Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI DAN TERAPI II

PERCOBAAN PENGUJIAN STIMULAN PADA


TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS)

Disusun Oleh :

1. Indah Pujriani (01020127)


2. Tanirah (01020142)
3. Tifani Fatikhah Nurmalia (01020104)
4. Uun Kunayah (01020143)
5. Pramudyo Syaeful Bakhri (01020138)

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS YPIB MAJALENGKA

CIREBON 2022
I. TUJUAN PRAKTIKUM

Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan dapat mempelajari dan


mengetahui pengaruh pemberian dan efektivitas stimulansia pada tikus putih (Rattus
Novergicus)

II. DASAR TEORI

Stimulansia adalah senyawa yang mempengaruhi Sistem Saraf Pusat (SSP) dan dapat
meningkatkan konsentrasi, merangsang susunan saraf pusat untuk menghilangkan kelelahan,
serta menambah kemampuan fisik dan mental.

Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotriendan


prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor )di ujung-ujung saraf bebasdi kulit, mukosa
serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksiradang dan kejang-kejang.
Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat
ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat
banyak sinaps via sumsum- belakang, sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari thalamus impuls
kemudianditeruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri
(Tjaydan Rahardja, 2007).

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi
melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di
jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh
rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan.
Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator
nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi
reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat
diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak
melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang
belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke
pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007).

Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu :


a.  Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)
Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal) dan non
salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan non salisilat ternmasuk derivat as.
Arylalkanoat (Gilang, 2010).
b.  Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau
morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.
Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan.

Ada 3 golongan obat ini yaitu (Medicastore,2006) :


1)      Obat yang berasal dari opium-morfin
2)      Senyawa semisintetik morfin
3)      Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.

Mekanisme Kerja Obat Analgesik

a.  Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)


Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah
prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan
prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian
mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan
COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan
lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek
samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar
(Anchy, 2011).
b.  Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam
pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan efek sampingnya.
Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja diperifer . Efek  analgesiknya telah kelihatan
dalam waktu satu jam setelah pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi OAINS telah
tampak dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul
berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya NSAID didalam
darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak
dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan
mempunyai ikatan dengan protein plasma yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh
eliminasinya untuk golongan derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh
indometasin sangat berpariasi diantara individu yang menggunakannya, sedangkan piroksikam
mempunyai waktu paruh paling panjang (45 jam) (Gilang, 2010).

Mekanisme kerja antalgin :

Antalgin termasuk derivat metasulfonat dari amidopiryn yang mudah larut dalam air dan
cepat diserap ke dalam tubuh. Bekerja secara sentral pada otak untuk menghilangkan nyeri,
menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik. Antalgin merupakan inhibitor selektif dari
prostaglandin F2α yaitu: suatu mediator inflamasi yang menyebabkan reaksi radang seperti
panas, merah, nyeri, bengkak, dan gangguan fungsi yang biasa terlihat pada penderita demam
rheumatik dan rheumatik arthritis. Antalgin mempengaruhi hipotalamus dalam menurunkan
sensifitas reseptor rasa sakit dan thermostat yang mengatur suhu tubuh (Lukmanto, 1986).

MONOGRAFI

Pemerian         : Serbuk hablur putih atau kekuningan.


Kelarutan         : Larut dalam air dan HCL 0,02N
Penyimpanan    : Dalam wadah tertutup baik (Anonim, 1995).
Khasiat             : Analgetik
Dosis                 : 500 mg (Anonim, 1979)

Mekanisme kerja ibuprofen  :

Ibuprofen menimbulkan efek analgesik dengan menghambat secara langsung dan selektif
enzim-enzim pada system saraf pusat yang mengkatalis biosintesis prostaglandin seperti
siklooksigenase sehingga mencegah sensitasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator rasa
sakit seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion hidrogen dan kalium
yang dapat merangsang rasa sakit secara mekanis atau kimiawi (Siswandono dan Soekardjo, B.,
2000).

