PERCOBAAN lll
ANALGETIK
Disusun Oleh :
KELOMPOK B3/GOLONGAN B1
LABORATORIUM FARMAKOLOGI
2023
BAB 1
PENDAHULUAN
I. Tujuan Praktikum
a. Mahasiswa mampu membedakan dan melakukan uji pada obat analgesic
b. Mampu mengenal, mempraktekkan dan membandingkan daya analgetika dari beberapa
obat dengan menggunakan beberapa metode uji analgetika.
Obat analgetik merupakan kelompok obat yang memiliki aktivitas mengurangi rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran. Pengujian aktivitas analgetik dilakukan dengan dua metode yaitu
induksi nyeri cara kimiawi dan induksi nyeri cara termik. Daya kerja analgetik dinilai pada hewan
dengan mengukur besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon
nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulus nyeri (Sirait dkk., 1993).
Obat analgetik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan
akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri adalah perasaan
sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan ancaman kerusakan jaringan. Rasa
nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya
tentang adanya gangguan di jaringan seperti peradangan, rematik, encok atau kejang otot (Tjay
2007).
Reseptor nyeri (nociceptor) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di kulit, otot,
tulang, dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat melalui dua jaras, yaitu jaras
nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan jaras nyeri lambat dengan neurotransmiternya
substansi P (Guyton & Hall 1997; Ganong 2003).
Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan
prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa
serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksiradang dan kejang-kejang.
Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini
rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak
sinaps via sumsum belakang, sumsum-lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian
diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay & Rahardja
2007).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi
melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di
jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh
rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan
tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain
dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung
saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan
organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari
tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan
otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana
impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay 2007).
Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)
Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan
non salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan non salisilat termasuk derivat asam
arylalkanoat.
b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau
morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.
Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan.
Ada 3 golongan obat ini yaitu:
1) Obat yang berasal dari opium-morfin
2) Senyawa semisintetik morfin
3) Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Mekanisme Kerja Obat Analgesik
a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah
prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan
prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan
demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan
NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini
adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi
alergi di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu
lama dan dosis besar.
b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam
pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan efek
sampingnya. Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja diperifer . Efek analgesiknya
telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah pemberian per-oral. Sementara efek
antiinflamasi OAINS telah tampak dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan
efek maksimalnya timbul berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar
puncaknya NSAID didalam darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian,
penyerapannya umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume distribusinya
relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan mempunyai ikatan dengan protein plasma yang tinggi
biasanya (>95%). Waktu paruh eliminasinya untuk golongan derivat arylalkanot sekitar 2-
5 jam, sementara waktu paruh indometasin sangat berpariasi diantara individu yang
menggunakannya, sedangkan piroksikam mempunyai waktu paruh paling panjang (45
jam).
Mekanisme kerja Paracetamol
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda (Wilmana,
1995). Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan
panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer (Dipalma, 1986).
Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan
sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung
prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan
blokade langsung prostaglandin. (Wilmana, 1995).
Mekanisme kerja Asetosal
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal adalah analgesik dan antiinflamasi
yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototipe, obat ini
merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis (Wilmana dan Gan, 2007).
Farmakokinetik
Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di
lambung dan usus kecil bagian atas. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian.
Obat ini mudah menembus sawar darah otak dan sawar uri (plasenta). Kira-kira 80-90 % salisilat
plasma terikat pada albumin. Biotransformasi salisilat terjadi dibanyak jaringan terutama di
mikrosom dan mitokondria hati. Salisilat diekskresi dalam bentuk metabolitnya terutama melalui
ginjal, sebgian kecil melalui keringat dan empedu (Katzung,1998; Wilmana dan Gan, 2007).
