TOKSIKOLOGI
TOKSIKOLOGI OBAT DAN
PENANGANAN KERACUNAN UMUM
DISUSUN OLEH
SUGIANTO (1420121131)
FLORENSIA FATMAWANI(1420121131)
ANA LUSIA (1420121131)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Toksikologi Obat dan Penanganan Keracunan Umum”.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan.Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
diharapkan adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................... 2
1.3 Tujuan....................................................................................... 2
1.1. Latar Belakang
Keracunan akut terjadi lebih dari sejuta kasus dalam setiap tahun, meskipun
hanya sedikit yang fatal. Sebagian kematian disebabkan oleh bunuh diri dengan
mengkonsumsi obat secara overdosis oleh remaja maupun orang dewasa.
Kematian pada anak akibat mengkonsumsi obat atau produk rumah tangga yang
toksik telah berkurang secara nyata dalam 20 tahun terakhir, sebagai hasil dari
kemasan yang aman dan pendidikan yang efektif untuk pencegahan keracunan.
Keracunan tidak akan menjadi fatal jika korban mendapat perawatan medis
yang cepat dan perawatan suportif yang baik. Pengelolaan yang tepat, baik dan
hati-hati pada korban yang keracunan menjadi titik penting dalam menangani
korban.
Uji toksisitas sangatlah diperlukan untuk menilai keamanan suatu obat. hal
ini dilakukan untuk menghindari adanya efek negatif yang timbul bagi kesehatan,
baik efek secara langsung maupun di masa depan. Salah satu organ pada tubuh
manusia yang sangat penting adalah hepar, hepar memiliki fungsi untuk
memetabolisme semua jenis bahan obat serta bahan-bahan asing yang masuk ke
tubuh manusia, sehingga apabila terjadi proses sekresi melalui empedu, maka
akan terjadi efek toksik di dalam hepar yang disebabkan penumpukan xenobiotik
di dalam hepar.
Dal hal ini terapi antidote merupakan tatacara yang secara khusus ditujukan untuk
membatasi intensitas (kekuatan) efek toksik zat kimia atau menyembuhkan efek
toksik zat kimia atau menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya, sehingga
bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya lebih lanjut. Berarti, sasaran terapi
antidot adalah pengurangan intensitas efek toksik (Donatus,1997). Perlu dicatat,
strategi terapi antidot mana yang akan diambil, sepenuhnya bergantung pada
pengetahuan atau informasi tentang rentang waktu antara saat pemejanan bahan
berbahaya, saat timbulnya gejala- gejala toksik dan saat penderita siap
menjalankan terapi. Karena pengetahuan ini diperlukan untuk memprakirakan
dominasi tahapan nasib bahan berbahaya di dalam tubuh. Misal bahan berbahaya
diprakirakan sudah terabsorpsi sempurna, maka tindakan penghambatan absorpsi
sudah tidak diperlukan. Dalam hal ini, mungkin yang diperlukan penghambatan
distribusi atau peningkatan eliminasinya. Misalnya sekarang, bagaimana tatacara
pelaksanaannya masing masing strategi tersebut (Donatus, 1997).
Ketiga strategi dasar terapi antidot tersebut dapat dikerjakan dengan metode
yang tak khas atau metode yang khas. Dimaksud dengan metode tak khas ialah
metode umum yang adapat diterapkan terhadap sebagian besar zat beracun.
Metode khas ialah metode yang hanya digunakan bila zat beracunnya telah
tersidik jati dirinya serta zat antidotnya tersedia (Donatus,2007).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
a. Apa definisi dari toksikologi obat?
b. Bagaimana mekanisme model masuk dan daya keracunan obat?
c. Apa saja klasifikasi daya keracunan?
d. Apa saja yang termasuk keracunan obat spesifik?
e. Bagaimana penatalaksanaan keracunan dan overdosis?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui definisi dari toksikologi obat
b. Mengetahui model masuk dan daya keracunan obat
c. Mengetahui klasifikasi daya keracunan
d. Mengetahui apa saja keracunan obat spesifik
e. Mengetahui penatalaksanaan keracunan dan overdosis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Toksikologi Obat
Secara sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian
tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan
kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga
membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut
sehubungan dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi.
Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel
pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relatif kecil dapat
mengakibatkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia. Racun merupakan
zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis
toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian.
Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan, intravena, kulit, atau melalui
rute lainnya. Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat, lambat atau secara
kumulatif. 10
Sedangkan definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah
kondisi yang mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan
gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan repon
psikofisiologis. Sumber lain menyebutkan bahwa keracunan dapat diartikan
sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh yang dapat menyebabkan ketidak
normalan mekanisme dalam tubuh bahkan sampai dapat menyebabkan kematian.
Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan untuk di
gunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau
rohaniah pada manusia atau hewan termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh
manusia (Anief, 1991).
Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis
berlebih atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme
atau ekskresi.
b. Attempted Suicide
Pada keadaan ini pasien bermaksud untuk bunuh diri, bisa berakhir
dengankematian atau pasien dapat sembuh bila salah tafsir dengan dosis yang
dipakai.
c. Accidental poisoning
Keracunan yang merupakan kecelakaan, tanpa adanya factor kesengajaan.
d. Homicidal poisoning
Keracunan akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan sengaja
meracuni orang lain.
2. Mulai waktu terjadi
a. Keracunan kronik
Keracunan yang gejalanya timbul perlahan dan lama setelah pajanan. Gejala
dapat timbul secara akut setalah pemajanan berkali-kali dalam dosis relative kecil
ciri khasnya adalah zat penyebab diekskresikan 24 jam lebih lama dan waktu
paruh lebih panjang sehingga terjadi akumulasi. Keracunan ini diakibatkan oleh
keracunan bahan-bahan kimia dalam dosis kecil tetapi terus menerus dan efeknya
baru dapat dirasakan dalam jangka panjang (minggu, bulan, atau tahun).
Misalnya, menghirup uap benzene dan senyawa hidrokarbon terkklorinasi (spt.
Kloroform, karbon tetraklorida) dalam kadar rendah tetapi terus menerus akan
menimbulkan penyakit hati (lever) setelah beberapa tahun. Uap timbal akan
menimbulkan kerusakan dalam darah.
b. Keracunan akut
Biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu, sering mengenai banyak orang
(pada keracunan dapat mengenai seluruh keluarga atau penduduk sekampung )
gejalanya seperti sindrom penyakit muntah, diare, konvulsi dan koma. Keracunan
ini juga karena pengaruh sejumlah dosis tertentu yang akibatnya dapat dilihat atau
dirasakan dalam waktu pendek. Contoh, keracunan fenol menyebabkan diare dan
gas CO dapat menyebabkan hilang kesdaran atau kematian dalam waktu singkat.
Keracunan juga dapat disebabkan oleh kontaminasi kulit (luka bakar kimiawi),
melalui tusukan yang terdiri dari sengatan serangga (tawon, kalajengking, dan
laba-laba) dan gigitan ular, melalui makanan yaitu keracunan yang disebabkan
oleh perubahan kimia (fermentasi) dan pembusukan karena kerja bakteri (daging
busuk) pada bahan makanan, misalnya ubi ketela (singkong) yang mengandung
asam sianida (HCn), jengkol, tempe bongkrek, dan racun pada udang maupun
kepiting, dan keracunan juga dapat disebabkan karena penyalahgunaan zat yang
terdiri dari penyalahgunaan obat stimultan (Amphetamine), depresan
(Barbiturate), atau halusinogen (morfin), dan penyalahgunaan alcohol.
Racun yang sering menyebabkan Terbakar sekitar mulut, bibir, dan
keracunan dan simptomatisnya: hidung
Asam kuat (nitrit, hidroklorid,
sulfat)
Anilin (hipnotik, notrobenzen) Kebiruan *gelap* pada kulit wajah dan
leher
Asenik (metal arsenic, mercuri, Umumnya seperti diare
tembaga, dll)
Atropine (belladonna), Dilatasi pupil
Skopolamin
Basa kuat (potassium, hidroksida) Terbakar sekitar mulut, bibir, dan
hidung
Asam karbolik (atau fenol) Bau seperti disinfektan
Karbon monoksida Kulit merah cerry terang
Sianida Kematian yang cepat, kulit merah, dan
bau yang sedap
Keracunan makanan Muntah, nyeri perut
Nikotin Kejang-kejang *konvulsi*
Opiat Kontraksi pupil
Asam oksalik (fosfor-oksalik) Bau seperti bawang putih
Natrium Florida Kejang-kejang “konvulsi”
Striknin Kejang “konvulsi”, muka dan
leher kebiruan “gelap”
Jika kita sehari – hari bekerja, atau kontak dengan zat kimia, kita sadar dan tahu
bahkan menyadari bahwa setiap zat kimia adalah beracun, sedangkan untuk
bahaya pada kesehatan sangat tergantung pada jumlah zat kimia yang masuk
kedalam tubuh.