MONOGRAFI
Pemerian         : Serbuk hablur; putih hingga hampir putih; berbau khas lemah.
Kelarutan          : Praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam etanol.
Penyimpanan    : Dalam wadah tertutup rapat (anonim, 1995).
Khasiat             : Analgetik
Dosis                 : 400 mg tiap 4-6 jam (Charles,2009)

Mekanisme kerja asam mefenamat :

Asam mefenamat merupakan kelompok anti inflamasi non steroid, bekerja dengan
menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim
siklooksigenase, sehingga mempunyai efek analgesik, anti inflamasi dan antipiretik. Cara Kerja
Asam mefenamat adalah seperti OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid atau NSAID) lain
yaitu  menghambat sintesa prostaglandin dengan menghambat kerja enzim cyclooxygenase
(COX-1 & COX-2). Asam mefenamat mempunyai efek antiinflamasi, analgetik (antinyeri) dan
antipiretik. Asam mefenamat  mempunyai khasiat sebagai analgesik dan antiinflamasi. Asam
mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukan kerja pusat dan juga kerja perifer.
Dengan mekanisme menghambat kerja enzim siklogsigenase ( Goodman, 2007 ).

MONOGRAFI
Pemerian                 : Serbuk hablur; putih atau hampir putih; melebur pada suhu ±  2300 C
disertai peruraian.
Kelarutan                : Larut dalam alkali hidroksida, agak sukar larut dalam kloroform, sukar larut
dalam etanol dan metanol, praktis tidak larut dalam air.
Penyimpanan          :Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya (Anonim,1995).
Khasiat                   : Analgetik (Anonim, 1979)
Dosis                       : 500 mg (Anonim, 2000)

Mekanisme kerja Paracetamol :


Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda (Wilmana,
1995). Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer
(Dipalma, 1986). Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi
rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek
langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa prostaglandin
dan bukan blokade langsung prostaglandin. (Wilmana, 1995).

        MONOGRAFI
Pemerian         : serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit
Kelarutan        : larut dalam air mendidih , mudah larut dalam etanol.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat tidak tembus cahaya (Anonim,1995).
Khasiat            : Analgetik, antipiretik
Dosis               : 500 – 2000 mg per hari (Anonim, 1979).
Untuk praktikum analgetik kali ini, bahan obat yang digunakan adalah ibuprofen bentuk sirup
dengan merk dagang Proris

Deskripsi obat

Nama Dagang : Proris sirup


Komposisi : Mengandung ibuprofen 100mg/5ml
Indikasi umum : Nyeri ringan sampai sedang antara lain nyeri pada penyakit gigi atau
pencabutan gigi, nyeri pasca bedah, sakit kepala, gejala artritis reumatoid, gejala osteoartritis,
gejala juvenile artritis reumatoid, menurunkan demam pada anak.
Kontra indikasi : Penderita dengan ulkus peptikum (tukak lambung dan duodenum) yang berat
dan aktif. Penderita dengan riwayat hipersensitif terhadap Ibuprofen dan obat anti inflamasi non steroid
lain. Penderita sindroma polip hidung, angioedema dan penderita dimana bila menggunakan aspirin atau
obat anti inflamasi non steroid akan timbul gejala asma, rinitis atau urtikaria. Kehamilan tiga bulan
terakhir.
Efek samping : Pemakaian obat umumnya memiliki efek samping tertentu dan sesuai dengan
masing-masing individu. Jika terjadi efek samping yang berlebih dan berbahaya, harap konsultasikan
kepada tenaga medis. Efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat adalah: Pusing, sakit
kepala, dispepsia, diare, mual, muntah, nyeri abdomen, konstipasi, hematemesis, melena, perdarahan
lambung, ruam.
Golongan produk : Obat bebas terbatas (biru)
Manufaktur : Pharos

III.ALAT DAN BAHAN

1.      Alat
 Beaker glass
 Gelas ukur
 Spuit 1cc
 Sonde
 Kandang mencit
 Tempat pakan dan minum mencit
 Stopwatch
 Hotplate

2.      Bahan
 Mencit putih
 Proris sirup
 Aquadest

IV. PROSEDUR  KERJA

a. Perhitungan ibuprofen untuk mencit


Diketahui :
Sediaan ibuprofen = 400 mg
Factor mencit = 0,0026

Maka : 400mg x 0,0026 = 1,04 mg/20gr mencit

Jadi proris syr yang dibutuhkan untuk satu ekor mencit adalah sebanyak 1 ml.

