OLEH
M. RUKIM
1504110296
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan mata kuliah Ekologi Muara dan
Afrizal Tanjung M.Sc dan selaku Dosen mata kuliah Ekologi Muara dan Pantai serta
seluruh rekan-rekan yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan paper
ini.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penyelesaian paper ini. Oleh
sebab itu, jika terdapat kesalahan hendaklah rekan memberikan kritik dan saran yang
kedepannya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Isi Halaman
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................ 3
1.3 Manfaat .............................................................................................. 3
II. ISI
2.1. Identifikasi Kerusakan Ekosistem Pesisir ......................................... 4
2.1.1. Dampak Pembangunan Industri ............................................... 4
2.1.2. Dampak Deforestasi ................................................................. 4
2.1.3. Praktek merusak Ekosistem Pesisir.......................................... 5
2.1.4. Mangrove Forest Kliring.......................................................... 6
2.2. Perencanaan rehabilitasi wilayah pesisir............................................ 8
2.2.1. Aturan dasar dan Peraturan dalam merehabilitasi wilayah pesisir 9
2.2.2. Pembangunan Kelautan Berkelanjutan .................................... 10
2.2.3. Alternatif untuk Praktek Merusak ............................................ 11
III. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
iii
1
I. PENDAHULUAN
Kepulauan Indonesia terdiri dari sekitar 17.508 pulau dengan lebih 81.290
lingkungan laut. Wilayah laut mencapai 81,7% (5,8 juta kilometer persegi) dari luas
total bangsa. Selain 0,3 juta kilometer persegi wilayah perairan, yurisdiksi
Indonesia yang terbentang lebih dari 2,7 juta kilometer persegi lautan sebagai Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pesisir dan laut ekosistem, yang terdiri dari muara,
bakau, rumput laut, dan terumbu karang yang produktif. Telah dilaporkan
bahwa produksi kelautan utama dalam sistem ini dapat mencapai rata-rata 3.000
2000).
Beberapa peneliti menyarankan bahwa secara umum, produksi utama sangat rendah
daerah ini, baik untuk tujuan pemijahan, keperawatan, atau makan. Oleh karena itu,
produktivitas sekunder, seperti ikan, udang, dan invertebrata laut lainnya, biasanya
2
juga tinggi dalam sistem ini. Sektor perikanan bersama dengan kegiatan lainnya
di pesisir dan laut daerah, seperti pengiriman atau berlayar, kegiatan pelabuhan,
lepas pantai pengeboran minyak, perikanan laut, tambak (tambak) eksploitasi dan
total 22% dari PDB (Gross Produk Domestik) pada tahun 1992 (Sugandhy, 1993).
Namun, kegiatan di atas dalam penggunaan sumber daya alam di wilayah pesisir
seringkali tumpang tindih antara satu sama lain, dan mengakibatkan penurunan
pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakan sumberdaya pesisir telah
terumbu karang dan estuari (muara sungai). Rusaknya ekosistem mangrove, terumbu
sumberdaya ikan serta erosi pantai. Sehingga terjadi kerusakan tempat pemijahan dan
daerah asuhan ikan, berkurangnya populasi benur, nener, dan produktivitas tangkap
udang. Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang terlihat
dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak efektif untuk memberi kesempatan
2011). Sedangkan upaya rehabilitasi pada lingkungan ini masih berjalan sangat
deforestasi lebih cepat dari rehabilitasi dengan demikian bagian bagian yang
kerusakannya terlalu parah sulit untuk di rehabilitasi karena pengaruh fisika yang
kuat. Makalah ini menjelaskan beberapa ringkasan dari studi yang telah dilakukan
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
II. ISI
sekitar 15% / tahun (BPS, 1995). Mayoritas industri ini berkembang pesat di kota-
kota besar, terutama di daerah pesisir. Sayangnya, tidak semua industri yang
dilengkapi dengan instalasi pengolahan air limbah. Oleh karena itu, limbah mereka
sering mencemari sungai atau aliran, dengan demikian mereka akhirnya mencemari
laut. Hal ini mengakibatkan penurunan kemungkinan kualitas air di sungai, dan / atau
perairan laut, dengan risiko kerusakan dan degradasi ekosistem laut dan pesisir.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya kegiatan lain seperti kliring mangrove.
