Anda di halaman 1dari 21

Laboratorium Farmakologi-Toksikologi

Ps. Farmasi, F-MIPA


Universitas Lambung Mangkurat

PERCOBAAN III
ANALGESIK

Disusun Oleh:

Nama : Rizki Amalia


NIM : J1E106015
Kelompok : II B
Asisten : Nurlely, S. Farm, Apt

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2008
PERCOBAAN II
ANALGESIK

Disusun Oleh:

Nama : Rizki Amalia


NIM : J1E106015
Kelompok : II B

Tanggal Praktikum: 01-04-2008


Dikumpul Tanggal: 08-04-2008 Diketahui,
Nilai:

( Nurlely, S. Farm, Apt )

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2008
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri dapat diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya


rangsangan mekanis (benturan, tusukan, dan lain-lain), kimiawi (oleh zat-zat
kimia), dan fisika (panas, listrik, dan lain-lain) sehingga menimbulkan kerusakan
pada jaringan. Rangsangan-rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu
yang disebut dengan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin.
Reseptor-reseptor nyeri tersebut kemudian mengaktivasi reseptor nyeri di ujung
saraf perifer dan diteruskan ke otak melalui sum-sum tulang belakang dan
talamus.
Untuk menghilangkan atau meredakan rasa nyeri telah banyak dijual obat-
obat analgetik atau obat penghilang rasa nyeri. Obat-obat analgetik ini bekerja
dengan menghambat pelepasan mediator nyeri sehingga reseptor nyeri tidak
menerima rangsang nyeri dan tidak diteruskan ke otak. Dengan tidak diterimanya
rasa nyeri ke otak, maka saat itulah rasa nyeri hilang atau berkurang.
Pengujian terhadap daya analgetik obat dilakukan untuk mengetahui daya
analgetika dari zat-zat obat yang diujikan. Pengujian dilakukan dengan dua
metode yaitu metode Jansen dan metode Witkin. Metode Jansen menggunakan
stimulus nyeri panas berupa hot plate yang telah diatur suhunya pada 55-55,5,
sedangkan metode Witkin menggunakan stimulus nyeri berupa larutan asam asetat
yang diinjeksikansecara intraperitoneal.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN PERCOBAAN

II.1. MAKSUD PERCOBAAN

Praktikum analgetika ini dimaksudkan agar praktikan dapat


mengetahui daya suatu obat analgetika dengan zat aktif obat yang berbeda-
beda.

II.2. TUJUAN PERCOBAAN

Tujuan dari praktikum analgetika ini adalah untuk mengenal,


mempraktekkan dan membandingkan daya analgetik pada hewan percobaan
dan obat analgetik.
BAB III
TEORI SINGKAT

Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri


tanpa menghilangkan kesadaran. Antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu
tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa
nyeri dan secara serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Rasa nyeri
merupakan suatu gejala, fungsinya memberi tanda tentang adanya gangguan-
gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri
disebabkan rangsang mekanis atau kimiawi, kalor atau listrik yang dapat
menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yang disebut mediator nyeri
(pengantara) (Anief,2000).
Berdasarkan proses terjadinya rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa
cara yaitu :
a. Merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer dengan
analgetika perifer.
b. Merintangi penyaluran rangsangan disaraf-saraf sensoris, misalnya dengan
anastetika lokal
c. Blokade pusat nyeri di SSP dengan analgetika sentral (narkotik) atau dengan
anastetika umum.(Tjay, 2002).
Obat analgetik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteroid (AINS)
merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat
berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak
persamaan dalam efek terapi meupun efek samping. Prototip obat golongan ini
adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip
sapirin (aspirin- like drugs) (Anonim2, 1998).
Klasifikasi kimiawi AINS yang dapat dilihat pada gambar sebenarnya
tidak banyak manfaat kliniknya karena ada AINS yang dari sub golongan sama,
tapi memiliki sifat yang berbeda(Anonim2, 1998).
Analgetika lemah yang biasa disebut analgetika yang bekerja perifer
atau kecil memiliki spektrum kerja farmakologi yang mirip walaupun struktur
kimianya berbeda-beda. Di samping kerja anlgetika senyawa-senyawa ini
menunjukan kerja antipiretik dan juga komponen kerja antiflogistika dengan
pengecualian turunan asetilanilida (Ernst,1991).
Penggunaan obat-obat analgetika perifer, mampu meringankan atau
menghilangkan rasa nyeri, tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran,
juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat itu juga berdaya antipiretis
dan/atau antiradang. Oleh karena itu, obat ini tidak hanya digunakan sebagai obat
antinyeri, melainkan juga pada gangguan demam (infeksi virus/kuman, salesma,
pilek) dan peradangan, seperti rema dan encok. Obat ini banyak digunakan pada
nyeri ringan sampai sedang, yang menyebabkan beraneka ragam, misalnya nyeri
kepala, gigi, otot atau sendi, perut, nyeri haid, nyeri akibat benturan atau
kecelakaan (trauma) (Tjay, 2002).
Kebanyakan analgetika memiliki daya antiradang, khususnya kelompok
besar dari zat-zat yang menghambat prostaglandin (NSAID’S, termasuk asetosal),
begitu pula benzidamin. Zat-zat ini banyak digunakan untuk rasa nyeri yang
disertai peradangan. (Tjay, 2002).
PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
atau inflamasi. Penelitian telah membuktikan bahwa PG menyebabkan sensitisasi
reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Jadi PG menimbulkan
keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan
histamine merangsangnya dan menimbulkan nyeri (Anonim1, 2005).
Pengaruh absorpsi, sesuai dengan jenis kerja yang diinginkan, dapat
dicoba menaikan, menurunkan, mempercepat, atau menunda absorpsi. Pada bahan
aktif yang melibatkan kerja sistemik, diinginkan absorpsi yang sedapat mungkin
kuantitatif. Sebaliknya pencegahan absorpsi ditujukan kepada senyawa yang
setelah diabsorpsi dapat menyebabkan kerusakan organisme. Apabila percepatan
absorpsi, misalnya dengan pemberian hialuronidase secara bersamaan pada
penyuntikan subkutan atau intramuskular, jarang digunakan secara terapeutik,
maka penundaan absorpsi pada sediaan depot melalui arti khusus. Pada larutan
suntik dapat dicapai kerja depot misalnya dengan cara:
1. Melarutkan atau mensuspensi bahan obat dalam pembawa minyak
2. Penambahan makromolekul yang menaikkan viskositas, dengan demikian
difusi bahan obat yang larut tertunda.
3. Absorpsi bahan obat pada molekul pembawa yang cocok, misalnya
aluminium hidroksid menggunakan suspensi kristal.(ernst,1991).
Absorpsi kebanyakan obat terjadi secara pasif melalui difusi. Kecepatan
absorpsi dan kuonsien absorpsi (hubungan bagian yang diabsorpsi terhadap
jumlah yang diberikan) bergantung pada banyak faktor. Diantaranya yang penting
ialah:
1. Sifat fisikokimia bahan obat, terutama sifat stereokimia dan kelarutannya.
2. Besar partikel dan dengan demikian permukaan jenis
3. Sediaan obat
4. Dosis
5. Rute pemberian
6. Waktu kontak dengan permukaan absorpsi
7. Besar luas permukaan yang mengabsorpsi.
8. Nilai ph dalam darah yang mengabsorpsi
9. Integritas membran
10. Aliran darah organ yang mengabsorpsi (Ernst, 1991).
BAB IV
METODE KERJA

IV.1. ALAT DAN BAHAN

IV.1.1. Alat Yang Digunakan

Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah:


1. Beaker glass 500 ml
2. Jarum oral (ujung tumpul)
3. Spuit injeksi (0,1 – 1 ml)
4. Stop watch
5. Timbangan

IV.1.2. Bahan Yang Digunakan

Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah:

1. Alkohol 70 %
2. Antalgin (metampiron) 1 %
3. Asam mefenamat 1 %
4. Larutan CMC Natrium 0,5 %
5. Larutan steril asam asetat 2 %
6. Paracetamol 1 %

IV.1.3. Hewan Coba


Hewan coba yang digunakan pada percobaan ini adalah
mencit.

IV.2. CARA KERJA

Metode Jansen

1. Disiapkan 3 kelompok hewan uji, masing-masimg komtrol, uji,


dan pembanding.
2. Hewan dadaptasikan di lingkungan percobaan selama 1-2
minggu.

