Anda di halaman 1dari 75

BAHAN AJAR

FARMAKOLOGI DASAR
(BUKU I)

OLEH :

NIKO RUSMEDI, S.Farm., Apt.

I. PENDAHULUAN
Dalam bidang kesehatan, obat merupakan salah satu unsur penting. Farmakologi mempunyai
peranan penting dalam memahami sifat sifat obat dalam hubungannya dengan organisme hidup.
Pemberian obat dalam bidang kesehatan bertujuan :
1. Penetapan diagnosa, pencegahan penyakit (preventif) dan penyembuhan (kuratif) penyakit
2. Pemulihan (rehabilitatif) dan peningkatan (promotif) kesehatan.
3. Kontrasepsi.

I.

DEFINISI
Beberapa definisi tentang obat :
1. Setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup.
2. Setiap zat kimia selain makanan yang mempunyai pengaruh terhadap atau dapat menimbulkan
efek pada organisme hidup.
3. Suatu bahan atau panduan bahan bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa,
mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka,
kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan, memperelok badan atau bagian badan
manusia.
Obat dapat diperoleh dari : - tumbuhan (mis. Kuinin)
- Hewan (mis. Insulin)
- Mineral (mis. Kaolin)
- Mikroorganisme (mis. Penisilin)
- Sintesis (mis. Sulfonamida)
- Bioteknologi (mis. Interferon)
Dewasa ini, sebagian besar obat yang digunakan merupakan hasil sintetis (atau semisintetis).
Farmakologi (berasal dari kata Yunani yaitu Pharmakon = obat dan Logia = studi) dapat diartikan
sebagai studi atau ilmu tentang obat. Pada mulanya Farmakologi mencakup berbagai pengetahuan
tentang obat yang meliputi sejarah, sumber, sifat sifat fisika dan kimiawi, cara meracik, efek
fisiologik dan biokimiawi, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresi, serta
penggunaan obat untuk terapi dan penggunaan untuk tujuan lain.

Sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Farmakologi dewasa ini
didefinisikan sebagai studi terintegrasi tentang sifat sifat zat kimia dan organisme hidup serta
segala aspek interaksi mereka atau ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan organisme hidup.
II.

CABANG - CABANG FARMAKOLOGI


Farmakologi mempunyai cabang cabang, beberapa di antaranya telah berkembang menjadi
cabang ilmu yang berdiri sendiri.
1. Farmakodinamika adalah studi tentang tempat dan mekanisme kerja serta efek fisiologik dan
biokimiawi obat pada organisme hidup atau pengaruh obat terhadap organisme hidup.
2. Farmakokinetika adalah studi tentang nasib obat dalam tubuh meliputi absorpsi, distribusi, dan
eliminasi (biotransformasi/metabolisme dan ekskresi) obat.
3. Farmasi adalah ilmu yang mempelajari cara membuat, memformulasikan, menyimpan dan
menyediakan obat.
4. Farmakognosi adalah ilmu yang mempelajari sifat sifat tumbuhan dan bahan lain yang
merupakan sumber obat.
5. Farmakoterapi adalah studi penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit atau
ilmu yang mempelajari penggunaan obat untuk menegakkan diagnosis, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta penggunaan obat untuk mengubah fungsi normal tubuh untuk
tujuan tertentu (mis. Kontrasepsi dan anestetika).
6. Toksikologi adalah ilmu tentang racun (Toxicon = racun) yaitu ilmu yang mempelajari efek
toksik atau efek membahayakan dari zat zat kimia baik mekanisme kerjanya maupun
kondisi yang menyebabkan terjadinya efek membahayakan itu. Cabang ilmu ini juga
mempelajari gejala dan pengobatan keracunan serta identifikasi racun.
7. Farmakologi Klinik adalah cabang farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia.

Semua obat pada dasarnya adalah racun yang dapat menimbulkan efek toksik pada dosis
tinggi, sedangkan efek toksik racun terjadi pada dosis yang relatif kecil.
Disamping cabang cabang tersebut masih ada cabang farmakologi yang lebih spesifik
mempelajari pengaruh obat pada organ atau sistem biologik tertentu atau pada tingkat organisasi
tertentu dari organisme hidup misalnya :
Organ atau sistem biologik
Kardiovaskuler

------------------------ farmakologi kardiovaskuler

Syaraf

------------------------ neurofarmakologi

Tingkat organisasi
Sel

------------------------ farmakologi seluler

Molekul biologik

------------------------ farmakologi molekuler

III. KLASIFIKASI OBAT


Klasifikasi obat dapat dilakukan menurut beberapa cara :
1. Struktur kimia
Contoh : asam (asetosal, asam mefenamat), alkohol (etanol, methanol), enol (vit. C), amin
(epinefrin).
2. Efek farmakologi
a. Obat farmakodinamik (mis. Asetosal dan Morfin)
b. Obat khemoterapetik (mis. Penisilin)
c. Hormon (mis. Insulin)
d. Zat diagnostik (mis. Barium sulfat)
3. Cara kerja
a. Nonspesifik struktural (mis. Eter)
b. Spesifik struktural (mis. Antihistamin)
IV. NAMA OBAT
Obat pada umumnya mempunyai lebih dari satu nama yang dapat dibedakan menjadi nama
umum (generik) atau nonproprietary name dan nama paten (dagang) atau proprietary name. Nama
umum biasanya berupa nama resmi (tercantum dalam kompedia resmi, mis. Farmakope) atau nama
kimia.
Contoh

: Asetosal (nama umum)


Acidum acetylosalicylicum (nama resmi)
Asam 2 asetoksibenzoat (nama kimia)
Aspirin (Bayer) --------- nama paten

nama generik

II. PERJALANAN OBAT DALAM TUBUH


Di dalam tubuh obat dapat mengalami berbagai peristiwa. Secara umum peristiwa peristiwa
yang dialami obat dalam tubuh dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut.
DISTRIBUSI

TEMPAT KERJA

DEPOT JARINGAN

(RESEPTOR)
Terikat

Bebas

Bebas

Terikat

SIRKULASI
SISTEMIK

Darah

Obat

Bentuk

Obat Bebas

ABSORPSI

EKSKRESI

sediaan

Obat Terikat

Metabolit

BIOTRANSFORMASI

Obat dapat masuk ke dalam aliran darah dengan dua macam cara, yaitu cara langsung
(intravaskuler = iv) misalnya disuntikkan intravenus dan cara tidak langsung (ekstravaskuler = ev)
misalnya melalui mulut (per oral) atau disuntikkan intramuskuler. Pada cara tidak langsung obat
mengalami peristiwa absorpsi terlebih dahulu yaitu perpindahan obat dari tempat pemberian (aplikasi) ke
dalam aliran darah (sirkulasi sistemik).
Di dalam darah kebanyakan obat mengalami pengikatan secara reversibel dengan komponen
komponen darah terutama albumin. Dengan demikian di dalam, obat terdapat dalam dua bentuk, yaitu
bentuk bebas dan bentuk terikat. Bentuk terikat terjadi karena molekul obat tersebut besar sehingga tidak
bisa menembus membran dan tetap tinggal dalam ruang vaskuler, sedangkan bentuk bebas akan
menembus dinding vaskuler masuk ke dalam jaringan jaringan dan cairan tubuh lainnya. Peristiwa
penyebaran ini disebut distribusi yaitu perpindahan obat dari darah ke dalam cairan tubuh lainnya (limfa
dan cairan ekstraseluler), jaringan serta organ organ. Dalam jaringan obat terikat secara reversibel
dengan komponen komponen jaringan seperti protein dan lemak jaringan. Jika dalam distribusi ini obat
dapat mencapai tempat kerjanya maka obat itu akan bekerja dan menimbulkan efek yang sering disebut
efek farmakologik atau respon biologik. Efek ini dapat terjadi sebagai akibat interaksi antara obat dengan
reseptornya.
Obat

reseptor

kompleks

efek

Yang dimaksud dengan kerja obat ialah perubahan kondisi yang dapat menimbulkan efek, sedangkan efek
adalah perubahan fungsi struktur atau proses sebagai akibat kerja obat. Efek obat pada hakekatnya
4

merupakan perubahan fungsi secara kuantitatif (bukan kualitatif) yang dapat berupa kontraksi otot, sekresi
oleh kelenjar, pelepasan hormon, perubahan dalam aktivitas saraf, perubahan dalam kecepatan
pembelahan sel, atau kematian sel.
Di dalam organ tertentu seperti hati, obat dapat mengalami perubahan kimiawi menjadi senyawa
lain. Peristiwa ini disebut biotransformasi dan senyawa hasil biotransformasi disebut metabolit. Jika
dibandingkan dengan senyawa induk atau asalnya (parent substance), aktivitas farmakologik metabolit
dapat berbeda secara kuantitatif atau kualitatif. Biotransformasi di dalam hati ini dapat terjadi setelah obat
di absorpsi dari saluran cerna sebelum mengalami distribusi ke seluruh tubuh. Peristiwa ini disebut first
pass effect atau efek lintas pertama.
Karena obat merupakan senyawa asing yang secara normal tidak dibutuhkan tubuh, pada akhirnya
obat akan dikeluarkan. Peristiwa ini dikenal sebagai ekskresi yaitu perpindahan obat dari darah ke dalam
cairan (urin,keringat) atau organ ekskretori (paru, empedu, ginjal). Organ yang mempunyai peranan
penting dalam ekskresi adalah ginjal karena hampir semua obat diekskresikan melalui organ ini. Bentuk
obat yang dikeluarkan dari tubuh kita bisa berupa obat yang belum atau tidak berubah (senyawa
induknya) dan metabolitnya.
Peristiwa peristiwa yang dialami obat setelah masuk ke dalam darah atau setelah diabsorpsi
sering disebut disposisi. Di samping itu biotransformasi dan ekskresi sering digabungkan menjadi
eliminasi. Penggabungan menjadi eliminasi ini didasarkan kenyataan bahwa biotransformasi dan ekskresi
mengakibatkan pengurangan jumlah obat dalam tubuh.

III. TRANSPORT OBAT


Dalam tubuh, obat mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Jika perpindahan ini
disertai dengan penembusan membrane biologik, maka peristiwa ini disebut transport atau biotransport.
Transport terjadi dalam proses absorpsi, distribusi dan ekskresi.
I.

Membran Sel
Membran sel ialah organel yang memisahkan isi sel dari lingkungan sekitarnya. Susunan
kimiawi membran sel (manusia atau hewan) terdiri dari protein dan lipid (terutama kolesterol dan
fosfolipid). Senyawa senyawa ini seperti halnya protein mempunyai gugus yang dapat membentuk
ikatan ionik atau hidrogen dengan gugus yang sesuai.
Membran sel tidak bersifat inert, tetapi mempunyai fungsi spesifik. Sifat sifat membran sel
ialah semipermeabel, mempunyai tegangan muka yang sangat rendah dan memiliki tegangan listrik
yang disebut potensial membran.

II.

Mekanisme Transport
Obat dapat menembus membran biologik dengan beberapa cara yang dibagi menjadi dua
golongan yaitu transport yang tidak diperantarai pembawa dan transport yang diperantarai pembawa
(carrier-mediated transport).
1. Difusi sederhana atau difusi pasif
Difusi sederhana sering juga disebut difusi nonionik yaitu difusi yang umumnya terjadi pada
absorpsi dan distribusi obat. Mula mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan
membran sel, kemudian molekul obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak
membran. Pada proses ini, obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi lain. Setelah
taraf mantap (steady state) dicapai, kadar obat bentuk non-ion di kedua sisi membran akan sama.
Difusi sederhana dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut :
luar

membran

dalam

C1

C2

X
(obat)

C1 > C2

Seperti diketahui bahwa sebagian besar obat berupa elektrolit lemah yang ionisasinya dapat
dinyatakan sbb :
asam lemah

H+

A(ion)

BOH

B+

OH-

(molekul)

(ion)

HA
(molekul)

basa lemah

Bentuk molekul mudah larut dalam lipid, sedangkan bentuk ionnya sukar atau tidak larut
dalam lipid. Mekanisme ini sangat penting karena sebagian besar obat diabsorpsi secara difusi
sederhana. Obat obat yang diabsorpsi dengan mekanisme ini antara lain elektrolit organik
lemah (asam dan basa), nonelektrolit organik (alkohol) dan glikosida jantung. Difusi sederhana
juga dijumpai antara lain pada perpindahan obat dari darah menembus plasenta dan reabsorpsi
obat dari filtrat glomeruler dalam proximal tubule ginjal.
2. Transport konvektif
Dalam transport ini obat yang terlarut dalam medium berair pada tempat absorpsi bergerak
bersama zat pelarutnya (solven) menembus membran melalui pori. Ion (jika muatan listriknya
berlawanan dengan muatan dari dinding yang membatasi pori) maupun molekul netral dapat
melalui pori. Karena diameter pori 7 10 A, hanya molekul yang diameternya lebih kecil dapat
menembus membran melalui pori ini. Proses transport ini mirip proses filtrasi yang
kecepatannya tergantung antara lain koefisien filtrasi dan aliran medium.
luar

dalam

membran

C1

C2

(obat)

C1 > C2

Transport konvektif dijumpai misalnya pada absorpsi obat yang berupa elektrolit anorganik
dan organik dengan bobot molekul kecil (150 400), ion ion yang muatannya berlawanan
dengan pori dan sulfonamida terionisasi. Ekskresi obat melalui glomerulus juga terjadi dengan
mekanisme ini.

3. Transport aktif
Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati dan tubuli ginjal. Proses ini
membutuhkan energi yang diperoleh dari aktivitas membran sendiri, sehingga zat dapat bergerak
melawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara kompetitif,
transport aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat mengalami
kejenuhan). Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat zat endogen dan transport
aktif suatu obat dapat pula dipengaruhi obat lain.
Transport aktif mempunyai ciri ciri sebagai berikut :
a. Obat dapat bergerak melawan gradien kadar atau elektrokimiawi (jika obat berupa ion).
b. Obat membutuhkan suatu zat yang berfungsi sebagai pembawa.
c. Prosesnya dapat mengalami kejenuhan (saturasi).
d. Berlangsungnya transport aktif membutuhkan energi; oleh karena itu zat zat yang bersifat
sebagai racun metabolisme (misalnya sianida, fluorida, dinitrofenol dan iodoasetat) dan
hipoksia dapat menghambat transport ini,
e. Transport aktif bersifat struktural spesifik, antara senyawa senyawa yang strukturnya
saling berkompetisi.
f. Prosesnya berjalan satu arah (unidirectional)
Proses transport dapat digambarkan dengan bagan sbb :
luar

membran

dalam

C1

C2
CX

CX

(obat)
C1 > C2
E = energi ; C = carrier (pembawa)

Mekanisme transport aktif misalnya pada absorpsi ion Na, K, I, Fe dan Ca, monosakarida
(heksosa), asam amino, senyawa fosfat organik, senyawa basa pirimidina, vitamin B, hormon
kelamin (testosteron-estradiol), dan 5 fluorourasil. Disamping itu transport aktif juga dijumpai
pada sekresi obat (asam atau basa) dari dalam darah ke proximal tubule ginjal.
4. Difusi fasilitatif
Difusi fasilitatif (facilitated diffusion) adalah suatu proses transport yang terjadi dengan
bantuan suatu faktor pembawa (carrier) yang merupakan komponen membran sel tanpa
menggunakan energi sehingga tidak melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik. Proses
8

ini juga bersifat selektif, terjadi pada zat endogen yang transportnya secara difusi biasa terlalu
lambat, misalnya masuknya glukosa ke dalam sel perifer. Mekanisme absorpsi ini mirip dengan
transport aktif, perbedaannya ialah obat bergerak sejalan dengan gradien kadar.
Contoh klasik difusi fasilitatif ialah absorpsi vitamin B12 dari saluran cerna. Vitamin ini
lebih dahulu membentuk kompleks dengan faktor intrinsik yang dihasilkan oleh dinding
lambung. Kemudian kompleks ini berikatan dengan pembawa dan selanjutnya ikatan ini di
absorpsi secara difusi fasilitatif. Kekurangan vitamin B12 menyebabkan timbulnya anemia
pernisiosa dan salah satu faktor penyebabnya ialah tidak adanya faktor intrinsik. Contoh lain
difusi fasilitatif adalah masuknya glukosa ke dalam eritrosit.
luar

membran

dalam

C1
X

C2
CX

(obat)
C

CX

C1 > C2
C = carrier (pembawa)

5. Transport pasangan ion


Senyawa senyawa yang terionisasi kuat seperti senyawa amonium kuaterner dan asam
sulfonat, membentuk kompleks dengan senyawa endogen yang muatannya berlawanan dan
berasal dari saluran cerna misalnya musin. Kompleks yang bersifat netral, larut dalam lipid dan
air ini selanjutnya menembus membran (diabsorpsi) secara difusi sederhana.
luar

membran

dalam

ion organik
-

<<

Kompleks

Difusi pasif

Disosiasi

6. Pinositosis
Pinositosis disebut juga transport korpuskuler atau partikulat. Prosesnya seperti fagositosis
yaitu penelanan bakteri oleh leukosit. Cara transport pinositosis adalah dengan membentuk
vesikel, misalnya makromolekul seperti protein. Jumlah obat yang diangkut dengan cara ini
sangat sedikit.

Mekanisme ini dijumpai pada absorpsi vitamin vitamin yang larut lemak (vitamin A, D, E
dan K), asam lemak dan asam amino. Termasuk telur parasit dapat menembus membran secara
pinositosis. Terhadap senyawa senyawa lain peranan mekanisme ini belum diketahui.
Pinositosis inilah yang mungkin dapat menjelaskan mengapa vaksin polio efektif walaupun
diberikan secara oral.

10

IV. ABSORPSI
Efek farmakologi suatu obat akan muncul setelah obat itu dalam jumlah yang memadai dapat
mencapai tempat kerjanya. Jika hal ini melibatkan aliran darah, kecepatan mencapai tempat kerjanya obat
tergantung pada kecepatan absorpsi (kecuali jika obat dimasukkan langsung ke dalam pembuluh darah)
dan proses ini ditentukan antara lain oleh cara pemberian obat.
I.

