Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Eksplorasi Sumberdaya Hayati Laut
Zulfadhly 230210140022
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JATINANGOR
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas rahmat serta karunia-Nya,
Penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Permasalahan dan
Hambatan yang Terjadi di Daerah Persisir dan Laut. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ir. Indah Riyantini, M. Si. sebagai dosen pengampu mata kuliah eksplorasi
sumberdaya hayati laut.
2. Donny Juliandri Prihadi, S.Pi., M.Sc., sebagai dosen pengampu mata kuliah
eksplorasi sumberdaya hayati laut.
3. Sheila Zallesa
4. Seluruh anggota kelompok 7 yang telah bekerjasama dalam penyusunan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, jadi diharapkan
untuk pembaca untuk memberikan kritik maupun saran kepada kelompok 7. Semoga
bantuan dan amal baik yang telah diberikan mendapatkan imbalan yang setimpal dari
Allah SWT. Aamiin.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
perairan sungai akan terlarut dalam air dan terakumulasi dalam sedimen dan dapat
bertambah sejalan dengan berjalannya waktu, tergantung pada kondisi lingkungan
perairan tersebut (Wulan et al., 2013). Logam berat yang terakumulasi pada sedimen dan
mengendap di dasar perairan akan menyebabkan biota laut mencari makan di dasar
perairan dan jika dikonsumsi oleh manusia dalam jangka waktu tertentu akansangat
berpengaruh terhadap kesehatan manusia.
1.2 Tujuan
1.3 Kegunaan
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam upaya mewujudkan negara yang maju dan mandiri serta masyarakat adil
dan makmur, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan sekaligus peluang
memasuki millenium ke-3 yang dicirikan oleh proses transformasi global yang bertumpu
pada perdagangan bebas dan kemajuan IPTEK. Sementara itu, di sisi lain tantangan yang
paling fundamental adalah bagaimana untuk keluar dari krisis ekonomi yang menghantam
bangsa Indonesia sejak tahun 1997 dan mempersiapkan perekonomian nasional dalam
percaturan global abad 21. Dalam rangka, menjawab tantangan dan pemanfaatan
peluang tersebut, diperlukan peningkatan efisiensi ekonomi, pengembangan teknologi,
produktivitas tenaga kerja dalam peningkatan kontribusi yang signifikan dari setiap sektor
pembangunan.
Bidang kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata bahari,
pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan, dan jasa
kelautan, merupakan andalan dalam menjawab tantangan dan peluang tersebut.
Pernyataan tersebut didasari bahwa potensi sumberdaya kejautan yang besar yakni 75%
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah laut dan selama ini telah
memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberhasilan pembangunan nasional.
Sumbangan yang sangat berarti dari sumberdaya kelautan tersebut, antara lain berupa
penyediaan bahan kebutuhan dasar, peningkatan pendapatan masyarakat, kesempatan
kerja, perolehan devisa dan pembangunan daerah. Dengan potensi wilayah laut yang
sangat luas dan sumberdaya alam serta sumberdaya manusia yang dimiliki Indonesia.
kelautan sesungguhnya memiliki keunggulan komparatif, keunggulan kooperatif dan
keunggulan kompetitif untuk menjadi sektor unggulan dalam kiprah pembangunan
nasional dimasa depan (Kusumastanto).
Wilayah pesisir dan laut memiliki potensi yang begitu banyak, dalam bidang
pembangunan wilayah ini berpotensi sebagai:
6
a) Sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti; Perikanan (Tangkap, Budidaya, dan
Pascapanen), Hutan mangrove, Terumbu karang, Industri Bioteknologi Kelautan
dan Pulau-pulau kecil.
b) Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti; Minyak bumi dan Gas, Bahan
tambang dan mineral lainnya serta Harta Karun.
c) Energi Kelautan seperti; Pasang-surut, Gelombang, Angin, OTEC (Ocean Thermal
Energy Conversion).
d) Jasa-jasa Lingkungan seperti; Pariwisata, Perhubungan dan Kepelabuhanan serta
Penampung (Penetralisir) limbah.
2.2 Potensi Sumber Daya Kelautan Pulih, tidak pulih dan geopolitics
Dikutip dari Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, Indonesia memiliki banyak potensi
sumber daya.
