Anda di halaman 1dari 36

TUGAS KIMIA MEDISINAL

ANALGETIKA

OLEH:
1. Gusti Agung Ayu Sri Agastea Putri (161200043)
2. I Dewa Made Prajna Cahya Putra (161200045)
3. I Gede Dedy Indrawan (161200046)
4. I Gst Ngurah Bagus Darma Suwitra (161200048)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Analgetika adalah zat yang bisa mengurangi rasa nyeri tanpa
mengurangi kesadaran (Tjay dan Rahardja, 2015). Nyeri adalah perasaan
sensoris dan emosional yang mengganggu, berhubungan dengan ancaman,
timbulnya gangguan atau kerusakan jaringan. Keadaan psikologis seseorang
sangat berpengaruh, misalnya emosi dapat menimbulkan nyeri/sakit kepala
atau membuatya semakin parah. Ambang batas nyeri yang dapat ditoleransi
seseorang berbeda – beda karena nyeri merupakan suatu perasaan subyektif
(Sherwood, 2012).
Nyeri bisa diatasi dengan menggunakan berbagai macam obat
analgesik. Mekanisme analgesik di dalam tubuh yaitu dengan cara
menghalangi pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri, saraf sensoris, dan
sistem syaraf pusat (Arif, 2010). Analgesik yang termasuk dalam golongan
AINS bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase yang akan
mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin di mana prostaglandin
adalah mediator nyeri, sedangkan analgesik golongan opioid bekerja di sentral
menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis yang menjaga
pelepasan transmiter dan rangsang nyeri sehingga terjadi penghambatan rasa
nyeri (Ganiswarna dkk, 1995).
Analgesik yang sering digunakan masyarakat adalah yang memiliki
kandungan parasetamol, ibuprofen, asam mefenamat, dan lain-lain, namun
obat-obatan kimia tersebut memilik efek samping yang kurang baik bagi
tubuh kita apabila di gunakan dalam jangka waktu panjang. Opioid akan
menimbulkan adiksi dan golongan AINS dapat menimbulkan gastritis yang
apabila telah parah menyebabkan perdarahan pada saluran cerna, gangguan
asam-basa, menghambat ekskresi asam urat, agranulositosis dan gangguan
fungsi trombosit (Sardjono dkk, 1995).
Modifikasi molekul merupakan metode yang digunakan untuk
mendapatkan obat baru dengan aktivitas yang dikehendaki, antara lain yaitu
meningkatkan aktivitas obat, menurunkan efek samping atau toksisitas,
meningkatkan selektivitas obat, memperpanjang masa kerja obat,
meningkatkan kenyamanan penggunaan obat dan meningkatkan aspek
ekonomis obat (Siswandono, 2008). Selain itu modifikasi struktur molekul
juga digunakan untuk mendapatkan senyawa baru yang bersifat antagonis atau
antimetabolit yang lebih stabil (Rudyanto, 2005).
BAB II

PENGGOLONGAN OBAT ANALGETIKA

2.1 Analgetika Narkotika


Analgetika narkotik adaklah senyawa yang dapat menekan fungsi
system saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit,
yang moderat ataupun berat seperti rasa sakit yang disebabkan oleh
kanker,serangan jantung,akut, sesudah oprasi dan kolik usus atau ginjal.
Analgetik narkotik sering pula digunakan untuk pramedikasi anastesi,
bersama-sama dengan atropine, untuk mengontrol sekresi. Pemberian obat
secara terus menerus menimbulkan ketergantungan fisik dan mental atau
kecanduan dan efek ini terjadi secara cepat. Penghentian pemberian obat
secara tiba-tiba menyebabkan sindrom obstinence atau gejala withdrawal.
Kelebihan dosis dapat menyebabkan kematian karena terjadi depresi
pernafasan (Siswandono dan B. Soekardjo, 2008)

Mekanisme kerja analgetika narkotika

Efek analgesik dihasilkan oleh adanya pengikatan obat dengan sisi


reseptor khas pada sel dalam otak dan spinal cord. Rangsangan reseptor juga
menimbulkan efek euphoria dan rasa mengantuk (Siswandono dan B.
Soekardjo, 2008).

Berdasarkan struktur kimianya analgetik narkotik dibagi menjadi


empat kelompok yaitu turunan morfin,turunan fenilpiperidin (meperidin),
turunan difenilpropilamin (metadon), dan turunan lain-lain.

1. Turunan morfin
Morfin didapat dari opium, yaitu getah kering tanaman papaver
samniferum. Opium mengandung tidak kurang dari 25 alkaloid, antara
lain adalah morfin, kodein, noskapin, papaverin, tabain dan nersein. Selain
efek analgesic turunan morfin juga menimbulkan efek euforia sehingga
banyak disalahgunakan. Oleh karena itu distribusi turunan morfin
dikontrol secara ketat oleh pemerintah (Siswandono dan B. Soekardjo,
2008).
Contoh golongan obat morfin:
a. Morfin
Didapat dari hasil isolasi opium yang mengandung morfin antara 5-
20% morfin. Morfin digunakan sebagai mengurangi rasa sakit yang
hebat, misalnya serangan jantung akut, efeknya terjadi secara cepat.
b. Kodein
Didapat dari hasil metilasi gugus hidroksil fenol morfin. Efek
analgesiknya lebih rendah dibandingkan dengan morfin tetapi
mempunyai efek anti batuk yang kuat, efek kecanduan dari kodein
lebih rendah dari morfin.
c. Dionin.
Didapat dari hasil etilasi gugus hidroksil fenol morfin, efek
analgesiknya lebih rendah dari kodein dan mempunyai efek anti batuk
yang kuat seperti kodein.
d. Heroin.
Didapatkan dari hasil asetilasi kedua gugus hidroksil morfin, efek
analgesic dan euforianya lebih tinggi dibandingkan morfin.
Kendrungan kecanduan heroin terjadi lebih cepat dan efek samping
jauh lebih besar dari morfin.

