Anda di halaman 1dari 43

BAB.

I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kardiovaskuler (PKV) terutama Penyakit Jantung koroner merupakan
penyakit revalen dan menjadi pembunuh utama di negara-negara industri. Di Indonesia
Penyakit kardiovaskuler pada survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRT) 1972
menunjukkan PKV menduduki urutan ke-l1, 1986 menduduki muffin ke-3, dan SKRT 1992
merupakan Penyebab kematian pertama untuk usia di atas 40 tahun. . Keadaan ini terutama
ada hubungannya dengan kebiasaan dan susunan makanan sehari-hari yang kaya kalori,
protein dan lemak (jenuh), serta miskin akan serat-serat nabati(1).
Sistem kardiovaskuler tubuh kita terdiri atas jantung dan pembuluh darah. Banyak
obat yang mempengaruhi fungsi fisiologis dan biokimia kardiovaskular seperti stimulansia
SSP, depresansia SSP, dan obat otonom sehingga dapat menimbulkan interaksi antar obat.
Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat berubah akibat adanya obat lain, makanan, atau
minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki, atau efek yang
tidak dikehendaki yang lazimnya menyebabkan efek samping obat dan/atau toksisitas karena
meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar obat dalam
plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal (2).
Dampaktoksikologinya tergantung pada dosis.Air bisa mengakibatkan keracunan
air jika dikonsumsi terlalu banyak, sementara zat yang sangat beracun
seperti bisa ular memiliki titik rendah tertentu yang bersifat tidak beracun. Toksisitas juga
tergantung pada spesies, sehingga analisis lintas spesies agak bermasalah jika
dilakukan. Paradigma dan standar baru sedang berusaha melompati pengujian hewan, tetapi
tetap mempertahankan konsep akhir toksisitas.

1.2 RumusanMasalah
1.2.1 Apa yang dimaksuddengantoksikologi?
1.2.2 JelaskanPenggolonganObatKardiovaskuler?
1.2.3 MekanismeToksikologiterhadapobatKardiovaskuler?
1.2.4 Jelaskancontohobatkardiovaskuler yang dapatmenyebabkanefektoksik?

1.3 Tujuan
Mengetahui dan memahamitoksikologiterhadapobatgolongankardiovaskulersehingga
dapat menambah pengetahuan kita tentangtoksikologipadaobat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toksisitas
Toksisitas atau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih atau
penumpukan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau ekskresi. Perhatian
harus diberikan pada dosis dan tingkat toksik obat, dengan mengevaluasi fungsi ginjal dan
hepar. Beberapa obat dapat langsung berefek toksik setelah diberikan, namun obat lainnya
tidak menimbulkan efek toksik apapun selama berhari-hari lamanya.Keracunan obat dapat
mengakibatkan kerusakan pada fungsi organ. Hal yang umum terjadi adalah nefrotoksisitas
(ginjal), neurotoksisitas (otak), hepatotosisitas (hepar), imunotoksisitas (sistem imun), dan
kardiotoksisitas (jantung) (3).
Toksisitas menimbulkan efek berbahaya dari zat kimia atau obat pada organisme
target. Toksisitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi dan jenis toksikan,
konsentrasi toksikan, durasi dan frekuensi pemaparan, sifat lingkungan, dan spesies biota
penerima. Untuk mengetahui suatu zat dapat menimbulkan toksisitas atau tidak, dapat
diketahui dengan uji toksisitas. Uji toksisitas terdiri atas dua jenis yaitu : toksisitas umum
(toksisitas akut, sub akut/subkronis, kronis) atau toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik,
dan karsinogen) (4).
Toksisitas akut merupakan efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah
pemberian secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang (interval 3 jam dalam 24
jam). Toksisitas Subkronikmerupakan efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji
dengan dosis berulang (selama 28 90 hari). Sedangkan toksisitas kronis merupakan efek
toksik yang timbul setelah pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu yang panjang
(tidak kurang dari 12 bulan). Toksisitas ada yang bersifat reversible maupun irreversible (3).
Metabolisme toksik dalam tubuh dapat berupa:
diakumulasi atau disimpan
dikeluarkan dengan atau tanpa transformasi
mengalami perubahan biokimia berupa detoksifikasi. Detoksifikasi bertujuan untuk
mengurangi efek toksik namun justru bisa menambah tingkat toksisitas

2.2 OBAT KARDIOVASKULER


Gambar. Sistem Kardiovaskuler (7) Gambar. Jantung pusat Kardiovaskuler(6)

Kardiovaskuler terdiri dari dua suku kata yaitu cardiac dan vaskuler. Cardiac yang
berarti jantung dan vaskuler yang berarti pembuluh darah. Sistem kardiovaskuler merupakan
organ sirkulsi darah yang terdiri dari jantung, komponen darah dan pembuluh darah yang
berfungsi memberikan dan mengalirkan suplai oksigen dan nutrisi keseluruh jaringan tubuh
yang di perlukan dalam proses metabolisme tubuh. Sistem kardivaskuler memerlukan banyak
mekanisme yang bervariasi agar fungsi regulasinya dapat merespons aktivitas tubuh, salah
satunya adalah meningkatkan aktivitas suplai darah agar aktivitas jaringan dapat terpenuhi.
Pada keadaan berat, aliran darah tersebut, lebih banyak di arahkan pada organ-organ vital
seperti jantung dan otak yang berfungsi memlihara dan mempertahankan sistem sirkulasi itu
sendiri (7).
Obat kardiovaskuler merupakan kelompok obat yang mempengaruhi dan
memperbaiki sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) secara langsung ataupun
tidak langsung. Banyak obat yang memengaruhi fungsi fisiologis dan biokimia
kardiovaskular seperti stimulansia SSP, depresansia SSP, dan obat otonom. Yang
dimaksudkan dengan obat kardiovaskular ialah obat yang mempunyai efek utama pada
jantung dan pembuluh darah. Obat yang termasuk dalam golongan obat-obat kardiovaskular
ialah :
Obat Gagal Jantung.
Antiaritmia.
Antiangina.
Antihipertensi.

2.2.1 OBAT GAGAL JANTUNG


a. Patofisiologi Gagal Jantung Bendungan
Gagal jantung bendungan atau payah jantung bendungan (congestive heart failure =
decompensatio cordis) adalah suatu keadaan saat terjadi pengurangan kontraktilitas otot
jantung yang menimbulkan bendungan sirkulasi sehingga jantung gagal untuk mengalirkan
darah ke jaringan dan kebutuhan oksigen di berbagai jaringan tidak terpenuhi. Hal ini terjadi
karena berbagai sebab, antara lain hipertensi, kelainan katup jantung, anemia berat, defisiensi
vitamin B1, sirosis hepatitis, gagal ginjal dan penyakit paru kronis (6).
Pengobatan payah jantung bendungan ialah dengan mengusahakan untuk
menghilangkan bendungan sirkulasi, yaitu dengan:
Mengurangi beban jantung (istirahat, menurunkan berat badan, menghilangkan
penyebab, pembatasan asupan garam [<1500 mg Natrium/hari], dll.).
Meningkatkan kontraktilitas miokard dengan senyawa yang berefek inotropik positif
(glikosid jantung, dlll).
Menekan preload (beban sebelum kerja jantung) dan afterload (beban sesudah kerja
jantung), yaitu dengan diuretik untuk mengurangi volume darah, dan vasodilator untuk
menurunkan tahanan pembuluh darah perifer.
Menggunakan antiaritmia untuk memperbaiki frekuensi dan kelainan irama jantung.

Obat-obat gagal jantung dapat dibedakan atas 3 golongan, yaitu :


Inotropik, yang meningkatkan kekuatan kontraksi miokard, yaitu glikosida jantung,
misalnya digitalis, digoksin, digitoksin, ouabain, strophantin K, dan inotropik lain
(agonis -adrenergik dan inhibitor fosfodiesterase).
Diuretik, yang menurunkan volume cairan ekstraseluler sehingga mengurangi beban
jantung.
Vasodilator, yang mengurangi beban jantung.

1) INOTROPIK
a) Glikosida Jantung
Glikosida jantung mempunyai efek inotropik positif, yaitu memperkuat kontraksi otot
jantung sehingga meningkatkan curah jantung. Efek inotropik positif terjadi melalui
peningkatan konsentrasi ion Ca sitoplasma yang memacu kontraksi otot jantung.Glikosida
jantung alamiah dapat diperoleh dari berbagai tanaman, yaitu:
Folia digitalis purpurea menghasilkan digitoksin, gitoksin, dan gitalin.
Folia digitalis lanata menghasilkan lanatosid A (hidrolisisnya menghasilkan digitoksin)
lanatosid B (hidrolisisnya menghasilkan gitoksin) dan lanatosid C (hidrolisisnya
menghasilkan digoksin)
Strofantus gratus menghasilkan glikosid ouabain dan Strofantus kombe menghasilkan
glikosid strofantin.
Urginea maritime (ganggang laut) menghasilkan skilaren, yakni zat aktif yang memacu
kerja jantung.

Farmakodinamik, semua glikosida jantung mempunyai farmakodinamika yang sama,


dan hanya berbeda dalam farmakokinetiknya, Glikosida jantung mempunyai efek :
Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung (kerja inotropik positif).
Memperlambat frekuensi denyut jantung (kerja kronotropik negatif).
Menekan hantaran rangsang (kerja dromotropik negatif).
Menurunkan nilai ambang rangsang. Hal ini akan mempermudah timbulnya rangsangan
heterotropik, yang kemudian menyebabkan ekstrasistol.
Mekanisme Kerja, glikosida jantung bekerja menghambat enzim Natrium-Kalium
ATP-ase pada reseptor di membran sel. Kemudian di miokardium, khususnya pertukaran ion-
ion Na+- K+, diubah menjadi pertukaran ion-ion Na+ - Ca++ meningkatkan influx Ca++
menjadi protein kontraktil tergantung-Ca2+ pada sel otot jantung. Pada nodus AV, glikosida
bekerja memperpanjang periode refrakter dan menurunkan kecepatan impuls supraventrikel
yang ditransmisikan ke ventrikel. Mekanisme efek ini kurang dimengerti, tetapi tampaknya
melibatkan peningkatan aktivitas vagal dan pengurangan sensitivitas nodus AV terhadap
impuls simpatik; kedua hal ini menyebabkan penekanan konduksi yang melewati nodus.
Farmakokinetik, Bioavailabilitas sediaan oral sangat bervariasi sehingga perlu
memantau kadarnya dalam serum. Absorbsinya dihambat oleh adanya makanan dalam
saluran cerna, perlambatan pengosongan lambung, malabsorbsi, dan antibiotika. Ekskresi
digitalis berbeda menurut jenisnya masing-masing. Ekskresi terutama melalui ginjal dalam
bentuk utuh dan sebagian dalam bentuk yang telah diubah. Sediaan yang paling lambat
diekskresikan adalah digitoksin dan yang paling cepat adalah ouabain.
Digitalis, dalam darah digitalis berikatan dengan albumin plasma. Ikatan ini berbeda
untuk tiap sediaan digitalis. Metabolismenya terutama terjadi dalam hepar, sehingga pada
penderita payah jantung dengan fungsi hepar terganggu kemungkinan terjadinya
intoksikasi digitalis lebih besar.
Digoksin, obat ini terikat dengan protein plasma sebanyak 25%; sebagian besar ekskresi
melalui urine dalam bentuk utuh. Pada keadaan gagal ginjal dosisnya harus diturunkan.
Waktu paruh sekitar 1,6 hari (40 jam).
Digitoksin, sebanyak 90% digitoksin diikat oleh protein plasma. Senyawa ini
dimetabolisasi oleh enzim mikrosom hati (salah satu hasil metabolismenya adalah
digoksin). Digitoksin mengalami sirkulasi enterohepatik yang nyata, dan waktu paruhnya
4-7 hari. Metabolit hepatik diekskresikan dalam urine.
Oubain, walaupun kerjanya cepat, obat ini jarang digunakan di klinik.
Indikasi Klinik Glikosida Digitalis, diindikasikan untuk :
(1) lemah jantung kongestif, dan
(2) depresi nodus AV.
Tujuan pemberian glikosida pada depresi nodus AV ialah untuk mengontrol respons ventrikel
terhadap takikardi supraventrikel paroksimal, flutter atrial atau fibrilasi atrial.