Farmakodinamik
Obat-obat AINS termasuk asetosal mempunyai 3 efek terapi utama yaitu mengurangi
inflamasi (antiinflamasi), rasa sakit (analgesik), dan demam (antipiretik).
a. Efek antiinflamasi
Sebagai antiinflamasi asetosal menghambat aktivitas siklooksigenase sehingga asetosal
mengurangi pembentukan prostaglandin dan memodulasi beberapa aspek inflamasi (Mycek et
al, 2001). Selain mengurangi sintesis mediator-mediator eicosanoid, asetosal juga
mempengaruhi mediator kimia dari sistem kallikrein. Sebagai akibatnya, asetosal menghambat
melekatnya granulosit pada vasculature yang rusak, menstabilkan lysosome dan menghambat
migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag daerah inflamasi (Katzung, 1998).
b. Efek analgesik
Prostaglandin E2 (PGE2) diduga mensensitasi ujung syaraf terhadap efek bradikinin,
histamin, dan mediator kimiawi lainnya yang dilepaskan secara lokal oleh proses inflamasi. Jadi
dengan menurunkan sintesis PGE2, asetosal dan AINS lainnya menekan sensasi rasa sakit
(Mycek et al., 2001). Asetosal paling efektif untuk mengurangi nyeri dengan intensitas ringan
sampai sedang. Ia bekerja secara perifer melalui efeknya terhadap inflamasi, tetapi mungkin
juga menghambat rangsangan nyeri pada daerah subkortikal (Katzung, 1998).
c. Efek antipiretik
Demam yang menyertai infeksi dianggap sebagai akibat dari dua kerja. Pertama,
pembentukan prostaglandin di dalam susunan saraf pusat sebagai respon terhadapa bakteri
pirogen. Kedua, efek interleukin-1 (IL-1) pada hipotalamus. IL-1 dihasilkan oleh makrofag dan
dilepaskan selama respon peradangan, yang peranan utamanya adalah untuk mengaktivasi
limfosit. Asetosal akan menghambat pirogen yang diinduksi oleh PG maupun respon susunan
saraf pussat terhadap IL-1, sehingga dapat mengatur kembali pengontrol suhu di hipotalamus
(Katzung, 1998). Asetosal mengembalikan termostat kembali ke normal dan cepat menurunkan
suhu tubuh penderita demam dengan meningkatkan pengeluaran panas akibat vasodilatasi
perifer dan berkeringat (Mycek et a., 2001).
Efek Samping
Pada dosis yang biasa, efek asetosal yang paling berbahaya adalah gangguan lambung.
Efek ini bisa dikurangi dengan penyanggaan (buffering) yang sesuai (Katzung, 2002). Pada
orang sehat asetosal menyebabkan perpanjangan masa perdarahan. Hal ini dikarenakan asetilasi
ireversibel siklooksigenase trombosit menurunkan kadar trombosit TXA2, mengakibatkan
penghambatan agregasi trombosit dan perpanjangan waktu perdarahan (Wilmana dan Gan,
2007).
Asetosal bersifat hepatotoksik dan ini berkaitan dengan dosis. Gejala yang sering terlihat
hanya kenaikan SGOT (Serum Glutamic Oksaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum
Glutamic Piruvic Transaminase). Beberapa pasien dilaporkan menunjukkan hepatomegali,
anoreksia, mual, dan ikterus. Oleh karena itu asetosal tidak dianjurkan diberikan kepada
penderita penyakit hati kronik.
Penggunaan asetosal selama infeksi virus dihubungkan dengan peningkatan insiden
sindrom Reye. Walaupun belum dapat dibuktikan secara jelas, penelitian secara epidemiologis
menunjukkan ada hubungan antara asetosal dan sindrom Reye. Pada sindrom ini terjadi
kerusakan hati dan ensefalopati (Wilmana dan Gan, 2007). Sekitar 15 % pasien yang minum
asetosal mengalami reaksi hipersensitivitas. Gejala alergi yang asli adalah urtikaria,
bronkokonstriksi, atau edema angioneurotik (Mycek et al., 2001).
A. Alat
1. Spuit 1 cc
2. Spuit 3 cc
3. Beaker glass
4. Gelas ukur
5. Timbangan digital
6. Stopwatch
7. Erlenmeyer
8. Kandang tikus
B. Bahan
1. Aquadest
2. Na CMC
3. Asam asetat
4. Ibu profen
5. Natrium diklofenak
6. Asam mefenamat
7. Antalgin
8. Paracetamol
A. Prosedur Kerja
Ditimbang masing-masing obat (asam mefenamat, natrium diklofenak & ibu profen)
sesuai dengan yang diinginkan
Ditunggu selama 5 menit, setelah 5 menit disuntikan larutan asam asetat secara
intraperitorial (ip).
A. Perhitungan
a) Tikus
1. Perhitungan Pemberian Dosis
a. Asam mefenamat = 500 mg/kg BB
Dosis Konversi = 0.018 x 500 = 9 mg
Larutan stok = 9 mg / 5 mL
9 𝑚𝑔 𝑥𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡
= 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡
9 𝑚𝑔 𝑥 705 𝑚𝑔
= 500 𝑚𝑔
0.9 𝑚𝑔 𝑥 200 𝑚𝑔
= 50 𝑚𝑔
7.2 𝑚𝑔 𝑥 506 𝑚𝑔
= 400 𝑚𝑔
9 𝑚𝑔 𝑥𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡
= 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡
9 𝑚𝑔 𝑥 705 𝑚𝑔
= 500 𝑚𝑔
= 100 – 54.23
= 45.77 %
• Parasetamol
𝑃
% Daya Analgetik = 100 – (𝐾 x 100 )
11
= 100 – (59 x 100 )
= 100 – 18.64
= 81.36 %
• Ibuprofen
𝑃
% Daya Analgetik = 100 – (𝐾 x 100 )
22
= 100 – (59 x 100 )
= 100 – 37.28
= 62.72 %
• Antalgin
𝑃
% Daya Analgetik = 100 – (𝐾 x 100 )
32
= 100 – (59 x 100 )
= 100 – 54.23
= 45.77 %
• Natrium Diklofenak
𝑃
% Daya Analgetik = 100 – (𝐾 x 100 )
32
= 100 – (59 x 100 )
= 100 – 54.23
= 45.77 %
b) Mencit
1. Perhitungan Pemberian Dosis
a. Asam mefenamat = 500 mg/kg BB
Dosis Konversi = 0.026 x 500 = 1.3 mg
Larutan stok = 1.3 mg / 5 mL
1.3 𝑚𝑔 𝑥 780 𝑚𝑔
= 500 𝑚𝑔
= 27. 45
= 37.25
2. Ada berapa cara mekanisme kerja analgetika? Jelaskan dan berikan contohnya!
Jawab:
Mekanisme kerja analgetika, atau obat pereda nyeri, dapat dibagi menjadi beberapa
jenis tergantung pada cara mereka mempengaruhi tubuh. Ada tiga mekanisme utama yang
umum digunakan dalam klasifikasi analgetika:
1. Mekanisme Opioid: Analgetika opioid bekerja dengan mengikat reseptor opioid di
dalam otak dan sistem saraf pusat. Mereka mengubah persepsi rasa sakit dan
memberikan perasaan relaksasi. Contoh analgetika opioid termasuk morfin, oksikodon,
kodein, dan tramadol.
2. Mekanisme Antiinflamasi: Analgetika antiinflamasi, seperti NSAID (Nonsteroidal
Anti-Inflammatory Drugs), bekerja dengan mengurangi peradangan dan menghambat
enzim yang menyebabkan rasa sakit dan peradangan. Mereka biasanya cocok untuk
nyeri yang disebabkan oleh peradangan, seperti nyeri sendi atau otot. Contoh obat
dalam kelompok ini meliputi ibuprofen, naproksen, dan aspirin.
