PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sejak Watson dan Crick menemukan struktur double helix DNA pada tahun 1953, teknologi
rekombinan DNA dan biologi molekuler berkembang dengan sangat cepat. Bahkan urutan DNA
lengkap dari genom manusia yang berjumlah 3 milyar pasangan basa telah berhasil diidentifikasi
melalui proyek genom manusia (1990-2003). Kemajuan ini membuka jalan untuk generasi baru
kedokteran berbasis teknologi canggih, termasuk kedokteran gen (diagnosis genetik dan terapi
gen), kedokteran regeneratif, kedokteran robotik, kedokteran molekuler dan nano-medicine.
(Yoshida, J. et al., 2004) Perkembangan akhir-akhir ini dalam biologi sel dan molekul memang
tidak hanya berkontribusi pada pemahaman mengenai dasar molekuler penyakit namun juga
menyediakan teknologi potensial untuk manipulasi gen-gen in vivo (Wargasetia, 2005).
Dengan pengetahuan bahwa penyakit-penyakit pada manusia disebabkan oleh abnormalitas
ekspresi dan regulasi gen, terapi gen berkembang dengan harapan bahwa gen-gen fungsional
yang disisipkan ke dalam sel dapat memperbaiki fungsi sel dan menghasilkan produk gen yang
diperlukan, lalu mengkompensasi kelainan genetik dan menyembuhkan penyakit (Wargasetia,
2005). Terapi gen merupakan bidang baru dalam bioteknologi untuk mengobati penyakit dengan
target DNA, penggunaannya terutama pada keganasan dan penyakit genetik yang diturunkan
(Hengge, 2005). Akan tetapi hingga saat ini masih terdapat pro dan kontra pada masyarakat.
Oleh karena itu, kami menyusun makalah mengenai terapi gen ini.
1.2 TUJUAN
1.2.1 Untuk mengetahui ruang lingkup kajian bioteknologi bidang kedokteran
1.2.2 Untuk mengetahui komponen yang terlibat dalam bioteknologi bidang kedokteran
1.2.3 Untuk mengetahui lebih rinci mengenai terapi gen
1.2.4 Untuk mengetahui dampak perkembangan biologi kedokteran
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Ruang Lingkup Kajian
Dalam kajian bioteknologi kedokteran, kajian dilakukan pada berbagai bidang seperti penemuan
dan produksi obat farmasi, farmakogenomik, dan pengujian genetik (atau genetika).
Farmakogenomik (kombinasi farmakologi dan genomik) adalah teknologi yang menganalisis
bagaimana genetik mempengaruhi respon individu terhadap obat. Hal Ini berkaitan dengan
pengaruh variasi genetik pada respon obat pada pasien dengan menghubungkan ekspresi gen atau
single-nucleotide polymorphisms dengan khasiat atau toksisitas obat.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Li Yang Hsu, dkk (2011) bahwa bahwa bioteknologi
kedoketeran merupakan penerapan teknik biologi untuk penelitian dan pengembangan produk
dalam perawatan kesehatan dan obat-obatan. Terobosan dalam bidang ini merevolusi praktek
kedokteran untuk mendiagnosis penyakit yang lebih akurat, tes genetik yang memungkinkan
untuk pencegahan penyakit, metode yang lebih efisien untuk merancang dan membuat obat-
obatan yang ditargetkan pada tingkat molekuler, kemungkinan penggunaan terapi gen untuk
menyembuhkan penyakit yang sebelumnya tidak dapat disembuhkan. Dapat disimpulkan bahwa
ruang lingkup kajian dalam bioteknologi di bidang kedokteran adalah berbagai usaha/teknik
yang bertujuan untuk mendiagnosis, mengobati, dan membuat penemuan terkait suatu hal yang
disebabkan karena penyakit yang diderita manusia.
2.2.3 Produk
Dari tahapan bioteknologi hasil akhirnya adalah menciptakan suatu produk yang tidak berbahaya
untuk kesehatan manusia. Misalnya pada stem cell nantinya akan dilakukan pengkodean oleh
hormone dan factor pertumbuhan selanjutnya akan berdiferensiasi dan dihasilkan sel-sel baru
misalnya sel darah, sel otot, dan sel saraf atau organ seperi jantung.
Kesejahteraan Manusia
Dengan ditemukan aplikasi bioteknologi kedokteran ini dapat membantu penderita penyakit
untuk sembuh. Misalnya : Misalnya pada lupus, artritis rheumatoid dan diabetes tipe 1. Setelah
diinduksi oleh growth factor agar hematopoietic stem cell berjumlah banyak diambil dari
sumsum tulang. Setelah itu hematopoietic stem cell dimasukkan kembali ke tubuh, bersirkulasi
dan bermigrasi ke sumsum tulang untuk berdiferensiasi menjadi sel imun matur sehingga system
imun tubuh kembali seperti semula.
1) Retrovirus
Golongan virus yang dapat membuat rantai ganda DNA dari genomnya dan disatukan dengan
kromosom sel inangnya mis: HIV (human defisiensi virus). Dan jenis virus ini juga penyerang
sel-sel yang membelah cepat, mungkin cocok sebagai agen pembawa gen terapeutik untuk
penyakit tumor.