Seperti garam dapur, garam dapur merupakan bahan kimia yang setiap hari kita
konsumsi namun tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Namun, jika kita
terlalu banyak mengkonsumsinya, maka akan membahayakan kesehatan kita.
Demikian juga obat yang lainnya, akan menjadi sangat bermanfaat pada dosis
tertentu, jangan terlalu banyak ataupun sedikit lebih baik berdasarkan resep
dokter.
Bahan-bahan kimia atau zat racun dapat masuk ke dalam tubuh melewati tiga
saluran, yakni:
a. Melalui mulut atau tertelan bisa disebut juga per-oral atau ingesti. Hal ini
sangat jarang terjadi kecuali kita memipet bahan-bahan kimia langsung
menggunakan mulut atau makan dan minum di laboratorium.
b. Melalui kulit. Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap kulit ialah
aniline, nitrobenzene, dan asam sianida.
c. Melalui pernapasan (inhalasi). Gas, debu dan uap mudah terserap lewat
pernapasan dan saluran ini merupakan sebagian besar dari kasus keracunan yang
terjadi. SO2 (sulfur dioksida) dan Cl2 (klor) memberikan efek setempat pada jalan
pernapasan. Sedangkan HCN, CO, H2S, uap Pb dan Zn akan segera masuk ke
dalam darah dan terdistribusi ke seluruh organ-organ tubuh.
1. Asetaminofen
Efek toksik :
a. Keracunan akut
- Bia terjadi dalam 2-4 jam setelah paparan: mual muntah. Diaphoresis,
pucat, depresi SSP
ü Prothrombine time mamanjang
Efek Toksik :
a. Manifestasi SSP : agitasi, ataksia, konfusi, delirium, halusinasi,
gangguan pergerakan (choreo-athetoid dan gerakan memetik)
b. Letargi
c. Depresi nafas
d. Koma
e. Manifestasi di saraf perifer : menurun/hilangnya bising usus, dilatasi pupil,
kulit & mukosa menjadi kering, retensi urine, menimgkatnya nadi, tensi,
respirasi, dan suhu.
f. Hiperaktivitas neuromuskuler, yang dapat mengarah ke terjadinyarhabdomi
olisis dan hipertermi
g. Overdosis AH1 (difenhidramin): kardiotoksik dan kejang
h. Overdosis AH2 (astemizol dan terfenadin) : pemanjangan interval DT
dengan takiaritmia ventrikel, khususnya torsade de pointes.
Terapi :
a. Korban aktif
b. Koma : intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik
c. Agitasi : diberikan preparat benzodiazepine
d. Agitasi yang tidak terkontrol dan delirium,
antidote : physostigmine (inhibitorasetilkolin-esterase). Dosis : 1-2 mg i.v.
dalam 2-5 menit (dosis dapat diulang)
e. Kontraindikasi physostigmine : penderita dengan kejang, koma, gangguan
konduksi jantung, atau aritmia ventrikel.
3. Benzodiazepine
Efek Toksik
a. Eksitasi paradoksal
b. Depresi SSP : (mulai tampak dalam 30 menit setelah overdosis)
c. Koma dan depresi nafas (pada ultra-short acting benzodiazepin dan
kombinasi benzodiazepine-depresan SSP lainnya)
Terapi over dosis benzodiazepine
a. Karbon aktif
b. Respiratory support bila perlu
c. Flumazenil (antagonis kompetitif reseptor benzodiazepine)
Dosis : 0,1 mg i.v. dengan interval 1 menit sampai dicapai efek yang diinginkan
atau mencapai dosis kumulatif (3 mg). bila terjadi replase, dapat diulang dengan
interval 20 menit, dengan dosis maksimum 3 mg/jam.