2. Turunan fenilpiperidin
Meskipun strukturnya tidak berhubungan dengan struktur morfin
tetapi masih menunjukan kemiripan karena mempunyai pusat atom C
kuartener, rantai etilen ,gugus N-tersier, dan cicin aromatic sehingga dapat
berinteraksi dengan reseptor analgesic (Siswandono dan B. Soekardjo,
2008).
Contoh obat golongan fenilpiperidin:
a. Meperidin (petidine)
Mempunyai efek analgesic antara morfin dan kodein, digunakan untuk
mengurangi rasa sakit pada obsetri dan untuk pramedikasi pada
anestesi.
b. Difenoksilat (lomotil)
Mempunyai efek analgesik rendah, difenoksilat dapat menghambat
pergerakan saluran cerna sehingga digunakan sebagai konstipan pada
kasus diare.
c. Loperamid (Imodium)
Loperamid mempunyai efek langsung pada pada otot longitudinal dan
sirkular usus, digunakan sebagai konstipan pada kasus diare akut dan
kronik.
d. Fentanil
Analgesik narkotik sangat kuat yang digunakan sebagai penunjang
pramedikasi pada anestesi sistemik, sebelum oprasi.
e. Sufentanil.
Sifat dan kegunaan seperti fentanil.

3. Turunan difenilprofalamin
Turunan metidon bersifat optis aktif dan biasanya digunakan dalam
bentuk garam HCL. Meskipun tidak memiliki cincin piperidin, seperti
pada turunan morfin dan meperidin, tetapi turunan metadon dapat
membentuk cicin bila dalam larutan atau cairan tubuh. Hal ini disebabkan
karena adanya tarik menarik dipol-dipol antara basa N dengan gugus
karboksil (Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).
Contoh golongan obat turunan difenilprofalamin:
a. Metadon
Digunakan sebagai obat pengganti morfin, untuk pengobatan penderita
pecandu turunan morfin.
b. Propoksifen
Mempunyai efek antibatuk yang cukup besar.

4. Turunan lain-lain.
Contoh:
a. Tramadol
Analgesik kuat dengan aktivasi 0,1-0,2 kali k\morfin meskipun
efeknya melalui reseptor opiate tetapi efek depresi pernafasan dan
kemungkinan resiko kecanduan relative kecil.
b. Butorfenol tartrat
Turunan morfinan dengan efek analgesik kuat digunakan dalam
bentuk spray untuk menghilangkan rasa nyeri yang sedang dan hebat.
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).

2.2 Analgetika Non-narkotika


Analgesik non narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang
ringan sampai moderat, sehingga sering disebut analgesic ringan, juga
untuk menurunkan suhu badan pada keadaan panas badan yan tinggi dan
sebagai antiradang untuk obat rematik. Analgetik non narkotikkk bekerja
pada perifer dan sentral system saraf pusat. Obat golongan ini
mengadakan potensiasi dengan obat-obat penekan system saraf pusat
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008)

Mekanisme kerja:

1. Analgetik
Analgetik non narkotik menimbulkan efek analgetik dengan cara
menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim pada system
saraf pusat yang mengkatalisis biosintesis prostaglandin seperti
siklooksigenase, sehingga mencegah sensitiasi reseptor rasa sakit oleh
mediator mediator rasa sakit seperti bradikinin, bistamin, serotin,
prostasiklin, prostaglandin, ion-ion hydrogen dan kalium, yang dapat
merangasang rasa sakit secara mekanis atau kimiawi.
2. Antipiretik
Dengan meningkatkan eliminasi panas, pada penderita dengan sushu
badan tinggi dengan cara menimbulkan dilatasi bulu darah perifer dan
mobilisasi air sehingga terjadi pengenceran darah dan pengeluaran
keringat.
3. Antiradang.
Analgetik non-narkotik menimbulkan efek anti radang melalui
beberapa kemungkinan antara lain adalah menghambat biosintesis dan
pengeluarana prostaglandin dengan cara memblok secara terpulihkan
enzim siklooksigenase sehingga menurunkan gejala radang.
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).

