FARMAKOLOGI DASAR
(BUKU I)
OLEH :
I. PENDAHULUAN
Dalam bidang kesehatan, obat merupakan salah satu unsur penting. Farmakologi mempunyai
peranan penting dalam memahami sifat sifat obat dalam hubungannya dengan organisme hidup.
Pemberian obat dalam bidang kesehatan bertujuan :
1. Penetapan diagnosa, pencegahan penyakit (preventif) dan penyembuhan (kuratif) penyakit
2. Pemulihan (rehabilitatif) dan peningkatan (promotif) kesehatan.
3. Kontrasepsi.
I.
DEFINISI
Beberapa definisi tentang obat :
1. Setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup.
2. Setiap zat kimia selain makanan yang mempunyai pengaruh terhadap atau dapat menimbulkan
efek pada organisme hidup.
3. Suatu bahan atau panduan bahan bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa,
mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka,
kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan, memperelok badan atau bagian badan
manusia.
Obat dapat diperoleh dari : - tumbuhan (mis. Kuinin)
- Hewan (mis. Insulin)
- Mineral (mis. Kaolin)
- Mikroorganisme (mis. Penisilin)
- Sintesis (mis. Sulfonamida)
- Bioteknologi (mis. Interferon)
Dewasa ini, sebagian besar obat yang digunakan merupakan hasil sintetis (atau semisintetis).
Farmakologi (berasal dari kata Yunani yaitu Pharmakon = obat dan Logia = studi) dapat diartikan
sebagai studi atau ilmu tentang obat. Pada mulanya Farmakologi mencakup berbagai pengetahuan
tentang obat yang meliputi sejarah, sumber, sifat sifat fisika dan kimiawi, cara meracik, efek
fisiologik dan biokimiawi, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresi, serta
penggunaan obat untuk terapi dan penggunaan untuk tujuan lain.
Sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Farmakologi dewasa ini
didefinisikan sebagai studi terintegrasi tentang sifat sifat zat kimia dan organisme hidup serta
segala aspek interaksi mereka atau ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan organisme hidup.
II.
Semua obat pada dasarnya adalah racun yang dapat menimbulkan efek toksik pada dosis
tinggi, sedangkan efek toksik racun terjadi pada dosis yang relatif kecil.
Disamping cabang cabang tersebut masih ada cabang farmakologi yang lebih spesifik
mempelajari pengaruh obat pada organ atau sistem biologik tertentu atau pada tingkat organisasi
tertentu dari organisme hidup misalnya :
Organ atau sistem biologik
Kardiovaskuler
Syaraf
------------------------ neurofarmakologi
Tingkat organisasi
Sel
Molekul biologik
nama generik
TEMPAT KERJA
DEPOT JARINGAN
(RESEPTOR)
Terikat
Bebas
Bebas
Terikat
SIRKULASI
SISTEMIK
Darah
Obat
Bentuk
Obat Bebas
ABSORPSI
EKSKRESI
sediaan
Obat Terikat
Metabolit
BIOTRANSFORMASI
Obat dapat masuk ke dalam aliran darah dengan dua macam cara, yaitu cara langsung
(intravaskuler = iv) misalnya disuntikkan intravenus dan cara tidak langsung (ekstravaskuler = ev)
misalnya melalui mulut (per oral) atau disuntikkan intramuskuler. Pada cara tidak langsung obat
mengalami peristiwa absorpsi terlebih dahulu yaitu perpindahan obat dari tempat pemberian (aplikasi) ke
dalam aliran darah (sirkulasi sistemik).
Di dalam darah kebanyakan obat mengalami pengikatan secara reversibel dengan komponen
komponen darah terutama albumin. Dengan demikian di dalam, obat terdapat dalam dua bentuk, yaitu
bentuk bebas dan bentuk terikat. Bentuk terikat terjadi karena molekul obat tersebut besar sehingga tidak
bisa menembus membran dan tetap tinggal dalam ruang vaskuler, sedangkan bentuk bebas akan
menembus dinding vaskuler masuk ke dalam jaringan jaringan dan cairan tubuh lainnya. Peristiwa
penyebaran ini disebut distribusi yaitu perpindahan obat dari darah ke dalam cairan tubuh lainnya (limfa
dan cairan ekstraseluler), jaringan serta organ organ. Dalam jaringan obat terikat secara reversibel
dengan komponen komponen jaringan seperti protein dan lemak jaringan. Jika dalam distribusi ini obat
dapat mencapai tempat kerjanya maka obat itu akan bekerja dan menimbulkan efek yang sering disebut
efek farmakologik atau respon biologik. Efek ini dapat terjadi sebagai akibat interaksi antara obat dengan
reseptornya.
Obat
reseptor
kompleks
efek
Yang dimaksud dengan kerja obat ialah perubahan kondisi yang dapat menimbulkan efek, sedangkan efek
adalah perubahan fungsi struktur atau proses sebagai akibat kerja obat. Efek obat pada hakekatnya
4
merupakan perubahan fungsi secara kuantitatif (bukan kualitatif) yang dapat berupa kontraksi otot, sekresi
oleh kelenjar, pelepasan hormon, perubahan dalam aktivitas saraf, perubahan dalam kecepatan
pembelahan sel, atau kematian sel.
Di dalam organ tertentu seperti hati, obat dapat mengalami perubahan kimiawi menjadi senyawa
lain. Peristiwa ini disebut biotransformasi dan senyawa hasil biotransformasi disebut metabolit. Jika
dibandingkan dengan senyawa induk atau asalnya (parent substance), aktivitas farmakologik metabolit
dapat berbeda secara kuantitatif atau kualitatif. Biotransformasi di dalam hati ini dapat terjadi setelah obat
di absorpsi dari saluran cerna sebelum mengalami distribusi ke seluruh tubuh. Peristiwa ini disebut first
pass effect atau efek lintas pertama.
Karena obat merupakan senyawa asing yang secara normal tidak dibutuhkan tubuh, pada akhirnya
obat akan dikeluarkan. Peristiwa ini dikenal sebagai ekskresi yaitu perpindahan obat dari darah ke dalam
cairan (urin,keringat) atau organ ekskretori (paru, empedu, ginjal). Organ yang mempunyai peranan
penting dalam ekskresi adalah ginjal karena hampir semua obat diekskresikan melalui organ ini. Bentuk
obat yang dikeluarkan dari tubuh kita bisa berupa obat yang belum atau tidak berubah (senyawa
induknya) dan metabolitnya.
Peristiwa peristiwa yang dialami obat setelah masuk ke dalam darah atau setelah diabsorpsi
sering disebut disposisi. Di samping itu biotransformasi dan ekskresi sering digabungkan menjadi
eliminasi. Penggabungan menjadi eliminasi ini didasarkan kenyataan bahwa biotransformasi dan ekskresi
mengakibatkan pengurangan jumlah obat dalam tubuh.
Membran Sel
Membran sel ialah organel yang memisahkan isi sel dari lingkungan sekitarnya. Susunan
kimiawi membran sel (manusia atau hewan) terdiri dari protein dan lipid (terutama kolesterol dan
fosfolipid). Senyawa senyawa ini seperti halnya protein mempunyai gugus yang dapat membentuk
ikatan ionik atau hidrogen dengan gugus yang sesuai.
Membran sel tidak bersifat inert, tetapi mempunyai fungsi spesifik. Sifat sifat membran sel
ialah semipermeabel, mempunyai tegangan muka yang sangat rendah dan memiliki tegangan listrik
yang disebut potensial membran.
II.
Mekanisme Transport
Obat dapat menembus membran biologik dengan beberapa cara yang dibagi menjadi dua
golongan yaitu transport yang tidak diperantarai pembawa dan transport yang diperantarai pembawa
(carrier-mediated transport).
1. Difusi sederhana atau difusi pasif
Difusi sederhana sering juga disebut difusi nonionik yaitu difusi yang umumnya terjadi pada
absorpsi dan distribusi obat. Mula mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan
membran sel, kemudian molekul obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak
membran. Pada proses ini, obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi lain. Setelah
taraf mantap (steady state) dicapai, kadar obat bentuk non-ion di kedua sisi membran akan sama.
Difusi sederhana dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut :
luar
membran
dalam
C1
C2
X
(obat)
C1 > C2
Seperti diketahui bahwa sebagian besar obat berupa elektrolit lemah yang ionisasinya dapat
dinyatakan sbb :
asam lemah
H+
A(ion)
BOH
B+
OH-
(molekul)
(ion)
HA
(molekul)
basa lemah
Bentuk molekul mudah larut dalam lipid, sedangkan bentuk ionnya sukar atau tidak larut
dalam lipid. Mekanisme ini sangat penting karena sebagian besar obat diabsorpsi secara difusi
sederhana. Obat obat yang diabsorpsi dengan mekanisme ini antara lain elektrolit organik
lemah (asam dan basa), nonelektrolit organik (alkohol) dan glikosida jantung. Difusi sederhana
juga dijumpai antara lain pada perpindahan obat dari darah menembus plasenta dan reabsorpsi
obat dari filtrat glomeruler dalam proximal tubule ginjal.
2. Transport konvektif
Dalam transport ini obat yang terlarut dalam medium berair pada tempat absorpsi bergerak
bersama zat pelarutnya (solven) menembus membran melalui pori. Ion (jika muatan listriknya
berlawanan dengan muatan dari dinding yang membatasi pori) maupun molekul netral dapat
melalui pori. Karena diameter pori 7 10 A, hanya molekul yang diameternya lebih kecil dapat
menembus membran melalui pori ini. Proses transport ini mirip proses filtrasi yang
kecepatannya tergantung antara lain koefisien filtrasi dan aliran medium.
luar
dalam
membran
C1
C2
(obat)
C1 > C2
Transport konvektif dijumpai misalnya pada absorpsi obat yang berupa elektrolit anorganik
dan organik dengan bobot molekul kecil (150 400), ion ion yang muatannya berlawanan
dengan pori dan sulfonamida terionisasi. Ekskresi obat melalui glomerulus juga terjadi dengan
mekanisme ini.