Efek samping : kejang (pada penderita dengan stimulan dan trisiklik antidepresan,
atau penderita ketergantungan benzodiazepine.
m. Metabolik asidosis
o. Biasanya tampak sianosis (jarang terlihat kulit dan mukosa berwarna merah
ceri)
Efek toksik :
a. Menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV node
b. Tonus simpatis : otomatisitas otot, AV node, dan sel-sel konduksi;
meningkatnya after depolarization
c. EKG : bradidisritmia, triggered takidisritmia, sinus aritmia, sinus
bradikardi, berbagai derajat AV block, kontraksi ventrikel premature,
bigemini, VT, VF
d. Kombinasi dari takiaritmia supraventrikel dan AV block
(mis.: PAT dengan AV block derajat 2; AF dengan AV block derajat 3)
atau adanya bi-directional VT ) sangat sugestif untuk menilai adanya
keracunan glikosida jantung
e. Muntah
f. Konfusi, delirium
g. Halusinasi, pandangan kabur, fotofobi, skotomata, kromotopsia
h. Keracunan akut : takiaritmia dan hiperkalemi
i. Keracunan kronik : bradiaritmia dan hipokalemia
Terapi :
a. Karbon aktif dosis berulang
b. Koreksi K, Mg, Ca
c. Koreksi hipoksia
g. Pada keracunan akut yang berat dengan kadar kalium serum >= 5,5 mEq/lt
(walaupun tanpa disritmia), antidot harus diberikan.
Efek toksik :
i. Pada keracunan berat dapat terjadi : koma, depresi nafas, kejang, kolaps
kardiovaskuler, serta edema otak & paru(non-kardiak & kardiak). Saat ini
terjadi asidemia dan asiduria (asidosis metabolik dengan alkalosis/asidosis
respiratorik).
f. Suplemen glukosa
g. Oksigen
Terapi spesifik tergantung dari identifikasi racun, jalan masuk, banyaknya racun,
selang waktu timbulnya gejala, dan beratnya derajat keracunan. Pengetahuan
farmakodinamik dan farmakokinetik substansi penyebab keracuan amatlah
penting.
Bila anamnesis penderita tidak jelas, dan diduga keracunan akan terjadi secara
lambat atau akan terjadi kerusakan ireversibel, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
toksikologi darah dan urin, serta dilakukan pemeriksaan kuantitatif bila ada
indikasi. Selama absorpsi dan distribusi berlangsung, kadar racun dalam darah
akan lebih tinggi dibandingkan kadar di jaringan, sehingga tidak berhubungan
dengan toksisitasnya. Namun bila metabolit racun tinggi kadarnya dalam darah
dan lebih toksik dibanding bentuk asalnya (asetaminofen, etilen glikol, atau
methanol), maka diperlukan intervensi tambahan (antidot, dialisis).
Kebanyakan pasien yang asimtomatis setelah terpapar racun per oral dalam 4-6
jam, dapat dipulangkan dengan aman. Observasi lebih lama dibutuhkan bila
terdapat keracunan per oral yang menyebabkan lambatnya pengosongan lambung
dan motilitas usus dimana disolusi, absorpsi, dan distribusi racun dengan
sendirinya juga lebih lambat. Pada racun yang dalam tubuh akan diubah menjadi
metabolit toksik, juga diindikasikan observasi lebih lanjut.
Selama fase toksik, yaitu waktu antara onset keracunan sampai dengan terjadinya
efek puncak, penatalaksanaan berdasarkan pada penemuan klinis dan
laboratorium. Setelah overdosis, akan segera timbul efek-efeknya lebih awal,
yang kemudian memuncak, dan tetap bertahan lebih lama dibandingkan bila obat
tersebut diberikan pada dosis terapi. Prioritas pertama untuk dilakukan adalah
resusitasi dan stabilisasi. Terhadap semua pasien yang simtomatis harus
dilakukan pemasangan i.v. line, penentuan saturasi oksigen, monitoring jantung,
dan observasi kontinu. Pemeriksaan laboratorium dasar, EKG, dan x-ray dapat
berguna.
Pada penderita dengan perubahan status mental, khususnya pada kasus koma
maupun kejang, harus dipertimbangkan pemberian glukosa i.v. (kecuali bila
kadarnya normal), naloxone, dan thiamine. Dekontaminasi dapat berguna juga.
b. Perawatan suportif
Tujuan dari terapi suportif adalah adalah untuk mempertahankan homeostasis
fisiologis sampai terjadi detoksifikasi lengkap, dan untuk mencegah serta
mengobati komplikasi sekunder seperti aspirasi, ulkus dekubitus, edema otak &
paru, pneumonia, rhabdomiolisis, gagak ginjal, sepsis, penyakit thromboembolik,
dan disfungsi organ menyeluruh akibat hipoksia atau syok berkepanjangan.