Berdasarkan struktur kimianya analgesik non narkotik dibagi menjadi


dua kelompok yaitu analgetik-antipiretik dan antiradang bukan steroin:
1. Analgesik-Antipiretik
Golongan obat ini digunakan untuk pengobatan simtomatikk, yaitu
dengan meringankan gejala penyakit, tidak menyembuhkan atau
menghilangkan penyebab penyakit (Siswandono dan B. Soekardjo,
2008)
Berdasarkan struktur kimianya obat analgesic-antipiretik dibagi
menjadi dua kelompok yaitu turunan aniline dan turunan para-
aminofenol dan turunan 5-pirazolone.
a. Turunan aniline dan para-aminofenol
Mempunyai aktivitas analgesic antipiretik sebanding dengan
aspirin tetapi tidak mempunyai efek antiradang san anti rematik.
Turunan ini digunakan untuk mengurangi rasa nyeri dikepala dan
nyeri otot atau sendi dan obat penurun panas yang cukup baik.
Efek samping yang ditimbulkan adalah methemoglobin dan
hepatotoksik.
Contoh: Acetaminophen (paracetamol, panadol , tempra, tylenon,
dumin).
b. Turunan 5-pirazolon
Turunan 5-pirazolon seperti antipirin, amidopirin dan metampiron
mempunyai aktifitas analgesic, antipiretik dan anti rematik serupa
dengan aspirin. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada
keadaan nyeri kepala, nyeri pada spasma usus, ginjal, saluran
empedu dan urin, neuralgia, migraine, dismenoru, nyeri gigi, dan
nyeri pada rematik. Efek samping yang ditimbulkan dalam
beberapa kasus dapat berakibat fatal.
Contoh: Antipirin, Amidopirin, Mentampiron, Propifenazon.
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).

2. Antiradang Bukan Steroid


Berdasarkan struktur kimianya obat antiradang bukan steroid
dibagi menjadi tujuh kelompok yaitu:
a. Turunan asam salisilat
Turunan asam salisilat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri
pada nyeri kepala, otot dan sakit yang berhubungan dengn rematik.
Contoh: aspirin, salisilamid, diflunisal.
b. Turunan 5-pirazonlidindion.
Turunan ini seperti fenilbutason dan oksifenbudason adalah
antiradang non steroid yang berhubungan dengan rematik.
Contoh: fenilbutazon, okzifenbutazon, sulfinpirazone, bumadizon
kalsium semihidrat.
c. Turunan asam N-arilantronilat
Asam N-arilantronilat adalah analog nitrogen dari asam salisilat
digunakan sebagai antiradang untuk pengobatan rematik dan
sebagai analgesic untuk mengurangi nyeri ringan dan moderat.
Contoh: asam mefenamat, asam flufenamat, natrium
meklofenamat, glafenin, floktafenin.
d. Turunan asam arilasetat.
Turunan ini mempunyai aktifitas antiradang dan analgesic yang
tinggi dan terutama digunakan sebagai anti rematik.
Contoh: diklofenak Na (voltaren, neurofenak), ibuprofen (brufen,
ifen, motrin), ketoprofen, flurbiprofen, loksoprofen, fenbufen.
e. Turunan asan heteroarilasetat.
Contoh: fentiazak, asam tiaprofenat, asam metiazinat, ketorolak
trometamol
f. Turunan oksikam
Turunan ini umumnya bersifat asam, mempunyai efek anti radang
analgesic dan antipiretik efektif digunakan untuk pengobatan
simptomatik reumatik arthritis, osteoarthritis dan antipirai.
Contoh: piroksikam, tenoksikam,
g. Turunan lain-lain
Seperti turunan yang terdahulu turunan ini menimbulkan efek
samping iritasi saluran cerna serta kmenyebabkan ketidaknormalan
hematologi dan kadang-kadang bersifat hepatoksik atau
nefrotoksik.
Contoh: benzidamin, tinoridin, asam niflumat.
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).
BAB III