Efek Samping
Gejala saluran cerna, hilangnya nafsu makan dan mual/muntah merupakan gejala paling
dini yang timbul pada keracunan digitalis.
Efek pada jantung, antara lain ekstrasistol, fibrilasi atrium, fibrilasi ventrikel (gangguan
pembentukan rangsangan), serta dapat terjadi blok SA dan blok AV.
Susunan saraf, sakit kepala, trigeminal neuralgia, capai/lemah, disorientasi, afasia,
delirium, konvulsi dan halusinasi.
Gangguan penglihatan, kromatopsia (buta warna sebagian atau seluruhnya); penglihatan
kabur, diplopia dan skotomata (adanya daerah buta/sebagian buta dalam visus).
Kromatopsia yang sering terjadi adalah warna hijau dan kuning (xantopsia).
Gejala lain: (1) pada laki-laki ada kalanya terjadi ginaekomastia (menyerupai efek
estrogen), (2) kelainan kulit dapat berupa urtikaria (jarang sekali), (3) eosinofilia yang
nyata dalam darah, dan (4) koagulasi darah, belum ada data-data yang jelas dari klinik.
Interaksi Obat
Hipokalemia dan hipomagnesemia merupakan predisposisi untuk intoksikasi digitalis.
Kalsium dan digitalis mempunyai efek yang sama pada miokard. Efek inotropik digitalis
yang positif kemungkinan besar melalui efek Kalsium.
Barbiturat, rifampisin, fenilbutazon, dan fenitoin menginduksi enzim mikrosomal hati
sehingga meningkatkan metabolisme digitoksin (metabolitnya digoksin).
Diuretik (potassium loosing diuretic), klortalidon, etakrinik, furosemid, dan golongan
diuretik tiazid saling memperkuat efek glikosida jantung.
Obat simpatomimetik memudahkan terjadinya ectopic pacemaker.
Neomisin mengganggu absorbsi digitalis.
Verapamil, nifedipin, amiodaron, kuinidin, tetrasiklin, diazepam, eritromisin, dan
hipotiroid dapat meningkatkan efek digoksin. Antasid, prednisone, rifampisin, dan
hipertiroid dapat menurunkan efek digoksin.

b) Dobutamin
Dobutamin adalah suatu agonis -adrenergik yang bekerja sebagai inotropik positif
pada jantung. Dalam dosis sedang, dopamine meningkatkan kontraktilitas miokard tanpa
meningkatkan frekuensi denyut jantung, sedangkan dosis yang lebih tinggi meningkatkan
tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Hal ini agaknya menunjukkan kerja yang relatif
selektif pada otot ventrikel. Jadi, secara relatif, dobutamin lebih menonjol dalam hal
meningkatkan kontraktilitas otot jantung daripada meningkatkan kontraktilitas otot jantung
daripada meningkatkan frekuensi denyut janyung sehingga obat tersebut menghasilkan
inotropik positif.
Secara kimia, dobutamin mirip dengan dopamin, tetapi mempunyai gugus aromatik
sebagai pengganti gugus amino. Katekolamin sintetik ini terutama bekerja pada 1-
adrenoreseptor, sedikit memenuhi 2-reseptor dan serta tidak memengaruhi reseptor
dopamin. Selain itu, dobutamin juga menambah otomatisitas sinus pada manusia;aksi ini
tidak menonjol, seperti pada isoproterenol. Efek yang kontras dengan dopamin, dopamin
tidak mempunyai efek reseptor dopaminergik dalam pembuluh darah ginjal sehingga tidak
menyebabkan vasodilatasi ginjal.
Efek Samping :
Takikardia dan hipertensi, dalam hal ini dosis diturunkan.
Mual, sakit kepala, palpitasi, nyeri angina, sesak nafas, dan aritmia ventrikel kadang-
kadang terjadi.
Fibrilasi atrium. Pada penderits dengan penyakit jantung koroner tanpa gagal jantung,
dopamin dapat menyebabkan iskemik miokard.
Toksisitas, karena efek elektrofisiologi yang disebabkan oleh dobutamin tidak jauh
berbeda dengan isoproterenol dan dopamin, aritmia kordis dapat terjadi. Dobutamin
menambah konduksi AV dan dibarengi dengan fibrilasi atrial. 5 10% pasien memakai
dobutamin, irama jantung dan tekanan sistoliknya meningkat. Efek tersebut segera berkurang
bila dosis diturunkan.

c) Inhibitor Fosfodiesterase
Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah amrinon dan milrinon sebagai
inhibitor fosfodiesterase yang memacu peningkatan konsentrasi siklik-AMP intrasel, dan
meningkatkan kontraktilitas otot jantung atau bersifat inotropik positif. Akhir-akhir ini, hasil
uji klinis menunjukkan bahwa obat-obat ini tidak dapat menurunkan angka kematian
mendadak dan tidak dapat memperpanjang masa hidup penderita gagal jantung bendungan.

2) DIURETIK
Ginjal memegang peranan penting dalam pathogenesis gagal jantung sebab
pengurangan volume cairan ekstrasel dengan diuretik akan menurunkan preload, mengurangi
bendungan paru, dan edema di perifer. Oleh karena itu, dewasa ini diuretik sering dipakai
sebagai obat pertama pada gagal jantung bendungan ringan dengan denyut jantung yang
normal. Pada fungsi ginjal yang normal, golongan tiazid adalah obat pilihan untuk gagal
jantung.
Obat golongan ini meningkatkan ekskresi Na+ dan Cl- melalui urine. Secara sekunder
terjdi pengeluaran K+ akan membahayakan penderita yang juga mendapat digitalis sebab bila
terjadi hipokalemia, jantung akan lebih rentan terhadap digitalis sehingga mudah terjadi
keracunan digitalis. Dalam hal ini, perlu pemeriksaan elektrolit secara berkala. Pasien juga
harus diberikan sediaan yang mengandung Kalium (KCl) atau banyak makan buah-
buahan.Selain itu, dapat pula diberikan diuretik hemat kalium, seperti aldosteron antagonis
(spironolakton), triamteren, dan amilorid. Dibanding dengan furosemid, efek diuretik hemat
kalium kurang kuat.
Cara kerja diuretik adalah penghambatan secara kompetitif. Hiperaldosterinisme
terjadi karena peningkatan ekskresi aldosteron oleh korteks bertambah. Hal ini disebabkan
oleh sekresi glikokortikoid yang meningkat.
Peningkatan sekresi glikokortikoid tersebut terjadi karena pembedahan, rasa takut, stress,
trauma fisik, perdarahan, asupan kalium meningkat, asupan natrium menurun, bendungan
vena kava inferior, sirosis hepatitis, nefrosis, dan gagal jantung.

3) VASODILATOR
Vasodilator berperan penting dalam mengatasi gagl jantung berat, terutama yang
disebabkan oleh hipertensi, penyakit jantung iskemik, insufisiensi mitral, dan insufiensi
aorta.Vasodiltor akan memperbaiki keseimbangan kardiovaskular. Pada gagal jantung
bendungan, gangguan fungsi kontraksi jantung diperberat oleh peningkatan kompensasi pada
preload dan afterload. Preload adalah volume darah yang mengisi ventrikel selama diastole.
Afterload adalah tekanan yang harus diatasi jantung pada saat memompa darah ke sistem
arterial. Peningkatan preload menyebabkan pengisian jantung berlebihan. Peningkatan
afterload menyebabkan jantung bekerja lebih kuat memompa darah ke sistem arterial.
Pemberian vasodilator berguna untuk mengurangi preload dan afterload yang berlebihan.
Dilatasi pembuluh darah vena menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan
meningkatkan kapasitas vena; vasodilator arterial menurunkan resistensi arteriol sistemik dan
menurunkan afterload.
Pemilihan vasodilator untuk penderita gagal jantung dilakukan berdasarkan gejala
gagal jantung dan parameter yang ada. Pada penderita yang tekanan pengisiannya (filling
pressure) tinggi sehingga sesak nafas yang menonjol, vasodilator akan membantu
mengurangi gejala. Sebaliknya, penderita dengan curah jantung rendah yang ditandai dengan
kelelahan umum (fatique) akan tertolong dengan arteriole dilator. Namun, pada penderita
gagal jantung kronis yang kurang responsif terhadap pengobatan, biasanya kedua faktor di
atas berperan sehingga diperlukan vasodilator yang sekaligus bekerja pada arteriol dan
vena.Vasodilator parenteral misalnya natrium nitroprusid atau nitrogliserin i.v, digunakan
untuk mengobati gagal jantung kronis dan eksaserbasi akut yang berat.
Inhibitor ACE dan vasodilator oral jangka panjang, ditujukan untuk gagal jantung
kronik yang berat refrakter. Nitrogliserin yang digunakan untuk angina pektoris dapat pula
digunakan untuk mengurangi preload sehingga akan mengurangi edema paru.
a. Natrium Nitroprusid
Karena berefek arteriodilator dan vasodilator, obat ini mengurangi tekanan pengisian
dan meningkatkan curah jantung pada penderita gagal jantung dengan gangguan pompa yang
berat. Obat ini lebih efektif dan lebih cepat kerjanya. Isi sekuncup yang ditimbulkan dapat
mengimbangi turunnya resistensi perifer sehingga tekanan darah biasanya tidak banyak
berubah. Kombinasi dengan zat inotropik, misalnya dobutamin akan meningkatkan
efektivitasnya, terutama pada penderita dengan komplikasi hipotensi. Dosis yang biasa
diberikan adalah 15-20 g/menit pada orang dewasa dan 0,1-8 g/kg BB/menit pada anak-
anak.

b. Nitrogliserin
Indikasi utama obat ini ialah untuk angina pectoris, tetapi karena dapat mengurangi
preload, obat ini bermanfaat untuk menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri dan
mengurangi edema paru akut.
Hidralazin
Merupakan arteriodilator. Dalam penggunaan jangka panjang pada gagal jantung
bendungan akan memperbaiki hemodinamik walaupun efeknya terhadap kebertahanan hidup
masih belum jelas. Refleks takikardi yang sering timbul pada penderita hipertensi jarang
terjadi pada pengobatan gagal jantung.
Cara kerja, hidralazin merelaksasi otot polos arteriol secara langsung dan vasodilatasi
yang terjadi dapat menimbulkan reaksi kompensasi yang kuat berupa peningkatan denyut dan
kontraktilitas jantung, serta peningkatan renin plasma dan retensi cairan yang akan melawan
efek hipotensi obat. Penurunan tekanan diastolik lebih besar daripada tekanan sistolik.
Absorbsinya melalui saluran cerna dan hampir sempurna.
Efek samping, dapat berupa :
Retensi natrium dan air. Untuk mengatasinya, berikan diuretic.
Sakit kepala dan takikardi, dapat diatasi dengan menurunkan dosis.
Iskemik otot jantung, gangguan saluran cerna, kulit dan muka memerah, nyeri otot, nyeri
sendi, pembesaran limfa, edema, dan toksik hepar. Semuanya dapat pulih kembali bila
obat dihentikan.

c. Inhibitor ACE (kaptopril, enalapril)


Kaptopril adalah suatu medilator yang bekerja menghambat enzim konversi
angiotensin (angitensin Converting Enzyme, ACE). Inhibitor ACE merupakan obat pilihan
untuk gagal jantung bendungan, dan lebih baik daripada vasodilator lain. Efek farmakologi
inhibitor ACE adalah pada sistem renin-angiotensin, yaitu menghambat perubahan
angiotensin I inaktif menjadi angiotensin II yang aktif. Inhibitor ACE ini sangat spesifik.
Obat ini tidak berinteraksi secara langsung dengan komponen lain dari sistem renin-
angiotensin termasuk reseptor peptide. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat dan
merupakan salah satu perangsang kuat terhadap kelenjar adrenal untuk sekresi aldosteron
yang merangsang reabsorbsi Na+ dan Cl- dalam ginjal. Karena sistem arteriolar mengalami
dilatasi, inhibitor ACE akan mengurangi afterload dan jantung curah meningkat (inotropik
positif). Inhibitor ACE bukan hanya menyebabkan dilatasi arteriol sehingga mengurangi
afterload melainkan juga menyebabkan venodilatasi sehingga mengurangi retensi cairan dan
mengurangi preload. Frekuensi jantung umumnya berkurang, inhibitor ACE ini juga
mengurangi tahanan pembuluh darah paru dan tahanan atrial kiri dan ventrikel kiri (preload).
Aliran darah otak dan jantung tidak berubah walaupun tekanan darah menurun. Pada
pemberian oral, absorbsinya cepat.
Bioavailabilitas rata-rata 60% dan berkurang karena makanan. Obat diberikan 1 jam
sebelum makan. Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruhnya
kira-kira 2 jam. Kurang lebih 95% obat ini dikeluarkan melalui urine. 50% sebagai kaptopril
dan sisanya sebagai metabolit. Ekskresi obat ini lambat pada pasien ginjal.
Efek samping
Hipotensi, terutama bila diberikan bersama dengan diuretik. Berikan dosis awal sekecil
mungkin, lalu lanjutkan sesuai kebutuhan.
Insufisiensi ginjal pada pasien stenosis ginjal bilateral. Hal ini disebabkan oleh
pengurangan angiotensin II yang diperlukan dalam keadaan tersebut untuk mengonstriksi
pembuluh arterial eferens glomerulus sehingga filtrasi memadai.
Kulit memerah, indra pengecap terganggu/hilang sama sekali, vertigo, sakit kepala, dan
berbagai gejala saluran cerna, proteinemia, dan batuk kering mengendap.
Kaptopril tidak dianjurkan untuk wanita hamil.
Indikasi, pasien gagal ventrikel kiri (semua tingkat), termasuk infark miokard. Saat
infark miokard terjadi, pengobatan harus dimulai sendiri, mungkin setelah infark
miokard (6).

