Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH 

TOKSIKOLOGI
TOKSIKOLOGI OBAT DAN
PENANGANAN KERACUNAN UMUM

DISUSUN OLEH
SUGIANTO (1420121131)
FLORENSIA FATMAWANI(1420121131)
ANA LUSIA (1420121131)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG


PROGRAN STUDI S1 KEPERAWATAN ALIH JENJANG B TAHUN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Toksikologi Obat dan Penanganan Keracunan Umum”. 

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan.Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
diharapkan adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya.Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

                                                                                                        Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1            Latar Belakang...........................................................................1
1.2            Rumusan Masalah..................................................................... 2
1.3            Tujuan....................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1         Definisi Toksikologi Obat  ........................................................... 4
2.2         Model Masuk dan Daya Keracunan ............................................. 5
2.3         Klasifikasi Daya keracunan .......................................................... 9
2.4         Keracunan Obat Spesifik .............................................................. 10
2.5         Penatalaksanaan keracunan dan Overdosis .................................. 19

BAB III PENUTUP


3.1         Kesimpulan.................................................................................. 33
3.2         Saran............................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................35
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Keracunan akut terjadi lebih dari sejuta kasus dalam setiap tahun, meskipun
hanya sedikit yang fatal. Sebagian kematian disebabkan oleh bunuh diri dengan
mengkonsumsi obat secara overdosis oleh remaja maupun orang dewasa.
Kematian pada anak akibat mengkonsumsi obat atau produk rumah tangga yang
toksik telah berkurang secara nyata dalam 20 tahun terakhir, sebagai hasil dari
kemasan yang aman dan pendidikan yang efektif untuk pencegahan keracunan.

Keracunan tidak akan menjadi fatal jika korban mendapat perawatan medis
yang cepat dan perawatan suportif yang baik. Pengelolaan yang tepat, baik dan
hati-hati pada korban yang keracunan menjadi titik penting dalam menangani
korban.

Toksikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari  tentang efek


merugikan dari bahan kimia terhadap organisme hidup. Bahan – bahan yang
terkandung pada jenis obat – obatan, baik obat modern maupun obat tradisional.
Sebagian dari masyarakat Indonesia lebih cenderung mengkonsumsi obat-obatan
tanpa mengetahui ada dan tidaknya efek toksik dari obat yang dikonsumsi. hal ini
dikarenakan masih kurangnya pengetahuan masyarakat umum tentang adanya
efek toksik yang dapat ditimbulkan dari mengkonsumsi obat selain itu juga
dikarenakan minimnya jenis obat – obatan yang telah diteliti dan diketahui kadar
toksisitasnya.

Uji toksisitas sangatlah diperlukan untuk menilai keamanan suatu obat. hal
ini dilakukan untuk menghindari adanya efek negatif yang timbul bagi kesehatan,
baik efek secara langsung maupun di masa depan. Salah satu organ pada tubuh
manusia yang sangat penting adalah hepar, hepar memiliki fungsi untuk
memetabolisme semua jenis bahan obat serta bahan-bahan asing yang masuk ke
tubuh manusia, sehingga apabila terjadi proses sekresi melalui empedu, maka
akan terjadi efek toksik di dalam hepar yang disebabkan penumpukan xenobiotik
di dalam hepar.

Dal hal ini terapi antidote merupakan tatacara yang secara khusus ditujukan untuk
membatasi intensitas (kekuatan) efek toksik zat kimia atau menyembuhkan efek
toksik zat kimia atau menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya, sehingga
bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya lebih lanjut. Berarti, sasaran terapi
antidot adalah pengurangan intensitas efek toksik (Donatus,1997). Perlu dicatat,
strategi terapi antidot mana yang akan diambil, sepenuhnya bergantung pada
pengetahuan atau informasi tentang rentang waktu antara saat pemejanan bahan
berbahaya, saat timbulnya gejala- gejala toksik dan saat penderita siap
menjalankan terapi. Karena pengetahuan ini diperlukan untuk memprakirakan
dominasi tahapan nasib bahan berbahaya di dalam tubuh. Misal bahan berbahaya
diprakirakan sudah terabsorpsi sempurna, maka tindakan penghambatan absorpsi
sudah tidak diperlukan. Dalam hal ini, mungkin yang diperlukan penghambatan
distribusi atau peningkatan eliminasinya. Misalnya sekarang, bagaimana tatacara
pelaksanaannya masing masing strategi tersebut (Donatus, 1997).

Ketiga strategi dasar terapi antidot tersebut dapat dikerjakan dengan metode
yang tak khas atau metode yang khas. Dimaksud dengan metode tak khas ialah
metode umum yang adapat diterapkan terhadap sebagian besar zat beracun.
Metode khas ialah metode yang hanya digunakan bila zat beracunnya telah
tersidik jati dirinya serta zat antidotnya tersedia (Donatus,2007).

1.2.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
a.    Apa definisi dari toksikologi obat?
b.    Bagaimana mekanisme model masuk dan daya keracunan obat?
c.    Apa saja klasifikasi daya keracunan?
d.   Apa saja yang termasuk keracunan obat spesifik?
e.    Bagaimana penatalaksanaan keracunan dan overdosis?

1.3.   Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Mengetahui definisi dari toksikologi obat
b.      Mengetahui model masuk dan daya keracunan obat
c.       Mengetahui klasifikasi daya keracunan
d.      Mengetahui apa saja keracunan obat spesifik
e.       Mengetahui penatalaksanaan keracunan dan overdosis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Definisi Toksikologi Obat
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian
tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan
kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga
membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut
sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.

Toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam


memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk
mengatakan bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain.
Perbandingan sangat kurang informatif, kecuali jika pernyataan tersebut
melibatkan informasi tentang mekanisme biologi yang sedang dipermasalahkan
dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut berbahaya. Oleh sebab itu,
pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek zat
kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek
berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.

Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel
pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relatif kecil dapat
mengakibatkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia. Racun merupakan
zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis
toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian.
Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan, intravena, kulit, atau melalui
rute lainnya. Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat, lambat atau secara
kumulatif. 10
Sedangkan definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah
kondisi yang mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan
gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan repon
psikofisiologis. Sumber lain menyebutkan bahwa keracunan dapat diartikan
sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh yang dapat menyebabkan ketidak
normalan mekanisme dalam tubuh bahkan sampai dapat menyebabkan kematian.

Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan untuk di
gunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau
rohaniah pada manusia atau hewan termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh
manusia (Anief, 1991).

Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga


orang yang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat
itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu
penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan
dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan menimbulkan
keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan memperoleh
penyembuhan (Anief, 1991).

Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis
berlebih atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme
atau ekskresi.

2.2  Model Masuk Dan Daya Keracunan


Racun adalah zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada
kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relative kecil dapat
mengakibatkan cederadari tubuh dengan adanya rekasi kimia (Brunner &
Suddarth, 2001). Arti lain dari racun adalah suatu bahan dimana ketika diserap
oleh tubuh organisme makhluk hidup akan menyebabkan kematian atau perlukaan
(Muriel, 1995). Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan, intravena, kulit,
atau melalui rute lainnya. Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat, lambat,
atau secara kumulatif. Keracunan dapat diartikan sebagaisetiap keadaan yang
menunjukkan kelainan multisystem dengan keadaan yang tidak jelas (Arif
Mansjor, 1999). Keracunan melalui inhalasi ( pengobatan dengan
cara memberikanobat dalam bentuk uap kepada si sakit langsung melalui alat
pernapasannya (hidung ke paru-paru)) dan menelan materi toksik, baik kecelakaan
dank arena kesengajaanmerupakan kondisi bahaya kesehatan.

Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :


1.      Cara terjadinya terdiri dari:
a.       Self poisoning
Pada keadaan ini pasien memakan obat dengan dosis yang berlebih tetapi dengan
pengetahuan bahwa dosis ini tak membahayakan. Pasien tidak bermaksud
bunuhdiri tetapi hanya untuk mencari perhatian saja.

b.      Attempted Suicide
Pada keadaan ini pasien bermaksud untuk bunuh diri, bisa berakhir
dengankematian atau pasien dapat sembuh bila salah tafsir dengan dosis yang
dipakai.

c.       Accidental poisoning
Keracunan yang merupakan kecelakaan, tanpa adanya factor kesengajaan.
d.      Homicidal poisoning
Keracunan akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan sengaja
meracuni orang lain.
2.      Mulai waktu terjadi
a.       Keracunan kronik
Keracunan yang gejalanya timbul perlahan dan lama setelah pajanan.  Gejala
dapat timbul secara akut setalah pemajanan berkali-kali dalam dosis relative kecil
ciri khasnya adalah zat penyebab diekskresikan 24 jam lebih lama dan waktu
paruh lebih panjang sehingga terjadi akumulasi. Keracunan ini diakibatkan oleh
keracunan bahan-bahan kimia dalam dosis kecil tetapi terus menerus dan efeknya
baru dapat dirasakan dalam jangka panjang (minggu, bulan, atau tahun).
Misalnya, menghirup uap benzene dan senyawa hidrokarbon terkklorinasi (spt.
Kloroform, karbon tetraklorida) dalam kadar rendah tetapi terus menerus akan
menimbulkan penyakit hati (lever) setelah beberapa tahun. Uap timbal akan
menimbulkan kerusakan dalam darah.

b.      Keracunan akut
Biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu, sering mengenai banyak orang
(pada keracunan dapat mengenai seluruh keluarga atau penduduk sekampung )
gejalanya seperti sindrom penyakit muntah, diare, konvulsi dan koma. Keracunan
ini juga karena pengaruh sejumlah dosis tertentu yang akibatnya dapat dilihat atau
dirasakan dalam waktu pendek. Contoh, keracunan fenol menyebabkan diare dan
gas CO dapat menyebabkan hilang kesdaran atau kematian dalam waktu singkat.

3.      Menurut alat tubuh yang terkena


Pada jenis ini, keracunan digolongkan berdasarkan organ yang terkena, contohnya
racun hati, racun ginjal, racun SSP, racun jantung.

4.      Menurut jenis bahan kimia


Golongan zat kimia tertentu biasanya memperlihatkan sifat toksik yang sama,
misalnya golongan alcohol, fenol, logam berat, organoklorin dan sebagainya.

Keracunan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi kulit (luka bakar kimiawi),
melalui tusukan yang terdiri dari sengatan serangga (tawon, kalajengking, dan
laba-laba) dan gigitan ular, melalui makanan yaitu keracunan yang disebabkan
oleh perubahan kimia (fermentasi) dan pembusukan karena kerja bakteri (daging
busuk) pada bahan makanan, misalnya ubi ketela (singkong) yang mengandung
asam sianida (HCn), jengkol, tempe bongkrek, dan racun pada udang maupun
kepiting, dan keracunan juga dapat disebabkan karena penyalahgunaan zat yang
terdiri dari penyalahgunaan obat stimultan (Amphetamine), depresan
(Barbiturate), atau halusinogen (morfin), dan penyalahgunaan alcohol.
Racun yang sering menyebabkan Terbakar sekitar mulut, bibir, dan
keracunan dan simptomatisnya: hidung
Asam kuat (nitrit, hidroklorid,
sulfat)
Anilin (hipnotik, notrobenzen) Kebiruan *gelap* pada kulit wajah dan
leher
Asenik (metal arsenic, mercuri, Umumnya seperti diare
tembaga, dll)
Atropine (belladonna), Dilatasi pupil
Skopolamin
Basa kuat (potassium, hidroksida) Terbakar sekitar mulut, bibir, dan
hidung
Asam karbolik (atau fenol) Bau seperti disinfektan
Karbon monoksida Kulit merah cerry terang
Sianida Kematian yang cepat, kulit merah, dan
bau yang sedap
Keracunan makanan Muntah, nyeri perut
Nikotin Kejang-kejang *konvulsi*
Opiat Kontraksi pupil
Asam oksalik (fosfor-oksalik) Bau seperti bawang putih
Natrium Florida Kejang-kejang “konvulsi”
Striknin Kejang “konvulsi”, muka dan
leher kebiruan “gelap”

Jika kita sehari – hari bekerja, atau kontak dengan zat kimia, kita sadar dan tahu
bahkan menyadari bahwa setiap zat kimia adalah beracun, sedangkan untuk
bahaya pada kesehatan sangat tergantung pada jumlah zat kimia yang masuk
kedalam tubuh.
Seperti garam dapur, garam dapur merupakan bahan kimia yang setiap hari kita
konsumsi namun tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Namun, jika kita
terlalu banyak mengkonsumsinya, maka akan membahayakan kesehatan kita.
Demikian juga obat yang lainnya, akan menjadi sangat bermanfaat pada dosis
tertentu, jangan terlalu banyak ataupun sedikit lebih baik berdasarkan resep
dokter.

Bahan-bahan kimia atau zat racun dapat masuk ke dalam tubuh melewati tiga
saluran, yakni:

a.       Melalui mulut atau tertelan bisa disebut juga per-oral atau ingesti. Hal ini
sangat jarang terjadi kecuali kita memipet bahan-bahan kimia langsung
menggunakan mulut atau makan dan minum di laboratorium.

b.      Melalui kulit. Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap kulit ialah
aniline, nitrobenzene, dan asam sianida.

c.       Melalui pernapasan (inhalasi). Gas, debu dan uap mudah terserap lewat
pernapasan dan saluran ini merupakan sebagian besar dari kasus keracunan yang
terjadi. SO2 (sulfur dioksida) dan Cl2 (klor) memberikan efek setempat pada jalan
pernapasan. Sedangkan HCN, CO, H2S, uap Pb dan Zn akan segera masuk ke
dalam darah dan terdistribusi ke seluruh organ-organ tubuh.

d.      Melalui suntikan (parenteral, injeksi)

e.       Melalui dubur atau vagina (perektal atau pervaginal) (Idris, 1985).

2.3  Klasifikasi Daya Keracunan


Klasifikasi daya keracuan meliputi sangat-sangat toksik, sedikit toksik dan lain-
lain.

1.      Super Toksik : Struchnine, Brodifacoum, Timbal, Arsenikum, Risin, Agen


Oranye, Batrachotoxin, Asam Flourida, Hidrogen Sianida.

2.      Sangat Toksik :Aldrin, Dieldrin, Endosulfan, Endrin, Organofosfat


3.      Cukup Toksik :Chlordane, DDT, Lindane, Dicofol, Heptachlor

4.      Kurang Toksik :Benzene hexachloride (BHC)

Dalam obat obatan, Kriteria Toksik Dosis


penggolongan daya
racun yaitu: No.
1. Super Toksik > 15 G/KG BB
2. Toksik Ekstrim 5 – 15 G/KG BB
3. Sangat Toksik 0,5 – 5 G/KG BB
4. Toksisitas Sedang 50 – 500 MG/KG BB
5. Sedikit Toksik 5 – 50 MG/KG BB

2.4  Keracunan Obat Spesifik 

1.      Asetaminofen

Efek toksik :

a.       Keracunan akut

-          Bia terjadi dalam 2-4 jam setelah paparan: mual muntah. Diaphoresis,
pucat, depresi SSP

-          Bila sudah 24-48 jam: tanda-tanda hepatotoksis (nyeri abdomen RUQ,


hematomegali ringan)

ü  Prothrombine time mamanjang

ü  Bilirubin serum meningkat

ü  Aktivitas transaminase meningkat

ü  Gangguan fungsi ginjal


b.      Keracunan berat : terjadi gagal hati dan ensefalopati.

