Anda di halaman 1dari 12

20

TINJAUAN PUSTAKA

Faloak (Sterculia comosa Wallich)


Klasifikasi dan Morfologi

Nama faloak merupakan nama lokal yang diberikan oleh masyarakat NTT,
khususnya Timor untuk pohon S. comosa. Sterculia comosa Wallich
teridentifikasi berdasarkan SK No. 1135/IPH.1.02/If.8/IX/2010 tentang Hasil
Identifikasi/Determinasi Tumbuhan oleh Herbarium Bogoriense Bidang Botani
Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor Tahun 2010 (Lampiran 1). Tantra (1976)
melaporkan bahwa S. comosa memiliki beberapa nama lokal, seperti bangilan
(Manado), bingiladu (Gorontalo), kalimana olimana (Tobelo), kaita (Pulau Sula di
Maluku), lahea (Pulau Mangas), kayu pani (Pulau Buru), susulangit (Pulau
Seram). Zipcodezoo (2010), menjelaskan bahwa S. comosa merupakan flora
berbentuk pohon yang termasuk family Sterculiaceae dan secara taksonomi dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Phylum : Tracheophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Malvales
Family : Sterculiaceae
Genus : Sterculia
Spesies : Sterculia comosa Wallich.
Faloak tersebar di Indonesia dan Filipina (Tantra 1976). Di Indonesia,
faloak terdapat di Sulawesi dan Maluku, sedangkan di NTT, khususnya di Timor,
sebaran pohon faloak belum terdata dengan baik berdasarkan hasil penelusuran
referensi yang berkaitan dengan flora Indonesia dan hasil penelusuran Koleksi
Herbarium Bagian Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI-Bogor Indonesia.
Zipcodezoo (2010) menjelaskan secara umum bahwa genus Sterculia tumbuh
melimpah di daerah tropis Asia dengan jumlah yang telah diidentifikasi sebanyak
26 spesies dari ± 100 – 150 spesies secara umum yang tumbuh di daerah tropis
dan subtropis. Dari 26 spesies yang terdapat di Asia tersebut, 14 spesies
21

teridentifikasi sebagai spesies endemik dan salah satunya diketahui terdapat di


Cina.
Faloak merupakan salah satu tumbuhan yang memiliki kemampuan untuk
tumbuh dan berkembang dengan baik di kondisi alam seperti di NTT yang
tergolong wilayah kering karena hanya memiliki empat bulan basah dengan curah
hujan 1.470 mm pada tahun 2008, serta suhu rata-rata di atas 270C (BPS NTT,
2009). Faloak yang tumbuh di Kota Kupang dan sekitarnya pada umumnya
tumbuh di atas tanah yang bersolum dangkal dan berbatu. Bahkan semua pohon
yang diamati dalam penelitian ini tumbuh di atas batuan-batuan (Gambar 1).
Tantra (1976) menunjukkan bahwa faloak tumbuh di hutan primer pada
lingkungan tanah bertekstur liat/lempung berpasir atau berbatu-batu (rocky soil)
pada ketinggian 300 m di atas permukaan laut (dpl). Namun hal ini sangat berbeda
dengan faloak yang dilaporkan pada penelitian ini, yakni bertempat tumbuh
tersebar dalam Kota Kupang pada tanah yang berbatu, sedangkan informasi
persebaran faloak di NTT maupun di Timor, sampai dengan saat ini belum ada
laporan tertulisnya.

a b
Gambar 1. Tumbuhan faloak (Sterculia comosa Wallich) di Kupang - NTT
a. Tempat tumbuh, daun, dan buah mentah pohon faloak
b. Pohon faloak setelah kulit diambil sebagai obat, buah matang.
22

Zat Ekstraktif
Sjostrom (1993) menjelaskan bahwa zat ekstraktif merupakan salah satu
unsur penyusun kayu. Zat ekstraktif dapat diekstraksi dengan menggunakan
pelarut organik seperti etanol, aseton, atau diklorometan. Walker (2006)
menyatakan bahwa zat ekstraktif merupakan komponen pengisi rongga sel kayu
yang dapat diekstrak dari kayu dengan menggunakan pelarut polar maupun non
polar. Kandungan dan komposisi zat ekstraktif dalam kayu berbeda-beda sesuai
posisinya di dalam pohon. Secara umum, kandungan zat ekstraktif di dalam kayu
berkisar antara 1% sampai dengan 20% (Stenius 2000). Perbedaan ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh (Sjostrom 1993).
Zat ekstraktif secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga subgolongan,
yaitu senyawa alifatik (lilin dan lemak), senyawa terpena dan terpenoid, dan
senyawa fenolik (Sjostrom 1993, Frederique 2009, Fengel dan Wegener 1995).
1. Alifatik (Aliphatic Compounds)
Kelompok senyawa alifatik merupakan kelompok senyawa yang
mendominasi resin parenkhim (Sjostrom 1993). Selanjutnya disebutkan
bahwa alkana dan alkohol tergolong bagian yang terkecil jumlahnya
dibandingkan dengan arachinol (C20), behenol (C22), dan lignocerol (C24).
Hasil berbeda disampaikan Frederique (2009), bahwa kelompok lilin, lemak
dan turunannya terdiri dari asam lemak, trigliserida, gliserida, alkohol
berlemak, sterol, dan steril ester.
2. Terpena dan Terpenoid (Terpenes and Terpenoids Compounds)
Terpena merupakan hidrokarbon murni sedangkan terpenoid
mengandung gugus-gugus fungsional, seperti OH, C=O, COOH, dan lain-lain
(Fengel dan Wegener 1995). Kelompok senyawa terpena dan terpenoid
merupakan kelompok senyawa yang terdapat dalam oleoresin (Sjostrom
1993). Kelompok senyawa terpena dan terpenoid terdiri dari limonena, pinena,
dan asam resin (Frederique 2009). Cole (2010) lebih rinci menjelaskan
bahwa kelompok senyawa terpenoid terdiri dari monoterpena (C10) mencakup
α-pinena, β-pinena, dan limonena ; diterpena (C20) mencakup asam abeitik dan
asam pimarik ; triterpena (C30) yang salah satunya adalah senyawa betulin.
23

3. Fenol (Phenolic Compounds)


Senyawa fenol merupakan kelompok senyawa yang menjelaskan bahwa
akumulasi dari senyawa fenol dalam kayu teras adalah salah satu penciri dari
kayu teras (Sjostrom 1993). Kelompok senyawa fenol terdiri dari senyawa
fenol sederhana yang mencakup asam gallat dan vanilin; stilbena yang salah
satunya adalah pinosylvin; flavonoid yang salah satunya adalah taxifolin; dan
lignan yang salah satunya adalah pinoresinol(Sjostrom 1993, Frederique
2009).

Zat Ekstraktif Sebagai Obat


Sjostrom (1981) menjelaskan bahwa substansi fenol terkandung di dalam
teras kayu (heartwood) dan kulit kayu, dan hanya sedikit terdapat dalam kayu
gubal (sapwood). Fenol memiliki sifat anticendawan (fungisida) sehingga sangat
efektif melindungi kayu untuk melawan serangan cendawan.
Walker (2006) menyatakan bahwa zat ekstraktif memiliki berbagai fungsi,
antara lain sebagai antiserangga (antifeedan, seperti anti nyamuk), antioksidan,
antivirus, antibakteri, sitotoksin, dan anticendawan. Hal ini diduga disebabkan
oleh berbagai senyawa yang terkandung dalam zat ekstraktif yang bersifat racun
sehingga dapat mencegah serangan bakteri (bakterisidal), cendawan, serta rayap
(Fengel dan Wegener 1995).
Beberapa kelompok senyawa zat ekstraktif yang berfungsi sebagai bahan
obat-obatan diantaranya:
1. Alkaloid
Alkaloid umumnya mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung
satu atau lebih atom nitrogen yang biasanya berada dalam gabungan sebagai
bagian dari sistem siklik (Sastrohamidjojo 1996). Alkaloid seringkali bersifat
racun bagi manusia dan mempunyai aktivitas fisiologik yang menonjol.
Alkaloid biasanya tidak berwarna, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan
berbentuk kristal dan hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina)
pada suhu kamar. Uji sederhana yang sama sekali tidak sempurna untuk
alkaloida dalam daun atau buah segar adalah rasa pahitnya di lidah (Harborne
1987).
24

2. Flavanoid
Flavonoid merupakan kelompok besar yang terdiri dari flavon, flavanon,
dan isoflavon. Flavonoid yang telah teridentifikasi berupa krisin, taksifolin,
pinosembrin, pinobanksin, pinostrobin, dan katekin (Fengel dan Wegener
1995). Tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan
tradisional karena memiliki berbagai efek terhadap macam-macam organisme,
antara lain mengobati gangguan fungsi hati karena memiliki aktivitas
antioksidan, antihipertensi, antimutagen, menurunkan agregasi keping darah
(lempengelet) sehingga dapat mengurangi pembekuan darah, dan dapat
menghambat pendarahan (Robinson 1991).
3. Saponin
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan
busa jika dikocok dalam air (Robinson 1991). Beberapa saponin bekerja
sebagai antimikroba (Hasan et al. 2010). Beberapa tahun terakhir ini, saponin
tertentu menjadi penting karena dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan
dengan hasil yang baik dan digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis
hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan (Robinson 1991).
Saponin dibedakan atas dua jenis, yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan
glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal
(Cheeke 2011, dan Robinson 1991). Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan
etanol, tetapi tidak larut dalam eter (Robinson 1991).
4. Steroid dan Triterpenoid
Triterpena merupakan senyawa yang mempunyai struktur sterana dan
merupakan steroid. Senyawa utama dari triterpena siklik adalah skualena
asiklik dan serrafenediol dalam jumlah yang sangat kecil. Komponen utama
kelompok steroid dalam kayu pada umumnya mengandung β–sitosterol,
sedangkan kampesterol, sitosterol, sitostanol, sikloartenol dan sitrostadienol
merupakan senyawa yang jumlahnya tergolong kecil (Fengel dan Wegener
1995)
Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30
asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang agak rumit dan
kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Senyawa-senyawa
25

ini tidak berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi, terkenal karena
rasanya yang pahit (misalnya limonen, suatu senyawa pahit yang larut dalam
lemak dan terdapat dalam buah jeruk), umumnya sukar dicirikan karena tak ada
kereaktifan kimianya. Uji yang banyak digunakan adalah reaksi Lieberman-
Burchard (anhidrida asetat-H2SO4 pekat). Sampai saat ini yang diketahui
tersebar luas adalah triterpena pentasiklik α-amirin dan β-amirin serta asam
turunannya, yaitu asam urosilat, asam oleanolat. Senyawa ini terdapat dalam
lapisan malam daun dan dalam buah, seperti apel dan peer dan mungkin
berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba
(Harborne 1987).
Steroid tumbuhan mempunyai satu atau dua atom karbon tambahan selain
rantai samping delapan karbon yang terdapat dalam lanosterol yang juga
terdapat dalam banyak steroid. Senyawa-senyawa seperti asam kolanat,
kolekalsiferol, 1,25-dihidroksivitamin D, hormon serangga ekdison dan
ekdisteron ini berperan sebagai pelindung jika ditemukan di tanaman. Salah
satu senyawa yang dimiliki tumbuhan adalah kukurbitasin yang merupakan
glikosida triterpenoid dengan kerangka karbon lanosterol. Senyawa ini tidak
hanya bekerja menolak beberapa serangga, tetapi juga menarik beberapa
serangga lain (Robinson 1991).

Etnobotani Faloak
Pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan faloak sebagai obat secara
tradisional merupakan pengetahuan berdasarkan pengalaman secara turun
temurun dari nenek moyang mereka. Bagian yang dimanfaatkan adalah kulit
pohon bagian dalam, dengan tahapan sebagai berikut:
1. Kulit pohon faloak diperoleh dengan cara dikupas dari batang pohon hidup.
Kemudian kulit paling luar atau kulit mati atau biasa disebut ritidoma
dipisahkan dari kulit bagian dalam yang akan dimanfaatkan.
2. Kulit pohon bagian dalam tersebut dicuci dengan air, kemudian direbus
hingga air rebusan menunjukkan warna merah pekat.
3. Air rebusan digunakan dengan cara diminum untuk menyembuhkan berbagai
penyakit dalam, antara lain dapat menyembuhkan penyakit tifus, maag, liver
26

(gangguan fungsi hati), meningkatkan stamina (menghilangkan rasa letih atau


lelah setelah bekerja berat), peluruh haid, peluruh sisa-sisa kotoran setelah
melahirkan, pemulihan setelah melahirkan.
Kulit pohon ini diperoleh dari pohon faloak yang tumbuh secara liar di
kawasan hutan, kebun, maupun di sekitar pemukiman termasuk tumbuh menyebar
di dalam Kota Kupang. Proses pembentukan kembali kulit faloak setelah
pengambilan dapat terjadi setelah 1-3 bulan. Dengan demikian, dampak kerusakan
yang terjadi akibat pemanfaatan kulit dari pohon faloak ini tidak menyebabkan
kematian terhadap pohon faloak. Namun, tetap diperhitungkan bahwa
pengambilan kulit pohon yang berlebihan tetap berdampak negatif terhadap
pertumbuhan faloak karena pengangkutan hara dari tanah melalui batang pohon
faloak menjadi terhambat.
Ketersediaan pohon faloak yang masih cukup banyak menyebabkan
tindakan silvikultur belum menyentuh spesies ini. Di samping itu bagian lain dari
pohon ini yang dapat dimanfaatkan masih sangat rendah. Hal ini menyebabkan
perhatian terhadap budidaya faloak ini menjadi berkurang bahkan belum pernah
dilakukan. Bagian pohon faloak yang cukup tinggi dimanfaatkan selama ini
adalah bagian kulit yang dimanfaatkan sebagai obat, sedangkan kayunya sendiri
belum pernah dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, meubel, maupun ukiran.
Rendahnya pemanfaatan kayu faloak ini mengingat kelas kuat maupun kelas awet
tergolong rendah, dan tinggi bebas cabangnya tergolong rendah. Sehubungan
dengan pemanfaatan kayu faloak, Tantra (1976) menyatakan bahwa kayu faloak
termasuk kelas interior yang tidak dapat bersentuhan langsung dengan tanah dan
lingkungan eksterior. Bagian lain yang cukup bermanfaat selama ini yang dapat
dimakan adalah biji kering dari buah faloak. Biji ini dapat langsung dimakan atau
disangrai terlebih dahulu sebelum dimakan. Tantra (1976) menyatakan bahwa biji
sterculiaceae secara umum dapat dimakan.
Belum diketemukan informasi resmi mengenai kemotaksonomi
(Chemotaxonomy) faloak. Namun, beberapa spesies lain dari family
Sterculiaceae yang dilaporkan Tantra (1976) yang telah mengetahui komponen
kimia utama, seperti sterculia acid, antara lain Sterculia gutata, dan Sterculia
alata. Jenis lain, seperti Sterculia urens, mengandung komponen kimia utama
27

polifenol yang diperoleh dari kulit pohon, dan komponen kimia utama polifenol
dari Sterculia parviflora yang dihasilkan dari buah matang.
Kajian terbaru yang dilakukan terhadap beberapa spesies dari family
Sterculiaceae ini diketahui mengandung alkaloid dari biji, seperti Sterculia
javanica R.Br.,(sekarang menjadi Sterculia cordata Bl.), dan Sterculia blumei G.
Don. (sekarang Sterculia coccinea Jack var. coccinea. Penelitian lain yang telah
dilaporkan oleh Katade et al. (2006) bahwa zat ekstraktif biji Sterculia guttata
bersifat larvicidal terhadap Aedes aegypti dan Culex quinquefascilatus karena
mengandung alkaloid. Shamsundar dan Paramjyothi (2010) melaporkan bahwa
berdasarkan uji fitokimia zat ekstraktif biji Sterculia foetida mengandung
alkaloid, flavonoid, saponin sebagai komponen kimia utama yang bermanfaat
dalam bidang farmasi. Vital et al. (2010) menemukan zat ekstraktif daun Sterculia
foetida bersifat antimikroba karena mengandung senyawa utama alkaloid dan
tannin.
.
Bakteri
Pelczar dan Chan (2008) mendefenisikan bakteri sebagai mikroorganisme
prokariotik uniselular, berkembangbiak dengan membelah diri dan tidak
mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Sel-selnya
berbentuk bulat (kokus), batang (basilus), atau spiral (spirilium). Ukurannya
beragam dengan diameter antara 0,5 sampai dengan 1,0 µm dan panjangnya
antara 1,5 sampai dengan 2,5 µm.
Klasifikasi bakteri negatif Gram dan positif Gram didasari oleh struktur
dinding sel (Thiel 1999), yakni dinding sel bakteri negatif Gram memiliki
beberapa lapis peptidoglikan dan membran luar, sedangkan dinding sel pada
bakteri positif Gram tersusun atas berlapis-lapis peptidoglikan. Lapisan terluar
dinding sel pun berbeda-beda (Hunt 2010). Lapisan terluar dinding sel bakteri
negatif Gram adalah membran luar dengan lapisan terluar lebih tipis, sedangkan
bagian terluar dari bakteri positif Gram adalah peptidoglikan dengan lapisan
terluar lebih tebal dari bakteri negatif Gram (Pelczar dan Chan 2008; Fox 2010).
Sifat patogen dari kedua kelompok bakteri ini juga menunjukan perbedaan dengan
28

kemampuan masing-masing mengeluarkan jenis toksin yang berbeda-beda


(Purwoko 2009).
Endotoksin dan eksotoksin merupakan dua jenis toksin yang dikeluarkan
oleh bakteri patogen. Endotoksin adalah lipida yang termasuk bagian dari
lipopolisakarida dan lipida A yang dilepaskan oleh bakteri negatif Gram ketika
bakteri mengalami lisis, sedangkan eksotoksin merupakan protein yang dihasilkan
dan dikeluarkan oleh bakteri positif gram. Eksotoksin dilepaskan ke makanan,
menyerang sel inang dan jaringan yang rentan, dan membentuk abses atau borok
untuk merusak jaringan untuk memudahkan pertumbuhan bakteri patogen
(Purwoko 2009).
Beberapa bakteri negatif Gram dan positif Gram penyebab penyakit pada
manusia diuraikan sebagai berikut:
1) Escherichia coli
Bakteri ini dikenal sebagai penyebab penyakit diare. Ada lima penyakit
yang ditimbulkan oleh E. Coli, yakni 1) Enteropathogenic E. coli (EPEC),
yakni serotipe yang biasanya ditemukan berkaitan dengan diare yang sering
terjadi pada anak-anak. 2) Enterotoksigenik E. coli (ETEC) yang
menyebabkan diare menyerupai kolera namun lebih ringan, juga
menyebabkan traveler’s diarhea. 3) Enteroinvasive E. coli (EIEC) yang
menghasilkan disentri (yang secara klinis dapat dibedakan dengan disentri
yang disebabkan oleh Shigellosis). 4) Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
yang umumnya infeksi oleh serotipe E. coli O157: H7. Penyebaran penyakit
ini biasanya bersumber dari bahan makanan yang bersumber dari ternak,
seperti meat hamburger atau dari sayur-sayuran. Organisme ini dapat
mengakibatkan gagal ginjal, thrombocytopenia, dan hemolytic anemia karena
vero toksin yang dihasilkannya dan beredar ke seluruh tubuh melalui sistem
peredaran darah mengakibatkan sindrom hemolytic-uremic secara sistemik. 5)
Enteroaggregative E.coli yang terlihat di dunia ketiga. Istilah ini mengacu
pada kenyataan bahwa organisme ini menggumpal secara spontan (Mulla
1999; Fox A 2009). Selain lima jenis penyakit yang ditimbulkan di atas,
penyakit yang ke-6 menurut Benenson (1995) adalah Difus E. coli (DAEC).
29

DAEC bersifat pathogen pada anak-anak khususnya pada anak-anak berusia


prasekolah.

2) Salmonella typhii
Secara umum, Salmonella sebenarnya hanya satu spesies dari
Salmonella (Salmonella enterica). Namun, lebih dari 2000 tipe akhirnya dapat
digambarkan dengan menggunakan antibodi yang tepat. Beberapa jenis yang
umumnya terkait dengan penyakit manusia diantaranya S. enteritidis, S.
cholerae-suis dan S. typhi. Salmonellosis disebabkan oleh berbagai serotipe
dan S. enteritidis merupakan jenis yang paling banyak menimbulkan
salmonellosis pada manusia. Bakteri ini biasanya ditularkan melalui tempat air
minum atau dari sumber air atau makanan yang tercemar. Infeksi biasanya
muncul sebagai gastroenteritis dengan gejala sakit berupa mual, muntah dan
buang air besar secara terus-menerus (Fox A 2009).

3) Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri anaerob fakultatif positif
Gram dan merupakan salah satu penyebab infeksi oportunistik yang sering
dijumpai pada pasien, baik di rumah sakit maupun di masyarakat. Makanan
yang tercemar S.aureus akan menghasilkan enterotoksin (Fox A 2009).
Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus adalah staphylococcal
enterotoxins, yaitu enterotoksin yang diproduksi oleh S. aureus yang
menyebabkan keracunan makanan ketika mengkonsumsi makanan yang
tercemar S.aureus (Loir 2003). Gejala sakit yang biasanya terlihat berupa
mual, muntah, diare (yang menyebabkan dehidrasi) dan sakit perut. Di
samping itu toxic shock syndrome memiliki sifat-sifat superantigen dari S.
aureus, mengakibatkan produksi sitokin, kebocoran pembuluh darah dan
toksikitas sel (Fox A 2010).

4) Bacillus cereus
Dua spesies Bacillus penyebab penyakit pada manusia adalah B.
anthracis dan B. cereus. Bacillus cereus adalah bakteri positif Gram aerob
berbentuk spora relatif mirip dengan B. anthracis. Bakteri ini menyebabkan
keracunan makanan, dan gangguan pada mata seperti keratitis parah,
30

endophthalmitis, dan panophthalmitis. Dua jenis keracunan makanan yang


berhubungan dengan B. Cereus adalah toksin emetik (umumnya ditemukan di
beras) yang menyebabkan, mual, muntah, kram perut; dan diare (karena
keracunan makanan) dengan gejala nyeri perut dan kram, demam dan muntah
jarang terjadi (Fox K 2010). Schneider (2004) menguraikan bahwa B.cereus
dapat menyebabkan foodborne illness, yaitu penyakit yang ditimbulkan akibat
mengkonsumsi makanan yang tercemar B.cereus.

5) Streptococcus agalactiae
Fox A (2010) menjelaskan bahwa Streptococcus adalah bakteri gram-
positif anaerob fakultatif, berbentuk seperti rantai (kadang-kadang
berpasangan) dan merupakan katalase-negatif. Streptococcus dapat
diklasifikasikan berdasarkan sifat hemolitiknya, yaitu Streptococcus hemolitik
α, Streptococcus hemolitik β dan Streptococcus non-hemolitik (Kim 2011).
Streptococcus agalactiae merupakan salah satu bakteri yang tergolong
Streptococcus hemolitik β. Streptococcus agalactiae adalah bakteri yang
menyebabkan meningitis neonatal, septicaemia dan pneumonia. Streptococcus
hemolitik β menyebabkan pecahnya sel darah merah. Struktur sel S.
agalactiae mengandung gen yang menampilkan ragam ekstraseluler, seperti
polisakarida dan protein yang berfungsi untuk menghindari sistem pertahanan
inang (Glaser et al. 2002). Rubinstein et al. (2011) melaporkan bahwa 995
isolat S. agalactiae yang telah diisolasi selama kurun waktu 2002–2008,
sebanyak 46,8% isolat diperoleh dari vagina, 30,7% diperoleh dari pembalut,
15,2% diperoleh dari air seni (urine), 1,6% diperoleh dari darah, dan 5,7%
diperoleh dari bagian-bagian lain. Sebanyak 7,8% S. agalactiae tahan terhadap
erythromycin.

Cendawan
Candida albicans

Candida albicans merupakan cendawan yang termasuk ke dalam klasifikasi


Kelas Ascomycetes yang dicirikan oleh pembentukan askus yang merupakan
tempat dihasilkannya askospora (Pelczar dan Chan 2008; Salvo 2010).
31

Kandidiasis merupakan penyakit pada manusia yang disebabkan oleh C.


albicans yang terjadi pada selaput lendir mulut, vagina, dan saluran pencernaan.
Tingkat infeksi C. albicans yang lebih tinggi dapat menyebabkan endokarditis
(infeksi yang menyerang jantung), septisemia (darah), dan meningitis (otak)
(Pelczar dan Chan 2008; Salvo 2010).

Anda mungkin juga menyukai