Indikasi untuk perawatan di ICU adalah sebagai berikut:
Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi isi lambung amat penting untuk
dilakukan pada penderita : depresi SSP atau kejang, karena komplikasi ini dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Karena penilaian klinis fungsi respirasi
sering tidak akurat, perlunya oksigenasi dan ventilasi paling baik ditentukan dari
pemeriksaan oksimetri atau analisa gas darah. Reflek muntah bukanlah indikator
yang dapat dipercaya untuk menilai perlunya intubasi. Paling baik dilakukan
intubasi profilaksis pada penderita yang tidak mampu berespon terhadap suara,
maupun yang tidak mampu duduk atau minum tanpa dibantu.
Ventilasi mekanik diperlukan pada penderita depresi nafas, hipoksia, dan untuk
memfasilitasi sedasi terapeutik atau paralysis untuk mencegah hipertermia,
asidosis, dan rhabdomiolisis yang berhubungan dengan hiperaktivitas
neuromuskuler.
Edema paru yang diinduksi obat biasanya jenis yang non-kardiak. Edema paru
kardiak biasanya pada penderita depresi SSP dan penderita abnormalitas konduksi
jantung Pengukuran tekanan arteri pulmoner penting untuk mengetahui etiologi
dan dapat langsung sebagai terapi.
SVT yang berkaitan dengan hipertensi dan eksitasi SSP hampir selalu disebabkan
karena agen yang mengakibatkan eksitasi fisiologik secara menyeluruh.
Kebanyakan kasusnya berupa keracunan ringan atau sedang dan hanya
memerlukan observasi atau sedasi nonspesifik dengan benzodiazepin. Sedangkan
SVT tanpa hipertensi pada umumnya merupakan akibat sekunder dari vasodilatasi
atau hipovolemia, dan berespon dengan pemberian cairan. Terapi spesifik
diindikasikan untuk kasus berat atau yang berhubungan dengan instabilitas
hemodinamik, nyeri dada, atau pada EKG dijumpai iskemia.
Bila penderita secara hemodinamik stabil, lebih baik diobservasi saja daripada
diterapi dengan obat yang potensial proaritmia. Aritmia dapat resisten terhadap
terapi sampai keseimbangan asam-basa, elektrolit, oksigenasi, dan gangguan
suhu dikoreksi.
e. Terapi SSP
Hiperaktivitas neuromuskuler dan kejang dapat selanjutnya mengarah ke
hipertermia, asidosis laktat, dan rhabdomiolisis dengan komplikasinya, dan harus
diterapi secara agresif. Kejang akibat stimulasi berlebihan reseptor katekolamin
(pada keracunan simpatomimetik atau halusinogen dan putus obat) atau kejang
akibat menurunnya aktivitas GABA (keracunan INH) atau kejang karena reseptor
glisin (keracunan strichnin), paling baik diterapi dengan peningkatan efek GABA
seperti dengan pemberian : benzodiazepin dan barbiturat. Terapi dengan ke-2 obat
ini sekaligus lebih efektif karena masing-masing bekerja dengan efek yang
berlainan. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi, sedangkan barbiturat
memanjangkan lamanya waktu pembukaan saluran klorida dalam merespon
GABA.
Bahan kimia yang terionisasi (asam & basa mineral), garam sianida yang
terdisosiasi amat cepat, flourida, Fe, lithium, dan senyawa anorganik lainnya,
tidak diserap dengan baik oleh karbon. Pada studi binatang dan sukarelawan,
karbon rata-rata akan menyerap 73% ingestan bila diberikan dalam 5 menit
setelah pemberian ingestan, menyerap 51% bila diberikan dalam 30 menit, dan
36% dalam 1 jam. Karbon paling tidak sama efektifnya dengan sirup ipecac atau
lavase lambung. Dalam eksperimen, lavase yang diikuti dengan pemberian karbon
aktif lebih efektif daripada karbon aktif saja; pemberian karbon aktif sebelum dan
sesudah lavase lebih efektif lagi. Namun kenyataannya pada penderita keracunan
yang diberikan karbon aktif saja, hasilnya lebih baik daripada kombinasi seperti di
atas.