3. Transport aktif
Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati dan tubuli ginjal. Proses ini
membutuhkan energi yang diperoleh dari aktivitas membran sendiri, sehingga zat dapat bergerak
melawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara kompetitif,
transport aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat mengalami
kejenuhan). Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat zat endogen dan transport
aktif suatu obat dapat pula dipengaruhi obat lain.
Transport aktif mempunyai ciri ciri sebagai berikut :
a. Obat dapat bergerak melawan gradien kadar atau elektrokimiawi (jika obat berupa ion).
b. Obat membutuhkan suatu zat yang berfungsi sebagai pembawa.
c. Prosesnya dapat mengalami kejenuhan (saturasi).
d. Berlangsungnya transport aktif membutuhkan energi; oleh karena itu zat zat yang bersifat
sebagai racun metabolisme (misalnya sianida, fluorida, dinitrofenol dan iodoasetat) dan
hipoksia dapat menghambat transport ini,
e. Transport aktif bersifat struktural spesifik, antara senyawa senyawa yang strukturnya
saling berkompetisi.
f. Prosesnya berjalan satu arah (unidirectional)
Proses transport dapat digambarkan dengan bagan sbb :
luar
membran
dalam
C1
C2
CX
CX
(obat)
C1 > C2
E = energi ; C = carrier (pembawa)
Mekanisme transport aktif misalnya pada absorpsi ion Na, K, I, Fe dan Ca, monosakarida
(heksosa), asam amino, senyawa fosfat organik, senyawa basa pirimidina, vitamin B, hormon
kelamin (testosteron-estradiol), dan 5 fluorourasil. Disamping itu transport aktif juga dijumpai
pada sekresi obat (asam atau basa) dari dalam darah ke proximal tubule ginjal.
4. Difusi fasilitatif
Difusi fasilitatif (facilitated diffusion) adalah suatu proses transport yang terjadi dengan
bantuan suatu faktor pembawa (carrier) yang merupakan komponen membran sel tanpa
menggunakan energi sehingga tidak melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik. Proses
8
ini juga bersifat selektif, terjadi pada zat endogen yang transportnya secara difusi biasa terlalu
lambat, misalnya masuknya glukosa ke dalam sel perifer. Mekanisme absorpsi ini mirip dengan
transport aktif, perbedaannya ialah obat bergerak sejalan dengan gradien kadar.
Contoh klasik difusi fasilitatif ialah absorpsi vitamin B12 dari saluran cerna. Vitamin ini
lebih dahulu membentuk kompleks dengan faktor intrinsik yang dihasilkan oleh dinding
lambung. Kemudian kompleks ini berikatan dengan pembawa dan selanjutnya ikatan ini di
absorpsi secara difusi fasilitatif. Kekurangan vitamin B12 menyebabkan timbulnya anemia
pernisiosa dan salah satu faktor penyebabnya ialah tidak adanya faktor intrinsik. Contoh lain
difusi fasilitatif adalah masuknya glukosa ke dalam eritrosit.
luar
membran
dalam
C1
X
C2
CX
(obat)
C
CX
C1 > C2
C = carrier (pembawa)
membran
dalam
ion organik
-
<<
Kompleks
Difusi pasif
Disosiasi
6. Pinositosis
Pinositosis disebut juga transport korpuskuler atau partikulat. Prosesnya seperti fagositosis
yaitu penelanan bakteri oleh leukosit. Cara transport pinositosis adalah dengan membentuk
vesikel, misalnya makromolekul seperti protein. Jumlah obat yang diangkut dengan cara ini
sangat sedikit.
Mekanisme ini dijumpai pada absorpsi vitamin vitamin yang larut lemak (vitamin A, D, E
dan K), asam lemak dan asam amino. Termasuk telur parasit dapat menembus membran secara
pinositosis. Terhadap senyawa senyawa lain peranan mekanisme ini belum diketahui.
Pinositosis inilah yang mungkin dapat menjelaskan mengapa vaksin polio efektif walaupun
diberikan secara oral.
10
IV. ABSORPSI
Efek farmakologi suatu obat akan muncul setelah obat itu dalam jumlah yang memadai dapat
mencapai tempat kerjanya. Jika hal ini melibatkan aliran darah, kecepatan mencapai tempat kerjanya obat
tergantung pada kecepatan absorpsi (kecuali jika obat dimasukkan langsung ke dalam pembuluh darah)
dan proses ini ditentukan antara lain oleh cara pemberian obat.
I.
Absorpsi
Absorpsi obat adalah peristiwa perpindahan/penyerapan obat dari tempat pemberian
(aplikasi) ke dalam sirkulasi sistemik. Tempat absorpsi dapat terjadi misalnya pada kulit, saluran
cerna dan paru. Adapun mekanismenya bisa dengan cara difusi sederhana, transport aktif, difusi
fasilitatif, transport pasangan ion dan pinositosis. Suatu obat bisa diabsorpsi dengan lebih dari satu
macam mekanisme.
Kecepatan absorpsi obat secara garis besar tergantung dari cara pemberian, faktor obat dan
faktor hayati. Untuk mengukur kecepatan absorpsi obat dapat dilakukan secara in vitro (misalnya
metoda kantong usus), in situ (misal metode Doluisio) dan in vivo (misalnya dengan mengukur
kecepatan timbulnya efek atau memantau kadar obat dalam darah selama waktu tertentu). Sebagai
ukuran absorpsi adalah bioavailibilitas atau ketersediaan hayati yaitu kecepatan dan jumlah obat
yang diabsorpsi.
II.
11
1. Cara Enteral
Cara pemberian obat secara enteral yang paling sering digunakan dalam pengobatan adalah
cara oral.
A. Cara oral
Sebagian besar obat yang ditujukan untuk mendapatkan efek sistemik diberikan secara
oral, hanya sebagian kecil saja obat yang diberikan secara oral itu ditujukan untuk bekerja
dalam saluran cerna seperti obat cacing dan antasida. Kerja obat golongan ini tidak
memerlukan absorpsi dari saluran cerna.
Absorpsi obat yang diberikan secara oral dapat terjadi dalam lambung dan usus
tergantung dari sifat obatnya. Dalam hal ini usus halus mempunyai peranan yang sangat
penting karena usus halus mempunyai permukaan absorpsi yang sangat luas karena adanya
villi dan di dalam usus halus tersedia banyak mekanisme absorpsi.
Perjalanan obat yang diberikan secara oral untuk tujuan sistemik digambarkan sebagai
berikut :
[ v. portal ]
Obat
hati
[ v. hepatika ]
jantung
(dalam saluran
cerna)
ke seluruh tubuh
Dinding usus
Di dalam saluran cerna seperti dinding usus atau hati, obat tertentu (mis. Testoteron)
dapat mengalami perusakan menjadi senyawa lain yang aktivitas farmakologinya lebih
lemah. Perubahan yang dialami obat dalam saluran cerna ini dapat disebabkan oleh pengaruh
pH lingkungan, enzim pencernaan dan flora usus.
Pemberian obat secara oral lebih disukai pasien daripada cara lain karena relatif aman,
praktis dan ekonomis. Namun perlu diingat bawa cara peroral juga mempunyai kelemahan
sebagai berikut :
1)
2)
Cara oral ini tidak memberikan manfaat bagi pasien yang sering muntah, menderita
diare, tidak sadar atau tidak kooperatif (misalnya penderita sakit jiwa).
3)
Untuk obat obat yang bersifat iritatif dan rasanya tidak enak jangan diberikan secara
oral.
4)
Pemberian secara oral ini tidak memberikan manfaat jika obat yang diberikan itu
mengalami peruraian oleh cairan lambung atau usus (misalnya penisilin G dan
12
insulin) yang akan mengalami perubahan secara intensif menjadi bentuk inaktif
sebelum mencapai sirkulasi sistemik.
Absorpsi obat yang diberikan secara oral dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain :
a.
Kecepatan Disolusi
Jika obat diberikan secara oral dalam bentuk sediaan padat seperti tablet,
kecepatan absorpsinya seringkali dikendalikan oleh kecepatan pelarutan obat (disolusi)
dalam cairan tempat absorpsi. Dengan kata lain, kecepatan disolusi merupakan faktor
pembatas kecepatan absorpsi. Kecepatan disolusi antara lain dipengaruhi oleh luas
permukaan obat yang melarut.
b.
Ukuran Partikel
Obat obat yang sukar larut dalam air dapat disebabkan oleh ukuran partikel
sehingga mempengaruhi absorpsinya. Jadi suatu tablet yang mengandung senyawa
aktif dalam bentuk agregat besar tidak mudah melarut dalam cairan pada tempat
absorpsi, akibatnya jumlah obat yang diabsorpsi sangat sedikit. Ukuran partikel yang
kecil sangat penting pada absorpsi obat kortikosteroida, antibiotika seperti
kloramfenikol, griseofulvin, antikoagulan oral tertentu, tolbutamid dan spironolakton.
c.
d.
Kadar
Semakin tinggi kadar obat pada tempat absorpsi, semakin besar gradien kadar.
Hal ini mengakibatkan semakin cepatnya absorpsi.
e.
f.
Ionisasi
Kebanyakan obat pada umumnya berupa elektrolit lemah. Oleh karena itu
derajat ionisasi dipengaruhi oleh pH lingkungan. Dalam larutan, obat berada dalam dua
13
bentuk yaitu bentuk terion yang mudah larut dalam air tetapi kurang larut dalam lipid
dan bentuk tak terion yang lebih mudah larut dalam lipid daripada dalam air. Bentuk
tak terion lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk terion.