b. Cara kerja
 Persiapkan dua ekor mencit.
 Mencit A diberikan proris sirup menggunakan spuit 1 cc berujung sonde yang
dimasukkan ke dalam mulut mencit secara peroral. Pastikan cairan obat masuk dengan
benar dan berhati hati dengan penggunaan sonde agar tidak melukai organ dalam mencit.
 Tunggu sampai obat dapat menimbulkan efek sebelum mencit A dapat diuji cobakan
 Persiapkan hot plate dan siapkan beaker glass diatasnya
 Setelah obat diabsorpsi, letakkan mencit di dalam beaker glass. Amati berapa banyak
mencit mengangkat tangannya/menggeliat. Hitung selama dua menit menggunakan
stopwatch.
 Mencit B diberikan aquades sebanyak 1 ml dengan metode yang sama dengan mencit A.
 Ulangi prosedur seperti pada mencit A dan amati hasilnya.
 Bandingkan hasil antara mencit A yang diberi proris sirup dan mencit B yang hanya
diberi aquades.

V. HASIL PERCOBAAN
Mencit A sampel ibuprofen = 26 x lompatan/geliatan selama 2 menit
Mencit B sampel aquades = 38 x lompatan/geliatan selama 2 menit
VI. PEMBAHASAN

Mahasiswa melakukan praktikum farmakologi dengan materi analgetik. Tujuan dari


praktikum ini adalah mempelajari dan mengetahui efektivitas analgetika sedian obat (ibuprofen)
pada hewan uji mencit sehingga kita dapat membandingkan daya analgetika dari obat tersebut
dengan mencit yang hanya diberi aquades saja.
Percobaan ini menggunakan metode Witkin ( Writhing Tes / Metode Geliat ), dengan
prinsip yaitu meletakkan mencit pada konduktor panas sehingga menimbulkan geliat
( Writhing ). Dapat diamati respon mencit ketika menahan nyeri pada perut dengan cara menarik
abdomen, menarik kaki kebelakang, dan membengkokan kepala ke belakang. Dengan pemberian
obat analgetik (ibuprofen)  akan mengurangi respon tersebut.
Pemberian obat analgetik pada mencit dilakukan secara peroral, dan diberikan waktu
tunggu sehingga obat dapat terabsorpsi sebelum mencit diuji cobakan. Setelah obat diabsorpsi
dan mencit diletakkan pada beaker glass di atas hot plate, maka baru bisa diamati efek analgetik
tersebut pada mencit. Jumlah geliat mencit dihitung selama lima menit.
Digunakannya aquades sebagai pembanding akan membuktikan keefektifitasan analgetik
pada mencit. Secara teori, mencit A yang diberi analgetik akan lebih bisa bertahun terhadap
respon nyeri dibandingkan mencit B yang hanya diberi aquades.

Setelah dilakukan percobaan didapatkan hasil bahwa mencit B yang hanya diberikan
aquades mengangkat tangan/menggeliat lebih banyak dibandingkan dengan mencit A yang
diberikan analgetik. Itu berbanding lurus dengan teori dimana analgetik akan bekerja dan
mengurangi reaksi nyeri pada hewan uji. Membuat mencit A lebih sedikit mengangkat
tangan/menggeliat sebagai respons nyeri.

VII.     DAFTAR PUSTAKA


 
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia edisi 3, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Charles,dkk.2009.Drug Information Handbook. Apha.Ohio.Lexi-Com inc.
Diphalma, J. R., Digregorio, G. J. 1986. Basic Pharmacology in Medicine. 3th ed.
New York: Mcgraw-hill Publishing Company: 319-20
Ganong, William F, 2003. Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari         
Widjajakusumah: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta:         EGC.
Gilang. 2010. Analgesik non-opioid atau NSAID/OAINS.
Goodman and Gilman, 2007, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, diterjemahkan
                   oleh Amalia, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
 Lukmanto, H., 1986, Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia, Edisi II,   Jakarta.
Medicastore. 2006. Obat Analgesik Antipiretik.
Siswandono dan Soekardjo, B., (2000). Kimia Medisinal. Edisi 2. Surabaya:
                   Airlangga University Press.
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia, Jakarta.
Sunaryo, Wilmana. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Penerbit FK
UI: 224-33
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai