PERCOBAAN II
PENGARUH OBAT TERHADAP SISTEM SARAF
Disusun Oleh:
Disusun Oleh:
( )
Sistem saraf terdiri dari dua kelompok, yakni Susunan Saraf Pusat (SSP)
yang terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang, dan susunan saraf perifer
dengan saraf-saraf yang secara langsung atau tak langsung ada hubungannya
dengan SSP. Saraf perifer terbagi menjadi dua bagian, yakni susunan saraf motoris
yang bekerja sekehendak kita, misalnya otot-otot lurik (kaki, tangan, dan
sebagainya) serta Susunan Saraf Otonom (SSO) yang bekerja menurut aturannya
sendiri (Tjay,2002).
Sistem simpatis dan parasimpatis, umumnya bekerja berlawanan satu sama
lain (antagonis). Sebagai contoh, sistem simpatis umumnya bersifat katabolik,
mengeluarkan energi (sistem “fight or flight”). Sistem ini meningkatkan frekuensi
jantung, mendilatasi bronki, dan mengurangi sekresi, sedangkan sistem
parasimpatis bersifat anabolik, menyimpan energi, misalnya menurunkan
frekuensi jantung, menstimulasi fungsi gastrointestinal. Pada individu yang
sedang beristirahat, sistem parasimpatis mendominasi pada sebagian besar organ,
mengakibatkan denyut jantung relatif lambat, sekresi adekuat, dan motilitas usus
yang sesuai. Tetapi, pada individu yang sedang stres, sistem simpatis
mendominasi, mengalihkan energi untuk fungsi-fungsi yang membuat orang siap
untuk fight or flee (misal: peningkatan oksigenasi jaringan dengan bronkodilatasi
dan peningkatan curah jantung) (Olson,1993).
Tahap transmisi neurohormonal yaitu sistesis, penyimpanan, penglepasan,
ikatan dengan reseptor dan eliminasi transmitor merupakan dasar untuk pengertian
kerja obat otonom. Obat yang bekerja pada saraf otonom mempengaruhi salah
satu tahap transmisi neurohormoral tersebut, yaitu pada transmisi adrenergik atau
transmisi kolinergik tanpa membedakan apakah saraf tersebut termasuk sistem
simpatis, parasimpatis atau somatik. Hal tersebut menjelaskan obat yang bekerja
pada saraf otonom bertolak dari transmisi kolinergik dan transmisi adrenergik dan
bukan dari sistem simpatis-parasimpatis (Anonim,1995).
Obat otonom mempengaruhi transmisi neurohormoral dengan cara
menghambat atau mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan pengaruh
obat pada transmisi sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu (1) hambatan
pada sintesis atau penglepasan transmitor; (2) menyebabkan penglepasan
transmitor; (3) ikatan dengan reseptor; dan (4) hambatan destruksi transmitor
(Anonim,1995).
Sistem saraf perifer berfungsi meneruskan impuls saraf listrik dari dan ke
susunan saraf pusat, melalui masing-masing neuron efferent (motoris) dan neuron
afferent (sensory). Impuls eksogen diterima oleh sel-sel penerima (reseptor) untuk
kemudian diteruskan ke otak atau sumsum belakang. Rangsangan dapat berupa
perangsang (stimuli) nyeri, suhu, perasaan, penglihatan, pendengaran dan
sebagainya (Tjay,2002).
Menurut efek utamanya maka obat otonom dapat dibagi dalam 5 golongan:
1. Parasimpatomimetik atau kolinergik
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh
aktivitas susunan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang secara
anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin (ACh) maka
istilah obat kolinergik lebih tepat daripada istilah parasimpatomimetik
(Anonim,1995).
Obat kolinergik dibagi dalam tiga golongan: (1) Ester kolin; dalam
golongan ini termasuk: asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol; (2)
Antikolinesterase, termasuk didalamnya: eserin (fisostigmin), prostigmin
(neostigmin), diisopropil-flurofosfat (DFP), dan insektisid golongan
organofosfat; dan (3) Alkaloid tumbuhan, yaitu: muskarin, pilokarpin dan
arekolin (Anonim,1995).