Obat obat yang bersifat asam lemah dalam lambung lebih banyak berbentuk
tak terion daripada dalam usus yang bersifat basa. Obat obat yang bersifat asam
lemah tersebut lebih mudah diabsorpsi di dalam lambung daripada dalam usus.
Sebaliknya obat obat yang bersifat basa lemah tidak (atau sangat sedikit) diabsorpsi
sampai obat itu mencapai usus.
Obat obat seperti streptomisin, neomisin dan sulfaguanidin bersifat basa kuat.
Di dalam usus kadar bentuk tak terionnya sangat rendah. Oleh karena itu absorpsi
obat obat tersebut dari saluran cerna sangat buruk. Hal yang sama juga bagi
obat obat yang bersifat asam kuat.
Dari uraian di atas faktor faktor yang menyebabkan perubahan pH lingkungan
cerna dapat mempengaruhi absorpsi obat.
g.
h.
Bentuk Sediaan
Secara umum urutan kecepatan absorpsi obat dari berbagai sediaan dinyatakan
sebagai berikut :
larutan > suspensi > kapsul > tablet > tablet salut
i.
j.
Pengaruh Makanan
Banyak obat yang absorpsinya lambat jika diberikan bersama makanan.
Peristiwa ini terutama disebabkan efek penghambatan pengosongan lambung oleh
makanan. Pengaruh makanan terhadap absorpsi obat ini tergantung pada volume,
viskositas isi lambung serta tonisitasnya. Absorpsi lebih cepat jika obat diberikan
14
sebelum makan, tetapi obat obat iritan seperti asam salisilat dan garam besi sengaja
diberikan setelah makan untuk memperkecil atau menghindari kemungkinan iritasi
lambung.
k.
B. Cara sublingual
Melalui cara ini, obat diletakkan di bawah lidah yang kaya akan pembuluh darah.
Keuntungan cara sublingual ini ialah obat dapat memberikan efek secara cepat, mencegah
kerusakan obat dalam saluran cerna dan biotransformasi dalam dinding usus serta hati dapat
dihindari karena obat yang terabsorpsi tidak melewati vena portal. Contoh obat yang
diberikan sublingual adalah nitrogliserin dan isosorbid dinitrat (ISDN) untuk mengobati
angina pektoris dan isoprenalin yang ditujukan untuk pengobatan asma bronkhial.
C. Cara rektal
Obat obat tertentu diberikan secara rektal yang biasanya dalam bentuk supositoria
dengan tujuan untuk pengobatan lokal (misalnya pengobatan wasir) atau efek sistemik.
Pemberian obat secara rektal dengan tujuan sistemik ini ditempuh jika pemberian secara oral
mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan karena obat bersifat iritatif terhadap
lambung, terurai di dalam lambung atau usus halus dan mengalami perubahan di dalam hati
(biotransformasi) sebelum masuk sirkulasi sistemik. Adapun obat obat yang diberikan
secara rektal untuk tujuan sistemik misalnya asetosal, parasetamol, indometasin, teofilin dan
golongan barbiturat tertentu.
Absorpsi obat menembus mukosa rektum pada umumnya secara difusi sederhana/pasif.
Adapun faktor faktor yang berpengaruh antara lain :
a.
Bentuk Sediaan
Absorpsi obat dari rektum umumnya lebih cepat dan efisien jika diberikan
dalam bentuk larutan daripada dalam bentuk supositoria.
b.
Materi Tinja
Adanya materi tinja dalam rektum menghambat absorpsi obat. Absorpsi lebih
cepat dan efisien jika dilakukan pembersihan dahulu dengan enema evakuan sebelum
pemberian obat.
15
c.
Basis Supositoria
Beberapa basis supositoria seperti carbowax bersifat iritatif terhadap rektum
dan memacu defekasi yang dapat mengakibatkan hilangnya obat.
d.
Pelepasan Obat
Lambatnya pelepasan obat dari basis akan menyebabkan rendahnya
bioavailabilitas obat dalam bentuk supositoria.
2. Cara Parenteral
Melalui cara ini, obat ditempatkan atau dimasukkan ke dalam bagian tubuh selain saluran
cerna. Secara umum cara ini mempunyai keuntungan yaitu :
1) Cara parenteral dapat digunakan untuk pasien yang tidak sadar, sering muntah, diare,
mengalami kesulitan dalam menelan dan pasien yang tidak kooperatif.
2) Cara parenteral dapat dipergunakan untuk obat obat yang mengiritasi lambung atau tidak
diabsorpsi dari saluran cerna.
3) Cara parenteral dapat menghindari kerusakan obat dalam saluran cerna dan hati (first pass
effect).
4) Obat yang diberikan secara parenteral dapat bekerja secara cepat dan ekonomis.
Cara parenteral agak berbahaya ini terutama suntikan karena dapat menyebabkan infeksi jika
dilakukan secara tidak benar.
A. Cara inhalasi
Pemberian obat secara inhalasi adalah cara pemberian dengan jalan memasukkan obat
ke dalam saluran nafas. Cara pemberian ini dapat digunakan untuk efek lokal atau sistemik.
Absorpsi obat melalui paru berlangsung cepat. Kadar obat (gas atau uap) dapat dikontrol
dengan mudah karena absorpsi dan ekskresi obat melalui paru tunduk pada hukum hukum
gas.
Obat yang terabsorpsi melalui paru langsung masuk ke dalam atrium kiri melalui vena
pulmonal, maka pemberian obat secara inhalasi bisa menyebabkan toksisitas jantung. Di
samping itu timbulnya iritasi lokal dapat meningkatkan sekresi saluran nafas.
Obat obat yang diberikan secara inhalasi dapat berupa gas, uap atau aerosol (yaitu
suspensi cairan atau zat padat dalam udara). Conroh obat yang diberikan secara inhalasi
adalah gas oksigen untuk menanggulangi anoksia, uap eter untuk anestesi, amilnitrit (uap)
untuk mengobati angina pektoris dan adrenalin (sebagai aerosol) untuk mengobati asma
(efek lokal).
16
b.
17
c.
d.
e.
f.
Intratekal
Obat yang diberikan secara intratekal misalnya anestetika spinal yang
dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid. Obat bekerja langsung pada sistem saraf
pusat. Sediaan obat yang diberikan dengan cara ini harus benar benar aseptik.
g.
h.
i.
19
V. DISTRIBUSI
Setelah diabsorpsi, obat disebarkan atau didistribusikan dalam tubuh melalui cairan tubuh. Cairan
tubuh inilah yang menghantarkan obat menuju tempat kerjanya. Cairan tubuh pada orang dewasa sehat
kurang lebih 60 % berat badan dengan komposisi sebagai berikut :
Cairan intraseluler (33 %
BB)
Cairan badan
(60 % BB)
Cairan ekstraseluler (26,
8 % BB)
Proses distribusi obat pada umumnya berlangsung cepat dan reversibel. Karena sifatnya yang
reversibel inilah maka perubahan kadar obat dalam darah mencerminkan perubahan kadar obat dalam
tempat kerjanya. Distribusi kebanyakan obat berlangsung secara difusi sederhana/pasif.
Kecepatan dan derajat distribusi obat tergantung pada faktor faktor sebagai berikut :
1) Sifat sifat fisikokimiawi obat terutama kelarutannya dalam lipid.
2) Distribusi regional aliran darah ke berbagai jaringan dan organ tubuh.
3) Pengikatan obat oleh protein dan konstituen tubuh lainnya.
4) Transport aktif beberapa obat menembus membran sel.
I.
II.
20
D-P
(Protein)
21
Jika dalam peristiwa pengikatan tersebut diatas diterapkan Aksi Massa, maka diperoleh :
K1
[DP]
Ka =
=
K2
[D] . [P]
[DP]
fb =
atau
fb =
[D]T
[D] + [DP]
% obat terikat = fb x 100 %
Karena pengikatan bersifat reversibel, maka obat yang terikat pada protein dapat didesak
oleh obat atau senyawa lain yang afinitasnya terhadap protein lebih kuat.
Apabila kadar protein dalam darah menurun misalnya terjadi pada albumin (hipoalbuminemia),
maka jumlah obat yang terikat berkurang. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kadar obat
bebas. Berkurangnya kadar protein dalam plasma dijumpai misalnya pada :
Keadaan
Mekanisme
Penyakit hati
Trauma
Luka Bakar
Penyakit Ginjal
22
D(n) P
Pada umumnya satu molekul protein dapat mengikat satu atau dua molekul obat.
3. Kadar Protein
Meningkatnya kadar protein menaikkan pula jumlah tempat pengikatan yang tersedia untuk
mengikat obat. Pada kadar obat tetap, jumlah obat yang terikat ditentukan oleh kadar protein.
Jika kadar protein meningkat, maka meningkat pula jumlah obat yang diikat oleh protein. Pada
saat eliminasi, peningkatan kadar protein tidak lagi berpengaruh terhadap jumlah obat yang
diikat.
4. Kadar Obat
Pada kadar protein tetap, peningkatan kadar obat akan menurunkan fraksi obat yang terikat.
Pada beberapa penyakit misalnya tumor ganas, mialgia, neurosis, psikosis, schizoperenia dan
paranoia dijumpai hiperalbuminemia.
Pengikatan obat oleh material hayati berpengaruh terhadap volume distribusi (Vd) obat.
Semakin banyak obat terikat oleh protein plasma, maka semakin kecil volume distribusinya.
Sebaliknya semakin banyak obat terikat oleh protein (material hayati) jaringan, semakin besar
Vd-nya.
V.
Pendesakan
Seperti telah dikemukan, pengikatan obat oleh material hayati pada umumnya bersifat tidak
spesifik dan reversibel. Oleh karena itu, obat yang terikat pada protein dapat didesak oleh obat lain
yang afinitasnya terhadap protein lebih kuat daripada afinitas obat yang terikat.