ASPEK FARMAKOKINETIKA DAN FARMAKODINAMIKA

3.1 Analgetika Narkotika


Berdasarkan struktur kimianya analgetik narkotik dibagi menjadi
empat kelompok yaitu turunan morfin, turunan fenilpiperidin (meperidin),
turunan difenilpropilamin (metadon), dan turunan lain-lain.
A. Farmakodinamik
a. Absorpsi : drivat morfin (misalnya; morfin, heroin, kodein, dan
oksikodon) diserap denan baik dari saluran cerna. Namun, banyak di
antara zat-zat ini (kecuali kodein dan oksikodon) mengalami
metabolism lintas pertama (first pass hepatic metabolism) dan bila
diberikan secara oral dosisnya harus lebih besar daripada dosis
pemberian suntik (missal, morfin dan heroin). Tiap tiap derivate
morfin mempunyai resiko potensi oral paranteral yang tinggi (misal,
metadon dan kodein).
b. Distribusi : bergantung pada aliran darah dan kelarutan obat di dalam
jaringan. Zat-zat ini dapat melewati plasenta dengan baik. Sawar
darah-otak pada janin dan neonates juga dapat dilewati oleh opioid.
Bayi yang baru lahir dari ibu yang mendapat (atau yang
menggunakan sendiri) narkotik dalam dosis besar dapat mengalami
depresi pernapasan yang berat. Metabolism opioid ini umumnya
menghasilkan metabolit yang lebih polar dan sering berupa konjugasi
gugusan hidroksil fenolik dengan asam glukuronad.
c. Ekskresi : terutama melalui ginjal, sebagai kecil melalui N-demetilasi
di hepar.
(Raharjo, 2004)
3.2 Turunan morfin
a. Farmakodinamik
Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis.
Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien
yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah dan pada orang
normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir
atau takut disertai mual dan muntah. Opioid menimbulkan
analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang
terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan
pada transmisi dan modulasi nyeri. Beberapa individu, terutama
wanita dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan
muntah yang mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi
jarang timbul. Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila
dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi. Morfin
dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor µ dan κ
menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada
segmen otonom inti saraf okulmotor. Miosis ini dapat dilawan
oleh atropin dan skopolamin. Pada dosis kecil morfin sudah
menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau
kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi
napas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir
selalu disebabkan oleh depresi napas.
Morfin juga berefek di beberapa organ saluran cerna. Di
lambung, morfin menghambat sekresi HCl, menyebabkan pergerakan
lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya
berkurang sedangkan sfingter pilorus berkontraksi, akibatnya
pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Di usus halus,
morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan
memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Di usus besar,
morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus
besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar,
akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih
keras.
Pada sistem kardiovaskular, pemberian morfin dosis terapi
tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut
jantung. Perubahan baru akan terjadi pada pemberian toksik. Tekanan
darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin.
Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem
kardiovaskular untuk bereaksi terhadap perubahan sikap.
Pada otot olos, morfin menimbulkan peninggian tonus,
amplitudo serta kontraksi ureter dan kandung kemih. Morfin
merendahkan tonus uterus pada masa haid dan menyebabkan uterus
lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini morfin
mengurangi nyeri dismenore. Pada kulit, dosis terapi morfin
menyebabkan vasodilatasi kulit, sehingga kulit tampak merah dan
terasa panas.
Dalam proses metabolisme, morfin menyebabkan suhu
badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi
perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan
metabolisme dikurangi, hiperglikemia timbul tidak tetap akibat
pelepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Morfin
membuat volume urin berkurang akibat merendahnya laju filtrasi
glomerulus, alir darah ginjal, dan pelepasan ADH.
(Raharjo, 2004)
b. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi
melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa, dan juga
dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh
lebih rendah isbanding secara parenteral. Setelah pemberian dosis
tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi dengan asam
glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan
10% tidak diketahui nasibnya.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin
bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi
ditemukan dalam empedu, sebagian yang sangat kecil dikeluarkan
bersama cairan lambung. Kodein mengalami demetilasi menjadi
morfin dan CO2, yang kemudian dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian
kodein mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan
bentuk konyugasi dari kodein, norkodein dan morfin.
(Raharjo, 2004)
3.3 Turunan fenilpiperidin
a. Farmakodinamik
Pada SSP, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia,
depresi napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin mulai
timbul 15 menit setelah PO dan mencapai puncak dalam 2 jam.
Pemberian meperidin kepada pasien yang menderita nyeri atau
cemas, akan menimbulkan euforia. Di saluran napas, meperidin
dalam dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas sama kuat
dengan morfin. Pemberian meperidin secara sistemik menimbulkan
anestesia kornea, dengan akibat menghilangnya refleks kornea.
Pemberian dosis terapi meperidin pada pasien yang berbaring tidak
mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi
miokard dan tidak mengubah gambaran EKG.
Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil
lebih lemah daripada morfin. Meperidin menimbulkan spasme saluran
empedu. Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin
dan metakolin, dapat menyebabkan peristaltik ureter berkurang, dan
sedikit merangsang uterus dewasa yang tidak hamil.
(Raharjo, 2004)
b. Farmakokinetik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun
berlangsung aik, akan tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak
teratur setelah suntikan IM. Setelah PO, sekitar 50% obat
mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maks dalam
plasma tercapai dalam 1-2 jam.Metabolisme meperidin terutama
berlangsung di hati. Pada manusia, meperidin mengalami
hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian
mengalami konyugasi. Meperidin bentuk utuh sangat sedikit
ditemukan dalam urin. Seanyak 1/3 dari satu dosis meperidin
ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demetilasi (Raharjo,
2004).

3.4 Turunan difenilprofalamin


a. Farmakodinamik
Propoksifen berefek analgesik karena kerja sentralnya. Propoksifen
terutama terikat pada reseptor µ meskipun kurang selektif dibandingkan
morfin. Propoksifen 65-100 mg secara oral memberikan efek yang sama
kuat dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral
menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan 50 mg meperidin
parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan perasaan panas dan iritasi di
tempat suntikan. Kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek
analgesik yang jauh lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan
tersendiri. Obat ini tidak berefek antitusif (Raharjo, 2004).

b. Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral maupun
parenteral. Efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan PO.
Biotransformasi propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi
dalam hati. Dimetabolisme separuh pada lintasan pertama. Waktu
paruh 15 jam (Raharjo, 2004).
BAB IV
HUBUNGAN KUANTITATIF/KUALITATIF STRUKTUR DENGAN

AKTIVITAS OBAT (HKSA) DAN MODIFIKASI MOLEKUL

4.1 Analgetika Narkotika


A. Turunan morfin
Menurut Beckett dan Casy, reseptor turunan morfin mempunyai tiga
sisi penting untuk dapat menimbulkan aktivitas analgesik yaitu:
a. Struktur bidang datar yang mengikat cincin aromatic obat melalui
ikatan van der waals.
b. Tenpat anionik yang mampu berinteraksi dengan pusat muatan
positif obat.
c. Lubang dengan orientasi yang sesuai untuk menampung bagian –
CH2-CH2- dari proyeksi cincin piperidin yang terletak didepan
bidang yang mengandung cincin aromatic dan pusat dasar.

Gambar 4.1 Diagram permukaan reseptor analgesik yang


sesuai dengan permukaan molekul obat.
Hubungan Struktur dan aktivitas turunan morfin:

Gambar 4.2 Struktur umum turunan morfin

a. Eterifikasi dan esterifikasi gugus hidroksil fenol akan


menyebabkan penurunan aktivitas analgesik, meningkatkan
aktivitas antibatuk dan meningkatkan efek kejang.
b. Eterifikasi, esterifikasi, oksidasi atau pengantian gugus hidroksil
alkohol dengan halogen atau hidrogen dapat meningkatkan
aktivitas analgesik, meningkatkan efek stimulant, tetapi juga dapat
meningkatkan efek toksisitas.
c. Perubahan gugus hidroksil alkohol dari posisi 6 ke posis 8
menurunkan aktivitas analgesik.
d. Hidrogenasi ikatan rangkap C7-C8 dapat menghasilkan efek yang
sama atau lebih tinggi dari morfin.
e. Substitusi pada cincin aromatik akan mengurangi aktivitas
analgesik.
f. Pemecahan jembatan ester antara C4 dan C5 akan menurunkan
aktivitas analgesik.
g. Pembukaan cincin piperidin menyebabkan penurunan aktivitas.
h. Demetilasi pada C17 dan perpanjangan rantai alifatik yang terikat
pada atom N dapat menurunkan aktivitas. Adanya gugus alil pada
atom N menyebabkan senyawa bersifat antagonis kompetitif.
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).

Gambar 4.3 Modifikasi struktur dan aktivitas turunan


morfin

Contoh:

a. Kodein, didapat dari hasil metilasi gugus hidroksil fenol morfin.


Efek analgesiknya lebih rendah dibanding morfin, tetapi
mempunyai efek antibatuk yang kuat. Kecenderungan kecanduan
kodein lebih rendah dibanding morfin dan tidak menimbulkan
depresi pernapasan. Absorpsi obat dalam saluran cerna cukup
baik, obat terikat oleh protein plasma ± 7-25 %, kadar dalam
plasma tertinggi dicapai Antara 0,5-1,5 jam setelah pemberian
oral, dengan waktu paruh plasma ± 2-4 jam.
b. Dionin (etilmorfin), didapat dari hasil etilasi gugus hidroksil
fenol morfin, efek analgesiknya lebih rendah dibanding kodein
dan mempunyai efek batuk yang kuat seperti kodein. Dionin
sering digunakan dalam optalmologi karena mempunyai efek
kemosis yaitu merangsang peredaran vascular dan limpatik mata
untuk mengeluarkan kotoran pada infeksi mata.
c. Heroin (diasetilmorfin), didapat dari hasil asetilasi kedua gugus
hidroksil morfin. Efek analgesik dan euforianya lebih tinggi
dibanding morfin. Kecenderungan kecanduan heroin terjadi lebih
cepat dan efek samping jauh lebih besar dibanding morfin.
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).

B. Turunan Meperidin
Meskipun strukturnya tidak berhubungan dengan struktur
morfin tetapi masih menunjukkan kemiripan karena mempunyai pusat
atom c kuartener, rantai etilen, gugus N-tersier dan cincin aromatik
sehingga dapat berinteraksi dengan reseptor analgesik.
Gambar 4.4 Struktur dan aktivitas turunan meperidine

Contoh:
a. Meperidine, mempunyai efek analgesik Antara morfin dan
kodein. Meperidin digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada
kasus obserti dan untuk pramedikasi pada anestesi. Sering
digunakan sebagai obat pengganti morfin untuk pengobatan
penderita kecanduan turunan morfin karena mempunyai efek
analgesic seperti morfin tetapi kecenderungan kecanduan lebih
rendah. Absorpsi obat dalam saluran cerna cukup baik, obat diikat
pada protein plasma 40-50%. Kadar plasma tertinggi obat dicapai
dalam 1-2 jam, waktu paruh plasma ± 5 jam.
b. Difenoksilat (lomotil), strukturnya berhubungan erat dengan
meperidine, tetapi efek analgesiknya sangat rendah karena adanya
gugus yang besar pada atom N. pada dosis rendah obat tidak
menimbulkan kecanduan.
c. Loperamid (Imodium), struktunya berhubungan erat dengan
difenoksilat tetapi efeknya lebih kuat, lebih khas, dan lebih lama.
Kadar plasma tertinggi obat dicapai dalam ± 4 jam setelah
pemberian oral dengan waktu paruh ± 40 jam.
d. Fentanil, analgesik narkotik sangat kuat, aktivitasnya 100 kali
morfin dengan masa kerja yang pendek (0,5 jam).
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).

C. Turunan Metadon
Turunan metadon bersifat optis aktif biasanya digunakan
dalam bentuk garam HCL. Meskipun tidak mempunyai cincin
piperidin seperti turunan morfin dan meperidin, tetapi turunan
metadon dapat membentuk cincin bila dalam larutan atau cairan
tubuh. Hal ini disebabkan karena adanya daya tarik-menarik dipol-
dipol antara basa N dengan gugus karboksil.

Gambar 4.5 Pemberntukan cincin akibat daya tarik


menarik dipol-dipol dari metadon.