ü  Prothrombine time mamanjang > 2x

ü  Bilirubin serum > 4 mg/dl

ü  pH < 7,3

ü  Kreatinin serum > 3,3

c.   Keracunan kronik: sama seperti keracunan akut, namun pada penderita


alkoholik, dapat sekaligus terjadi insufiensi hati & ginjal yang berat, disertai
dehidrasi, icterus, koaguloathi, hipoglikemi, dan ATN.
Terapi :
a.       Bila keracunan terjadi dalam 4 jam setelah overdosis : diberi karbon aktif
b.      Keracunan dalam 8-10 jam setelah minum obat tersebut berikan:
Antidote : N-acetylcysteine p.o yang dilarutkan dalam cairan (bukan alcohol,
bukan susu) dengan perbandinagn 3:1 Loading dose : 140 mg/kgBB. Maintenance
dose 70 mg/kgBB tiap 4 jam (dapat diulang sampai 17x). efek samping : mual,
muntah, epigastric discomfort.

Antiemetic (metoclopramide, domperidone, atau ondansetron)


Harus dilakukan monitoring fungsi hati dan ginjal.
Pada keracunan berat sekali : dilakukan transplantasi hati
2.      Obat Anti Kolinergik
Keracunan akut terjadi dalam 1 jam setelah overdosis. Keracunan kronik dalam 1-
3 hari setelah pemberian terapi dimulai.

Efek Toksik :
a.       Manifestasi SSP : agitasi, ataksia, konfusi, delirium, halusinasi,
gangguan pergerakan (choreo-athetoid dan gerakan memetik)
b.      Letargi
c.       Depresi nafas
d.      Koma
e.       Manifestasi di saraf perifer : menurun/hilangnya bising usus, dilatasi pupil,
kulit & mukosa menjadi kering, retensi urine, menimgkatnya nadi, tensi,
respirasi, dan suhu.

f.       Hiperaktivitas neuromuskuler, yang dapat mengarah ke terjadinyarhabdomi
olisis dan hipertermi
g.      Overdosis AH1 (difenhidramin): kardiotoksik dan kejang
h.      Overdosis AH2 (astemizol dan terfenadin) : pemanjangan interval DT
dengan takiaritmia ventrikel, khususnya torsade de pointes.
Terapi :
a.       Korban aktif
b.      Koma : intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik
c.       Agitasi : diberikan preparat benzodiazepine
d.      Agitasi yang tidak terkontrol dan delirium,
antidote :   physostigmine  (inhibitorasetilkolin-esterase). Dosis : 1-2 mg i.v.
dalam 2-5 menit (dosis dapat diulang)
e.       Kontraindikasi physostigmine : penderita dengan kejang, koma, gangguan
konduksi jantung, atau aritmia ventrikel.
3.      Benzodiazepine
Efek Toksik
a.       Eksitasi paradoksal
b.      Depresi SSP : (mulai tampak dalam 30 menit setelah overdosis)
c.  Koma dan depresi nafas (pada ultra-short acting   benzodiazepin dan
kombinasi benzodiazepine-depresan SSP lainnya)
Terapi over dosis benzodiazepine
a.       Karbon aktif 
b.      Respiratory support bila perlu
c.       Flumazenil (antagonis kompetitif reseptor benzodiazepine)
Dosis : 0,1 mg i.v. dengan interval 1 menit sampai dicapai efek yang diinginkan
atau mencapai dosis kumulatif (3 mg). bila terjadi replase, dapat diulang dengan
interval 20 menit, dengan dosis maksimum 3 mg/jam.
Efek samping : kejang (pada penderita dengan stimulan dan trisiklik antidepresan,
atau penderita ketergantungan benzodiazepine.

Kontraindikasi : kardiotoksisitas dengan anti depresan trisiklik.


4.      b-Blocker
Efek toksik :
Terjadi dalam ½ jam setelah overdosis dan memuncak dalam 2 jam.
a.       Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
b.      b-blocker dengan ISA (+) : hipertensi, takikardi
c.       Efek toksik pada SSP : kejang
d.      Kulit : pucat & dingin
e.       Jarang : bronkospasme dan edema paru
f.       Hiperkalemi
g.      Hipoglikemi
h.      Metabolik asidosis (sebagai akibat dari kejang, shock, atau depresi nafas)
i.        EKG : berbagai derajat AV block, bundle branch block, QRS lebar, asistol
j.        Khusus sotalol : pemanjangan interval QT, VT, VF, dan torsade de pointes
Terapi :
a.       Karbon aktif
b.      Pada bradikardi dan hipotensi : atropin, isoproterenol, dan vasopresor
c.       Pada keracunan berat :
1.      Glukagon; dosis inisial : 5-10 mg dilanjutkan1-5 mg/jam via infus
2.      Calcium
3.      Insulin dosis tinggi + glukosa + kalium
4.      Pacu jantung (internal/eksternal)
5.      IABP
a)      Pada kejadian bronkospasme : inhalasi b-agonis, epinefrin s.c., aminofilin
i.v.
b)      Pada sotalol-induced ventricular tachyarrhythmia : lidokain, Mg, overdrive
pacing
c)      Pada overdosis atenolol, metoprolol, nadolol, dan sotalol : dapat dilakukan
prosedur ekstrakorporeal
5.      Calcium Channel Blocker (CCB)
Efek toksik :
mulai terjadi dalam 2-18 jam, berupa :
a.       Mual, muntah, bradikardi, hipotensi, depresi SSP
b.      Gol. Dihidropiridin : takikardi reflektif
c.       Kejang
d.      Hipotensi ® iskemi mesenteric; iskemi/infark miokard ® edema paru
e.       EKG : berbagai derajat AV block, QRS lebar dan pemanjangan interval QT
(terutama karena verapamil); gambaran iskemi/infark, asistol
f.       Metabolik asidosis (sekunder terhadap shock)
g.      Hiperglikemi
Terapi :
a.       Karbon aktif
b.      Pada bradikardi simptomatis :
1)  atropin
2)  Calcium, dosis inisial : CaCl2 10% 10cc atau Ca glukonas 10% 30 cc i.v.
dalam >2 menit (dapat diulang sampai 4x).
3)  isoproterenol
4)  glukagon (dosis seperti pada overdosis b-blocker)
5)  electrical pacing (internal/eksternal)
c.  Pada iskemi : mengembalikan perfusi jaringan dengan cairan
d.  Khusus pada overdosis verapamil, dilakukan usaha-usaha untuk
mengembalikan metabolisme miokard dan meningkatkan kontraktilitas
miokard dengan : regular insulin dosis tinggi (0,1 – 0,2 U/kgBB bolus i.v.
diikuti dengan 0,1 – 1 U/kgBB/jam, bersama dengan glukosa 25 gr bolus,
diikuti infus glukosa 20% 1 gr/kgBB/jam, serta kalium).
e.       Bila masih hipotensi walaupun bradikardi sudah teratasi, diberikan cairan.
f.       Amrinone, dopamine, dobutamin, dan epinefrin (tunggal/kombinasi)
g.      Pada shock refrakter : I A B P.
6.      Karbon Monoksida
Efek toksik :
a.       Hipoksia jaringan, dengan : metabolisme anaerob, asidosis laktat,
peroksidasi lemak, dan pembentukan radikal bebas.
b.      Nafas pendek, dispnea, takipnea,
c.       Sakit kepala, emosi labil, konfusi, gangguan dalam mengambil keputusan,
d.      Kekakuan, dan pingsan
e.       Mual, muntah, diare
f.       Pada keracunan berat : edema otak, koma, depresi nafas, edema paru,
g.      Gangguan kardiovaskuler : nyeri dada iskemik, aritmia, gagal jantung, dan
hipotensi
h.      Pada penderita koma dapat timbul blister dan bula di tempat-tempat yang
tertekan
i.        Creatin kinase serum meningkat
j.        Laktat dehidrogenase serum meningkat
k.      Nekrosis otot ® mioglobinuria ® gagal ginjal

l.        Gangguan lapang pandang, kebutaan , dan pembengkakan vena disertai


edema papil atau atrofi optic

m.    Metabolik asidosis

n.      Menurunnya saturasi O2 (dinilai dari CO-oxymetry)

o.      Biasanya tampak sianosis (jarang terlihat kulit dan mukosa berwarna merah
ceri)

p.      Penderita yang sampai tidak sadar beresiko mengalami sekuele


neuropsikiatrik (perubahan kepribadian, gangguan kecerdasan, buta, tuli,
inkoordinasi, dan parkinsonism) dalam 1-3 minggu setelah paparan
7.      Glikosida Jantung