23
24
IX. Redistribusi
Tiopental adalah anestetik yang bekerja cepat namun durasinya sangat pendek. Jika
diberikan secara intravena maka pasien akan cepat tertidur dan setelah lebih 10 menit pasien itu
akan sadar kembali. Pada awalnya, durasi efek yang sangat pendek ini diduga karena tiopental
mengalami perubahan yang sangat cepat, namun kemudian diketahui bahwa biotransformasinya
sangat lambat, hanya 10 - 15 % obat diubah menjadi metabolit yang inaktif dalam waktu satu jam.
Hal ini berarti bahwa dalam 10 menit sebagian besar obat masih berada dalam badan sebagai
tiopental. Kemudian diketahui bahwa durasi efek tiopental yang sangat pendek tersebut bukan
karena obat mengalami biotransformasi secara intensif tetapi karena terjadinya redistribusi yaitu
perpindahan obat dari tempat kerjanya (otak) ke dalam otot, kulit dan jaringan lemak.
25
II.
desmetil imipramin
(lebih aktif)
metil dopa
metil norepinefrin
(lebih aktif sebagai adrenergik)
prontosil rubrum
(zat warna azo)
sulfanilamida
(anti bakteri)
3. Jalur metabolisme
Dikenal dua fase/tahap reaksi metabolisme yaitu fase non sintetik atau fase I
(fungsionalisasi) dan fase sintetik atau fase II (konjugasi). Tidak semua obat dimetabolisme
26
melalui kedua fase reaksi tersebut; ada obat yang mengalami reaksi fase I saja (satu atau
beberapa macam reaksi) atau reaksi fase II saja (satu atau beberapa macam reaksi). Tetapi
kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi
beberapa macam metabolit.
A. Fase non sintetik (fase I)
Terdiri dari reaksi reaksi :
1. Oksidasi Mikrosomal
Antara lain terdiri dari oksidasi rantai samping, hidroksilasi aromatik, N
oksidasi, sulfoksidasi, N dealkilasi, O dealkilasi, S dealkilasi, deaminasi
dan desulfurasi.
2. Oksidasi Nonmikrosomal
Antara lain terdiri dari oksidasi alkohol, aromatisasi.
3. Reduksi
Antara lain terdiri dari nitroreduksi, azoreduksi (disertai hidrolisis) dan
dehidrogenasi alkohol.
4. Hidrolisis
Reaksi metabolisme fase I ini melibatkan sistem enzim mikrosomal yang disebut juga
sistem mixed function oxidase (MFO). Sistem ini sering disebut juga sistem monooksigenase
yang berdasarkan letaknya dalam sel terdapat dalam retikulum endoplasma halus. Enzim
metabolisme ini terbagi menjadi enzim mikrosom dan nonmikrosom, terutama terdapat
dalam sel hati, tetapi juga terdapat dalam sel jaringan lain seperti paru, ginjal, epitel saluran
cerna dan plasma. Sistem enzim mikrosomal merupakan sistem enzim yang sangat
kompleks. Terdiri dari berbagai macam enzim yang reaksinya selalu terkait (coupled) satu
dengan yang lainnya. Komponen utama yang mempunyai peran sentral dari sistem MFO ini
adalah sitokrom P 450. Sistem enzim ini mempunyai substrat yang sangat bervariasi.
Ternyata sitokrom P 450 terdiri dari banyak isozim, yang satu dengan lainnya
mempunyai
perbedaan dalam
berat
molekul
(BM),
urutan asam
amino,
sifat
28
VII. EKSKRESI
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil
biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresikan lebih cepat daripada
obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Seperti halnya biotransformasi, ekskresi suatu obat
dan metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat
terjadi bergantung kepada sifat fisikokimia yaitu bobot molekul (BM), harga pKa, kelarutan, tekanan uap
dari senyawa yang diekskresi melalui :
-
Ekskresi obat melalui kulit dan turunannya tidak begitu penting. Tetapi pada ibu yang menyusui,
eliminasi obat dan metabolitnya dalam air susu dapat menyebabkan intoksikasi yang membahayakan pada
bayi.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi di sini merupakan resultan dari 3
proses, yakni :
1. filtrasi di glomerulus,
2. sekresi aktif di tubuli proksimal, dan
3. reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler yang dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari
albumin melalui celah antarsel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma
mengalami filtrasi di sana. Di tubuli proksimal, asam organik (penisilin, probenesid, salisilat, konyugat
glukuronid dan asam urat) disekresi aktif melalui sistem transport untuk asam organik; dan basa organik
(neostigmin, kolin, histamin) disekresi aktif melalui sistem transport untuk basa organik. Kedua sistem
transport tersebut relatif tidak selektif sehingga terjadi kompetisi antar asam organik dan antar basa
organik dalam sistem transportnya masing masing. Untuk zat zat endogen misalnya asam urat, sistem
transport ini dapat berlangsung dua arah, artinya terjadi sekresi dan reabsorpsi.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk non ion. Oleh karena itu,
untuk beberapa obat elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang
menetukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih basa, maka asam lemah terionisasi lebih banyak, sehingga
reabsorpsinya berkurang yang akibatnya ekskresi meningkat. Sebaliknya, bila urin lebih asam, ekskresi
asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. Prinsip ini
digunakan untuk mengobati keracunan obat, yang diekskresinya dipercepat dengan pembasaan atau
pengasaman urin, misalnya salisilat dan fenobarbital.
29
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal, sehingga dosis perlu
diturunkan (penyesuaian dosis) atau interval pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan
patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Banyak metabolit obat yang terbentuk di hati diekskresikan ke dalam usus melalui empedu,
kemudian dibuang melalui feses, tetapi lebih sering diserap kembali di saluran cerna dan akhirnya
diekskresi melalui ginjal. Ada 3 sistem transport ke dalam empedu, tetapi kesemuanya bekerja dengan
mekanisme transport aktif, yaitu masing masing untuk asam organik termasuk glukuronid, basa organik
dan zat netral misalnya steroid. Telah disebutkan bahwa konyugat glukuronid akan mengalami sirkulasi
enterohepatik.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur (saliva), air mata, air susu dan rambut, tetapi
dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat
digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan
untuk menemukan logam toksik misalnya arsen.
30
Konsep Reseptor
Konsep tentang adanya reseptor untuk obat, hormon dan neurotransmitter pertama kali
muncul pada permulaan abad XX. Konsep reseptor tersebut berkembang dengan pesat oleh adanya
tiga sifat kerja obat yang sangat karakteristik yaitu :
1. Potensi tinggi
Obat umumnya bekerja pada kadar 10 -8 M, bahkan ada obat yang dapat menimbulkan efek pada
kadar lebih rendah.
2. Spesifikasi kimiawi
Stereoisomer suatu obat mempunyai aktivitas biologik yang tidak sama. Sebagai contoh,
kloramfenikol, antibiotika ini mempunyai 4 stereoisomer, namun hanya satu yaitu stereoisomer
yang bersifat antibakteri.
3. Spesifisitas biologik
Aktivitas obat pada suatu jaringan bisa berbeda pada jaringan lain. Misalnya epinefrin
menunjukkan efek yang sangat kuat pada otot jantung, namun sangat lemah aktivitasnya pada
otot lurik.
Yang dimaksud dengan reseptor obat (atau reseptor farmakologik, dan selanjutnya disebut
reseptor saja) adalah komponen spesifik sel yang dapat berinteraksi dengan obat dan hasil interaksi
ini menimbulkan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang pada akhirnya menghasilkan efek atau
respon. Kata obat dalam hal ini mencakup juga hormon dan neurotransmitter.
Obat yang dapat menghasilkan efek setelah berinteraksi dengan reseptor dinamakan agonis,
sedangkan obat yang dapat berinteraksi dengan reseptor tanpa diikuti timbulnya efek disebut
antagonis. Istilah antagonis ini dipergunakan karena interaksi antagonis dan reseptor dapat
mengganggu interaksi agonis dan reseptornya dalam menimbulkan efek. Perlu juga dikemukan di
31
sini, bahwa antagonis dalam farmakologi, istilah antagonis secara umum berarti tiap zat yang dapat
mengurangi atau meniadakan efek obat lain tanpa memperhatikan cara kerjanya.
II.
R
(reseptor)
K2
DnR
(kompleks obat reseptor)
Fraksi reseptor yang diduduki obat dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
[D]n
[DnR]
r =
=
[R]T
[D]n + KD
[D]
[DnR] = kadar kompleks obat reseptor atau reseptor yang diduduki obat
[R]T
[R]
KD
V.
DR
[DR]
r
E
(efek)
ED
=
[R]T
ED (maks)
atau
ED (maks) . [D]
ED =
[D] + KD
ED
ED (maks)
= efek
= efek maksimum
V.
Semakin besar pD2, semakin kuat afinitas suatu obat terhadap reseptornya.
Di samping sebagai ukuran afinitas, pD2 sering juga dipergunakan untuk membandingkan
sensitivitas jaringan (reseptor) terhadap obat (agonis), atau membandingkan potensi obat terhadap
reseptornya dalam menghasilkan efek. Senakin besar pD2, semakin sensitif suatu jaringan terhadap
obat, demikian juga potensinya.
Syarat kedua yang harus dimiliki obat agar dapat menimbulkan efek ialah aktivitas intrinsik.
Parameter aktivitas intrinsik merupakan tetapan perbandingan efek dan kompleks obat reseptor
atau dapat juga dinyatakan sebagai besarnya efek per unit kompleks obat reseptor.
ED = . [DR]
ED [maks] = . [R]
atau
= aktivitas intrinsik
Aktivitas intrinsik merupakan pengertian relatif dan sebagai skala respon maksimum jaringan.
ED [maks]
ET [maks]
34
Jika suatu obat mempunyai = 1, disebut agonis penuh. Jika 0 < < 1, disebut agonis parsial, jika
0, disebut antagonis.