Contoh:

a. Metadon, mempunyai aktivitas analgesik 2 kali morfin dan 10 kali


meperidin. Turunan metadon digunakan sebagai obat pengganti morfin
untuk pengobatan penderita kecanduan turunan morfin karena dapat
menimbulkan efek analgesik seperti morfin dan efek kecanduannya
lebih rendah. Namun penggunaanya harus dikontrol dengan ketat
karena toksisitasnya 3-10 kali lebih besar dibanding morfin. Absorpsi
metadon pada saluran cerna cukup baik, ± 90% obat diikat oleh
protein plasma. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam ± 4 jam dan
waktu paruh plasma ± 15 jam.
b. Levanon adalah isomer levo metadon tidak menimbulkan euforia
seperti morfin dan dianjurkan sebagai obat pengganti morfin untuk
pengobatan kecanduan.
c. Propoksifen, yang aktif sebagai analgesik dalah bentuk isomer α (+)
sedangkan bentuk α (-) dan β-diastereoisomer memiliki aktivitas
analgesik yang rendah. α (-) propeksifen mempunyai efek antibatuk
yang cukup besar. Aktivitas analgesik α (+) sama dengan kodein
dengan efek samping yang lebih rendah. Berbeda dengan analgesic
narkotika lainnya α (+) tidak memiliki efek antidiare, antibatuk, dan
antipiretik. Absorpsi obat pada saluran cerna cukup baik, ± 70-80%
obat terikat oleh protein plasma. Kadar plasma tertinggi dicapai dalam
± 2 jam dengan waktu paruh plasma ± 15 jam.
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).

Gambar 4.6 Hubungan struktur dan aktivitas turunan


metadon.
4.2 Analgesik Non-narkotika
4.2.1 Analgetik-antipiretik
A. Turunan anilin dan para-aminofenol
Turunan ini digunakan untuk mengurangi rasa nyeri kepala,
nyeri pada otot atau sendi dan obat penurun panas yang cukup baik.
Efek samping yang ditimbulkan antara lain adalah methemoglobin
dan hepatotoksik.

Gambar 4.7 Modifikasi struktur turunan anilin dan p-


aminofenol

Hubungan struktur dan aktivitas:


1. Anilin mempunyai efek antipiretik cukup tinggi tetapi
toksisitasnya juga besar karena menimbulkan methemoglobin
sehingga perlu dilakukan modifikasi untuk mengurangi
toksisitasnya yaitu:
a) Substitusi pada gugus amino mengurangi sifat kebasaan dan
dapat menurunkan aktivitas dan toksisitasnya. Asetilasi
gugus amino (asetanilid) dapat menurunkan toksisitasnya,
pada dosis terapi relative aman tetapi pada dosis yang lebih
besar dapat menyebabkan pembentukan methemoglobin dan
mempengaruhi jantung. Homolog yang lebih tinggi dari
asetanilid mempunyai kelarutan dalam air sangat rendah
sehingga efek analgesik dan antipiretiknya juga rendah.
b) Turunan aromatik dari asetanilida seperti benzanilid sukar
larut dalam air, tidak dapat dibawa oleh cairan tubuh ke
reseptor sehingga tidak dapat menimbulkan efek analgesik
sedangkan salisilanilid tidak memiliki efek analgesik tetapi
dapat digunakan sebagai antijamur.
2. Para-aminofenol merupakan produk metabolik dari anilin,
toksisitasnya lebih rendah dibandingkan anilin dan turunan orto
dan meta, tetapi masih terlalu toksik untuk langsung digunakan
sebagai obat sehingga perlu dilakukan modifikasi struktur untuk
mengurangi toksisitasnya yaitu:
a) Asetilasi gugus amino dari para-aminofenol (asetaminofen)
akan menurunkan toksisitasnya, pada dosis terapi relatif
aman tetapi pada dosis yang lebih besar dan pada pemakaian
dalam jangka panjang dapat menyebabkan methemoglobin
dan kerusakan hati.
b) Esterifikasi gugus hidroksil dari p-aminofenol dengan gugus
metil (anisidin) dan etil (fenetidin) meningkatkan aktivitas
analgesik tetapi karena mengandung gugus amino bebas
maka akan meningkatkan pembentukan methemoglobin.
c) Pemasukan gugus yang bersifat polar, seperti gugus
karboksilat dan sulfonat ke inti benzene akan
menghilangkan aktivitas analgesik.
d) Etil eter dari asetaminofen (fenasetin) mempunyai aktivitas
analgesik cukup tinggi tetapi, pada penggunaan jangka
panjang menyebabkan methemoglobin, kerusakan ginjal,
dan bersifat karsinogenik sehingga obat ini dilarang
peredarannya di Indonesia.
e) Ester salisil dari asetaminofen (fenetsal) dapat mengurangi
toksisitas dan meningkatkan aktivitas analgesik.
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).