2.2.1 Potensi Sumberdaya Pulih (Renewable Resource)
Potensi wilayah pesisir dan lautan lndonesia dipandang dari segi Perikanan
meliputi; Perikanan laut (Tuna/Cakalang, Udang, Demersal, Pelagis Kecil, dan lainnya)
sekitar 4.948.824 ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 15.105.011.400, Mariculture
(rumput laut, ikan, dan kerang-kerangan serta mutiara sebanyak 528.403 ton/tahun,
dengan taksiran nilai US$ 567.080.000, perairan umum 356.020 ton/tahun, dengan
taksiran nilai US$ 1.068.060.000, budidaya tambak 1.000.000 ton/tahun, dengan taksiran
nilai US$ 10.000.000.000, budidaya air tawar 1.039,100 ton/tahun, dengan taksiran nilai
US$ 5.195.500.000, dan potensi bioteknologi kelautan tiap tahun sebesar US$
40.000.000.000, secara total potensi sumberdaya perikanan indonesia senilai US$
71.935.651.400 dan yang baru sempat digali sekitar US$ 17.620.302.800 atau 24,5 %.
Potensi tersebut belum termasuk hutan mangrove, terumbu karang serta energi
terbarukan serta jasa seperti transportasi, pariwisata bahari yang memiliki peluang besar
untuk dikembangkan.
7
terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di
laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti
sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi
menghasilkan 106,2 miliar barel setara minyak, namun baru 16,7 miliar barel yang
diketahui dengan pasti, 7,5 miliar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan
sisanya sebesar 89,5 miliar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan
minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 miliar barel terkandung di lepas pantai,
yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 miliar barel terdapat di laut dalam.
Sementara itu untuk sumberdaya gas bumi, cadangan yang dimiliki Indonesia sampai
dengan tahun 1998 mencapai 136,5 Triliun Kaki Kubik (TKK). Cadangan ini mengalami
kenaikan bila dibandingkan tahun 1955 yang hanya sebesar 123,6 Triliun Kaki Kubik.
Sedangkan Potensi kekayaan tambang dasar laut seperti aluminium, mangan, tembaga,
zirconium, nikel, kobalt, biji besi non titanium, vanadium, dan lain sebagainya yang sampai
sekarang belum teridentifikasi dengan baik sehingga diperlukan teknologi yang maju untuk
mengembangkan potensi tersebut.
8
BAB III
PEMBAHASAN
Lingkungan pesisir terdiri dari bermacam ekosistem yang berbeda kondisi dan
sifatnya. Pada umumnya ekosistem kompleks dan peka terhadap gangguan. Dapat
dikatakan bahwa setiap kegiatan pemanfaatan dan pengembangannya di manapun juga
di wilayah pesisir secara potensial dapat merupakan sumber kerusakan bagi ekosistem di
wilayah tersebut. Rusaknya ekosistem berati rusak pula sumber daya di dalamnya. Agar
akibat negatif dari pemanfaatan beranekaragam dapat dipertahankan sekecil-kecilnya
untuk menghindari pertikaian antar kepentingan, serta mencegah kerusakan ekosistem di
wilayah pesisir, pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan wilayah perlu
berlandaskan perencanaan menyeluruh dan terpadu yang didasarkan atas prinsip-prinsip
ekonomi dan ekologi. Permasalahan yang di hadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir
dan laut, khususnya di Indonesia yaitu pemanfaatan ganda, pemanfaatan tak seimbang,
pengaruh kegiatan manusia, dan pencemaran wilayah pesisir.
9
3.1.2 Pemanfaatan Tak Seimbang
Masalah penting dalam pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir di
Indonesia adalah ketidak seimbangan pemanfaatan sumber daya tersebut, ditinjau dari
sudut penyebarannya dalam tata ruang nasional. Hal ini merupakan akibat dari
ketimpangan pola penyebaran penduduk semula disebabkan oleh perbedaan keunggulan
komparatif (comparative advantages) keaadaan sumber daya wilayah pesisir Indonesia.
Pengembangan wilayah dalam rangka pembangunan nasional harus juga
memperhatikan kondisi ekologis setempat dan faktor-faktor pembatas. Melalui
perencanaan yang baik dan cermat, serta dengan kebijaksanaan yang serasi, perubahan
tata ruang tentunya akan menjurus ke arah yang lebih baik.
Jenis-jenis kerusakan lingkungan ada yang berasal dari luar sistem wilayah pesisir
dan ada yang yang berlangsung di dalam wilayah pesisir itu sendiri. Pencemaran dapat
berasal dari limbah yang di buang oleh berbagai kegiatan pembangunan (seperti tambak,
10
permukimana, dan industri). Yang terdapat di dalam wilayah pesisir, dan juga berupa
kiriman dari berbagai kegiatan pembangunan di daerah. Sedimentasi atau pelumpuran
yang terjadi di perairan pesisir sebagian besar dari bahan sediment di lahan atas (akibat
penebangan hutan dan praktek pertanian), yang terangkut aliran air sungan atau air
limasan dan diendapkan di perairan pesisir. Sementara itu, kerusakan lingkungan berupa
degradasi fisik habitat pesisir (mangrove, terumbu karang, dan padang lamun); eksploitasi
lebih sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung, dan bencana alam,
hampir terjadi di dalam wilayah pesisir.
1. Pencemaran
2. Degradasi fisik habitat
3. Over eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai.
Pencemaran laut (perairan pesisir) didefinsikan sebagai dampak negatif (pengaruh
yang membahayakan) terhadap kehidupan biota, sumber daya dan ekosistem laut serta
kesehatan manusia, dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut yang disebabkan secara
langsung maupun tidak langsung oleh pembungan bahan-bahan atau limbah (termasuk
energi) ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia (GESAMP, 1986).
Disamping itu sifat fisik wilayah pesisir dan lautan yang saling berhubungan dengan
eksositem lainnya (sungai, estuaria, dan lautan) juga membebani pencemaran wilayah
pesisir dan lautan. Misalnya, kegiatan pengolahan pertanian dan kehutanan (up land)
yang buruk tidak saja merusak ekosistem sungai (melalui banjir dan erosi) tetapi juga akan
menimbulkan dampak negatif pada perairan pesisir dan lautan.
Selain beberapa hal tersebut yang dapat memicu terjadinya kerusakan lingkungan
pesisir dan laut, juga terdapat faktor lain. Kegagalan pengelolaan SDA dan lingkungan
hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan dasar dari komponen perangkat dan pelaku
pengelolaan. Pertama akibat adanya kegagalan kebijakan (lag of policy) yang menjadikan
aspek lingkungan hanya menjadi variabel minor. Padahal, dunia internasional saat ini
selalu mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup, seperti green
11
product, sanitary safety, dan sebagainya. Salah satu contoh dari kegagalan kebijakan
tersebut adalah berkenaan dengan kebijakan penambangan pasir laut. Di satu sisi,
kebijakan tersebut dibuat untuk membantu menciptakan peluang investasi terlebih
pasarnya sudah jelas. Namun di sisi lain telah menimbulkan dampak yang cukup
signifikan dan sangat dirasakan langsung olehnelayan dan pembudidaya ikan di sekitar
kegiatan. Bahkan secara tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah lain.
Misalnya terjadi gerusan/abrasi pantai, karena karakteristik wilayah pesisir bersifat
dinamis.
Kedua, adanya kegagalan masyarakat (lag of community) sebagai bagian dari
kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan mendasar yang
menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat terjadi akibat kurangnya
kemampuan masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan lingkungan secara
sepihak, disamping kurangnya kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan
masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan
melindungi lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin memperburuk
posisi tawar (bargaining position) masyarakat sebagai pengelola lokal dan pemanfaat SDA
dan lingkungan. Misalnya saja, kegagalan masyarakat melakukan penanggulangan
masalah pencemaran yang diakibatkan oleh kurang perdulinya publik swasta untuk
melakukan internalisasi eksternalitas dari kegiatan usahanya. Contoh kongkrit adalah
banyaknya pabrik-pabrik yang membuang limbah yang tidak diinternalisasi ke DAS yang
pasti akan terbuang ke laut atau kebocoran pipa pembuangan residu dari proses ekstrasi
minyak yang tersembunyi, dan sebagainya.
Ketiga, penanggulangan permasalahan lingkungan yang ada masih bersifat parsial
dan kurang terkoordinasi. Dampaknya, proses penciptaan co-existence antar variable
lingkungan yang menuju keharmonisan dan keberlanjutan antar variabel menjadi
terabaikan. Misalnya, solusi pembuatan tanggul-tanggul penahan abrasi yang dilakukan di
beberapa daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa, secara jangka pendek mungkin dapat
menanggulangi permasalahan yang ada, namun secara jangka panjang persoalan lain
yang mungkin sama atau juga mungkin lebih besar akan terjadi di daerah lain karena
karakteristik wilayah pesisir dan laut yang bersifat dinamis.
12
Jika dilihat dari sumber (asal) kejadiaanya, jenis kerusakan lingkungan ada yang dari
luar sistem wilayah pesisir dan juga dari dalam wilayah pesisir itu sendiri. Pencemaran
berasal dari limbah yang dibuang oleh berbagai kegiatan pembangunan (seperti tambak,
perhotelan, pemukiman dan industri) yang terdapat di dalam wilayah pesisir, dan juga
berupa kiriman dari berbagai kegiatan pembangunan di daerah lahan atas. Sumber
pencemaran perairan pesisir dan laut biasa terdiri dari limbah industri, limbah cair
pemukinan (sewage), limbah cair perkotaan (urban stormwater), pelayaran (shipping),
pertanian, dan perikanan budidaya. Bahan pencemar utama yang terkandung dalam
buangan limbah tersebut berupa: sedimen, unsur hara (nutriens), logam beracun (toxic
metals), pestisida, organisme eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen depleting
substances (bahan-bahan yang menyebabkan oksigen yang terlarut dalam air laut
berkurang).
Bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan industri, pertanian, rumah
tangga di daratan akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bukan saja pada perairan
sungai tetapi juga perairan pesisir dan lautan. Dampak yang terjadi kerusakan ekosistem
bakau, terumbu karang, kehidupan dari jenis-jenis biota (ikan, kerang, keong), terjadi
abrasi, hilangnya benih banding dan udang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
terhadap bahan-bahan yang akan dibuang ke perairan, termasuk perairan wilayah pesisir
yaitu :
a) Macam, sifat, banyaknya dan kontinuitas bahan buangan;
b) Kemampuan daya angkut dan pengencer perairan yang berkaitan dengan kondisi
oseanografi setempat;
c) Kemungkinan interaksi antara sifat-sifat kimia dan biologi bahan buangan dengan
lingkungan perairan.
d) Pengaruh bahan buangan terhadap kehidupan dan rantai makanan;
e) Proses degradasi dan perubahan biogeokimia;
f) Prognose terhadap jumlah dan macam tambahan bahan pencemar di hari depan;
g) Faktor-faktor lain yang khas.
13
3.3 Isu Utama
Pesisir dan laut perairan pesisir merupakan perairan yang mempunyai potensi
tinggi terhadap adanya akumulasi logam berat karena berbatasan langsung dengan
daratan dan merupakan tempat bertemunyaperairan dari darat melalui sungai dan
perairan laut. Keberadaan perairan pesisir sebagai penampungan terakhir bagi sungai
yang bermuara dan membawa limbah, baik yang berasal dari industri maupun rumah
tangga, sangat membahayakan bagi masyarakat yang bertempat tinggal di sekitarnya,
utamanya masyarakat yang mengkonsumsi hasil laut yang telah terkontaminasi logam
berat.
Pencemaran logam berat yang masuk ke lingkungan perairan sungai akan terlarut
dalam air dan akan terakumulasi dalam sedimen dan dapat bertambah sejalan dengan
berjalannya waktu, tergantung pada kondisi lingkungan perairan tersebut (Wulan et al.,
2013). Logam berat dapat berpindah dari lingkungan ke organisme, dan dari organisme
satu ke organisme lain melalui rantai makanan (Yalcin et al., 2008). Logam berat yang ada
pada perairan suatu saat akan turun dan mengendap pada dasar perairan, membentuk
sedimentasi dan hal ini akan menyebabkan biota laut yang mencari makan di dasar
perairan (udang, kerang, kepiting) akan memiliki peluang yang sangat besar untuk
terkontaminasi logam berat tersebut. Wolf et al. (2001) menunjukkan bahwa logam berat
yang terakumulasi pada ekosistem mangrove mengalami bioakumulasi dalam jaringan
hewan Gastropoda yang berasosiasi dengan mangrove. Logam berat masuk ke dalam
jaringan tubuh biota laut melalui beberapa jalan, yaitu saluran pernafasan (insang),
saluran pencernaan (usus, hati, ginjal), maupun penetrasi melalui kulit (Maruf, 2007). Jika
biota laut yang telah terkontaminasi tersebut dikonsumsi oleh manusia dalam jangka
waktu tertentu akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia.