Absorpsi
Absorpsi obat adalah peristiwa perpindahan/penyerapan obat dari tempat pemberian
(aplikasi) ke dalam sirkulasi sistemik. Tempat absorpsi dapat terjadi misalnya pada kulit, saluran
cerna dan paru. Adapun mekanismenya bisa dengan cara difusi sederhana, transport aktif, difusi
fasilitatif, transport pasangan ion dan pinositosis. Suatu obat bisa diabsorpsi dengan lebih dari satu
macam mekanisme.
Kecepatan absorpsi obat secara garis besar tergantung dari cara pemberian, faktor obat dan
faktor hayati. Untuk mengukur kecepatan absorpsi obat dapat dilakukan secara in vitro (misalnya
metoda kantong usus), in situ (misal metode Doluisio) dan in vivo (misalnya dengan mengukur
kecepatan timbulnya efek atau memantau kadar obat dalam darah selama waktu tertentu). Sebagai
ukuran absorpsi adalah bioavailibilitas atau ketersediaan hayati yaitu kecepatan dan jumlah obat
yang diabsorpsi.

II.

Cara Pemberian Obat


Obat dapat diberikan dengan berbagai macam macam cara yang dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu cara enteral dan parenteral.
Cara enteral adalah cara pemberian obat melalui jalur saluran cerna atau saluran
gastrointestinal (oral). Saluran ini dimulai dari rongga mulut sampai poros usus (rektum). Cara
enteral yang biasa dilakukan meliputi cara dengan menelan obat (oral/per oral), menempatkan obat
di bawah lidah (sublingual) dan memasukkan obat ke dalam rektum (rektal).
Cara parenteral adalah cara pemberian obat di luar saluran cerna. Cara ini meliputi antara
lain pemberian dengan mengoleskan obat pada kulit (topikal), penyuntikan (injeksi) dan penempatan
obat melalui paru (inhalasi). Jika dikaitkan dengan sistem vaskuler, pemberian obat dapat
diklasifikasikan ke dalam cara intravaskuler yaitu menempatkan obat langsung ke dalam aliran
darah misalnya cara intravenus (iv) dan cara ekstravaskular misalnya cara oral dan cara
intramuskular (im).
Efek obat jika dikaitkan dengan sistem vaskuler, dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
efek lokal dan efek sistemik. Efek lokal ialah efek yang timbul tanpa memerlukan intervensi sistem
vaskuler untuk menghantarkan obat mencapai tempat kerjanya. Sebaliknya efek sistemik ialah efek
yang timbul setelah obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan didistribusikan oleh darah menuju
tempat kerjanya.

11

1. Cara Enteral
Cara pemberian obat secara enteral yang paling sering digunakan dalam pengobatan adalah
cara oral.
A. Cara oral
Sebagian besar obat yang ditujukan untuk mendapatkan efek sistemik diberikan secara
oral, hanya sebagian kecil saja obat yang diberikan secara oral itu ditujukan untuk bekerja
dalam saluran cerna seperti obat cacing dan antasida. Kerja obat golongan ini tidak
memerlukan absorpsi dari saluran cerna.
Absorpsi obat yang diberikan secara oral dapat terjadi dalam lambung dan usus
tergantung dari sifat obatnya. Dalam hal ini usus halus mempunyai peranan yang sangat
penting karena usus halus mempunyai permukaan absorpsi yang sangat luas karena adanya
villi dan di dalam usus halus tersedia banyak mekanisme absorpsi.
Perjalanan obat yang diberikan secara oral untuk tujuan sistemik digambarkan sebagai
berikut :

[ v. portal ]

Obat

hati

[ v. hepatika ]

jantung

(dalam saluran
cerna)
ke seluruh tubuh

Dinding usus

Di dalam saluran cerna seperti dinding usus atau hati, obat tertentu (mis. Testoteron)
dapat mengalami perusakan menjadi senyawa lain yang aktivitas farmakologinya lebih
lemah. Perubahan yang dialami obat dalam saluran cerna ini dapat disebabkan oleh pengaruh
pH lingkungan, enzim pencernaan dan flora usus.
Pemberian obat secara oral lebih disukai pasien daripada cara lain karena relatif aman,
praktis dan ekonomis. Namun perlu diingat bawa cara peroral juga mempunyai kelemahan
sebagai berikut :
1)

Timbulnya efek obat lambat.

2)

Cara oral ini tidak memberikan manfaat bagi pasien yang sering muntah, menderita
diare, tidak sadar atau tidak kooperatif (misalnya penderita sakit jiwa).

3)

Untuk obat obat yang bersifat iritatif dan rasanya tidak enak jangan diberikan secara
oral.

4)

Pemberian secara oral ini tidak memberikan manfaat jika obat yang diberikan itu
mengalami peruraian oleh cairan lambung atau usus (misalnya penisilin G dan

12

insulin) yang akan mengalami perubahan secara intensif menjadi bentuk inaktif
sebelum mencapai sirkulasi sistemik.
Absorpsi obat yang diberikan secara oral dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain :
a.

Kecepatan Disolusi
Jika obat diberikan secara oral dalam bentuk sediaan padat seperti tablet,
kecepatan absorpsinya seringkali dikendalikan oleh kecepatan pelarutan obat (disolusi)
dalam cairan tempat absorpsi. Dengan kata lain, kecepatan disolusi merupakan faktor
pembatas kecepatan absorpsi. Kecepatan disolusi antara lain dipengaruhi oleh luas
permukaan obat yang melarut.

b.

Ukuran Partikel
Obat obat yang sukar larut dalam air dapat disebabkan oleh ukuran partikel
sehingga mempengaruhi absorpsinya. Jadi suatu tablet yang mengandung senyawa
aktif dalam bentuk agregat besar tidak mudah melarut dalam cairan pada tempat
absorpsi, akibatnya jumlah obat yang diabsorpsi sangat sedikit. Ukuran partikel yang
kecil sangat penting pada absorpsi obat kortikosteroida, antibiotika seperti
kloramfenikol, griseofulvin, antikoagulan oral tertentu, tolbutamid dan spironolakton.

c.

Kelarutan Dalam Lipid atau Air


Cairan absorpsi sebagian besar terdiri dari air, sedangkan membran sel bersifat
lipoid. Agar dapat diabsorpsi obat harus dapat larut dalam air maupun lipid. Sifat ini
sering dinyatakan dengan koefisien partisi (lipid/air). Namun demikian, koefisien
partisi yang besar belum menjamin absorpsinya, karena untuk dapat diabsorpsi obat
harus dapat larut dalam air dengan jumlah tertentu. Bagi obat obat yang tidak larut
dalam air seperti vitamin vitamin yang larut dalam lipid, garam empedu dapat
membantu absorpsinya dengan jalan membentuk emulsi.

d.

Kadar
Semakin tinggi kadar obat pada tempat absorpsi, semakin besar gradien kadar.
Hal ini mengakibatkan semakin cepatnya absorpsi.

e.

Luas Permukaan Absorpsi


Obat lebih mudah diabsorpsi dari usus halus daripada dalam lambung karena
permukaan absorpsi usus halus lebih luas daripada lambung. Berkurangnya luas
permukaan absorpsi ini dapat terjadi karena operasi atau pada sprue.

f.

Ionisasi
Kebanyakan obat pada umumnya berupa elektrolit lemah. Oleh karena itu
derajat ionisasi dipengaruhi oleh pH lingkungan. Dalam larutan, obat berada dalam dua
13

bentuk yaitu bentuk terion yang mudah larut dalam air tetapi kurang larut dalam lipid
dan bentuk tak terion yang lebih mudah larut dalam lipid daripada dalam air. Bentuk
tak terion lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk terion.
Obat obat yang bersifat asam lemah dalam lambung lebih banyak berbentuk
tak terion daripada dalam usus yang bersifat basa. Obat obat yang bersifat asam
lemah tersebut lebih mudah diabsorpsi di dalam lambung daripada dalam usus.
Sebaliknya obat obat yang bersifat basa lemah tidak (atau sangat sedikit) diabsorpsi
sampai obat itu mencapai usus.
Obat obat seperti streptomisin, neomisin dan sulfaguanidin bersifat basa kuat.
Di dalam usus kadar bentuk tak terionnya sangat rendah. Oleh karena itu absorpsi
obat obat tersebut dari saluran cerna sangat buruk. Hal yang sama juga bagi
obat obat yang bersifat asam kuat.
Dari uraian di atas faktor faktor yang menyebabkan perubahan pH lingkungan
cerna dapat mempengaruhi absorpsi obat.
g.

Kecepatan Aliran Darah


Aliran darah pada daerah sekitar tempat absorpsi berfungsi mengambil obat
yang terabsorpsi dan selanjutnya didistribusikan. Dengan demikian aliran darah
membantu mempertahankan gradien kadar sehingga absorpsi dapat berlangsung terus.
Semakin cepat aliran darah semakin cepat absorpsinya.

h.

Bentuk Sediaan
Secara umum urutan kecepatan absorpsi obat dari berbagai sediaan dinyatakan
sebagai berikut :
larutan > suspensi > kapsul > tablet > tablet salut

i.

Integritas Fungsional Saluran Cerna


Meningkatnya aktivitas peristaltik saluran cerna seperti pada diare dapat
mengurangi absorpsi obat. Hal ini disebabkan waktu kontak obat dengan tempat
absorpsi terlalu singkat. Obat obat antikolinergik misalnya propantelin, yang
mengurangi kecepatan pengosongan lambung dapat menurunkan absorpsi parasetamol
(asam lemah dengan pKa = 9,5), sebaliknya metoklorpramid yang mempercepat
pengosongan lambung meningkatkan absorpsinya.

j.

Pengaruh Makanan
Banyak obat yang absorpsinya lambat jika diberikan bersama makanan.
Peristiwa ini terutama disebabkan efek penghambatan pengosongan lambung oleh
makanan. Pengaruh makanan terhadap absorpsi obat ini tergantung pada volume,
viskositas isi lambung serta tonisitasnya. Absorpsi lebih cepat jika obat diberikan
14

sebelum makan, tetapi obat obat iritan seperti asam salisilat dan garam besi sengaja
diberikan setelah makan untuk memperkecil atau menghindari kemungkinan iritasi
lambung.
k.

Pengaruh Obat Lain


Vitamin C dapat meningkatkan absorpsi besi dari saluran cerna, sedangkan fitat
mencegahnya. Absorpsi vitamin vitamin yang larut dalam lipid akan menurun jika
diberikan bersama parafin cair, dan absorpsi kolesterol dikurangi oleh sitosterol.
Kalsium yang terdapat dalam susu dapat membentuk kompleks yang tidak larut dengan
antibiotika golongan tetrasiklin dan berakibat mengurangi absorpsi antibiotika yang
bersangkutan.

B. Cara sublingual
Melalui cara ini, obat diletakkan di bawah lidah yang kaya akan pembuluh darah.
Keuntungan cara sublingual ini ialah obat dapat memberikan efek secara cepat, mencegah
kerusakan obat dalam saluran cerna dan biotransformasi dalam dinding usus serta hati dapat
dihindari karena obat yang terabsorpsi tidak melewati vena portal. Contoh obat yang
diberikan sublingual adalah nitrogliserin dan isosorbid dinitrat (ISDN) untuk mengobati
angina pektoris dan isoprenalin yang ditujukan untuk pengobatan asma bronkhial.
C. Cara rektal
Obat obat tertentu diberikan secara rektal yang biasanya dalam bentuk supositoria
dengan tujuan untuk pengobatan lokal (misalnya pengobatan wasir) atau efek sistemik.
Pemberian obat secara rektal dengan tujuan sistemik ini ditempuh jika pemberian secara oral
mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan karena obat bersifat iritatif terhadap
lambung, terurai di dalam lambung atau usus halus dan mengalami perubahan di dalam hati
(biotransformasi) sebelum masuk sirkulasi sistemik. Adapun obat obat yang diberikan
secara rektal untuk tujuan sistemik misalnya asetosal, parasetamol, indometasin, teofilin dan
golongan barbiturat tertentu.
Absorpsi obat menembus mukosa rektum pada umumnya secara difusi sederhana/pasif.
Adapun faktor faktor yang berpengaruh antara lain :
a.

Bentuk Sediaan
Absorpsi obat dari rektum umumnya lebih cepat dan efisien jika diberikan
dalam bentuk larutan daripada dalam bentuk supositoria.

b.

Materi Tinja
Adanya materi tinja dalam rektum menghambat absorpsi obat. Absorpsi lebih
cepat dan efisien jika dilakukan pembersihan dahulu dengan enema evakuan sebelum
pemberian obat.
15

c.

Basis Supositoria
Beberapa basis supositoria seperti carbowax bersifat iritatif terhadap rektum
dan memacu defekasi yang dapat mengakibatkan hilangnya obat.

d.

Pelepasan Obat
Lambatnya pelepasan obat dari basis akan menyebabkan rendahnya
bioavailabilitas obat dalam bentuk supositoria.

2. Cara Parenteral
Melalui cara ini, obat ditempatkan atau dimasukkan ke dalam bagian tubuh selain saluran
cerna. Secara umum cara ini mempunyai keuntungan yaitu :
1) Cara parenteral dapat digunakan untuk pasien yang tidak sadar, sering muntah, diare,
mengalami kesulitan dalam menelan dan pasien yang tidak kooperatif.
2) Cara parenteral dapat dipergunakan untuk obat obat yang mengiritasi lambung atau tidak
diabsorpsi dari saluran cerna.
3) Cara parenteral dapat menghindari kerusakan obat dalam saluran cerna dan hati (first pass
effect).
4) Obat yang diberikan secara parenteral dapat bekerja secara cepat dan ekonomis.
Cara parenteral agak berbahaya ini terutama suntikan karena dapat menyebabkan infeksi jika
dilakukan secara tidak benar.
A. Cara inhalasi
Pemberian obat secara inhalasi adalah cara pemberian dengan jalan memasukkan obat
ke dalam saluran nafas. Cara pemberian ini dapat digunakan untuk efek lokal atau sistemik.
Absorpsi obat melalui paru berlangsung cepat. Kadar obat (gas atau uap) dapat dikontrol
dengan mudah karena absorpsi dan ekskresi obat melalui paru tunduk pada hukum hukum
gas.
Obat yang terabsorpsi melalui paru langsung masuk ke dalam atrium kiri melalui vena
pulmonal, maka pemberian obat secara inhalasi bisa menyebabkan toksisitas jantung. Di
samping itu timbulnya iritasi lokal dapat meningkatkan sekresi saluran nafas.
Obat obat yang diberikan secara inhalasi dapat berupa gas, uap atau aerosol (yaitu
suspensi cairan atau zat padat dalam udara). Conroh obat yang diberikan secara inhalasi
adalah gas oksigen untuk menanggulangi anoksia, uap eter untuk anestesi, amilnitrit (uap)
untuk mengobati angina pektoris dan adrenalin (sebagai aerosol) untuk mengobati asma
(efek lokal).

16

B. Pemberian obat pada kulit


Obat obat yang diberikan dengan cara ini pada umumnya untuk efek lokal yaitu
mengobati gangguan pada kulit. Sediaan obat untuk tujuan efek lokal ini misalnya bedak
tabur, salep dan krim, cairan dan aerosol.
Sekarang dikembangkan juga transdermal therapeutic system atau teknik pemberian
obat pada kulit untuk tujuan terapi sistemik. Contoh obat dengan sediaan transdermal
misalnya skopolamin untuk mengobati mabuk perjalanan dan nitrogliserin untuk mencegah
angina.
Absorpsi obat melalui kulit (absorpsi perkutan) tergantung pada sifat fisikokimiawi
obat, kondisi kuli dan jenis bahan pembantu. Penghalang utama penetrasi obat menembus
kulit adalah stratum corneum yaitu lapisan sebelah luar epidermis yang mengandung zat
tanduk. Hilangnya lapisan ini akan meningkatkan absorpsi obat.
C. Secara suntikan (injeksi)
Pemberian obat dengan cara suntikan ditempuh bila obat tidak diabsorpsi dari saluran
cerna atau dibutuhkan kerja obat secara cepat misalnya pada situasi akut.
a.

Intradermal (dalam lapisan kulit)


Melalui cara ini, obat dimasukkan ke dalam lapisan kulit (dermis). Contoh
vaksin cacar dan vaksin BCG. Suntikan ini menimbulkan rasa sakit dan hanya
sejumlah kecil cairan dapat dimasukkan dengan cara ini. Cara intradermal ini juga
digunakan untuk uji sensitivitas.

b.

Subkutan/ s.k. (di bawah kulit)


Hanya obat yang bersifat tidak iritatif yang boleh diberikan secara subkutan.
Absorpsi obat yang diberikan subkutan lebih kecil jika dibandingkan dengan cara
intramuskuler. Hal ini disebabkan suplai darah dalam jaringan ini lebih sedikit
daripada dalam jaringan otot, namun demikian kerja obat yang diberikan dengan cara
ini bisa berlangsung terus menerus dan uniform. Absorpsi obat dari jaringan subkutan
dapat ditingkatkan dengan cara pemijatan, penghangatan untuk meningkatkan aliran
darah menuju tempat injeksi atau menambah enzim hialuronidase ke dalam larutan
obat. Enzim ini akan menguraikan asam hialuronat jaringan ikat sehingga penyebaran
obat menjadi lebih luas.
Absorpsi obat dapat diperlambat dengan penambahan suatu vasokontriktor
seperti epinefrin ke dalam larutan injeksi. Hal ini biasa dilakukan untuk memperlama
efek lokal obat misalnya prokain dan lidokain untuk anestesi lokal. Obat obat yang
diberikan dengan cara ini termasuk juga insulin dan hormon steroid (secara
implantasi).

17

c.

Intramuskuler/ i.m. (dalam jaringan otot)


Melalui cara ini, obat dimasukkan ke dalam jaringan otot dan bentuk
sediaannya dapat berupa larutan, suspensi atau koloid. Volume cairan yang diberikan
sebaiknya tidak melebihi 10 mL.
Kecepatan absorpsi obat yang diberikan secara intramuskuler bersifat uniform
dan onsetnya berlangsung cepat. Faktor faktor yang mempengaruhi kecepatan
absorpsi obat yang diberikan secara intramuskuler antara lain vaskularitas tempat
injeksi, derajat ionisasi dan kelarutan obat dalam lipid, volume larutan dan osmolalitas
larutan.
Tempat penyuntikan umumnya pada pantat (gluteus maximus), lengan bagian
atas (deltoid) dan paha (vastus lateralis).

d.