3. Mekanisme Non-Opioid Non-Antiinflamasi: Ini adalah obat-obat yang tidak termasuk
dalam kelompok opioid atau antiinflamasi. Mereka bekerja dengan cara yang berbeda
dalam tubuh untuk meredakan rasa sakit. Contohnya termasuk parasetamol (asam
asetaminofen), yang mekanismenya tidak sepenuhnya dipahami, tetapi diyakini terkait
dengan pengaruhnya pada sistem endokanabinoid dalam otak.
Selain tiga mekanisme ini, ada juga obat-obat analgetika yang mengkombinasikan
beberapa mekanisme kerja untuk memberikan efek pereda nyeri yang lebih kuat. Sebagai
contoh, beberapa obat kombinasi mungkin menggabungkan opioid dengan komponen
antiinflamasi atau non-opioid.
Perbedaan hasil yang diberikan oleh paracetamol dan aspirin terutama bergantung
pada jenis rasa sakit dan kondisi yang sedang diobati. Paracetamol lebih cocok untuk
nyeri ringan hingga sedang dan demam, sedangkan aspirin memiliki keunggulan dalam
meredakan nyeri dan peradangan yang lebih kuat, terutama yang terkait dengan kondisi
peradangan.
Rasa nyeri adalah mekanisme penting yang membantu melindungi tubuh kita. Ini
adalah sinyal atau respons yang memberi tahu otak bahwa ada masalah atau kerusakan di
area tertentu dalam tubuh. Proses terjadinya rasa nyeri melibatkan beberapa tahapan dan
komponen, termasuk:
1. Stimulus Nyeri (Nociceptor): Proses rasa nyeri dimulai dengan adanya stimulus atau
rangsangan nyeri. Nociceptor, yang merupakan reseptor khusus di dalam kulit,
jaringan, organ, dan tulang, mendeteksi rangsangan ini. Stimulus ini bisa berupa
tekanan, panas, dingin, zat kimia, atau cedera fisik.
2. Transduksi: Nociceptor mengubah stimulus fisik tersebut menjadi sinyal listrik. Ini
terjadi melalui perubahan dalam saluran ion di membran sel nociceptor.
3. Transmisi: Sinyal listrik yang dihasilkan oleh nociceptor dikirim melalui serat saraf
dan mencapai sumsum tulang belakang.
4. Modulasi: Di sumsum tulang belakang, sinyal nyeri ini dapat diatur atau dimodulasi.
Banyak faktor, termasuk neurotransmiter, dapat mempengaruhi intensitas sinyal nyeri
sebelum mencapai otak.
5. Persepsi: Sinyal nyeri kemudian mencapai otak, di mana persepsi rasa nyeri terbentuk.
Otak menerima sinyal ini dan menginterpretasikannya sebagai nyeri. Ini adalah tahap
di mana kita "merasakan" nyeri.
6. Respon: Setelah persepsi nyeri terbentuk, otak memberikan respons dengan
melepaskan zat kimia dan mengarahkan tubuh untuk merespons rangsangan tersebut.
Respon dapat berupa perasaan ketidaknyamanan, gerakan menjauh dari stimulus nyeri,
atau peningkatan detak jantung, misalnya.
Proses ini memiliki banyak tingkatan kompleksitas dan dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor psikologis, emosional, dan fisik. Ada juga peran penting bagi sistem saraf
pusat, seperti otak dan sumsum tulang belakang, dalam mengatur dan menginterpretasikan
sinyal nyeri.
5. Cari dan jelaskan cara uji daya analgetik yang lain (3 contoh)!
Jawab:
Berikut adalah tiga contoh metode uji daya analgetik yang berbeda:
1. Uji Ketidaknyamanan Fisik (Writhing Test): Metode ini umumnya digunakan dalam
penelitian pada hewan percobaan, khususnya pada tikus atau mencit. Dalam uji ini,
hewan diberikan suatu zat kimia yang menyebabkan ketidaknyamanan atau iritasi
dalam perut mereka, seperti asam asetat. Para peneliti kemudian mengukur jumlah
gerakan atau kontraksi yang terjadi sebagai respons terhadap ketidaknyamanan ini.