2.2.2 ANTIARITMIA.
a. Patofisiologi Aritmia
Obat-obat antiaritmia terdiri atas golongan molekul heterogen yang memengaruhi
fungsi elektrofisiologi jantung dengan jalan memblok kanal ion (kanal natrium, kalsium, dan
kalium) atau dengan mengurangi efek simpatik.Rangsangan jantung secara normal disalurkan
dari sentrum impuls pacu nodus SA (sinoatrial) melalui atrium, sistem hambatan hantaran
atriventrikuler (AV), berkas serabut Purkinje, dan otot ventrikel.Dalam keadaan normal, pacu
untuk denyut jantung dimulai di denyut nodus SA (Nodus Keith-Flack). Jadi, ada irama
sinus dengan 70-80 kali per menit, di nodus AV (Nodus Tawara) dengan 50 kali per menit (6).
Sentrum yang tercepat membentuk pacu memberikan pimpinan, dan sentrum yang
memimpinini disebut Pacemaker. Dalam keadaan tertentu, sentrum yang lebih rendah pun
dapat juga bekerja sebagai pacemaker, yaitu :
Bila sentrum SA membentuk pacu lebih kecil, atau bila sentrum AV membentuk pacu
lebih besar.
Bila pacu di SA tidak sampai ke sentrum AV, dan tidak diteruskan ke Bundel His akibat
adanya kerusakan pada sistem hantaran atau penekanan oleh obat.
Aritmia terjadi karena gangguan pembentukan impuls (otomatisasi abnormal atau gangguan
konduksi). Gangguan dalam pembentukan pacu, antara lain :
Gangguan dari irama sinus, seperti takikardi sinus, bradikardi sinus, dan aritmia sinus.
Debar ektopik dan irama ektopik :
Takikardi sinus fisiologis, yaitu pekerjaan fisik, emosi, waktu makanan di cerna.
Takikardi pada waktu istirahat yang merupakan gejala penyakit, seperti demam,
hipotiroidisme, anemia, lemah miokard, miokarditis, dan neurosis jantung.

Dalam keadaan normal, kontraksi jantung diawali oleh rangsangan -adrenoseptor


yang menyebabkan pertukaran ion Na+ dan K+ disertai influks ion Ca2+. Depolarisasi terjadi
melalui interaksi aktin dengan myosin yang menghasilkan kontraksi miokard. Jantung
sebagai organ otonomik dapat berkontraksi sendiri oleh rangsangan yang masuk dari luar
simpul SA, misalnya rangsangan psikis, racun, perdarahan, dan obat. Sistem saraf pada
jantung dipengaruhi oleh nervus vagus (parasimpatik) dan saraf simpatik.
Aritmia atau disritmia adalah irama jantung yang tidak termasuk dalam irama sinus
normal dan frekuensinya tidak normal. Irama sinus normal diatur oleh simpul SA dan
kecepatannya bergantung pada faktor pengontrol otomatis. Dalam keadaan istirahat, frekuensi
denyut jantung biasanya 60-80x/menit. Impuls ini segera disalurkan melalui jaringan atrium
dan masuk ke dalam simpul AV.

b. Jenis-Jenis Aritmia
Aritmia yang paling sering ditemukan adalah :
Flutter Atrium. Pada keadaan ini, kecepatan irama regular yang dikeluarkan oleh
jaringan atrium adalah 220-350/menit. Fokus penyebabnya mungkin dari pacemaker atau
re-entry circuit. Curah darah atrium tetap bertahan, tetapi kemudian berkurang secara
bermakna dan progresif sesuai dengan meningkatnya frekuensi.
Fibrilasi Atrium. Dalam hal ini, terdapat irama yang cepat dan tidak teratur (frekuensi
atrium 350-1000/menit atau lebih); dan frekuensi irama ventrikel bergantung pada
derajat blok AV, biasanya 50-250/menit). Tidak lama kemudian, atrium berkontraksi
dalam ragam yang sinkron dan darah mengalami penumpukan kemudian berkumpul di
sekitar trabekula dinding atrium.
Blok AV. Penekanan konduksi impuls nodus AV dapat memperlambat frekuensi impuls
dengan perbandingan konduksi 1:1 (derajat blok I), blok 1 atau lebih impuls atrium
merambat secara intermiten sehingga rasio antara denyut atrium terhadap ventrikel
menjadi 2:1, 3:2 dan seterusnya (derajat blok xII) atau blok sempurna (derajat blok III).
Pada kasus terakhir pacemaker, ventricular (baik natural maupun elektris) harus ada
untuk mempertahankan fungsi ventrikel.
Ritme hubungan antarventrikular. Iramanya cepat diatur dalam nodus AV atau dalam
saraf. Hal ini sering disebabkan oleh digitalis tetapi dapat pula hilang sendiri.
Takikardi Supraventrikular. Iramanya cepat yang melibatkan nodus AV dan bagian
jaringan trium, serta ventrikel dalam sirkuit re-entry. Berkas penghantar yang ganjil
berada di antara atrium dan ventrikel.
Debar ventrikel premature. Irama ini terdiri atas debar sinus yang teratur dengan
diselingi debar Purkinje atau dari sumber sel ventrikel. Berbagai macam mekanisme
menggarisbawahi aritmia ini. Debar ventrikular prematur dapat memacu aritmia
ventrikular yang lebih berbahaya. Irama bigeminus merupakan variasi antara gabungan
irama sinus yang teratur dan debar ventrikular premature, biasanya dalam rasio 1:1.
Takikardi ventrikuler. Irama ini sering diikuti oleh suatu focus jantung atau keracunan
digitalis yang berat. Hal ini disebabkan oleh fokus (baik pacemaker maupun re-entry)
yang mendominasi ventrikel. Debar sinus dapat berada atau tidak ada di dalam atrium.
Takikardi ventrikuler yang cepat, biasanya secara mekanik tidak efisien dan mengurangi
curah jantung. Aritmia ini juga merupakan predisposisi berkembangnya fibrilasi
ventrikular.
Fibrilasi ventrikular. Aritmia ini merupakan kelainan irama yang paling berbahaya dari
semua jenis aritmia karena tidak lagi ada curah jantung. Sirkulasi harus segera diatasi
dengan defibrilasi atau dengan memijit jantung dari luar dalam sekejap untuk mencegah
kerusakan otak atau jantung secara permanen.
Jadi, aritmia adalah hasil otomatisasi yang tidak normal (aktivitas pacemaker ektopik)
atau konduksi yang tidak normal (blok atau re-entry). Hasil abnormalitas ini pada gilirannya,
berasal dari perubahan pada saluran membran, terutama permeabilitas saluran natrium,
kalsium, dan kalium.

c. Obat-Obat Antiaritmia
Obat antiaritmia memengaruhi aksi potensial dan konduksinya dengan beberapa cara.
Secara klinis, hal ini direfleksasikan dalam denyut nadi dan tekanan darah yang sama
baiknya, seperti pada EKG.
Obat antiaritmia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelas menurut efek
elektrofisiologiknya, penggolongan ini tidak selalu dapat dipakai dalam klinik karena tiap
obat dapat menunjukkan lebih dari 1 efek elektrofisiologik.
d. Kuinidin
Farmakologi, merupakan dekstroisomer dari kuinin, absorbsinya cepat pada
pemberian oral, dimetabolisasi oleh hati dan diekskresi dengan cepat oleh ginjal.
Efek Elektrofisiologik :
Meningkatkan konduksi nodus AV (vagolitik), dan
Menurunkan otomatisitas dan memperpanjang aksi potensial pada otot
ventrikel, serabut Purkinje, dan otot atrium.
Indikasi Klinik :
Aritmia ventrikel dan ektopik ventrikel,
Menghilangkan flutter atau fibrilasi atrial. Sebelumnya, penderita harus diobati
dulu dengan digitalis atau -blocker untuk menghindari efek vagolitik pada
nodus AV dengan mengakibatkan peningkatan respons pada ventrikel sehingga
terjadi disritmia atrial, dan
Kontraksi prematur atrial.
Efek samping dan Toksisitas :
Pada EKG, tampak QT dan QRS sangat memanjang, nodus SA terhenti, blok
AV tingkat tinggi, takiaritmia ventrikel, asistol, perlambatan/pemendekan
nodus AV, dan dapat mengubah fibrilasi atrium menjadi fibrilasi ventrikel.
Hipotensi disebabkan oleh vasodilatasi perifer dan efek inotropik negatif.
Gejala saluran cerna berupa mual, muntah, dan diare.
Reaksi imunologik berupa drug fever, reaksi anafilaksis, trombositopenia.
Sinkonisme, dengan gejala tinnitus, pandangan kabur, gangguan saluran cerna,
dan delirium.
Sinkop.

Interaksi Obat :
Barbiturat, fenitoin, primidon, dan rifampisin dapat meningkatkan
metabolisme kuinidin.
Simetidin dapat menurunkan metabolisme kuinidin.
Amiodaron dapat meningkatkan efek kuinidin.
Kuinidin dapat meningkatkan efek digoksin, digitoksin, dan dapat
menghambat neuromuscular.

e. Prokainamid
Sifat Farmakologis. Struktur kimia prokainamid mirip dengan prokain. Obat ini
dapat diberikan per oral atau parenteral.
Indikasi Klinik, hampir sama dengan kuinidin. Prokainamid atau kuinidin dapat
dipakai salah satu jika yang lain tidak efektif. Prokainamid juga merupakan obat
yang baik untuk disritmia ventrikular.
Efek samping dan Toksisitas, dapat berupa;
Bradikardi dan blok AV, tingkat blok dan bradikardia pada prokainamid tinggi,
Dapat terjadi perubahan fibrilasi atrial menjadi fibrilasi ventrikular,
Hipotensi,
Delirium,
Reaksi imunologik: drug fever, agranulositosis, sindrom mirip-lupus (terutama
atralgia dan perikarditis). Berbeda dengan SLE sebenarnya, kecendrungan
(predileksi) kurang pada wanita; melibatkan otak dan ginjal, leucopenia,
anemia, trombositopenia. Asetilator lambat lebih mudah dipengaruhi (lebih
sensitif).

f. Disopiramid
Sifat Farmakoligi, Absorbsinya baik pada pemberian oral. Senyawa induk dan
metabolitnya diekskresikan melalui ginjal. Kira-kira separuh dari obat mengalami
metabolisme lintas-pertama dihati.
Indikasi klinik, Pemberian per oral berperanan penting dalam pengobatan dan
pencegahan takikardia ventrikel dan kontraksi ektopik ventrikel.
Toksisitas, Obat ini memberikan efek inotropik negatif terbesar, dapat memperberat
payah jantung kongestif. Sifat parasimpatolegiknya menimbulkan retensi urin,
konstipasi, dan glaucoma sudut tertutup. Seperti kuinidin dan prokainamid,
disopiramid obat ini dapat mengeksaserbasi disritmia ventrikel (jarang).