Intravenus/ i.v (dalam vena)


Obat obat yang langsung dimasukkan ke dalam vena (intravaskuler) bekerja
sangat cepat dan kadar yang dikehendaki dalam darah dapat dicapai dengan dosis yang
tepat. Cara ini berguna untuk memasukkan obat yang iritatif dan larutan hipertonik
karena darah dengan cepat mengencerkannya. Obat obat yang disuntikkan secara
intravenus harus berupa larutan jernih.
Cara ini harus dilakukan secara hati hati karena sekali obat masuk dalam
darah tidak dapat ditarik kembali. Iritasi lokal dapat menyebabkan trombosis dan jika
obat masuk ke dalam jaringan di luar vena dapat menimbulkan iritasi hebat misalnya
pada sediaan besi dan mustard nitrogen. Di samping lebih berbahaya, cara ini sukar
dilakukan oleh pasien sendiri.
Hal hal yang perlu diperhatikan pada pemberian obat secara intravenus :
1) Sebelum obat dimasukkan dicek lebih dahulu apakah ujung jarum benar benar
dalam vena.
2) Penyuntikan sekurang kurangnya dilakukan dalam waktu 1 menit, dan untuk
obat obat tertentu seperti sedian besi dan aminofilin lebih lama lagi. Penyuntikan
secara perlahan lahan dimaksudkan agar tidak terjadi kenaikan kadar yang
mendadak karena dapat membahayakan.

e.

Intra-arterial (dalam arteri)


Pemberian obat secara intra-arterial dapat menyebabkan kenaikan kadar yang
sangat mendadak dalam darah arteri, sehingga membahayakan jaringan yang darahnya
disuplai oleh arteri tersebut. Cara ini biasanya dipergunakan untuk tujuan diagnostik
misalnya angiogram. Obat kanker sering diberikan secara perfusi intra-arterial untuk
melokalisasi bahayanya.
18

f.

Intratekal
Obat yang diberikan secara intratekal misalnya anestetika spinal yang
dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid. Obat bekerja langsung pada sistem saraf
pusat. Sediaan obat yang diberikan dengan cara ini harus benar benar aseptik.

g.

Intraperitoneal (dalam rongga perut)


Pemberian obat ini diinjeksikan ke dalam rongga perut yang permukaan luas,
dari rongga ini obat diabsorpsi secara cepat.

h.

Intramedular (dalam sumsum tulang)


Cara intrameduler adalah cara memberikan obat ke dalam sumsum tulang. Cara
ini jarang dipergunakan dan hanya ditempuh jika memberikan secara intravenus tidak
mungkin dilakukan terutama pada bayi.

i.

Intra-artikuler (dalam persendian)


Obat obatan tertentu diberikan langsung ke dalam persendiaan untuk
pengobatan lokal. Cara ini menjamin kadar obat yang tinggi pada persendian. Obat
yang diberikan secara intra-artikuler misalnya hidrokortison asetat untuk mengobati
rematoid artritis.

19

V. DISTRIBUSI
Setelah diabsorpsi, obat disebarkan atau didistribusikan dalam tubuh melalui cairan tubuh. Cairan
tubuh inilah yang menghantarkan obat menuju tempat kerjanya. Cairan tubuh pada orang dewasa sehat
kurang lebih 60 % berat badan dengan komposisi sebagai berikut :
Cairan intraseluler (33 %
BB)
Cairan badan

Plasma (4,3 % BB)

(60 % BB)
Cairan ekstraseluler (26,
8 % BB)

Cairan interstisial (20 % BB)

Cairan trans-seluler (2,5 % BB)

Proses distribusi obat pada umumnya berlangsung cepat dan reversibel. Karena sifatnya yang
reversibel inilah maka perubahan kadar obat dalam darah mencerminkan perubahan kadar obat dalam
tempat kerjanya. Distribusi kebanyakan obat berlangsung secara difusi sederhana/pasif.
Kecepatan dan derajat distribusi obat tergantung pada faktor faktor sebagai berikut :
1) Sifat sifat fisikokimiawi obat terutama kelarutannya dalam lipid.
2) Distribusi regional aliran darah ke berbagai jaringan dan organ tubuh.
3) Pengikatan obat oleh protein dan konstituen tubuh lainnya.
4) Transport aktif beberapa obat menembus membran sel.
I.

Kadar Obat Dalam Darah


Dalam proses absorpsi, obat masuk dari tempat absorpsi ke dalam aliran darah. Kadar obat
dalam darah ini mempunyai arti penting dalam farmakokinetika. Kecepatan perubahan kadar obat
dalam darah tergantung pada kecepatan absorpsi, distribusi dan eliminasi (biotransformasi dan
ekskresi).

II.

Kecepatan Aliran Darah


Kecepatan aliran darah ke dalam jaringan dan organ mempunyai peranan penting dalam
proses farmakokinetik seperti absorpsi, distribusi dan eliminasi. Kecepatan aliran darah meningkat
pada kegiatan fisik seperti olah raga.

III. Hukum Distribusi


Tolok ukur distribusi obat adalah volume distribusi yang merupakan gambaran sejauh mana
obat terdistribusi dalam tubuh.

20

IV. Pengikatan Obat Oleh Material Hayati


Obat dapat mengalami pengikatan oleh material hayati terutama oleh protein di dalam darah
(albumin dan alfa 1-glikoprotein asam) dan jaringan. Pengikatan umumnya bersifat reversibel
(ikatan yang terlibat adalah ikatan lemah) dan tidak spesifik (banyak obat diikat oleh molekul
protein pada tempat yang sama).
Pengikatan obat oleh protein (material hayati) mempunyai arti penting yaitu antara lain :
1) Membantu kecepatan absorpsi obat, terutama obat obat yang terionisasi kuat dalam saluran
cerna.
2) Membantu pengangkutan obat dan senyawa endogen yang tidak larut dalam air.
3) Membantu meratakan penyebaran obat ke jaringan jaringan.
4) Membantu memperpanjang efek obat.
Sebagaimana telah diketahui plasma darah mengandung 73 % air, sedangkan sisanya (7 %)
terdiri dari berbagai senyawa terlarut terutama protein. Fraksi utama protein adalah albumin dengan
jumlah kurang lebih 5 % dari plasma. Protein tidak hanya terdapat dalam plasma, tetapi juga dalam
jaringan.
Albumin serum manusia mempunyai BM 67.500 dan tersusun dari 20 macam asam amino.
Jenis asam amino dan posisi relatifnya dalam molekul protein menentukan tempat pengikatan.
Dalam darah pada pH = 7,4; molekul albumin mengandung gugus gugus yang bermuatan positif
dan negatif pada permukaannya. Gugus gugus itu dapat mengikat ion ion yang muatannya
berlawanan dengan gaya elektrostatik. Obat obat asam terikat kuat oleh albumin, biasanya satu
atau dua ikatan pada setiap molekul albumin. Obat obat yang bersifat basa (bermuatan positif)
terikat pada banyak tempat pada molekul albumin dan ikatan ini bersifat lemah. Pengikatan obat
basa dan protein seringkali tidak mempunyai makna klinis.
Seperti telah dikemukan, disamping albumin terdapat juga fraksi plasma protein lainnya
yang dapat mengikat obat yaitu alfa 1-glikoprotein asam (AAG) yang dikenal juga sebagai
orosomukoid. Protein ini mempunyai BM 41.000 45.000 dan terdiri dari polimer linear asam
amino dengan rantai cabang karbohidrat. Kadar AAG dalam plasma biasanya 0,6 0,8 %. AAG
hanya mempunyai satu tempat pengikatan yang afinitasnya tinggi terhadap obat basa yang sangat
lipofilik. Obat obat yang dapat diikat oleh AAG misalnya adalah atenolol, klorpromazin,
diazepam, eritromisin, haloperidol, imipramin dan kuinidin.
Reaksi pengikatan obat oleh protein dapat digambarkan dengan persamaan berikut :
D
(Obat)

D-P

(Protein)

(Kompleks Obat Protein)

21

Jika dalam peristiwa pengikatan tersebut diatas diterapkan Aksi Massa, maka diperoleh :
K1

[DP]

Ka =

=
K2

[D] . [P]

K1 = tetapan kecepatan asosiasi ; K2 = tetapan kecepatan disosiasi ; Ka = tetapan asosiasi ;


[D] = kadar obat bebas ; [P] = kadar protein bebas ; [DP] = kadar kompleks obat protein

1. Afinitas Obat Terhadap Protein


Afinitas dinyatakan dengan tetapan asosiasi (Ka) yang merupakan rasio tetapan kecepatan
asosiasi (K1) dan tetapan disosiasi (K2). Semakin besar Ka, semakin tinggi afinitas dan semakin
erat pula ikatan antara obat dan protein.
Dalam praktek, afinitas obat terhadap protein dinyatakan dengan fraksi atau persentase obat
yang terikat oleh protein pada kondisi terapetik.
[DP]

[DP]

fb =

atau

fb =

[D]T

[D] + [DP]
% obat terikat = fb x 100 %

fb = fraksi obat yang terikat protein ; [D]T = kadar obat total

Karena pengikatan bersifat reversibel, maka obat yang terikat pada protein dapat didesak
oleh obat atau senyawa lain yang afinitasnya terhadap protein lebih kuat.
Apabila kadar protein dalam darah menurun misalnya terjadi pada albumin (hipoalbuminemia),
maka jumlah obat yang terikat berkurang. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kadar obat
bebas. Berkurangnya kadar protein dalam plasma dijumpai misalnya pada :
Keadaan

Mekanisme

Penyakit hati

Menurunnya sintesis protein

Trauma

Meningkatnya katabolisme protein

Luka Bakar

Distribusi albumin ke dalam ruang ekstravaskuler

Penyakit Ginjal

Eliminasi protein yang berlebihan

Disamping menurunnya kadar protein dalam darah, berkurangnya kemampuan albumin


mengikat obat dapat disebabkan oleh perubahan molekul albumin, adanya inhibitor endogen
misalnya asam lemak bebas dan asidosis metabolik.
Obat yang terikat pada protein dapat didesak dari ikatannya oleh obat atau senyawa lain yang
lebih kuat afinitasnya terhadap protein.

22

2. Jumlah Tempat Pengikatan


Semakin banyak tempat pengikatan pada molekul protein, semakin banyak obat yang dapat
diikat.
D(n)

D(n) P

Pada umumnya satu molekul protein dapat mengikat satu atau dua molekul obat.
3. Kadar Protein
Meningkatnya kadar protein menaikkan pula jumlah tempat pengikatan yang tersedia untuk
mengikat obat. Pada kadar obat tetap, jumlah obat yang terikat ditentukan oleh kadar protein.
Jika kadar protein meningkat, maka meningkat pula jumlah obat yang diikat oleh protein. Pada
saat eliminasi, peningkatan kadar protein tidak lagi berpengaruh terhadap jumlah obat yang
diikat.
4. Kadar Obat
Pada kadar protein tetap, peningkatan kadar obat akan menurunkan fraksi obat yang terikat.
Pada beberapa penyakit misalnya tumor ganas, mialgia, neurosis, psikosis, schizoperenia dan
paranoia dijumpai hiperalbuminemia.
Pengikatan obat oleh material hayati berpengaruh terhadap volume distribusi (Vd) obat.
Semakin banyak obat terikat oleh protein plasma, maka semakin kecil volume distribusinya.
Sebaliknya semakin banyak obat terikat oleh protein (material hayati) jaringan, semakin besar
Vd-nya.
V.

Pendesakan
Seperti telah dikemukan, pengikatan obat oleh material hayati pada umumnya bersifat tidak
spesifik dan reversibel. Oleh karena itu, obat yang terikat pada protein dapat didesak oleh obat lain
yang afinitasnya terhadap protein lebih kuat daripada afinitas obat yang terikat.

VI. Penyimpanan Obat Dalam Jaringan


Suatu obat atau senyawa dapat disimpan dalam jaringan khusus. Penyimpanan ini bersifat
reversibel. Banyaknya obat yang tersimpan ini tergantung pada afinitas konstituen sel dari jaringan
terhadap obat dan suplai darah menuju jaringan. Heparin misalnya, disimpan dalam hati dan 4 jam
setelah pemberian, kadar obat itu mencapai kurang lebih 200 kali kadarnya di dalam. Vitamin B 12
juga disimpan dalam hati. Iodium diambil dari darah oleh kelenjar gondok, kemudian disimpan
sebagai hormon tiroid. Jaringan lemak dapat menyimpan obat obat yang sangat larut di dalam
lipid, misalnya obat turunan barbiturat. Obat ini nantinya akan dilepaskan kembali secara perlahan
lahan.

23

VII. Perpindahan Obat Menembus Plasenta


Perpindahan obat menembus plasenta terutama terjad secara difusi sederhana. Kelarutan
dalam lipid, pKa dan pengikatan oleh protein baik dalam badan induk (ibu) dan janin merupakan
faktor penentu kecepatan dan banyaknya obat yang ditransfer ke dalam janin. Obat obat yang
dapat menembus plasenta meliputi hampir semua antibiotika, anestetika, glikosida jantung,
kortikosteroid, simpatomimetika, sulfonamida dan pada umumnya obat. Disamping secara difusi
sederhana, senyawa senyawa endogen termasuk vitamin B, asam amino, ion anorganik dan
senyawa turunan pirimidin dapat menembus plasenta secara transport aktif.
Pemberian obat kepada wanita hamil perlu perhatian khusus karena obat yang diberikan itu
dapat mempengaruhi perkembangan janin yang dikandungnya. Tentang derajat pengaruh obat
terhadap janin ditentukan jenis obat, dosis dan waktu pemberian. Pemberian obat kepada wanita
hamil dalam trimester pertama dapat mempengaruhi perkembangan organ organ janin. Seperti
diketahui, trimester pertama adalah masa pembentukan organ atau organogenesis. Contoh klasik
ialah tragedi talidomid yang terjadi dalam tahun 1960. Obat tersebut diperkenalkan sebagai obat
penenang dan hipnotika. Kemudian diketahui bahwa wanita wanita yang menggunakan talidomid
semasa kehamilannya melahirkan bayi dengan anggota badan yang tidak sempurna.
Pemberian hormon adrogen mengakibatkan maskulinisasi janin wanita. Penggunaan tetrasiklin yang
berlebihan pada masa kehamilan dapat mengganggu perkembangan tulang janin dan menyebabkan
perwarnaan kuning/coklat pada gigi. Peristiwa ini terjadi karena tetrasiklin dideposisi pada tulang.
Jika pemberian obat dalam trimester pertama menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan
perkembangan organ, maka pemberian obat pada trimester terakhir dapat mengganggu fungsi vital
fetus. Pemberian morfin selama melahirkan dapat menyebabkan asfiksia. Antikoagulan
mengakibatkan perdarahan fatal pada bayi yang baru lahir (neonatus) dan radioiodin (131I)
menyebabkan kretinisme. Obat obat antitiroid menyebakan timbulnya gondok. Pemberian
obat obat sulfonilurea dapat menyebabkan hipoglikemia dan kematian intrauterin.
VIII. Distribusi Obat Ke Dalam Sistem Saraf Pusat (SSP)
Otak merupakan organ yang sangat sulit dimasuki obat, antara lain karena di dalam otak ada
semacam penghalang yang dikenal sebagai blood brain barrier (BBB). Penghalang ini sebenarnya
selubung pembuluh darah yang berasal dari perpanjangan sel khusus di dalam otak yang disebut
lastrosit. Sehingga untuk dapat meninggalkan darah, obat harus menembus dinding kapiler dan
BBB. Obat obat yang tidak dapat masuk ke dalam otak misalnya sulfonamida, ganetidin dan
debrisokuin. Sebaliknya obat obat yang sangat larut dalam lipid seperti alkohol, barbiturat dan
anestetika umum, dengan mudah menembus penghalang untuk masuk ke dalam otak dan
menimbulkan efek. Glukosa yang sangat sukar larut dalam lipid dapat masuk ke dalam otak melalui
transport aktif.

24

IX. Redistribusi
Tiopental adalah anestetik yang bekerja cepat namun durasinya sangat pendek. Jika
diberikan secara intravena maka pasien akan cepat tertidur dan setelah lebih 10 menit pasien itu
akan sadar kembali. Pada awalnya, durasi efek yang sangat pendek ini diduga karena tiopental
mengalami perubahan yang sangat cepat, namun kemudian diketahui bahwa biotransformasinya
sangat lambat, hanya 10 - 15 % obat diubah menjadi metabolit yang inaktif dalam waktu satu jam.
Hal ini berarti bahwa dalam 10 menit sebagian besar obat masih berada dalam badan sebagai
tiopental. Kemudian diketahui bahwa durasi efek tiopental yang sangat pendek tersebut bukan
karena obat mengalami biotransformasi secara intensif tetapi karena terjadinya redistribusi yaitu
perpindahan obat dari tempat kerjanya (otak) ke dalam otot, kulit dan jaringan lemak.

25

VI. BIOTRANSFORMASI DAN METABOLISME


I.

Definisi dan Pengertian Biotransformasi


Sudah diketahui sejak lama bahwa substansi kimiawi dapat merubah/mempengaruhi fungsi
fisiologis normal tubuh hewan dan manusia (Claude Bernard, 1763 1855). Namun baru
belakangan diketahui pula bahwa kontak dengan materi biologis dapat mempengaruhi struktur
substansi kimiawi tersebut.
Biotransformasi atau metabolisme obat secara sederhana didefinisikan sebagai perubahan
yang dialami senyawa kimia karena aktivitas materi biologis (enzim) atau dengan kata lain proses
perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim.

II.