Efikasi adalah kemampuan kompleks obat reseptor untuk menghasilkan stimulus yang
pada akhirnya menimbulkan efek. Jika dua parameter itu dibandingkan aktivitas intrinsik
menghubungkan efek dan pendudukan reseptor, sedangkan efikasi menghubungkan stimulus dan
pendudukan reseptor. Stimulus yang dihasilkan ini berbanding langsung dengan fraksi reseptor yang
diduduki oleh obat. Dan efek yang dihasilkan merupakan fungsi stimulus. Hubungan (antara efek
dan stimulus) ini tidak selalu merupakan hubungan linier.
Obat obat yang berbeda efikasinya menghasilkan stimulus yang berbeda, namun hubungan
stimulus dan efek bukan merupakan sifat obat, tetapi sifat jaringan (sifat yang tidak tergantung
jaringan).
Menurut konsep efikasi ini, agonis ialah obat yang mempunyai efek besar. Bagi obat obat
yang tergolong agonis kuat, efek maksimumnya dapat dicapai tanpa harus menduduki semua
reseptor. Sisa reseptor yang tidak diperlukan untuk mencapai efek maksimum disebut reseptor
cadangan.
VI. Antagonisme
Antagonisme adalah peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain.
Peristiwa ini dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu antagonisme fisiologik atau fungsional,
antagonisme farmakologik, antagonisme biokimiawi dan antagonisme kimiawi.
1. Antagonisme fisiologik atau fungsional
Adalah antagonisme yang terjadi jika dua macam agonis bekerja pada dua macam reseptor
dan menghasilkan efek yang saling berlawanan pada fungsi fisiologik yang sama.
Contoh, antagonisme antara histamin dan norepinefrin terhadap tekanan darah. Histamin
menurunkan tekanan darah dengan cara melonggarkan pembuluh darah (vasodilatasi),
sedangkan norepinefrin menaikkan tekanan darah dengan cara menyempitkan pembuluh darah
(vasokontriksi). Contoh lain antagonisme antara metakholin dan isoprenalin pada trakhea.
2. Antagonisme farmakologik
Misalnya antagonisme yang terjadi antara histamin dan difenhidramin. Dalam hal ini,
difenhidramin mengurangi efek histamin dengan cara menghalangi pembentukan kompleks
histamin dan reseptornya. Contoh yang sejenis ialah antagonisme antara asetilkholin dan atropin,
antara isoprenalin dan propanolol. Termasuk dalam antagonisme ini adalah antagonisme parsial,
yaitu antagonisme antara agonis dan agonis parsial.
3. Antagonisme biokimiawi
Antagonisme ini dapat dipandang sebagi kebalikan dari sinergisme. Jenis antagonisme ini
terjadi jika obat kedua mengurangi secara tidak langsung obat pertama pada tempat kerjanya.
35
Obat obat yang dapat meningkatkan eliminasi agonis, atau berkompetisi dalam transportnya
disebut antagonisme biokimiawi. Sebagai contoh, fenobarbital mengurangi efek dikumarol
dengan cara meningkatkan biotransformasinya. Contoh lain yang serupa adalah antagonisme
antara alkohol (penggunaan secara kronik) dengan tolbutamid.
4. Antagonisme kimiawi
Berbeda dengan antagonisme yang telah dikemukakan, dalam antagonisme kimiawi ini,
antara agonis dan antagonis terjadi reaksi kimia langsung menghasilkan produk yang inaktif.
Misalnya, efek heparin (antikoagulan) yang bermuatan negatif direduksi oleh protamin (protein
basa). Antasida (Al atau Mg) mengurangi efek tetrasiklin karena mengurangi kompleks yang
sukar diabsorpsi.
VII. Antagonisme Farmakologik
Antagonisme ini dibagi menjadi dua jenis yaitu antagonisme kompetitif dan antagonisme
nonkompetitif.
1. Antagonisme kompetitif
Dalam antagonisme kompetitif, antagonis bereaksi secara reversibel dengan reseptor
sehingga menghalang halangi agonis dalam berinteraksi dengan reseptornya.
D
R
+
A
DR
AR
(antagonis reseptor)
Hal ini mengakibatkan jumlah agonis yang berinteraksi dengan reseptornya berkurang, yang
pada gilirannya menyebabkan efek yang ditimbulkan menjadi lebih lemah. Untuk mendapatkan
efek yang sama seperti sebelum adanya antagonis, dibutuhkan dosis yang lebih besar. Jika
antagonisme ini digambarkan dengan KDLR (kurva logaritme dosis respon), memperlihatkan
bahwa kurva bergeser sejajar ke kanan, pD2 menjadi lebih kecil, atau dengan perkataan lain
reseptor menjadi kurang peka terhadap agonis.
Sebagai parameter kekuatan antagonis kompetitif adalah pA2, yang didefinisikan sebagai
logaritma negatif kadar molar antagonis yang mengakibatkan kadar agonis harus dilipatkan
menjadi dua kali untuk mendapatkan efek yang sama dengan efek pada kondisi tidak adanya
antagonis. Besaran ini sebenarnya merupakan gambaran tetapan disosiasi kompleks
antagonis reseptor atau afinitas antagonis terhadap reseptornya.
pA2
Semakin besar pA2 suatu antagonis, semakin besar afinitas antagonis itu terhadap reseptornya.
2. Antagonis nonkompetitif
Antagonisme ini terjadi jika antagonis mempunyai afinitas yang sangat kuat terhadap
reseptor atau menyebabkan perubahan kimiawi yang ireversibel pada reseptor. Hal ini akan
36
mengurangi jumlah reseptor yang dapat berintegrasi dengan agonisnya, yang berakibat
menurunnya efek agonis. Berbeda dengan antagonisme kompetitif, gangguan ini tidak dapat
diatasi dengan cara memperbesar kadar agonis.
D
R
+
A
DR
AR
(antagonis reseptor)
KDLR agonis setelah adanya antagonis berupa sigmoid yang lebih landai dengan efek
maksimum yang lebih rendah daripada sebelum adanya antagonis, tetapi pD2 tetap tidak berubah.
Parameter yang digunakan untuk menyatakan kekuatan antagonis kompetitif adalah pD2,
yang didefinisikan sebagai kadar antagonis yang menyebabkan pengurangan efek maksimum
agonis menjadi 50 % efek maksimum sebelum adanya antagonis. Besaran ini sama dengan
logaritma negatif tetapan disosiasi kompleks antagonis reseptor.
pD2
Termasuk juga dalam antagonisme kompetitif adalah jika gangguan antagonis itu terjadi pada
salah satu bagian dari rangkaian peristiwa yang menuju timbulnya efek.
37
Tempat Kerja
Obat dapat bekerja :
1)
2)
3)
Ditinjau dari sudut sel tempat kerja obat dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1)
ekstraseluler
2)
3)
intraseluler
2)
menghindari penggunaan obat apabila tempat dimana obat biasanya bekerja tidak
berfungsi
3)
4)
II.
38
Massa fisis : agar dan biji psyllium mengabsorpsi air jika diberikan secara oral dan
mengembang volumenya. Hal ini menyebabkan peristalsis dan purgasi.
b.
Rasa : senyawa senyawa dengan rasa pahit secara refleks akan meningkatkan aliran
asam klorida ke dalam lambung. Peristiwa ini akan menambah nafsu makan. Sebagai
contoh gentian.
c.
Osmosis : obat yang menimbulkan efek karena sifat osmotiknya misalnya manitol
(diuretik osmotik) dan magnesium sulfat (purgatif osmotik).
d.
e.
f.
Radio-opasitas : misalnya barium sulfat yang dikenal sebagai bubur barium untuk
mendiagnosa gangguan pada saluran cerna dan senyawa iodium organik untuk
visualisasi air seni dan asam empedu.
g.
Muatan listrik : misalnya heparin (antikoagulan) yang bersifat asam juat, diduga
bekerja berdasarkan atas muatan negatifnya.
B. Sifat kimia
39
a.
Asam dan basa : sebagai contoh asam klorida pada pengobatan hipoklorhidrin dan
antasida pada pengobatan borok lambung.
b.
Khelasi : logam logam seperti timbal dan tembaga dapat dikeluarkan dari tubuh
dengan bantuan senyawa senyawa yang dapat membentuk kompleks khelat dengan
logam itu, misalnya EDTA dan dimerkaprol.
TERAPAN
41
2.
Bioavailabilitas obat.
3.
4.
5.
kalau yang dimaksud bukan dosis tersebut di atas maka harus diberi keterangan jelas. Misalnya
pemakaian sehari, dosis untuk anak, dosis per injeksi dan seterusnya.
Dosis yang tertulis dalam resep adalah dosis yang dapat menyembuhkan untuk penderita tersebut
(individual) disebut dosis terapi (DT).
Dosis yang tercantum dalam literatur adalah dosis lazim (DL). Dosis lazim adalah dosis yang lazimnya
dapat menyembuhkan. Dalam menulis resep digunakan sebagai pedoman untuk menentukan dosis terapi.
Dosis maksimum (DM) adalah dosis/takaran maksimum/terbanyak yang dapat diberikan (berefek terapi)
tanpa menimbulkan bahaya. Dosis lazim dan dosis maksimum terdapat dalam buku Farmakope Indonesia
dsbnya.
Tidak semua DM untuk anak terdapat dalam literatur. Maka DM untuk anak dapat dihitung dengan
membandingkan kebutuhan anak terhadap dosis maksimum dewasa. Yang paling akurat adalah
perbandingan berdasarkan luas permukaan tubuh, kemudian berat badan dan selanjutnya umur anak.
Cara perhitungan dosis untuk anak :
1.