Obat analgetik yang efektif akan mengurangi jumlah gerakan tersebut, menunjukkan
bahwa mereka meredakan ketidaknyamanan.
2. Uji Pembelajaran Nyeri (Conditioned Place Aversion): Metode ini biasanya digunakan
dalam penelitian pada hewan percobaan. Hewan ditempatkan dalam dua lingkungan
berbeda, salah satu di antaranya terkait dengan pemberian stimulus nyeri (seperti lampu
berkedip atau lantai bergerigi), sementara yang lainnya tidak. Hewan tersebut diberi
pilihan untuk memilih di mana mereka ingin berada. Obat analgetik yang efektif akan
membuat hewan lebih cenderung memilih lingkungan yang terkait dengan
ketidaknyamanan yang lebih rendah, menunjukkan bahwa obat tersebut meredakan
rasa nyeri.
3. Uji Rasa Sakit Subyektif pada Manusia: Saat menguji daya analgetik pada manusia,
peneliti sering menggunakan skala nyeri subjektif seperti Visual Analog Scale (VAS)
atau Numerical Rating Scale (NRS). Pada metode ini, peserta diminta untuk menilai
tingkat nyeri yang mereka rasakan sebelum dan setelah penggunaan obat analgetik.
Penurunan skor nyeri pada skala tersebut mengindikasikan efektivitas obat analgetik.
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan uji analgesik. Analgetika merupakan senyawa
yang memberikan efek terapetik menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif berupa
meringankan atau menekan rasa nyeri tanpa mengurangi kesadaran pada dosis terapi dan
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu analgetik nonnarkotik dan analgetik narkotik (Siswandono
dan Soekardjo, 2000; Mutschler, 1991).
Nyeri merupakan gejala penyakit atau tanda adanya kerusakan pada organ tubuh. Nyeri
timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui nilai ambang nyeri (Mutschler,
1991) Oleh karena itu nyeri disebut juga sebagai alarm untuk melindungi tubuh dari kerusakan
jaringan yang lebih parah.
Pada percobaan ini menggunakan obat paracetamol, antalgin, ibu profen, asam mefenamat,
dan natrium diklofenak dimana paracetamol dan antalgin di indikasikan untuk analgetik
(antinyeri) dan antipiretik (demam), kemudian ibu profen diindikasikan untuk analgesic, asam
mefenamat diindikasikan untuk nyeri ringan hingga sedang, dan natrium diklofenak di indikasikan
untuk nyeri dan peradangan.
Tujuan dari praktikum kali ini adalah mahasiswa mampu mempelajari dan mengetahui
efektivitas analgetika sedian obat (paracetamol, ibuprofen, asam mefenamat, natrium diklofenak,
dan antalgin) pada hewan uji tikus dan mencit sehingga kita dapat membandingkan daya
analgetika dari obat- obat tersebut setelah tikus diberi induktor nyeri asam asetat 1%.
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu alat meliputi spuit 1cc
dan spuit 3cc, spuit sonde, kapas, kandang mencit, beaker glass, gelas ukur, timbangan analitik ,
mortir, stemfer dan stopwatch. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu, aqua, Na CMC, asam
asetat, Ibuprofen, Parasetamol, Antalgin, Asam Mefenamat, Na-Diklofenak, dan ekstrak daun
jambu biji. Serta hewan uji yang kami gunakan dalam percobaan ini yaitu Tikus jantan dan mencit.
Menurut Pujiatiningsih (2014), penggunaan tikus putih jantan sebagai binatang percobaan dapat
memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus
menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai
kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil
dibanding tikus betina.