Peran Metabolisme Terhadap Nasib Obat Dalam Badan


1. Molekul metabolit menjadi lebih polar daripada molekul obat induknya
Metabolit pada umumnya cenderung lebih mudah terionisasi pada pH fisiologis, dengan
demikian metabolit lebih mudah diekskresikan oleh ginjal atau ke dalam empedu. Pada proses
ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang
larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresikan melalui ginjal. Obat obat atau molekul
yang mudah larut dalam lipid akan direabsorpsi kembali.
Biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat, yang pada umumnya obat
menjadi inaktif. Tetapi ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif atau lebih toksik. Ada
obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini.
Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga
kerjanya berakhir.
2. Metabolisme akan merubah aktivitas biologis obat
Metabolisme tidak selalu berarti detoksifikasi, sebab beberapa metabolit obat justru bersifat
lebih toksik dari senyawa induknya. Walaupun metabolisme sering dianggap sebagai upaya
tubuh mengakhiri aksi obat, tetapi tidak selalu terjadi demikian karena ada beberapa obat yang
metabolitnya menunjukkan aktifitas farmakologik lebih besar daripada molekul obatnya.
Sebagai contoh :
imipramin

desmetil imipramin
(lebih aktif)

metil dopa

metil norepinefrin
(lebih aktif sebagai adrenergik)

prontosil rubrum
(zat warna azo)

sulfanilamida
(anti bakteri)

3. Jalur metabolisme
Dikenal dua fase/tahap reaksi metabolisme yaitu fase non sintetik atau fase I
(fungsionalisasi) dan fase sintetik atau fase II (konjugasi). Tidak semua obat dimetabolisme
26

melalui kedua fase reaksi tersebut; ada obat yang mengalami reaksi fase I saja (satu atau
beberapa macam reaksi) atau reaksi fase II saja (satu atau beberapa macam reaksi). Tetapi
kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi
beberapa macam metabolit.
A. Fase non sintetik (fase I)
Terdiri dari reaksi reaksi :
1. Oksidasi Mikrosomal
Antara lain terdiri dari oksidasi rantai samping, hidroksilasi aromatik, N
oksidasi, sulfoksidasi, N dealkilasi, O dealkilasi, S dealkilasi, deaminasi
dan desulfurasi.
2. Oksidasi Nonmikrosomal
Antara lain terdiri dari oksidasi alkohol, aromatisasi.
3. Reduksi
Antara lain terdiri dari nitroreduksi, azoreduksi (disertai hidrolisis) dan
dehidrogenasi alkohol.
4. Hidrolisis
Reaksi metabolisme fase I ini melibatkan sistem enzim mikrosomal yang disebut juga
sistem mixed function oxidase (MFO). Sistem ini sering disebut juga sistem monooksigenase
yang berdasarkan letaknya dalam sel terdapat dalam retikulum endoplasma halus. Enzim
metabolisme ini terbagi menjadi enzim mikrosom dan nonmikrosom, terutama terdapat
dalam sel hati, tetapi juga terdapat dalam sel jaringan lain seperti paru, ginjal, epitel saluran
cerna dan plasma. Sistem enzim mikrosomal merupakan sistem enzim yang sangat
kompleks. Terdiri dari berbagai macam enzim yang reaksinya selalu terkait (coupled) satu
dengan yang lainnya. Komponen utama yang mempunyai peran sentral dari sistem MFO ini
adalah sitokrom P 450. Sistem enzim ini mempunyai substrat yang sangat bervariasi.
Ternyata sitokrom P 450 terdiri dari banyak isozim, yang satu dengan lainnya
mempunyai

perbedaan dalam

berat

molekul

(BM),

urutan asam

amino,

sifat

immunokimianya serta berbeda spesifisitas substratnya. Karena substrat yang begitu


bervariasi pula maka sistem enzim ini disebut oksidase fungsi campur atau MFO.
Sistem ini bisa diinduksi oleh berbagai senyawa induktor. Berbagai macam induktor
telah dibuktikan mampu meningkatkan kadar sitokrom P 450 yang akan meningkatkan laju
reaksi metabolisme suatu obat. Contoh beberapa induktor adalah :
a. Fenobarbital dan turunan barbiturat pada umumnya.
b. Metilkolantren dan senyawa hidrokarbon aromatik pada umumnya.
27

c. Beberapa antibiotik seperti eritromisin, rifampisin, troleandomisin


d. Obat obat anti epilepsi seperti fenitoin, karbamazepin.
e. Antidepresan trisiklik dan benzodiazepin seperti amitriptilin, domipramin,
diazepam dan lorazepam.
f. Hormon steroid sintetik seperti prednisolon.
g. Antidiabetika oral.
Banyaknya jenis induktor ternyata tidak menunjukkan kapasitas induksi yang sama terhadap
tiap isozim sitokrom P 450. Perlu perhatian khusus terhadap obat obat induktor tersebut
karena bila digunakan bersama obat obat lain akan mempengaruhi laju obat lain tersebut.
Sistem enzim monooksigenase ini juga dapat dihambat oleh beberapa inhibitor seperti
metirapon, simetidin, ranitidin, propanolol, debrisoquin, tetrahidrofuran, penformin, dll.
Yang perlu diperhatikan bahwa di antara inhibitor tersebut juga bersifat induktor enzim. Hal
ini bisa terjadi karena memang isozim yang dipengaruhi berbeda.
B. Fase sintetik (fase II)
Metabolisme obat fase sintetik sering juga disebut reaksi konjugasi atau metabolisme
fase II. Jalur metabolisme fase sintetik ini terdiri dari reaksi glukuronidasi, sulfatasi, reaksi
pembentukan merkapturat/konjugasi dengan glutation, reaksi pembentukan amida (asetilasi
dan konjugasi dengan glisin) dan reaksi metilasi. Umumnya enzim enzim yang berperan di
dalam reaksi konjugasi terdapat di dalam fraksi sitosolik, kecuali untuk enzim transferase
glukuronil yang berada di fraksi mikrosomal. Oleh sebab itu reaksi konjugasi umumnya juga
berlangsung di dalam sitosol.

28

VII. EKSKRESI
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil
biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresikan lebih cepat daripada
obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Seperti halnya biotransformasi, ekskresi suatu obat
dan metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat
terjadi bergantung kepada sifat fisikokimia yaitu bobot molekul (BM), harga pKa, kelarutan, tekanan uap
dari senyawa yang diekskresi melalui :
-

ginjal (dengan urin)

empedu dan usus (dengan feses)

paru paru (dengan ekspirasi udara)

Ekskresi obat melalui kulit dan turunannya tidak begitu penting. Tetapi pada ibu yang menyusui,
eliminasi obat dan metabolitnya dalam air susu dapat menyebabkan intoksikasi yang membahayakan pada
bayi.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi di sini merupakan resultan dari 3
proses, yakni :
1. filtrasi di glomerulus,
2. sekresi aktif di tubuli proksimal, dan
3. reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler yang dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari
albumin melalui celah antarsel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma
mengalami filtrasi di sana. Di tubuli proksimal, asam organik (penisilin, probenesid, salisilat, konyugat
glukuronid dan asam urat) disekresi aktif melalui sistem transport untuk asam organik; dan basa organik
(neostigmin, kolin, histamin) disekresi aktif melalui sistem transport untuk basa organik. Kedua sistem
transport tersebut relatif tidak selektif sehingga terjadi kompetisi antar asam organik dan antar basa
organik dalam sistem transportnya masing masing. Untuk zat zat endogen misalnya asam urat, sistem
transport ini dapat berlangsung dua arah, artinya terjadi sekresi dan reabsorpsi.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk non ion. Oleh karena itu,
untuk beberapa obat elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang
menetukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih basa, maka asam lemah terionisasi lebih banyak, sehingga
reabsorpsinya berkurang yang akibatnya ekskresi meningkat. Sebaliknya, bila urin lebih asam, ekskresi
asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. Prinsip ini
digunakan untuk mengobati keracunan obat, yang diekskresinya dipercepat dengan pembasaan atau
pengasaman urin, misalnya salisilat dan fenobarbital.

29

Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal, sehingga dosis perlu
diturunkan (penyesuaian dosis) atau interval pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan
patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Banyak metabolit obat yang terbentuk di hati diekskresikan ke dalam usus melalui empedu,
kemudian dibuang melalui feses, tetapi lebih sering diserap kembali di saluran cerna dan akhirnya
diekskresi melalui ginjal. Ada 3 sistem transport ke dalam empedu, tetapi kesemuanya bekerja dengan
mekanisme transport aktif, yaitu masing masing untuk asam organik termasuk glukuronid, basa organik
dan zat netral misalnya steroid. Telah disebutkan bahwa konyugat glukuronid akan mengalami sirkulasi
enterohepatik.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur (saliva), air mata, air susu dan rambut, tetapi
dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat
digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan
untuk menemukan logam toksik misalnya arsen.

30

VIII. INTERAKSI OBAT DAN RESEPTOR


Istilah reseptor dalam fisiologi hampir selalu dikaitkan dengan proses komunikasi, baik
komunikasi antar sel maupun komunikasi antara organisme dan lingkungan luarnya. Seperti telah
diketahui bahwa komunikasi antar sel bagi organisme multiseluler mempunyai peranan penting yaitu
mengatur perkembangan dan organisasi dalam jaringan, mengontrol pertumbuhan dan pembelahan sel,
serta mengkoordinasikan berbagai kegiatan kehidupan. Adapun komunikasi antara organisme dengan
lingkungan sekelilingnya berfungsi untuk mendeteksi perubahan yang terjadi di luar organisme itu. Dalam
hubungannya dengan proses komunikasi ini, reseptor merupakan alat yang berfungsi menerima rangsang
(stimulus) dan kemudian meneruskan langsung atau tidak langsung kepada efektor yaitu suatu struktur
yang bertugas menanggapi rangsang. Berdasarkan atas jenis stimulusnya, reseptor dapat dibedakan
menjadi mekanoreseptor (reseptor pada kulit), fotoreseptor (reseptor pada mata) dan khemoreseptor
(reseptor pada lidah).
I.

Konsep Reseptor
Konsep tentang adanya reseptor untuk obat, hormon dan neurotransmitter pertama kali
muncul pada permulaan abad XX. Konsep reseptor tersebut berkembang dengan pesat oleh adanya
tiga sifat kerja obat yang sangat karakteristik yaitu :
1. Potensi tinggi
Obat umumnya bekerja pada kadar 10 -8 M, bahkan ada obat yang dapat menimbulkan efek pada
kadar lebih rendah.
2. Spesifikasi kimiawi
Stereoisomer suatu obat mempunyai aktivitas biologik yang tidak sama. Sebagai contoh,
kloramfenikol, antibiotika ini mempunyai 4 stereoisomer, namun hanya satu yaitu stereoisomer
yang bersifat antibakteri.
3. Spesifisitas biologik
Aktivitas obat pada suatu jaringan bisa berbeda pada jaringan lain. Misalnya epinefrin
menunjukkan efek yang sangat kuat pada otot jantung, namun sangat lemah aktivitasnya pada
otot lurik.
Yang dimaksud dengan reseptor obat (atau reseptor farmakologik, dan selanjutnya disebut
reseptor saja) adalah komponen spesifik sel yang dapat berinteraksi dengan obat dan hasil interaksi
ini menimbulkan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang pada akhirnya menghasilkan efek atau
respon. Kata obat dalam hal ini mencakup juga hormon dan neurotransmitter.
Obat yang dapat menghasilkan efek setelah berinteraksi dengan reseptor dinamakan agonis,
sedangkan obat yang dapat berinteraksi dengan reseptor tanpa diikuti timbulnya efek disebut
antagonis. Istilah antagonis ini dipergunakan karena interaksi antagonis dan reseptor dapat
mengganggu interaksi agonis dan reseptornya dalam menimbulkan efek. Perlu juga dikemukan di
31

sini, bahwa antagonis dalam farmakologi, istilah antagonis secara umum berarti tiap zat yang dapat
mengurangi atau meniadakan efek obat lain tanpa memperhatikan cara kerjanya.
II.

Sifat dan Fungsi Fisiologik


Dari data analisis fisikokimiawi menunjukkan bahwa reseptor merupakan makromolekul
yang dapat berupa lipoprotein, glikoprotein, lipid, protein atau asam nukleat. Reseptor reseptor
tersebut merupakan komponen fungsional membran plasma dan hanya sebagian kecil yang berlokasi
di dalam sel. Reseptor yang terletak pada permukaan sel meliputi reseptor untuk neurotransmiter,
hormon peptida (misal insulin). Sedangkan reseptor yang terdapat di dalam sel (reseptor
intraseluler) misalnya reseptor untuk hormon steroid.
Reseptor berfungsi untuk menerima rangsang (stimulus) dengan mengikat senyawa endogen
(obat) yang sesuai, kemudian menyampaikan informasi yang diterima itu ke dalam sel dengan
langsung menimbulkan efek seluler melalui perubahan permeabilitas membran (misal reseptor
nikotinik), pembentukan second messenger (misal CAMP pada kerja reseptor adrenergik beta)
atau mempengaruhi transkripsi DNA (misal reseptor estrogenik). Di samping sebagai alat
komunikasi, reseptor juga dapat berfungsi sebagai enzim dan asam nukleat.

III. Interaksi Obat Reseptor


Interaksi obat reseptor terjadi secara reversibel. Ikatan ikatan yang terlibat dalam
interaksi ini pada umumnya berupa ikatan lemah. Interaksi obat reseptor digambarkan sebagai
berikut :
K1
nD
(obat)

R
(reseptor)

K2

DnR
(kompleks obat reseptor)

Fraksi reseptor yang diduduki obat dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
[D]n

[DnR]
r =

=
[R]T

[D]n + KD

= fraksi reseptor yang diduduki obat

[D]

= kadar obat bebas

[DnR] = kadar kompleks obat reseptor atau reseptor yang diduduki obat
[R]T

= kadar total reseptor = [R] + [DnR]

[R]

= kadar reseptor bebas

KD

= K2/ K1 = tetapan disosiasi kompleks obat reseptor

Apabila n = 1 (pada umumnya dianggap demikian), maka :


[D]
r =
[D] + KD
Karena [R]T <<< [D], maka [D] bebas dianggap sama dengan [D] awal.
32

V.

Hubungan Interaksi Obat Reseptor dengan Efek.


Ada dua teori utama :
1. Teori Okupasi (pendudukan) yang menyatakan bahwa efek atau respon merupakan fungsi
pendudukan.
Teori ini dikemukakan oleh Clark yang menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan oleh obat
(agonis) berbanding lurus dengan pendudukan reseptor dan efek maksimum terjadi jika semua
reseptor diduduki agonis.
D

DR

[DR]
r

E
(efek)

ED
=

[R]T

ED (maks)

atau
ED (maks) . [D]
ED =
[D] + KD
ED
ED (maks)

= efek
= efek maksimum

Asumsi yang melatarbelakangi persamaan tersebut di atas adalah :


a. Pada saat pengikatan setiap reseptor oleh molekul obat menimbulkan stimulus dan peristiwa
ini bersifat semua atau tidak.
b. Stimulus akhir merupakan jumlah stimulus individual.
c. Stimulus mencapai maksimum jika semua reseptor telah diduduki obat.
d. Efek berbanding lurus dengan jumlah stimuli.
e. Kompleks obat reseptor terbentuk dengan cara yang cepat dan dengan ikatan kimia yang
reversibel.
f. Pendudukan satu reseptor tidak mempengaruhi kecenderungan reseptor lain untuk diduduki.
2. Teori Laju yang mengemukan bahwa respon merupakan fungsi kecepatan pendudukan reseptor
oleh agonis.
Teori Okupasi (Clark) telah banyak berhasil dalam menjelaskan peristiwa hubungan antara
dosis efek dengan memuaskan, namun tidak pada beberapa kasus. Sebagai contoh,
menurunnya intensitas efek maupun kadar agonis tetap. Kenyataan itu mendorong Raton
mengemukakan Teori Laju. Dalam teori ini dinyatakan bahwa efek farmakologik suatu obat
sebanding dengan laju pembentukan kompleks obat reseptor. Menurut teori ini, agonis
mempunyai tetapan kecepatan disosiasi (K2) yang lebih besar daripada tetapan kecepatan
asosiasi (K1), sebaliknya antagonis mempunyai K2 yang lebih besar daripada K1.
33

V.

Afinitas dan Aktivitas Intrisik


Untuk dapat menimbulkan efek, obat harus mempunyai afinitas terhadap reseptor, aktivitas
intrinsik dan atau efikasi.
Afinitas adalah kemampuan obat untuk berikatan dan membentuk kompleks dengan
reseptor. Kemampuan ini dinyatakan dengan tetapan asosiasi yaitu tetapan yang harganya sama
dengan 1/Kd atau K1/K2. Jika hubungan antara pendudukan reseptor dan efek berlangsung linier,
maka :
KD = [D]50
[D]50 adalah kadar atau dosis obat yang menghasilkan efek sebesar 50 % efek maksimum. KD, yang
dihitung dengan cara tersebut di atas sering kali disebut tetapan disosiasi semu, karena kadar obat
terhadap reseptor tidak diketahui.
Dalam farmakologi, afinitas obat terhadap reseptor sering kali dinyatakan dengan pD2 yang dapat
dirumuskan :
pD2

= - log KD = - log [D]50

Semakin besar pD2, semakin kuat afinitas suatu obat terhadap reseptornya.
Di samping sebagai ukuran afinitas, pD2 sering juga dipergunakan untuk membandingkan
sensitivitas jaringan (reseptor) terhadap obat (agonis), atau membandingkan potensi obat terhadap
reseptornya dalam menghasilkan efek. Senakin besar pD2, semakin sensitif suatu jaringan terhadap
obat, demikian juga potensinya.
Syarat kedua yang harus dimiliki obat agar dapat menimbulkan efek ialah aktivitas intrinsik.
Parameter aktivitas intrinsik merupakan tetapan perbandingan efek dan kompleks obat reseptor
atau dapat juga dinyatakan sebagai besarnya efek per unit kompleks obat reseptor.
ED = . [DR]

ED [maks] = . [R]

atau

= aktivitas intrinsik
Aktivitas intrinsik merupakan pengertian relatif dan sebagai skala respon maksimum jaringan.

