Anda di halaman 1dari 26

KARYA TULIS ILMIAH

EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN STATUSNYA


Disusun untuk memenuhi nilai semester genap mata pelajaran Bahasa Indonesia

OLEH:

NAMA: ALYSA FITRA YUNI


KELAS: XI MIPA 2
NO. URUT: 11

UPT SMA NEGERI 1 PANGKEP


TAHUN PELAJARAN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, Dan karunia-
Nya kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal dengan
judul “ Ekosistem terumbu karang dan statusnya “ dapat terselesaikan.
Informasi dalam tulisan singkat ini di harapkan bisa berguna bagi
semua pihak, khususnya dalam upaya pemulihan dan konservasi ekosistem
terumbu karang dalam kerangka perbaikan manajemen sumberdaya pesisir dan
laut menuju pembangunan berkelanjutan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya. Penulis menyadari penulisan karya ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan koreksi dan saran
yang sifatnya membangun sebagai bahan masukan yang bermanfaat.

Jum’at, 11 Februari 2022


Penulis

Alysa Fitra Yuni

ii
ABSTRAKSI

Karya tulis ini dilatarbelakangi karena keberadaan terumbu karang yang mulai
terancam dan sebagai penunjang para pengambil keputusan dalam melaksanakan
pembangunan daerah yang efektif dan berkesinambungan. Pengkajian melalui kegiatan
pemantauan terumbu karang dan penyebaran hasil kajian ini sangat penting dalam rangka
pengelolaan sumberdaya. Penulisan karya ini menggunakan pendekatan kualitatif..
Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa terumbu karang di dunia khususnya di
indonesia mulai terancam. Di indonesia persentase perusakan terumbu karang tiap tahunnya
menunjukan kenaikan yang signifikan, dalam kurun waktu 4 tahun (2004-2008) 34% terumbu
karang di indonesia berkondisi sangat buruk, dan ironisnya hanya 3% terumbu karang yang
dalam keadaan sangat baik. Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan terumbu karang (1)
Faktor alam (2) Pengendapan sedimen (3) Aliran air yang tercemar (4) Pemanasan suhu bumi
(5) Uji coba militer (6) Eksploitasi yang berlebihan (7) Asal melempar jangkar. Adapun
Ancaman utama terhadap terumbu karang adalah pembangunan daerah pesisir, polusi laut,
sedimentasi dan pencemaran dari darat, overfishing (penangkapan sumberdaya berlebih),
destruktif fishing (penangkapan ikan dengan cara merusak), dan pemutihan karang (coral
bleaching) akibat pemanasan global. Untuk mengurangi pencemaran terhadap terumbu
karang dapat dilakukan dengan dua hal yaitu zonasi dan rehabilitas

Kata Kunci. Terumbu Karang, Terancam punah, ekosistem.

iii
DAFTAR ISI

Kata pengantar................................................................................................................ ii
Abstraksi .......................................................................................................................... iii
Daftar isi .......................................................................................................................... iv
Bab I pendahuluan.......................................................................................................... 1
1.1. Latar belakang ..................................................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah ................................................................................................ 2
1.3. Batasan Masalah .................................................................................................. 2
1.4. Hipotesis .............................................................................................................. 3
1.5. Metode Penulisan................................................................................................. 3
1.6. Tujuan penelitian ................................................................................................. 3
1.7. Manfaat penelitian ............................................................................................... 3

Bab II Kajian Teori ........................................................................................................ 4


2.1 Terminologi........................................................................................................... 4
2.2 Biologi Hewan Karang ......................................................................................... 5
2.3 Lingkungan Fisik .................................................................................................. 7
2.4 Nilai Ekosistem Terumbu Karang ........................................................................ 10
2.5 Ancaman terhadap Terumbu Karang .................................................................... 11

Bab III Metodologi Penelitian........................................................................................ 15


3.1 Jenis Penelitian...................................................................................................... 15
3.2 Teknik Pengumpulan Data .................................................................................... 15

Bab IV Pembahasan ...................................................................................................... 16

Bab V Penutup ................................................................................................................ 18


5.1. Kesimpulan ........................................................................................................... 18
5.2. Saran ..................................................................................................................... 18

Daftar Pustaka ................................................................................................................ 21

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki sumberdaya pesisir dan lautan sangat tinggi. Sumberdaya pesisir
dan lautan memiliki arti yang sangat penting dan strategis bagi pembangunan kehidupan
masyarakat. Salah satu sumberdaya alam pesisir yang penting peranannya ditinjau dari aspek
produksi, konservasi, rekreasi dan pariwisata adalah sumberdaya hayati di peraitan pantai.
Nilai konservasi ekosistem perairan pantai adalah perlindungan dan pemeliharaan proses-
proses ekologis, sistem penyangga kehidupan habitat berbagai jenis biota sehingga berfungsi
sebagai cadangan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah, keberadaan terumbu karang,
padang lamun berfungsi melindungi pantai dari bahaya erosi/abrasi, penghasil pasir putih dan
lain-lain.
Ditinjau dari aspek produksi, keberadaan ekosistem pantai telah memberi manfaat
yang besar bagi pemenuhan kebutuhan pangan dan industri serta menopang mata pencaharian
masyarakat pesisir, khususnya masyarkat nelayan. Berbagai produk dapat dihasilkan dari
ekosistem pantai seperti beragam ikan konsumsi, produk ornamental, bahan konstruksi,
ekstraksi natural products (senyawa bioaktif, untuk industri makanan dan minuman, farmasi,
kosmetika, bioenergi, dll) dan bahan baku industri lainnya Sementara itu ditinjau dari aspek
rekreasi dan pariwisata, sumberdaya alam di perairan pantai menyediakan jasa-jasa menunjang
industri wisata bahari bagi perolehan devisa negara dan menyediakan lapangan pekerjaan dan
lapangan usaha bagi masyarakat lokal secara signifikan.
Pesatnya pembangunan di wilayah pesisir dan lautan pada sisi yang lainnya
menimbulkan ekses berupa permasalahan pendayagunaan sumberdaya alam dan lingkungan
yang tidak seimbang. Salah satu sumberdaya di wilayah pesisir laut yang mendapatkan
tekanan cukup besar adalah ekosistem terumbu karang (Corals reefs ecosystem), dengan
kecenderungan tingkat kerusakan terumbu karang semakin berat. Dievaluasi kerusakan yang
terjadi adalah akumulasi dampak negatif aktivitas manusia, baik secara langsung maupun
tidak langsung di wilayah pesisir (internal impact), dan di luar wilayah pesisir (external
impact). Disamping itu kerusakan disebabkan oleh terjadi pencemaran, terutama pencemaran
sampah dan sedimen. Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang secara
berkelanjutan untuk pembangunan dan menopang mata pencaharian masyarakat dewasa ini
dihadapkan pada permasalahan semakin seriusnya kerusakan terumbu karang. Kerusakan
terumbu karang mempunyai implikasi dampak yang luas, seperti merosotnya keanekaragaman
hayati, berkurangnya sistem perlindungan alamiah daratan pantai oleh bahaya erosi dan abrasi,
memburuknya kualitas obyek dan daya tarik wisata, dan lain sebagainya. Para ahli telah
memasukkan ekosistemterumbu karang sebagai salah satu ekosistem yang sangat terancam
kelestariannya.
Upaya-upaya pelestarian ekosistem terumbu karang merupakan sesuatu hal yang
mendesak. Pendekatannya adalah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan wilayah
pesisir dan lautan secara terpadu. Pendekatan ini sangat relevan diterapkan dalam pengelolaan
sumberdaya terumbu karang mengingat kompleksitas sistem sumberdaya dan
permasalahannya. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan terumbu karang adalah
1
ketersediaan data dan informasi. Data dan informasi mengenai kekayaan, potensi, kondisi dan
status terumbu karang harus disebarluaskan dan dipublikasikan secara seimbang untuk
memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat, dan menentukan langkah-langkah
pengendalian dan pemulihan kerusakan terumbu karang agar sumberdaya ini dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Kewenangan di wilayah laut terdiri dari: (a) eksplorasi, eskploitasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; (b) pengaturan kepentingan
administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang
dikeluarkan oleh daerah atau yang qdilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (e)
bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Kewenangan ini meliputi juga dalam hal
pengelolaan sumberdaya terumbu karang.
Salah satu implikasi dari kewenangan tersebut, Pemerintah Kabupaten/Kota juga
berkewajiban melakukan kegiatan pemantauan sebagai bagian dari pengelolaan terumbu
karang. Hal ini telah diatur dalam Kep. Men. LH No. 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku
Kerusakan Terumbu Karang yang menyebutkan bahwa Gubernur/Bupati/Walikota
berkewajiban melakukan inventarisasi terumbu karang untuk mengetahui status kondisi
terumbu karang dan menyampaikan laporannya kepada Menteri dan instansi yang
bertanggung jawab Sebago bentuk perwujudan good environmental governance.
Selain untuk memenuhi kewajiban sebagaimana diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan, kajian-kajian yang menghasilkan solusi tepat bagi perlindungan
sumberdaya terumbu karang diperlukan untuk menunjang para pengambil keputusan dalam
melaksanakan pembangunan daerah yang efektif dan berkesinambungan. Pengkajian melalui
kegiatan pemantauan terumbu karang dan penyebaran hasil kajian ini sangat penting dalam
rangka pengelolaan sumberdaya.
Alasan penulis memilih judul ini karena penulis dapat menambah pengetahuan tentang
ekosistem terumbu karang dan statusnya.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis terumbu karang apa saja yang terdapat di Pulau Giligenting Kabupaten
Sumenep?
2. Bagaimana persentase tutupan terumbu karang di Pulau Giligenting Kabupaten
Sumenep?
3. Bagaimana keanekaragaman jenis terumbu karang yang terdapat di Pulau
Giligenting Kabupaten Sumenep ?
4. Bagaimana pola sebaran terumbu karang yang terdapat di Pulau Giligenting
Kabupaten Sumenep?

1.3 Batasan Masalah


Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi keanekaragaman terumbu karang dilakukan sampai pada Tingkat
spesies.
2. Pengukuran tutupan dilakukan berdasarkan lifeform terumbu karang yang Masih
hidup.
3. fisika kimia yang diukur adalah Suhu, Kecerahan, Salinitas, dan Posisi
2
1.4 Hipotesis
1. Terdapat perbedaan keanekaragaman ikan karang di setiap stasiun yang berbeda.
2. Adanya hubungan faktor fisik-kimia perairan yang mempengaruhi keanekaragaman
ikan karang di Kawasan Perairan Bagian Timur Pulau Rubiah.

1.5 Metode Penulisan


Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana penulisan kualitatif merupakan
suatu pendekatan dalam melakukan penulisan yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena
dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya.

1.6 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan karya tulis ini untuk mengetahui tentang ekosistem terumbu karang
dan statusnya.

1.7 Manfaat Penulisan


Penulisan karya tulis ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan tentang gambaran
ekosistem terumbu karang dan statusnya.

3
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Terminologi
Istilah terumbu (reef) sudah begitu melekat dengan karang (coral), padahal tidak
seluruhnya jenis karang hidup pada terumbu dan tidak semua terumbu dihidupi oleh karang.
Terumbu merupakan istilah yang mempunyai beberapa pengertian. Kapten kapal mengertikan
terumbu sebagai bagian laut dangkal yang dapat mengganggu navigasi. Nelayan pada umumnya
menggunakan istilah terumbu sebagai batuan “submarine” dimana ikan-ikan biasanya
bergerombol dan dapat menyangkutkan jaring. Ada juga yang menyebutnya sebagai struktur
batuan pada perairan dangkal sampai supratidal yang dapat menyebabkan pecahnya gelombang.
Sementara itu, terumbu dalam pengertian biologi adalah suatu struktur kerangka kerja organik
yang dibentuk oleh organisme meliputi berbagai avertebrata dan alga, seperti yang terdapat
pada karang tertentu, alga koralin, tiram, dan beberapa cacing. Dalam perkembangan
selanjutnya, terumbu dibagi atas terumbu karang (coral reef) dan terumbu bukan karang (non-
coral reef). Terumbu bukan karang dapat berupa terumbu tiram (oyster reef), atau terumbu
cacing (worm reef). Tipe terumbu lainnya juga kadang-kadang dikaitkan dengan dengan sistem
akar mangrove dan kaitannya dengan akumulasi sedimennya (Davis, 1990).
Istilah karang (coral) mempunyai beberapa arti, tetapi biasanya merupakan nama umum
yang diberikan kepada ordo Scleractinia, yang semua anggotanya mempunyai skeleton batu
kapur keras. Ordo Scleractinia dibagi atas kelompok terumbu bangun (reef building) dan
terumbu bukan bangun (non-reef building). Kelompok pertama dikenal dengan sebutan
hermatypic coral dan membutuhkan sinar matahari untuk hidupnya. Sedangkan kelompok
kedua dikenal dengan ahermatypic coral dan secara normal hidupnya tidak tergantung pada
sinar matahari (Veron, 1986).
Sementara itu menurut Barnes dan Hughes (1990), karang berkaitan dengan anemon laut
dan dapat divisualisasikan sebagai koloni anemon yang tersusun atas pondasi batu kapur
sebagai struktur penopang dan proteksi. Ada organisme pembangun skeleton lainnya yang mirip
dengan cara kerja Scleractinia yang disebut sebagai non scleractinia coral. Menurut Veron
(1986), struktur masif terumbu karang tersebut terbentuk dari akumulasi dan sedimentasi
skeleton karang yang terjadi ratusan tahun. Terumbu karang merupakan hasil hubungan kerja
yang kompleks dan halus antara polip karang dan alga sel tunggal yang hidup secara simbiosis
di dalam sel-sel polip karang. Karang lainnya yang tidak mempunyai skeleton disebut sebagai
karang lunak (soft coral).
Menurut Davis (1990), berdasarkan bentuk hubungannya dengan perbatasan tumbuhnya
terumbu karang dengan daratan, Darwin mengklasifikasikan tipe terumbu karang yang sampai
sekarang masih digunakan, yaitu (Gambar 2.1 dan 2.2):
a. Karang tepi (fringing reef), yaitu terumbu karang yang berkembang sepanjang dan dekat
pantai (shore) dan jangkauan tumbuhnya ke arah laut dengan jarakbeberapa ratus meter.
Tidak terdapat laguna atau lingkungan bukan terumbu antara terumbu karang dan
daratan. Tipe ini melindungi garis pantai dan lingkungan pantai dari abrasi karena dapat
menahan serangan gelombang yang menghantam pantai. Terumbu karang yang terdapat
4
di Indonesia umumnya termasuk ke dalam tipe ini.
b. Terumbu penghalang (barrier reef), yaitu terumbu karang yang berkembang sejajar garis
pantai tetapi terletak dengan membentuk jarak dengan pantai dan di antaranya terdapat
laguna. Terumbu karang tipe ini yang paling terkenal di dunia adalah Great Brrier Reef
yang terdapat di pantai Queensland Australia, dengan panjang lebih dari 1200 mil dan
lebar bervariasi dari 10 sampai 200 mil dan meliputi area seluas 80.000 mil persegi.
Barrier reef terbesar kedua di dunia terdapat New Caledonia dengan panjang total 400
mil dengan lebar laguna 1 sampai 8 mil. Barrier reef terbesar ketiga aadalah Great Sea
Reef yang terdapat di sebelah utara dua pulau utama Piji, Viti Levu dan Vanua Levu,
dengan panjang 165 mil.
c. Terumbu cincin (atoll), yaitu terumbu karang yang berbentuk cincin (lingkaran) yang
mengelilingi batas dari pulau-pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat
perbatasan dengan daratan. Atoll selanjutnya dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu:
(1) yang muncul dari laut dalam yang disebut deep-sea atoll. Atoll tipe ini strukturnya
terisolasi dan umumnya berukuran kecil dengan cincin yang kecil pula, tidak memiliki
inlet, diameternya kurang dari 1 mil tetapi ada beberapa yang diameternya melebihi 20
mil dan memiliki beberapa inlet. Atoll Kwajalein di Kepulauan Marshall (Pasifik) dan
Atoll Suvadiva di Maldive (Samudera Hindia) merupakan atoll-atoll yang terbesar saat
ini, masing-masing dengan luas lebih dari 700 mil persegi; (2) atoll yang dijumpai pada
paparan benoa yang disebut shelf atoll. Jenis atoll ini banyak dijumpai di beberapa
belahan dunia, termasuk di Indonesia (Taka Bone Rate Sulawesi Selatan), Laut Karibia
dan Teluk Meksiko, dan Australia (Great Barrrier Reef). Beberapa nama khusus
diberikan terhadap shelf atoll untuk membedakannya dengan deep-sea atoll, seperti
“bank reef” unuk atoll yang muncul pada paparan benoa, “bank barrier” untuk atoll yang
terdapat pulau, “bank atoll” untuk atoll yang tidak terdapat pulau, serta “lagoon atoll”
unuk atoll kecil dengan laguna yang luas.

2. 2 Biologi Hewan Karang


2. 2. 1 Struktur Hewan Karang
Ditlev (1980) mengemukakan bahwa pada karang hermatypic, organisme hewan karang
hidup bersimbiosis dengan alga zooxanthellae yaitu alga coklat mikroskopis, sedangkan pada
karang ahermatypic tidak memiliki simbion zooxanthellae. Zooxanthellae yang bersimbiosis
dengan hewan karang adalah dinoflagellata unicellular dari jenis Gymnodinium microadriatum.
Zooxanthellae ini hidup pada lapisan gastrodermis hewan karang.
Sebagaimana halnya tumbuhan di daratan, zooxanthellae mampu melakukan fotosintesis
untuk menangkap sinar matahari dan menggunakannya untuk membuat makanan organik untuk
dirinya dari karbon dioksida, nutrien anorganik dan air. Tanpa zooxanthellae, karang menjadi
pucat. Meskipun semua karang mengandung kalsium karbonat, tetapi tidak semuanya cukup
untuk membentuk terumbu. Air laut yang hangat dan intensitas cahaya matahari yang tinggi
sepanjang tahun sangat penting untuk mekanisme simbiosis alga- coelenterata untuk
menghasilkan kuantitas kapur yang melimpah. Karang hermatypic terbatas pada kedalaman
kira-kira 70 meter dari permukaan air pada laut yang jernih dengan suhu di atas 20o C
sepanjang tahun. Di daerah yang lebih dingin dengan kedalaman kurang dari 70 m, karang
5
masih dapat tumbuh tetapi hubungan simbiosisnya dengan zooxanthellae seringkali persisten
dan kapasitas karag untuk mendepositkan kapur (limestone) akan menurun sehingga bentuknya
relatif kecil.
Organisme pembangun karang yang hanya dapat hidup pada perairan dangkal dengan
sinar matahari yang cukup, sehingga memberi kesan bahwa cara hidup hewan karang seperti
tumbuh-tumbuhan. Walaupun demikian keadaannya, karang (coral) merupakan hewan yang
tidak bisa melangsungkan proses fotosintesis. Adapun ketergantungan kehidupannya pada sinar
matahari yang cukup karena di dalam jaringan tubuhnya terdapat tumbuhan air bersel satu
(unicellular) yaitu zooxanthellae.
Dalam hubungan simbiosis mutualisme antara hewan karang dengan zooxanthellae,
hewan karang memperoleh sejumlah keuntungan yaitu oksigen untuk respirasi yang dihasilkan
dari proses fotosintesis zooxanthellae, zooxanthellae mengendapkan kapur sebagai “rumah”
3 3 2 3 2 3
hewan karang dan zooxanthellae merupakan sumber makanan utama bagi hewan karang.
Sedangkan zooxanthellae memperoleh keuntungan yaitu tempat hidup, CO2 dan nutrien hasil
perombakan ekskresi hewan karang menunjang proses fotosintesis
Menurut Barnes dan Hughes (1990), cara zooxanthellae mendepositkan kalsium
karbonat tidak sepenuhnya dimengerti. Persamaan berikut hanya
merupakan hipotesis, yaitu: Ca2+ + 2HCO - Ca(HCO ) CaCO +H CO Hipotesis ini tidak
dapat menjelaskan bagaimana karang Acroporidae tipe polip spiral tumbuh lebih cepat daripada
tipe lateral sedangkan tipe spiral mengandung zooxanthellae lebih sedikit. Menurut Clark
(1995), sebanyak 160-800 ton kalsium karbonat per are per tahun didepositkan oleh
zooxanthellae pada terumbu karang.
2.2. 2 Makanan Hewan Karang
Karang hermatypic mempunyai dua sumber makanan utama yaitu senyawa organik yang
dihasilkan dan diekskresikan oleh zooxanthellae di dalam jaringannya dan dari mangsanya.
Zooxanthellae mampu mensuplai 98 % total kebutuhan makanan bagi hewan karang. Sumber
makanan lainnya berupa debris organik atau plankton. Karang kelompok lainnya seperti
Euphyllia, Catalaphyllia dan Goniopora, tidak menyukai perairan keruh dan mempunyai polip
yang besar yang hanya mekar pada malam hari. Mereka tidak mempunyai kumpulan sel-sel
penyengat pada tentakel. Sumber makanannya masih belum diketahui, tetapi diperkirakan
terutama dari debris organik. Karang ahermatypic dimana tidak mempunyai alga simbiosis
sebagai pensuplai makanan dalam jaringannya, seluruhnya bersifat kanibal. Seperti anemon,
mereka makan hampir segala sesuatu yang dapat mereka lumpuhkan dengan sel penyengatnya,
termasuk cacing dan ikan, dan bulu babi (Veron, 1986).
2.2.3 Reproduksi
Perkembangbiakan hewan karang dapat terjadi dengan dua cara yaitu secara vegetatif dan
generatif. Secara vegetatif merupakan cara memperbanyak diri dengan membelah diri berulang
kali. Perkembangbiakan secara vegetatif dimana karang membentuk tunas intra-tentakuler atau
ekstra-tentakuler. Dengan membelah diri berulang kali sehingga koloni karang terdiri atas
ribuan polip.
Cara kedua yaitu secara generatif, merupakan pembuahan antar sel kelamin jantan dan sel
kelamin betina yang terdapat dalam satu polip dan biasanya dalam jaringan yang sama.

6
Pembuahan ini menghasilkan larva planula dan untuk beberapa saat disimpan di dalam rongga
mulutnya. Sedangkan menurut Ditlev (1980), perkembangan menjadi larva planula terjadi
melalui reproduksi seksual secara monocious dan diocious. Setelah larva memasuki fase free-
swimming (berenang bebas), maka larva planula menempel pada substrat keras dan membentuk
koloni karang atau soliter baru. Larva planula yang telah menempel pada substrat keras
pertama-tama membentuk suatu basal plate dari kapur.
2.2. 4 Pertumbuhan Karang
Tercapainya evolusi dari ordo Scleractinia yaitu perkembangan dalam memanfaatkan
alga simbiosis untuk membentuk terumbu, merupakan kapasitasnya untuk membentuk koloni
yang kompleks melalui perbanyakan polip secara aseksual. Dengan terbentuknya koloni yang
tersusun atas ratusan atau ribuan individu, karang terbebas dari semua pembatasan polip
tunggal. Mereka dapat tumbuh sampai ukuran yang sangat besar, mencapai usia yang besar,
menghasilkan larva yang banyak, tumbuh cukup cepat mengalahkan kompetitor dan
membangun saringan tangkapan plankton pada skala yang besar.
Karang merupakan koloni hewan yang tumbuh relatif lambat, dengan laju pertumbuhan
berkisar dari 0,1 sampai 10 cm tingginya per tahun (Clark, 1995). Sedangkan menurut Warner
(1984), laju pertumbuhan rata-rata karang adalah 1 mm per tahun. Sementara itu, kalsifikasi
terumbu pada perairan dangkal (0-10 m) berkisar 4-15 kg CaCO3/m2/tahun.
2.2. 5 Musuh Karang
Dari fase larva sampai pertumbuhan penuh menjadi koloni, karang tidak terlepas dari
musuh yang memakannya. Musuh karang yang paling terkenal adalah bulu seribu atau disebut
juga mahkota berduri atau crown-of-thorns starfish (Acanthaster planci) (Gambar 2.6).
Binatang ini mampu membinasakan karang dalam kawasan yang luas. Hewan ini hidup
merayap pada karang dan menyerap jaringan pada karang. Pergerakannya akan meninggalkan
kerusakan karang di belakangnya yaitu membuat karang menjadi berwarna putih dan
menggosongkan skeleton karang. Untuk memulihkan pertumbuhan karang pada daerah yang
terserang mahkota berduri dibutuhkan waktu 3-10 tahun.
2.3 Lingkungan Fisik
2.3.1 Distribusi terumbu karang
Terumbu karang tersebar secara ekstensif di wilayah perairan dangkal di wilayah tropis.
Penyebarannya hampir secara eksklusif diantara 30o LU dan 30o LS, dan terkonsentrasi pada
empat bidang besar yaitu Laut Merah dan Samudera Hindia bagian barat, Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik bagian barat (Indo- Pasifik), Samudera Pasifik Selatan, dan Laut Karibia dan
Samudera Atlantik bagian barat. Dari empat wilayah sebaran tersebut, wilayah karang Indo-
Pasifik mempunyai keanekaragaman spesies terbesar dan mengandung sistem terumbu yang
paling ekstensif, seperti Great Barrier Reef. Membujur sepanjang 2.400 km paralel pantai timur
Australia, Great Barrier Reef secara aktual mengandung sekitar 2.400 individu terumbu dan
kompleksitas terumbu menutupi sekitar 9% dari 230.000 km2 paparan benua Australia. Di
dalam Great Barrier Reef terdapat 250 pulau, 700 jenis karang, 1500 jenis ikan dan 4000 jenis
moluska.
Karena ketergantungannya terhadap sinar matahari dan perairan yang hangat di daerah
tropis, terumbu karang hanya berkembang baik pada perairan dangkal laut ekuatorial di daerah

7
berlintang rendah. Perkembangan terumbu karang lebih baik di daerah barat samudera
dibandingkan sebelah timur karena air hangat di daerah tersebut lebih luas penyebaran
latitudinalnya.
Terumbu karang teradaptasi dan sebaliknya dapat memodifikasi lingkungan fisiknya,
dan oleh karenanya faktor-faktor lingkungan fisik terumbu mempunyai perbedaan yang luas
menurut daerah (Jones dan Endean, 1973). Gradien suhu dan salinitas merupakan faktor
pembatas utama penyebaran dan pertumbuhan terumbu karang. Menurut Nybakken (1992),
penyebaran terumbu karang meliputi wilayah yang luas (jutaan mil persegi) di daerah tropis.
Penyebaran terumbu karang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20o C. Menurut Salm dan
Clark (1989), terumbu karang merupakan ekosistem laut yang dangkal daerah tropis dimana
perkembangannya yang terbaik pada suhu antara 25o C dan 29o C. Oleh karena perkembangan
karang yang ekstensif jarang dijumpai pada suhu di bawah 20o C. Terumbu karang cenderung
dibatasi penyebarannya oleh suatu sabuk sirkum global antara 30o LU dan 30o LS. Meskipun
demikian, karang masih dijumpai pada 35o LU seperti di Jepang dan pada 32o LS di laut
Tasmania.
Kebanyakan jenis karang Indo Pasifik ditemukan mulai dari pantai timur pulau-pulau
Marshall dan Samoa. Kawasan marginal dimana hewan karang secara perlahan-lahan membaik
adalah pantai laut Afrika, pantai timur dan barat Australia dan setengah Samudera Pasifik
bagian timur. Daerah yang paling kaya akan jenis karang adalah kepulauan Indonesia. Pusat
kedua dengan beberapa jenis khas adalah bagian barat Samudera Hindia (Ditlev, 1980).
2.3.2 Cahaya dan kedalaman
Semua karang hermatypic membutuhkan cahaya yang cukup untuk fotosintesis alga
zooxanthellae yang ada dalam jaringannya. Cahaya ini berubah- ubah secara cepat, baik dalam
intensitas maupun komposisinya menurut kedalaman. Kecerahan perairan terumbu dapat
melebihi 50 meter pada daerah terumbu samudera terbuka dan bisa kurang dari satu meter
misalnya setelah terjadi badai di sekitar terumbu tepi. Kisaran kecerahan air ini sangat
menentukan kedalaman pertumbuhan karang, dan spesies yang berbeda mempunyai toleransi
yang berbeda terhadap tingkat cahaya baik maksimum ataupun minimum. Hal ini juga sangat
menentukan variasi komunitas terumbu.
Nontji (1987) mengemukakan bahwa cahaya diperlukan untuk fotosintesis alga simbiosis yaitu
zooxanthellae yang produksinya kemudian disumbangkan kepada hewan yang menjadi
inangnya. Kedalaman air maksimum untuk hewan karang pembentuk terumbu adalah 40 meter.
Lebih dari kedalaman itu cahaya sudah terlalu lemah. Hutabarat dan Evans (1985)
mengemukakan bahwa kedalaman untuk kehidupan karang biasanya kurang dari 25 meter.
Ditlev (1980) menyatakan bahwa karang menurun pertumbuhannya dengan bertambahnya
kedalaman perairan. Jika air keruh, karang hanya dapat tumbuh pada kedalaman 2 meter.
Sedangkan pada perairan yang jernih di sekitar pulau-pulau samudera, karang dapat tumbuh
sampai pada kedalaman lebih dari 80 meter. Menurut Nybakken (1992), terumbu karang tidak
dapat berkembang pada perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Kebanyakan terumbu karang
tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas
hingga pinggiran benoa-benoa atau pulau-pulau. Selanjutnya dikemukakan bahwa tanpa cahaya
yang cukup, laju fotosintesis zooxanthellae berkurang dan bersamaan dengan itu kemampuan

8
karang untuk mendopositkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula.
2.3.3 Arus dan aksi gelombang
Faktor penentu kedua penyebaran dan pertumbuhan karang adalah aksi gelombang. Aksi
gelombang bisa terjadi secara ekstrim terhadap permukaan depan terumbu dan belakang dataran
terumbu. Pada keadaan hari tenang, keadaan depan terumbu suasananya juga tenang.
Sebaliknya, pada saat badai bagian ini sangat berkecamuk dan menjadi lokasi hantaman aksi
gelombang. Hanya beberapa spesies karang yang dapat bertahan hidup pada kondisi ini
(Veron, 1986).
Arus diperlukan karang untuk mendatangkan makanan berupa plankton, membersihkan
diri dari endapan-endapan, dan untuk mensuplai oksigen dari laut lepas. Oleh karena itu,
pertumbuhan karang di tempat yang selalu teraduk arus dan ombak, lebih baik dari pada di
perairan yang tenang dan terlindung. Jika air tenang banyak mengandung lumpur atau pasir
maka hewan karang akan mengalami kesulitan untuk membersihkan diri, hanya ada beberapa
jenis saja yang mampu membersihkan diri sendiri dari endapan-endapan lumpur atau pasir yang
menutupinya (Nontji, 1987).
Pada umumnya terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah yang mengalami
gelombang besar. Koloni karang dengan kerangka yang masif dari kalsium karbonat tidak akan
rusak oleh gelombang besar (Nybakken, 1992).
2.3.4 Sedimen dan substrat dasar
Di dalam dan di sekitar terumbu karang terdapat bermacam-macam tipe sedimen, seperti
koarsa pecahan karang, berbagai tipe pasir dan juga lumpur halus. Tipe sedimen tersebut pada
suatu tempat tergantung pada tingkat eksposur terhadap arus dan aksi gelombang dan juga
tergantung pada asal dari sedimen tersebut. Di belakang terumbu yang mengarah ke garis pantai
biasanya terdapat sedimen calcareous yang dihasilkan oleh alga koralin, foraminifera, kulit
kerang dan karang. Sedimen-sedimen ini dengan mudah terbawa arus tetapi mempunyai
pengaruh yang relatif kecil terhadap kejernihan air. Dekat dengan garis pantai, sedimen berasal
dari daratan terutama melalui limpasan sungai. Sedimen ini biasanya mempunyai kandungan
bahan organik tinggi, dan oleh aksi gelombang akan terombang ambing dan tersuspensi dalam
air untuk jangka waktu yang relatif lama, yang membuat perairan keruh dan menurunkan
penetrasi cahaya. Jika mengalami pengendapan dari suspensinya yang bisa menyebar dalam
jarak yang jauh, sedimen ini dapat membunuh organisme karang.
Substrat keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk pelekatan larva planula karang
yang akan membentuk koloni baru. Cangkang moluska, potongan- potongan kayu bahkan juga
besi yang terbenam dapat menjadi substrat penempelan larva planula (Nontji, 1987).
2.3.5 Salinitas
Salinitas yang tinggi jarang menjadi faktor yang mempengaruhi penyebaran dan
pertumbuhan komunitas karang. Sebaliknya salinitas rendah pada umumnya sangat
mempengaruhi penyebaran maupun zonasi terumbu karang. Terumbu karang tidak dapat
berkembang pada kawasan dimana secara periodik mendapatkan masukan air sungai, dan ini
merupakan faktor utama yang mempengaruhi distribusi karang sepanjang garis pantai. Pengaruh
utama salinitas terhadap zonasi karang adalah disebabkan oleh curah hujan. Karang dengan
formasi reef-flat pada umumnya toleran terhadap salinitas rendah dalam periode singkat, akan

9
tetapi jika curah hujan sangat tinggi disertai dengan surut yang sangat rendah, komunitas reef-
flat bisa mengalami kerusakan (Veron, 1986).
2.3.6 Suhu
Faktor langsung lainnya yang juga sangat mempengaruhi terumbu karang yaitu suhu.
Suhu membatasi pertumbuhan karang dan perkembangan terumbu secara menyeluruh.
Bathimetri suatu kawasan juga berperan dalam mempengaruhi bentuk suatu terumbu, tingkatan
dan kedalaman pada kemiringan sisi luarnya. Faktor-faktor tersebut, sebaliknya juga sangat
mempengaruhi ketersediaan cahaya, turbulensi, arus dan sebagainya (Veron, 1986).
Nontji (1987) mengemukakan bahwa suhu optimal yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
karang adalah sekitar 25-30o C. Suhu mempunyai peran penting dalam membatasi sebaran
terumbu karang. Oleh karena itu, terumbu karang tidak ditemukan di daerah beriklim sedang
(temperate) apalagi di daerah dingin. Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa suhu yang
baik untuk pertumbuhan karang 25-29oC. Barnes dan Hughes (1990) mengemukakan bahwa
karang hermatypic dapat berkembang di daerah dengan suhu rata-rata diatas 20oC sepanjang
tahun. Hal serupa juga dikemukakan oleh Ditlev (1980). Sementara itu, menurut Nybakken
(1992), karang hermatypic dapat bertahan hidup beberapa waktu pada suhu sedikit di bawah 20o
C, akan tetapi terumbu karang tidak ada yang berkembang pada suhu minimum tahunan rata-
rata 18o C. Perkembangan paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunan antara
23-25o C. Dengan suhu toleransi kira-kira antara 36-40oC.

2.4. Nilai EkosistemTerumbu Karang


Manfaat yang terkandung dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam.
Menurut Sawyer (1993) dan Cesar (2000), jenis manfaat yang terkandung dalam ekosistem
terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu manfaat langsung dan tidak langsung.
Manfaat ekosistem terumbu karang yang langsung adalah habitat bagi sumberdaya ikan, batu
karang, pariwisata, wahana penelitian dan pemanfaatan biota lainnya. Sedangkan termasuk
dalam pemanfaatan tidak langsung adalah seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi
pantai, keanekaragaman hayati & cadangan plasma nutfah dan lain sebagainya.
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem dengan potensi sumberdaya alam yang
dikelola manusia sejak lama sehingga telah menciptakan suatu tradisi/budaya di masyarakat.
Secara historis, ekosistem terumbu karang merupakan “dapur” para nelayan di wilayah pesisir
dan laut yang menjadikannya gantungan mata pencaharian. Kontribusi ekosistem terumbu
karang terhadap perikanan ada tiga tipe yaitu : (i) penangkapan ikan langsung pada daerah
terumbu karang; (ii) penangkapan ikan di laut dangkal sekitar terumbu karang yang menopang
jaringan makanan, siklus hidup dan produktivitas; dan (iii) penangkapan ikan di lepas pantai
dimana produktivitas terumbu karang yang tinggi memberi kontribusi untuk menopang
melimpahnya ikan-ikan.
Menurut Clark (1995), potensi lestari seluruh ikan-ikan konsumsi, krustase dan moluska di
dalam ekosistem terumbu karang rata-rata 15 metrik ton per kilometer persegi per tahun, hanya
pada perairan dangkal kurang dari 30 m.
Letaknya yang mudah diakses dan tingginya nilai ekonomi sumberdaya perikanan yang
dikandungnya, telah menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai daerah perikanan dengan
tingkat pemanfaatan yang intensif. Kecenderungannya adalah terjadinya overfishing terhadap
10
sumberdaya perikanan terumbu karang.
Menurut Pasaribu (1996) dalam Puslitbang Perikanan (1996), hampir di seluruh Indonesia
telah terjadi overfishing terhadap sumberdaya perikanan terumbu karang khususnya untuk
komoditi ikan karang. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan terumbu karang di wilayah Bali
dan NTT pada tahun 1996 telah mencapai 133% dari potensi lestarinya yang berjumlah 30.954
ton/th. Begitu juga halnya dengan sumberdaya lobster sudah menunjukkan gejala overfishing.
Sementara itu, pemanfaatan sumberdaya terumbu karang dalam menunjang industri farmasi
mulai berkembang, khususnya industri kosmetik dan obat-obatan antibiosis.
Garces (1992) mengemukakan bahwa terumbu karang sebagai salah satu ekosistem pantai
mempunyai nilai guna yang sangat signifikan baik ditinjau dari aspek ekologi maupun ekonomi.
Terumbu karang menyumbang hasil perikanan laut dunia sekitar 10-15% dari total tangkapan.
Terumbu karang tepi juga memainkan peranan penting dalam memelihara stabilitas garis
pantai. Disamping itu, penampakan estetika, kekayaan biologi, air yang jernih dan aksesibilitas
yang relatif tinggi membuat terumbu karang menjadi daerah yang terkenal sebagai kawasan
pariwisata.
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu kawasan fungsi lindung di daerah pantai
disamping sempadan pantai, ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun dan kawasan
konservasi spesies yang dilindungi lainnya yang mengacu kepada UU No. 5 Tahun 1990.
Sebagai kawasan fungsi lindung, ekosistem terumbu karang mengemban tugas penting sebagai
perlindungan terhadap proses-proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan, sebagai
pengawetan keanekaragaman plasma nutfah dan berfungsi dalam memajukan usaha-usaha
penelitian, pendidikan dan pariwisata.
Ekosistem terumbu karang bersama-sama dengan ekosistem mangrove dan ekosistem
padang lamun merupakan komponen lingkungan pantai yang mempunyai keterkaitan fungsi-
fungsi ekologis dan fungsi fisik sebagai habitat. Migrasi fauna pada berbagai fase hidupnya
berlangsung dari satu ekosistem ke ekosistem lainnya untuk pencarian makanan dan tempat
perlindungan. Ekosistem terumbu karang juga berperan dalam proses-proses transpor nutrien,
baik organik dan anorganik di antara dua ekosistem pantai tersebut (Clark, 1992). Fungsi fisik
ekosistem terumbu karang lainnya, menurut Baker dan Kaeoniam (1986) adalah sebagai filter
air untuk menjaga kualitas air pantai, sebagai “shock absorber”, perlindungan alamiah terhadap
daratan pantai dan pulau-pulau, meminimumkan erosi dan gangguan-gangguan di belakang
terumbu, serta sebagai penghasil pasir putih bagi pantai dan pulau-pulau.