Percobaan ini kami menggunakan metode Witkin (Writhing Tes / Metode Geliat), dengan
prinsip yaitu memberikan asam asetat 1% (indikator nyeri) kepada tikus yang akan menimbulkan
geliat ( Writhing ) yang baik pada mencit mulai dari 5 menit pertama setelah penyuntikan (Gupta,
et al., 2015). Aktivitas analgesik diukur dengan menghitung persentase geliatan sebagai ukuran
efek analgesik yang dihasilkan oleh setiap intervensi. Digunakan asam asetat karena Menurut
(Puente, et al., 2015) asam asetat menyebabkan peradangan pada dinding rongga perut sehingga
menimbulkan respon geliat berupa kontraksi otot atau peregangan otot perut. Timbulnya respon
geliat akan muncul maksimal 5-20 menit setelah pemberian asam asetat dan biasanya geliat akan
berkurang 1 jam kemudian, sehingga dapat diamati respon tikus ketika menahan nyeri pada perut
dengan cara menarik abdomen, menarik kaki kebelakang, dan membengkokan kepala ke belakang.
Dengan pemberian obat analgetik (paracetamol, ibuprofen, asam mefenamat, natrium diklofenak
dan antalgin) akan mengurangi respon tersebut.
Langkah pertama yaitu menghitung dosis konversi dan membuat larutan stok. Dosis
Konversi dihitung dengan cara mengalikan perbandingan dosis konversi tikus pada manusia
dengan berat 70kg, dengan dosis sediaan per kgBB. Sedangkan Larutan stok dibuat dengan
mensuspensikaan masing-masing tablet paracetamol, asam mefenamat, ibuprofen, antalgin, dan
natrium diklofenak kedalam 5ml suspending agent. Suspending agent yang kami gunakan yakni
Na. CMC. Larutan stok dihitung dengan cara mengalikan hasil Dosis Konversi dengan berat tiap
tablet dan dibagi dosis sediaan per kgBB.
Pada kelompok kami dikenakan 3 macam obat analgesic yakni Asam mefenamat 500mg/kgBB
dengan berat tablet 705mg,Na. Diklo 50mg/kgBB dengan berat tablet 260mg, dan ibuprofen
400mg/kgBB dengan berat tablet 506mg. Selanjutnya dihitung dosis masing-masing obat.
Dihasilkan Asam mefenamat untuk tikus yakni 12,69mg dalam 5ml Na.CMC, 4,68mg Natrium
Diklofenak dalam 5ml Na.CMC, dan 9,108mg dalam 5ml Na.CMC. Pada praktikum ini kelompok
kami menggunakan data kelompok lain, yaitu paracetamol dan ibuprofen. Dosis untuk tikus yang
diberi paracetamol adalah 11mg, dan dosis untuk tikus yang diberi antalgin adalah 13mg.
Langkah selanjutnya diambil larutan menggunakan spuit injeksi sebanyak 2,5 ml pada
masing-masing obat. Lalu diberikan ke tikus dengan melalui rute peroral. Selanjutnya ditunggu
selama 5 menit baru di suntikkan larutan asam asetat sebanyak 1 ml melalui rute intraperitoneal.
Lalu diamati setiap 5menit dan catat jumlah geliatnya selama 30 menit.
Dihasilkan pada tikus yang diberi as.mefenamat waktu ke 0-5 menit yaitu sebanyak 1
geliatan, 5-10 menit sebanyak 6 geliatan, 10-15 menit sebanyak 3 geliatan, 15-20 menit sebanyak
3 geliatan, 20-25 menit sebanyak 7 geliatan, dan 25-30 menit sebanyak 12 geliatan, sehingga
dihasilkan jumlah geliatan sebanyak 32 geliatan. Kemudian pada tikkus kedua yang diberikan obat
na. diklofenak setelah 5 menit injeksi asam asetat 1ml, pada waktu 0-5 menit sebanyak 1 geliatan,
5-10 menit 3 geliatan, 10-15 menit 7 geliatan, 15-20 menit 8 geliatan, 20-25 menit 6 geliatan, dan
25-30 menit 7 geliatan. Sedangkan pada tikus yang diberi ibuprofen pada waktu 0-5, 5-10, 10-15
serta 20-21 menit tidak ada gerakan, namun pada waktu 15-20 menit ia bergerak sebanyak 1
geliatan, dan pada waktu ke 25-30 menit sebanyak 21 geliatan sehingga dihasilkan total geliat
adalah 22 geliatan. Dan pada data kelompok lain untuk paracetamol pada waktu 0-5 menit tidak
ada geliat, pada waktu 5-10 menit sebanyak 1 geliat, 10-15 menit 3 geliat, 15-20 menit 2 geliat,
20-25 menit 2 geliat dan 25-30 menit 3 geliat sehingga dihasilkan total geliat sebanyak 11 geliatan.