2. Simpatomimetik atau adrenergik
Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang
ditimbulkannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek
neutransmitor norepinefrin dan epinefrin dari susunan saraf simpatis.
Golongan obat ini disebut juga obat simpatik atau simpatomimetik, tetapi
nama ini kurang tepat karena aktivitas susunan saraf simpatis ada yang
diperantarai oleh transmitor asetilkolin (Anonim,1995).
Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis: (1) perangsangan
perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan terhadap
kelenjar liur dan keringat; (2) penghambatan perifer terhadap otot polos usus,
bronkus, dan pembuluh darah otot rangka; (3) perangsangan jantung, dengan
akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi; (4) perangsangan
SSP, misalnya perangsangan pernapasan, peningkatan kewaspadaan, aktivitas
psikomotor, dan pengurangan nafsu makan; (5) efek metabolik, misalnya
penigkatan glikogenolisisdi hati dan otot, lipolisis dan penglepasan asam
lemak bebas dari jaringan lemak; (6) efek endokrin, misalnya mempengaruhi
sekresi insulin, renin dan hormon hipofisis; dan (7) efek prasinaptik, dengan
akibat hambatan atau peningkatan penglepasan neurotransmitor NE dan ACh
(secara fisiologi, efek hambatan lebih penting) (Anonim,1995).
3. Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik
Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik menghambat timbulnya
efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis (Anonim,1995).
4. Simpatolitik atau penghambat adrenergik
Penghambat adrenergik atau adrenolitik ialah golongan obat yang
menghambat perangsangan adrenergik. Berdasarkan tempat kerjanya,
golongan obat ini dibagi atas antagonis adrenoreseptor dan penghambat saraf
adrenergik (Anonim,1995).
Antagonis adrenoreseptor atau adrenoseptor bloker ialah obat yang
menduduki adrenoseptor sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan
obat adrenergik, dan dengan demikian menghalangi kerja obat adrenergik
pada sel efektornya. Ini berarti adrenoreseptor bloker mengurangi respons sel
efektor adrenergik terhadap perangsangan saraf adrenergik maupun terhadap
obat adrenergik eksogen. Untuk masing-masing adrenoreseptor α dan β ada
penghambatnya yang selektif. Antagonis adrenoreseptor α atau α-bloker
memblok hanya reseptor α dan tidak menduduki reseptor β. Sebaliknya,
antagonis adrenoreseptor β atau β-bloker memblok hanya reseptor β dan tidak
mempengaruhi reseptor α (Anonim,1995).
5. Obat ganglion merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion
(Anonim,1995).
Obat yang bekerja pada susunan saraf pusat (SSP) memperlihatkan efek
yang sangat luas. Obat tersebut mungkin merangsang atau menghambat aktivitas
SSP secara spesifik atau secara umum. Beberapa kelompok obat memperlihatkan
selektivitas yang jelas misalnya analgesik antipiretik yang khusus mempengaruhi
pusat pengatur suhu dan pusat nyeri tanpa pengaruh jelas terhadap pusat lain.
Sebaliknya anestetik umum dan hipnotik sedatif merupakan penghambat SSP
yang bersifat umum sehingga takar lajak yang berat selalu disertai koma.
Pembagian obat dalam kelompok merangsang dan kelompok yang menghambat
SSP tepat, karena psikofarmaka misalnya menghambat fungsi bagian SSP tertentu
dan merangsang bagian SSP yang lain. Alkohol adalah penghambat SSP tetapi
dapat memperlihatkan efek perangsangan. Sebaliknya perangsangan SSP dosis
besar selalu disertai dipresi pasca perangsangan (Anonim,1995).
Fungsi SSP dapat ditekan seluruhnya secara tidak spesifik oleh zat-zat
pereda pusat seperti hipnotika dan sedativa. Sebagai akibatnya kesadaran untuk
impuls eksogen diturunkan serta aktivitas fisik dan mental dikurangi. Obat-obat
ini tidak mempengaruhi tingkah laku secara spesifik, sebagaimana halnya dengan
transquillizers, yang disamping itu juga berkhasiat depresif terhadap SSP.
Antagonis faali dari obat-obat tersebut adalah zat-zat yang berkhasiat
menstimulasi seluruh SSP, yakni analeptika (wekamin) dan antidepresiva. Kedua
jenis obat ini mempengaruhi semangat dan suasana jiwa berdasarkan kegiatan
langsung terhadap otak (Tjay,2002).
Untuk praktisnya, obat yang bekerja terhadap SSP dapat dibagi dalam
beberapa golongan besar, yaitu:
1. Psikofarmaka (psikotropika), yang meliputi:
a. Psikoleptika: jenis obat yang pada umumnya menekan dan/atau
menghambat fungsi-fungsi tertentu dari SSP yakni hipnotika, sedativa dan
tranquillizers, dan antipsikotika.
b. Psiko-analeptika: jenis obat yang menstimulasi seluruh SSP, yakni
antidepresiva dan psikostimulansia (wekamin).
2. Jenis obat untuk gangguan neurologis, seperti antiepileptika, MS (multiple
sclerosis), dan penyakit Parkinson.
3. Jenis obat yang menghalau atau memblokir perasaan sakit: analgetika,
anestetika umum, dan lokal.
4. Jenis obat vertigo dan obat migrain (Tjay,2002).
BAB IV
METODE KERJA
V.1.2. Perhitungan
1. Pilokarpin
Diketahui : Stock = 2 mg/ml
Dosis = 7,5 mg
Berat mencit = 35,5 g
Ditanya : V yang diberikan............?
Penyelesaian :
BB
Dosis / mencit x Dosis Obat
1000 gram
35,5
= x 7,5 = 0,26625
1000
0,26625
V yang diberikan
Stock
0,26625
= = 0,133 ml
2
2. Atropin sulfat
Diketahui : Stock = 0,025 mg/ml
Dosis = 0,5 mg
Berat mencit = 23,8 g
Ditanya : V yang diberikan.............?
Penyelesaian :
BB
Dosis / mencit x Dosis Obat
1000 gram
23,8
= x 0,5 = 0,0119
1000
0,0119
V yang diberikan
Stock
0,0119
= 0,025 = 0,476 ml = 0,5 ml
34,26
= x 0,5 = 0,01713
1000
0,01713
V yang diberikan
Stock
0,01713
= 0,025
= 0,6852 ml
*Pilokarpin
34,26
= x 7,5 = 0,2569
1000
0,2569
V yang diberikan
Stock
0,2569
= = 0,128 ml
2
b).* Atropin sulfat
Diketahui: Stock = 0,025 mg/ml
Dosis = 0,5 mg
Berat mencit = 39,91 g
Jawab :
BB
Dosis / mencit x Dosis Obat
1000 gram
39,91
= x 0,5 = 0,0199
1000
0,0199
V yang diberikan
Stock
0,0199
= 0,025 = 0,796 ml
*Pilokarpin
39,91
= x 7,5 = 0,299
1000
0,299
V yang diberikan
Stock
0,299
= = 0,149 ml
2
4. Adrenalin
21,3
= x 0,5 = 0,0106
1000
0,0106
V yang diberikan
Stock
0,0106
= 0,025 = 0,424 ml
5. * Propanolol
Jawab :
BB
Dosis / mencit 1 x Dosis Obat
1000 gram
25,13
= x 30 = 0,739
1000
0,7539
V yang diberikan
Stock
0,7539
= = 0,7539 ml
1
BB
Dosis / mencit 2 x Dosis Obat
1000 gram
27,16
= x 30 = 0,8148
1000
0,8148
V yang diberikan
Stock
0,8148
= = 0,8148 ml
1
* Epinefrin
25,13
= x 0,5 = 0,0125
1000
0,0125
V yang diberikan
Stock
0,0125
= 0,025 = 0,5 ml
BB
Dosis / mencit 2 x Dosis Obat
1000 gram
27,16
= x 0,5 = 0,01358
1000
0,01358
V yang diberikan
Stock
0,01358
= 0,025
= 0,54 ml
V.2. PEMBAHASAN
V.1. KESIMPULAN
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. Elek Media
Komputindo. Jakarta.