Dicurigai keracunan bila pada penderita yang mendapatkan digoksin denyut


jantung yang sebelumnya cepat/normal menjadi melambat atau terdapat
irama jantung yang ireguler dengan konsisten.

Efek toksik :
a.          Menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV node
b.          Tonus simpatis : otomatisitas otot, AV node, dan sel-sel konduksi;
meningkatnya after depolarization
c.          EKG : bradidisritmia, triggered takidisritmia, sinus aritmia, sinus
bradikardi, berbagai derajat AV block, kontraksi ventrikel premature,
bigemini, VT, VF
d.         Kombinasi dari takiaritmia supraventrikel dan AV block
(mis.: PAT dengan AV block derajat 2;   AF dengan AV block derajat 3)
atau adanya  bi-directional VT ) sangat sugestif untuk menilai adanya
keracunan glikosida jantung
e.          Muntah
f.           Konfusi, delirium
g.          Halusinasi, pandangan kabur, fotofobi, skotomata, kromotopsia
h.          Keracunan akut : takiaritmia dan hiperkalemi
i.            Keracunan kronik : bradiaritmia dan hipokalemia
Terapi :
a.       Karbon aktif dosis berulang

b.      Koreksi K, Mg, Ca

c.       Koreksi hipoksia

d.      Pada sinus bradikardi dan AV block derajat 2/3 : atropin, dopamine,


epinefrin, dan dapat saja fenitoin (100 mg i.v. tiap 5 menit sampai 15
mg/kg), serta isoproterenol

e.       Pada takiaritmia ventrikel : Mg sulfat, fenitoin, lidokain, bretilium, dan


amiodaron
f.       Pada disritmia yang life-threatening : terapi antidot dengan digoxin-specific
Fab-fragmen antibodies i.v. dalam >15-30 menit. Tiap vial antidot (40 mg)
dapat menetralisir 0,6 mg digoksin. Biasanya pada keracunan akut
diperlukan 1-4 vial; pada kronik 5-15 vial.

g.      Pada keracunan akut yang berat dengan kadar kalium serum >= 5,5 mEq/lt
(walaupun tanpa disritmia), antidot harus diberikan.

h.      Electrical pacing (bukan pacing untuk profilaksis)

i.        Bila perlu defibrilasi dengan energi rendah (mis.: 50W.s)


8.      Obat-obatan golongan NSAID

Efek toksik :

a.       Mual, muntah, nyeri perut

b.      Mengantuk, sakit kepala

c.       Glikosuri, hematuri, proteinuria

d.      Jarang : gagal ginjal akut, hepatitis

e.       Diflunisal dapat mengakibatkan : hiperventilasi, takikardi, dan berkeringat

f.       Asam mefenamat dan fenilbutazon dapat mengakibatkan : koma, depresi


nafas, kejang, kolaps kardiovaskular. Fenilbutazon relatif sering
mengakibatkan : asidosis metabolic.

g.      Ibuprofen  : asidosis metabolik, koma, dan kejang


h.      Ketoprofen dan naproxen : kejang
Terapi :
a.       Karbon aktif dosis berulang
b.      Pada gagal hati/ginjal dan pada keracunan berat, hemoperfusi dapat berguna.
SALISILAT (termasuk aspirin)
Keracuna salisilat diidentifikasi dari test urine ferri chloride (+) berwarna
ungu.
Efek toksik (mulai terjadi dalam 3-6 jam setelah overdosis >= 150
mg/kgBB) :
a.       Muntah, berkeringat, takikardi, hiperpnea ® dehidrasi dan menurunnya
fungsi ginjal
b.      Demam, tinitus, letargi, konfusi
c.       Pada awalnya terjadi alkalosis respiratorik dengan kompensasi ekskresi 
bikarbonat melalui urine
d.      Selanjutnya asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap dan ketosis
e.       Alkalemia dan asiduria paradoksal
f.       Peningkatan hematokrit, jumlah leukosit, dan jumlah thrombosis
g.      Hipernatremia, hiperkalemia, hipoglikemia
h.      Prothrombin time memanjang

i.        Pada keracunan berat dapat terjadi : koma, depresi nafas, kejang, kolaps
kardiovaskuler, serta edema otak & paru(non-kardiak & kardiak). Saat ini
terjadi asidemia dan asiduria (asidosis metabolik dengan alkalosis/asidosis
respiratorik).

Terapi overdosis salisilat :

a.       Karbon aktif dosis berulang masih berguna walaupun keracunan sudah


terjadi dalam 12-24 jam

b.      Pada penderita yang menelan >500 mg/kgBB salisilat, sebaiknya dilakukan


lavase lambung dan irigasi seluruh usus

c.       Endoskopi berguna untuk diagnostik dan untuk mengeluarkan bezoar


lambung

d.      Pada penderita dengan perubahan status mental, sebaiknya kadar glukosanya


terus dipantau

e.       Saline i.v. sampai beberapa liter

f.       Suplemen glukosa
g.      Oksigen

h.      Koreksi gangguan elektrolit dan metabolic

i.        Pada koagulopati diberikan vitamin K i.v.

j.        Alkalinisasi urine (sampai pH 8) dan diuresis saline. Kontraindikasi


diuresis: edema otak/paru, gagal ginjal

k.      50-150 mmol bikarbonat (+ kalium) yang ditambahkan pada 1 lt cairan infus


saline-dekstrose dengan kecepatan 2-6 cc/kgBB/jam

l.        Monitor kadar elektrolit, calcium, asam-basa, pH urine, dan balans cairan

m.    Hemodialisis dilakukan pada intoksikasi berat (kadar salisilat


mendekati/>100 mg/dl setelah overdosis akut, atau bila ditemukan
kontraindikasi/kegagalan prosedur di atas

2.5  Penatalaksanaan Keracunan dan Overdosis


a.    Prinsip umum.
Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-tanda vital,
mencegah absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun, pemberian
antidot spesifik, dan mencegah paparan ulang.

Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan masuk, banyaknya racun,
selang waktu timbulnya gejala, dan beratnya derajat keracunan. Pengetahuan
farmakodinamik dan farmakokinetik substansi penyebab keracuan amatlah
penting.

Selama fase pretoksik, sebelum onset keracunan, prioritas pertama adalah


dekontaminasi segera berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah
dan singkat Juga disarankan pemasangan i.v. line dan monitoring jantung,
khususnya pada penderita  keracunan per oral serius atau penderita dengan
anamnesis yang tidak jelas.