Contoh :
= 10,4 mg/minggu
1,73
2.
n = tahun
n + 12
-
n = tahun
20
Diketahui dosis terapi (dewasa) Gliseril Guaikolat adalah 100 200 mg/kali.
Contoh :
b = BB anak
70
c. Berdasarkan luas permukaan tubuh anak (Rumus Crawford Terry Rourke)
t
x dosis dewasa
t = LPT anak
1,8
d. Tabel J. Hahn
Contoh :
Diketahui dari tabel J.Hahn, anak umur 5 tahun, BB 14,2 17,8 kg, dapat diberikan
dosis 28 % dosis dewasa. Maka dosis Gliseril Guaikolat adalah :
28 %
Catatan :
rumus rumus tersebut dapat dipergunakan untuk menentukan dosis lazim, dosis
terapi, maupun dosis maksimum pada anak.
43
Dosis geriatri, umumnya lebih kecil dibanding dosis dewasa. Hal ini disebabkan organ organ
tubuh sudah kurang berfungsi.
44
Usia pasien (misalnya, anak di bawah < 2 tahun atau lansia > 65 tahun).
2.
Kondisi penyakit tertentu pada pasien (misalnya, kerusakan fungsi hati dan ginjal).
3.
4.
5.
6.
7.
Jenis kelamin.
8.
45
Identifikasi reaksi obat yang tidak diinginkan harus mengacu kepada faktor faktor penyebab
tersebut di atas. Identifikasi reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat diperoleh atas dasar laporan dari
pasien ataupun kondisi nyata yang ditemukan oleh petugas kesehatan di lapangan.
Kriteria untuk mengidentifikasi reaksi obat yang tidak dikehendaki (apabila sudah terjadi efek samping)
ini adalah :
1.
Waktu
Kapan kejadian tersebut muncul? Apakah terjadi sesaat setelah minum obat ataukah berselang
dalam waktu yang lama? Apakah reaksi tersebut terkait dengan pemakaian obat?
2.
Dosis
Apakah dosis yang diberikan kepada pasien dengan kondisi tertentu terlalu besar?
3.
Sifat permasalahan
Apakah ciri ciri reaksi obat yang tidak diinginkan tersebut sama dengan sifat farmakologis
obatnya? Adakah kemungkinan interaksi obat?
4.
Pengalaman
Apakah reaksi yang muncul tersebut mirip dengan reaksi yang pernah dilaporkan dalam pustaka
atau literatur?
5.
Penghentian keterulangan
Apa yang terjadi apabila pemakaian obat dihentikan? Bagaimana jika di suatu hari kelak obat
yang menimbulkan reaksi yang tidak dikehendaki tersebut digunakan kembali, apakah reaksinya
muncul kembali?
Pencegahan reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat melalui cara sebagai berikut :
1.
Jangan menggunakan obat bila tidak diindikasikan dengan jelas. Jika pasien sedang hamil, jangan
gunakan obat kecuali benar benar diperlukan.
2.
Alergi dan idiosinkrasi merupakan penyebab penting reaksi obat yang tidak dikehendaki. Tanyakan
pasien apakah pernah mengalami reaksi sebelumnya atau dengan mengecek riwayat penyakitnya.
3.
Tanyakan kepada pasien jika sedang menggunakan obat obat lainnya termasuk obat yang dipakai
sebagai swamedikasi (self medication), karena dapat terjadi kemungkinan interaksi obat.
4.
Usia dan penyakit hati atau ginjal dapat mengubah metabolisme dan ekskresi obat, sehingga
diperlukan dosis yang lebih kecil. Faktor genetik juga mungkin terkait dengan variasi kecepatan
metabolisme, termasuk isoniazid dan anti depresan (trisiklik).
46
5.
Resepkan obat sesedikit mungkin dan berikan petunjuk yang jelas kepada pasien lanjut usia dan
pasien yang kurang memahami petunjuk yang rumit.
6.
Jika memungkinkan, gunakan obat yang sudah dikenal. Penggunaan obat baru perlu waspada akan
timbulnya reaksi obat yang tidak dikehendaki atau kejadian yang tidak diharapkan.
7.
Jika kemungkinan terjadinya reaksi obat tak dikehendaki cukup serius, pasien perlu diperingatkan.
Mengatasi munculnya efek samping obat dapat menggunakan prinsip farmakoterapi yang rasional
yaitu M 5 dan 4T + 1W. Prinsip M 5 terdiri dari :
1. Mengenali gejala gejala dan tanda tanda penyakit.
2. Menegaskan dianosis penyakit.
3. Memilih tatalaksana terapi (non farmakologik, farmakologik, gabungan non farmakologik
dan farmakologik).
4. Memilih dan menetapkan produk obat.
5. Memantau dan mengevaluasi output pengobatan.
Prinsip 4T + 1W meliputi :
1. Tepat indikasi obat yang akan digunakan didasarkan pada diagnosis penyakit yang akurat.
2. Tepat penderita tidak ada kontraindikasi dan atau kondisi khusus yang memerlukan
penyesuaian dosis dan atau kondisi yang mempermudah timbulnya efek samping.
3. Tepat obat
47
5. Pemantauan kondisi pasien secara intensif (pemantauan kadar obat dalam darah).
6. Menggunakan varian atau derivat obat lain yang yang lebih aman, tetapi memiliki khasiat dan
efek farmakologis yang serupa.
7. Penanganan kedaruratan (misalnya pada syok anafilaksis, peningkatan toksisitas).
8. Penggunaan obat obatan lini pertama dapat memperkecil resiko terjadinya efek samping,
misalnya yang ada dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).
48
Narkotika
Obat Keras
daftar O
Lingkaran Merah
terdiri dari :
1.
2.
3.
Tanda peringatan obat bebas terbatas berdasarkan SK Menkes No. 6355/Dir.Jend./SK/69, adalah :
P.No. 3 Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.
obat tersebut maupun berdasarkan senyawa induknya (derivat derivat yang merupakan hasil modifikasi
dari strutur kimia dasarnya).
49
Mudah diperoleh;
Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada
masing masing komponen;
Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk
sebagian besar penderita yang memerlukan kombinasi tersebut;
Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya
resistensi dan efek merugikan lainnya.
50
B.
dibutuhkan dan diupayakan tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai fungsi dan tingkatnya. DOEN
merupakan standar minimal untuk pelayanan kesehatan.
51
XIV. UTEROTONIKA
Uterotonika atau sering juga disebut oksitosik adalah obat yang merangsang kontraksi uterus yang
berada dalam kehamilan, sehingga digunakan untuk memulai persalinan, baik pada kehamilan muda
(aborsi) maupun lanjut, dan mencegah/menghentikan perdarahan paskasalin. Kelompok ini terdiri dari
oksitosin, alkaloid ergot (seperti ergometrin maleat, metilergometrin maleat), dan prostaglandin (seperti
dinoproston, sulproston).
Pencegahan dan penghentian perdarahan paskasalin atau pada perdarahan pada abortus inkomplit dapat
dihentikan dengan ergometrin dan oksitosin secara intramuskular (im) dalam dosis yang disesuaikan
dengan kondisi pasien. Penggunaan oksitosik ini hanya disarankan dipergunakan dokter atau bidan yang
terlatih.
A.
Oksitosin
Oksitosin yang diberikan secara infus intravena (iv) lambat efektif untuk induksi atau memacu
persalinan yang biasanya diberikan bersama dengan tindakan amniotomi (tindakan untuk
membuka selaput ketuban dan mengalirkan cairan air ketuban) kontraksi uterus harus
dipantau untuk mencegah stimulasi berlebihan pada otot rahim.
Oksitosin dosis besar atau infus berkepanjangan dengan dosis tinggi juga dapat menyebabkan
retensi cairan (tertahannya/kelebihan cairan) dan hiponatremia (kadar natrium di bawah normal)
untuk mencegah ini gunakan cairan elektrolit (jangan glukosa), pekatkan larutannya, kurangi
cairan per oral, monitor cairan dan elektrolit.
Oksitosin dikontraindikasikan pada setiap keadaan yang tidak memungkinkan persalinan per
vagina, lemah uterus, hipertensi berat dan penyakit jantung, serta preeklamsia berat.
B.
C.
Dinoproston
Dinoproston pada umumnya digunakan untuk induksi aborsi dalam bentuk tablet per vaginal
yang dimasukkan jauh ke dalam forniks posterior.
Obat ini dikontraindikasikan pada penyakit jantung, plasenta previa (plasenta yang letaknya
abnormal, cenderung menutupi jalan lahir), riwayat operasi Caesar, infeksi pelvis, gawat janin,
dan riwayat persalinan yang sulit/traumatik.
52
Vitamin K
Vitamin K perlu untuk produksi faktor pembeku darah dan berbagai protein yang diperlukan
untuk kalsifikasi tulang.
Vitamin K larut dalam lemak, penderita dengan malabsorpsi lemak akan mengalami defisiensi
vitamin K, khususnya bila ada obstruksi bilier atau penyakit hati.
Vitamin K dikontraindikasikan pada wanita hamil tua.
Pemberian vitamin K pada bayi untuk profilaksis pendarahan karena defisiensi vitamin K harus
dibawah pengawasan dokter/dokter anak.
B.
Antifibrinolitik
Fibrinolisis dapat meningkat pada keadaan patologik tertentu, terutama pada berbagai jenis
syok, setelah pembedahan pada daerah urogenital, pada leukosis, karsinoma, atau sirosis hati
Perdarahan ini terjadi karena terhambatnya faktor pembekuan darah oleh produk pecahan fibrinogen
dan fibrin pada kasus semacam ini dapat diberikan antifibrinolitik (obat penghambat fibrinolisis)
dengan pemantauan yang ketat terhadap status pembekuannya.
1. Asam traneksamat
Melarutnya fibrin dapat diganggu oleh pemberian asam traneksamat yang menghambat
aktivasi plasminogen dan fibrinolisis.
