alasan. Banyak bukti

membuktikan bahwa persentase hidup cakupan bakau menurun, baik karena

langsung dan tidak langsung efek dari aktivitas manusia di daerah pesisir. Deforestasi

hutan mangrove atau pembukaan lahan di banyak daerah pesisir, seperti di Sumatera,

Jawa, Kalimantan, Sulawesi, untuk pengembangan perikanan dan produksi arang

mengakibatkan penurunan jumlah total ikan yang ditangkap di daerah-daerah

(Supriharyono et al, 1990; ). Hal ini dicatat bahwa sekitar 11.012 Ha daerah

mangrove hilang di Asahan, Deli Serdang, dan Kabupaten Langkat, Provinsi

Sumatera Utara karena produksi arang (Kurniawan, 1998). kliring Mangrove untuk

industri arang juga dilaporkan di provinsi Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur

(Kasim et al., 1996). Selain itu, produksi tahunan arang dilaporkan sekitar 7,000-

15,000 m3 di Riau, dan 70.000 m3 di Kalimantan Timur. Angka-angka ini,


7

bagaimanapun, masih di bawah kuota pemerintah untuk ekspor arang, yaitu 500.000

m3 per tahun. Hilangnya pohon bakau yang terkena dampak tidak hanya industri

arang, tetapi juga pengembangan perikanan. Perkembangan payau budidaya ikan air,

terutama saat permintaan udang pisang (Penaeus monodon) meningkat di pasar

ekspor, rsulted dalam pembukaan beberapa daerah mangrove. Hutan bakau dipotong

dan berbalik intor tambak (tambak). Misalnya, sekitar 5.000 ha hutan mangrove di

Sumatera Utara, 20.000 ha di Riau, 75.000 ha di Aceh, dan 1.750 ha di Sumatera

Selatan telah dibuka untuk pembangunan tambak (Burdridge et al. 1988). Di

Karimunjawa dan Kepulauan Kamojan (bagian dari Kepulauan Karimunjawa,

Jepara), beberapa 51,9 Ha mangrove telah dipotong untuk tambak pada tahun 1999.

kliring bakau ini meningkat di daerah-daerah tahun ke tahun ( Balai Taman Nasional

Kepulauan Karimunjawa, 1999). Ada juga wujud bahwa hutan mangrove dipotong

tidak hanya untuk pengembangan tambak, tetapi juga untuk keperluan lain, misalnya

produksi kayu api dan arang. Di Provinsi Riau, misalnya, hutan bakau dipotong

secara intensif . Produksi kayu meningkat sekitar 14,5 %, dari 16,288.920 m3 di

1984-1985 untuk 18,649.178 m3 di 1985-1986. Total produksi arang meningkat

sekitar 17,5% , yaitu dari 10,901.062 m2 di 1984-1985 dan meningkat menjadi

12,808.41 m2 di 1985-1986 . Selain itu, pembukaan hutan mangrove juga dilakukan

dalam rangka untuk membangun sawah pasang surut, perumahan, dll. Kondisi ini,

jika tidak diawasi , akan menyebabkan degradasi serius.


8

2.2. Perencanaan rehabilitasi wilayah pesisir

Dalam mengelola lingkungan pesisir dan laut, Sugandhy (1993)

menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan ini tidak harus dipisahkan dari

lingkungan di darat. Hal ini diperlukan untuk mengintegrasikan kegiatan yang ada di

darat dan orang-orang di daerah pesisir. Diharapkan bahwa hal tersebut akan

meminimalkan konflik kepentingan dalam memanfaatkan sumber daya alam dan

mengatasi pencemaran di laut yang berasal dari tanah. manajemen harus

mencakup upaya dalam perencanaan, upaya pemanfaatan, pemeliharaan,

pengendalian, evaluasi dan restorasi, rehabilitasi, pembangunan dan konservasi

kelautan dan lingkungan pesisir. Kelautan dan pengelolaan pesisir harus

mengembangkan secara optimal pemanfaatan (berkelanjutan) dari sumber daya di

daerah- daerah dengan cara yang efektif dan efisien. Pada saat yang sama,

pengembangan kelautan yang berkelanjutan harus dilaksanakan secara optimal,

dengan mempertimbangkan daya dukung alam bersama-sama dengan

peningkatan Kesejahteraan Rakyat.