Efek samping karbon aktif meliputi : mual, muntah, dan diare atau konstipasi.
Karbon aktif juga menghambat penyerapan obat-obatan yang diberikan per oral.
Komplikasi pemberian karbon aktif meliputi : obstruksi mekanik dari jalan nafas,
aspirasi, muntah, obstruksi usus, dan infeksi. Kontraindikasi karbon aktif :
penderita dengan keracunan agen korosif, karena akan mengaburkan endoskopi.
Lavase lambung dikerjakan dengan cara memberikan dan mengaspirasi secara
bergantian cairan sebanyak 5 ml/kgBB melalui tube orogastrik No.28 (French)
pada anak dan No. 40 pada dewasa. Kecuali pada bayi, tap cairan dapat
dilakukan. Penderita dalam posisi Trendelenburg dan left lateral decubitus untuk
mencegah aspirasi (kecuali bila sudah dipasang ETT). Efektivitas lavase kira-kira
sama dengan ipecac.
Irigasi usus dilakukan dengan cara memberikan cairan pembersih usus yang
mengandung elektrolit dan polietilen glikol (Golytely, Colyte) peroral atau dengan
tube gastric dengan kecepatan > 0,5 liter/jam pada anak-anak dan 2 liter/jam pada
dewasa, sampai diperoleh cairan rectum yang jernih. Pasien harus dalam posisi
duduk. Irigasi seluruh usus mungkin sama efektifnya dengan prosedur
dekontaminasi yang lain. Irigasi usus dapat dilakukan pada penderita yang tertelan
benda asing, bungkus obat illegal, obat yang lepas lambat atau tablet salut dan
agen yang tidak dapat diserap oleh karbon aktif misalnya (logam berat).
Kontraindikasi irigasi usus pada penderita obstuksi usus, ileus, hemodinamik yang
tidak stabil, dan jalan nafas yang tidak terlindungi.
Garam-garam katartik (disodium fosfat, magnesium sitrat dan sulfat, serta sodium
sulfat), atau golongan sakarida (manitol, sorbitol), merangsang evakuasi rektal
dari isi lambung dan usus. Katartik yang paling efektif ialah sorbitol dengan dosis
1-2 gram/kgBB. Katartik tunggal tidak mencegah absorpsi bahan yang tertelan
dan sebaiknya tidak digunakan untuk dekontaminasi usus. Penggunaan utamanya
adalah untuk mencegah konstipasi pada pemberian karbon aktif.
Dilusi (minum air sebanyak 5 cc/kgBB atau cairan jernih lainnya) harus dilakukan
sesegera mungkin dilakukan setelah tertelan bahan korosif (asam-basa). Namun
dilusi juga meningkatkan kecepatan disolusi (dengan sendirinya absorpsi) dari
kapsul, tablet, dan bahan padat lainnya, sehingga sebaiknya tidak digunakan pada
keracunan karena bahan-bahan ini.
Bilasan segera dan berulang-ulang dengan air, saline, atau cairan jernih lainnya
yang dapat diminum merupakan terapi inisial untuk eksposur topikal (kecuali
logam alkali, kalsium oksida, fosfor). Untuk irigasi mata dipilih salin
sedangkan untuk dekontaminasi kulit paling baik dilakukan triple wash (air-
sabun-air). Paparan racun melalui inhalasi harus diobati dengan udara segar atau
oksigen.
Diuresis salin dapat mempercepat ekskresi renal dari alkohol, bromida, kalsium,
fluorida, lithium, meprobamat, kalium, dan INH.
Diuresis basa (pH urin >= 7,5 dan output urin 3-6 cc/kgBB/jam) mempercepat
eliminasi dari herbisida chlorphenoxyacetic acid, klorpropamid, diflunisal,
fluorida, metotreksat, fenobarbital, sulfonamid, dan salisilat.
Kontraindikasi diuresis paksa meliputi gagal jantung kongestif, gagal ginjal, dan
edema otak. Parameter asam-basa, cairan, dan elektrolit harus dimonitor dengan
cermat.