g. Lidokain
Sifat Farmakologi, lidokain adalah obat yang banyak digunakan sebagai obat
anestesi lokal. Metabolisme terjadi di hati (mengalami de-etilasi), dan diekskresi
melalui ginjal.
Indikasi klinik, lidokain merupakan terapi primer untuk disritmia ventrikel
(diberikan secara i.v) dan juga digunakan untuk pencegahan disritmia ventricular
pada keadaan infark miocard akut (pemberian i.v dan i.m).
Efek samping dan Toksisitas, efek samping yang menonjol pada lidokain adalah :
gejala SSP berupa mengantuk, disorientasi, kejang, dan psikosis (terutama pada
pasien lanjut usia dan penderita payah jantung kronis); dan
Hipotensi.
Interaksi obat, Simetidin dan propranolol dapat meningkatkan toksisitas lidokain.

h. Fenitoin
Sifat Farmakologis, Fenitoin merupakan derivat hidantoin. Obat ini diabsorbsi dengan
baik pada pemberian oral, dan dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Fenitoin
dalam darah terikat dengan protein sebesar 90%. Ekskresi melalui ginjal dalam bentuk
metabolit terkonjugasi.
i. Bretelium
Farmakokinetik, metabolismenya tidak jelas, dan ekskresi melalui ginjal.Indikasi
klinik, aritmia ventrikularnya di unit perawatan intensif (ICU) atau keadaan henti
jantung.
Toksisitas, dapat berupa:
Hipotensi (akibat blockade cabang aferen refleks baroreseptor),
mual dan muntah,
vertigo dan pusing, dan
hipertensi dengan golongan simpatomimetik.

j. -Blocker
Farmakokinetik, -blocker memiliki ikatan protein yang tinggi, dimetabolisasi di hati
dan diekskresikan dalam urine.
Indikasi klinik, -blocker digunakan untuk:
Takiaritmia supraventrikular paroksimal,
Infark pascamiocard, untuk menurunkan resiko re-infark dan kematian mendadak,
dan
Pada keadaan tertentu dari miokard infark akut.
Toksisitas, toksisitas yang berhubungan dengan blokade beta pada daerah
nonvascular, berupa bronkospasme; eksaserbasi penyakit hipoglikemia;
terselubungnya respons simpatik terhadap hipoglikemia;efek inotropik negatif,
eksaserbasi dan presipitasi payah jantung kongestif; dan blokade jantung. Toksisitas
pada SSP berupa halusinasi, mimpi buruk, dan depresi.

k. Verapamil dan Inhibitor Kanal Kalsium Lainnya


Sifat Farmakologis, Obat ini dapat diabsorbsi secara sempurna pada pemberian per
oral, tetapi mengalami metabolisme lintas pertama substansia oleh hati dan lebih dari
70% diekskresikan melalui ginjal.
Indikasi klinik, Obat ini akan mengakibatkan takikardia supraventrikular paroksimal
(termasuk sindrom Wolf-Parkinson-White) dan fibrilasi atrial.Toksisitas, efeknya
dapat berupa hipotensi, asistolik, dan blok AV.

l. Amiodaron
Sifat Farmakologis, pada pemberian amiodaron secara i.v atau per oral, dibutuhkan
waktu 2-4 minggu untuk mencapai keadaan yang mantap. Metabolismenya terjadi di
hati, dan waktu paruhnya berkisar antara 10-50 hari.
Indikasi klinik, disritmia atrial dan ventricular yang resisten terhadap obat.
Toksisitas, amiodaron dapat menimbulkan efek samping mikrodeposit pada kornea;
hiper-dan hipotiroidisme; hepatotoksik; alveolitis dan/atau fibrosis paru;
meningkatnya kadar digitalis dan aktivitas obat golongan warfarin, menurunnya
fungsi ventrikel kiri; fotosensitivitas; deposit pada kulit sehingga berwarna kebiruan.

m. Obat-obat baru (oral)


a) Meksiletin dan Tokainid
Obat-obat ini adalah analog lidokain, dan diberikan per oral dengan efek dan
indikasi yang sama dengan lidokain, tetapi tidak seefektif lidokain untuk pencegahan
fibrilasi/takiaritmia ventrikular rekuren. Meksiletin digunakan untuk pengobatan
jangka panjang aritmia ventrikular yang disebabkan oleh infark miocard
sebelumnya. Tokainid digunakan untuk pengobatan takiaritmia ventrikular. Tokainid
mempunyai toksisitas paru yang dapat menyebabkan fibrosis paru.
b) Flekainid
Obat ini berdisosiasi secara lambat dari kanal natrium istirahat dan
menunjukkan efek yang jelas, walaupun dengan kecepatan denyut jantung
normal. Efeknya mirip kuinidin dan prokainamid. Obat ini digunakan untuk
kontraksi ventrikular premature dan takikardi ventrikel.
Efek Farmakologik, flekainid menekan upstroke fase 0 dari serabut purkinje dan
miocard. Hal ini menyebabkan konduksi yang sangat lambat pada semua
jaringan jantung, dengan efek minor pada lama potensial aksi dan refrakter.
Otomatisasi berkurang dengan peningkatan nilai ambang potensial, dan bukan
menurunkan slope depolarisasi fase 4.
Penggunaan klinik, bermanfaat untuk pengobatan aritmia ventrikular refrakter,
terutama berguna untuk menekan kontraksi ventrikular prematur. Flekainid
mempunyai efek inotropik negatif pada jantung dan dapat memperberat gagal
jantung bendungan.
Efek samping, dapat berupa pusing, sakit kepala, penglihatan kabur, dan mual.
Flekainid dapat memperberat aritmia yang sudah ada, yang akan timbul atau
menimbulkan takikardi ventrikular yang berbahaya, dan yang resisten terhadap
pengobatan.

c) Propafenon
Seperti halnya dengan Flekainid, propafenon memperlambat konduksi dalam
seluruh jaringan otot jantung, dan dianggap sebagai obat antiaritmia
berspektrum luas (6).

2.2.3 ANTIANGINA.

a. Pendahuluan
Angina pectoris adalah gejala utama penyakit jantung iskemik, berupa rasa nyeri
hebat di dalam dada (retrosternal) yang menjalar ke lengan kiri, leher, atau rahang; dicetuskan
oleh kerja fisik, ketegangan mental, hawa dingin, atau pada waktu makan. Nyeri angina dapat
terjadi bila aliran darah koroner tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik jantung.
Rasa nyeri dapat dikurangi atau dihilangkan dengan obat yang memperbaiki perfusi darah ke
miocard atau yang mengurangi kebutuhan metabolik jantung atau obat yang bekerja dengan
kedua cara ini. Gejala angina pectoris timbul ketika suatu ketidakseimbangan akut antara
kebutuhan oksigen miokard dan jumlah oksigen yang ada untuk keperluan tersebut terjadi.
Hal ini terjadi ketika terdapat peningkatan kebutuhan oksigen yang tiba-tiba pada suatu
jantung iskemik yang kronis, atau ketika terdapat spasme dari suatu arteri koroner (disebut
varian=atipikal=angina Prinzmetal). Selain itu, terdapat juga angina tak stabil yang biasanya
disebabkan oleh ruptur suatu plak ateromatous dalam suatu arteri koroner yang selanjutnya
bisa berkembang menjadi serangan infark miocard (6).
Obat-obat yang digunakan pada pengobatan angina antara lain, Vasodilatator koroner
(terdiri dari Nitrat Organik dan Antagonis Kalsium) dan -Blockers yang berfungsi
mengurangi kebutuhan oksigen miocard (6).

b. OBAT-OBAT ANGINA PECTORIS


1. Vasodilator Koroner
Zat-zat ini memperlebar arteri jantung, memperlancar pemasukan darah serta oksigen,
dan dengan demikian meringankan beban jantung. Pada serangan akut, obat pilihan utama
adalah nitrogliserin sublingual dengan kerja pesat tetapi singkat. Sebagai terapi interval guna
mengurangi frekuensi serangan tersedia nitrat long acting (isosorbide-nitrat), Antagonis
Calcium (Diltiazem, Verapamil), dan Dipiridamol (6).
1. Nitrogliserin
Farmakologi, trinitrat dari gliserol berkhasiat relaksasi otot pembuluh, bronchia,
saluran empedu, lambung usus, dan kemih. Berkhasiat vasodilatasi berdasarkan
terbentuknya nitrogenoksida (NO) dari nitrat di sel-sel dinding pembuluh. NO
bekerja mengendurkan sel-sel ototnya, sehingga pembuluh terutama vena
mendilatasi dengan langsung. Akibatnya, tekanan darah turun dengan pesan dan
aliran darah vena yang kembali ke jantung berkurang. Penggunaan oksigen jantung
menurun dan bebannya dikurangi. Arteri koroner juga diperlebar, tetapi tanpa efek
langsung terhadap miocard.
Penggunaan, per oral untuk menanggulangi serangan angina akut secara efektif,
begitupula sebagai profilaksis jangka pendek, misalnya langsung sebelum
melakukan aktivitas bertenaga (exertion) atau menghadapi situasi lain yang dapat
menginduksi serangan. Secara intravena digunakan pada dekompensasi tertentu
setelah infark jantung, jika digoksin dan diuretika kurang meberikan hasil.
Efek samping, yang terpenting berupa nyeri kepala dan refleks takikardia, juga
hipotensi ortostatis, pusing, nausea, flushing, disusul dengan muka pucat. Bila efek
terakhir timbul, maka pasien harus mengeluarkan sisa tablet dari mulut dan segera
berbaring. Plester dapat menimbulkan iritasi kulit (merah) dengan rasa terbakar dan
gatal-gatal.
2. Isosorbida-5-mononitrat
Farmakologis, Derivat nitrat siklis sama kerjanya dengan nitrogliserin, tetapi bersifat
long-acting. Di dinding pembuluh zat ini diubah menjadi nitrogenoksida (NO), yang
mengaktivasi enzim tertentu. Karena itu, kadar cGMP (cyclo Guanyl-Mono-
Phosphate) di sel otot polos naik dengan akibat vasodilatasi.
Penggunaan, Isosorbida-5-mononitrat terutama digunakan oral sebagai profilaksis
untuk mengurangi frekuensi serangan, juga secara oromukosal (tablet retard).
Adakalanya juga oral pada dekompensasi yang dengan obat-obat lazim kurang
berhasil.
3. Isosorbida-dinitrat
Farmakologi, Isosorbida-dinitrat adalah derivate dengan khasiat dan penggunaan
sama. Secara sublingual mulai kerjanya dalam 3 menit dan bertahan sampai 2 jam,
secara spray masing-masing 1 menit dan 1 jam, sedangkan oral masing-masing 20
menit dan 4 jam (tablet retard 8-10 jam).
4. Dipiridamol
Farmakologi, sebagai penghambat fosfodiesterase, derivat dipiperidino ini berdaya
inotrop positif lemah tanpa menikkan penggunaan oksigen dan vasodilatasi, juga
terhadap arteri jantung. Penggunaannya pada angina kini dianggap obsolet, karena
kurang efektif. Begitu pula sebagai obat pencegah infark kedua (bersama asetosal),
berdasarkan kerja antitrombotiknya. Khusus digunakan sebagai obat tambahan
antikoagulansia pada bedah penggantian katup jantung untuk mencegah
penyumbatan karena penggumpalan darah (tromboemboli).
Efek samping, gangguan lambung usus, nyeri kepala, pusing, dan palpitasi yang
bersifat sementara.

2. -Blockers
Farmakologi, -blockers memperlambat pukulan jantung (bradycardia, efek
kronotrop negatif), sehingga mengurangi kebutuhan oksigen miocard. Juga
digunakan pada terapi interval. Zat-zat ini mengikat diri secara reversibel pada
reseptor -adrenoreseptor dan dengan demikian memblok reaksi atas impuls saraf
simpatik atau katekolamin (nor/adrenalin, serotonin, dan sebagainya) dari sirkulasi.
Blokade reseptor 1 menurunkan frekuensi jantung (efek kronotrop negatif), daya
kontraksi (efek inotrop negatif), dan volume-menit jantung. Kecepatan penyaluran
AV diperlambat dan tekanan darah diturunkan.
Blokade reseptor 2 dapat antara lain menimbulkan bronchokonstriksi dan
meniadakan efek vasodilatasi dari katekolamin terhadap pembuluh perifer.

Penggunaan, selain pada pada hipertensi juga pada :


Angina Stabil Kronis, berdasarkan efek kronotrop negatifnya yang
menyebabkan dikuranginya kebutuhan oksigen jantung exertion, hawa dingin,
dan emosi. Secara sekunder juga penyaluran darah melalui pembuluh koroner
berkurang. Pada angina variant, kerjanya tak konstan, yaitu dapat positif dan
negatif, maka umumnya lebih disukai antagonis kalsium.
Gangguaan Ritme, antara lain fibrilasi dan flutter serambi, juga takikardia
supraventrikuler. Terutama sebagai obat tambahan, bila glikosida jantung
tunggal kurang menghasilkan efek.
3. Antagonis Ca2+
Calcium entry-blockers mengurangi penggunaan oksigen selama exertion, karena
tekanan darah arteri umumnya turun akibat vasodilatasi perifer dan turunnya frekuensi
jantung (efek kronotrop negatif). Selain itu, pemasukan darah diperbesar karena vasodilatasi
miocard, efek inotrop negatifnya hanya ringan atau hilang sama sekali.
Nifedipin
Farmakologi, Dihidropiridin terutama berkhasiat vasodilatasi kuat dengan hanya kerja
ringan terhadap jantung. Efek inotrop negatifnya ditiadakan oleh vasodilatasi, bahkan
frekuensi jantung serta cardiac output justru dinaikkan sedikit akibat antara lain turunnya
afterload (volume darah yang dipompa keluar jantung ke arteri)
Verapamil
Farmakologi, Rumus kimia senyawa amin ini mirip papaverin. Khasiat vasodilatasinya
tidak sekuat nifedipin dan derivatnya, tetapi efek inotrop negatifnya lebih besar. Bekerja
kronotrop ringan dan memperlambat penyaluran impuls AV.
Penggunaan, digunakan pada angina variant/stabil, hipertensi dan aritmia tertentu (antara
lain takikardia supraventrikuler, fibrilasi serambi)
Diltiazem
Farmakologi, derivat benzothiazin ini berkhasiat vasodilatasi lebih kuat dar verapamil,
tetapi efek inotrop negatifnya lebih ringan.
Penggunaan, sama dengan verapamil pada angina variant/stabil, hipertensi, dan aritmia
tertentu (6).

2.2.4 ANTIHIPERTENSI.
a. Pendahuluan
Hipertensi adalah penyakit kompleks yang ditandai dengan adanya tekanan diastolic
lebih dari 90 mmHg pada saat istirahat, kecuali pada isolated systolic hypertension, dengan
adanya peningkatan tekanan sistolik tanpa disertai peningkatan tekanan diastolik. Ada
hipertensi yang tidak diketahui sebabnya (hipertensi esensial) atau hipertensi sekunder
dengan sebab yang jelas, misalnya penyakit ginjal, penyakit renovaskuler, berbagai penyakit
endokrin, coarcttion of the orta, dan obat-obatan (6).
Hipertensi biasanya asimptomatik (tidak ada gejala). Tetapi hipertensi kronis
menyebabkan komplikasi tertentu (gagal jantung, gagal ginjal, stroke, dan iskemia miocard).
Walaupun sulit untuk memberikan definisi yang persis mengenai derajat keparahan
hipertensi, patokan kerja yang dapat digunakan, antara lain :
Hipertensi ringan (135/85-140/90 mmHg).
Hipertensi sedang (140/90-160/100 mmHg).
Hipertensi berat (> 160/100 mmHg).
Hipertensi Emergensi (tekanan diastolik > 120 mmHg, atau jika ada ensefalopati dengan
tekanan darah berapa pun).
Terapi hipertensi umumnya merupakan terapi obat seumur hidup, dan karena itu harus hati-
hati memastikan bahwa diagnosis adalah benar.

b. Mekanisme Kerja Obat-Obat Antihipertensi


Walaupun semua obat antihipertensi yang dibicarakan di sini menurunkan tekanan
darah, sampai sejauh ini hanya diuretik dan -blockers yang telah terbukti mencegah
komplikasi jangka panjang hipertensi. Semua obat-obat antihipertensi lainnya digunakan
dengan anggapan bahwa penurunan tekanan darah merupakan kunci dalam mencegah
komplikasi-komplikasi tersebut.
1) Diuretik,
Mekanisme kerja diuretik thiazide dalam hipertensi belum jelas dan tidak dapat
dihubungkan hanya dengan efeknya pada keseimbangan garam dan air. Diuretik yang lebih
efektif, seperti furosemid, bukan merupakan obat antihipertensi yang lebih efektif. Walaupun
volume cairan intravaskular dan jumlah Na+ total dalam tubuh berkurang selama minggu
pertama terapi dengan diuretik, peningkatan renin sirkulasi terjadi, dan dalam beberapa
minggu volume intravaskular dan jumlah Na+ tubuh kembali normal, namun efek
antihipertensi menetap. Kemungkinan bahwa diuretik bekerja dengan suatu efek langsung
pada otot polos vaskular yang menyebabkan vasodilatasi. Efek tersebut dapat dihasilkan
melalui suatu pengurangan Na+ pada dinding pembuluh darah (mengubah Ca2+ dinamik)
atau melalui suatu kerja pada kanal K+. Diazoksid, suatu senyawa mirip thiazide
menyebabkan retensi Na+, merupakan suatu antihipertensi kuat, yang bekerja dengan
membuka kanal K+ sehingga menyebabkan vasodilatasi perifer.
2) -Blockers (antagonis -adrenoseptor).
Mekanisme kerja -blockers tidak dimengerti dengan jelas. Yang sekarang diketahui
adalah obat ini menyebabkan penurunan curah jantung, dengan refleks baroreseptor tidak
mengompensasi secara penuh, dan kemudian reseptor barorefleks ini diatur kembali, dan
dengan demikian resitensi perifer turun. Namun, semuanya ini menunjukkan bahwa
mekanisme kerja -blockers ini belum jelas. Hipotesis lainnya adalah obat -blockers
memiliki efek sentral, yang mengubah tonus simpatis (ini tidak cocok karena obat-obat -
blockers yang kurang menembus otak, misalnya atenolol adalah obat antihipertensi yang
sama baiknya), atau mereka menghambat pelepasan renin dari ginjal.

3) Inhibitors ACE.
Inhibitors ACE menghambat konversi Angiotensin I menjadi Angiotensin II. Senyawa
ini juga menghambat inaktivasi bradikinin. Hambatan terhdap ACE tidak hanya terjadi dalam
plasma tetapi juga didalam endothelium vaskular, menghasilkan vasodilatasi, penurunan
resistensi perifer, dan penurunan tekanan darah. Terdapat bukti bahwa inhibitor ACE
memperbaiki arteriol medial hypertrophy yang terjadi pada hipertensi dan mengurangi
hipertrofi jantung. Inhibitor ACE juga mengurangi produksi aldosterone dan retensi Na+, dan
ini juga dapat berperan dalam efek antihipertensinya.

4) Vasodilator.
Beberapa obat antihipertensi merupakan vasodilator langsung pada arterioli. Bloker
kanal kalsium (Ca-antagonis) mengurangi masuknya Ca2+ kedalam sel melalui potential-
operated Ca-chanels. Natrium Nitroprusid meniru kerja EDRF (nitrogen monoksida) pada
otot polos vaskular. Mekanisme kerja vasodilator lainnya, seperti minoksidil, hidralazin, dan
diazoksid yang bekerja langsung pada arteriol, tidak diketahui, tetapi beberapa diantaranya
mungkin bekerja dengan cara stimulasi K+-effluks dari sel-sel melalui kanal K+. Hidralazin
dan Ca antagonis menyebabkan suatu refleks takikardia, yang dapat diatasi (dan efek
antihipertensinya bertambah) dengan pemberian bersama suatu -blocker. Jika suatu
vasodilator menyebabkan retensi garam dan air, suatu diuretik dapat ditambahkan.

5) -Blocker (antagonis -adreseptor)


Obat tertentu memiliki kerja vasodilatasi langsung pada otot polos vaskular dengan
efek hambatan pada -adenoseptor, khususnya 1-adrenoseptor pascasinaptik. Contoh obat-
obat ini antara lain prazosin, doksazosin, terazosin, dan indoramin. Labetalol memiliki efek
gabungan -bloker dan -bloker yang nonspesifik.

6) Antagonis reseptor angiotensin II.


Obat-obat golongan ini antara lain losartan, valsartan, irbesartan, dan kandesartan;
menghambat kerja angiotensin II pada reseptornya. Karena inhibitor ACE menghambat hanya
sebagian konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, blokade reseptor merupakan suatu
cara yang lebih efektif untuk mengurangi kerja Angiotensin II.

7) Obat-obat yang memengaruhi kontrol saraf terhadap tekanan darah.


Obat-obat ini bekerja dengan cara yang berbeda-beda. Obat yang merupakan agonis
-adrenoseptor bekerja dengan menstimulasi -adrenoseptor pada batang otak dan
menyebabkan pengurangan fungsi sistem saraf simpatik perifer. Klonidin adalah suatu agonis
langsung pada -adrenoseptor prasinaptik. -Metildopa diperkirakan bekerja dengan cara
dikonversi didalam neuron-neuron noradrenergic menjadi -metilnoradrenalin, yang
merupakan suatu agonis alfa yang kuat. Reserpin menyebabkan pengosongan simpanan
katekolamin saraf, baik yang di saraf pusat maupun yang di perifer. Bloker neuron adrenergi,
yang meliputi betanidin, debrisokuin, dan guanetidin, menghambat pelepasan noradrenalin
dari ujung-ujung saraf simpatik perifer. Selain penggunaan metildopa pada kehamilan, obat-
obat tersebut telah digantikan oleh obat lainnya dalam pengobatan hipertensi (6).

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 MEKANISME TOKSISITAS OBAT KARDIOVASKULAR


1. Diuretik
Dalam pengobatan hipertensi, efek samping yang paling umum dari diuretik (kecuali
untuk diuretik hemat kalium) adalah kehilangan kalium. Meskipun derajat hipokalemia yang
ringan dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien, hipokalemia dapat membahayakan
orang yang menggunakan digitalis, pasien yang menderita aritmia kronis, atau pasien dengan
infark miokard akut atau disfungsi ventrikel kiri. Kehilangan kalium digabungkan ke
reabsorpsi natrium, dan pembatasan asupan sodium karena itu akan meminimalkan
kehilangan kalium. Diuretik juga dapat menyebabkan kehilangan magnesium, merusak
toleransi glukosa, dan meningkatkan konsentrasi lipid serum. Diuretik meningkatkan
konsentrasi asam urat dan bisa memicu asam urat. Penggunaan dosis rendah meminimalkan
efek metabolik yang merugikan tanpa merusak tindakan antihipertensi. Beberapa studi kasus-
kontrol telah melaporkan risiko kelebihan kecil tapi signifikan karsinoma sel ginjal yang
terkait dengan penggunaan diuretik. Diuretik hemat kalium dapat menghasilkan
hiperkalemia, terutama pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan mereka yang menggunakan
ACE inhibitor atau blocker reseptor Angiotension; spironolactone (steroid) dikaitkan dengan
gynecomastia.
Antidotum/penanganan :
Penggantian cairan.
Elektrolit pengganti:
Kembalikan biasa Na, Cl, tingkat K dan Mg ;
pertimbangkan natrium polistiren Sulfonat mengikat agen untuk hiperkalemia dari K-
sparing diuretik;
memantau tingkat digoxin

2. Metildopa
Efek yang tidak diinginkan yang paling sering terjadi pada penggunaan metildopa adalah
sedasi terbuka, terutama pada awal pengobatan. Dengan terapi jangka panjang, pasien
mengeluhkan rasa lelah mental dan konsentrasi mental terganggu. Mimpi buruk, depresi
mental, vertigo, dan tanda-tanda ekstrapiramidal mungkin terjadi tetapi relatif jarang. Laktasi,
dikaitkan dengan peningkatan sekresi prolaktin, dapat terjadi baik pada pria dan pada wanita
yang diobati dengan metildopa. Toksisitas ini mungkin dimediasi oleh penghambatan
mekanisme dopaminergik di hipotalamus.
Efek samping penting lainnya dari metildopa adalah pengembangan tes Coombs positif
(terjadi pada 10-20% dari pasien yang menjalani terapi selama lebih dari 12 bulan), yang
kadang-kadang membuat sulitnya pencocokan darah untuk transfusi dan jarang dikaitkan
dengan anemia hemolitik, sebagai obat hepatitis dan obat demam. Penghentian penggunaan
obat biasanya menghasilkan pembalikan/pengembalian yang cepat dari kelainan ini.
Penanganan :
No ipecac, AC, whole-bowel irrigation (WBI) for clonidine patch ingestions, naloxone
drip, IV fluids, sodium nitroprusside (SCN) for ini-tial hypertension.
Crystalloid fluid boluses, direct-acting vaso-pressors NE > phenylephrine.
Crystalloid fluid boluses and vasopressors (dopamine).