Dalam banyak kasus, nelayan mungkin tidak tahu apakah kegiatan

mereka membahayakan lingkungan laut atau tidak. Sebagai contoh, banyak

praktek penangkapan ikan, seperti muro-ami, potasium sianida membahayakan

terumbu karang. Oleh karena itu, pemerintah melalui bombfishing, dan

penggunaan potasium sianida membahayakan terumbu karang. Oleh karena itu,

COREMAP, saat ini sedang mengembangkan proyek mencari praktik alternatif untuk

mengurangi dan akhirnya berhenti teknik penangkapan ikan yang merusak terumbu
9

karang (Supriharyono et al., Dalam proses). Proyek ini mengambil tempat di

Taka Bonerate dan Kepulauan Padaido (bagian dari proyek COREMAP). Proyek ini

berencana mencari teknik perikanan yang berkelanjutan, budaya laut dan mata

pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir, terutama di situs tersebut.

2.2.1. Aturan dasar dan Peraturan dalam merehabilitasi wilayah pesisir

Mengingat masalah di lingkungan pesisir dan laut, pemerintah Indonesia telah

menetapkan beberapa hukum dan peraturan untuk pengelolaan lingkungan. Ini, antara

lain, adalah: Undang-Undang Nomor 5/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kehutanan; Undang-Undang Nomor 1/1973 tentang Landas Kontinen Indonesia;

Undang-Undang Nomor 5/1974 tentang Goverrment Pelimpahan Kewenangan

untuk Pemerintah Daerah atau Propinsi; Undang-Undang Nomor 5/1983 tentang

ZEE Indonesia Undang-Undang Nomor 5/1985 tentang Perikanan Undang-Undang

Nomor 9/1990 tentang Kepariwisataan; Undang-Undang Nomor 5/1990 tentang

Undang-Undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hidup dan

ekosistemnya; Undang-Undang Nomor 23/1992 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-Undang Nomor 24/1992

tentang Penataan Ruang; Undang-Undang Nomor 5/1994 tentang Pengesahan

Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati. Dengan aturan dan peraturan ini,

diharapkan bahwa kerusakan lingkungan laut akibat aktivitas manusia akan

berkurang. Di banyak tempat di mana aturan dan peraturan ini tidak mengambil efek,

penyebabnya mungkin kurangnya sosialisasi.


10

2.2.2. Pembangunan Kelautan Berkelanjutan

Dalam referensi untuk sumber daya laut yang berkelanjutan, Program

Konservasi Laut yang Indonesia telah membentuk 10 juta hektar kawasan konservasi

laut, yang tersebar di 85 cadangan di perairan laut Indonesia. Pemilihan kawasan

konservasi laut terutama didasarkan pada Kelautan Atlas, dan informasi dari beberapa

lembaga yang terlibat dalam kegiatan kelautan, misalnya perikanan, pariwisata, dan

lembaga penelitian kelautan. Tujuan dari konservasi laut berdasarkan Strategi

Konservasi Nasional, yang diadopsi dari IUCN (1994) untuk MPA (Marine Protected

Area). Tujuan dari konservasi laut Indonesia mencakup tiga aspek Untuk menjaga

proses ekologi penting dan sistem pendukung kehidupan, Untuk melestarikan bio-

keanekaragaman pesisir dan laut, Untuk menjamin pemanfaatan berkelanjutan dari

spesies dan ekosistem. Daerah-daerah cadangan laut akan diperluas hingga 30 juta

hektar pada akhir tahun 2000. Namun, sejauh program ini belum dievaluasi

lagi, dan tidak ada jaminan apakah sudah terealisasi atau tidak. Menurut Direktorat

Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHPA), pada tahun 1994 hanya

28% dari rencana ekspansi telah menyadari, dari total kelautan daerah yang diusulkan

(2.800.000 hektar), yang melibatkan sekitar 37 wilayah laut (Anonim. 1994).

Konservasi laut meliputi 14 wilayah laut untuk Strict Marine Nature Reserve, enam

area untuk Wildlife Marine Nature Reserve dan tujuh area untuk Marine Nature

Taman Rekreasi dan 10 Taman Nasional Laut.


11

2.2.3. Alternatif untuk Praktek Merusak

Apa yang sekarang terjadi adalah bahwa anggota komunitas pesisir, terutama

nelayan, telah over-mengeksploitasi sumber daya pesisir dengan praktek-praktek yang

merusak, seperti penangkapan ikan yang merusak, dan penambangan karang. Hal ini

mungkin disebabkan tidak adanya kegiatan alternatif lainnya, yang mungkin bisa

menghasilkan subsisten, misalnya makanan, untuk keluarga mereka. Mengingat ini,

pemerintah Indonesia melalui proyek-proyek COREMAP, saat ini sedang

mempelajari teknologi alternatif menggantikan aktivitas yang merusak seperti

penangkapan ikan yang merusak dan penambangan karang, bagi masyarakat pesisir.