Bila anamnesis penderita tidak jelas, dan diduga keracunan akan terjadi secara
lambat atau akan terjadi kerusakan ireversibel, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
toksikologi darah dan urin, serta dilakukan pemeriksaan kuantitatif bila ada
indikasi. Selama absorpsi dan distribusi berlangsung, kadar racun dalam darah
akan lebih tinggi dibandingkan kadar di jaringan, sehingga tidak berhubungan
dengan toksisitasnya. Namun bila  metabolit racun   tinggi kadarnya dalam darah
dan lebih toksik dibanding bentuk asalnya (asetaminofen, etilen glikol, atau
methanol), maka diperlukan intervensi tambahan (antidot, dialisis).

Kebanyakan pasien yang asimtomatis setelah terpapar racun per oral dalam 4-6
jam, dapat dipulangkan dengan aman. Observasi lebih lama dibutuhkan bila
terdapat keracunan per oral yang menyebabkan lambatnya pengosongan lambung
dan motilitas usus dimana disolusi, absorpsi, dan distribusi racun dengan
sendirinya juga lebih lambat. Pada racun yang dalam tubuh akan diubah menjadi
metabolit toksik, juga diindikasikan observasi lebih lanjut.

Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset keracunan sampai dengan terjadinya
efek puncak, penatalaksanaan berdasarkan pada penemuan klinis dan
laboratorium.  Setelah overdosis, akan segera timbul efek-efeknya lebih awal,
yang kemudian memuncak, dan tetap bertahan lebih lama dibandingkan bila obat
tersebut diberikan pada dosis terapi. Prioritas pertama untuk dilakukan adalah
resusitasi dan stabilisasi. Terhadap semua pasien yang simtomatis harus
dilakukan  pemasangan i.v. line, penentuan saturasi oksigen, monitoring jantung,
dan observasi kontinu. Pemeriksaan laboratorium dasar, EKG, dan x-ray dapat
berguna.

Pada penderita dengan perubahan status mental, khususnya pada kasus koma
maupun kejang, harus dipertimbangkan pemberian glukosa i.v. (kecuali bila
kadarnya normal), naloxone, dan thiamine. Dekontaminasi dapat berguna juga.

Harus dipikirkan manfaat dan resikonya bila dilakukan upaya percepatan


eliminasi racun. Syaratnya adalah diagnosis pasti dengan konfirmasi laboratoris.
Dialisis intestinal dengan pemberian karbon aktif berulang biasanya aman dan
dapat mempercepat eliminasi. Terapi diuresis dan khelasi hanya mempercepat
eliminasi sejumlah kecil racun, serta memiliki potensi komplikasi.   Metode
ekstrakorporeal efektif untuk mengeluarkan banyak racun, tetapi biaya dan
resikonya juga besar, sehingga penggunaanya terbatas pada.keracunan berat.

Selama fase resolusi, perawatan suportif dan monitoring harus kontinu dilakukan


sampai abnormalitas klinis, laboratoris, maupun EKG membaik. Karena bahan-
bahan kimia dalam darah lebih dulu dieliminasi dibandingkan yang dari jaringan,
maka kadarnya dalam darah selalu lebih rendah dari kadarnya di jaringan
sehingga tidak berkorelasi dengan toksisitasnya.. Hal ini menjadi dasar prosedur
ekstrakorporeal. Redistribusi dari jaringan dapat menyebabkan peningkatan balik
racun dalam darah setelah selesainya prosedur ini. Bila metabolit racun yang
menyebabkan efek toksiknya, maka pada penderita yang telah asimtomatis tetap
harus diberikan terapi karena masih terdapat potensi toksik kadarnya metabolitnya
dalam darah (asetaminofen, etilen glikol, dan methanol).

b.   Perawatan suportif
Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan homeostasis
fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap, dan untuk mencegah serta
mengobati komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus dekubitus, edema otak &
paru, pneumonia, rhabdomiolisis, gagak ginjal, sepsis, penyakit thromboembolik,
dan disfungsi organ menyeluruh akibat hipoksia atau syok berkepanjangan.
Indikasi untuk perawatan di ICU adalah sebagai berikut:

1.     Penderita keracunan berat (koma, depresi nafas, hipotensi, abnormalitas


konduksi jantung, aritmia jantung, hipo/hipertermi, kejang)

2.      Penderita yang perlu monitoring ketat, antidot, maupun terapi percepatan


eliminasi racun

3.       Penderita dengan kemunduran klinis progresif

4.       Penderita dengan penyakit dasar yang signifikan

Penderita keracunan ringan sampai sedang dapat dikelola pada pelayanan


kesehatan umum, intermediate care unit, diobservasi di UGD, tergantung dari
lamanya kejadian keracunan dan monitoring yang diperlukan (observasi klinis
intermiten vs kontinu, monitoring jantung dan pernafasan).

Penderita percobaan bunuh diri membutuhkan observasi dan pemeriksaan kontinu


untuk mencegah mereka melukai diri sendiri, sampai tidak mungkin lagi
dilakukan upaya-upaya lebih lanjut.

c.    Penatalaksanaan problem respirasi

Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi isi lambung amat penting untuk
dilakukan pada penderita : depresi SSP atau kejang, karena komplikasi ini dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Karena penilaian klinis fungsi respirasi
sering tidak akurat, perlunya oksigenasi dan ventilasi paling baik ditentukan dari
pemeriksaan oksimetri atau analisa gas darah. Reflek muntah bukanlah indikator
yang dapat dipercaya untuk menilai perlunya intubasi. Paling baik dilakukan
intubasi profilaksis pada penderita yang tidak mampu berespon terhadap suara,
maupun yang tidak mampu duduk atau minum tanpa dibantu.

Ventilasi mekanik diperlukan pada penderita depresi nafas, hipoksia, dan untuk
memfasilitasi sedasi terapeutik atau paralysis untuk mencegah hipertermia,
asidosis, dan rhabdomiolisis yang berhubungan dengan hiperaktivitas
neuromuskuler.

Edema paru yang diinduksi obat biasanya jenis yang non-kardiak. Edema paru
kardiak biasanya pada penderita depresi SSP dan penderita abnormalitas konduksi
jantung Pengukuran tekanan arteri pulmoner penting untuk mengetahui etiologi
dan dapat langsung sebagai terapi.

 Pada gagal nafas berat yang reversibel, dilakukan pengukuran ekstrakorporeal


( oksigenasi membran, perfusi venoarterial, bypass kardiopulmoner), ventilasi
parsial cairan (perfluorokarbon), dan terapi oksigen hiperbarik.
d.   Terapi kardiovaskuler
Mempertahankan perfusi normal jaringan amat penting untuk pemulihan tuntas
ketika racun sudah dieliminasi. Bila terjadi hipotensi yang tidak responsif dengan
ekspasi volume, dapat diberikan norepinefrin, epinefrin atau dopamine dosis
tinggi.

Pada gagal jantung berat yang reversibel, dapat dilakukukan tindakan intraaortic


balloon pump counterpulsation, dan tehnik perfusi venoarterial atau
kardiopulmoner. Pada keracunan b-blocker dan calcium channel blocker,  efektif 
diberikan glukagon dan kalsium. Terapi antibodi antidigoxin dan pemberian Mg
diindikasikan untuk kasus keracunan glikosida jantung yang berat.

SVT yang berkaitan dengan hipertensi dan eksitasi SSP hampir selalu disebabkan
karena agen yang mengakibatkan eksitasi fisiologik secara menyeluruh.
Kebanyakan kasusnya berupa keracunan ringan atau sedang dan hanya
memerlukan observasi  atau sedasi nonspesifik dengan benzodiazepin. Sedangkan
SVT tanpa hipertensi pada umumnya merupakan akibat sekunder dari vasodilatasi
atau hipovolemia, dan berespon dengan pemberian cairan. Terapi spesifik
diindikasikan untuk kasus berat atau yang berhubungan dengan instabilitas
hemodinamik, nyeri dada, atau pada EKG dijumpai iskemia.

Untuk penderita dengan hiperaktivitas simpatik, terapi dengan


kombinasi a dan b blocker (labetalol), calcium channel blocker (verapamil atau
diltiazem), atau kombinasi b blocker – vasodilator (esmolol dan nitroprusside)
merupakan terapi terpilih. Untuk penderita keracunan antikolinergik, terapi
terpilihnya adalah pemberian physostigmine.

Pada VT (ventricular tachyarrhytmia) umumnya aman bila diberikan lidokain dan


fenitoin. Namun pemberian b blocker dapat berbahaya, kecuali bila aritmia jelas
disebabkan karena hiperaktivitas simpatis. Obat antiaritmi kelas IA, IC, dan III
merupakan kontraindikasi untuk diberikan pada VT karena antidepresan trisiklik
dan karena obat-obatan membran aktif (karena efek elektrofisiologik yang mirip),
tetapi pemberian sodium bicarbonate dapat membantu.
 Penderita dengan torsade de pointes dan pemanjangan interval QT, pemberian
Mg sulfat dan overdrive pacing (dengan isoproterenol atau pacemaker) akan
membant.

Rekaman EKG invasive (esofagel atau intracardiak), dibutuhkan untuk


menentukan dari mana takikardia kompleks lebar berasal
(ventricular atau supraventricular).

Bila penderita secara hemodinamik stabil, lebih baik diobservasi saja daripada
diterapi dengan obat yang potensial proaritmia. Aritmia dapat resisten terhadap
terapi sampai keseimbangan asam-basa, elektrolit, oksigenasi, dan gangguan
suhu   dikoreksi.

e.    Terapi SSP
Hiperaktivitas neuromuskuler dan kejang dapat selanjutnya mengarah ke
hipertermia, asidosis laktat, dan rhabdomiolisis dengan komplikasinya, dan harus
diterapi secara agresif. Kejang akibat stimulasi berlebihan reseptor katekolamin
(pada keracunan simpatomimetik atau halusinogen dan putus obat) atau kejang
akibat menurunnya aktivitas GABA (keracunan INH) atau kejang karena reseptor
glisin (keracunan strichnin), paling baik diterapi dengan peningkatan efek GABA
seperti dengan pemberian : benzodiazepin dan barbiturat. Terapi dengan ke-2 obat
ini sekaligus lebih efektif karena masing-masing bekerja dengan efek yang
berlainan. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi, sedangkan barbiturat
memanjangkan lamanya waktu pembukaan saluran klorida dalam merespon
GABA.

Kejang yang disebabkan INH, yang menghambat sintesis GABA memerlukan


piridoksin dosis tinggi yang memfasilitasi sintesis GABA. Kejang yang berasal
dari destabilisasi membran (keracunan b blocker antidepresan siklik) akan
memerlukan anti konvulsan membran aktif seperti fenitoin sebagaimana yang
meningkatkan GABA.

Pada keracunan dopaminergik sentral (seperti phencyclidine), pemberian agen


yang aktivitasnya berlawanan seperti haloperidol, akan berguna. Pada keracunan
antikolinergik dan sianida, diperlukan terapi antidot spesifik. Sedangkan kejang
yang terjadi sekunder akibat iskemi, edema, atau abnormalitas metabolik, harus
dikoreksi dari penyakit dasarnya. Pada kejang refrakter diindikasikan upaya
paralisis neuromuskuler. Monitoring EEG dan terapi berkelanjutan penting untuk
mencegah kerusakan neurologik permanen. Keadaan suhu yang ekstrim,
abnormalitas metabolik, disfungsi hati & ginjal, dan komplikasi sekunder harus
diterapi sesuai standar.    

f.     Pencegahan  Absorpsi  Racun


1.    Dekontaminasi Gastrointestinal
Perlu tidaknya dilakukan dekontaminasi gastrointestinal dan prosedur mana yang
akan dipakai, tergantung dari : waktu sejak racun tertelan, toksisitas bahan yang
telah & akan terjadi kemudian, availabilitas, efikasi, dan kontraindikasi dari
prosedur; serta beratnya keracunan dan resiko komplikasi. Studi pada binatang
dan sukarelawan menunjukkan bahwa efektivitas dari karbon aktif, lavase
lambung, dan sirup ipecac menurun sesuai jangka waktu keracunan. Tidak cukup
data untuk menunjang/mengekslusi manfaat penggunaan hal-hal tsb. pada
keracuan yang sudah lebih dari 1 jam.

Rata-rata waktu terapi dekontaminasi gastrointestinal yang disarankan adalah


lebih dari 1 jam setelah keracunan pada anak dan lebih dari 3 jam pada dewasa
dari sejak racun tertelan sampai timbul gejala/tanda keracunan. Sebagian besar
penderita akan sembuh dari keracunan dengan semata-mata perawatan suportif
yang baik, namun komplikasi dari dekontaminasi gastrointestinal khususnya
aspirasi, dapat memanjangkan proses ini. Karena itu prosedui ini dilakukan secara
selektif dan bukan rutin. Prosedur ini jelas tidak diperlukan bilamana toksisitas
diperkirakan minimal atau waktu terjadinya efek toksik maksimal sudah terlewati
tanpa efek signifikan.

Karbon aktif lebih efektif digunakan, kontraindikasinya & komplikasinya lebih


sedikit, lebih tidak invasive, sedikit lebih disukai, dibandingkan ipecac atau lavase
lambung. Karbon aktif  merupakan metoda dekontaminasi gastrointestinal yang
terpilih untuk sebagian besar kasus keracunan. Karbon aktif disiapkan sebagai
suspensi dalam air, baik sendiri atau dengan suatu katartik. Diberikan per oral
melalui botol susu pada bayi atau melalui cangkirsedotan, atau NGT berkaliber
kecil. Dosis yang direkomendasikan : 1 gr/kgBB dengan 8 ml pelarut untuk tiap
gram karbon aktif. Untuk memperbaiki rasanya, dapat ditambahkan pemanis
(sorbitol), atau penambah rasa (ceri, coklat, atau cola) dalam suspensinya.

Karbon menyerap racun dalam lumen usus, sehingga memungkinkan kompleks


karbon-toksin dievakuasi melalui feses. Kompleks tsb. dapat juga dikeluarkan dari
lambung dengan induksi muntah atau lavase. Secara in vitro, karbon menyerap >=
90% dari sebagian besar jenis racun bila diberikan dalam jumlah10x lipat berat
racun.

Bahan kimia yang terionisasi (asam & basa mineral), garam sianida yang
terdisosiasi amat cepat, flourida, Fe, lithium, dan senyawa anorganik lainnya,
tidak diserap dengan baik oleh karbon. Pada studi binatang dan sukarelawan,
karbon rata-rata akan menyerap 73% ingestan bila diberikan dalam 5 menit
setelah pemberian ingestan, menyerap 51% bila diberikan dalam 30 menit, dan
36% dalam 1 jam. Karbon paling tidak sama efektifnya dengan sirup ipecac atau
lavase lambung. Dalam eksperimen, lavase yang diikuti dengan pemberian karbon
aktif lebih efektif daripada karbon aktif saja; pemberian karbon aktif sebelum dan
sesudah lavase lebih efektif lagi. Namun kenyataannya pada penderita keracunan
yang diberikan karbon aktif saja, hasilnya lebih baik daripada kombinasi seperti di
atas.