ED [maks]
ET [maks]

ED [maks] = efek maksimum obat


ET [maks] = respon maksimum jaringan
Dalam hal ini, hubungan antara dosis dan efek menjadi :
. ET [maks] . [D]
ED =
[D] + KD

34

Jika suatu obat mempunyai = 1, disebut agonis penuh. Jika 0 < < 1, disebut agonis parsial, jika
0, disebut antagonis.
Efikasi adalah kemampuan kompleks obat reseptor untuk menghasilkan stimulus yang
pada akhirnya menimbulkan efek. Jika dua parameter itu dibandingkan aktivitas intrinsik
menghubungkan efek dan pendudukan reseptor, sedangkan efikasi menghubungkan stimulus dan
pendudukan reseptor. Stimulus yang dihasilkan ini berbanding langsung dengan fraksi reseptor yang
diduduki oleh obat. Dan efek yang dihasilkan merupakan fungsi stimulus. Hubungan (antara efek
dan stimulus) ini tidak selalu merupakan hubungan linier.
Obat obat yang berbeda efikasinya menghasilkan stimulus yang berbeda, namun hubungan
stimulus dan efek bukan merupakan sifat obat, tetapi sifat jaringan (sifat yang tidak tergantung
jaringan).
Menurut konsep efikasi ini, agonis ialah obat yang mempunyai efek besar. Bagi obat obat
yang tergolong agonis kuat, efek maksimumnya dapat dicapai tanpa harus menduduki semua
reseptor. Sisa reseptor yang tidak diperlukan untuk mencapai efek maksimum disebut reseptor
cadangan.
VI. Antagonisme
Antagonisme adalah peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain.
Peristiwa ini dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu antagonisme fisiologik atau fungsional,
antagonisme farmakologik, antagonisme biokimiawi dan antagonisme kimiawi.
1. Antagonisme fisiologik atau fungsional
Adalah antagonisme yang terjadi jika dua macam agonis bekerja pada dua macam reseptor
dan menghasilkan efek yang saling berlawanan pada fungsi fisiologik yang sama.
Contoh, antagonisme antara histamin dan norepinefrin terhadap tekanan darah. Histamin
menurunkan tekanan darah dengan cara melonggarkan pembuluh darah (vasodilatasi),
sedangkan norepinefrin menaikkan tekanan darah dengan cara menyempitkan pembuluh darah
(vasokontriksi). Contoh lain antagonisme antara metakholin dan isoprenalin pada trakhea.
2. Antagonisme farmakologik
Misalnya antagonisme yang terjadi antara histamin dan difenhidramin. Dalam hal ini,
difenhidramin mengurangi efek histamin dengan cara menghalangi pembentukan kompleks
histamin dan reseptornya. Contoh yang sejenis ialah antagonisme antara asetilkholin dan atropin,
antara isoprenalin dan propanolol. Termasuk dalam antagonisme ini adalah antagonisme parsial,
yaitu antagonisme antara agonis dan agonis parsial.
3. Antagonisme biokimiawi
Antagonisme ini dapat dipandang sebagi kebalikan dari sinergisme. Jenis antagonisme ini
terjadi jika obat kedua mengurangi secara tidak langsung obat pertama pada tempat kerjanya.
35

Obat obat yang dapat meningkatkan eliminasi agonis, atau berkompetisi dalam transportnya
disebut antagonisme biokimiawi. Sebagai contoh, fenobarbital mengurangi efek dikumarol
dengan cara meningkatkan biotransformasinya. Contoh lain yang serupa adalah antagonisme
antara alkohol (penggunaan secara kronik) dengan tolbutamid.
4. Antagonisme kimiawi
Berbeda dengan antagonisme yang telah dikemukakan, dalam antagonisme kimiawi ini,
antara agonis dan antagonis terjadi reaksi kimia langsung menghasilkan produk yang inaktif.
Misalnya, efek heparin (antikoagulan) yang bermuatan negatif direduksi oleh protamin (protein
basa). Antasida (Al atau Mg) mengurangi efek tetrasiklin karena mengurangi kompleks yang
sukar diabsorpsi.
VII. Antagonisme Farmakologik
Antagonisme ini dibagi menjadi dua jenis yaitu antagonisme kompetitif dan antagonisme
nonkompetitif.
1. Antagonisme kompetitif
Dalam antagonisme kompetitif, antagonis bereaksi secara reversibel dengan reseptor
sehingga menghalang halangi agonis dalam berinteraksi dengan reseptornya.
D

R
+
A

DR

AR
(antagonis reseptor)

Hal ini mengakibatkan jumlah agonis yang berinteraksi dengan reseptornya berkurang, yang
pada gilirannya menyebabkan efek yang ditimbulkan menjadi lebih lemah. Untuk mendapatkan
efek yang sama seperti sebelum adanya antagonis, dibutuhkan dosis yang lebih besar. Jika
antagonisme ini digambarkan dengan KDLR (kurva logaritme dosis respon), memperlihatkan
bahwa kurva bergeser sejajar ke kanan, pD2 menjadi lebih kecil, atau dengan perkataan lain
reseptor menjadi kurang peka terhadap agonis.
Sebagai parameter kekuatan antagonis kompetitif adalah pA2, yang didefinisikan sebagai
logaritma negatif kadar molar antagonis yang mengakibatkan kadar agonis harus dilipatkan
menjadi dua kali untuk mendapatkan efek yang sama dengan efek pada kondisi tidak adanya
antagonis. Besaran ini sebenarnya merupakan gambaran tetapan disosiasi kompleks
antagonis reseptor atau afinitas antagonis terhadap reseptornya.
pA2

= - log [A]2 = - log KA

Semakin besar pA2 suatu antagonis, semakin besar afinitas antagonis itu terhadap reseptornya.
2. Antagonis nonkompetitif
Antagonisme ini terjadi jika antagonis mempunyai afinitas yang sangat kuat terhadap
reseptor atau menyebabkan perubahan kimiawi yang ireversibel pada reseptor. Hal ini akan
36

mengurangi jumlah reseptor yang dapat berintegrasi dengan agonisnya, yang berakibat
menurunnya efek agonis. Berbeda dengan antagonisme kompetitif, gangguan ini tidak dapat
diatasi dengan cara memperbesar kadar agonis.
D

R
+
A

DR

AR
(antagonis reseptor)

KDLR agonis setelah adanya antagonis berupa sigmoid yang lebih landai dengan efek
maksimum yang lebih rendah daripada sebelum adanya antagonis, tetapi pD2 tetap tidak berubah.
Parameter yang digunakan untuk menyatakan kekuatan antagonis kompetitif adalah pD2,
yang didefinisikan sebagai kadar antagonis yang menyebabkan pengurangan efek maksimum
agonis menjadi 50 % efek maksimum sebelum adanya antagonis. Besaran ini sama dengan
logaritma negatif tetapan disosiasi kompleks antagonis reseptor.
pD2

= - log [A]2 = - log K2

Termasuk juga dalam antagonisme kompetitif adalah jika gangguan antagonis itu terjadi pada
salah satu bagian dari rangkaian peristiwa yang menuju timbulnya efek.

37

IX. KERJA DAN EFEK OBAT


Kerja dan efek obat merupakan dua masalah yang paling fundamental namun juga paling
kompleks dalam farmakodinamika. Kerja obat adalah perubahan kondisi yang mengakibatkan timbulnya
efek atau respon, sedangkan efek adalah perubahan fungsi struktur atau proses sebagai akibat kerja obat.
I.

Tempat Kerja
Obat dapat bekerja :
1)

pada tempat aplikasi

2)

selama transport di dalam tubuh

3)

pada tempat tertentu (jaringan atau sel)

Ditinjau dari sudut sel tempat kerja obat dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1)

ekstraseluler

2)

pada permukaan sel

3)

intraseluler

Penentuan tempat kerja obat membantu dalam :


1)

mengklasifikasikan obat menjadi beberapa kelompok

2)

menghindari penggunaan obat apabila tempat dimana obat biasanya bekerja tidak
berfungsi

3)

memberikan informasi yang mungkin berguna dalam menentukan kecepatan absorpsi


dan ekskresi obat

4)
II.

sebagai langkah awal dalam mengungkap mekanisme kerja obat

Cara Penentuan Tempat Kerja Obat


Beberapa cara untuk penentuan tempat kerja obat yaitu :
1) Cara anatomis dan fisiologis

isolasi jaringan atau organ

2) Lokalisasi biokimiawi isolasi enzim


3) Lokalisasi farmakologis

identifikasi tempat kerja yang sama

4) Teknik perunut identifikasi dengan pengunaan unsur radioaktif

38

III. Mekanisme Kerja Obat


Mekanisme kerja obat adalah cara bagaimana obat bekerja hingga menimbulkan efek.
Mekanisme kerja obat dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu :
1. Kerja Obat Yang Diperantarai Reseptor
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme.
Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang
merupakan respon khas untuk obat tersebut. Ada dua sifat khas kerja obat yang diperantarai oleh
reseptor adalah obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh dan obat tidak menimbulkan
suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Hal ini sudah dibahas dengan jelas pada bab sebelumnya.
2. Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor
Kerja obat yang tidak diperantarai reseptor adalah kerja yang berdasarkan atas sifat sifat
fisikokimia secara sederhana. Termasuk dalam golongan ini adalah kerja obat yang berdasarkan
atas :
A. Sifat fisika
a.

Massa fisis : agar dan biji psyllium mengabsorpsi air jika diberikan secara oral dan
mengembang volumenya. Hal ini menyebabkan peristalsis dan purgasi.

b.

Rasa : senyawa senyawa dengan rasa pahit secara refleks akan meningkatkan aliran
asam klorida ke dalam lambung. Peristiwa ini akan menambah nafsu makan. Sebagai
contoh gentian.

c.

Osmosis : obat yang menimbulkan efek karena sifat osmotiknya misalnya manitol
(diuretik osmotik) dan magnesium sulfat (purgatif osmotik).

d.

Adsorps : contoh kaolin dan karbon aktif pada pengobatan diare.

e.

Radioaktivitas : misalnya 131I pada pengobatan hipertiroidisme

f.

Radio-opasitas : misalnya barium sulfat yang dikenal sebagai bubur barium untuk
mendiagnosa gangguan pada saluran cerna dan senyawa iodium organik untuk
visualisasi air seni dan asam empedu.

g.

Muatan listrik : misalnya heparin (antikoagulan) yang bersifat asam juat, diduga
bekerja berdasarkan atas muatan negatifnya.

B. Sifat kimia

39

a.

Asam dan basa : sebagai contoh asam klorida pada pengobatan hipoklorhidrin dan
antasida pada pengobatan borok lambung.

b.

Khelasi : logam logam seperti timbal dan tembaga dapat dikeluarkan dari tubuh
dengan bantuan senyawa senyawa yang dapat membentuk kompleks khelat dengan
logam itu, misalnya EDTA dan dimerkaprol.

IV. Efek Obat


Dalam pengobatan, efek obat dapat dibagi menjadi efek normal dan efek abnormal
(idiosinkrasi). Efek normal adalah efek yang timbul pada kebanyakan individu, sedangkan efek
abnormal adalah efek yang dialami oleh individu atau kelompok individu tertentu. Kedua macam
efek tersebut dapat terjadi pada dosis lazim yang dipergunakan dalam terapi.
Kebanyakan obat jika diberikan dalam dosis terapi dapat menimbulkan lebih daripada satu
jenis efek. Efek ini dapat dibedakan menjadi efek utama (primer) dan efek samping (tambahan).
Efek primer adalah efek yang menjadi tujuan utama pengobatan. Efek samping adalah efek yang
tidak menjadi tujuan utama pengobatan, namun efek ini dapat bermanfaat ataupun mengganggu
(merugikan) tergantung dari kondisi dan situasi pasien.
Efek utama dapat menimbulkan efek sekunder yaitu efek yang tidak diinginkan dan merupakan
reaksi organisme (tubuh) terhadap efek primer suatu obat.
Efek abnormal karena obat meliputi idiosinkrasi, toleransi, intoleransi dan alergi
(hipersensitivitas) serta ketergantungan obat. Idiosinkrasi merupakan efek atau respon abnormal
kualitatif dan dapat timbul secara individual, familial atau rasial.
Respon abnormal lainnya adalah toleransi dan intoleransi. Beberapa individu menunjukkan reaksi
berlebihan (hipereaktif) atau kurang reaktif (hiporeaktif) terhadap obat. Individu yang tergolong
hipereaktif ini akan memberikan respon terhadap obat walaupun obat itu diberikan dalam dosis
yang sangat kecil (jauh di bawah dosis lazim) atau yang sering disebut peristiwa intoleransi.
Sebaliknya, kelompok individu lain bersifat kurang responsif; untuk menimbulkan efek dengan
intensitas tertentu dibutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada dosis lazim atau yang sering disebut
peristiwa toleransi.
Respon abnormal yang dikenal dengan alergi (hipersensitivitas) dapat timbul tergantung
apakah pasien pernah mendapatkan obat yang sama sebelumnya. Pada beberapa individu, pemberian
obat dapat menimbulkan zat anti (antibodi) di dalam tubuhnya dan pada pemberian obat berikutnya
akan terjadi reaksi antara obat itu (antigen) dan zat anti, yang pada gilirannya dapat menimbulkan
gangguan pada kulit, asma, dll. Bentuk alergi berat adalah syok anafilaksis.
Efek lain yang dapat ditimbulkan oleh obat adalah efek toksik. Efek ini timbul jika obat
diberikan dalam kadar tinggi. Efek toksis obat sering dikaitkan dengan jaringan atau organ yang
menjadi sasaran dari efek toksik tersebut. Misalnya hepatotoksik (toksisitas pada hati), nefrotoksik
(toksisitas pada ginjal) atau teratogenik (toksisitas pada janin).
40

TERAPAN

41

X. PERHITUNGAN DOSIS OBAT


Dalam pemberian terapi yang rasional, dosis obat merupakan faktor penting, karena kelebihan
atau kekurangan dosis akan menghasilkan efek yang tidak diinginkan, bahkan sering membahayakan.
Untuk menetapkan dosis yang tepat, antara lain Dosis Lazim (DL), Dosis Terapi (DT), Dosis
Maksimum (DM), dosis anak dan dosis geriatri.
Faktor yang sering dipertimbangkan untuk menentukan dosis individual yaitu :
1.

Sifat obat (fisika, kimia, toksisitas).

2.

Bioavailabilitas obat.

3.

Kondisi penyakit (akut, kronis).

4.

Kondisi penderita (anak, lansia, obesitas, dll).

5.

Cara pemberian obat (oral, rektal, parenteral).


Yang dimaksud dosis suatu obat adalah dosis pemakaian sekali, per oral untuk orang dewasa,

kalau yang dimaksud bukan dosis tersebut di atas maka harus diberi keterangan jelas. Misalnya
pemakaian sehari, dosis untuk anak, dosis per injeksi dan seterusnya.
Dosis yang tertulis dalam resep adalah dosis yang dapat menyembuhkan untuk penderita tersebut
(individual) disebut dosis terapi (DT).
Dosis yang tercantum dalam literatur adalah dosis lazim (DL). Dosis lazim adalah dosis yang lazimnya
dapat menyembuhkan. Dalam menulis resep digunakan sebagai pedoman untuk menentukan dosis terapi.
Dosis maksimum (DM) adalah dosis/takaran maksimum/terbanyak yang dapat diberikan (berefek terapi)
tanpa menimbulkan bahaya. Dosis lazim dan dosis maksimum terdapat dalam buku Farmakope Indonesia
dsbnya.
Tidak semua DM untuk anak terdapat dalam literatur. Maka DM untuk anak dapat dihitung dengan
membandingkan kebutuhan anak terhadap dosis maksimum dewasa. Yang paling akurat adalah
perbandingan berdasarkan luas permukaan tubuh, kemudian berat badan dan selanjutnya umur anak.
Cara perhitungan dosis untuk anak :
1.

Secara individual dengan menggunakan ukuran fisik anak.


a. Perhitungan dengan berat badan (BB) anak
Contoh :

Diketahui dosis amoksisilin 25 mg/kg BB/hari, diberikan dengan dosis terbagi


dalam 3 4 kali.
Anak umur 2 tahun dengan berat badan 10 kg.
Maka, dosis sehari adalah 10 x 25 mg = 250 mg/hari. Bila pemberian dimaksudkan
sebanyak 3 kali dalam sehari, maka 250 mg/3 = 83,3 mg per sekali minum.
42

b. Perhitungan luas permukaan tubuh (LPT) anak


Diketahui dosis pemeliharaan metotreksat 15 mg/m2/minggu.

Contoh :

Anak 12 tahun dengan LPT 1,2 m2.


Maka, dosis anak tersebut adalah :
1,20
x 15 mg

= 10,4 mg/minggu

1,73
2.

Dihitung dari dosis dewasa


a. Berdasarkan umur anak
-

rumus Young untuk anak < 8 tahun


n
x dosis dewasa

n = tahun

n + 12
-

rumus Dilling untuk anak > 8 tahun


n
x dosis dewasa

n = tahun

20
Diketahui dosis terapi (dewasa) Gliseril Guaikolat adalah 100 200 mg/kali.

Contoh :

Maka dosis untuk anak 4 tahun adalah :


4
x (100 200) mg = 25 50 mg/kali
4 + 12
b. Berdasarkan berat badan anak (Rumus Clark)
b
x dosis dewasa

b = BB anak

70
c. Berdasarkan luas permukaan tubuh anak (Rumus Crawford Terry Rourke)
t
x dosis dewasa

t = LPT anak

1,8
d. Tabel J. Hahn
Contoh :

Diketahui dari tabel J.Hahn, anak umur 5 tahun, BB 14,2 17,8 kg, dapat diberikan
dosis 28 % dosis dewasa. Maka dosis Gliseril Guaikolat adalah :
28 %

Catatan :

x (100 200) mg = (28 56) mg/kali

rumus rumus tersebut dapat dipergunakan untuk menentukan dosis lazim, dosis
terapi, maupun dosis maksimum pada anak.

43

Dosis geriatri, umumnya lebih kecil dibanding dosis dewasa. Hal ini disebabkan organ organ
tubuh sudah kurang berfungsi.

44

XI. REAKSI OBAT YANG TIDAK DIKEHENDAKI


Jika dikatakan bahwa suatu obat tidak menunjukkan efek samping, maka terdapat dugaan kuat
bahwa obat tersebut juga tidak mempunyai efek utama (G. Kuschinsky). Reaksi obat yang tidak
dikehendaki didefinisikan sebagai respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta
terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.
Reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat berupa kontraindikasi maupun efek samping obat. Reaksi
obat yang tidak dikehendaki ini dapat muncul dari faktor tenaga kesehatan, kondisi pasien maupun obat
itu sendiri.
Kontraindikasi adalah efek obat yang secara nyata dapat memberikan dampak kerusakan fisiologis
atau anatomis secara signifikan, memperparah penyakit serta lebih lanjut dapat membahayakan kondisi
jiwa pasien. Pemberian obat obatan yang dikontraindikasikan pada kondisi tertentu ini harus
dihindarkan atau di bawah penanganan khusus. Dalam beberapa hal kontraindikasi juga dianggap
merupakan bagian dari efek samping obat.
Sebagai contoh asetosal dikontraindikasikan pada anak di bawah 12 tahun, ibu hamil dan menyusui
karena sifat antiplateletnya (antitrombosit); atau timbulnya stroke hemorragik pada penderita selesma
yang juga hipertensi tingkat berat setelah diberi obat selesma yang berisi fenilpropanolamin.
Efek samping obat adalah efek yang tidak menjadi tujuan utama pengobatan (efek sekunder),
namun efek ini dapat bermanfaat ataupun mengganggu (merugikan) tergantung dari kondisi dan situasi
pasien. Pada kondisi tertentu, efek samping obat ini dapat juga membahayakan jiwa pasien. Efek samping
obat ini pada dasarnya terjadi setelah pemberian obat tersebut, yang kejadiannya dapat diramalkan atau
belum dapat diramalkan sebelumnya. Sebagai contoh, penggunaan kortikosteroid (deksametason) dalam
waktu lama dapat menimbulkan efek moonface dan peningkatan nafsu makan.
Beberapa faktor penyebab yang dapat menimbulkan kontraindikasi (atau menimbulkan efek
samping obat) adalah :
1.

Usia pasien (misalnya, anak di bawah < 2 tahun atau lansia > 65 tahun).

2.

Kondisi penyakit tertentu pada pasien (misalnya, kerusakan fungsi hati dan ginjal).

3.

Reaksi hipersensitivitas (alergi) terhadap obat tertentu.

4.

Interaksi membahayakan dengan senyawa kimia atau obat obatan lain.

5.

Kondisi hamil dan menyusui.

6.

Perbedaan ras dan genetika.

7.

Jenis kelamin.

8.

Polifarmasi (pengobatan yang tidak rasional).

45

Identifikasi reaksi obat yang tidak diinginkan harus mengacu kepada faktor faktor penyebab
tersebut di atas. Identifikasi reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat diperoleh atas dasar laporan dari
pasien ataupun kondisi nyata yang ditemukan oleh petugas kesehatan di lapangan.
Kriteria untuk mengidentifikasi reaksi obat yang tidak dikehendaki (apabila sudah terjadi efek samping)
ini adalah :
1.

Waktu
Kapan kejadian tersebut muncul? Apakah terjadi sesaat setelah minum obat ataukah berselang
dalam waktu yang lama? Apakah reaksi tersebut terkait dengan pemakaian obat?

2.

Dosis
Apakah dosis yang diberikan kepada pasien dengan kondisi tertentu terlalu besar?

3.

Sifat permasalahan
Apakah ciri ciri reaksi obat yang tidak diinginkan tersebut sama dengan sifat farmakologis
obatnya? Adakah kemungkinan interaksi obat?

4.

Pengalaman
Apakah reaksi yang muncul tersebut mirip dengan reaksi yang pernah dilaporkan dalam pustaka
atau literatur?

5.

Penghentian keterulangan
Apa yang terjadi apabila pemakaian obat dihentikan? Bagaimana jika di suatu hari kelak obat
yang menimbulkan reaksi yang tidak dikehendaki tersebut digunakan kembali, apakah reaksinya
muncul kembali?

Pencegahan reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat melalui cara sebagai berikut :
1.

Jangan menggunakan obat bila tidak diindikasikan dengan jelas. Jika pasien sedang hamil, jangan
gunakan obat kecuali benar benar diperlukan.

2.

Alergi dan idiosinkrasi merupakan penyebab penting reaksi obat yang tidak dikehendaki. Tanyakan
pasien apakah pernah mengalami reaksi sebelumnya atau dengan mengecek riwayat penyakitnya.

3.

Tanyakan kepada pasien jika sedang menggunakan obat obat lainnya termasuk obat yang dipakai
sebagai swamedikasi (self medication), karena dapat terjadi kemungkinan interaksi obat.

4.

Usia dan penyakit hati atau ginjal dapat mengubah metabolisme dan ekskresi obat, sehingga
diperlukan dosis yang lebih kecil. Faktor genetik juga mungkin terkait dengan variasi kecepatan
metabolisme, termasuk isoniazid dan anti depresan (trisiklik).

46

5.

Resepkan obat sesedikit mungkin dan berikan petunjuk yang jelas kepada pasien lanjut usia dan
pasien yang kurang memahami petunjuk yang rumit.

6.

Jika memungkinkan, gunakan obat yang sudah dikenal. Penggunaan obat baru perlu waspada akan
timbulnya reaksi obat yang tidak dikehendaki atau kejadian yang tidak diharapkan.

7.

Jika kemungkinan terjadinya reaksi obat tak dikehendaki cukup serius, pasien perlu diperingatkan.

Mengatasi munculnya efek samping obat dapat menggunakan prinsip farmakoterapi yang rasional
yaitu M 5 dan 4T + 1W. Prinsip M 5 terdiri dari :
1. Mengenali gejala gejala dan tanda tanda penyakit.
2. Menegaskan dianosis penyakit.
3. Memilih tatalaksana terapi (non farmakologik, farmakologik, gabungan non farmakologik
dan farmakologik).
4. Memilih dan menetapkan produk obat.
5. Memantau dan mengevaluasi output pengobatan.
Prinsip 4T + 1W meliputi :
1. Tepat indikasi obat yang akan digunakan didasarkan pada diagnosis penyakit yang akurat.
2. Tepat penderita tidak ada kontraindikasi dan atau kondisi khusus yang memerlukan
penyesuaian dosis dan atau kondisi yang mempermudah timbulnya efek samping.
3. Tepat obat

pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan nisbah/rasio keamanan

kemanjuran di antara obat yang ada.


4. Tepat dosis dan cara pemberian takaran, jalur pemberian, waktu dan lama pemberian (lama
pemakaian) tergantung kondisi penderita.
5. Waspada terhadap efek samping obat.
Langkah langkah prosedural untuk dapat mengatasi kemungkinan memburuknya efek samping obat
sedangkan pengobatan harus tetap dilakukan adalah :
1. Analisa manfaat resiko, bila terpaksa digunakan, hendaknya manfaat yang ingin dicapai lebih
besar daripada faktor resiko.
2. Penyesuaian dosis.
3. Pengaturan waktu pemberian obat.
4. Lama pemberian/pemakaian oleh pasien

47

5. Pemantauan kondisi pasien secara intensif (pemantauan kadar obat dalam darah).
6. Menggunakan varian atau derivat obat lain yang yang lebih aman, tetapi memiliki khasiat dan
efek farmakologis yang serupa.
7. Penanganan kedaruratan (misalnya pada syok anafilaksis, peningkatan toksisitas).
8. Penggunaan obat obatan lini pertama dapat memperkecil resiko terjadinya efek samping,
misalnya yang ada dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).

48

XII. PENGGOLONGAN OBAT


Penggolongan obat menurut peraturan perundang undangan terbagi atas :

Obat Bebas Daftar B Lingkaran Hijau

Obat Bebas Terbatas daftar W Lingkaran Biru


dengan peringatan

Narkotika

Obat Keras

daftar O

Lingkaran Merah

daftar G Lingkaran Merah

terdiri dari :
1.

Obat Wajib Apotek (OWA)

2.

Obat Keras Tertentu (OKT) dan Psikotropika

3.

Obat Keras Lainnya (diluar poin 1 & 2)

Tanda peringatan obat bebas terbatas berdasarkan SK Menkes No. 6355/Dir.Jend./SK/69, adalah :

P.No. 1 Awas! Obat Keras. Bacalah aturan memakainya.

P.No. 2 Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan.

P.No. 3 Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.

P.No. 4 Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar.

P.No. 5 Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan.

P.No. 6 Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan.


Sedangkan penggolongan obat secara secara farmakologi dapat berupa tempat, cara kerja dan sifat

obat tersebut maupun berdasarkan senyawa induknya (derivat derivat yang merupakan hasil modifikasi
dari strutur kimia dasarnya).

49

XIII. OBAT ESSENSIAL NASIONAL


Obat esensial nasional adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan,
mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi, dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia pada unit
pelayanan kesehatan sesuai fungsi dan tingkatnya.
A.

Kriteria Pemilihan Obat Esensial


1. Memiliki rasio manfaat resiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan penderita.
2. Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavalabilitas.
3. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan.
4. Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga, sarana, dan fasilitas.
5. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh penderita.
6. Memiliki ratio manfaat biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung
dan tidak langsung.
7. Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan dijatuhkan
pada :
-

Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah;

Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan;

Obat yang stabilitasnya lebih baik;

Mudah diperoleh;

Obat yang telah dikenal.

8. Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut :


-

Obat hanya bermanfaat bagi penderita dalam bentuk kombinasi tetap;

Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada
masing masing komponen;

Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk
sebagian besar penderita yang memerlukan kombinasi tersebut;

Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat biaya (benefit-cost ratio);

Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya
resistensi dan efek merugikan lainnya.

50

B.

Daftar Obat Esensial Nasional


Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar berisikan obat terpilih yang paling

dibutuhkan dan diupayakan tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai fungsi dan tingkatnya. DOEN
merupakan standar minimal untuk pelayanan kesehatan.

51

XIV. UTEROTONIKA
Uterotonika atau sering juga disebut oksitosik adalah obat yang merangsang kontraksi uterus yang
berada dalam kehamilan, sehingga digunakan untuk memulai persalinan, baik pada kehamilan muda
(aborsi) maupun lanjut, dan mencegah/menghentikan perdarahan paskasalin. Kelompok ini terdiri dari
oksitosin, alkaloid ergot (seperti ergometrin maleat, metilergometrin maleat), dan prostaglandin (seperti
dinoproston, sulproston).
Pencegahan dan penghentian perdarahan paskasalin atau pada perdarahan pada abortus inkomplit dapat
dihentikan dengan ergometrin dan oksitosin secara intramuskular (im) dalam dosis yang disesuaikan
dengan kondisi pasien. Penggunaan oksitosik ini hanya disarankan dipergunakan dokter atau bidan yang
terlatih.
A.

Oksitosin
Oksitosin yang diberikan secara infus intravena (iv) lambat efektif untuk induksi atau memacu
persalinan yang biasanya diberikan bersama dengan tindakan amniotomi (tindakan untuk
membuka selaput ketuban dan mengalirkan cairan air ketuban) kontraksi uterus harus
dipantau untuk mencegah stimulasi berlebihan pada otot rahim.
Oksitosin dosis besar atau infus berkepanjangan dengan dosis tinggi juga dapat menyebabkan
retensi cairan (tertahannya/kelebihan cairan) dan hiponatremia (kadar natrium di bawah normal)
untuk mencegah ini gunakan cairan elektrolit (jangan glukosa), pekatkan larutannya, kurangi
cairan per oral, monitor cairan dan elektrolit.
Oksitosin dikontraindikasikan pada setiap keadaan yang tidak memungkinkan persalinan per
vagina, lemah uterus, hipertensi berat dan penyakit jantung, serta preeklamsia berat.

B.

Ergometrin Maleat dan Metilergometrin Maleat (Methergin)


Kedua obat ini dikontraindikasikan pada kondisi penyakit jantung berat, gangguan fungsi hati
dan ginjal yang berat, sepsis, hipertensi berat dan eklamsia.

C.

Dinoproston
Dinoproston pada umumnya digunakan untuk induksi aborsi dalam bentuk tablet per vaginal
yang dimasukkan jauh ke dalam forniks posterior.
Obat ini dikontraindikasikan pada penyakit jantung, plasenta previa (plasenta yang letaknya
abnormal, cenderung menutupi jalan lahir), riwayat operasi Caesar, infeksi pelvis, gawat janin,
dan riwayat persalinan yang sulit/traumatik.

52

XV. OBAT ANTI PERDARAHAN


Pada umumnya obat anti perdarahan ini terbagi atas golongan vitamin K (menadiol natrium fosfat
dan fitomenadion) dan golongan antifibrinolitik (asam traneksamat, desmopresin, aprotinin, dan
etamsilat).
A.

Vitamin K
Vitamin K perlu untuk produksi faktor pembeku darah dan berbagai protein yang diperlukan
untuk kalsifikasi tulang.
Vitamin K larut dalam lemak, penderita dengan malabsorpsi lemak akan mengalami defisiensi
vitamin K, khususnya bila ada obstruksi bilier atau penyakit hati.
Vitamin K dikontraindikasikan pada wanita hamil tua.
Pemberian vitamin K pada bayi untuk profilaksis pendarahan karena defisiensi vitamin K harus
dibawah pengawasan dokter/dokter anak.

B.

Antifibrinolitik
Fibrinolisis dapat meningkat pada keadaan patologik tertentu, terutama pada berbagai jenis
syok, setelah pembedahan pada daerah urogenital, pada leukosis, karsinoma, atau sirosis hati
Perdarahan ini terjadi karena terhambatnya faktor pembekuan darah oleh produk pecahan fibrinogen
dan fibrin pada kasus semacam ini dapat diberikan antifibrinolitik (obat penghambat fibrinolisis)
dengan pemantauan yang ketat terhadap status pembekuannya.
1. Asam traneksamat
Melarutnya fibrin dapat diganggu oleh pemberian asam traneksamat yang menghambat
aktivasi plasminogen dan fibrinolisis.
Asam traneksamat ini diindikasi pada fibrinolisis lokal dan menoragia.
2. Aprotinin
Merupakan penghambat enzim proteolitik yang bekerja pada plasmin dan kalidinogenase
(kalikrein).
Obat ini diindikasikan untuk pasien resiko tinggi kehilangan darah selama dan setelah bedah
jantung terbuka dan juga untuk pengobatan perdarahan yang mengancam jiwa akibat
hiperplasminemia.
3. Etamsilat
Mengurangi perdarahan kapiler dengan adanya trombosit yang normal.
Kerjanya tidak dengan cara stabilisasi fibrin, tetapi dengan cara mengoreksi adhesi platelet
(trombosit) yang abnormal.
53

XVI. ANALGESIK
Obat yang bekerja sebagai analgesik umumnya terdiri dari analgesik non-opioid dan analgesik
opioid. Namun beberapa ahli farmakologi juga memasukan anti inflamasi non steroid (AINS) atau
Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) sebagai golongan analgesik non-opioid karena selain
memiliki aktivitas anti inflamasi juga efektif dalam mengurangi nyeri.
A.

Analgesik Non Opioid


1. Asetosal (Asam Asetilsalisilat atau sering disebut juga Aspirin).
Asetosal diindikasikan sebagai analgesik untuk nyeri ringan sampai sedang, sakit kepala,
nyeri muskuloskeletal sementara, anti inflamasi, dismenore, demam (antipiretik), dan anti
penggumpalan darah (antiplatelet).
Hindari penggunaan Asetosal pada kehamilan dan asma berat.
Asetosal dikontraindikasikan pada anak di bawah usia 12 tahun karena dapat menimbulkan
Sindrom Reye (kerusakan pada mitokondria liver sehingga liver tidak mampu mengubah
timbunan glikogen menjadi glukosa), reaksi alergi terhadap asetosal, dan pada kasus
perdarahan (termasuk menstruasi dengan darah yang banyak).
2. Parasetamol (atau sering disebut juga Asetaminofen).
Parasetamol memiliki kemanjuran yang mirip dengan Asetosal, namun tidak memiliki
aktivitas anti inflamasi yang berarti.
Parasetamol umumnya lebih disukai daripada asetosal karena kurang mengiritasi lambung,
terutama pada usia lanjut.
Selain aktivitasnya sebagai analgesik, Parasetamol juga memiliki aktivitas antipiretik yang
cukup efektif sehingga menjadi obat pilihan utama sebagai penurun panas.
Pemakaian secara terus menerus dalam jangka waktu lama dan overdosis Parasetamol
dapat mengakibatkan kerusakan hati.
3. Dipiron
Dipiron sering disebut juga Antalgin atau Metampiron.
Antalgin ini memiliki aktivitas analgesik cukup kuat, namun aktivitas anti inflamasi dan
antipiretiknya cukup lemah.
Antalgin sering kurang disukai karena menyebabkan iritasi lambung dan menyebabkan rasa
mual.

54

4. Asam Mefenamat
Asam Mefenamat adalah analgesik yang cukup kuat yang masih termasuk kelompok AINS,
tetapi sifat anti inflamasinya rendah.
Berbeda dengan AINS lainnya, asam mefenamat terkadang menimbulkan efek samping
diare dan kadang kadang anemia hemolitik tidak dianjurkan pemakaian lebih dari 7
hari kecuali dalam pengawasan ahli.
B.

Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)


Obat obatan AINS ini juga memiliki aktivitas sebagai analgesik sehingga termasuk dalam
golongan analgesik non opioid.
Obat yang termasuk dalam golongan AINS ini antara lain adalah Ibuprofen, Naproksen,
Fenbufen, Fenoprofen, Flurbiprofen, Ketoprofen, Asam Tiaprofenat, Diklofenak, Aseklofenak,
Etodolak,

Ketorolak,

Diflunisal,

Indometasin,

Meloksikam,

Piroksikam,

Tenoksikam,

Nabumeton, Azapropazon, Fenilbutazon, Oksifenbutazon, Fentiazac, dan Asam Tolfenamat.


Dalam dosis tunggal, AINS mempunyai aktivitas analgesik yang setara dengan Parasetamol,
tetapi Parasetamol lebih disukai terutama untuk pasien usia lanjut.
Dalam dosis penuh (full dosage) yang lazim, AINS memperlihatkan efek analgesik yang
bertahan lama yang membuatnya sangat berguna pada pengobatan nyeri berlanjut atau nyeri
berulang akibat radang oleh karena itu, walaupun Parasetamol sering mengatasi nyeri dengan
baik pada osteoartritis, AINS lebih tepat daripada Parasetamol atau analgesik opioid dalam
artritis rematoid dan pada beberapa kasus osteoartritis lanjut.
AINS juga bermanfaat untuk nyeri punggung dan gangguan jaringan lunak yang tidak jelas.
Hampir sebagian besar AINS dapat menyebabkan iritasi lambung dan saluran cerna sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan tukak lambung dan tukak pada usus.

1. Ibuprofen
Ibuprofen adalah turunan asam propionat yang berkhasiat anti inflamasi, analgesik, dan
antipiretik obat ini memiliki efek samping yang lebih sedikit dibanding AINS lain, tetapi
sifat anti inflamasinya lebih rendah.
Ibuprofen diindikasikan pada nyeri dan radang pada penyakit reumatik, gangguan otot skelet
lainnya, nyeri ringan sampai berat termasuk dismenore, analgesik paska bedah, nyeri dan
demam pada anak.

55

2. Diklofenak
Pada umumnya sediaan diklofenak terdapat dalam bentuk garamnya yaitu natrium atau
kalium diklofenak.
Diklofenak ini diindikasikan untuk nyeri dan radang pada penyakit reumatik dan gangguan
otot skelet lainnya, gout akut, dan nyeri paska bedah.
C.

Analgesik Opioid
Analgesik opioid umumnya digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat
penggunaan berulang dapat mengakibatkan ketergantungan dan toleransi.
Efek samping yang paling sering dijumpai adalah mual, muntah, konstipasi dan rasa mengantuk
pada dosis yang lebih besar dapat menimbulkan depresi nafas dan hipotensi.
Analgesik opioid pada umumnya dari golongan narkotika antara lain adalah Morfin,
Buprenorfin,

Kodein,

Dekstromoramid,

Difenoksilat,

Dipipanon,

Dekstropropoksifen,

Diamorfin (Heroin), Dihidrokodein, Alfentanil, Fentanil, Remifentanil, Meptazinol, Metadon,


Nalbufin, Oksikodon, Papaveretum, Pentazocin, Petidin, Fenazocin, Fenoperidin, Tramadol, dan
sebagainya.

1. Morfin (dalam bentuk Morfin HCl)


Morfin merupakan analgesik opioid (narkotik) untuk nyeri berat walaupun sering
mengakibatkan mual dan muntah morfin merupakan standar yang digunakan sebagai
pembanding bagi analgesik opioid lainnya.
Selain menghilangkan nyeri dan digunakan untuk anestesi, morfin juga menimbulkan
keadaan euforia dan gangguan mental.
2. Kodein (dalam bentuk Kodein Fosfat)
Kodein adalah obat golongan narkotika yang efektif untuk mengurangi nyeri ringan hingga
sedang, tetapi terlalu banyak menimbulkan konstipasi bila dipakai untuk jangka panjang.
Kodein juga sering digunakan untuk mengurangi nyeri pada batuk yang berat dan lama
karena kemampuannya menekan refleks batuk pada sistem saraf pusat (SSP).
3. Fentanil
Fentanil adalah obat golongan narkotika yang diindikasikan untuk analgesia selama
pembedahan, memperdalam anestesia, depresan respirasi pada ventilasi buatan, dan nyeri
kronik yang sukar ditangani seperti pada kanker.
Baru baru ini telah diperkenalkan juga Fentanil dengan sistem pemberian transdermal
sebagai plester.
56

4. Petidin (dalam bentuk Petidin HCl)


Petidin adalah analgesik golongan narkotika yang memberikan efek analgesik yang cepat
tetapi bertahan untuk waktu yang singkat, kurang menimbulkan konstipasi dibanding morfin,
tetapi kurang poten sebagai analgesik bahkan dalam dosis tinggi.
Petidin tidak cocok digunakan untuk nyeri hebat dan berkepanjangan.
Petidin sangat umum digunakan sebagai analgesia dalam proses melahirkan dan pada
neonatus karena jarang terjadi depresi napas dibandingkan analgesik opioid yang lainnya,
hal ini disebabkan karena kerjanya yang lemah.
5. Tramadol (dalam bentuk Tramadol HCl)
Tramadol adalah analgesik opioid namun hanya termasuk golongan obat keras tertentu
(OKT) yang diindikasikan untuk nyeri sedang sampai berat.
Dilaporkan memiliki lebih sedikit efek samping yang khas opioid terlihat dari kurangnya
depresi nafas, konstipasi, dan potensi kecanduan.

57

XVII. OBAT YANG DIGUNAKAN UNTUK PENGOBATAN INFEKSI


A.

Antibiotika/Antimikroba/Antibakteri

antibiotika ialah zat yang dihasilkan oleh mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat
atau membasmi mikroba jenis lain dapat juga dibuat secara sintetis.

tujuan penggunaan antibiotika adalah :


1. Terapi empirik infeksi
2. Terapi definitif infeksi
3. Profilaksis non bedah.
4. Profilaksis bedah.

1.

Penisilin
penisilin merupakan antibiotika beta laktam bersifat bakterisid dan bekerja dengan
cara menghambat sintesis dinding sel.
efek samping utama adalah reaksi urtikaria; hipersensitivitas sering disebabkan struktur
dasar penisilin.
a. Benzilpenisilin (penisilin G) dan fenoksimetilpenisilin (penisilin V)
benzilpenisilin dirusak oleh penisilinase, absorpsi per oral sangat terbatas karena
dirusak oleh asam lambung karena itu diberikan secara parenteral.
penisilin prokain merupakan garam penisilin yang larut dalam air.
b. Penisilin tahan penisilase
terdiri dari kloksasilin, flukoksasilin
kloksasilin dan flukoksasilin tidak dirusak oleh penisilase sehingga efektif untuk
strain kuman tersebut

juga tahan terhadap asam lambung sehingga dapat

diberikan per oral.


c. Penisilin spektrum luas
terdiri dari ampisilin, amoksisilin, coamoksiklav, bakampisilin, pivampisilin.
ampisilin per oral diabsorpsi tidak lebih dari separuhnya absorpsi lebih rendah
lagi bila ada makanan dalam lambung.
amoksisilin merupakan turunan ampisilin yang hanya berbeda pada 1 gugus
hidroksil dan memiliki spektrum antibakteri yang sama diabsorpsi lebih baik
58

diberikan per oral dan menghasilkan kadar yang lebih tinggi dalam plasma dan
jaringan absorpsi tidak terganggu dengan adanya makanan dalam lambung.
coamoksiklav terdiri dari amoksisilin dan penghambat laktamase (asam
klavulanat) asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki efek antibakterial,
tetapi denan menginaktifkan penisilase kombinasi ini efektif terhadap bakteri
penghasil penisilase yang resisten terhadap amoksisilin.
d. Penisilin antipseudomonas
terdiri dari ureidopenisilin, azlosilin, tikarsilin, piperasilin, sulbenisilin.
2.

Sefalosporin/cefalosporin dan antibiotik beta laktam lainnya


a. Sefalosporin/cefalosporin
termasuk antibiotik beta laktam yang bekerja dengan cara menghambat sintesis
dinding sel mikroba.
sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif dan gram negatif, tetapi spektrum
antimikroba masing masing derivat bervariasi.
sefalosporin generasi I terdiri dari cefaleksin, cefradin, cefadroksil, cefazolin
sefalosporin generasi II terdiri dari cefaklor, cefprozil, cefuroksim, cefamandole,
cefmetazole, cefocinid.
sefalosporin generasi III terdiri dari cefiksim, cefpodoksim, cefotaksim, ceftidoren,
ceftriakson, ceftazidime, cefoperazone, ceftizoxime.
sefalosporin generasi IV terdiri dari cefepime, cefpirome, cefclidin.
b. Antibiotik beta laktam lainnya
terdiri dari azetronam, imipenem, meropenem
azetronam merupakan laktam monosiklik (monobaktam) dengan spektrum
antibakterial terbatas pada kuman aerobik gram negatif.
imipenem merupakan antibiotik dengan spektrum luas mencakup kuman gram
positif dan negatif, aerob dan anaerob sebagian mengalami inaktivasi secara
enzimatik di ginjal, karena itu diberikan bersama silastatin (suatu penghambat enzim
spesifik di ginjal).

3.

Tetrasiklin
merupakan antibiotik dengan spektrum luas yang terdiri dari tetrasiklin, demeklosiklin,
doksisiklin, minoksiklin, oksitetrasiklin.

59

tetrasiklin dideposit di jaringan tulang dan gigi yang sedang tumbuh (kalsium) yang
menyebabkan pewarnaan dan kadang kadang hipoplasia pada gigi.
tidak boleh diberikan pda anak anak 12 tahun, ibu hamil dan menyusui.
absorpsi tetrasiklin terganggu bila diberikan bersama susu (kecuali doksisiklin,
minosiklin), antasida, kalsium, zat besi dan magnesium.
4.

Aminoglikosida
aminoglikosida bersifat baktrisidal dan aktif terhadap bakteria gram positif dan negatif.
terdiri dari amikasin, gentamisin (pada infeksi berat dapat dikombinasikan dengan
penisilin atau metronidazol), kanamisin, neomisin sulfat (sangat toksik, seringkali hanya
digunakan topikal), netilmisin, tobramisin, streptomisin (spesifik untuk TB).
aminoglikosida tidak diserap melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan secara
parenteral.
aminoglikosida dapat mengganggu transmisi saraf dan pemberiannya harus dihindari
pada miastenia gravis dosis besar pada waktu operasi dapat menyebabkan sindrom
miastenia.
aminoglikosida tidak boleh diberikan bersama diuretik yang potensial menimbulkan
ototoksisitas (misal furosemid dan asam etakrinat) bila tidak dapat dihindarkan,
usahakan jarak/waktu pemberian jauh.
pengukuran kadar plasma sebaiknya selalu dilakukan dan merupakan keharusan paa
anak, orang tua, obesitas, gangguan fungsi ginjal dan pemberian 7 hari.
aminoglikosida dapat menembus sawar plasenta, sehingga pemberian pada wanita hamil
sebaiknya dihindari.

5.

Makrolid
terdiri atas eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin, spiramisin.
eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir sama dengan penisilin,
merupakan alternatif penisilin.
azitromisin merupakan makrolid dengan aktivitas sedikit lebih rendah dari eritromisin
terhadap kuman gram positif, tapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif.
klaritromisin merupakan turunan eritromisin dengan aktivitas lebih tinggi dibanding
senyawa induknya.

60

6.

Kuinolon/Quinolon (atau sering juga disebut fluorokuinolon)


golongan kuinolon bekerja dengan menghambat DNA gyrase sehingga sintesa DNA
kuman terganggu.
kuinolon generasi I (prototipe awal) terdiri dari asam nalidiksat, asam pipemidat, asam
oksolinat, cinoksasin, norfloksasin aktivitas utamanya terapi gram negatif infeksi
saluran kemih.
kuinolon generasi II terdiri dari pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin,
lomefloksasin, fleroksasin

spektrum aktivitas lebih luas untuk terapi infeksi

community acquired maupun infeksi nosokomial.


kuinolon generasi III terdiri dari levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin.
kuinolon generasi IV yaitu trovafloksasin.
7.

Sulfonamida dan trimetoprim


sulfonamida terdiri dari kotrimoksasol, sulfadiazin, sulfadimidin, sulfasalazin,
sulfametopirazin.
kotrimoksasol merupakan kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim dengan
perbandingan 5 : 1

sifat sinergis ini memperluas spektrum terapi infeksi

community acquired.
sulfametoksazol menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat
reduksi asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim pada
alur sintesis asam folat.
8.

Kloramfenikol
terdiri dari kloramfenikol, tiamfenikol.
merupakan antibiotika spektrum luas, namun bersifat toksik.
obat ini bekerja menghambat sintesis protein kuman dengan cara berikatan pada
ribosom 50S sehingga menghambat pembentukan rantai peptida.

9.

Klindamisin
terdiri dari klindamisin, linkomisin.
klindamisin aktif terhadap kuman kokus gram positif termasuk yang resisten penisilin,
juga terhadap kuman anaerob.
bila terjadi diare, hentikan pengobatan akibat efek samping kolitis.
obat ini dikonsentrasikan dalam tulang dan diekskresikan dalam urin dan empedu.

61

10. Vankomisin
termasuk antibiotik golongan glikopeptida aktivitas bakterisidal terhadap kuman
gram positif aerobik dan anaerobik.
penggunaannya terbatas pada profilaksis dan pengobatan endokarditis, kolitis pseudo
membranosa dan infeksi berat lainnya yang disebabkan oleh kokus gram positif
termasuk yang multiresisten.
bersifat ototoksik dan nefrotoksik pemberian per oral tidak efektif untuk infeksi
sistemik, karena hampir tidak diabsorpsi.
11. Spektinomisin
aktif terhadap berbagai kuman gram negatif
12. Polimiksin
terdiri dari polimiksin, kolistin.
kolistin aktif terhadap kuman gram negatif tidak diabsorpsi saluran cerna
indikasi terbatas karena sangat toksik.
kolistin digunakan per oral untuk sterilisasi usus pada pasien netropenia (biasanya
bersama nistatin) tidak dianjurkan untuk infeksi saluran cerna dapat diberikan
secara inhalasi untuk terapi tambahan.
sediaan topikal (misal tetes mata) mengandung polimiksin B dan kolistin.
B. Antimikobakteri

tuberkulosa dan lepra disebabkan bakteri tahan asam yang sifatnya berbeda dengan lainnya.

1.

Tuberkulostatik
kasus tuberkulosa (TB) digolongkan berdasarkan tempat infeksi, beratnya penyakit,
hasil pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya.
obat TB terdiri dari isoniazid (INH), rifampisin, pyrazinamid, etambutol, streptomisin,
sikloserin.
obat obat sekunder diberikan untuk TBC yang disebabkan kuman yang resisten, atau
bila obat primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi

obat

sekunder adalah kapreomisin, sikloserin, makrolid generasi baru (azitromisin dan


klaritromisin), 4 kuinolon (ciprofloksasin dan ofloksasin) dan protionamid.
2.

Leprostatik
obat yang dianjurkan untuk pengobatan lepra adalah dapson, klofazimin, rifampisin.

62

C. Anti jamur
1.

Golongan polien
termasuk dalam golongan ini adalah amfoterisin dan nistatin.
amfoterisin tidak diabsorpsi di saluran cerna dan merupakan anti jamur yang diberikan
parenteral (i.v.) digunakan untuk infeksi jamur sistemik dan aktif terhadap sebagian
besar jamur dan ragi.
nistatin terlalu toksik jika diberikan secara parenteral (i.v.)

2.

Golongan imidazol
terdiri dari imidazol, klotrimazol, mikonazol, ketokonazol, ekonazol, fentikonazol,
isokonazol, sulkonazol dan tiokonazol.
golongan ini aktif terhadap berbagai jenis jamur dan ragi.

3.

Golongan triazol
terdiri dari flukonazol dan itrakonazol

4.

Anti jamur lainnya


yaitu griseofulvin dan terbinafin
griseofulvin secara selektif dikonsentrasikan di lapisan keratin dan merupakan obat
terpilih untuk dermatofitosis yang luas dan bandel lebih efektif untuk jamur kulit
daripada jamur kuku.
griseofulvin diabsorpsi dengan baik di saluran cerna terutama bila diminum bersama
susu tidak aktif bila diberikan secara topikal.
terbinafin merupakan anti jamur alilamina, diperkenalkan untuk kurap dan infeksi jamur
pada kuku dapat juga digunakan per oral.

D. Antivirus
1.

Pengobatan pada herpes simpleks dan varisella zoster


terdiri dari asiklovir, famsiklovir, valasiklovir.
penggunaan asiklovir meliputi pengobatan sistemik varisella zoster termasuk cacar air,
pengobatan sistemik dan topikal herpes simpleks kulit dan membran mukosa (termasuk
herpes genitalis)
asiklovir merupakan obat penyelamat jiwa (life-saving drug) untuk pasien herpes
simplek atau herpes zoster immunocompromised.

63

famsiklovir merupakan prodrug pensiclovir dan memiliki aktivitas yang sama dengan
asiklovir diindikasikan untuk herpes zoster dan herpes genitalis.
valasiklovir merupakan ester asiklovir yang diindikasikan untuk herpes zoster, herpes
simpleks kulit dan mukosa (termasuk herpes genitalis).
2.

Pengobatan pada Human Immunodeficiency Virus (HIV)


a. Penghambat Reverse Transkriptase Nukleotida (atau analog nukleotid)
terdiri dari didanosin, lamivudin, stavudin, zalsitabin, zidovudin.
zidovudin merupakan obat pertama yang digunakan untuk HIV obat ini dapat
menembus sawar darah otak dan mungkin bermanfaat juga mencegah dimensia
(pikun) karena AIDS.
b. Penghambat Protease
terdiri dari indinavir, ritonavir, saquinavir.
kerja menghambat sistem enzim sitokrom P 450, sehingga potensial menimbulkan
reaksi dengan obat lain.

3.

Pengobatan sitomegalovirus
yaitu gansiklovir
mirip dengan asiklovir, tetapi lebih aktif terhadap sitomegalovirus dan bersifat lebih
toksik hanya digunakan bila manfaat jelas jelas lebih besar dari risikonya.

E. Antiprotozoa

terdiri dari metronidazol, tinidazol.

metronidazol merupakan antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri
anaerob dan protozoa aktivitas antibakteri anaerobnya sangat bermanfaat untuk sepsis
pada kasus bedah dan ginekologis efektif untuk pengobatan kolitis pseudomembranosa
akibat antibiotik.

metronidazol merupakan obat terpilih untuk disentri amuba invasi akut.

tinidazol mempunyai aktivitas yang sama dengan metronidazol, tetapi masa kerja lebih
panjang.

metronidazol dan tinidazol juga efektif terhadap amuba yang bermigrasi ke dalam hati
pengobatan metronidazol/tinidazol biasanya diikuti dengan pemberian diloksanid furoat
selama 10 hari.

metronidazol efektif untuk abses amuba pada hati tinidazol merupakan alternatif.

64

F. Anti malaria

terdiri dari klorokuin, halofantrin, meflokuin, primakuin, sulfadoksin pirimetamin, kina,


artemether, arterakine (dihydroartemisinin + piperaquine fosfat).

klorokuin, halofantrin, meflokuin, sulfadoksin pirimetamin dan kina sering digunakan


untuk mengobati malaria dari tipe Plasmodium falciparum.

klorokuin digunakan untuk profilaksis malaria di daerah yang kemungkinan resistensi


klorokuin masih rendah.

halofantrin tidak boleh digunakan untuk profilaksis.

meflokuin digunakan untuk profilaksis malaria di daerah endemis malaria yang resisten
terhadap klorokuin.

primakuin digunakan untuk membasmi profilaksis P. vivax dan P. ovale.

sulfadoksin pirimetamin tidak direkomendasikan untuk profilaksis malaria, tapi digunakan


untuk pengobatan malaria falsiparum dan dapat digunakan bersama atau sesudah obat
malaria lainnya (misalnya kina).

kina tidak digunakan untuk profilaksis malaria hanya untuk pengobatan.

artemether dan arterakine (dihydroartemisinin + piperaquine fosfat) disebutkan dapat


mengobati semua jenis malaria berat termasuk pada multi resistensi Plasmodium
falciparum dan yang resisten terhadap klorokuin.

G. Antihelmintik

terdiri dari mebendazol, albendazol, tiabendazol, piperazin, levamisol, niklosamid,


prazikuantel, dietilkarbamazin, ivermectin, pirantel pamoat.

aktivitas antihelmintik tiap obat tersebut secara garis besar efektif pada setiap parasit.

65

XVIII. HIPNOTIK SEDATIF

Obat yang termasuk hipnotik sedatif ini pada umumnya adalah golongan psikotropika.

Dipandang dari sudut efeknya, obat obat dalam kelompok ini mempunyai pengaruh yang saling
dapat saling tumpang tindih contohnya Diazepam mempunyai efek ansiolitik dan juga sedatif
hipnotik pengaruh sedatif juga berefek mengurangi ansietas dan juga mempermudah tidur.

Obat sedatif (atau ansiolitik) akan mengurangi ansietas, menimbulkan ketenangan tanpa
mempengaruhi fungsi motorik dan mental.

Obat hipnotik menyebabkan mengantuk, menpercepat tidur dan mencukupkan keadaan tidur sedapat
mungkin menyerupai tidur alami.

Dengan meningkatkan dosis maka pengaruh sedatif dapat menjadi hipnotik, akan tetapi harus diingat
bahwa efek sedatif dapat juga merupakan efek samping dari obat obatan yang bukan depresan
sistem saraf pusat (SSP).

Golongan Benzodiazepin merupakan hipnotik sedatif yang paling penting karena sering dipakai
sebagai antiansietas ansiolitik dan hipnotik, relaksan otot, antiepilepsi dan juga menimbulkan sedasi
dan amnesia sebelum dan selama tindakan operasi.

Golongan Benzodiazepin kurang menimbulkan efek samping dibandingkan dengan golongan


Barbiturat, dan dalam keadaan overdosis kurang berbahaya Benzodiazepin juga tidak
mempengaruhi enzim mikrosom hati, sehingga resiko interaksi dengan obat lain sedikit.

Benzodiazepin dan juga Barbiturat mempengaruhi GABA (gamma amino butyric acid) yaitu suatu
neurotransmiter penghambat yang penting di sistem saraf pusat.

A.

Benzodiazepin yang digunakan sebagai hipnotik


Beberapa obat golongan Benzodiazepin dipakai sebagai hipnotik adalah durasi kerja panjang
(Nitrazepam, Flunitrazepam, Flurazepam) dan durasi kerja pendek (Loprazolam, Lormetazepam,
Temazepam) termasuk juga Kloralhidrat, Midazolam, Estazolam, Triazolam.
Benzodiazepin ansiolitik seperti Diazepam yang diberikan malam hari dengan dosis tunggal
dapat juga berperan sebagai hipnotik.

B.

Benzodiazepin yang digunakan sebagai sedatif (ansiolitik)


Golongan Benzodiazepin yang bekerja sebagai ansiolitik efektif dalam menghilangkan ansietas
dan banyak digunakan dipakai untuk gejala gejala yang berkaitan dengan stres, tidak
bahagia, dan penyakit fisik minor.
Benzodiazepin dipakai untuk pemakaian jangka pendek pada ansietas yang berat terbagi atas
durasi kerja panjang (Diazepam, Alprazolam, Bromazepam, Klobazam, Klorazepat) dan durasi
kerja pendek (Lorazepam, Oksazepam)

66

Diazepam dan Lorazepam kadang kadang digunakan secara intravena (i.v.) untuk
mengendalikan panik pemakaian intramuskular (i.m.) tidak lebih menguntungkan dibanding
dengan pemakaian oral.
C.

Barbiturat
Golongan Barbiturat yang kerjanya sedang hanya digunakan pada pengobatan insomnia yang
sulit diobati dan berat, pada pasien pasien sebelumnya telah mendapat Barbiturat.
Obat golongan Barbiturat ini dihindari pada usia lanjut.
Golongan Barbiturat dengan durasi kerja lama seperti Fenobarbital dan Metilfenobarbital
kadang kadang masih bermanfaat pada kasus epilepsi.
Barbiturat yang durasi kerjanya sangat pendek seperti Metoheksital dan Tiopental sering
digunakan dalam anestesia.

67

XIX. OBAT YANG DIGUNAKAN UNTUK PENYAKIT PADA


SISTEM KARDIOVASKULER

A.

Obat inotropik positif

bekerja dengan menaikkan kontraksi otot jantung (miokardium) dan digunakan untuk gagal
jantung (keadaan dimana jantung gagal untuk memompakan darah dalam volume yang
dibutuhkan) sebagai pembanding, inotropik negatif berfungsi menurunkan kontraksi otot
jantung

1.

Glikosida jantung (digitalis)


paling berguna pada takikardi supraventrikel terutama untuk memperlambat denyut
ventrikel pada fibrilasi atrium
digitalis terdiri dari digoksin dan digitoksin
pada gagal jantung yang telah dikendalikan, digitalis dihentikan dan hanya dibutuhkan
untuk mempertahankan ritme.
digoksin + diuretik harus ditambah suplemen kalium hipokalemia menyebabkan
intoksikasi digitalis.

2.

Penghambat fosfodiesterase
merupakan penghambat enzim fosfodiesterase menyeababkan peningkatan kadar
siklik AMP (cAMP) dalam sel miokard yang akan meningkatkan kadar kalsium intrasel.
penggunaan iv untuk jangka pendek membantu sirkulasi gagal jantung.
penggunaan oral untuk jangka panjang menyebabkan efek samping yang tidak dapat
ditoleransi dan peningkatan mortalitas.
terdiri dari milrinon dan amirinon.

B. Obat obat antiaritmia


1.

Aritmia supraventrikel
terdiri dari adenosin (adenosin triphosphat/ATP) dan verapamil HCl.
obat terpilih untuk menghentikan takikardi supraventrikel adalah adenosin karena masa
kerja pendek 8 10 detik, tetapi memanjang bila diberikan bersama dipiridamol.
pada asma, lebih baik dipilih verapamil daripada blocker.

2.

Aritmia supraventrikel dan ventrikel


terdiri dari amiodaron HCl, disopiramid, prokainamid HCl, kinidin.

68

3.

Aritmia ventrikel
terdiri dari lidokain HCl, meksiletin HCl, fenitoin natrium.
bretilium hanya digunakan sebagai obat antiaritmia pada resusitasi secara i.v. dan i.m.,
tetapi dapat menyebabkan hipotensi.

C. Obat obat antihipertensi

strategi terapi : terapi tanpa obat (kendalikan bobot badan; pembatasan sodium/
natrium, lemak jenuh, alkohol; olahraga dan tidak
merokok)
Terapi diuretik
Beta bloker

jangka pendek
jangka pendek

Penghambat ACE jangka panjang


Antagonis kalsium jangka panjang
Obat lain

vasodilator (hidralazin, minoksidil), alfa bloker


(prazosin, terazosin, doksazosin), kerja sentral
(metildopa, moksonidin) pada pasien yang tidak
terkendalikan oleh obat lain atau dikontraindikasikan.

lini pertama untuk hipertensi biasanya tiazid + beta bloker, tiazid + penghambat ACE.

hipertensi pada kehamilan lebih aman metildopa, beta bloker aman pada trimester ketiga
(misal Labetalol HCl), bila kondisi parah gunakan injeksi i.v. hidralazin (hipertensi kritis).

1.

Penghambat saraf adrenergik


bekerja mencegah pelepasan noradrenalin dari pasca ganglion saraf adrenergik,
guanetidin juga mengosongkan ujung saraf dari noradrenalin.
obat obat ini ditemukan kurang dapat mengendalikan tekanan darah berbaring dan
dapat menyebabkan hipotensi postural.
terdiri dari debrisokuin dan reserpin.
sudah jarang digunakan mengingat efek samping yang besar seperti impotensi dan
depresi berat, sebagai tambahan terapi lain pada hipertensi yang resisten.

2.

Alfa bloker
terdiri dari doksazosin, indoramin, prazosin HCl, terazosin.
alfa bloker dengan cepat menurunkan tekanan darah setelah dosis pertama, hati hati
pada dosis pertama dapat digunakan bersama antihipertensi lainnya.
69

prazosin menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena, sehingga jarang menimbulkan


takikardi indoramin menimbulkan banyak efek samping.
3.

Penghambat enzim pengubah angiotensin (Penghambat ACE)


bekerja dengan cara menghambat pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,
biasanya lebih efektif dan dapat ditoleransi dengan baik.
penghambat ACE (angiotensin converting enzym) dipertimbangkan

bila

tiazid

beta bloker dikontraidikasikan, tidak dapat ditoleransi atau gagal mengendalikan


tekanan darah.
dikontraindikasikan pada pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral yang berat,
penghambat

ACE

mengurangi dan meniadakan filtrasi glomerulus sehingga

menyebabkan gagal ginjal yang berat dan progresif.


penghambat ACE dikontraindikasikan pada kehamilan dan harus dihindari pada pasien
yang mungkin akan hamil
kombinasi tiazid + penghambat ACE seharusnya digunakan pada pasien yang tidak
responsif pada salah satunya.
terdiri dari kaptopril, benazepril, delapril, fosinopril, lisinopril, perindopril, kuinapril,
ramipril dan silazapril.
4.

Antagonis reseptor angiotensin II


termasuk losartan, valsartan, kandesartan dan irbesartan.
sifatnya mirip dengan penghambat ACE, perbedaannya obat ini tidak menghambat
pemecahan bradikin dan kinin kinin lainnya, sehingga tampaknya tidak menimbulkan
batuk kering yang persisten seperti pada penghambat ACE, sehingga merupakan
alternatif pengganti.

5.

Obat obat antihipertensi yang bekerja sentral


terdiri dari metildopa, klonidin HCl, moksonidin dan guanfasin.
metildopa aman bagi pasien asma, gagal jantung dan kehamilan (ESO diperkecil) jika
dosis perhari dipertahankan tetap di bawah 1 gram.
klonidin mempunyai kerugian karena penghentian pengobatn tiba tiba dapat
menyebabkan krisis hipertensif.
moksonidin untuk hipertensi ringan sampai sedang; obat ini digunakan apabila tiazid,
beta bloker, penghambat ACE dan penyekat saluran kalsium tidak sesuai atau gagal
mengendalikan tekanan darah.

70

D. Obat obat antiangina

untuk menanggulangi serangan akut angina pektoris dan profilaksisnya, meliputi golongan
nitrat, gol. Antagonis kalsium dan gol. beta bloker.

sebagian besar angina pektoris dengan beta bloker, senyawa nitrat masih berperan sebagai
profilaksis sebelum kerja fisik dan nyeri dada yang terjadi sewaktu istirahat.

1.

Golongan nitrat
bekerja langsung merelaksasi otot polos pembuluh vena tanpa bergantung pada sistem
persyarafan miokardium, sehingga dilatasi vena menyebabkan alir balik vena berkurang
sehingga mengurangi beban hulu jantung merupakan vasodilator koroner yang poten.
terdiri atas gliseril trinitrat, isosorbid dinitrat (ISDN), isosorbid mononitrat dan
pentaeritritol tetranitrat.
gliseril trinitrat diberikan secara sublingual merupakan obat untuk mengurangi gejala
angina dengan cepat, efeknya hanya 20 30 menit tersedia juga dalam bentuk
semprot aerosol (inhalasi) untuk mempercepat efek.
ISDN efektif secara oral untuk profilaksis, walaupun kerja lambat tetapi efeknya dapat
bertahan beberapa jam
sediaan konvensional isosorbid mononitrat tidak boleh diberikan lebih dari 2x sehari
(kecuali bila digunakan dosis kecil), sedangkan bentuk retard hanya boleh 1x sehari.

2.

Golongan antagonis kalsium


bekerja dengan cara menghambat influks ion kalsium transmembran, yaitu mengurangi
masuknya ion kalsium melalui kanal kalsium lambat ke dalam sel otot polos jantung dan
saraf
berkurangnya kadar kalsium bebas di dalam sel sel tersebut menyebabkan
berkurangnya kontraksi otot polos pembuluh darah (vasodilatasi), berkurangnya
kontraksi otot jantung (inotropik negatif) serta berkurangnya pembentukan dan konduksi
impuls dalam jantung (kronotropik dan dromotropik negatif).
3 tipe antagonis kalsium (nifedipin, verapamil, diltiazem) menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah dengan potensi berbeda nifedipin paling kuat berbeda dengan
verapamil, nifedipin dan derivatnya tidak memiliki aktivitas antiaritmia.
secara keseluruhan antagonis kalsium terdiri dari nifedipin, amlodipin besilat, felodipin,
nikardipin HCl, nimodipin, verapamil dan diltazem HCl.
amlodipin berefek serupa dengan nifedipin dan nikardipin, tetapi tidak punya efek
inotropik negatif dan masa kerja lebih panjang (bisa 1x sehari)

71

antagonis kalsium tidak mengurangi risiko infark miokard pada angina tidak stabil
dicadangkan bagi pasien yang resisten beta bloker, golongan nitrat, serta antikoagulasi
dengan asetosal dan heparin i.v.
penghentian antagonis kalsium yang mendadak (putus obat) dapat disertai dengan
memburuknya angina.
3.

Golongan beta bloker (penghambat adrenoseptor beta)


bekerja dengan menghambat adrenoseptor beta di jantung, pembuluh darah perifer,
bronkus, pankreas dan hati.
beta bloker sendiri/bersama obat lain digunakan untuk pengobatan hipertensi, infark
miokard, tirotoksikosis, aritmia dan angina pektoris.
terdiri dari propanolol HCl, asebutolol, atenolol, betaksolol, bisoprolol fumarat,
karvediol, labetalol HCl, metoprolol tartrat, nadolol, oksprenolol HCl, pindolol,
sotalol HCl.
beberapa beta bloker (oksprenolol, pindolol, asebutolol) mempunyai aktivitas
simpatomimetik intrinsik (aktivitas agonis parsial), yakni kapasitas untuk merangsang
maupun menghambat reseptor adrenergika beta, karena itu kurang menimbulkan
bradikardi di banding yang lain.
beberapa beta bloker larut dalam lemak dan beberapa lainnya larut dalam air (atenolol,
nadolol, sotalol), karenanya beta bloker larut dalam air tersebut sukar masuk ke dalam
otak, sehingga kurang menimbulkan efek gangguan tidur dan mimpi buruk.
beta bloker umumnya kerja singkat (harus diberikan 2 3x/hari), sediaan lepas lambat
cukup 1x/hari pada hipertensi dan pada angina bila perlu 2x/hari.
beberapa beta bloker seperti atenolol, betaksolol, bisoprolol, karvediol dan nadolol
pada dasarnya memiliki kerja yang panjang, sehingga dapat diberikan 1x/hari.
seluruh kerja beta bloker memperlambat denyut jantung dan dapat menyebabkan
depresi miokard dan mencetuskan gagal jantung tidak boleh pada pasien yang baru
gagal jantung atau dengan blok aritmia ventrikuler derajat 2 dan 3.
beta bloker dapat mencetuskan asma dan efek ini berbahaya, dikontraindikasikan pada
pasien dengan penyakit asma dan penyakit paru obstruktif menahun.
atenolol, betaksolol, bisoprolol, metoprolol dan asebutolol kurang berefek pada reseptor
beta 2, karena itu relatif kardioselektif (tetapi tidak kardiospesifik) beta bloker
tersebut efeknya kurang pada resistensi saluran nafas (namun tetap tidak bebas dari efek
samping ini).

72

E. Diuretika

diuretik digunakan untuk mengurangi edema akibat gagal jantung atau akibat lainnya,
oliguria karena gagal ginjal dan hipertensi.
oliguria = berkurangnya ekskresi urin/hari 100 400 mL.

tiazid + diuretika hemat kalium berguna untuk gagal jantung yang kurang berat bila
hipokalemia sulit diatasi atau dihindari seperti pada pasien yang terus menerus
cenderung mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa.

hipokalemia akan berbahaya pada penyakit arteri koroner yang berat dan pada pasien yang
sedang diobati dengan glikosida jantung.

hipokalemia dipicu diuretik dapat mencetuskan ensefalopati (pada gangguan hati), terutama
pada sirosis alkoholik.

suplemen kalsium digunakan pada kondisi kondisi berikut :


1. Jika pasien termasuk lansia, karena sering kekurangan kalium dalam dietnya.
2. Pasien menggunakan digoksin/glikosida jantung lainnya, dimana deplesi kalium
dapat menimbulkan aritmia jantung.
3. Pasien yang mungkin mengalami hiperaldosterinisme seperti pada stenosis arteri
ginjal, sirosis hati, sindroma nefrotik dan gagal jantung yang berat.
4. Pasien dengan kehilangan kalium yang berlebihan, seperti pada diare kronis yang
terkait dengan malabsorpsi usus atau penyalahgunaan pencahar.
5. Pasien yang menerima dosis tinggi tiazid atau diuretika kuat.

1.

Diuretika golongan tiazid


merupakan diuretik potensi sedang, bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi
natrium pada bagian awal tubulus distal.
mula kerja per oral 1 2 jam, sedangkan masa kerja 12 24 jam, lazim diberikan pagi
hari agar diuresis tidak mengganggu tidur.
terdiri dari bendrofluazid, klortalidon, metalazon, xipamid, indapamid, benztiazid,
klorotiazid, klopamid, siklopentiazid, hidroklorotiazid (HCT), hidroflumetiazid,
mefrusid, politiazid.
dosis yang tinggi terkadang dapat menyebabkan penurunan kalium, asam urat, glukosa,
lipid plasma tanpa serta merta

73

2.

Diuretik kuat (Loop diuretics)


kerjanya dengan menghambat resorpsi cairan dari loop Henle asending dalam tubulus
ginjal.
digunakan dalam pengobatan edema paru akibat gagal jantung kiri dan gagal jantung
yang telah berlangsung lama pada gangguan ginjal terkadang diperlukan dosis
besar.
hati hati/hindari pada hipokalemia dan hipotensi
terdiri dari frusemid (furosemid), bumetanid, torasemid.
furosemid bekerja setelah 1 jam per oral dan diuresis sempurna dalam 6 jam, sehingga
dapat diberikan 2x/hari tanpa mengganggu tidur

pada dosis besar terkadang

menimbulkan ketulian dan mialgia.


furosemid per i.v., efek puncak dalam waktu 30 menit.
3.

Diuretika hemat kalium


diuretika hemat kalium tidak boleh diberikan bersama suplemen kalium, demikian juga
penghambat ACE meningkatkan hiperkalemia.
terdiri dari amilorid HCl, triamteren, spironolakton

diuretika lemah yang

menyebabkan retensi kalium.


spironolakton memperkuat efek tiazid/diuretika kuat dengan cara mengantagonisasi
aldosteron.
4.

Diuretika merkuri
hampir tidak pernah digunakan karena efek nefrotoksisitasnya.
contohnya, mersalil harus diberikan lewat injeksi i.m., penggunaan i.v. dapat
menyebabkan hipotensi beratdan kematian mendadak.

5.

Diuretika osmotik
jarang digunakan pada gagal jantung karena meningkatkan volume darah secara akut.
manitol pada edema serebral dengan dosis khasnya 1g/kg sebagai suatu larutan 20 %
yang diberikan lewat infus i.v. yang cepat.

6.

Diuretika penghambat enzim karbonik anhidrase


asetazolamid merupaka diuretika lemah dan jarang digunakan.
asetazolamid dan tetes mata dorzolamid menghambat pembentukan cairan bola mata
dan digunakan untuk glaukoma.
74

Anda mungkin juga menyukai