3. Semua hewan harus dipastikan berada dalam satu populasi yaitu


memiliki respon yang sama terhadap stimulus. Cara yang
dilakukan adalah sebagai berikut: Mencit diletakkan dalam alat
lempeng panas (hot plate) pada suhu 50±0,5oC akan memberi
respon menjilat kaki depannya atau hewan mwloncat dalam
waktu lebih dari 30 detik. Mencit normal rata-rata memberikan
respon 8,3 kali/detik. Bila tidak memenuhi syarat tersebut, maka
hewan tidak digunakan dalam percobaan.

4. Hewan yang memenuhi syatrat dibagi menjadi 3 kelompok:


kontrol, uji, dan pembanding. Masing-masing kelompok terdiri
dari 3 ekor.

5. Selanjutnya kelompok kontrol diberi plasebo, kelompok uji


diberi bahan yang diuji khasiatnya, dan kelomp[ok pembanding
giberi obat standar (bila tidak ada, daopat diberi obat sintetis
yang telah teruji potensinya).

6. Dosis atau takaran bahan uji dapat dihitung berdasarkan


ekstrapolasi dosis manusia atau dengan faktorial perhitungan
dosis untuk hewan. Volume larutan untuk hewan adalah 0,1
ml/10 g bb. Bahan percobaan diberikan secara sub kutan atau
oral.

7. Setelah 15, 30, 45, dan 60 menit perlakuan injeksi subkutan atau
oral tersebutsecara perlahan-lhan hewan diletakkan pada
lempeng panas. Kemudian dicatat waktu pada saat terjadi respon
pertama kali menggunakan stopwatch.
Metode Witkin

1. Mencit jantan yang telah diadaptasikan dengan lingkungan uji


selama 1-2 minggu, kemudian dibagi menjadi 3 kelompok
masing-masing 6 ekor yaitu kontrol, uji, dan pembanding.

2. Hewan kontrol diberi larutan salin.

3. Bahan uji diberikan secara oral. Takaran larutan maksimal


untuk lambung mencit 1 ml sedangkan untuk tikus 5 ml.
Setelah 15 menit diberi penginduksi asam asetat.

4. Selanjutnya masing-masing mencit ditempatkan pada wadah


transparan dan dicatat jumlah geliatnya selama 20 menit.
Mencit kontrol rata0rata memberikan jumlah geliat 35.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1 HASIL PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN

A. Metode Jansen

Tabel V.1.1 Hasil pengamatan uji analgetik dengan metode Jansen

Berat
Bahan yang Volume
No Badan Keterangan
disuntikkan (ml)
(gram)
1 34 Na- CMC 0,5 % 0,8 151 = - kali *
(kontrol)
152 = 7 kali*
153 = 5 kali*
154 = 12 kali*
155 = - kali*
* respon berupa
meloncat dan menjilat
kaki depan
2 22,36 Morfin (oral) 0,7 151 = 5 kali *
152 = 15 kali*
153 = 12 kali*
154 = 6 kali*
155 = 10 kali*
* respon berupa
grooming
3 24,52 Paracetamol 0,8 151 = 21 kali *
(oral)
152 = 34 kali*
153 = 9 kali*
154 = - kali*
155 = 11 kali*
* respon berupa menjilat
kaki depan
4 33,95 Asam mefenamat 1 10 det = 1 kali *
(oral)
50 det = 1 kali*
1 : 14 mnt = 20 kali*
2 : 00 mnt = 2 kali*
* respon berupa menjilat
kaki depan dan loncat-
loncat
5 30,5 Antalgin (oral) 1 151 = 16 kali *
152 = 14 kali*
153 = 9 kali*
154 = 5 kali*
155 = - kali*
* respon berupa menjilat
kaki depan dan
melompat-melompat

B. Metode Witkins

Tabel V.1.2 Hasil pengamatan uji analgetik dengan metode Witkins

Onset Daya
Berat
Bahan yang Volume Jumlah of analgetik
No Badan
disuntikkan (ml) geliat action
(gram)
(menit)
1 25,42 1. Na CMC 1. 0,635 06 : 33 -
(kontrol) 0,5 % (oral)
36
2. Asam 2. 0,8
asetat * (ip)
2 20, 11 1. Morfin 1. 0,6 02 : 13 91,66%
(oral) 2. 0,6
3
2. Asam
asetat* (ip)
3 20,3 1. Paracetam 1. 0,7 04 : 43 80,56%
ol (oral)
7
2. Asam 2. 0,6
asetat* (ip)
4 36,25 1. Asam 1. 08 : 15 33,33%
mefenamat
(oral) 24
2. Asam 2.
asetat* (ip)
5 28,1 1. Antalgin 1. 14,05 10 : 24 61,11
(oral) 2. 0,843
14
2. Asam
asetat (ip)*
* waktu pemberian induksi asam asetat setelah 15 menit pemberian analgetik.