2.5 Ancaman terhadap Terumbu Karang


2.5.1 Ancaman oleh Faktor Alam
Ada dua sumber ancaman terhadap terumbu karang di dunia yaitu ancaman oleh faktor
alam (natural threats) dan aktivitas manusia (anthropogenic threats). Faktor-faktor alam yang
menjadi ancaman terhadap terumbu karang antara lain badai gelombang, pemanasan global dan
predator karang dan erosi tanah. Sedangkan ancaman oleh aktivitas manusia berupa ancaman
langsung dan tidak langsung serta sumbernya dapat berasal dari aktivitas di daratan dan
aktivitas di pesisir dan lautan.
Menurut Jameson et al. (1995) dalam Westmacott, Teliki, Wells dan West (2000),
perkiraan terakhir menunjukkan bahwa 10 % dari terumbu karang dunia telah mengalami
11
degradasi yang tak terpulihkan dan 30 % lainnya dipastikan akan mengalami penurunan berarti
dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. Analisis ancaman-ancaman yang potensial bagi
terumbu karang dari kegiatan manusia (pembangunan daerah pesisir, eksploitasi berlebih,
praktek perikanan yang merusak, pencemaran darat dan erosi dan pencemaran laut) di tahun
1998 memperkirakan bahwa 27 % dari terumbu karang di tingkat beresiko tinggi dan 31%
lainnya berada di tingkat resiko sedang (Bryant et al., 1998). Ancaman-ancaman ini sebagian
besar merupakan hasil dari kenaikan penggunaan sumberdaya pesisir yang berkembang pesat,
ditunjang oleh kurangnya pengelolaan yang tepat.
Badai yang mengancam terumbu karang di Bali biasanya berlangsung pada musim barat
dimana angin kencang membangkinkan gelombang yang besar dan di daerah terumbu karang
pecah menjadi ombak dengan hantaman yang keras. Hantaman gelombang dan ombak yang
besar selama badai akan menimbulkan kerusakan mekanik pada terumbu berupa pecahnya
karang tipe rapuh seperti karang bercabang dan karang tabulate (karang meja).
Pemanasan global dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) yang mendorong
peningkatan suhu air laut (lebih besar dari 33 oC) dapat membunuh alga simbion karang
(zooxanthellae) yang mengakibatkan karang memutih (bleaching) dan akhirnya karang
mengalami kematian. Perisitiwa El Nino yang terjadi pada tahun 1997/1998 juga berdampak
terdapat beberapa sebaran terumbu karang di Bali. Terumbu karang yang umumnya terkena
pengaruh peningkatan suhu dan mengalami bleaching adalah jenis karang Acropora (baik
Acropora branching maupun Acropora tabulate) serta jenis-jenis karang lunak (soft coral).
Terumbu karang di Bali yang terkena pengaruh El Nino yang terjadi tahun 1997/1998 antara
lain terumbu karang yang terdapat di Bali utara dengan perairan yang relatif tenang dan formasi
terumbu dangkal seperti di Pulau Menjangan, Pemuteran, Celukan Bawang, dan Teluk
Jumeluk. Sedangkan terumbu karang di Bali selatan dengan pola oseanografi yang relatif
dinamis seperti di Nusa Penida dan Nusa Dua tidak terkena pengaruh tersebut.
Crown-of Thorns atau sering disebut sebagai mahkota berduri (Acanthaster planci)
adalah jenis bintang laut (ekinodermata) yang menjadi predator utama karang di alam. Secara
normal, binatang ini merupakan salah satu binatang penghuni terumbu karang. Habitat yang
disenangi oleh bintang laut ini adalah jenis- jenis karang bercabang. Sepanjang pergerakan
binatang ini akan meninggalkan kematian karang di belakangnya karena dia menyerap atau
memakan polip karang selama pergerakannya. Populasinya di alam diatur oleh kesimbangan
ekologis dalam sistem jaringan makanan. Mahkota berduri sendiri mempunyai sejumlah
predator baik terhadap telur dan larvanya juga terhadap juvenil dan fase dewasanya. Kerang
terompet merupakan salah satu predator mahkota berduri. Aklan tetapi jenis karang ini sudah
sangat sedikit dijumpai di alam karena banyak diburu dan diperdagangkan sebagai souvenir.
Jika populasinya mengalami peledakan, binatang ini dapat memusnahkan terumbu karang
dalam hamparan yang luas dalam waktu singkat. Peledakan mahkota berduri di alam masih
merupakan fenomena dengan beragam hipotesis. Peristiwa peledakan mahkota berduri pernah
terjadi di Bali yaitu di Pulau Menjangan pada tahun 1997. Peledakan mahkota berduri di daerah
ini telah mengakibatkan kerusakan terumbu karang yang cukup parah. Erosi tanah akibat
minimnya vegetasi penutup pada daerah lahan kritis memberi kontribusi yang cukup signifikan
terhadap kerusakan karang. Erosi tanah yang masuk ke perairan pantai baik melalui aliran

12
sungai maupun limpasan permukaan menimbulkan sedimentasi di sekitar daerah terumbu
karang dan dapat menghambat proses fotosintesis dan menutupi polip karang secara langsung.
Terumbu karang di Bali yang rawan terhadap sedimentasi adalah sebaran terumbu karang di
pantai utara khususnya di Kecamatan Gerokgak dan Tejakula mengingat di wilayah ini terdapat
lahan kritis dan sangat berdekatan dengan daerah pesisir.
2.5.2 Ancaman oleh Aktivitas Manusia
Aktivitas manusia yang mengancam terumbu karang dapat berasal dari dua sumber yaitu
aktivitas manusia di daratan (land-base activities) dan aktivitas di lautan (marine-base
activities).
a. Aktivitas di Daratan
Buruknya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) serta sistem pengelolaan lahan pertanian
dengan teknik konservasi lahan yang sangat minim merupakan salah satu faktor yang
mengakibatkan tingginya tingkat erosi tanah dan ikut menyumbang peningkatan sedimentasi di
wilayah perairan pantai. Kegiatan pembangunan di sepanjang wilayah pesisir seperti reklamasi
lahan dan penambangan pasir merupakan salah bentuk ancaman terhadap terumbu karang.
Reklamasi lahan dengan sistem pengerukan dan penimbunan dapat meningkatkan kekeruhan
yang levelnya jauh di atas ambang atas yang dapat ditolerir oleh terumbu karang.
Sampah dan air limbah yang berasal dari kegiatan manusia di daratan merupakan salah satu
ancaman terhadap terumbu karang khususnya terumbu karang yang penyebarannya relatif
berdekatan dengan daerah pemukiman padat dan industri. Buruknya sistem pengelolaan sampah
dan air limbah di Bali dapat menjadi ancaman yang sangat serius terhadap terumbu karang Bali.
Sampah plastik yang masuk ke laut dapat mematikan karang karena menutupi karang secara
langsung.
b. Aktivitas di Lautan
Aktivitas manusia di lautan yang mengancam kelestarian terumbu karang terbagi atas dua
komponen utama yaitu kegiatan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang dengan
cara-cara yang tidak benar dan kegiatan lain di luar pemanfaatan sumberdaya terumbu karang.
1) Destructive Fishing dan Collecting
Sumberdaya ekosistem terumbu karang merupakan salah satu sumberdaya alam yang
dikelola manusia dan bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhannya. Kegiatan pemanfaatan
sumberdaya ekosistem terumbu karang di bidang perikanan di Bali umumnya dilakukan oleh
nelayan-nelayan tradisional dan seringkali bersifat subsisten. Yang menjadi masalah adalah
pemanfaatan sumberdaya tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerusakan pada sistem sumberdaya alamnya, seperti penangkapan ikan tidak
ramah lingkungan (PITRaL). Pemanfaatan sumberdaya terumbu karang yang sangat
mengancam kelestarian sumberdaya hayati ekosistemnya.
Penangkapan ikan dengan bahan beracun (potasium sianida), penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak dan spearfishing. Tingkat ancaman terumbu karang tergantung
pada besarnya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya tersebut dan intensitas
pemanfaatannya.
Penangkapan ikan dengan bahan beracun biasanya ditujukan untuk menangkap ikan hias
dan ikan konsumsi dalam keadaan hidup. Oleh karena itu, maraknya perdagangan ikan hias dan

13
perdagangan ikan hidup merupakan ancaman tersendiri bagi kelestarian terumbu karang
mengingat alternatif cara pemanfaatan yang bebas sianida masih belum berkembang.
Penggunaan potasium sianida tidak saja memusnahkan larva dan anak-anak ikan juga ikut
mematikan hewan (polip) karang.
Penangkapan ikan dengan bahan peledak walaupun intensitasnya sudah semakin berkurang
di Bali tetapi praktek-praktek perikanan ilegal tersebut masih tetap berlangsung di beberapa
lokasi. Penangkapan ikan dengan bahan peledak ini menimbulkan bencana ekologis yang
sangat parah karena dapat memusnahkan kehidupan yang ada di sekitar lokasi kejadian.
Terumbu karang Bali yang relatif jauh dari pengawasan masyarakat dan aparat merupakan
sasaran utama kegiatan destruktif tersebut. Lokasi-lokasi terumbu karang di Bali yang rawan
terhadap kegiatan pengeboman antara lain terumbu karang di Kabupaten Karangasem, pantai
barat kabupaten Buleleng, pantai barat Jembrana dan Nusa Penida.
Spearfishing atau menangkap ikan dengan panah merupakan cara yang umum dilakukan
para nelayan untuk menangkap ikan-ikan konsumsi berukuran relatif besar serta menangkap
loster di daerah terumbu karang. Penangkapan ikan dengan panah ini memang bersifat selektif
tetapi caranya sangat merusak karena si pelaku dapat mematahkan karang baik karena terinjak
kaki maupun gerakan anak panah dan ikan yang sekarat terkena panah tersebut.
2) Pengambilan Batu Karang
Pengambilan batu karang untuk bahan bangunan merupakan salah satu ancaman terhadap
terumbu karang. Pengambilan batu karang walaupun sudah dalam keadaan karang mati
akan secara langsung mengurangi substrat keras sebagai tempat penempelan larva karang.
3) Wisata Bahari dan Ancaman terhadap Terumbu Karang
Pemanfaatan jasa-jasa lingkungan ekosistem terumbu karang untuk menunjang
pariwisata khususnya wisata bahari sesungguhnya merupakan terobosan yang baik dalam
rangka memperoleh nilai guna yang lebih besar tanpa melakukan pemanenan secara
langsung terhadap sumberdaya alamnya. Akan tetapi, perkembangan pemanfaatan
ekosistem terumbu karang seiring dengan semakin majunya perkembangan pariwisata di
Bali masih mendapatkan berbagai sorotan, yaitu masih rendahnya tingkat keterlibatan
masyarakat lokal dan adanya praktek-praktek pemanfaatan yang tidak terkontrol dan tidak
ramah lingkungan.

14
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penulisan
Jenis Penulisan ini adalah kualitatif deskriptif, yaitu data yang dikumpulkan berbentuk
kata-kata, bukan angka-angka. Menurut Bogdan dan Taylor, sebagaimana yang dikutip oleh
Lexy J. Moleong, data kualitatif adalah prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Sementara itu, data deskriptif adalah suatu bentuk data yang ditujukan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah
maupun rekayasa manusia.

3.2 Teknik Pengumpulan Data


Pengertian teknik pengumpulan data menurut Arikunto adalah cara-cara yang dapat
digunakan oleh penulis untuk mengumpulkan data, di mana cara tersebut menunjukan pada
suatu yang abstrak, tidak dapat di wujudkan dalam benda yang kasat mata, tetapi dapat
dipertontonkan penggunaannya.
Dalam hal pengumpulan data ini, penulis terjun langsung pada objek penelitian untuk
mendapatkan data yang valid, maka peneliti menggunakan metode observasi, yaitu sebagai
pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek
penelitian. Observasi ini menggunakan observasi partisipasi, di mana peneliti terlibat langsung
dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber
data penelitian. Dalam observasi secara langsung ini, peneliti selain berlaku sebagai pengamat
penuh yang dapat melakukan pengamatan terhadap gejala atau proses yang terjadi di dalam
situasi yang sebenarnya.

15
BAB IV
PEMBAHASAN

Wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil Provinsi Bali merupakan salah satu sebaran
ekosistem terumbu karang di kawasan ekoregion Lesser Sunda dengan luas yang telah
terinventasasi yaitu mencapai 6.948 ha. Secara spasial sebarannya meliputi tujuh wilayah
kabupaten/kota yaitu Kabupaten Jembrana, Badung, Gianyar, Kota Denpasar, Klungkung,
Karangasem, dan Buleleng. Beberapa sebaran terumbu karang mempunyai keterkaitan
habitat dengan ekosistem mangrove dan padang lamun yang memperkaya produktivitas
hayati wilayah pesisir, seperti di kawasan Teluk Gilimanuk dan perairan sepenanjung
Prapat Agung Kabupaten Buleleng, kawasan Sanur, Serangan dan Nusa Dua, dan kawasan
Nusa Lembongan‐Nusa Ceningan.
Ekosistem terumbu karang di Bali memiliki kekayaan jenis yang relatif tinggi yaitu
tercatat 406 jenis karang Scleractinia hermatifik yang telah teridentifikasi, sebaran
geografisnya meliputi 367 jenis karang terdapat di perairan Pulau Bali dan 296 jenis di
Nusa Penida. Terdapat 13 jenis karang hasil survei yang masih perlu ditelaah jenisnya dan
satu jenis yaitu Euphyllia spec merupakan penemuan jenis baru dan Isopora sp masih
perlu dijelaskan lebih lanjut, sehingga secara total terdapat 420 jenis karang Scleractinia
hermatifik di perairan pesisir dan pulau‐pulau kecil Provinsi Bali yang termasuk kedalam
16 famili dan 70 genus. Kekayaan jenis karang di Bali ini secara keseluruhan mirip dengan
yang terdapat di Taman Nasional Bunaken dan Wakatobi, lebih tinggi dari Komodo dan
Kepulauan Banda, tetapi lebih rendah daripada Raja Ampat, Teluk Cenderawasih, Fak‐Fak
Kaimana dan Halmahera. Secara lokal, 10 lokasi dengan kekayaan jenis tertinggi yaitu
berturut‐turut: Jumeluk (181 jenis), Menjangan Anker Wreck (168 jenis), Penuktukan
(164 jenis), Kepah‐Jumeluk (158 jenis), Tulamben Drop Off (157 jenis), Tukad Abu
Tulamben (156 jenis), Sumberkima (154 jenis), Geretek dan Menjangan Pos 2
(masing‐masing 150 jenis), dan Gili Maimpang Barat dan Gili Kuan (masing‐ masing 142
jenis).
Dari 76 site terumbu karang yang dipantau pada kedalaman 3‐5 meter, sebanyak 13
site (17,11%) dalam kondisi sangat baik, kondisi baik 28 site (36,84%), kondisi sedang 23
site (30,26%) dan kondisi buruk 12 site (15,79%). Sementara itu, dari 79 site terumbu
karang yang dipantau pada kedalaman 7‐10 meter diperoleh status kondisi kategori
sangat baik terdapat pada 10 site (12,66%), kondisi baik 24 site (30,38%), kondisi sedang
16
33 site (41,77%) dan kondisi buruk 12site (15,19%).
Dilihat dari luas dan tingkat kerusakannya, terdapat beberapa lokasi terumbu
karang mengalami kerusakan serius yang disebabkan oleh gangguan mekanik, yaitu
Candikusuma, Tanjung Benoa, Serangan, Ped dan Ceningan di kawasan Nusa Penida, Gili
Kuan, Jumeluk dan Anturan.
Ancaman antropogenik terhadap ekosistem terumbu karang di Bali yaitu aktivitas
pembangunan di daratan terutama kawasan pesisir perkotaan yang mensuplai air limbah
dan sampah ke laut, reklamasi wilayah pesisir dan pulau‐ pulau kecil, aktivitas wisata
bahari tidak ramah lingkungan seperti pembangunan struktur pariwisata di laut, memberi
makan ikan dan penjangkaran, penangkapan ikan berlebih, perikanan destruktif,
pencemaran minyak dan kecelakaan pelayaran.
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di Bali dapat dibedakan atas
dua kategori yaitu pemanfaatan ekstraktif dan non‐ekstraktif. Pemanfaatan ekstraktif
meliputi perikanan terumbu karang untuk penangkapan ikan konsumsi, ikan hias dan
produk‐produk ornamental lainnya. Pemanfaatan non‐ ekstraktif yaitu wisata bahari,
meliputi aktivitas wisata diving, snorkling, hookah, serta pengamatan terumbu dengan
perahu kaca, semi‐submarine dan submarine.
Kawasan konservasi ekosistem terumbu karang yang telah ditetapkan di Bali yaitu
Taman Nasional Bali Barat dengan luas perairan 3.415 ha. Terdapat dua kawasan
konservasi perairan (KKP) yang telah dicadangkan yaitu KKP Nusa Penida dengan luas
20.057,2 ha dan KKP Buleleng dengan luas 14.040,83 ha.
Dalam upaya pemulihan kondisi ekosistem yang telah mengalami kerusakan, di
seluruh Bali telah dikembangkan usaha-usaha rehabilitasi terumbu karang yang dilakukan
oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, kelompok-
kelompok masyarakat, LSM dan dunia usaha, dengan menggunakan teknik terumbu
buatan, transplantasi karang dan metode biorock.
Masyarakat madani dan lembaga‐lembaga non‐pemerintah telah berperan penting
dalam upaya pelestarian terumbu karang di Bali dengan berbagai aktivitasnya, meliputi
kampanye peningkatan kesadar‐tahuan, pengembangan alternatif mata pencaharian dan
alternatif pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang ramah lingkungan,
pengawasan, perlindungan berbasis desa/adat, dan rehabilitasi ekosistem.

17
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
• Keberadaan terumbu karang di dunia khususnya di indonesia mulai terancam.
Di indonesia persentase perusakan terumbu karang tiap tahunnya menunjukan kenaikan
yang signifikan, dalam kurun waktu 4 tahun (2004-2008) 34% terumbu karang di
indonesia berkondisi sangat buruk, dan ironisnya hanya 3% terumbu karang yang dalam
keadaan sangat baik.
• Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan teumbu karang
1) Faktor alam
2) Pengendapan sedimen
3) Aliran air yang tercemar
4) Pemanasan suhu bumi
5) Uji coba militer
6) Eksploitasi yang berlebihan
7) Asal melempar jangkar
• Ancaman utama terhadap terumbu karang adalah pembangunan daerah pesisir, polusi
laut, sedimentasi dan pencemaran dari darat, overfishing (penangkapan sumberdaya
berlebih), destruktif fishing (penangkapan ikan dengan cara merusak), dan pemutihan
karang (coral bleaching) akibat pemanasan global.
• Cara pencegahan untuk mengurangi pencemaran terhadap terumbu karang dapat
dilakukan dengan dua hal yaitu zonasi dan rehabilitasi.

5.2 Saran
Dalam rangka efektivitas pengelolaan ekosistem terumbu karang, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah diharapkan mempercepat penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil sebagai landasan utama pemanfaatan ruang wilayah laut termasuk
konservasi ekosistem serta sebagai pedoman pengaturan kegiatan yang boleh dilakukan
dan tidak boleh dilakukan dalam upaya perlindungan ekosistem.
Pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan diharapkan membangun
sinergi dan jejaring kerja yang solid dalam mewujudkan penetapan ekosistem terumbu
karang sebagai kawasan konservasi pesisir dan pulau‐pulau kecil atau kawasan konservasi
perairan untuk menyeimbangkan antara perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan fungsi
ekosistem secara berkelanjutan. Pelestarian ekosistem terumbu karang dalam kerangka
kawasan konservasi merupakan jawaban atas berbagai permasalahan dan ancaman, agar
pengelolaan terintegrasi dan komprehensif dapat diwujudkan.
Guna mengurangi tekanan dan meningkatkan ketahanan terumbu karang terhadap
18
ancaman perubahan iklim dan faktor‐faktor lainnya, pengendalian pencemaran khususnya
bersumber dari aktivitas pembangunan di daratan yang menyumbang banyak air limbah
dan sampah ke laut perlu lebih ditingkatkan mengingat adanya kecenderungan pergeseran
ancaman terhadap terumbu karang di Bali dewasa ini yang lebih besar bersumber dari
daratan dibandingkan dari laut.
Kampanye peningkatan kesadar‐tahuan masyarakat mengenai pentingnya
pelestarian ekosistem terumbu karang masih perlu terus ditingkatkan, seiring pula dengan
usaha‐usaha pengembangan alternatif mata pencaharian dan alternatif/inovasi pemanfaatan
sumberdaya ekosistem secara ramah lingkungan. Kerja‐kerja kolektif dan sinergis antara
pemerintah dan LSM, kelompok masyarakat, dunia usaha dan perguruan tinggi perlu
lebih ditingkatkan dan dilembagakan dalam suatu jejaring kerja (networking).
Guna mewujudkan tata kelola yang baik, pemerintah daerah diharapkan
memperkuat kapasitas kelembagaan pada sektor-sektor yang terkait dengan pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan laut serta mengembangkan

kebijakan, aturan-aturan dan pedoman teknis terkait pengelolaan ekosistem terumbu


karang yang arif dan bijaksana
Untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan kualitas ekosistem terumbu
karang perlu partisipasi dan peran aktif semua pihak untuk bersama-sama
mengamankannya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang dapat merusak kelestarian
ekosistem tersebut. Kelompok pengawasan masyarakat perlu dibangun dan diberdayakan
agar dapat berperan secara optimal dalam menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang
yang bernilai sangat tinggi bagi perekonomian masyarakat dan daerah. Usaha-usaha
rehabilitasi dan restorasi agar kualitas ekosistem terumbu karang di lokasi ini dapat
ditingkatkan.
Dalam upaya menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang di Provinsi Bali agar
fungsi-fungsi terumbu karang berlangsung secara optimal dan pemanfaatan jasa-jasa
lingkungannya dapat diperoleh secara berkelanjutan maka pengelolaan terumbu karang di
kawasan ini dilakukan dalam kerangka “integrated coastal management”, termasuk di
dalamnya melakukan pemantauan (monitoring) secara berkala, peningkatan kapasitas dan
partisipasi para stakeholder melalui pelatihan pengelolaan terumbu karang, pengaturan dan
penaatan zonasi, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan, penegakan hukum, dan
pengelolaan berbasis masyarakat.

19
20
DAFTAR PUSTAKA

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali. 2009. Status Lingkungan Hidup Daerah
Provinsi Bali Tahun 2009. Denpasar.
Baker, I. and P. Kaeoniam. 1986. Manual of Coastal Development Planning and
Management for Thailand. The Unesco MAP and COMAR Programmes.
Bangkok-Jakarta.
Barnes, R.S.K. and Hughes. 1990. An Introduction to Marine Ecology. Blackwell
Scientific Publisher. London.
Bengen, D.G. 2000. Tehnik Pengembilan Contoh dan Analisis Data Biofisik
Sumberdaya pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Jakarta.
Clark, J.R. 1995. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers. Boca
Raton, New York, London, Tokyo.
Choat, J.H. 1991. The Biology of Herbivorous Fishes on Coral Reefs. In : Sale,
P.T. (ed.). The Ecological of Fishes on Coral Reefs. Academic Press. New
York.
Ditlev, H. 1980. A Field-guide to the Reef-building Coral of the Indo-Pacific.
Scandinavian Science Press Ltd. Klampenborg.
Effendi, F. 1997. Bahan Pecemar (Kimia ) dan Metoda Analisisnya pada Kawasan
Pesisir dan Laut Secara Terpadu, Surabaya
Jones, O.A. and R. Endean. 1977. Biology and Geology of Coral Reefs. Vol IV:
Geology 2. Academic Press. New York.
Kenchington, R.A. and B.E.T. Hudson. 1988. Coral Reef Management Handbook.
Unesco Regional Office for Science and Technology for South-East Asia.
Jakarta.
Lovelock, C. 1993. Field Guide to The Mangrove of Queensland. Australian
Instutute of Marine Science. Townsville.
Menteri Lingkungan Hidup. 2001. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4
tahun 2001, tentang Standar Baku Mutu Kerusakan Lingkungan Hidup.
Jakarta.
Pusat Pengelolaan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara, Kementerian Lingkungan
Hidup. 2013. Profil Ekosistem Terumbu Karang Di Provinsi Bali. Denpasar.
21
Puslitbang Perikanan-Balitbang Pertanian Departement Pertanian. 1996.
Peningkatan Visi Sumberdaya Manusia Penelitian Perikanan
Menyongsong Globalisasi IPTEK. Prosiding Rapat Kerja Tenis Puslitbang
Perikanan, Serpong 19-20 November 1996.
Salm, B.V. and J.R. Clark. 1989. Marine and Coastal Protected Areas. IUCN and
Natural Resources Gland, Switzerland.
Sudiarta, I K. 2002. Status dan Profil Terumbu Karang di Wilayah Pesisir Bali.
Lokakarya; Pembuatan Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan Bali Selatan.
Bappedalda. Bali Denpasar
Suharsono dan Sukarno. 1992. Coral Assemblages Around Pulau Genteng Besar.
Seribu Island Indonesia. Third ASEAN Science and Technoligy. Marine
Science : Living Coastal resources.
Suharsono. 1998. Condition of Coraf Reef resources in Indonesia. Journal Pesisir
& Lautan, Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources (D.G.Veron, J.E.N.
1986. Coral of Australian and the Indo-Pacific. University of
Hawaii Press. Honolulu.
Warner, G.F. 1984. Diving and Marine Biology, The Ecology of the Sublitroral.
Cambridge University Press. Cambridge.
Westmacott, S., K. Teleki, S. Wells dan J. West. 2000. Pengelolaan Terumbu
Karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. IUCN, Gland, Swiss, dan
Cambridge.

22

Anda mungkin juga menyukai