Dialisis peritoneal dan transfusi ganti lebih kurang efektivitasnya, tetapi
metode ini dapat digunakan bila tidak dapat dikerjakan prosedur ekstrakorporeal
lainnya, baik karena terdapat kontraindikasi, maupun secara tehnis sulit (misalnya
pada bayi).
1. Pemberian antidot
Antidot bekerja berlawanan dengan efek racun dengan : menetralisir racun (reaksi
antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk ikatan kimia), mengantagonis efek
fisiologis racun (mengaktivasi kerja sistem saraf yang berlawanan, memfasilitasi
aksi kompetisi metabolik/ reseptor substrat tsb.).
Kasus keracunan yang memerlukan antidot spesifik adalah keracunan :
asetaminofen, agen antikolinergik, antikoagulan, benzodizepin, b-blocker, CCB,
CO, glikosida jantung, agen kolinergik, sianida, reaksi distonik karena induksi
obat, etilen glikol, fluorida, logam berat, hydrogen sulfida, agen hipoglikemik,
INH, metHb-emia, narkotik, simpatomimetik, Vacor, dan gigitan/bisa binatang
tertentu.
Keracunan merupakan penyakit yang dapat dicegah. Orang dewasa yang pernah
terpapar racun karena kecelakaan harus mentaati instruksi penggunaan obat dan
bahan kimia yang aman (sesuai yang tertera pada labelnya). Penderita yang
menurun kesadarannya harus dibantu dalam meminum obatnya. Kesalahan dosis
obat oleh petugas kesehatan membu-tuhkan pendidikan khusus bagi mereka.
Penderita harus diingatkan untuk menghindari lingkungan yang terpapar bahan
kimia penyebab keracunan. Departemen Kesehatan dan instansi terkait juga harus
diberi laporan bila terjadi keracunan di lingkungan tertentu/tem- pat kerja.
Pada anak-anak dan penderita overdosis yang disengaja, upaya terbaik adalah
membatasi jangkauan terhadap racun /obat/ bahan/ minuman tsb.
Penderita depresi atau psikotik harus menerima penilaian psikiatrik, disposisi, dan
follow-up. Bila mereka diberi resep obat harus dengan jumlah yang terbatas dan
dimonitor kepatuhan minum obatnya, serta dinilai respon terapinya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis
berlebih atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan
metabolisme atau ekskresi.
b. Jenis-jenis keracunan menurut (FK-UI, 1995) yaitu :
1. Cara terjadinya terdiri dari:
a) Self poisoning
b) Attempted Suicide
c) Accidental poisoning
d) Homicidal poisoning
2. Mulai waktu terjadi
a) Keracunan kronik
b) Keracunan akut
3. Menurut alat tubuh yang terkena
4. Menurut jenis bahan kimia
c. Klasifikasi daya racun
Dalam obat obatan, Kriteria Toksik Dosis
penggolongan daya
racun yaitu: No.
1. Super Toksik > 15 G/KG BB
2. Toksik Ekstrim 5 – 15 G/KG BB
3. Sangat Toksik 0,5 – 5 G/KG BB
4. Toksisitas Sedang 50 – 500 MG/KG BB
5. Sedikit Toksik 4 – 50 MG/KG BB
4.1 SARAN
Penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kebaikan
kedepannya agar penyusun dapat menyajikan karya tulis yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. (1991). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press
Donatus Imono A. 2005. Toksikologi Dasar. Jakarta : Depkes RI.
Donatus, I. A., 1997. Toksikologi Pangan, Edisi Pertama, Toksikologi Jurusan
Kimia Farmasi. Yokyakarta : Fakultas Farmasi UGM
Linden,C.H., Burns,M.G., 2005.Poisoning and Drug Overdosage in Harrison’s Pri
nciples of Internal Medicine Vol.2, 16thedition, International Edition, McGraw
Hill.
Loomis, T.A. 1978. Toksikologi Dasar, Donatus, A. (terj.). Semarang:
IKIP Semarang.
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI.
Muriel, Skeet. 1995.Buku Tindakan Paramedis Terhadap Kegawatan dan
Pertolongan Pertama.Edisi 2. Jakatra:EGC
Press B, Immaduddin. 2008. Bahan Kimia Beracun atau
Toksik. (http://imadanalyzeartikelkesehatan.blogspot.com/2008/07/bahan-kimia- b
eracun-atau toksik.html).
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: EGC