Produksi ikan di perairan pesisir di Sulawesi Utara, misalnya, menurun sekitar 1,53%
pada tahun 1991 karena pembukaan hutan bakau intensif (Supriharyono et al, 1993).
Ini adalah fakta bahwa banyak hutan di daerah atas telah diubah, baik untuk
bahwa Deforestasi dan pengelolaan lahan yang buruk di daerah daerah atas telah
menghasilkan tingkat sedimentasi yang tinggi di pantai utara perairan Jawa Tengah,
yang diterima oleh aliran sungai dan air sungai dari daerah terkikis. Sedimentasi yang
mencapai sekitar 135 mg / cm2 / bulan. Selain itu, ini mengakibatkan penurunan
hidup cakupan terumbu karang di beberapa daerah, dari sekitar 40% menjadi di
bawah 30% (Supriharyono, 1990). Sisa karang hidup menunjukkan kondisi stres
Karena sebagian besar industri yang terletak di daerah pesisir, daerah operasi
penangkapan ikan dari nelayan skala kecil menjadi sempit dan sempit. Sementara itu,
yang rendah, sebagian hanya selesai Sekolah Dasar (Preliminary Sekolah), dan
beberapa dari mereka bahkan tidak lulus. Oleh karena itu dalam kondisi ini, sangat
sulit bagi mereka untuk bersaing dengan nelayan dengan teknologi penangkapan ikan
yang modern. Sebagai hasil dari pendidikan dan keterampilan yang rendah, banyak
dari mereka yang hanya digunakan di daerah pesisir. Beberapa dari mereka bahkan
penggunaan dan bahan beracun (KCN). Praktek ini ditemukan di banyak tempat di
6
ekosistem pesisir dan laut di Indonesia, misalnya Selat Malacca, Kepulauan Riau
Padaido pulau (Biak Numfor Papua), dan lain-lain . Praktek penangkapan ikan
tersebut mengakibatkan kehancuran laut dan sistem pesisir, terutama terumbu karang
Banyak peneliti, misalnya Soegiarto dan Polunin, 1982; KLH, 1993, telah
produktivitas laut tinggi, seperti ikan, udang, lobster, moluska, dan kura-kura.
Sayangnya, tribun bakau sering dipotong karena beberapa alasan. Banyak bukti
langsung dan tidak langsung efek dari aktivitas manusia di daerah pesisir. Deforestasi
hutan mangrove atau pembukaan lahan di banyak daerah pesisir, seperti di Sumatera,
(Supriharyono et al, 1990; ). Hal ini dicatat bahwa sekitar 11.012 Ha daerah
Sumatera Utara karena produksi arang (Kurniawan, 1998). kliring Mangrove untuk
industri arang juga dilaporkan di provinsi Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur
(Kasim et al., 1996). Selain itu, produksi tahunan arang dilaporkan sekitar 7,000-
bagaimanapun, masih di bawah kuota pemerintah untuk ekspor arang, yaitu 500.000
m3 per tahun. Hilangnya pohon bakau yang terkena dampak tidak hanya industri
arang, tetapi juga pengembangan perikanan. Perkembangan payau budidaya ikan air,
ekspor, rsulted dalam pembukaan beberapa daerah mangrove. Hutan bakau dipotong
dan berbalik intor tambak (tambak). Misalnya, sekitar 5.000 ha hutan mangrove di
Jepara), beberapa 51,9 Ha mangrove telah dipotong untuk tambak pada tahun 1999.