Perhitungan:
A. Metode Jensen
Perhitungan Larutan Stok:
1. Morfin
Diketahui : Dosis = 15 mg/ kg BB
Berat mencit = 22,36 g
Ditanya : Volume pemberian...........?

Jawab :
22,36
Volume pemberian = x15 = 0,3354 mg/0,6 ml
1000
= 0,5 ml
2. Asam Mefenamat
Diketahui : Dosis = 500 mg/kg BB
Berat mencit = 33,95 g
Volume pemberian = 1 ml
Ditanya : Larutan stok………………?
Jawab :
500x33,95
Jumlah asam mefenamat = x  = 16,95 mg
1000
Larutan stok dibuat sebanyak 5 ml = 16,95mgx5ml = 84,75 mg/5ml
3. Antalgin
Diketahui : Dosis = 500 mg/kg BB
Berat mencit = 30,5g
Ditanya : Volume pemberian ………………?

Jawab :
30,5
Volume pemberian = x500 = 15,25 mg/ 1 ml
1000
= 15,25 mg/ml
B. Metode Witkin
1. a. Larutan Na CMC 0,5 % (kontrol)
Diketahui : Dosis = 0,5 mg/ 20 kg BB
Berat mencit = 25,42 g
Ditanya : Volume pemberian ………………?

Jawab :
25,42
Volume pemberian = x0,5 = 0,635 mg
1000
b. Asam Asetat glasial 300 mg/kg BB
Diketahui : Dosis = 300 mg/kg BB
Berat mencit = 25,42 g
Larutan stock = 1 gr/100 ml
= 10 mg/ ml
Ditanya : Volume pemberian ………………?

Jawab :
25,42
Volume pemberian = x300 = 7,626/10 mg/ml
1000
= 0,8 ml
2. a. Morfin^
Diketahui : Dosis = 15 mg/ kg BB
Berat mencit = 20,11 g
Ditanya : Volume pemberian…………..?
Jawab :

20,11
Volume pemberian = x15 = 0,301 mg/0,6 ml
1000
= 0,5 ml
b. Asam Asetat glasial 300 mg/kg BB
Diketahui: Dosis = 300 mg/kg BB
Berat mencit = 20,11 g
Larutan stock = 1 gr/100 ml
= 10 mg/ ml
Ditanya : Volume pemberian ………………?
Jawab :
20,11
Volume pemberian = x300 = 6,033/10 mg/ml
1000
= 0,6 ml
3. a. Antalgin
Diketahui : Dosis = 500 mg/kg BB
Berat mencit 1 = 30,1 g
Berat mencit 2 = 28,1
Ditanya : Volume pemberian ………………?

Jawab :
30,1
Berat mencit 1 = x500 = 15,05 mg/ml
1000
28,1
Berat mencit 2 = x 500  14,05mg / ml
1000
b. Asam asetat
Diketahui : Dosis = 300 mg/kg BB
Berat mencit 1 = 30,1 g
Berat mencit 2 = 28,1 g
Ditanya : Volume pemberian ………………?

Jawab :
300
Voulme asam asetat mencit 1 = x30,1 = 0,903 ml
1000
300
Volume asam aseatat mencit 2 = x 28,1  0,843mg / ml
1000

Morfin
parasetamol

antalgin
Asam
mefenama
Kontrol t

Grafik 1. Diagram hubungan antara persen daya analgetik dan jumlah geliat
mencit
V.2. PEMBAHASAN

