Anda di halaman 1dari 19

Laboratorium Farmakologi-Toksikologi

Program Studi Farmasi FMIPA


Universitas Lambung Mangkurat

PERCOBAAN I
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORPSI OBAT

Disusun Oleh:

Nama : Rizki Amalia


NIM : J1E106015
Kelompok : II B

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2008
PERCOBAAN I
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP ABSORPSI OBAT

Disusun Oleh:

Nama : Rizki Amalia


NIM : J1E106015
Kelompok : II B

Tanggal Praktikum: 24-03-2008


Dikumpul Tanggal: Diketahui,
Nilai:

( Arnida S.Si, M.Si, Apt )

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2008
BAB I

PENDAHULUAN

Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang
dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit
berikut gejalanya.
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan
seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisiknya, kegiatan fisiologi, resorpsi
dan nasibnya dalam organime hidup. Dan untuk menyelidiki semua interaksi
antara obat dan tubuh manusia khususnya, serta penggunaan dalam pengobatan
penyakit.
Dahulu farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber,
sifat kimia dan fisik, komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja,
absorpsi, distribusi, biotransformasi, eksresi, dan penggunaan obat. Namun
dengan berkembangnya pengetahuan. Beberapa ilmu telah dikembangkan menjadi
cabang ilmu tersendiri.
Dalam terapeutik praktis, obat sebaiknya dapat mencapai titik tangkap
kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui rute tertentu yang nyaman. Hanya
dalam kondisi tertentu penggunaan obat secara langsung pada jaringan sasaran
dimungkinkan, misalnya dengan pemberian agen antiradang secara topikal pada
kulit atau mukosa yang meradang. Disisi lain, obat mungkin diberikan secara
intravena dan diedarkan di dalam darah langsung kepembuluh darah yang dituju
pada bagian tubuh lainnya dan menimbulkan efek yang bermanfaat. Yang lebih
umum adalah obat yang diberikan dalam satu kompartemen tubuh misalnya usus,
dan harus bergerak ketitik tangkap kerja dalam kompertemen lain, misalnya otak.
Untuk itu obat perlu diabsorpsi di dalam darah dari tempat pemberian dan
didistribusikan ke titik tangkap kerjanya. Juga merembes melalui berbagai sawar
yang memisahkan kompertemen tersebut. Sawar yang diberikan secara oral, untuk
menimbulkan efek dalam suatu sistem saraf pusat meliputi jaringan yang terdiri
atas didnding usus,didnding kapiler yang mengalirkan darah ke usus, dan sawar
darah-otak, didnding kapiler yang mengalirkan darah di otak. Akhirnya, setelah
mengeluarkan efeknya, obat sebaiknya dibuang dengan kecepatan wajar melalui
inaktivasi metebolik, aksresi dari tubuh, atau dengan kombinasi proses tersebut.
BAB II

MAKSUD DAN TUJUAN

II.1 Maksud Percobaan

Maksud dari percobaan pengaruh cara pemberian terhadap absorpsi


obat ini adalah agar praktikan dapat mengetahui efek suatu obat yang
bekerja dalam tubuh dengan cara pemberian oral, intravena, intraperitoneal,
intramuskular, dan subkutan yang diaplikasikan pada hewan coba.

II.2 Tujuan Percobaan

Tujuan Percobaan ini adalah untuk mengenal, mempraktekkan, dan


membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap kecepatan absorpsinya,
mnggunakan data farmakologi sebagai tolok ukurnya.
BAB III