kliring bakau ini meningkat di daerah-daerah tahun ke tahun ( Balai Taman Nasional
Kepulauan Karimunjawa, 1999). Ada juga wujud bahwa hutan mangrove dipotong
tidak hanya untuk pengembangan tambak, tetapi juga untuk keperluan lain, misalnya
produksi kayu api dan arang. Di Provinsi Riau, misalnya, hutan bakau dipotong
dalam rangka untuk membangun sawah pasang surut, perumahan, dll. Kondisi ini,
lingkungan di darat. Hal ini diperlukan untuk mengintegrasikan kegiatan yang ada di
darat dan orang-orang di daerah pesisir. Diharapkan bahwa hal tersebut akan
daerah- daerah dengan cara yang efektif dan efisien. Pada saat yang sama,
COREMAP, saat ini sedang mengembangkan proyek mencari praktik alternatif untuk
mengurangi dan akhirnya berhenti teknik penangkapan ikan yang merusak terumbu
9
Taka Bonerate dan Kepulauan Padaido (bagian dari proyek COREMAP). Proyek ini
berencana mencari teknik perikanan yang berkelanjutan, budaya laut dan mata
menetapkan beberapa hukum dan peraturan untuk pengelolaan lingkungan. Ini, antara
Undang-Undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hidup dan
Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati. Dengan aturan dan peraturan ini,
berkurang. Di banyak tempat di mana aturan dan peraturan ini tidak mengambil efek,
Konservasi Laut yang Indonesia telah membentuk 10 juta hektar kawasan konservasi
konservasi laut terutama didasarkan pada Kelautan Atlas, dan informasi dari beberapa
lembaga yang terlibat dalam kegiatan kelautan, misalnya perikanan, pariwisata, dan
Konservasi Nasional, yang diadopsi dari IUCN (1994) untuk MPA (Marine Protected
Area). Tujuan dari konservasi laut Indonesia mencakup tiga aspek Untuk menjaga
proses ekologi penting dan sistem pendukung kehidupan, Untuk melestarikan bio-
spesies dan ekosistem. Daerah-daerah cadangan laut akan diperluas hingga 30 juta
hektar pada akhir tahun 2000. Namun, sejauh program ini belum dievaluasi
lagi, dan tidak ada jaminan apakah sudah terealisasi atau tidak. Menurut Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHPA), pada tahun 1994 hanya
28% dari rencana ekspansi telah menyadari, dari total kelautan daerah yang diusulkan
Konservasi laut meliputi 14 wilayah laut untuk Strict Marine Nature Reserve, enam
area untuk Wildlife Marine Nature Reserve dan tujuh area untuk Marine Nature
Apa yang sekarang terjadi adalah bahwa anggota komunitas pesisir, terutama
merusak, seperti penangkapan ikan yang merusak, dan penambangan karang. Hal ini
mungkin disebabkan tidak adanya kegiatan alternatif lainnya, yang mungkin bisa
penangkapan ikan yang merusak dan penambangan karang, bagi masyarakat pesisir.
Dua situs telah beeii dipilih untuk percontohan lapangan, pulau-pulau yaitu Taka
Papua (Supriharyono et al. In progress). alternatif ini untuk praktik penangkapan ikan
yang merusak terumbu karang akan terdiri dari tiga kegiatan, yaitu teknologi
di daerah tersebut.
12
III. PENUTUP
3.1.Kesimpulan
penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, dan mangrove filling
dihindari . Selain itu, dalam rangka untuk mengatasi masalah, pemerintah juga
masih ada kendala utama yang mempengaruhi program ini, misalnya kurangnya
delineasi yang jelas tentang tanggung jawab masing- masing kementerian, kurangnya
dilestarikan. Manajemen pesisir dan laut, oleh karena itu, perlu diintegrasikan ke
3.2. Saran
Semoga makalah ini tidak hanya menjadi tugas kuliah semata namun dapat
bermanfaat demi pembaharuan materi kuliah ekologi muara dan pantai berikutnya,
13
agar metode ini dapat di gunakan tidak hanya sekedar menjadi pemikiran semata,
seemoga dapat menjadi refrensi teknis di lapangan mengenai step-step dalam upaya
DAFTRA PUSTAKA
Kurniawan, Joni. 1998. Laporan hasil temuan Studi Lingkungan wiiayah Pesisir
Kabu-paten Dati II Deli Serdang. Loka-karya Lapangan Partisipatip,
BIPP Gedung Johor, 26 Nopember