Efek samping karbon aktif meliputi : mual, muntah, dan diare atau konstipasi.
Karbon aktif juga menghambat penyerapan obat-obatan yang diberikan per oral.
Komplikasi pemberian karbon aktif meliputi : obstruksi mekanik dari jalan nafas,
aspirasi, muntah, obstruksi usus, dan infeksi. Kontraindikasi karbon aktif :
penderita dengan keracunan agen korosif, karena akan mengaburkan endoskopi.
Lavase lambung dikerjakan dengan cara memberikan dan mengaspirasi secara
bergantian cairan sebanyak 5 ml/kgBB melalui tube orogastrik No.28 (French)
pada anak dan No. 40  pada dewasa. Kecuali pada bayi, tap cairan dapat
dilakukan. Penderita dalam posisi Trendelenburg  dan left lateral decubitus untuk
mencegah aspirasi (kecuali bila sudah dipasang ETT). Efektivitas lavase kira-kira
sama dengan ipecac.

Komplikasi lavase tersering adalah aspirasi  (terjadi pada >10% penderita),


khususnya pada lavase yang kurang benar. Komplikasi serius berupa lavase
trakheal, perforasi esofagus dan gaster, terjadi kira-kira pada hampir 1%
penderita. Karenanya dokter harus melakukan sendiri pemasangan tube lavage
dan mengkonfirmasi letaknya  dan pasien juga harus kooperatif atau diberi sedasi
bila perlu selama prosedur.

Kontraindikasi lavage lambung adalah pada keracunan bahan korosif atau


petroleum distilate peroral karena bisa saja terjadi perforasi gastroesofageal
dan aspiration induced hydrocarbon pneumonitis.

Irigasi usus dilakukan dengan cara memberikan cairan pembersih usus yang
mengandung elektrolit dan polietilen glikol (Golytely, Colyte) peroral atau dengan
tube gastric dengan kecepatan > 0,5 liter/jam pada anak-anak dan 2 liter/jam pada
dewasa, sampai diperoleh cairan rectum yang jernih. Pasien harus dalam posisi
duduk. Irigasi seluruh usus mungkin sama efektifnya dengan prosedur
dekontaminasi yang lain. Irigasi usus dapat dilakukan pada penderita yang tertelan
benda asing, bungkus obat illegal, obat yang lepas lambat atau tablet salut dan
agen yang tidak dapat diserap oleh karbon aktif misalnya (logam berat).

Kontraindikasi irigasi usus pada penderita obstuksi usus, ileus, hemodinamik yang
tidak stabil, dan jalan nafas yang tidak terlindungi.

Garam-garam katartik (disodium fosfat, magnesium sitrat  dan sulfat, serta sodium
sulfat), atau golongan sakarida (manitol, sorbitol), merangsang evakuasi rektal
dari isi lambung dan usus. Katartik yang paling efektif ialah sorbitol dengan dosis
1-2 gram/kgBB. Katartik tunggal tidak mencegah absorpsi bahan yang tertelan
dan sebaiknya tidak digunakan untuk dekontaminasi usus. Penggunaan utamanya
adalah untuk mencegah konstipasi pada pemberian karbon aktif.

Efek samping katartik berupa kram perut, mual, dan kadang-kadang


muntah.Komplikasi dosis katartik yang berulang berupa hipermagnesemia dan
diare yang hebat. Katartik dikontraindikasi kan pada penderita keracunan bahan
korosif peroral dan pada penderita yang sedang diare. Katartik yang mengandung
magnesium tidak boleh dipakai pada penderita gagal ginjal.

Dilusi (minum air sebanyak 5 cc/kgBB atau cairan jernih lainnya) harus dilakukan
sesegera mungkin dilakukan setelah tertelan bahan korosif (asam-basa). Namun
dilusi juga meningkatkan kecepatan disolusi (dengan sendirinya absorpsi) dari
kapsul, tablet, dan bahan padat lainnya, sehingga sebaiknya tidak digunakan pada
keracunan karena bahan-bahan ini.

Pada keadaan yang jarang, diperlukan tindakan endoskopik atau pembedahan


untuk mengeluarkan racun, seperti misalnya keracunan tertelan benda asing yang
potensial toksik, dimana benda ini gagal untuk transit di GI tract, keracunan
logam berat dalam jumlah yang potensial mematikan (arsen, besi, merkuri,
thalium) atau bahan yang bersatu dengan isi lambung atau bezoar (barbiturat,
glutetimid, logam berat, lithium, meprobamat, preparat lepas lambat). Penderita
yang menjadi toksik karena kokain akibat kebocoran dari banyak bungkus obat
yang ditelan membutuhkan intervensi bedah segera.

2.    Dekontaminasi pada tempat-tempat lain

Bilasan segera dan berulang-ulang dengan air, saline, atau cairan jernih lainnya
yang dapat diminum merupakan terapi inisial untuk eksposur topikal (kecuali
logam alkali, kalsium oksida, fosfor). Untuk irigasi mata dipilih salin
sedangkan untuk dekontaminasi kulit paling baik dilakukan triple wash (air-
sabun-air). Paparan racun melalui inhalasi harus diobati dengan udara segar atau
oksigen.

g.    Percepatan eliminasi racun


Keputusan untuk tindakan ini harus berdasarkan pada toksisitas yang nyata atau
yang diperkirakan dan didasarkan juga pada efektivitas, biaya, dan resiko terapi.

1.    Karbon aktif dosis multipel


Dosis oral karbon aktif yang berulang  dapat mempercepat eliminasi substansi
yang sebelumnya diabsorpsi dengan cara mengikatnya dalam usus lalu
diekskresikan melalui empedu, disekresikan oleh sel-sel gastrointestinal, atau
difusi pasif kedalam lumen usus (absorpsi balik atau exsorpsi enterokapiler).
Dosis yang direkomendasikan 0,5-1 gram/kgBB tiap 2-4 jam, diberikan untuk
mencegah regurgitasi pada pasien dengan motilitas gastrointestinal yang
berkurang. Secara eksperimen terapi ini mempercepat eliminasi hampir semua
substansi. Efektifitas farmakokinetiknya mendekati seperti hemodialisis untuk
beberapa agen (misalnya fenobarbital, teofilin). Terapi dosis multipel ini tidak
efektif dalam mempercepat eliminasi dari klorpropamid, tobramisin, atau bahan
yang tidak bisa diserap oleh karbon. Komplikasinya berupa obstruksi usus, 
pseudoobstruksi, dan infark usus nonoklusif pada penderita-penderita dengan
motilitas usus yang rendah.

2.    Diuresis paksa dan perubahan pH urin


Diuresis dan iontrapping melalui perubahan pH urin dapat mencegah reabsorpsi
renal dari racun yang  mengalami ekskresi oleh filtrasi glomerulus dan sekresi
aktif tubuler. Karena membran lebih permeable terhadap molekul yang tidak
terion dibandingkan yang dapat terion, racun-racun yang asam (pKa rendah) akan
diionisasi dan terkumpul dalam urin yang basa. Sebaliknya racun-racun yang
sifatnya basa akan diionisasi dan dikumpulkan dalam urin yang asam.

Diuresis salin dapat mempercepat ekskresi renal dari alkohol, bromida, kalsium,
fluorida, lithium, meprobamat, kalium, dan INH.

Diuresis basa (pH urin >= 7,5 dan output urin 3-6 cc/kgBB/jam) mempercepat
eliminasi dari herbisida chlorphenoxyacetic acid, klorpropamid, diflunisal,
fluorida, metotreksat, fenobarbital, sulfonamid, dan salisilat.
Kontraindikasi diuresis paksa meliputi gagal jantung kongestif, gagal ginjal, dan
edema otak. Parameter asam-basa, cairan, dan elektrolit harus dimonitor dengan
cermat.