TEORI SINGKAT

Cara Pemberian per oral merupakan cara pemberian obat yang paling
umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya ialah banyak
faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya (lihat Tabel 1-1), obat dapat
mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita; tidak bisa
dilakukan bila pasien koma (Ganiswarna, 1995).
Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi
pasif, karena itu absorpsi mudah lerjadi bila obat dalam bentuk non ion dan
mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat di usus halus selalu jauh lebih cepat
dibandingkan di lambung karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas
dibandingkan dengan epitel lambung. Selain itu, epitel lambung tertutup lapisan
mukus yang tebal dan mempunyai tahanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu,
peningkatan kecepatan pengosongan lambung biasanya akan meningkatkan
kecepatan absorpsi obat, dan sebaliknya. Akan tetapi, perubahan dalam kecepatan
pengosongan lambung atau motilitas saluran cerna biasanya tidak mempengaruhi
jumlah obat yang diabsorpsi atau yang mencapai sirkulasi sistemik, kecuali pada
tiga hal berikut ini. (1) Obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam
cairan usus (misalnya digoksin, difenilhidantoin, prednison) memerlukan waktu
transit dalam saluran cerna yang cukup panjang untuk kelengkapan absorpsinya.
(2) Sediaan salut enterik atau sediaan lepas lambat yang absorpsinya biasanya
kurang baik atau inkonsisten akibat perbedaan penlepasan obat di lingkungan
berbeda, memerlukan waktu transit yang lama dalam usus untuk meningkatkan
jumlah yang diserap. (3) Pada obat-obat yang mengalami metabolisme di saluran
cerna, misalnya penisilin G dan eritromisin oleh asam lambung, levodopa dan
klorpromazin oleh enzim dalam dinding saluran cerna, pengosongan lambung dan
transit gastrointestinal yang lambat akan mengurangi jumlah obat yang diserap
untuk mencapai sirkulasi sistemik. Untuk obat yang waktu paruh eliminasinya
pendek misalnya prokainamid, perlambatan absorpsi akan menyebabkan kadar
terapi lidak dapat dicapai, meskipun jumlah absorpsinya tidak berkurang
(Ganiswarna, 1995).
Absorpsi secara transport aktif terjadi terutama di usus halus untuk zat-
zat makanan : glukosa dan gula lain, asam amino, basa purin dan pirimidin,
mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini juga terjadi untuk obat-obat yang struktur
kimianya mirip struktur zat makanan tersebut, misalnya levodopa, metildopa, 6-
merkaptopurin, dan 5-fluorourasil (Ganiswarna, 1995).
Kecepatan absorpsi obat bentuk padat ditentukan oleh kecepatan
disintegrasi dan disolusinya sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik yang ber beda
dapat berbeda pula bioavailabilitasnya. Ada kalanya sengaja dibuat sediaan yang
waktu disolusinya lebih lama untuk memperpanjang masa absorpsi sehingga obat
dapat diberikan dengan interval lebih lama. Sediaan ini disebut sediaan lepas
lambat (sustained - release). Obat yang dirusak oleh asam lambung atau yang
menyebabkan iritasi lambung sengaja dibuat tidak terdisintegrasi di lambung yaitu
sebagai sediaan salut enterik (entericcoated).
Absorpsi dapat pula terjadi di mukosa mulut dan rektum walaupun
permukaan absorpsinya tidak terlalu luas. Nitrogliserin ialah obat yang sangat
poten dan larut baik dalam lemak maka pemberian sublingual atau perkutan sudah
cukup untuk menimbulkan efek. Selain itu, obat terhindar dari metabolisme lintas
pertama di hati karena aliran darah dari mulut tidak melalui hati melainkan
langsung ke vena kava superior. Pemberian per rektal sering diperlukan pada
penderita yang muntah-muntah, tidak sadar, dan pascabedah. Metabolisme lintas
pertama di hati lebih sedikit dibandingkan dengan pemberian per oral karena
hanya sekitar 50% obat yang diabsorpsi dari rektum akan melalui sirkulasi portal.
Namun banyak obat mengiritasi mukosa rektum, dan absorpsi di sana sering tidak
lengkap dan tidak teratur(Ganiswarna, 1995).
PEMBERIAN SECARA SUNTIKAN
Keuntungan pemberian obat secara suntikan (parenteral) ialah: (1)
efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian per oral;
(2) dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau
muntah-muntah; dan (3) sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya
ialah dibutuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa nyeri, ada bahaya penularan
hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh penderita, dan tidak ekonomis.
Pemberian intravena (IV) tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar
obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung
dengan respons penderita. Larutan tertentu yang iritatif hanya dapat diberikan
dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relatif tidak sensilii dan bila
disuntikkan perlahan-lahan, obat segera diencerkan oleh darah. Kerugiannya ialah
etek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah
dan jaringan. Di samping itu, obat yang disuntikan IV tidak dapat ditarik kembali.
Obat dalam larutan minyak yang mengendapkan konstiluen darah, dan yang
menyebabkar hemolisis, tidak boleh diberikan dengan cara ini Penyuntikan IV
harus dilakukan perlahan-lahan sambil terus mengawasi respons penderita
(Ganiswarna, 1995).
Suntikan subkutan (SK) hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak
menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsi biasanya terjadi secara lambat dan konstan
sehingga efeknya bertahan lama. Obat dalam bentuk suspensi diserap lebih lambat
daripada dalam bentuk larutan. Pencampuran obat dengan vasokonstriktor juga
akan memperlambat absorpsi obat tersebut. Obat dalam bentuk padat yang dita-
namkan di bawah kulit dapat diabsorpsi selama beberapa minggu atau beberapa
bulan (Ganiswarna, 1995).
Pada suntikan intramuskular (IM), kelarutan obat dalam air menentukan
kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air pada pH
fisiologik misalnya digoksin, fenitoin, dan diazepam akan mengendap di tempat
suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap, dan tidak teratur.
Obat yang larut dalam air diserap cukup cepat, tergantung dari aliran darah di
tempat suntikan. Absorpsi lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada di
gluteus maksimus. Obat- obat dalam larutan minyak atau bentuk suspensi akan
diabsorpsi dengan sangat lambat dan konstan (suntikan depot), misalnya penisilin.
Obat yang terlalu iritatif untuk disuntikkan secara SK kadang- kadang dapat
diberikan secara IM (Ganiswarna, 1995).
Suntikan intratekal, yakni suntikan langsung ke dalam ruang
subaraknoid spinal, dilakukan bila diinginkan efek obat yang cepat dan setempat
pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pada anestesia spinal atau
pengobatan infeksi SSP yang akut. .
Suntikan intraperitoneal tidak dilakukan pada manusia karena bahaya
infeksi dan adesi terlalu besar(Ganiswarna, 1995).
Pemberian obat melalui mulut (per oral) adalah cara yang paling lazim,
karena sangat praktis, mudah, dan aman. Namun, tidak semua obat dapat
diberikan peroral, misalnya obat yang bersifat merangsang (emetin, aminofilin)
atau yang diuraikan oleh getah lambung seperti benzilpenisilin, insulin, oksitoksin
(Tjay,2002).
Seringkali, resorpsi obat setelah pemakaian oral tidak teratur dan tidak
lengkap, meskipun formulasinya optimal, seperti senyawa amonium
kuartener(thiazinaminum), tetrasiklin, kloksasilin, dan digoksin(maksimal 80%).
Keberatan lain adalah obat setelah rwsorpsi melaui hati, dimana dapat terjadi
inaktivasi, sebelumdiedarkan ke lokasi kerjanya (Tjay,2002).
Untuk mencapai efek lokal di usus digunakan pemberian oral, misalnya
obat cacing dan antibiotika untuk mensterilkan lambung-usus pada infeksi atau
sebelum pembedahan(streptomisin, kanamisin, neomisin, beberapa sulfonamida).
Obat-obat ini justru tidak boleh diserap, begitu pula zat-zat kontras rontgen guna
membuat foto lambung usus (Tjay,2002).
Pemberian obat secara parenteral biasanya dipilih bila diinginkan efek
yang cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang atau dirusak getah
lambung(hormon) atau tidak diresorpsi usus(streptomisin), begitu pula pada
pasien yang tidak sadar atau tidak mau bekerja sama. Keberatannya adalah lebih
mahal dan nyeri, sukar digunakan oleh pasien sendiri. Selain itu, ada pula bahaya
infeksi kuman dan bahaya merusak pembuluh atau saraf jika tempat suntikan tidak
dipilih dengan tepat (Tjay,2002).
Yang dimaksud dengan absorpsi suatu obat ialah pengambilan obat dari
permukaan tubuh (disini termasuk juga mukosa saluran pencernaan) atau dari
tempat-tempat tertentu dalam organ dalaman ke dalam aliran darah atau ke dalam
sistem pembuluh limfe. Dari aliran darah atau sistem pembuluh limfe terjadi
distribusi obat ke dalam organisme keseluruhan. Karena obat, baru dapat
berkhasiat apabila berhasil mencapai konsentrasi yang sesuai pada tempat
kerjanya maka suatu absorpsi yang cukup merupakan syarat untuk suatu efek
terapeutik, sejauh obat tidak digunakan secara transvasal atau tidak langsung
digunakan pada tempat kerjanya.(Ernst, 1991).
Absorpsi kebanyakan obat terjadi secara pasif melalui difusi. Kecepatan
absorpsi dan kounsien absorpsi (hubungan bagian yang diabsorpsi terhadap
jumlah yang diberikan) bergantung pada banyak faktor. Diantaranya yang penting
ialah:
1. Sifat fisikokimia bahan obat, terutama sifat stereokimia dan kelarutannya,
2. Besar partikel dan dengan demikian permukaan jenis,
3. Sediaan obat,
4. Dosis,
5. Rute pemberian,
6. Waktu kontak dengan permukaan absorpsi,
7. Besar luas permukaan yang mengabsorpsi,
8. Nilai pH dalam darah yang mengabsorpsi,
9. Integritas membran,
10. Aliran darah organ yang mengabsorpsi. (Ernst, 1991).
Pengaruh absorpsi, sesuai dengan jenis kerja yang diinginkan, dapat
dicoba menaikan, menurunkan, mempercepat, atau menunda absorpsi. Pada bahan
aktif yang melibatkan kerja sistemik, diinginkan absorpsi yang sedapat mungkin
kuantitatif. Sebaliknya pencegahan absorpsi ditujukan kepada senyawa yang
setelah diabsorpsi dapat menyebabkan kerusakan organisme. Apabila percepatan
absorpsi, misalnya dengan pemberian hialuronidase secara bersamaan pada
penyuntikan subkutan atau intramuskular, jarang digunakan secara terapeutik,
maka penundaan absorpsi pada sediaan depot melalui arti khusus. Pada larutan
suntik dapat dicapai kerja depot misalnya dengan cara:
1. Melarutkan atau mensuspensi bahan obat dalam pembawa minyak
2. Penambahan makromolekul yang menaikkan viskositas, dengan demikian
difusi bahan obat yang larut tertunda.
3. Absorpsi bahan obat pada molekul pembawa yang cocok, misalnya
aluminium hidroksid
4. Menggunakan suspensi kristal.(Ernst,1991).
BAB IV
METODE KERJA