2) Adenovirus
Golongan virus dengan rantai DNA gandanya dapat menyebabkan infeksi pada saluran
pernapasan, saluran pencenaan dan menimbulkan kematian. Dan jenis virus ini juga penyerang
sel dinding paru-paru mungkin cocok untuk mengirim duplikat gen cystic fibrosis yang
dibutuhkan dalam sistem pernapasan. Misal : virus influenza
3) Adeno-assosiated virus.
Virusnya kecil mempunyai single strandid DNA dan dapat memasukan material genetik di
tempat spesifik pada kromosom 19.
4) Herpes simpleks
Golongan virus dengan rantai ganda DNA yang menginfeksi sebagian dari sel seperti sel neuron.
Keuntungan penggunaan virus dalam terapi gen ialah dapat diandalkan dari segi efektivitas dan
kelemahannya ialah pembiakkanya dalam skala besar memiliki potensi bahaya yang serius
berhubungan dengan kemampuan mutagenik dan karakteristik dari virus yang sulit diramalkan.
Sistem kekebalan tubuh manusia terhadap virus juga mampu mengganggu proses terapi.
Penggunaan senyawa kimia organik sebagai agen pengantar gen dapat mengatasi masalah
resistensi dari sistem kekebalan tubuh penerima. Keuntungan penggunaan senyawa kimia ini
ialah mudah dalam produksi, baik dalam skala kecil maupun skala besar dan kelamahannya ialah
berkaiatan dengan keefektifannya yang rendah. Keuntungannya ialah menggabungkan
penggunaan virus dan senyawa kimia dalam terapi gen serta kelamahnnya ialah cara ini masih
dalam tahap pengembangan.
Thieman (2004) menjelaskan bahwa terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk mengirimkan
suatu gen tertentu yaitu dengan terapi gen ex vivo dan terapi gen in vivo. Terapi gen ex vivo
diawali dengan sel dari seseorang yang menderita penyakit dipindahkan dalam media kultur
dengan gen terapi, dimana langkah ini dilakukan dalam laboratorium menggunakan teknik
seperti transformasi bakteri dan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh pasien (sesorang yang
menderita penyakit).
Tehnik ex-vivo dilakukan dengan jalan operasi dengan mengeluarkan sel dari jaringan yang
terkena, menyuntikkan atau menyisipkan DNA baru (DNA yang memperbaiki penyakit)
kedalam sel tersebut dan dibiarkan untuk membelah dan memperbanyak diri dalam biakan
jaringan. Kemudian jaringan baru tersebut dimasukkan kembali pada lokasi tubuh penderita yang
mengalami kelainan. Hal tersebut juga dapat dilakukan dengan mengkultur sumsum tulang (zat
pembentuk darah) dari pasien, karena bila diinjeksikan kembali, darah akan bersirkulasi
keseluruh jaringan tubuh (Darmono, tanpa tahun).
Terapi gen in vivo dilakukan dengan memasukkan secara langsung gen ke dalam jaringan
maupun organ pasien tanpa harus memindahkan terlebih dahulu sel pasien tersebut. Salah satu
tantangan dalam terapi gen in vivo adalah memberikan gen hanya ke jaringan target dan tidak ke
seluruh jaringan tubuh. Ilmuwan menggunakan virus sebagai vektor untuk pengiriman gen tetapi
pada beberapa kasus gen secara langsung diinjeksikan dalam beberapa jaringan. Sejauh ini,
strategi ex vivo umumnya terbukti lebih efektif dibandingkan strategi in vivo. Virus yang
berperanan sebagai vektor menggunakan genomnya untuk membawa gen (dalam hal ini gen
terapeutik) yang digunakan untuk menginfeksi sel tubuh manusia yang selanjutnya memasukkan
gen-gen terapeutik ke dalam sel tersebut. Retrovirus seperti halnya virus HIV penting digunakan
sebagai vektor karena ketika masuk dalam sel host, virus menyalin RNA dalam DNA dan
kemudian secara acak memasukkan DNAnya dalam genom sel host dimana bersifat permanen
dan proses ini dinamakan integrasi. Selain memanfaatkan vektor, transfer gen adakalanya
menggunakan DNA telanjang dalam bentuk plasmid yang telah berisi gen terapeutik yang
langsung disuntikkan ke jaringan tubuh. Sel-sel pada jaringan tertentu akan memanfaatkan DNA
telanjang dan mengekspresikan gen-gen yang telah dibawa oleh DNA telanjang. Penggunaan
DNA telanjang cukup efektif digunakan untuk organ hati dan otot.
Cara lain pengiriman DNA tanpa menggunakan virus sebagai vektor ialah melibatkan liposom.
Struktur liposom mirip dengan molekul lipid dalam membran sel. Liposom yang telah dilengkapi
oleh gen-gen yang diinginkan dapat disuntikkan ke dalam jaringan target atau dengan cara
disemprotkan. Terdapat cara lain pula yaitu pelapisan partikel kecil emas pada DNA yang
kemudian akan ditembakkan dengan menggunakan pistol DNA. Teknologi lain yang dicobakan
oleh peneliti ialah pemanfaatan kromosom buatan berisi DNA tanpa pengkodean protein yang
telah berisi gen terapeutik dan memiliki struktur sama dengan kromosom normal pada manusia
sehingga mampu melakukan replikasi.
Terapi gen manusia dilakukan pertama kali pada tahun 1900 di Bethesda, Maryland dengan
pasien berumur 4 tahun bernama Ashanti DaSilva dengan kelainan genetik severe combined
immunodeficiency (SCID). Pasien ini memiliki sisitem kekebalan tubuh yang kurang berfungsi
akibat ketidaknormalan gen Adenosine Deaminase (ADA). ADA menghasilkan enzim yang
terlibat dalam metabolisme dari nucleotide deoxyadenosine triphosphat (dATP). Mutasi pada gen
ADA menyebabkan akumulasi dATP yang pada konsentrasi tinggi merupakan racun bagi
beberapa jenis sel T sehingga menyebabkan hilangnya sel T dalam pasien penderita SCID.
Ketiadaan sel T menyebabkan sel B tidak mampu mengenali antigen dan menghasilkan antibodi.
Prosesnya dilakukan dengan mengklon gen ADA yang normal dengan bantuan vektor yang
dimasukkan dalam retrovirus yang sudah dinonaktifkan. Strategi ex vivo digunakan bilamana
sejumlah kecil sel T disolasi dari darah Ashanti dan dikultur dalam laboratorium. Retrovirus
mampu mengintegrasikan genomnya ke dalam genom sel inang, sehingga selama kultur,
retrovirus mampu mengintegrasikan gen ADA normal ke dalam kromosom sel T Ashanti.
Setelah beberapa periode, sel-sel T yang mengandung ADA diinjeksikan ke dalam tubuh
Ashanti.
Gambar 3. Terapi Gen Pertama ex vivo pada pasien SCID berumur 4 tahun yang kekurangan gen
ADA (Sumber: Thieman, 2004)
Thieman (2004) menjelaskan bahwa penyakit genetik lainnya diantaranya ialah Cystic Fibrosis
(CF) dimana pasien memiliki dua salinan gen yang mengkodekan protein yang disebut Cystic
Fibrosis Transmembrane Conductance Regulator (CFTR). Protein CFTR secara normal
berfungsi sebagai pompa dalam membran sel untuk memindahkan ion klorida dari sel. Ion
klorida masuk ke dalam sel melalui berbagai cara yang mana melibatkan reaksi seluler. CFTR
penting untuk menjaga keseimbangan ion klorida di dalam sel. Mutasi CFTR menyebabkan
kurangnya jumlah protein sehingga berpeluang untuk terinfeksi penyakit CF. Mutasi atau
ketidaknormalan CFTR mengakibatkan ketidakmampuan CFTR untuk memompa ion-ion keluar.
Pada organ trakea, akumulasi ion klorida menyebabkan kentalnya lendir yang dapat menyumbat
saluran pernafasan dan menghadirkan lingkungan ideal untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini
terjadi karena air bergerak menuju sel-sel yang kaya ion klorida dalam rangka menyeimbangkan
konsentrasi ion di dalam sel.Perawatan yang dapat dilakukan untuk pasien CF diantaranya ialah
terapi gen dengan memasukkan gen CFTR normal ke dalam liposom dan menyemprotkannya ke
hidung dan mulut. Liposom dapat menyatu denga lipid pada membran sel pada sel trakea
selanjutnya akan melepaskan gen CF normal ke dalam sitoplasma sel. Gen CFTR normal
melakukan proses translasi menghasilkan mRNA dan akan diterjemahkan untuk menghasilkan
protein normal. Protein CFTR normal masuk ke dalam membran sel dan memulai transportasi
ion klorida keluar sel sehingga lendir menipis dan mengurangi indikasi penyakit CF. kelemahan
penggunaan terapi gen dalam mengobati penyakit CF ini ialah biaya yang mahal dan
membutuhkan beberapa reaplikasi karena DNA yang dikirim melalui lisosom tidak terintegrasi
ke dalam kromosom.
DAFTAR RUJUKAN
Hengge UR. 2005. Progress and prospects of skin gene therapy: a ten year history. Clin
Dermatol.; 23 (12)
Hsu LY, Leong M, Balm M, Chan DS, Huggan PJ, Tan TY, Koh TH, Hon PY, Ng MM. 2010.
Six cases of daptomycin non-susceptible Staphylococcus aureus bacteremia in Singapore. J
Med Microbiol. 59 (12)
Malik A., 2005, RNA Therapeutic, Pendekatan Baru dalam Terapi Gen, Majalah Ilmu
Kefarmasian(II), Departemen Farmasi FMIPA-UI, Universitas Indonesia, Depok, 51-56.
Wargasetia, T.L. 2005. Terapi Gen pada Penyakit Kanker. JKM 4 (2)
Yoshida, J., Mizuno, M. & Wakabayshi.2004. Interferon- Gene Therapy for Cancer: Basic
Research to Clinical Application. Cancer Sci 95(11)