4.2.2 Antiradang bukan steroid


A. Turunan asam salisilat
Turunan asam salisilat menimbulkan efek samping iritasi
lambung. Iritasi lambung yang akut kemungkinan berhubungan
dengan gugus karboksilat yang bersifat asam, sedangkan iritasi
kronik kemungkinan disebabkan oleh penghambatan pembentukan
prostaglandin E1 dan E2 yaitu suatu senyawa yang dapat
meningkatkan vasodilatasi mukosa lambung, sehingga terjadi
peningkatan sekresi asam lambung yang menyebabkan nekrosis
iskemik dan kerusakan mukosa lambung.
Untuk meningkatkan aktivitas analgesik-antipiretik dan
menurunkan efek samping, modifikasi struktur turunan asam salisilat
dilakukan melalui empat jalan yaitu:
1. Mengubah gugus karboksil melalui pembentukan garam, ester
atau amida, turunan tipe ini mempunyai efek antipiretik rendah
dan lebih banyak untuk penggunaan lokal sebagai
counterirritant dan obat gosok karena diabsorpsi dengan baik
melalui kulit. Contoh: metilsalisilat.
2. Substitusi pada gugus hidroksil. Contoh: asam asetilsalisilat
(aspirin).
3. Memasukkan gugus hidroksil atau gugus lain pada cincin
aromatik atau mengubah gugus-gugus fungsional. Contoh:
diflunisal
Gambar 4.8 struktur turunan asam salisilat
Hubungan struktur-aktivitas turunan asam salisilat:
1. Senyawa yang aktif sebagai antiradang adalah asam salisilat.
Gugus karboksilat penting untuk aktivitas dan letak gugus
hidroksil harus berdekatan dengannya.
2. Turunan halogen seperti asam 5-klorsalisilat dapat meningkatkan
aktivitas tetapi tetapi menimbulkan toksisitas yang lebih besar.
3. Adanya gugus amino pada posisi 4 akan menghilangkan
aktivitas.
4. Pemasukkan gugus metil pada posisi 3 menyebabkan
metabolisme atau hidrolisis gugus asetil menjadi lebih lambat
sehingga masa kerja obat menjadi lebih panjang.
5. Adanya gugus aril yang bersifat hidrofob pada posisi 5 dapat
meningkatkan aktivitas.
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).
Contoh:
1. Aspirin digunakan sebagai analgesik-antipiretik dan antirematik,
pemberian dalam dosis rendah dan dalam waktu yang lama dapat
digunakan untuk mencegah serangan jantung. Aspirin juga
digunakan untuk pengobatan thrombosis karena memiliki efek
antiplatelet. Absorpsi pada saluran cerna cepat, terutama usus
kecil dan lambung dan segera terhidrolisis menjadi asam salisilat
aktif. Terikat pada protein plasma ± 90%, kadar plasma tertinggi
dicapai dalam waktu 14 menit, sedangkan asam salisilat 0,5-1
jam. Waktu paruh ± 17 menit sedangkan asam salisilat 3,15 jam.
2. Salisilamid, mempunyai aktivitas analgesik-antipiretik hanpir
sama dengan aspirin tetapi tidak menunjukkan efek antiradang
dan antirematik. Karena salisilamid tidak terhidrolisis menjadi
asam salisilat aktif maka yang bertanggung jawab terhadap
aktivitas analgesik adalah seluruh molekul. Dibanding aspirin,
salisilamid mempunyai awal kerja lebih cepat, lebih cepat
diekskresikan (masa kerja pendek) dan menimbulkan toksisitas
yang relatif rendah. Absorpsi dalam saluran cerna ceppat, kadar
plsam tertinggi yang dicapai dalam waktu 0,3-2 jam dengan
waktu paruh ± 1 jam.

B. Turunan 5-pirazolidindion
Merupakan antiradang non-steroid yang banyak digunakan
untuk meringankan nyeri pada rematik, penyakit pirai dan sakit
persendiaan. Turunan ini menimbulkan efek samping agranulositosis
yang cukup besar dan dapat mengiritasi lambung.
Gambar 4.9 Struktur turunan 5-pirazolidindion

Hubungan struktur dan aktivitas turunan pirazolidindion:


1. Turunan 5-pirazolidindon mengandung gugus keto (C3) yang
dapat memberntuk gugus enol aktif yang mudah terionisasi.
2. Substitusi atom H pada C4 dengan gugus metil akan
menghilangkan aktivitas antiradang karena senyawa tidak
dapat membentuk gugus enol.
3. Penggantian satu atom N pada inti pirazolidindion dengan
atom O, pemasukkan gugus metil dan halogen pada cincin
benzene dan penggantian gugus n-butil dengan gugus alil atau
propil tidak mempengaruhi aktivitasnya.
4. Penggantian cincin benzene dengan siklopenten atau
siklopentan akan membuat senyawa menjadi tidak aktif.
5. Peningkatan keasaman akan menurunkan aktivitas antiradang
dan meningkatkan efek urikosurik.
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).
Contoh:
1. Fenilbutazon dalam tubuh akan mengalami metabolisme
hidroksilasi aromatik menjadi oksifenbutazon yang aktif
sebagai antiradang dan analgesik. Absorpsi obat dalam saluran
cerna cepat, ± 99% obat terikat pada protein plasma. Kadar
plasma tertinggi dicapai dalam waktu 1-7 jam, dengan waktu
paruh ± 3 hari.
2. Oksifenbutazon memiliki efek samping iritasi yang lebih
rendah dibandingkan fenilbutazon. Absorpsi obat dalam
saluran cerna cepat, ± 99% obat terikat pada protein plasma.
Kadar plasma tertinggi dalam waktu 2-12 jam dengan waktu
paruh 2-3 hari.