Sedangkan untuk tikus yang diberi obat antalgin pada waktu 0-5 menit sebanyak 13 geliatan, 5-10
menit dan 10-15 menit masing-masing 4 geliatan, waktu 15-20 menit sebanyak 6 geliatan, waktu
20-25 menit sebanyak 3 geliatan, dan waktu 25-30 menit sebanyak 2 geliatan. Sehingga jumlah
total geliat adalah 32 geliatan.
Dari kelima obat tersebut digunakan sebagai kontrol positif, yang di maksud dari kontrol
ini adalah bahwa obat tersebut telah diketahui khasiatnya atau dapat menimbulkan efek pada
hewan coba. Dalam percobaan ini juga digunakan Na CMC sebagai kontrol negatif yaitu tidak
menimbulkan efek dan juga menggunakan asam asetat 1% yang berkhasiat memberikan efek geliat
pada tikus. Pada kontrol negatif yang diberikan pada tikus dihasilkan pada waktu ke 0-5 menit
sebanyak 1 geliat, 5-10 menit sebanyak 9 geliat, 10-15 menit sebanyak 5 geliat, 15-20 menit
sebanyak 17 geliat, 20-25 menit sebanyak 13 geliat, 25-30 menit sebanyak 14 geliat. Jadi jumlah
geliat yang dihasilkan pada kontrol negatif yaitu 59 geliat.
Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil persen daya analgetik pada setiap obat, yaitu
dengan rumus : 100 – P/K x 100. Sehingga dihasilkan sebagai berikut asam mefenamat 45,77%,
natrium diklofenak 45,77%, ibuprofen 62,72%, paracetamol 81,36%, dan Antalgin 45,77%.
Pemberian obat analgetik yang berbeda pada hewan uji tikus akan mempengaruhi frekuensi geliat
tikus, semakin tinggi kemampuan analgetik suatu obat maka semakin berkurang jumlah geliatan.
Pada hasil pengamatan kali ini % daya analgesik yang tertinggi hinga terendah yaitu Parasetamol
sebesar 81.36 %, Ibuprofen sebesar 62.72 %, dan terakhir asam mefenamat, antalgin dan natrium
diklofenak sebesar 45.77 %. Hasil ini tidak sesuai dengan literatur karena pasalnya urutan daya
analgesik pada obat analgesik yaitu asam mefenamat > natirum diklofenak > antalgin > ibuprofen
> parasetamol. Analgetic yang terkuat seharusnya asam mefenamat, karena absorbsinya lebih
cepat di lambung, sementara indikator nyeri juga diberikan pada lambung. Kemudian yang
seharusnya memiliki efek analgetik yang terkuat kedua setelah asam mefenamat adalah natrium
diklofenak, karena bekerja secara sentral pada otak untuk menghilangkan nyeri, menurunkan
demam dan menyembuhkan rheumatik. Dan yang terakhir adalah parasetamol, karena hanya
mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer.