14
3.4 Studi Kasus
Bioakumulasi Logam Berat Timbal (Pb) Dan Seng (Zn) Pada Kerang Darah (Anadara
Granosa L.) Dan Kerang Bakau (Polymesoda Bengalensis L.) Di Perairan Teluk
Kendari
Perkembangan wilayah pesisir Teluk Kendari cukup pesat dengan berbagai macam
aktivitas baik berupa jasa kelautan seperti pelabuhan untuk pelayaran dan perikanan
maupun kegiatan-kegiatan di sekitar pantai seperti pemukiman, industri, usaha dan
pertambakan. Beban pencemaran yang masuk ke Teluk Kendari terus mengalami
peningkatan seiring dengan semakin pesatnya perkembangan Kota Kendar. Teluk
Kendari didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama
pemanfaatan sumber hayati seperti ikan dan kerang, Dilain pihak aktivitas manusia dalam
upaya pemanfaatan sumbedaya tersebut telah menimbulkan dampak negatif yaitu
pencemaran logam berat, sehingga pencemaran logam berat yang masuk ke Teluk
Kendari juga semakin meningkat. Logam berat yang terdapat di perairan Teluk Kendari
dapat berasal dari limbah domestik, industri perikanan, pertanian dan kegiatan
transportasi laut serta berasal dari aktifitas perkotaan lainnya yang semakin meningkat di
sekitar perairan tersebut. Logam berat yang ada dalam badan perairan akan mengalami
proses pengendapan dan terakumulasi dalam sedimen, kemudian terakumulasi dalam
tubuh biota laut yang ada dalam perairan termasuk kerang. akumulasi logam berat (Pb
dan Zn) pada kerang darah (Anadara granosa), dan kerang bakau (Polymesoda
bengalensis) di Teluk Kendari .Kandungan logam timbal (Pb) dan seng (Zn) di air,
sedimen dan jaringan kerang. Kandungan logam timbal (Pb) pada perairan tertinggi
diperoleh pada lokasi pengambilan kerang darah (A granosa) yaitu 0,014-0,016 mg/L, dan
terendah pada lokasi pengambilan kerang bakau (P bengalensis) yaitu 0,008-0,010 mg/L,
sedangkan kandungan logam seng (Zn) tertinggi di peroleh pada lokasi pengambilan
kerang bakau (P. bengalensis) yaitu 0,479-0,793 mg/L, dan terendah pada lokasi
pengambilan kerang darah yaitu 0,274 0,569 mg/L, (sudah melampau baku mutu).
15
Kandungan Logam Berat Hg Dan Cu Terlarutdi Perairan Pesisir Wonorejo, Pantai
Timur Surabaya
Perairan Pesisir Wonorejo merupakan bagian dari Pantai Timur Surabaya yang
menerima aliran sungai (DAS) Kali Jagir Wonokromo, Wonorejo dan Gunung Anyar.
Seperti halnya perairan pesisir lainnya, Perairan Pesisir Wonorejo berpotensi
mengakumulasi beban antropogenik yang dibawa dari tiga aliran sungainya. Hal ini
diperparah dengan adanya penyalahgunaan sungai sebagai tempat pembuangan limbah
sehingga beban pencemar akan terdistribusi sampai ke muara sungai hingga laut. Salah
satu bahan pencemar yang berpotensi ditemukan di Perairan Pesisir Wonorejo adalah
logam berat. Pencemaran logam berat dikategorikan sebagai pencemaran yang
menimbulkan dampak yang berbahaya terhadap lingkungan dan organisme di dalamnya.
Logam berat mempunyai sifat non-degradable. Selain itu, logam berat akan terakumulasi
di dalam lingkungan seperti kolom air dan sedimen serta terabsorpsi ke dalam biota laut
(Effendi, 2003).
Pada badan air Perairan Pesisir Wonerejo tergolong tinggi dimana berada di atas
baku mutu yang telah ditetapkan. Konsentrasi logam berat tersebut berfluktuasi seiring
dengan bertambahnya kedalaman. Konsentrasi Cu2+ terlarut cenderung semakin
menurun seiring dengan pertambahan kedalaman dan kembali meningkat di dasar kolom
air sedangkan konsentrasi Hg2+ terlarut semakin meningkat seiring dengan pertambahan
kedalaman. Faktor lingkungan yang berpengaruh utama terhadap kehadiran logam berat
Hg dan Cu terlarut pada badan air Pesisir Wonorejo adalah salinitas.
16
yang mencemari perairan pesisir Kota Makassar berasal dari kegiatan industri, perikanan,
pelabuhan, perhotelan, pariwisata bahari dan rumah tangga (Sudding et al., 2012).
Hasil analisis terhadap kandungan logam berat di perairan sekitar kawasan Metro
Tanjung Bunga dan muara Sungai Tallo menunjukkan, untuk kandungan Timbal (Pb) di
perairan sekitar kawasan Metro Tanjung Bunga sebesar 0,110 ppm dan muara Sungai
Tallo 0,097 ppm. Kandungan logam berat Cadmium (Cd) di perairan sekitar kawasan
Metro Tanjung Bunga adalah 0,030 ppm dan muara Sungai Tallo sebesar 0,729 ppm.
Kandungan logam berat Cu di perairan sekitar kawasan Metro Tanjung Bunga dan
muara Sungai Tallo menunjukkan, kandungan logam berat Tembaga (Cu) di perairan
sekitar kawasan Metro Tanjung Bunga sebesar 0,020 ppm dan muara Sungai Tallo 0,165
ppm.
17
BAB IV
KESIMPULAN
Pada umumnya ekosistem kompleks dan peka terhadap gangguan. Setiap kegiatan
pemanfaatan dan pengembangannya di wilayah pesisir secara potensial dapat menjadi
sumber kerusakan bagi ekosistem di wilayah tersebut. Permasalahan yang di hadapi
dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, khususnya di Indonesia yaitu pemanfaatan
ganda, pemanfaatan tak seimbang, pengaruh kegiatan manusia, dan pencemaran wilayah
pesisir.
Pencemaran di wilayah pesisir berasal dari limbah yang di buang oleh berbagai
kegiatan pembangunan (seperti tambak, permukiman dan industri). Kerusakan lingkungan
di wilayah pesisir berupa degradasi fisik habitat pesisir (mangrove, terumbu karang, dan
padang lamun); eksploitasi lebih sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan
lindung, dan bencana alam, hampir terjadi di dalam wilayah pesisir.
Pencemaran logam berat yang masuk ke lingkungan perairan sungai akan terlarut
dalam air dan akan terakumulasi dalam sedimen dan dapat bertambah sejalan dengan
berjalannya waktu, tergantung pada kondisi lingkungan perairan tersebut. Logam berat
dapat berpindah dari lingkungan ke organisme, dan dari organisme satu ke organisme lain
melalui rantai makanan. Jika biota laut yang telah terkontaminasi tersebut dikonsumsi oleh
manusia dalam jangka waktu tertentu akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan
manusia.
18
DAFTAR PUSTAKA
Boran M & Altinok I. 2010. A Review of Heavy Metals in Water, Sediment and Living
Organisms in the Black Sea. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10 :
565-572.
Undang-Undang No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil.
Wulan SP, Thamrin & Amin B. (2013). Konsentrasi, Distribusi dan Korelasi Logam Berat
Pb, Cr dan Zn pada Air dan Sedimen di Perairan Sungai Siak sekitar Dermaga PT.
Indah Kiat Pulp and Paper Perawang-Provinsi Riau. Pusat Penelitian Lingkungan
Hidup Universitas Riau.
Wolf HD, Ulomi SA, Backeljau T, Pratap HB & Blust R. 2001. Heavy Metal Levels in the
Sediments of Four Dar Es Salaam Mangroves Accumulation in, and Effect on the
Morphology of the Periwinkle Littoraria scabra (Mollusca: Gastropoda). Environment
International 26 : 243- 249.
Yalcin G, Narin I, & Soylak M. 2008. Multivariate Analysis of Heavy Metal Contents of
Sediments From Gumusler Creek, Nigde, Turkey. Environmental Geology 54 :
1155-1163.
Sari Julinda H S , Kirana. Guntur. (2017). Analisis Kandungan Logam Berat Hg Dan Cu
Terlarut di Perairan Pesisir Wonorejo, Pantai Timur Surabaya. Jurnal Pendidikan
Geografi. Universitas Brawijaya
Amriani, Hendrarto, Hardiyanto. (2011). Bioakumulasi Logam Berat Timbal (Pb) Dan Seng
(Zn) Pada Kerang Darah (Anadara Granosa L.) Dan Kerang Bakau (Polymesoda
Bengalensis L.) Di Perairan Teluk Kendari. Program Studi Ilmu Ilmu Lingkungan,
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
Setiawan Heru. (2014). Pencemaran Logam Berat Di Perairan Pesisir Kota Makassar Dan
Upaya Penanggulangannya. Balai Penelitian Kehutanan Makassar
19