C. Turunan asam N-arilantranilat


Turunan ini merupakan analog nitrogen dari asam salisilat.
Turunan ini banyak digunakan sebagai antiradang dan sebagai
analgesik untuk mengurangi rasa nyeri ringan dan moderat. Efek
samping dari penggunaan turunan ini adalah iritasi saluran cerna,
mual, diare, nyeri abdominal, anemia, agranulositosis dan
trombositopenia (Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).
.
Hubungan struktur aktivitas:
1. Turunan asam N-antranilat mempunyai aktivitas yang lebih
tinggi bila pada cincin benzene yang terikat atom N
mempunyai substituensubstituen pada posisi 2,3, dan 6.
2. Yang aktif adalah turunan senyawa 2,3-disubstitusi. Hal ini
menunjukkan bahwa senyawa mempunyai aktivitas yang
lebih besar apabila gugus-gugus pada N-aril berada di luar
koplanaritas asam antranilat. Struktur tidak planar tersebut
sesuai dengan tempat reseptor hipotetik antiradang. Contoh:
adanya substituen orto-metil pada asam mefenamat dan orto-
klor pada asam meklofenamat akan meningkatkan aktivitas
analgesic.
3. Penggantian atom N pada asam antranilat dengan gugus-
gugus isosterik seperti O,S, dan CH2 dapat menurunkan
aktivitas.

Gambar 4.10 struktur turunan asam N-arilantranilat

Contoh:
1. Asam mefenamat, mempunyai aktivitas analgesic 2-3 kali aspirin
dan aktivitas antiradang seperlima kali fenilbutazon. Asam
mefenamat menimbulkan toksisitas hematopoitik dan efek
samping iritasi lambung.
2. Glafenin, aktivitas analgesiknya 5 kali lebih besar dibanding
aspirin dengan efek samping lebih rendah dan batas keamana
yang lebih luas.

D. Turunan asam arilasetat


Turunan ini memiliki aktivitas antiradang dan analgesik yang
tinggi dan terutama digunakan sebagai antirematik. Turunan ini
menimbulkan efek samping iritasi saluran pencernaan yang cukup
besar.

R1 = gugus alkil: turunan asam fenilasetat.


R2 = gugus yang bersifat hidrofob.
X = gugus yang bersifat elektronegatif (F atau Cl) yang
terletak pada posisi meta dari rantai samping.

Hubungan struktur aktivitas turunan asam arilasetat:


1. Mempunyai gugus karboksil atau ekuivalennya seperti asam
enolat, asam hidroksamat, sulfonamida dan tetrasol, yang
terpisah oleh satu atom C dari ini aromatic datar. Pemisahan
lebih sari satu atom C, misalnya pada asam propionat atau
butirat akan menurunkan aktivitasnya.
2. Adanya gugus α-metil pada rantai samping asetat dapat
meningkatkan aktivitas antiradangnya. Contoh: ibufenak tidak
mempunyai gugus α-metil dan bersifat hepatotoksik turnan α-
metilnya (ibuprofen) mempunyai aktivitas antiradang yang
lebih tinggi dibanding ibufenak. Makin panjang jumlah atom c
aktivitasnya makin menurun.
3. Adanya α-substitusi menyebabkan senyawa bersifat optis-aktif
dan kadang-kadang isomer satu lebih aktif dibanding yang lain.
Konfigurasi yang aktif adalah bentuk isomer S. contoh S (+)
ibuprofen lebih aktif dibanding isomer (-), sedang isomer (+)
dan (-) fenoprofen mempunyai aktivitas yang sama.
4. Mempunyai gugus hidrofob yang terikat pada atom C inti
aromatic pada posisi meta atau para dari gugus asetat.
5. Turunan ester dan amida juga mempunyai aktiivitas antiradang
karena secara in vivo dihidrolisis menjadi bentuk asamnya,
demikian pula untuk turunan alcohol dan aldehida secara in
vivo dioksidasi menjadi gugus karboksil.
(Siswandono dan B. Soekardjo, 2008).

Gambar 4.11 Contoh turunan arilasetat


Contoh:
1. Diklofenak Na, mempunyai aktivitas antirematik, antiradang
dan analgesic-antipiretik, digunakan terutama untuk mengurangi
nyeri akibat peradangan pada rematik dan kelainan degeneratife
pada system otot rangka. diabsorpsi dengan cepat dan sempurna
dalam lambung, kadar serum tertinggi terjadi dalam 2 jam
setelah pemberian oral, dengan waktu paruh eliminasi 3-6 jam.
2. Ibuprofen mempunyai aktivitas antirematik, antiradang dan
analgesic-antipiretik, digunakan terutama untuk mengurangi
nyeri akibat peradangan pada rematik dan artritis. Ibuprofen
diabsorpsi dengan cepat dalam saluran cerna, kadar serum
tertinggi terjadi dalam 1-2 jam setelah pemberian oral, dengan
waktu paruh 1,8 – 2 jam.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. 2010. Pengantar Metodogi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan.


Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.

Ganiswarna, S. 1995. Farmakologi dan Terapi. edisi IV, 271-288 dan 800-810,
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Raharjo, Rio dan Staf Pengajar Departemen Farmakologi Universitas Sriwijaya


(2004). Kumpulan Kuliah Farmakologi. Edisi 2. Buku Kedokteran EGC:
Jakarta.

Rudyanto, dkk. 2005. Sintesis N-metilsalisilamida, N,N-dimetilsalisilamida dan


Salisilpiperidida. Akta Kimindo, 1 (1): 27-34.

Sardjono., dkk. 1995. Depkes RI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi
Balitbangkes, Tinjauan Hasil Penelitian Tanaman Obat di Berbagai
Institusi. Jilid III. Cetakan Pertama.

Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta :


EGC. h. 708-710.

Siswandono dan B. Soekardjo. 2008. Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga


University Press.

Tjay T.H. and Rahardja K. 2015. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek - Efek Sampingnya. PT Elex Media Komputindo. Jakarta : pp. 523–
531.

Anda mungkin juga menyukai