IV.1 Alat Dan Bahan

IV.1.1 Alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah:


1. Jarum berujung tumpul
2. Sarung tangan
3. Spuit injeksi dan jarum
4. Stop watch

IV.1.2 Bahan Yang digunakan

Bahan-Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah:


1. Fenobarbital 2 mg/ml dan 20 mg/ml
2. Alkohol 70%

IV.2 Cara Kerja


1. Tiap kelompok mendapatkan 5 ekor mencit untuk masing-
masing rute pemberian.
2. Menimbang masing-masing mencit dengan menggunakan
timbangan, dan menghitung volume sodium pentobarbital yang
diberikan
3. Memberikan sodium pentobarbital dengan :
a. oral, melalui mulut dengan jarum ujung tumpul
b. subkutan, memasukkan sampai bawah kulit pada tekuk
hewan uji dengan jarum injeksi
c. intramuskular, menyuntikkan kedalam otot pada daerah
otot gluteus maximus
d. intravena, menyuntikan kedalam vena lateralis pada ekor
hewan uji
e. intraperitoneal, menyuntikkan kedalam rongga perut, dan
jangan sampai masuk kedalam usus.
4. Hewan uji mendapat perlakuan, mengamati dengan cermat dan
mencatat waktu hilangnya reflek balik badan serta waktu
kembalinya reflek balik badan. Hilangnya reflek badan ditandai
dengan hilangnya kemampuan hewan uji untuk membalikkan
badannya darii keaadaan telentang. Kembalinya reflek balik
badan ditandai dengan kembalinya kemampuan untuk
membalikkan badan dari keadaan terlentang.
5. Menghitung onset dan durasi waktu tidur sodium pentobarbital
dari masing-masing mencit dan bandingkan dengan kelompok
lain menggunakan uji statistik analisa varian pola searah
dengan taraf kepercayaan 95%.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1 Hasil Percobaan dan Perhitungan

V.1.1 Data Percobaan

Waktu
Cara Reflek Balik
Pemberian Onset Durasi
Pemberian Badan
Hilang Kembali
0,04 0.53.51 1.26.24 0.53.51 0.32.33
IM 0,04 - - 0.43.54 0.23.59
0,05 0.29.37 0.59.24 0.29.37 0.29.47
0,6 - - 1.12.35 0.13.07
SC - 1.03.56 1.51.03 1.03.56 0.47.07
0,56 0.45.38 1.18.12 0.45.38 0.32.34
0,6 - - 1.04.11 0.25.23
IP 0,331 - - 1.00.53 0.31.37
- 0.54.30 1.33.39 0.54.30 0.39.09
- 1.06.28 1.40.29 1.06.28 0.34.01
PO 0,7 0.51.17 0.56.30 0.51.17 0.05.13
0,645 - - 0.50.00 0.19.00
0,44 1.19.00 1.24.00 1.19.00 0.05.00
IV - 0.59.32 1.05.22 0.59.32 0.05.50
0,5 - - 0.52.20 0.19.20

V.1.1 Analisa Data

Onset
T-Test
One-Sample Statistics

Std. Error
N Mean Std. Deviation Mean
IM 3 0:42:27 0:12:10 0:07:01
SC 3 1:00:43 0:13:45 0:07:56
IP 3 0:59:51 0:04:55 0:02:50
PO 3 0:55:55 0:09:09 0:05:17
IV 3 1:03:37 0:13:47 0:07:57
One-Sample Test

Test Value = 0
95% Confidence
Interval of the
Mean Difference
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper
IM 6,037 2 ,026 0:42:27 0:12:11 1:12:42
SC 7,643 2 ,017 1:00:43 0:26:32 1:34:53
IP 21,060 2 ,002 0:59:51 0:47:37 1:12:05
PO 10,574 2 ,009 0:55:55 0:33:09 1:18:40
IV 7,988 2 ,015 1:03:37 0:29:21 1:37:53

Oneway
ANOVA

Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
IM Between Groups 1068325 2 534162,333 , ,
Within Groups ,000 0 ,
Total 1068325 2
SC Between Groups 1363218 2 681609,000 , ,
Within Groups ,000 0 ,
Total 1363218 2
IP Between Groups 174484,7 2 87242,333 , ,
Within Groups ,000 0 ,
Total 174484,7 2
PO Between Groups 603998,0 2 301999,000 , ,
Within Groups ,000 0 ,
Total 603998,0 2
IV Between Groups 1370283 2 685141,333 , ,
Within Groups ,000 0 ,
Total 1370283 2

Durasi
T-Test
One-Sample Statistics

Std. Error
N Mean Std. Deviation Mean
IM 3 0:28:46 0:04:22 0:02:31
SC 3 0:30:54 0:17:01 0:09:49
IP 3 0:32:03 0:06:53 0:03:58
PO 3 0:19:24 0:14:24 0:08:18
IV 3 0:10:03 0:08:02 0:04:38

One-Sample Test

Test Value = 0
95% Confidence
Interval of the
Mean Difference
t df Sig. (2-tailed) Difference Lower Upper
IM 11,399 2 ,008 0:28:46 0:17:54 0:39:37
SC 3,145 2 ,088 0:30:54 -0:11:22 1:13:11
IP 8,053 2 ,015 0:32:03 0:14:55 0:49:10
PO 2,334 2 ,145 0:19:24 -0:16:22 0:55:11
IV 2,165 2 ,163 0:10:03 -0:09:55 0:30:02
Oneway
ANOVA

Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
IM Between Groups 137618,7 2 68809,333 , ,
Within Groups ,000 0 ,
Total 137618,7 2
SC Between Groups 2085513 2 1042756,333 , ,
Within Groups ,000 0 ,
Total 2085513 2
IP Between Groups 342152,0 2 171076,000 , ,
Within Groups ,000 0 ,
Total 342152,0 2
PO Between Groups 1493905 2 746952,333 , ,
Within Groups ,000 0 ,
Total 1493905 2
IV Between Groups 466066,7 2 233033,333 , ,
Within Groups ,000 0 ,
Total 466066,7 2

V.2 Pembahasan

Percobaan yang dilakukan kali ini berjudul pengaruh cara pemberian


terhadap absorpsi obat. Percobaan ini bertujuan untuk mengenal,
mempraktekkan, dan membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap
kecepatan absorpsinya, mnggunakan data farmakologi sebagai tolok
ukurnya.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi sifat absorpsi obat. Selain
rute pemberian, sifat absorpsi obat juga ditentukan oleh faktor lain misalnya
bentuk sediaan, formulasi, dan sebagainya. Rute pemberian dapat
mempengaruhi sifat absorpsi obat karena perbedaan keadaan tempat absorpsi
sehingga absorpsi obat juga berbeda.
Ada 5 rute pemberian yang diujikan pada percobaan ini, yaitu secara
intramuskular, subkutan, intraperitoneal, oral, dan intravena. Pemberian
secara intramuskular diberikan dengan menyuntikkan ke dalam otot pada
daerah gluteus maximus. Pemberian secara subkutan dengan menyuntikkan
di bawah kulit pada bagian tengkuk. Pemberian secara intraperitoneal
dilakukan dengan menyuntikkan ke dalam rongga perut sejajar dengan kaki.
Pemberian peroral menggunakan jarum berujung tumpul ke dalam mulut,
sedangkan pmberian intravena dengan menyuntikkan ke dalam vena lateralis
di bagian ekor yang terlihat setelah ekor direndam dengan air.
Onset yang didapatkan dari pengamatan memberikan hasil yang
beragam. Nilai rata-rata tercepat untuk onset didapatkan pada pemberian
secara intramuskular yaitu 42 menit 27 detik dengan standar deviasi sebesar
12 menit 10 detik, sedangkan onset terlama diperoleh pada pemberian secara
intravena dengan nilai mean 1 jam 3 menit 37 detik dengan standar deviasi
sebesar 13 menit 47 detik. Hasil ini kurang sesuai dengan literatur yang
menyebutkan bahwa pemberian secara intravena memberikan efek tercepat,
karena penyuntikan secara intravena mengakibatkan obat masuk secara
langsung ke sirkulasi darah sehingga dapat langsung memberikan efek,
sedangkan intramuskular seharusnya memberikan efek lambat karena obat
masuk ke dalam jaringan dan melalui proses absorpsi yang dipengaruhi oleh
sifat fisikakimianya. Hasil yang didapatkan pada praktikum kurang sesuai
karena kesulitan praktikan dalam mengamati keadaan tidur dari hewan uji
sehingga sulit menentukan kapan hewan uji mulai tidur dan obat mulai
memberikan efek.
Nilai durasi yang diperoleh juga bervariasi dimana durasi tersingkat
diperoleh pada pemberian intravena dengan mean 10 menit 3 detik dengan
standar deviasi sebesar 8 menit 2 detik, sedangkan durasi terlama didapat
pada pemberian intraperitoeal yaitu dengan mean 32 menit 3 detik dengan
standar deviasi 6 menit 53 detik. Durasi yang singkat pada pemberian
intravena disebabkan karena pada rute pemberian ini hampir tidak ada obat
yang tertahan pada jaringan sehingga pelepasannya dan juga eksresinya
menjadi lebih cepat daripada rute lain.
BAB VI
PENUTUP

VI.1 Kesimpulan

Dari percobaan ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :


1. Rute pemberian dapat mempengaruhi sifat absorpsi obat
karena perbedaan keadaan tempat absorpsi sehingga absorpsi obat juga
berbeda.
2. Ada 5 rute pemberian yang diujikan pada percobaan ini,
yaitu secara intramuskular, subkutan, intraperitoneal, oral, dan
intravena.
3. Berdasarkan mean, onset tercepat diperoleh dari pemberian
intramuskular dan terlama pada pemberian intravena. Sedangkan durasi
tersingkat diperoleh pada pemberian intravena dan terlama pada
pemberian intraperitoneal.
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, S.G., dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. UI Press. Jakarta

Ernst ,Mutschler. 1991. Dinamika Obat Edisi V. ITB. Bandung.

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. PT. Elex Media
Komputindo. Jakarta
PERTANYAAN

1. Apakah faktor yang mempengaruhi absorpsi obat dalam saluran cerna?


Jawab:
Sifat fisikakimia obat, formulasi obat, keadaan fisiologis penderita, dan interaksi
dalam saluran cerna.

2. Jelaskan bagaimana cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi
obat?
Jawab:
Onset dan durasi obat dipengaruhi oleh absorpsi dari obat tersebut. Obat akan
diabsorpsi pada tempat pemberiannya, dimana kondisi tempat pemberian (aliran
darah, histologi-fisiologi jaringan) mempengaruhi absorpsi obat.

3. Jelaskan keuntungan dan kerugian masing-masing cara pemberian obat


Jawab:
Oral:
Keuntungannya mudah, aman, dan murah.
Kerugiannya ialah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya, obat
dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita; tidak bisa
dilakukan bila pasien koma.

Suntikan (parenteral):
Keuntungannya
(1) efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian per
oral;
(2) dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar, atau
muntah-muntah
(3) sangat berguna dalam keadaan darurat.
Kerugiannya ialah dibutuhkan cara asepsis, menyebabkan rasa nyeri, ada bahaya
penularan hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh penderita, dan tidak
ekonomis.

Anda mungkin juga menyukai