Dua situs telah beeii dipilih untuk percontohan lapangan, pulau-pulau yaitu Taka

Bonerate di Selayar, Sulawesi Selatan dan Kepulauan Padaido di Biak Numfor,

Papua (Supriharyono et al. In progress). alternatif ini untuk praktik penangkapan ikan

yang merusak terumbu karang akan terdiri dari tiga kegiatan, yaitu teknologi

perikanan yang berkelanjutan, teknologi budidaya laut yang berkelanjutan dan

mata pencaharian alternatif bagi masyarakat setempat, terutama nelayan

di daerah tersebut.
12

III. PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Kegiatan antropogenik di lingkungan pesisir dan laut menyebabkan penurunan

potensi sumber daya nelayan di Indonesia seperti pembangunan industri, deforestasi,

penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dan mangrove filling

menyebabkan semakin rusaknya ekositem di pesisir. Untuk mengurangi atau

menghentikan ini, pembentukan undang-undang dan peraturan lingkungan tidak bisa

dihindari . Selain itu, dalam rangka untuk mengatasi masalah, pemerintah juga

mendirikan sejumlah melestarikan laut di 37 daerah di Indonesia .

Meskipun pengelolaan pesisir telah diprogram, termasuk sistem zonasi untuk

menjaga aktivitas manusia di wilayah laut dilestarikan, kenyataannya adalah bahwa

masih ada kendala utama yang mempengaruhi program ini, misalnya kurangnya

delineasi yang jelas tentang tanggung jawab masing- masing kementerian, kurangnya

kesadaran dan partisipasi masyarakat ; kurangnya sosialisasi peraturan dan regulasi,

kurangnya penegakan hukum, kurangnya kontrol, monitoring dan evaluasi daerah

dilestarikan. Manajemen pesisir dan laut, oleh karena itu, perlu diintegrasikan ke

dalam upaya lintas sektor dan activities.

3.2. Saran
Semoga makalah ini tidak hanya menjadi tugas kuliah semata namun dapat

bermanfaat demi pembaharuan materi kuliah ekologi muara dan pantai berikutnya,
13

agar metode ini dapat di gunakan tidak hanya sekedar menjadi pemikiran semata,

seemoga dapat menjadi refrensi teknis di lapangan mengenai step-step dalam upaya

rehabilitasi ekosistem pesisir.


14

DAFTRA PUSTAKA

IUCN. 1994. Pedoman kategori pengelolaan kawasan lindung., Komisi IUCN di


Taman Nasional dan Kawasan Lindung dengan bantuan dari World
Conservation Monitoring Centre IUCN, Gland Swiss. 259.

Kasim Moosa, M et al. 1996. Studi negara Indonesia pada terintegrasi


keanekaragaman hayati pesisir dan laut mana-jemen. Kementerian Negara
Lingkungan Hidup Republik Indonesia di Coorporated dengan Direktorat
Alam Manajemen Kerajaan Norway.

Kurniawan, Joni. 1998. Laporan hasil temuan Studi Lingkungan wiiayah Pesisir
Kabu-paten Dati II Deli Serdang. Loka-karya Lapangan Partisipatip,
BIPP Gedung Johor, 26 Nopember

Prasetyo Aris, dan wardana. A. A . 2011. Penanggulangan Kerusakan Lingkungan


Pesisir dan Laut. Pertanian Universitas Bengkulu. http://sangsurya-
wahana.blogspot.co.id/2011/12/penanggulangan-kerusakan-
lingkungan.html# [Diakses pada tanggal 10 Desember 2018].
Soegiarto, A., dan N. Pollunin. 1982. lingkungan laut Indonesia. Dept Zoologi,
Universitas Cambridge, 257p.

Sugandhy, A. 1993. Kelautan Terpadu dan Pesisir Resoirces Pengelolaan. Dunia


Coast Konferensi, 1-5 November 1993, Noordwijk, The Hague,
Netherland.

Supriharyono. 1986. Pengaruh sedimentasi pada terumbu karang tepi di utara


Jawa Tengah, Indonesia. PhD Thesis. Berangkat. Zoologi, The University
of Newcastle upon Tyne, UK.

Supriharyono. 1988. buatan Terimbas Kerusakan pada terumbu karang di


Bandengan Bay, Jepara, Central Java, Indonesia. Penelitian Institute,
Universitas Diponegoro, Semarang.

Anda mungkin juga menyukai