Klonidin
Mulut kering dan sedasi sering terjadi dan bisa berat. Kedua efek terpusat dimediasi
dan tergantung dosis dan bertepatan temporal dengan efek antihipertensi obat.
Obat tidak boleh diberikan kepada pasien yang berisiko depresi mental dan harus
ditarik jika depresi terjadi selama terapi. Pengobatan bersamaan dengan antidepresan trisiklik
dapat menghalangi efek antihipertensi dari clonidine. Interaksi diyakini karena tindakan
-adrenoceptor-blocking trisiklik.
Penarikan clonidine setelah lama digunakan, terutama dengan dosis tinggi (lebih dari
1 mg / d), dapat menyebabkan krisis hipertensi dimediasi oleh peningkatan aktivitas saraf
simpatik. Pasien menunjukkan kegelisahan, takikardia, sakit kepala, dan berkeringat setelah
menghilangkan satu atau dua dosis obat. Meskipun kejadian krisis hipertensi yang parah tidak
diketahui, itu cukup penting untuk memperingatkan kemungkinan yang bisa terjadi secara
berhati-hati pada semua pasien yang mengambil/menggunakan clonidine. Jika obat harus
dihentikan, ini harus dilakukan secara bertahap sementara agen antihipertensi lainnya diganti.
Pengobatan krisis hipertensi terdiri dari reinstitution terapi clonidine atau administrasi - dan
agen -adrenoceptor-blocking.
Pengobatan : Dekontaminasi - tidak ada ipecac, lavage oro-lambung;
IV cairan dan vasoMech (mobil-DIAC dan perifer Na channel blocker)

Guanethidin :
Penggunaan terapi guanethidine sering dikaitkan dengan gejala hipotensi postural dan
setelah latihan, terutama bila obat diberikan dalam dosis tinggi, dan dapat menghasilkan
penurunan aliran darah ke jantung dan otak atau bahkan kejutan nyata yang membahayakan.
Guanethidine-induced sympathoplegia pada pria dapat berhubungan dengan ejakulasi
tertunda (ke dalam kandung kemih). Guanethidine umumnya menyebabkan diare, yang
dihasilkan dari peningkatan motilitas gastrointestinal karena dominasi parasimpatis dalam
mengendalikan aktivitas otot polos usus.
Interaksi dengan obat lain dapat mempersulit terapi guanethidine. Agen
simpatomimetik, pada dosis yang tersedia di over-the-counter persiapan dingin, dapat
menghasilkan hipertensi pada pasien yang memakai guanethidine. Demikian pula,
guanethidine dapat menghasilkan krisis hipertensi dengan melepaskan katekolamin pada
pasien dengan pheochromocytoma. Ketika antidepresan trisiklik yang diberikan kepada
pasien yang memakai guanethidine, efek antihipertensi obat dilemahkan, dan diikuti dengan
hipertensi berat.

Reserpin:
Biasanya diberikan pada dosis rendah, reserpin menghasilkan hipotensi postural kecil.
Sebagian besar efek yang tidak diinginkan dari reserpin hasil dari tindakan pada otak atau
saluran pencernaan.
Dosis tinggi dari reserpin menghasilkan sedasi, lesu, mimpi buruk, dan depresi mental
yang berat; kadang-kadang, ini terjadi bahkan pada pasien yang menerima dosis rendah (0,25
mg / d). Lebih jarang, dosis rendah reserpin menghasilkan efek ekstrapiramidal menyerupai
penyakit Parkinson, mungkin sebagai akibat dari penipisan dopamin di korpus striatum.
Meskipun efek sentral ini jarang terjadi, harus ditekankan bahwa hal tersebut dapat terjadi
kapan saja, bahkan setelah pengobatan yang berbulan-bulan. Pasien dengan riwayat depresi
mental tidak harus menerima reserpin, dan obat harus dihentikan jika depresi muncul.
Reserpin agak sering menghasilkan diare ringan dan kram pencernaan dan meningkatkan
sekresi asam lambung. Obat sebaiknya tidak diberikan kepada pasien dengan riwayat ulkus
peptikum.

Propanolol:
Hasil toksisitas utama propranolol dari blokade jantung, pembuluh darah, atau
reseptor bronkial. Yang paling penting dari ini ekstensi diprediksi dari tindakan -blocking
terjadi pada pasien dengan bradikardia atau penyakit konduksi jantung, asma, insufisiensi
vaskular perifer, dan diabetes.
Ketika propranolol dihentikan setelah pemakaian rutin yang lama, beberapa pasien
mengalami sindrom penarikan, dimanifestasikan oleh kegelisahan, takikardia, peningkatan
intensitas angina, atau peningkatan tekanan darah. Infark miokard telah dilaporkan pada
beberapa pasien. Meskipun kejadian komplikasi ini mungkin rendah, propranolol tidak boleh
dihentikan secara tiba-tiba. Sindrom penarikan mungkin melibatkan up-regulasi atau
supersensitivity dari adrenoseptor.

Hidralazin:
Efek samping yang paling umum dari hydralazine adalah sakit kepala, mual,
anoreksia, jantung berdebar, berkeringat, dan pembilasan. Pada pasien dengan penyakit
jantung iskemik, takikardia refleks dan stimulasi simpatis dapat menimbulkan angina atau
aritmia iskemik. Dengan dosis 400 mg / d atau lebih, ada 10-20% kejadian-terutama pada
orang yang perlahan acetylate obat-sindrom yang ditandai dengan arthralgia, mialgia, ruam
kulit, dan demam yang menyerupai lupus eritematosus. Sindrom ini tidak terkait dengan
kerusakan ginjal dan dibalikkan oleh penghentian hydralazine. Neuropati perifer dan obat
demam adalah efek samping yang serius tapi jarang lainnya.
Penanganan: Cairan, -pressors

minoxidil:
Takikardia, palpitasi, angina, dan edema yang diamati ketika dosis blocker dan
diuretik tidak memadai. Sakit kepala, berkeringat, dan hirsutisme, yang sangat mengganggu
pada wanita, relatif umum. Minoxidil menggambarkan bagaimana toksisitas satu orang dapat
menjadi terapi orang lain. Minoxidil topikal (seperti Rogaine) digunakan sebagai stimulan
untuk pertumbuhan rambut untuk koreksi kebotakan.
Penanganan: Cairan, -pressors

Na-nitroprusida
Selain menurunkan tekanan darah yang berlebihan, toksisitas paling serius terkait
dengan akumulasi sianida; asidosis metabolik, aritmia, hipotensi yang berlebihan, dan
kematian telah menghasilkan. Dalam beberapa kasus, toksisitas setelah dosis relatif rendah
nitroprusside menyarankan cacat dalam metabolisme sianida. Administrasi natrium tiosulfat
sebagai donor sulfur memfasilitasi metabolisme sianida. Hydroxocobalamin bergabung
dengan sianida untuk membentuk cyanocobalamin tidak beracun. Keduanya telah dianjurkan
untuk profilaksis atau pengobatan keracunan sianida selama pemberian infuse nitroprusside.
Tiosianat dapat terakumulasi selama pemberian berkepanjangan, biasanya beberapa hari atau
lebih, terutama pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang tidak mengeluarkan tiosianat pada
tingkat normal. Toksisitas tiosianat dimanifestasikan sebagai kelemahan, disorientasi,
psikosis, kejang otot, dan kejang-kejang, dan diagnosis ditegakkan dengan menemukan
konsentrasi serum lebih besar dari 10 mg / dL. hipotiroidisme tertunda jarang terjadi, karena
penghambatan tiosianat serapan iodida oleh tiroid. Methemoglobinemia selama pemberian
infus nitroprusside juga telah dilaporkan.
Penanganan: Cairan, -pressors

Diazoxid:
Toksisitas paling signifikan dari diazoxide adalah hipotensi berlebihan, yang
dihasilkan dari rekomendasi untuk menggunakan dosis tetap 300 mg pada semua pasien.
Hipotensi tersebut telah mengakibatkan stroke dan infark miokard. Respon refleks simpatis
dapat memprovokasi angina, bukti elektrokardiografi iskemia, dan gagal jantung pada pasien
dengan penyakit jantung iskemik, dan diazoxide harus dihindari dalam situasi ini.
Diazoxide menghambat pelepasan insulin dari pankreas (mungkin dengan membuka
saluran kalium dalam membran sel) dan digunakan untuk mengobati hipoglikemia sekunder
untuk insulinoma. Kadang-kadang, hiperglikemia mempersulit penggunaan diazoxide,
terutama pada orang dengan insufisiensi ginjal.
Berbeda dengan diuretik thiazide struktural terkait, diazoxide menyebabkan ginjal
mengalami retensi garam dan air. Namun, karena obat ini digunakan untuk jangka pendek
saja, masalah ini jarang terjadi.
Penanganan: Cairan, -pressors

3.2 CONTOH KASUS


I. DIGOXIN
Pengertian
Glikosida adalah suatu senyawa kimia bahan alam yang apabila dihidrolisis menghasilkan
satu atau lebih gula (glikon) dan senyawa bukan gula. Jika gula yang menyusunnya glukosa
maka disebut dengan glukosida. Sedangkan jika senyawa gula yang membentuk selain
glukosa seperti ramnosa, digitoksosa, simarosa dan gula lainnya disebut glikosida. Senyawa
penyusun glikosida bukan gula disebut dengan aglikon. Berdasarkan sudut pandang biologi
glikosida sangat berperan penting dalam kehidupan tanaman yang berfungsi dalam regulasi,
proteksi dan fungsi sanitasi. Beberapa macam diantaranya merupakan agen yang aktif secara
teraupetik. Berikut diantaranya seperti untuk kardiak ada glikosida dari digitalis,
strophanthus, squill, convallaria; laksatif seperti dari tanaman senna, aloe, rhubarb, cascara
sgrada, dan frangula mengandung emodin dan glikosida antrakuinon lainnya; sinigrin
merupakan glikosida dari black mustard, yields allyl isothiocyanate merupakan irritant lokal
yang sangat kuat. Digoksin merupakan glikosida kardiotonik yang diperoleh dari daun
Digialis lanata Ehrh (family Scrophulariaceae). Digoksin digunakan untuk pengobatan gagal
jantung kongestif dan takiaritmia jantung. II.