Diuresis asam mempercepat eliminasi renal dari amfetamin, klorokuin, kokain,


anestetik local, phencyclidine, kinidin, kinin, strychnine, simpatomimetik,
antidepresan trisiklik, dan tokainid. Namun penggunaannya banyak dilarang
karena potensial terjadi komplikasi dan efektifitas kliniknya tidak banyak.

h.   Pengeluaran racun secara ekstrakorporeal

Dialisis peritoneal, hemodialisis, hemoperfusi karbon atau resin, hemofiltrasi,


plasmaferesis, dan tranfusi ganti dapat dilakukan untuk mengeluarkan toksin dari
aliran darah. Kandidat untuk terapi-terapi ini adalah :

1. Penderita dengan keracunan berat yang mengalami deteriorasi klinis walaupun


sudah diberi terapi suportif yang agresif;
2. Penderita yang potensial mengalami toksisitas yang berkepanjangan,
ireversibel, atau fatal;
3. Penderita dengan kadar racun darahnya dalam tingkat yang berbahaya;
4. Penderita yang dalam tubuhnya  tidak mampu dilakukan detoksifikasi alami
seperti pada penderita gagal hati atau gagal ginjal;
5. Serta penderita keracunan dengan penyakit dasar/komplikasinya yang berat
6. Agen yang akan dieliminasi dengan cara dialisis harus memiliki BM
rendah(<500 Da), larut dalam air, berikatan lemah dengan protein, volume
distribusi kecil (< 1 liter/kgBB),  eliminasi  memanjang (waktu paruh
panjang), dan memiliki bersihan dialisis yang tinggi relatif terhadap bersihan
total dari badan. Berat molekul, kelarutan dalam air, atau ikatan dengan
protein, tidak mengurangi efektivitas metode ekstrakorporeal yang lainnya.
           Indikasi dialisis untuk kasus keracunan berat dengan : barbiturat, bromida,
chloral hydrate, ethanol, etilen glikol, isopropyl alcohol, lithium, methanol,
procainamide, teofilin, salisilat, dan mungkin logam berat.

           Walaupun hemoperfusi mungkin lebih efektif dalam mengeluarkan


beberapa racun, namun metode ini tidak sekaligus mengoreksi abnormalitas asam-
basa dan elektrolit.

           Indikasi hemoperfusi pada keracunan berat yang disebabkan :


karbamazepin, kloramfenikol, disopiramid, dan sedatif-hipnotik (barbiturat,
ethchlorvynol, glutethimide, meprobamat, methaqualone), paraquat, fenitoin,
prokainamid, teofilin, dan valproat.

           Baik metode dialisis maupun metode hemoperfusi, sama-sama memerlukan


akses vena sentral dan antikoagulan sistemik, serta dapat menyebabkan hipotensi
sementara. Hemoperfusi juga dapat mengakibatkan hemolisis, hipokalsemia, dan
trombositopenia.

           Dialisis peritoneal dan transfusi ganti lebih kurang efektivitasnya, tetapi
metode ini dapat digunakan bila tidak dapat dikerjakan prosedur ekstrakorporeal
lainnya, baik karena terdapat kontraindikasi, maupun secara tehnis sulit (misalnya
pada bayi).

           Tranfusi ganti mengeluarkan racun-racun yang mempengaruhi eritrosit


(seperti pada methemoglobinemia, atau arsen–induced hemolysis).
i.      Tehnik eliminasi lainnya
Logam berat dapat lebih cepat dieliminasi dengan khelasi. Pengeluaran karbon
monoksida dapat ditingkatkan dengan pemberian oksigen hiperbarik.

1.    Pemberian antidot

Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan : menetralisir racun (reaksi
antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk ikatan kimia), mengantagonis efek
fisiologis racun (mengaktivasi kerja sistem saraf yang berlawanan, memfasilitasi
aksi kompetisi metabolik/ reseptor substrat tsb.).
Kasus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah keracunan :
asetaminofen, agen antikolinergik,  antikoagulan, benzodizepin, b-blocker, CCB,
CO, glikosida jantung, agen kolinergik, sianida, reaksi distonik karena induksi
obat, etilen glikol, fluorida, logam berat, hydrogen sulfida, agen hipoglikemik,
INH, metHb-emia, narkotik, simpatomimetik, Vacor, dan gigitan/bisa binatang
tertentu.

Antidot mengurangi morbiditas dan mortalitas, namun sebagian besar juga


potensial toksik. Penggunaan antidot agar aman membutuhkan identifikasi yang
benar keracunan spesifik atau sindromnya.

2.    Pencegahan Paparan Ulang

Keracunan merupakan penyakit yang dapat dicegah. Orang dewasa yang pernah
terpapar racun karena kecelakaan harus mentaati instruksi penggunaan obat dan
bahan kimia yang aman (sesuai yang tertera pada labelnya). Penderita yang
menurun kesadarannya harus dibantu dalam meminum obatnya. Kesalahan dosis
obat  oleh petugas kesehatan membu-tuhkan pendidikan khusus bagi mereka.
Penderita harus diingatkan untuk menghindari lingkungan yang terpapar bahan
kimia penyebab keracunan. Departemen Kesehatan dan instansi terkait juga harus
diberi laporan bila terjadi keracunan di lingkungan tertentu/tem- pat kerja.

Pada anak-anak dan penderita overdosis yang disengaja, upaya terbaik adalah
membatasi jangkauan terhadap racun /obat/ bahan/ minuman  tsb.

Penderita depresi atau psikotik harus menerima penilaian psikiatrik, disposisi, dan
follow-up. Bila mereka diberi resep obat harus dengan jumlah yang terbatas dan
dimonitor kepatuhan minum obatnya, serta dinilai respon terapinya.
BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis
berlebih atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan
metabolisme atau ekskresi.
b.      Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :
1.      Cara terjadinya terdiri dari:
a)      Self poisoning
b)      Attempted Suicide
c)      Accidental poisoning
d)     Homicidal poisoning
2.      Mulai waktu terjadi
a)      Keracunan kronik
b)      Keracunan akut
3.      Menurut alat tubuh yang terkena
4.      Menurut jenis bahan kimia
c.       Klasifikasi daya racun
Dalam obat obatan, Kriteria Toksik Dosis
penggolongan daya
racun yaitu: No.
1. Super Toksik > 15 G/KG BB
2. Toksik Ekstrim 5 – 15 G/KG BB
3. Sangat Toksik 0,5 – 5 G/KG BB
4. Toksisitas Sedang 50 – 500 MG/KG BB
5. Sedikit Toksik 4        – 50 MG/KG BB

d.      Keracunan obat spesifik diantaranya : Asetaminofen, Obat Anti Kolinergik,


Benzodiazepine, b-Blocker, Calcium Channel Blocker (CCB), Karbon
Monoksida, Glikosida Jantung, Obat-obatan golongan NSAID.
e.       Tujuan terapi keracunan dan overdosis adalah mengawasi tanda-tanda vital,
mencegah absorpsi racun lebih lanjut, mempercepat eliminasi racun,
pemberian antidot spesifik, dan mencegah paparan ulang.

4.1  SARAN
Penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kebaikan
kedepannya agar penyusun dapat menyajikan karya tulis yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1991). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press
Donatus Imono A. 2005. Toksikologi Dasar. Jakarta : Depkes RI.
Donatus, I. A., 1997. Toksikologi Pangan, Edisi Pertama, Toksikologi Jurusan
Kimia Farmasi. Yokyakarta : Fakultas Farmasi UGM
Linden,C.H., Burns,M.G., 2005.Poisoning and Drug Overdosage in Harrison’s Pri
nciples of Internal Medicine Vol.2, 16thedition, International Edition, McGraw
Hill.
Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.). Semarang:
IKIP Semarang.
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI.
Muriel, Skeet. 1995.Buku Tindakan Paramedis Terhadap Kegawatan dan
Pertolongan Pertama.Edisi 2. Jakatra:EGC
Press B, Immaduddin. 2008.  Bahan Kimia Beracun atau
Toksik. (http://imadanalyzeartikelkesehatan.blogspot.com/2008/07/bahan-kimia- b
eracun-atau toksik.html).
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai