Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Aksiologi mempelajari mengenai manfaat apa yang diperoleh dari ilmu
pengetahuan, menyelidiki hakikat nilai, serta berisi mengenai etika dan estetika. Aksiologi
adalah studi tentang nilai atau kualitas. Aksiologi mencakup etika dan estetika bidang filsafat
yang sangat terkait pada gagasan tentang nilai dan kadang-kadang disamakan dengan teori
nilai dan meta-etika.
Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bagian yang penting bagi umat Islam
sebagai pengembangan Al-Qur’an yang memerlukan pengkajian dan pembuktian ilmiah.
Dengan mengkaji secara mendalam dan membuktikan secara ilmiah maka kita akan
menemukan misteri yang luar biasa dari Al-Qur’an. Seseorang yang mendalami, meneliti dan
mengembangkan Al-Qur’an dengan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi akan mengakui
kebesaran Allah SWT.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang
dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka”. (Q.S. Ali Imran: 190-191).
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia didalamnya memuat banyak hal dalam
kehidupan ini, mulai dari urusan yang kecil hingga dalam pengaturan suatu negara termasuk
didalamnya adalah mengenai ilmu pengobatan dan kefarmasian. Menurut Al Biruni, farmasi
merupakan suatu seni untuk mengenali jenis, bentuk dan sifat-sifat fisika dari suatu bahan,
serta seni mengetahui bagaimana mengolahnya untuk dijadikan sebagai obat sesuai dengan
resep dokter. Kedokteran Islam yang didalamnya termasuk farmasi Islam merupakan ilmu
kedokteran dan farmasi yang berdasarkan Islam dan didalam praktiknya tidak bertentangan
dengan koridor ajaran Islam. Farmasi Islam diharapkan dapat mengedepankan kemampuan
untuk menggali dan menjaga lingkungan, kemampuan untuk memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi farmasi secara optimal, serta memiliki kepekaan terhadap
berbagai proses perubahan yang terjadi didalamnya.

1
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana pandangan islam terhadap produk-produk farmasi?

1.2.2 Bagaimana ketergantungan muslim atas kosmetik?

1.2.3 Bagaimana seharusnya seorang farmasis menyikapi masalah tersebut?

1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui pandangan islam terhadap produk-produk farmasi

1.3.2 Untuk mengetahui ketergantungan muslim atas kosmetik

1.3.3 Untuk mengetahui seharusnya seorang farmasis menyikapi masalah tersebut

2
BAB II

PEMBAHASAN

1.4 Pandangan islam terhadap produk-produk farmasi

Agama Islam adalah agama yang kaffah atau sempurna dan lengkap. Semua
permasalahan hidup termasuk mengenai pengobatan terhadap penyakit yang diderita
oleh manusia. Ajaran Islam mendorong kita untuk tetap mengobati penyakit yang kita
derita dengan cara yang Islami, tentunya dengan obat dan terapi yang ditawarkan oleh
Al-Qur’an dan Nabi saw.
Sesungguhnya apa yang diciptakan oleh Allah swt. mempunyai hikmah yang
amat besar dan apa yang dilarang atau diharamkan sesungguhnya demi manusia itu
sendiri.
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit beserta obatnya dan Dia
telah menjadikan setiap penyakit ada abatnya, maka berobatlah kalian dan jangan
berobat dengan barang yang haram” (H.R. Abu Dawud).
“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan kesembuhan dengan sesuatu
yang ia haramkan atasmu” (H.R. Bukhari).
Masalah halal dan haram dari obat dan kosmetik merupakan bagian pokok
dari tinjauan kritis produk farmasi bagi seorang muslim, karena hal ini menyangkut
keamanan dari segi ruhaniah bagi seorang yang mengkonsumsinya seperti
mempengaruhi terkabulnya doa di sisi Allah swt.
“Perbaikilah makananmu, maka Allah akan mengabulkan doa-doamu”
(H.R. Ath-Thabrani).
2.1 Obat

Obat merupakan sedian atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistim fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan
dan kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, 2005).Defenisi menurut Ansel (1985),
obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta
mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.

3
Titik kritis untuk obat yang diisolasi dari hewan adalah ketika hewan bisa
berasal dari ular, babi atau hewan lain yang diharamkan. Selain itu cara
penyembelihan hewanpun harus benar-benar dipertimbangkan. Sementara untuk
produk metabolit mikroba titik kritis kehalalan medium serta enzim pertumbuhan
yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Bahan untuk ekstraksi metabolit aktif
pun harus dipertimbangkan apakah menggunakan alkohol murni atau produk
sampingan dari industri khamr.
Beberapa zat aktif obat yang harus dicermati adalah kelompok hormon,
enzim, dan vitamin. Produk hasil bioteknologi ini bisa berasal dari produk mikrobil
yang haram, media penyegaran dan perbanyakan dari bahan yang haram, atau bahan
penolong yang haram. Pada tingkat teknologi yang lebih tinggi harus dipertimbangkan
juga apakah mikroba rekombinan gennya berasal dari hewan yang haram atau tidak.
Bahan pembantu atau eksipien titik kritis perhatikan pada penggunaan laktosa,
etanol, adeps lanae serta magnesium stearat. Sebagian bahan baku laktosa ditemukan
sebagai produk samping pembuatan keju dan susu yang ditambahkan enzim dari babi.
Etanol perhatikan batas kadar 1% dan sumber produksinya apakah bersinggungan
dengan kamr atau tidak. Adeps lanae sebagia bahan untuk meningkatkan viskositas
juga beresiko diisolasi dari hewan yang diharamkan.
Bagaimana status darurat dalam pengobatan? Rasulullah saw. Memerintahkan
umatnya untuk berobat dengan menggunakan obat yang halal dan melarang
menggunakan obat yang haram. “Diriwayatkan dari Abu Ad Darda’, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak membuat penyakit
(melainkan) dengan obatnya, dan Allah ta’ala membuat obat untuk setiap penyakit.
Karena itu hendaklah kamu berobat dan jangan berobat dengan yang haram” (H.R.
Abu Ad Darda’).
Meskipun penggunaan produk halal hukumnya wajib bagi setiap muslim,
namun para ulama memperbolehkan obat yang haram dalam keadaan darurat. Imam
Nawawi menjelaskan bahwa para ulama fiqih pendukung madzhab Syafi’i
menegaskan standar darurat ialah timbulnya kekhawatiran akan kematian jika tidak
dilakukan. Demikian pula Imam Suyuthi mendefinisikannya sebagai kondisi yang jika
tidak dilakukan akan mati atau dekat kematian.

Namun fakta soal jaminan produk halal pada obat memang masih sangat
memprihatinkan. Bahkan, untuk produk vaksin, sesuai dengan data di MUI (Fatwa

4
MUI No. 06 Tahun 2010) baru ada tiga vaksin yang memperoleh sertifikasi halal
yaitu tiga produk vaksin untuk vaksinasi meningitis. Bahkan, data dari LPPOM MUI
dari 30 ribuan jenis obat yang terdaftar di BPPOM dan beredar di masyarakat, hanya
34 obat yang bersertifikat halal. Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan
kenyataan mayoritas masyarakat Indonesia, pengguna obat-obatan tersebut adalah
muslim.
Oleh karena itu, sebagai seorang farmasis adalah bijak rasanya jika
mengambil tanggung jawab dan kewajiban untuk terus berijtihad melakukan
penelitian, hingga mewujudkan obat yang halal dan thayyib, termasuk obat vaksin
untuk imunisasi. Temporalitas pembolehan penggunaan obat yang haram, secara
implisit mewajibkan bagi ummat islam, khususnya para peneliti di bidang farmasi
untuk melakukan penelitian dan menemukan obat yang berbahan halal dan suci,
sehingga memenuhi standar syar’i untuk digunakan oleh ummat islam (Sholeh, 2015).

2.2 Kosmetik
Produk kosmetik memang tidak dimakan dan masuk ke dalam tubuh. Oleh
karena itu, penggunaan kosmetik biasanya dikaitkan dengan masalah suci dan najis.
Unsur kosmetik haruslah terdiri dari zat yang halal, tidak najis atau menjijikkan dan
tidak membahayakan tubuh pemakainya serta jangan sampai kosmetik menjadi sarana
tabarruj yakni berdandan yang berlebihan dan bukan pada tempatnya.
Sediaan kosmetik ini terdapat peluang digunakannya bahan aktif atau bahan
pembantu dari bahan yang haram atau diragukan/subhat. Status kehalalan ini kritis
terutama pada produk dengan bahan hasil isolasi dari hewan (kolagen, dll),
menggunakan alkohol, menggunakan bagian dari manusia seperti plasenta dan cairan
amniotik.

Kenyataan dalam dunia farmasi saat ini terdapat beberapa sediaan farmasi
yang dipertanyakan halal dan haramnya, di antaranya:
1.   Sediaan topikal berbahan najis seperti sediaan losio, krim, atau plester. Para
ulama sepakat bahwa benda yang haram hukumnya adalah najis ketika
digunakan.
2.   Penggunaan bahan dari babi dalam kefarmasian. Sesuai dengan nash Al-Qur’an,
pada tahun 1994 komisi Fatwa MUI telah menfatwakan bahwa babi dan
komponen-komponennya haram untuk dikonsumsi baik sebagai pangan maupun

5
obat dan kosmetika. Bahan obat dan kosmetik yang berpotensi haram karena
umumnya dibuat dari bagian organ babi adalah: kolagen sebagai pelembab dan
bahan dasar gelatin yang biasa digunakan dalam pembuatan cangkang kapsul,
gelatin, cerebroside; serta beberapa golongan hormon seperti insulin, heparin
dan enzim tripsin yang biasa digunakan dalam pembuatan vaksin polio sebagai
enzim proteolitik berasal dari pancreas babi. Salah satu tantangan bagi kalangan
ilmuwan muslim adalah masalah kemiripan hormon insulin manusia dengan
insulin babi sehingga dari sudut pandang medis lebih menguntungkan daripada
menggunakan hormon insulin sapi yang tidak mirip insulin manusia.
3.   Penggunaan alkohol dalam kefarmasian. Sebagian ulama mengqiyaskan alkohol
dengan khamr dan sama sekali menolak penggunaan alkohol dalam berbagai
produk baik obat, kosmetik, maupun antiseptik. Tetapi dengan logika bahwa
alkohol tidak selalu dihasilkan dari produksi khamr dan tidak memabukkan,
maka Dewan Fatwa MUI menfatwakan bahwa alkohol boleh ada dalam produk
akhir dengan kadar tidak lebih dari 1%. Penggunaan alkohol dalam beberapa
produk farmasi tidak dapat terhindarkan sehingga perlu kearifan untuk
membedakan antara alkohol dan khamr.
4.   Bahan memabukkan lainnya seperti morfin, opium dan obat psikotropika.
5.   Penggunaan plasenta dalam kefarmasian. Plasenta sebagai kosmetik
mengagumkan dalam meningkatkan pembaharuan sel (regenerasi sel).

Ketentuan halal dan haram merupakan salah satu hak Allah yang harus ditaati
oleh manusia. Sebagai landasan dalam penentuan halal dan haram umat Islam
berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Sumber utama yang harus dijadikan
patokan pertama adalah Al-Qur’an, kemudian sumber kedua adalah hadist. Apabila
tidak ada dalil yang menjelaskan secara rinci dan tegas dalam Al-Qur’an dan Hadist
maka diperbolehkan ijtihad.

2.3 Ketergantungan terhadap kosmetik

Kosmetik sejauh yang diketahui oleh para arkeolog pertama kali digunakan di
Mesir pada 4000 tahun SM yang dibuktikan dari sisa-sisa artefak yang kemungkinan
digunakan untuk tata rias (make up) dan untuk penggunaan salep pewangi. Orang

6
yang pertama kali menggunakan kosmetik untuk wajahnya adalah Nabi Yusuf ketika
menjabat sebagai wazir di negeri Mesir. Namun, berbeda dengan tujuan penggunaan
kosmetik pada saat ini, Nabi Yusuf justru menggunakan kosmetik untuk menutupi
‘kecantikan’ wajahnya, yang bahkan digambarkan bisa membuat perempuan-
perempuan Mesir menyayat tangannya sendiri akibat terpesona.

Namun di era modern kali ini, penggunaan kosmetik ialah untuk tujuan
mempercantik diri. Dengan kosmetik,seseorang dapat menonjolkan kecantikan wajah
atau mengoreksi bagian yang kurang agar terlihat lebih Perfect. Tapi ternyata
kosmetik juga dapat membuat seseorang menjadi ketergantungan.

Sebuah survei yang dilakukan oleh tim peneliti The Renfrew Center terhadap
wanita di Amerika Serikat, menyatakan bahwa hampir setengah dari wanita yang
menjadi objek penelitian tidak suka dengan wajah polos mereka. Seperti dilansir dari
Daily Mail, para peneliti menemukan bahwa kosmetik sekarang tidak hanya
difungsikan untuk menonjolkan bagian wajah yang memang dianggap bagus. Tapi
juga digunakan sebagai riasan korektif untuk menutupi bagian yang kurang agar lebih
terlihat cantik.
Ya, mungkin sifat alamiah wanita yang selalu mengusahakan segala cara
untuk membuat wajah menjadi sangat cantik dan sempurna.  Dan, karena melihat
semakin banyaknya wanita yang tidak percaya diri pada penampilan mereka, semakin
banyak juga produsen kosmetik yang mengambil keuntungan untuk mengampanyekan
produk mereka. Iklan-iklan membombardir dengan seribu satu manfaat untuk
membuat wajah lebih cantik. Semakin menjamurnya Klinik Kecantikan di kota – kota
besar yang menjanjikan hasil optimal. Tapi sepertinya mereka mulai lupa
memperdulikan Komposisi bahan kosmetik yang akan di perjual belikan di
masyarakat luas.
Dan efek pemakaian kosmetik abal – abal  akan timbul di kemudian hari.
Berbagai macam efek mulai dari jerawat , kulit kusam, merah, meradang, kasar
hingga iritasi tingkat lanjut. Oleh karena itu sebaiknya para wanita harus
selektif  memilih kosmetik yang tepat untuk di pergunakan setiap hari dan aman bagi
jangka panjang.
2.4 Makanan
Secara etimologi makan berarti memasukkan sesuatu melalui mulut, sedangkan makanan
ialah segala sesuatu yang boleh dimakan

7
1. Dalam bahasa arab makanan berasal dari kata at-ta’am ‫ الطعام‬dan jamaknya Al -
atimah ‫ االطیمھ‬yang artinya makan- makanan (Adib Bisri, 1999).
2. Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam makanan ialah segala sesuatu yang
boleh dimakan oleh manusia atau sesuatu yang menghilangkan lapar

Dalam Al-Qur’an juga diperintahkan untuk memakan makanan yang Halal dan
Thoyyib (baik). Beberapa rambu-rambu yang membatasi adalah makanan yang
diharamkan yaitu bangkai, babi, darah, khamr, hewan yang mati tidak wajar dan
binatang yang disembelih tanpa nama Allah.
2.5 Sikap yang harus diambil

Tokoh farmasi Islam, Al Biruni (973-1051) dalam bukunya yang berjudul al-
Saydanah fi al-Tibb mengemukakan bahwa farmasi adalah seni untuk mengenali
jenis, bentuk, dan sifat-sifat fisika dari suatu bahan, serta seni mengetahui bagaimana
mengolahnya menjadi obat sesuai dengan resep dokter. Masih menurut Al Biruni,
farmasis (al-Saydanani) didefinisikan sebagai sosok yang profesional dalam peracikan
dan peramuan obat, memilih bahan terbaik, menyediakan obat terbaik berdasarkan
tata cara dan teknik yang tepat, serta mampu menjelaskan asal mula obat, obat-obatan
yang penting, dan dosis obat. Berdasarkan pemaparan tersebut, diketahui bahwa Islam
memegang peranan penting dalam perkembangan dunia kefarmasian. Jauh sebelum
kefarmasian Eropa berkembang, para farmasis Islam sudah menyumbangkan ide dan
gagasannya dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Apotek pertama kali muncul di
Bagdad, Irak sekitar abad kedelapan dan sistem pelayanan kesehatan yang
komprehensif didirikan oleh Ibnu Sina, juga di Bagdad.

Kondisi sekarang berbanding terbalik. Dunia kefarmasian Islam mengalami


kemunduran yang dimulai saat Khilafah Islamiyah runtuh pada tahun 1924. Oleh
karena itu, sudah sepatutnya bagi kita selaku generasi penerus Al Biruni, berusaha
untuk mengembalikan kejayaan kefarmasian Islam. Caranya dengan mendekatkan Al
Qur’an dan Hadist kepada calon farmasis Islam. Hal ini menjadi titik yang krusial,
karena masih banyak calon farmasis Islam yang belum mengetahui dahsyatnya
kandungan Al Qur’an dan Hadist dalam bidang kefarmasian. Ketika mereka berhasil
memahami dan merasakan ilmu dari Al Qur’an dan Hadist, maka dalam proses
selanjutnya yaitu pengembangan ilmu kefarmasian, pasti akan berpedoman kepada
dua rujukan tersebut.

8
Banyaknya umat Islam di Indonesia yang mulai mendalami pengobatan ala
nabi (thibbun nabawi), seharusnya dapat dijadikan peluang berkembangnya ilmu
kefarmasian Islam, minimal di Indonesia. Penggunaan kurma (Phonex dactylifera),
habbatus sauda (Nigella sativa), zaitun (Olea eurofaea), dan madu yang meningkat
juga semakin memperluas kesempatan tersebut. Bahkan salah satu MLM syariah di
bidang obat-obatan dan makanan yang awalnya hanya beredar Malaysia dan
Indonesia, kini mulai merambah ke Asia Tengah dan Afrika.

Meluasnya ranah farmasi saat ini yang meliputi 3 hal yaitu obat, makanan, dan
kosmetik hendaknya disikapi dengan bijak. Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
farmasi yang terus berkembang mengakibatkan bervariasinya ketiga produk tersebut.
Di sinilah tantangan bagi farmasis Islam. Mungkin, industri obat sudah menerapkan
cGMP (current Good Manufacturing Practice) dalam setiap produksinya, begitu juga
dengan industri makanan dan kosmetik yang telah menetapkan standar prosedur
operasional. Namun, dalam komposisi bahan-bahannya dan selama proses
produksinya, menggunakan bahan yang haram atau halal dan bagaimana produksinya,
itu masih menjadi tanda tanya. Masalah tersebut bukanlah masalah yang kecil bagi
umat Islam karena mempengaruhi kesempatan terkabulnya doa seseorang.

Sebagai contoh pada produksi obat-obatan sintetis. Sediaan yang berbentuk


cair acap kali menggunakan etanol sebagai pelarutnya, terutama pada obat batuk.
Selain itu, cangkang kapsul yang dibuat dari gelatin dapat berasal dari tulang atau
kulit babi, sapi, atau ikan. Hormon, enzim, dan vitamin yang merupakan produk hasil
bioteknologi bisa menggunakan mikroba maupun media yang haram. Plasenta yang
terkadang berasal dari manusia mampu meregenerasi sel-sel kulit dan mencegah
penuaan, sehingga dimanfaatkan sebagai kosmetik. Teknologi kloning yang dimulai
pada tahun 1962 juga mengundang kontroversi dan menyebabkan bukan hanya
ilmuwan di bidang rekayasa genetika saja yang berkomentar, melainkan juga
melibatkan alim ulama.

Untuk menangkap peluang dan menjawab tantangan di atas dalam rangka


mencapai kebangkitan farmasi Islam, membutuhkan peran serta dari farmasis Islam
yang berada di semua sektor. Mulai dari akademisi di perguruan tinggi, lembaga
dakwah kampus, pemerintah, hingga industri. Di perguruan tinggi, farmasis Islam
yang menjadi dosen dapat memasukkan materi kefarmasian Islam dalam mata kuliah
9
agama Islam, seperti yang telah dilakukan Fakultas Farmasi Universitas Darussalam
Gontor. Di sana, calon farmasis dikenalkan dengan ilmu-ilmu praktis mengenai
kehalalan vaksin, sertifikasi halal, Indonesia sebagai pusat halal sedunia, dan lain
sebagainya. Untuk lembaga dakwah kampus, bisa menyelenggarakan kajian, diskusi,
ataupun seminar dengan topik yang berkaitan dengan kefarmasian Islam.

Farmasis Islam yang berada di pemerintahan, melalui BPOM hendaknya


memberikan edukasi kepada masyarakat dalam memilih produk yang aman. Untuk 
LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika) MUI tidak
hanya bertugas meneliti, mengkaji, menganalisis, dan memutuskan produk pangan,
obat, dan kosmetik aman dikonsumsi dari sisi kesehatan dan Islam, tetapi juga
memberikan bimbingan kepada masyarakat umum. Misalnya meluncurkan buku yang
berisi tata cara sertifikasi halal yang dilengkapi dengan informasi tentang persyaratan
sertifikasi halal tersebut. Kemudian dengan adanya buku tersebut, diharapkan akan
mempermudah industri yang ingin mengajukan sertifikasi halal.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ranah farmasi saat ini yang meliputi 3 hal yaitu obat, makanan, dan kosmetik
hendaknya disikapi dengan bijak. Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi yang
terus berkembang mengakibatkan bervariasinya ketiga produk tersebut. Dalam rangka
mencapai kebangkitan farmasi Islam, membutuhkan peran serta dari farmasis Islam yang
berada di semua sektor. Mulai dari akademisi di perguruan tinggi, lembaga dakwah kampus,
pemerintah, hingga industri. Di perguruan tinggi, farmasis Islam yang menjadi dosen dapat
memasukkan materi kefarmasian Islam dalam mata kuliah epistimologi Islam. Farmasis
Islam yang berada di pemerintahan, melalui BPOM hendaknya memberikan edukasi kepada
masyarakat dalam memilih produk yang aman.

3.2 Saran

Sebaiknya seorang wanita harus selektif  memilih kosmetik yang tepat untuk di pergunakan
setiap hari dan aman bagi jangka panjang yang sesuai dengan syariat islam.

11
DAFTAR PUSTAKA

Adib Bisri dan munawwir AF; kamus Indonesia Arab, (Surabaya: Pustaka Progresif,

1999), h., 201

Ansel, C. Howard. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press

Departemen Agama RI, 2003, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal. Jakarta.

Depkes RI, 2005. Kebijakan Obat Nasional (KONAS). Depkes. Jakarta.

Lubis, S. d. (2013). In Islam Universal Menebar Islam sebagai Agama Rahmatan


Lil’Alamiin. Jakarta: Media Pustaka.

Proyek Perguruan Tinggi Agama /IAIN di Pusat Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam, Ilmu Fiqih, (Jakarta 1982), h., 525

Sholeh, Asrorun Ni’am. 2015. Jaminan Halal Pada Produk Obat: Kajian Fatwa MUI dan
Penyerapannya dalam UU Jaminan Produk Halal. Jurnal Syariah. Edisi: Jurnal
syariah 3

Syamsuni, H., 2005, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, 104, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

12
13

Anda mungkin juga menyukai