Asam traneksamat ini diindikasi pada fibrinolisis lokal dan menoragia.
2. Aprotinin
Merupakan penghambat enzim proteolitik yang bekerja pada plasmin dan kalidinogenase
(kalikrein).
Obat ini diindikasikan untuk pasien resiko tinggi kehilangan darah selama dan setelah bedah
jantung terbuka dan juga untuk pengobatan perdarahan yang mengancam jiwa akibat
hiperplasminemia.
3. Etamsilat
Mengurangi perdarahan kapiler dengan adanya trombosit yang normal.
Kerjanya tidak dengan cara stabilisasi fibrin, tetapi dengan cara mengoreksi adhesi platelet
(trombosit) yang abnormal.
53
XVI. ANALGESIK
Obat yang bekerja sebagai analgesik umumnya terdiri dari analgesik non-opioid dan analgesik
opioid. Namun beberapa ahli farmakologi juga memasukan anti inflamasi non steroid (AINS) atau
Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) sebagai golongan analgesik non-opioid karena selain
memiliki aktivitas anti inflamasi juga efektif dalam mengurangi nyeri.
A.
54
4. Asam Mefenamat
Asam Mefenamat adalah analgesik yang cukup kuat yang masih termasuk kelompok AINS,
tetapi sifat anti inflamasinya rendah.
Berbeda dengan AINS lainnya, asam mefenamat terkadang menimbulkan efek samping
diare dan kadang kadang anemia hemolitik tidak dianjurkan pemakaian lebih dari 7
hari kecuali dalam pengawasan ahli.
B.
Ketorolak,
Diflunisal,
Indometasin,
Meloksikam,
Piroksikam,
Tenoksikam,
1. Ibuprofen
Ibuprofen adalah turunan asam propionat yang berkhasiat anti inflamasi, analgesik, dan
antipiretik obat ini memiliki efek samping yang lebih sedikit dibanding AINS lain, tetapi
sifat anti inflamasinya lebih rendah.
Ibuprofen diindikasikan pada nyeri dan radang pada penyakit reumatik, gangguan otot skelet
lainnya, nyeri ringan sampai berat termasuk dismenore, analgesik paska bedah, nyeri dan
demam pada anak.
55
2. Diklofenak
Pada umumnya sediaan diklofenak terdapat dalam bentuk garamnya yaitu natrium atau
kalium diklofenak.
Diklofenak ini diindikasikan untuk nyeri dan radang pada penyakit reumatik dan gangguan
otot skelet lainnya, gout akut, dan nyeri paska bedah.
C.
Analgesik Opioid
Analgesik opioid umumnya digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat
penggunaan berulang dapat mengakibatkan ketergantungan dan toleransi.
Efek samping yang paling sering dijumpai adalah mual, muntah, konstipasi dan rasa mengantuk
pada dosis yang lebih besar dapat menimbulkan depresi nafas dan hipotensi.
Analgesik opioid pada umumnya dari golongan narkotika antara lain adalah Morfin,
Buprenorfin,
Kodein,
Dekstromoramid,
Difenoksilat,
Dipipanon,
Dekstropropoksifen,
57
Antibiotika/Antimikroba/Antibakteri
antibiotika ialah zat yang dihasilkan oleh mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat
atau membasmi mikroba jenis lain dapat juga dibuat secara sintetis.
1.
Penisilin
penisilin merupakan antibiotika beta laktam bersifat bakterisid dan bekerja dengan
cara menghambat sintesis dinding sel.
efek samping utama adalah reaksi urtikaria; hipersensitivitas sering disebabkan struktur
dasar penisilin.
a. Benzilpenisilin (penisilin G) dan fenoksimetilpenisilin (penisilin V)
benzilpenisilin dirusak oleh penisilinase, absorpsi per oral sangat terbatas karena
dirusak oleh asam lambung karena itu diberikan secara parenteral.
penisilin prokain merupakan garam penisilin yang larut dalam air.
b. Penisilin tahan penisilase
terdiri dari kloksasilin, flukoksasilin
kloksasilin dan flukoksasilin tidak dirusak oleh penisilase sehingga efektif untuk
strain kuman tersebut
diberikan per oral dan menghasilkan kadar yang lebih tinggi dalam plasma dan
jaringan absorpsi tidak terganggu dengan adanya makanan dalam lambung.
coamoksiklav terdiri dari amoksisilin dan penghambat laktamase (asam
klavulanat) asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki efek antibakterial,
tetapi denan menginaktifkan penisilase kombinasi ini efektif terhadap bakteri
penghasil penisilase yang resisten terhadap amoksisilin.
d. Penisilin antipseudomonas
terdiri dari ureidopenisilin, azlosilin, tikarsilin, piperasilin, sulbenisilin.
2.
3.
Tetrasiklin
merupakan antibiotik dengan spektrum luas yang terdiri dari tetrasiklin, demeklosiklin,
doksisiklin, minoksiklin, oksitetrasiklin.
59
tetrasiklin dideposit di jaringan tulang dan gigi yang sedang tumbuh (kalsium) yang
menyebabkan pewarnaan dan kadang kadang hipoplasia pada gigi.
tidak boleh diberikan pda anak anak 12 tahun, ibu hamil dan menyusui.
absorpsi tetrasiklin terganggu bila diberikan bersama susu (kecuali doksisiklin,
minosiklin), antasida, kalsium, zat besi dan magnesium.
4.
Aminoglikosida
aminoglikosida bersifat baktrisidal dan aktif terhadap bakteria gram positif dan negatif.
terdiri dari amikasin, gentamisin (pada infeksi berat dapat dikombinasikan dengan
penisilin atau metronidazol), kanamisin, neomisin sulfat (sangat toksik, seringkali hanya
digunakan topikal), netilmisin, tobramisin, streptomisin (spesifik untuk TB).
aminoglikosida tidak diserap melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan secara
parenteral.
aminoglikosida dapat mengganggu transmisi saraf dan pemberiannya harus dihindari
pada miastenia gravis dosis besar pada waktu operasi dapat menyebabkan sindrom
miastenia.
aminoglikosida tidak boleh diberikan bersama diuretik yang potensial menimbulkan
ototoksisitas (misal furosemid dan asam etakrinat) bila tidak dapat dihindarkan,
usahakan jarak/waktu pemberian jauh.
pengukuran kadar plasma sebaiknya selalu dilakukan dan merupakan keharusan paa
anak, orang tua, obesitas, gangguan fungsi ginjal dan pemberian 7 hari.
aminoglikosida dapat menembus sawar plasenta, sehingga pemberian pada wanita hamil
sebaiknya dihindari.
5.
Makrolid
terdiri atas eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin, spiramisin.
eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir sama dengan penisilin,
merupakan alternatif penisilin.
azitromisin merupakan makrolid dengan aktivitas sedikit lebih rendah dari eritromisin
terhadap kuman gram positif, tapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif.
klaritromisin merupakan turunan eritromisin dengan aktivitas lebih tinggi dibanding
senyawa induknya.
60
6.
community acquired.
sulfametoksazol menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat
reduksi asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim pada
alur sintesis asam folat.
8.
Kloramfenikol
terdiri dari kloramfenikol, tiamfenikol.
merupakan antibiotika spektrum luas, namun bersifat toksik.
obat ini bekerja menghambat sintesis protein kuman dengan cara berikatan pada
ribosom 50S sehingga menghambat pembentukan rantai peptida.
9.
Klindamisin
terdiri dari klindamisin, linkomisin.
klindamisin aktif terhadap kuman kokus gram positif termasuk yang resisten penisilin,
juga terhadap kuman anaerob.
bila terjadi diare, hentikan pengobatan akibat efek samping kolitis.
obat ini dikonsentrasikan dalam tulang dan diekskresikan dalam urin dan empedu.
61
10. Vankomisin
termasuk antibiotik golongan glikopeptida aktivitas bakterisidal terhadap kuman
gram positif aerobik dan anaerobik.
penggunaannya terbatas pada profilaksis dan pengobatan endokarditis, kolitis pseudo
membranosa dan infeksi berat lainnya yang disebabkan oleh kokus gram positif
termasuk yang multiresisten.
bersifat ototoksik dan nefrotoksik pemberian per oral tidak efektif untuk infeksi
sistemik, karena hampir tidak diabsorpsi.
11. Spektinomisin
aktif terhadap berbagai kuman gram negatif
12. Polimiksin
terdiri dari polimiksin, kolistin.
kolistin aktif terhadap kuman gram negatif tidak diabsorpsi saluran cerna
indikasi terbatas karena sangat toksik.
kolistin digunakan per oral untuk sterilisasi usus pada pasien netropenia (biasanya
bersama nistatin) tidak dianjurkan untuk infeksi saluran cerna dapat diberikan
secara inhalasi untuk terapi tambahan.
sediaan topikal (misal tetes mata) mengandung polimiksin B dan kolistin.
B. Antimikobakteri
tuberkulosa dan lepra disebabkan bakteri tahan asam yang sifatnya berbeda dengan lainnya.
1.
Tuberkulostatik
kasus tuberkulosa (TB) digolongkan berdasarkan tempat infeksi, beratnya penyakit,
hasil pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya.
obat TB terdiri dari isoniazid (INH), rifampisin, pyrazinamid, etambutol, streptomisin,
sikloserin.
obat obat sekunder diberikan untuk TBC yang disebabkan kuman yang resisten, atau
bila obat primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi
obat
Leprostatik
obat yang dianjurkan untuk pengobatan lepra adalah dapson, klofazimin, rifampisin.
62
C. Anti jamur
1.
Golongan polien
termasuk dalam golongan ini adalah amfoterisin dan nistatin.
amfoterisin tidak diabsorpsi di saluran cerna dan merupakan anti jamur yang diberikan
parenteral (i.v.) digunakan untuk infeksi jamur sistemik dan aktif terhadap sebagian
besar jamur dan ragi.
nistatin terlalu toksik jika diberikan secara parenteral (i.v.)
2.
Golongan imidazol
terdiri dari imidazol, klotrimazol, mikonazol, ketokonazol, ekonazol, fentikonazol,
isokonazol, sulkonazol dan tiokonazol.
golongan ini aktif terhadap berbagai jenis jamur dan ragi.
3.
Golongan triazol
terdiri dari flukonazol dan itrakonazol
4.
D. Antivirus
1.
63
famsiklovir merupakan prodrug pensiclovir dan memiliki aktivitas yang sama dengan
asiklovir diindikasikan untuk herpes zoster dan herpes genitalis.
valasiklovir merupakan ester asiklovir yang diindikasikan untuk herpes zoster, herpes
simpleks kulit dan mukosa (termasuk herpes genitalis).
2.
3.
Pengobatan sitomegalovirus
yaitu gansiklovir
mirip dengan asiklovir, tetapi lebih aktif terhadap sitomegalovirus dan bersifat lebih
toksik hanya digunakan bila manfaat jelas jelas lebih besar dari risikonya.
E. Antiprotozoa
metronidazol merupakan antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri
anaerob dan protozoa aktivitas antibakteri anaerobnya sangat bermanfaat untuk sepsis
pada kasus bedah dan ginekologis efektif untuk pengobatan kolitis pseudomembranosa
akibat antibiotik.
tinidazol mempunyai aktivitas yang sama dengan metronidazol, tetapi masa kerja lebih
panjang.
metronidazol dan tinidazol juga efektif terhadap amuba yang bermigrasi ke dalam hati
pengobatan metronidazol/tinidazol biasanya diikuti dengan pemberian diloksanid furoat
selama 10 hari.
metronidazol efektif untuk abses amuba pada hati tinidazol merupakan alternatif.
64
F. Anti malaria
meflokuin digunakan untuk profilaksis malaria di daerah endemis malaria yang resisten
terhadap klorokuin.
G. Antihelmintik
aktivitas antihelmintik tiap obat tersebut secara garis besar efektif pada setiap parasit.
65
Obat yang termasuk hipnotik sedatif ini pada umumnya adalah golongan psikotropika.
Dipandang dari sudut efeknya, obat obat dalam kelompok ini mempunyai pengaruh yang saling
dapat saling tumpang tindih contohnya Diazepam mempunyai efek ansiolitik dan juga sedatif
hipnotik pengaruh sedatif juga berefek mengurangi ansietas dan juga mempermudah tidur.
Obat sedatif (atau ansiolitik) akan mengurangi ansietas, menimbulkan ketenangan tanpa
mempengaruhi fungsi motorik dan mental.
Obat hipnotik menyebabkan mengantuk, menpercepat tidur dan mencukupkan keadaan tidur sedapat
mungkin menyerupai tidur alami.
Dengan meningkatkan dosis maka pengaruh sedatif dapat menjadi hipnotik, akan tetapi harus diingat
bahwa efek sedatif dapat juga merupakan efek samping dari obat obatan yang bukan depresan
sistem saraf pusat (SSP).
Golongan Benzodiazepin merupakan hipnotik sedatif yang paling penting karena sering dipakai
sebagai antiansietas ansiolitik dan hipnotik, relaksan otot, antiepilepsi dan juga menimbulkan sedasi
dan amnesia sebelum dan selama tindakan operasi.
Benzodiazepin dan juga Barbiturat mempengaruhi GABA (gamma amino butyric acid) yaitu suatu
neurotransmiter penghambat yang penting di sistem saraf pusat.
A.
B.
66
Diazepam dan Lorazepam kadang kadang digunakan secara intravena (i.v.) untuk
mengendalikan panik pemakaian intramuskular (i.m.) tidak lebih menguntungkan dibanding
dengan pemakaian oral.
C.
Barbiturat
Golongan Barbiturat yang kerjanya sedang hanya digunakan pada pengobatan insomnia yang
sulit diobati dan berat, pada pasien pasien sebelumnya telah mendapat Barbiturat.
Obat golongan Barbiturat ini dihindari pada usia lanjut.
Golongan Barbiturat dengan durasi kerja lama seperti Fenobarbital dan Metilfenobarbital
kadang kadang masih bermanfaat pada kasus epilepsi.
Barbiturat yang durasi kerjanya sangat pendek seperti Metoheksital dan Tiopental sering
digunakan dalam anestesia.
67
A.
bekerja dengan menaikkan kontraksi otot jantung (miokardium) dan digunakan untuk gagal
jantung (keadaan dimana jantung gagal untuk memompakan darah dalam volume yang
dibutuhkan) sebagai pembanding, inotropik negatif berfungsi menurunkan kontraksi otot
jantung
1.
2.
Penghambat fosfodiesterase
merupakan penghambat enzim fosfodiesterase menyeababkan peningkatan kadar
siklik AMP (cAMP) dalam sel miokard yang akan meningkatkan kadar kalsium intrasel.
penggunaan iv untuk jangka pendek membantu sirkulasi gagal jantung.
penggunaan oral untuk jangka panjang menyebabkan efek samping yang tidak dapat
ditoleransi dan peningkatan mortalitas.
terdiri dari milrinon dan amirinon.
Aritmia supraventrikel
terdiri dari adenosin (adenosin triphosphat/ATP) dan verapamil HCl.
obat terpilih untuk menghentikan takikardi supraventrikel adalah adenosin karena masa
kerja pendek 8 10 detik, tetapi memanjang bila diberikan bersama dipiridamol.
pada asma, lebih baik dipilih verapamil daripada blocker.
2.
68
3.
Aritmia ventrikel
terdiri dari lidokain HCl, meksiletin HCl, fenitoin natrium.
bretilium hanya digunakan sebagai obat antiaritmia pada resusitasi secara i.v. dan i.m.,
tetapi dapat menyebabkan hipotensi.
strategi terapi : terapi tanpa obat (kendalikan bobot badan; pembatasan sodium/
natrium, lemak jenuh, alkohol; olahraga dan tidak
merokok)
Terapi diuretik
Beta bloker
jangka pendek
jangka pendek
lini pertama untuk hipertensi biasanya tiazid + beta bloker, tiazid + penghambat ACE.
hipertensi pada kehamilan lebih aman metildopa, beta bloker aman pada trimester ketiga
(misal Labetalol HCl), bila kondisi parah gunakan injeksi i.v. hidralazin (hipertensi kritis).
1.
2.
Alfa bloker
terdiri dari doksazosin, indoramin, prazosin HCl, terazosin.
alfa bloker dengan cepat menurunkan tekanan darah setelah dosis pertama, hati hati
pada dosis pertama dapat digunakan bersama antihipertensi lainnya.
69
bila
tiazid
ACE
5.
70
untuk menanggulangi serangan akut angina pektoris dan profilaksisnya, meliputi golongan
nitrat, gol. Antagonis kalsium dan gol. beta bloker.
sebagian besar angina pektoris dengan beta bloker, senyawa nitrat masih berperan sebagai
profilaksis sebelum kerja fisik dan nyeri dada yang terjadi sewaktu istirahat.
1.
Golongan nitrat
bekerja langsung merelaksasi otot polos pembuluh vena tanpa bergantung pada sistem
persyarafan miokardium, sehingga dilatasi vena menyebabkan alir balik vena berkurang
sehingga mengurangi beban hulu jantung merupakan vasodilator koroner yang poten.
terdiri atas gliseril trinitrat, isosorbid dinitrat (ISDN), isosorbid mononitrat dan
pentaeritritol tetranitrat.
gliseril trinitrat diberikan secara sublingual merupakan obat untuk mengurangi gejala
angina dengan cepat, efeknya hanya 20 30 menit tersedia juga dalam bentuk
semprot aerosol (inhalasi) untuk mempercepat efek.
ISDN efektif secara oral untuk profilaksis, walaupun kerja lambat tetapi efeknya dapat
bertahan beberapa jam
sediaan konvensional isosorbid mononitrat tidak boleh diberikan lebih dari 2x sehari
(kecuali bila digunakan dosis kecil), sedangkan bentuk retard hanya boleh 1x sehari.
2.
71
antagonis kalsium tidak mengurangi risiko infark miokard pada angina tidak stabil
dicadangkan bagi pasien yang resisten beta bloker, golongan nitrat, serta antikoagulasi
dengan asetosal dan heparin i.v.
penghentian antagonis kalsium yang mendadak (putus obat) dapat disertai dengan
memburuknya angina.
3.
72
E. Diuretika
diuretik digunakan untuk mengurangi edema akibat gagal jantung atau akibat lainnya,
oliguria karena gagal ginjal dan hipertensi.
oliguria = berkurangnya ekskresi urin/hari 100 400 mL.
tiazid + diuretika hemat kalium berguna untuk gagal jantung yang kurang berat bila
hipokalemia sulit diatasi atau dihindari seperti pada pasien yang terus menerus
cenderung mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa.
hipokalemia akan berbahaya pada penyakit arteri koroner yang berat dan pada pasien yang
sedang diobati dengan glikosida jantung.
hipokalemia dipicu diuretik dapat mencetuskan ensefalopati (pada gangguan hati), terutama
pada sirosis alkoholik.
1.
73
2.
Diuretika merkuri
hampir tidak pernah digunakan karena efek nefrotoksisitasnya.
contohnya, mersalil harus diberikan lewat injeksi i.m., penggunaan i.v. dapat
menyebabkan hipotensi beratdan kematian mendadak.
5.
Diuretika osmotik
jarang digunakan pada gagal jantung karena meningkatkan volume darah secara akut.
manitol pada edema serebral dengan dosis khasnya 1g/kg sebagai suatu larutan 20 %
yang diberikan lewat infus i.v. yang cepat.
6.