Selain itu, setelah dilakukan uji test dibandingkan dengan nilai daya analgesik dari
masing- masing obat sesuai literatur menunjukkan nilai p value sebesar 0.1658. Nilai p-value yang
lebih besar dari 0,05 berarti bahwa kemungkinan hasil penelitian merupakan akibat dari kesalahan
lebih besar dari 5%. Oleh karena itu, nilai p-value lebih dari 0,05 tidak menunjukkan perbedaan
yang berarti. Ada kemungkinan data yang didapatkan kurang valid. Hal ini dapat terjadi karena
beberapa faktor, antara lain waktu penyuntikan ada larutan yang tumpah sehingga mengurangi
dosis obat analgetik yang diberikan, praktikan sulit membedakan antara geliatan yang
diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena tikus merasa kesakitan akibat penyuntikan
intraperitoneal pada perut tikus, dan faktor penyuntikan yang tertunda karena tikus sempat
menolak.
Praktikum selanjutnya yaitu dilakukan analisis % aktivitas analgesik pada mencit yaitu
dengan diberikan ekstrak etanol jambu biji dan asam mefenamat. Pemberian kontrol negatif
diberikan pada mencit 1 yaitu Na-CMC, mencit 2 diberikan ekstrak etanol jambu biji, dan mencit
3 diberikan asam mefenamat (kontrol positif) . Kemudian setelah 30 menit diberi perlakuan, hewan
uji kecuali yang diberikan asam mefenamat ditempatkan diatas hot plate dengan suhu 60 oC.
Pada uji analgesik mencit diletakkan diatas hotplate berfungsi untuk menginduksi rasa sakit pada
mencit. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh panas dari hotplate akan merangsang reseptor nyeri
(nosiseptor) di kulit mencit. Kemudian diamati respon latensi (daam hitungan detik), respon
latensi adalah waktu yang terlewat diantara penempatan hewan di piring panas dan adanya perilaku
menjilai telapak kaki, gemetar, atau melompat dari permukaan. Kemudian diukur waktu reaksi
dari perilaku pertama yang ditimbulkan dimana respon yang diamati adalah menjilati telapak kaki.
Data praktikum yang dieroleh yaitu % aktivitas analgesik pada tikus yaitu sebesar 27.45
pada asam mefenamat dan 37.25 pada ekstrak etanol jambu biji. Hal ini menunjukkan aktivitas
analgesik pada asam mefenamat lebih tinggi daripada jambu biji dilihat dari pada asam mefenamat
respon geliat pada mencit baru terjadi pada detik 6.8 hal ini menunjukkan pemberian asam
mefenamat memiliki efek analgesik yang lebih lama daripada ekstrak etanol jambu biji.
BAB VII
KESIMPULAN
Anief, M., 1991, Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat. 4th ed. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Damayanti.(2012). Nyeri Menurut The Internasional Association for the study of Pain (IASP).
Diphalma, J. R., Digregorio, G. J, 1986. Basic Pharmacology in Medicine. 3th ed. Mcgraw-hill
Publishing Company: 319-20, New York.
Ganong, William F, 2003, Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari.
Guyton, A.C. & Hall, J.E. , 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC.
Katzung, G. Bertram, 1998, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi keenam. Jakarta. EGC.
Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, Edisi V, 88, Penerbit ITB, Bandung.
Mycek, M.J., Harvey, R.A., Champe, P.C, 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar (edisi 2).
Jakarta. Widya Medika.
Pujiatiningsih, Agatha Sri. 2014. Pemberian Ekstrak daun putri malu (Mimosa Pudica Linn) Secara
oral menurunkan gula darah post prandial pada tikus (Rattus Norvegicus) Jantan galur
wistar perdiabetesi. Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister, Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
Sirait, M.D., D. Hargono, J.R. Wattimena, M. Husin, R.S. Sumadilaga, dan S.O. Santoso. 1993.
Pedoman Pengujian Dan Pengembangan Fitofarmaka, Penapisan Farmakologi, Pengujian
Fitokimia dan Pengujian Klinik Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam.
Jakarta. Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phytomedica.
Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Edisi 2, 228-232, 234, 239, Airlangga
University Press, Surabaya.
Tan Hoan Tjay, Kirana Raharja. 2008. Obat-obat Penting. Edisi 6. Jakarta: Gramedia. 296.