Percobaan yang dilakukan dalam kesempatan kali ini berjudul


analgetika. Percobaan ini bertujuan untuk mengenal, mempraktekkan
dan membandingkan daya analgetik pada hewan percobaan dan obat
analgetik. Percobaan ini dilakukan dengan dua metode yaitu metode
jansen dan metode witkins. Obat-obat analgesika yang digunakan dalam
percobaan ini adalah morfin, parasetamol, asam mefenamat, dan
antalgin.
Percobaan dengan metode Jansen dilakukan dengan memberikan
stimulus nyeri pada hewan uji berupa panas, dimana dipakai hot plate
pada suhu 55-55,5oC. Kekuatan suatu analgesik dapat diketahui dengan
membandingkan perilaku (respons) hewan terhadap rangsangan panas
yang dirasakan. Semakin kuat suatu analgesik maka semakin jarang
hewan uji menunjukkan respon kesakitan, yaitu berupa melompat atau
menjilat kaki depannya.
Pengujian dengan metode Witkin menggunakan penginduksi
nyeri berupa larutan asam asetat. Pertama-tama kepada hewan uji
diberikan obat analgesik peroral kemudian 15 menit berikutnya
diberikan larutan asam asetat secara intra peritoneal. Rasa sakit akan
mengakibatkan mencit menunjukkan respon dengan menggeliat.
Pertama dilihat onset dari obat dngan melihat kapan pertama kali mencit
menggeliat kemudian selama 20 menit diamati jumlah gliatan mencit
tersebut. Hasil yang didapatkan menunjukkan kontrol negatif
memberikan geliatan sebanyak 36 kali dalam 20 detik. Analgesik paling
kuat yang diperoleh adalah morfin dengan geliatan hanya 3 kali dalam
20 menit. Daya analgetik untuk obat ini adalah sebesar 91,66%.
Analgetik yang sedikit lebih lemah yang didapatkan adalah parasetamol.
Obat ini memberikan geliatan sebanyak 7 kali dengan daya analgetik
sebesar 80,56%. Analgesik yang lebih lemah dari parasetamol menurut
hasil percobaan ini adalah antalgin dengan geliatan 14 kali dan daya
analgetik sebesar61,11%. Daya analgetik paling lemah didapatkan pada
pemberian asam mefenamat yaitu sebesar 33,33%. Morfin memiliki
daya paling kuat karena zat ini merintangi pusat nyeri yang terdapat
dalam otak sehingga menghilangkan persepsi nyeri itu sendiri, berbeda
dengan analgetik perifer yang hanya merintangi terikatnya mediator
nyeri pada reseptornya.
BAB VI
PENUTUP

V.1. KESIMPULAN

Dari percobaan yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa


kesimpulan yaitu:
1. Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
2. Pengujian analgetik dengan metode Jansen dilakukan dengan
memberikan stimulus nyeri pada hewan uji berupa panas, dimana
dipakai hot plate pada suhu 55-55,5oC
3. Pengujian dengan metode Witkin menggunakan penginduksi nyeri
berupa larutan asam asetat.
4. Analgesik yang diberikan adalah morfin, parasetamol, asam
mefenamat, dan antalgin.
5. Analgesik terkuat menurut percobaan ini adalah morfin dengan
daya analgesik 91,66% dan yang paling lemah adalah asam mefenamat
yaitu sebesar 33,33%.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 2000. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek. Universitas Gadjah
Mada Press. Yogyakarta

Anonim1, 2005, Farmakologi dan Terapi Edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Anonim2. 1998. Dinamika obat Edisi 5. ITB. Bandung

Mutschler, ernst, 1991, Dinamika Obat, ITB, Bandung

Siswandono, dan Bambang Soekardjo. 1998. Prinsip-Prinsip Rancangan Obat.


Airlangga University Press. Surabaya

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2002, Obat-Obat Penting, PT Elex Media
Komputindo, Jakarta
LAMPIRAN

1. Apakah analgetika itu?


Jawab :
Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran.
2. Mengapa analgetika kadang-kadang perlu diberikan kepada penderita?
Jawab:
Analgetika kadang-kadang perlu diberikan karena untuk mengurangi rasa
nyeri penderita yang dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis,
kimia, dan fisis.
3. Bagaimana terjadinya rasa nyeri?
Jawab:
Rasa nyeri terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya
bradikinnin, prostaglandin) dari jarinngan yang rusak yang kemudian
merangsang reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari
tempat-tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di
korteks cerebri oleh saraf sensoris melalui sum-sum tulang belakang dan
talamus.
4. Bagaimana daya analgetika opioid dan non opioid?
Jawab:
Secara umum analgetika opioid memiliki daya analgetik lebih kuat
daripada analgetika non opioid karena anagetika opioid bekerja secara sentral
pada pusat nyeri, sehingga menghilangkan persepsi nyeri itu sendiri, berbeda
dengan analgetik perifer yang hanya merintangi terikatnya mediator nyeri
pada reseptornya.

Anda mungkin juga menyukai