Ciri-Ciri Keracunan Akut dan Kronis


Gejala keracunan dapat berupa: 1. Bahaya kematian akibat aritmia jantung, termasuk ektopik
ventrikel, diritmia ventrikel, takikardi atrial paroksimal dengan blok, blok jantung tingkat 2
atau 3. 2. Anoreksia, mual, muntah dan nyeri perut. 3. Perubahan persepsi warna kuning-
hijau, halusinasi visual dan psikosis. Keracunan diperberat oleh keadaan dengan

(1) hipokalemia, (2) alkalosis, (3) hipoksia, (4) hipokalsemia, (5) hipomagnesia, (6)
hipotiroidisme, (7) hiponatremia, dan (8) katekolamin. Keracunan dapat dibedakan menjadi:
A. Keracunan Akut Keracunan jenis ini lebih mudah dipahami, karena biasanya terjadi
secara mendadak setelah makan atau terkena sesuatu. Selain itu keracunan jenis ini biasanya
terjadi pada banyak orang (misal keracunan makanan, dapat mengenai seluruh anggota
keluarga atau bahkan seluruh warga kampung). Pada keracunan akut biasanya mempunya
gejala hampir sama dengan sindrom penyakit, oleh karena itu harus diingat adanya
kemungkinan keracunan pada sakit mendadak. B. Keracunan Kronis Berbeda dengan
keracunan akut, diagnosis keracunan kronis sulit dibuat, karena gejala timbul perlahan dan
lama sesudah pajanan. Gejala dapat timbul secara akut setelah pemajanan berkali-kali dalam
dosis yangreatif kecil. III.
Mekanisme digoxin
Secara normal : 1. Ionotropik positif (meningkatkan kontraktilitas jantung). 2. Kronotropik
negatif (mengurangi frekuensi denyut ventrikel pada takikardi atau fibrilasi atrium). 3.
Mengurangi aktivasi saraf simpatis. Mekanisme ketoksikan digoxin 1. Overdosis digoxin
(>1ng/ml) - Tonus simpatis : otomatisitas otot, AV node, dan sel-sel konduksi; meningkatnya
after depolarization - Menurunnya otomatisitas SA node dan konduksi AV node

- EKG : bradidisritmia, triggered takidisritmia, sinus aritmia, sinus bradikardi, berbagai


derajat AV block, kontraksi ventrikel premature, bigemini, VT, VF - Kombinasi dari
takiaritmia supraventrikel dan AV block (mis.: PAT dengan AV block derajat 2; AF dengan
AV block derajat 3) atau adanya bi-directional VT ) sangat sugestif untuk menilai adanya
keracunan glikosida jantung 2. Terjadi interaksi dengan obat lain - Kuinidin, veramapil,
amiodaron, akan menghambat P-glikoprotein, yakni transporter di usus dan di tubulus
ginjal ,sehingga terjadi peningkatan absorpsi dan penurunan sekresi digoksin, akibatnya kadar
plasma digoksin meningkat 70%-100%.. - Aminoglikosida, siklosporin, amfoterisin B
menyebabkan gangguan fungsi ginjal, sehingga ekskresi digoksin terganggu, kadar plasma
digoksin mengalami peningkatan. - Diuretik tiazid, furosemid menyebabkan hipokalemia
sehingga meningkatkan toksisitas digoksin Efek toksik digoksin berupa: a. Efek proaritmik,
yakni : penurunan potensial istirahat, menyebabkan after potential melampaui AUC serta
peningkatan automatisitas. b. Efek samping gastrointestinal: anoreksia, mual, mintah, nyeri
lambung. c. Efek samping visual: penglihatan berwarna kuning. d. Lain-lain : delirium,rasa
lelah, malaise, bingung, mimpi buruk.

Antidotum toksikologi glikosida jantung


1. Menghentikan pemberian glikosida jantung dan diuretika yang mengeluarkan K+
2. Merawat penderita di ruang intensif.
3. Memantau keadaan jantung dengan EKG secara kontinu
4. Memberikan fenitoin, lidokain, prokainamid untuk mengontrol aritmia (takiaritmia).
5. Memberikan kalium oral atau IV untuk menurunkan ikatan digitalis otot jantung sehingga
efek digitalis dihilangkan secara langsung.
6. Memberikan imunoglobin antidigoksin.
7. Menghindari kardioversia elektrikal. Imunoglobin antidigoksin Antidotum (penawar
racun) efektif untuk toksisitas digoksin atau digitoksin yang mengancam jiwa. Tersedia
dalam bentuk imunoterapi antidigoksin dengan fragmen FAB yang dimurnikan dari
antiserum antidigoksin yang diperoleh dari domba (digibind). Dosis penetralisirnya
didasarkan atas perkiraan total dosis obat tertentu atau beban total tubuh.

2. LIDOKAIN
Lidokain (Xylocaine/Lignocaine) adalah obat anestesi lokal kuat yang digunakan secara luas
dengan pemberian topikal dan suntikan. Lidokain disintesa sebagai anestesi lokal amida oleh
Lofgren pada tahun 1943. Ia menimbulkan hambatan hantaran yang lebih cepat, lebih kuat,
lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Tidak seperti prokain,
lidokain lebih efektif digunakan secara topikal dan merupakan obat anti disritmik jantung
dengan efektifitas yang tinggi. Untuk alasan ini, lidokain merupakan standar pembanding
semua obat anestesi lokal yang lain. Tiap mL mengandung: 2 (Dietilamino) N (2,6
dimetil fenil) asetamida hidroklorida.
Gambar 2.1. Struktur lidokain
FARMAKOKINETIK
Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati sawar darah otak.
Sekitar 70% (55-95%) lidokain dalam plasma terikat protein, hampir semuanya dengan alfa 1
acid glycoprotein. Distribusi berlangsung cepat, volume distribusi adalah 1 liter per
kilogram; volume ini menurun pada pasien gagal jantung. Tidak ada lidokain yang diekskresi
secara utuh dalam urin.
Jalur metabolik utama lidokain di dalam hepar (retikulum endoplasma), mengalami
dealkilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (mixed function oxidases) membentuk
monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid, yang kemudian dimetabolisme lebih lanjut menjadi
monoetilglisin dan xilidid. Kedua metabolit monoetilglisin xilidid maupun glisin xilidid
ternyata masih memiliki efek anestetik lokal.
Penyakit hepar yang berat atau perfusi yang menurun ke hepar yang dapat terjadi
selama anestesi, menurunkan kecepatan metabolisme lidokain. Bersihan lidokain mendekati
kecepatan aliran darah di hepar, sehingga perubahan aliran darah hepar akan mengubah
kecepatan metabolisme. Bersihan lidokain dapat menurun bila infus berlangsung lama. Waktu
paro eliminasi adalah sekitar 100 menit. Sebagai contoh, waktu paro eliminasi lidokain
meningkat lebih dari lima kali pada pasien dengan disfungsi hepar dibanding dengan pasien
normal. Cimetidin dan propranolol menurunkan aliran darah hepar dan bersihan lidokain.
Penurunan metabolisme hepatik terjadi pada pasien yang dianestesi dengan obat anestesi
volatil.
Paru-paru mampu mengambil obat anestesi lokal seperti lidokain. Mengikuti cepatnya
obat anestesi lokal masuk ke sirkulasi vena, ambilan paru-paru ini akan membatasi
konsentrasi obat yang mencapai sirkulasi sistemik untuk didistribusikan ke sirkulasi koroner
dan serebral.
Sambungan saraf-otot dan ganglion
Lidokain dapat mempengaruhi transmisi di sambungan saraf-otot, yaitu menyebabkan
berkurangnya respon otot atas rangsangan saraf atau suntikan asetilkolin intra-arteri;
sedangkan perangsangan listrik langsung pada otot masih menyebabkan kontraksi.

Sistem kardiovaskular
Pengaruh utama lidokain pada otot jantung ialah menyebabkan penurunan
eksitabilitas, kecepatan konduksi dan kekuatan kontraksi. Lidokain juga menyebabkan
vasodilatasi arteriol. Efek terhadap kardiovaskular biasanya baru terlihat sesudah dicapai
kadar obat sistemik yang tinggi, dan sesudah menimbulkan efek pada sistem saraf pusat.

Otot polos
In vitro maupun in vivo, lidokain berefek spasmolitik dan tidak berhubungan dengan efek
anestetik. Efek spasmolitik ini mungkin disebabkan oleh depresi langsung pada otot polos,
depresi pada reseptor sensorik, sehingga menyebabkan hilangnya tonus refleks setempat.

EFEK SAMPING
Reaksi yang tidak diinginkan yang serius jarang dijumpai, tetapi dapat terjadi akibat dosis
lebih relatif atau mutlak (toksisitas sistemik) dan reaksi alergi.

Dosis relatif lebih


Dapat terjadi bila lidokain secara tidak sengaja ke dalam arteri yang menuju otak. Hal
ini dapat terjadi pada saat memblok saraf pada daerah leher atau bila arteri kecil pada
setengah tubuh bagian atas tertusuk dan lidokain mencapai otak akibat injeksi retrograd. Pada
kasus ini dapat timbul gejala-gejala sistem saraf pusat, mungkin juga kejang pada dosis yang
diperkirakan tidak berbahaya.

Dosis lebih mutlak (toksisitas sistemik)


Toksisitas sistemik obat anestetik lokal adalah kelebihan konsentrasi obat dalam
plasma. Penjelasan konsentrasi obat anestetik lokal dalam plasma adalah kecepatan obat
masuk ke dalam sirkulasi relatif terhadap redistribusinya ke sisi jaringan yang tidak aktif dan
bersihan oleh metabolisme. Kejadian infeksi langsung intravaskular yang tidak disengaja
selama tindakan anestesi blok saraf perifer atau anestesi epidural merupakan mekanisme yang
paling umum untuk menyebabkan kelebihan konsentrasi obat anestesi lokal dalam plasma.
Jarang, kelebihan konsentrasi dihasilkan dari absorbsi dari tempat injeksinya. Besarnya
absorbsi sistemik ini tergantung pada:
Toksisitas sistemik lidokain melibatkan sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskular.

Sistem saraf pusat


Konsentrasi obat yang rendah dalam plasma mungkin menyebabkan mati rasa (baal)
pada lidah dan bibir, mungkin menggambarkan penghantaran obat ke 13 1. Dosis yang
diberikan ke dalam jaringan, 2. Vaskularisasi tempat suntikan, 3. Penambahan epinefrin
dalam larutan, 4. Sifat fisikokimia obat. daerah vaskular yang tinggi ini. Sebagai kelanjutan
dari konsentrasi plasma yang meningkat, obat dengan mudah melintasi sawar darah otak dan
menyebabkan pola perubahan sistem saraf pusat yang dapat diramalkan. Kegelisahan,
vertigo, tinitus, dan kesulitan dalam memfokus terjadi lebih awal. Peningkatan selanjutnya
dari konsentrasi obat dalam sistem saraf pusat menyebabkan ucapan seperti tertelan dan
kejang otot rangka, dan sering terjadi pertama kali pada wajah dan ekstremitas.
Efek-efek di atas dapat dianggap sebagai gejala-gejala toksik yang dapat diketahui
secara dini. Bila gejala-gejala diatas dijumpai sewaktu injeksi, suntikan harus segera
dihentikan. Reaksi toksik yang berat kemudian dapat dicegah. Bila suntikan diteruskan dapat
mengakibatkan serangan kejang tonik klonik. Serangan bersifat klasik diikuti dengan dpresi
sistem saraf pusat yang dapat juga disertai dengan hipotensi dan apnoe.
Konsentrasi plasma lidokain yang menyebabkan gejala toksisitas sistem saraf pusat
adalah 5-10 mcg/ml. Selanjutnya, metabolit aktif lidokain seperti monoetilglisin xilidid dapat
memberikan efek aditif dalam menyebabkan toksisitas sistemik setelah pemberian lidokain
epidural.

Sistem kardiovaskular
Injeksi intravena yang sangat cepat dapat menimbulkan konsentrasi yang tinggi pada
pembuluh-pembuluh koroner yang mengakibatkan depresi langsung pada miokard, mungkin
diikuti oleh henti jantung. Efek pada sirkulasi dapat timbul sebagai gejala satu-satunya,
bahkan sebelum timbul efek pada susunan saraf pusat yakni relaksasi otot polos vaskuler
arteriol. Sebagai hasil terjadi hipotensi berat yang menggambarkan penurunan tahanan
vaskuler sistemik dan laju jantung. Perlu untuk dicatat bahwa blok saraf pusat dapat
menimbulkan blok simpatis dengan hipotensi dan mungkin bradikardi.
Sebagian toksisitas jantung yang diakibatkan oleh tingginya konsentrasi plasma
lidokain dapat terjadi karena obat ini juga menghambat saluran Na jantung. Pada konsentrasi
rendah, efek pada saluran Na ini mungkin memperbesar sifat antidisritmi jantung, tetapi jika
konsentrasi plasma berlebihan, saluran Na jantung cukup dihambat sehingga konduksi dan
automatisitas didepresi dan merugikan. Kelebihan konsentrasi plasma lidokain dapat
memperlambat konduksi impuls jantung yang ditunjukkan dengan pemanjangan interval P-R
dan kompleks QRS pada elektrokardiogram. Efek pada saluran ion kalsium dan kalium juga
dapat memperbesar toksisitas jantung.

Cara mengatasi reaksi toksik


Reaksi serius harus segera diobati dengan gejala yang predominan meliputi ventilasi
paru dengan oksigen, sebab hipoksemia arterial dan asidosis metabolik terjadi dalam hitungan
detik. Kejang umum diatasi dengan oksigen dan pernafasan buatan. Hiperventilasi paru
secara aktif mengurangi efek toksik yang mana dapat menurunkan penghantaran obat anestesi
lokal ke otak, dan secara teoritis tindakan ini dapat membersihkan secara lambat obat anestesi
lokal dari otak. Barbiturat kerja singkat atau diazepam sebaiknya diberikan intravena dalam
dosis kecil dan bila perlu dapat diulang. Pilihan lain adalah pelemas otot dan pernafasan
buatan.
Depresi pada sirkulasi dapat diatasi dengan oksigenasi, merendahkan posisi kepala,
vasokonstriktor dan plasma ekspander. Henti jantung diatasi dengan pijat jantung.

Pencegahan
Reaksi alergi
Reaksi alergi terhadap lidokain adalah sangat jarang, meskipun obat ini sering
digunakan. Diperkirakan bahwa kurang dari 1% semua reaksi merugikan disebabkan oleh
karena mekanisme alergi. Malahan sangat besar respon merugikan yang sering dihubungkan
dengan reaksi alergi ternyata manifestasi kelebihan konsentrasi lidokain dalam plasma.

CUFF PIPA ENDOTRAKEA


Fungsi utama cuff adalah mengamankan jalan nafas sehingga dapat mencegah aspirasi
dan mencegah kebocoran udara nafas saat dilakukan tekanan positif, hal ini dapat terjadi
setelah cuff dikembangkan sampai tidak terdengar lagi suara nafas tetapi pengembangan ini
tidak boleh berlebihan karena dapat memberikan tekanan yang besar pada mukosa trakea
terutama dinding depan 12,13,17 1. Pilihlah konsentrasi dan dosis efektif yang terkecil 2.
Berhati-hatilah dengan konsentrasi untuk setiap teknik anestesi, dan untuk adrenalin, 3.
Menyuntik perlahan-lahan dengan aspirasi berulang kali. karena terdapat tulang rawan yang
kaku, sedangkan pada bagian belakang lebih bersifat elastis. Pada posisi ekstensi, tekanan
pada bagian posterior lebih besar disebabkan karena dorongan dari tulang vertebra servikal.
Besarnya tekanan cuff ditentukan oleh banyak faktor: volume yang diinflasi, diameter cuff
relatif terhadap trakea, kelenturan trakea dan cuff, dan tekanan intra toraks termasuk tekanan
jalan nafas (tekanan cuff meningkat pada saat batuk).
Tekanan cuff yang cukup untuk mencegah kebocoran udara nafas (tetapi tidak
sempurna) dari berbagai jenis pipa endotrakea adalah antara 20-25 mmHg dibawah tekanan
perfusi mukosa trakea (25-30 mmHg).
Tekanan cuff dapat meningkat selama anestesi umum sebagai akibat dari difusi N 2O

dari mukosa trakea ke dalam cuff pipa endotrakea.


Beberapa cara mengatasi kenaikan tekanan yang berlebihan dalam cuff pipa
endotrakea adalah dengan cara: dikempiskan secara periodik/disesuaikan kembali
tekanannya, mengisi cuff dengan NaCl fisiologis atau campuran gas anestetik, memakai pipa
endotrakea yang dilengkapi dengan pengatur tekanan pada pilot balon (dari Brandt).

DIFUSI LIDOKAIN MELINTASI CUFF PIPA ENDOTRAKEA


Telah dilaporkan bahwa larutan lidokain 4% yang diinflasikan ke dalam cuff pipa
endotrakea dapat berdifusi melintasi membran cuff. Walaupun difusi rata-rata lidokain
melintasi membran cuff berjalan lambat. Hal tersebut memungkinkan cuff berperan sebagai
reservoir anestetik lokal yang potensial untuk berdifusi menghasilkan anestesia pada mukosa
trakea. Banyaknya lidokain yang berdifusi tergantung pada konsentrasi lidokain yang
diinflasikan dan waktu.
Cuff pipa endotrakea biasanya terbuat dari polyvinyl chloride (PVC), bersifat
hidrofobik terhadap sebagian besar substansi kimia. Oleh karena itu, mekanisme difusi
lidokain melintasi membran cuff pipa endotrakea kemungkinan mirip dengan yang terjadi di
dalam ruang epidural.
Anestetik lokal pada membran saraf berada dalam dua bentuk: basa bebas non-
ionisasi dan kation terionisasi. Jumlah tiap bentuk tergantung dari pH larutan dan pKa obat,
sesuai dengan persamaan Henderson-Hasselbach:
Log ___ Kation terionisasi_ = pKa pH
Basa bebas non ionisasi
Peningkatan fraksi non-ionisasi anestetik lokal menambah kemampuan penetrasi ke

dalam saraf. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa meningkatkan fraksi non-ionisasi boleh

jadi menambah kecepatan difusi anestetik lokal melintasi membran cuff pipa endotrakea.
Meningkatkan pH larutan diprediksi dapat meningkatkan prosentase bentuk non-ionisasi, dan
dapat dicapai dengan menambahkan larutan natrium bikarbonat. Namun hal tersebut perlu
dipertimbangkan secara hati-hati, karena kemungkinan terjadinya kebocoran cuff pipa
endotrakea durante operasi dapat terjadi, dan natrium bikarbonat akan menginaktivasi
surfaktan menyebabkan atelektasis paru. Peningkatan fraksi non-ionisasi tergantung pula
pada pKa obat; dengan meningkatkan temperatur anestetik lokal akan menurunkan pKa obat
yang menyebabkan peningkatan fraksi non-ionisasi.
BATUK DAN GEJOLAK HEMODINAMIK SEWAKTU EKSTUBASI
Batuk dan gejolak hemodinamik sewaktu ekstubasi atau dikenal sebagai emergence
phenomenon adalah problem klinis sehari-hari yang secara potensial memiliki bahaya
karena dapat menyebabkan gerakan pasien yang tidak terkontrol, hipertensi, takikardia atau
aritmia, iskemi miokard, perdarahan surgikal, bronkospasme, dan peningkatan tekanan
intrakranial dan intraokular.
Berbagai teknik telah dikembangkan untuk membantu mengurangi batuk sewaktu
ekstubasi, termasuk ekstubasi dalam (pencabutan pipa endotrakea saat pasien masih dalam
pengaruh adekuat anestesi umum), pemberian opiat intravena, atau pemberian lidokain
intravena sebelum ekstubasi, karena opiat dan lidokain sistemik memiliki sifat antitusif.
Namun teknik-teknik ini memiliki keterbatasan sendiri-sendiri, opiat dapat menyebabkan
sedasi sehingga memperlama waktu pemulihan, bahkan dapat menyebabkan depresi nafas.
Telah diketahui bahwa lidokain intravena dapat menekan refleks batuk tanpa efek samping
serius sewaktu intubasi endotrakeal, ekstubasi, bronkografi, bronkoskopi, dan laringoskopi.
Lidokain intravena dengan dosis 1,0-2,0 mg/kg, menghasilkan kadar lidokain plasma 3

mcg/ml dapat menekan refleks batuk. 4,41 Namun durasi Lidokain intravena adalah pendek
(5-20 menit) Jendela yang sempit ini menyebabkan waktu pemberian optimal sewaktu
pemulihan dari anestesi umum sulit didapatkan. Lidokain intravena, sebagaimana opiat
intravena, juga menyebabkan sedasi dan menyebabkan penundaan pemulihan dari anestesi
umum.
Dollo dkk (2001) melakukan percobaan invitro dan mengemukakan bahwa lidokain
bentuk dasar dapat berdifusi sekitar 65%, sementara bentuk hidroklorida (bentuk yang
tersedia sebagai obat) hanya sedikit yaitu sebanyak 1%. Sehingga jumlah lidokain yang
diperlukan jauh lebih banyak. Alkalinisasi lidokain hidroklorida memungkinkan jumlah yang
lebih sedikit (20-40mg vs 200-500mg) dan berdifusi lebih cepat.
Dengan dasar ditemukannya konsentrasi minimum (C m) lidokain topikal yang dapat

menghambat aktivasi RAR oleh Camporesi yaitu 155 mcg/ml, maka berbagai usaha
dilakukan untuk menentukan pH lidokain teralkalinisasi yang optimal untuk berdifusi
melintasi cuff pipa endotrakea. Sebagaimana telah disebutkan di bagian pendahuluan,
akhirnya Jaichandran dkk (2008) mengemukakan pada pH 7,6 lidokain yang berdifusi paling
banyak pada 30 menit pertama, namun pada menit 90 sampai menit 300, lidokain pada pH
7,4 berdifusi lebih banyak dibanding pada pH 7,6 dan 7,8. Selain itu pada pH 7,6 dan 7,8
ditemukan endapan, sehingga menyulitkan pengosongan cuff dari balon pilot. Konsentrasi
minimum (Cm) untuk menghambat RAR ditemukan pada 90 menit pada ketiga kelompok.

Karena itu Jaichandran menyarankan campuran Lidokain HCl 2% 6cc ditambah Natrium
Bikarbonat 7,5% 0,6cc menghasilkan pH 7,4 untuk meningkatkan toleransi terhadap pipa
endotrakea dan mengurangi kejadian batuk akibat pipa endotrakea saat pemulihan dari
anestesia umum, pada operasi-operasi yang lebih dari 90 menit.

FARMAKODINAMIK
Selain menghalangi hantaran sistem saraf tepi, lidokain juga mempunyai efek penting
pada sistem saraf pusat, ganglia otonom, sambungan saraf-otot dan semua jenis serabut otot.

Sistem saraf pusat


Semua obat anestesi lokal merangsang sistem saraf pusat menyebabkan kegelisahan
dan tremor yang mungkin berubah menjadi kejang klonik. Secara umum, makin kuat suatu
anestetik, makin mudah menimbulkan kejang. Perangsangan ini akan diikuti depresi, dan
kematian biasanya terjadi karena kelumpuhan nafas.
Dollo dkk (2001) juga mengemukakan dalam penelitiannya bahwa dengan
penggunaan lidokain intracuff bekerja secara topikal pada area kontak antara cuff dengan
mukosa trakea, sehingga refleks supraglottis tetap intak, tidak ditemukan gangguan menelan,

disfonia, disfagia dan pharyngeal dryness.1 Pada pemberian lidokain intravena, lidokain
bekerja secara sistemik dan memblok seluruh reseptor di mukosa trakea sehingga ada
kekhawatiran terjadinya aspirasi.
Keuntungan lainnya dari pemberian lidokain intracuff adalah keberadaan lidokain
dalam cuff bersifat sebagai reservoir, lidokain akan terus menerus berdifusi seiring jalannya
waktu, sehingga efek blok RAR terjadi terus-menerus, hal ini tentu akan meningkatkan
toleransi terhadap pipa endotrakea, pada pasien-pasien yang menggunakan pipa endotrakea
jangka panjang, seperti pada pasien perawatan kritis.
Batuk dan peningkatan hemodinamik dalam emergence phenomenon tidak dapat
dipisahkan. Rangsangan pipa endotrakea selain menimbulkan batuk juga merangsang respon

simpatis menyebabkan peningkatan laju nadi dan tekanan darah. 1-8 Estebe dkk
mengemukakan bahwa pemberian lidokain alkalinisasi intracuff mengurangi kenaikan
tekanan darah dan laju nadi secara bermakna dibanding kelompok kontrol.

3.3 KERANGKA TEORI


3.4 KERANGKA KONSEP
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Obatgolongankardiovaskulerdapatmenimbulkanefektoksikbilapemakaiansecaraberlebihan
pada pemberiandosisnya.Contohkasuspadaobatdigoksin yang
dapatbersifattoksikhinggamenyebabkankerusakan organ tubuhhinggakematian.

4.2 Saran
Perhatikandalampenggunaanobatuntukdipahamidosis yang tepatsesuaikebutuhantubuh.

DAFTAR PUSTAKA
(1) T. Bahri, Dislipidemia Sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-
bahri3.pdf
(2) Retno,2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media Litbang Kesehatan
Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008. http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.
php/MPK/article/viewFile/1086/532

(3) Andi, Pengertian toksisitas atau keracunan obat. http:// Pengertian


toksisitas atau keracunan obat _ Four Season News.html.

(4) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo.
https://ml.scribd.com/doc/249731108/PerKBPOM-No-7-Tahun-2014
(5) Interaksi Obat-Obat Kardiovaskular.
https://ilmufarmasis.files.wordpress.com/2011/03/io-kardiovaskuler.ppt

(6) Esti,2011. Farmakologi Kardiovaskuler. Stikes Hangtuah.


http://www.estirahayu91. blogspot.com/.../normal-0-false-false-false-
en-us-zh-tw.html

(7) Kardiovaskuler. web.unair.ac.id/admin/file/f_27334_3.docx


(8) Toksisistas Kardiovaskular Scribd. https://www.scribd.com/doc/248604357/toksisitas-
kardiovaskular-docx

Anda mungkin juga menyukai