Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Judul Praktikum


Metoda Regnier
I.2 Tujuan Percobaan
Mengetahui teknik anastesi lokal dengan menggunakan metoda regnier.
Mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi kerja anastetik lokal.
I.3 Teori Dasar
Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang dapat menyebabkan terjadinya
efek anestesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran secara bertahap karena
adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute pemberiannya, anestesi umum
dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan intravena. Keduanya berbeda dalam hal
farmakodinamik maupun farmakokinetik (Ganiswara, 1995).
Tahap-tahap penurunan kesadaran dapat ditentukan dengan pengamatan yang
cermat terhadap tanda-tanda yang terjadi, terutama yang berhubungan dengan koordinasi
pusat saraf sirkulasi, respirasi, musculoskeletal dan fungsi-fungsi otonom yang lain pada
waktu-waktu tertentu. Beberapa anestetik umum berbeda potensinya berdasarkan sifat
farmakokinenik dan farmako dinamik yang berbeda pula. Selain itu sifat farmasetika
obat juga mempengaruhi potensi anestesinya. Potensi anestetik yang kuat dapat disertai
dengan potensi depresi sususan saraf pusat yang kuat, sehingga perlu dilakukan
pemantauan yang ketat, untuk menghindari turunnya derajat kesadaran sampai derajat
kematian. ( Ganiswara, 1995 ).
Anestetik lokal menghilangkan penghantaran saraf ketika digunakan secara lokal
pada jaringan saraf dengan konsentrasi tepat. Bekerja pada sebagian Sistem Saraf Pusat
(SSP) dan setiap serabut saraf. Kerja anestetik lokal pada ujung saraf sensorik tidak
spesifik. Hanya kepekaan berbagai struktur yang dapat dirangsang berbeda. Serabut saraf
motorik mempunyai diameter yang lebih besar daripada serabut sensorik. Oleh karena
itu, efek anestetika lokal menurun dengan kenaikan diameter serabut saraf, maka mulamula serabut saraf sensorik dihambat dan baru pada dosis lebih besar serabut saraf
motorik dihambat (Rochmawati dkk, 2009).
Rute pemberian anestetika lokal berhubungan erat dengan efek anestesi local yang
dihasilkan. Sebagai contoh anestetika lokal yang diberikan pada permukaan tubuh
(topikal) dapat mencapai ujung saraf sensoris dan bekerja menghambat penghantaran

impuls nyeri pada serabut saraf tersebut, sehingga terjadilah anestesia permukaan.
Anestetika local juga dapat diberikan secara injeksi ke dalam jaringan sehingga
menyebabkan hilangnya sensasi pada struktur disekitarnya. Efek yang dihasilkan disebut
anestesia infiltrasi. Salah satu obat anestetika local yang digunakan adalah lidokain. Pada
percobaan akan diamati efek anesthesia permukaan dari obat tersebut dengan metode
yang sederhana.
Eter (dietil eter, zaman dahulu dikenal sebagai sulfuric eter karena diproduksi
melalui reaksi kimia sederhana antara etil alkohol dengan asam sulfat) digunakan
pertama kali tahun 1540 oleh Valerius Cordus, botani Prusia berusia 25 tahun. Eter sudah
dipakai dalam dunia kedokteran, namun baru digunakan sebagai agen anestetik pada
manusia di tahun 1842, ketika Crawford W. Long dan William E. Clark
menggunakannya pada pasien. Namun penggunaan ini tidak dipublikasikan. Empat tahun
kemudian, di Boston, 16 Oktober 1846, William T. G. Morton memperkenalkan
demostrasi publik penggunaan eter sebagai anestetik umum (Morgan dan Mikhail, 2002).
Eter dapat dimasukkan kedalam derivat alkohol dimana H dari R-O-[H] digantikan oleh
gugus R lainnya. Eter adalah oksida organik yang berstrukur [R]-C-O-C-[R]
Eter tidak berwarna, berbau menyengat, cairan yang mudah menguap. Titik
didihnya adalah 36,2C. Cara pembuatan yang paling umum adalah dengan dehidrasi
alkohol bersama asam sulfat (Collins, 1996).

BAB II
METODOLOGI PRAKTIKUM
2.1 Alat dan Bahan
Misai
Gunting
Kelinci dewasa
Larutan lidokain
Larutan tetrakain HCl

2.2 Prosedur Kerja


1.) Kelinci ditempatkan kedalam kotaknya 1 jam sebelum percobaan dimulai. Gunting
bulu matanya, kemudian periksa refleks normal dari kedua kornea dengan sentuhan
misai secara tegak lurus.
2.) Pada waktu t=0 , teteskan 0,1 ml larutan obat yang akan diuji kedalam mata kelinci.
Percobaan ini diulangi setelah 1 menit (gunakan stopwatch)
3.) Pada menit ke 8 dengan bantuan misai diperiksa refleks mata, yaitu dengan
menyentuhkan misai tegak lurus dibagian tengah kornea sebanyak 100 kali dengan
kecepatan yang sama. Jangan terlalu keras menyentuhnya dan ritme harus diatur.
Apabila samapai 100 x tidak ada efek (kelopak mata tertutup), maka dicatat angka
100 untuk respon negatif. Tetapi jika sebelum 100 x sudah ada refleks, maka yang
dicatat adalah respon negatif sebelum mencapai angka 100.
4.) Perlakuan yang sama dari menit-menit ke: 15,20,25,30,40,50 dan 60 jika sebelum
menit-menit ke 60 pada sentuhan pertama sudah ada refleks, maka menit-menit yang
tersisa diberi angka 1.
5.) Setelah percobaan diatas selesai, mata sebelahnya diperlakukan seperti ad 4., tetapi
hanya diteteskan larutan fisiologis.
6.) Jumlah respon negatif dimuat dalam sebuah tabel dan dimulai dari menit ke 8.
Jumlah tersebut menunjukan angka regnier, dimana anastesi lokal mencapai angka
regnier 800, sedangkan angka regnier minimal angka 13.
7.) Hitunglah/jumlahkan untuk waktu-waktu tertentu semua respon negatif. Apabila
pada sekali setahun terjadi refleks kornea, maka angka yang dicatat adalah 1.
8.) Hitunglah angka rata-rata yang diberikan untuk masing-masing larutan yang
diperoleh pada 8 kali pemeriksaan refleks kornea.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan


Jumlah sentuhan reflex kedip mata menit ke Hewan

Kelinci

3.2 Pembahasan

Mata
Kanan(lidokain
)
Kiri(tetrakain)

Tabel
regnier

0
kedi
p
kedi
p

8
100

15
29

20
1

25
1

30
1

40
1

50
1

60
1

15

135
22

Pada menit ke 0, mata kanan masih masih berkedip secara normal. Hal ini terjadi
karena obat lidokain yang diteteskan ke mata bagian kanan belum mencapai efek
anastesi. Pada menit ke 8, efek obat mulai mencapai efek terapi yang ditunjukkan pada
saat kornea mata kanan diketukkan dengan misai secara tegak lurus pada mata bagian
tengah sebanyak 100kali ketukkan dan reflex mata kelinci tidak berkedip ini berarti
respon yang ditujukan positif (anestesi mulai bekerja). Pada menit ke 15, efek anastesi
mulai berkurang sehingga mata kanan kembali berkedip pada saat diketukkan dengan
misai pada kornea mata kanan sebanyak 29 kali ketukkan.
Pada menit ke 0, mata kiri masih berkedip normal. Hal ini terjadi karena obat
tetrakain yang diteteskan ke mata bagian kiri belum mencapai efek terapi. Pada menit ke
8, saat ketukkan ke 15 kali efek obat sudah mulai berkurang sehingga mata hewan uji
berkedip. Jika sebelum ketukkan mencapai 100 kali, maka pada menit selanjutnya nilai
regnier dihitung 1. Total regnier pada mata kanan hewan uji yaitu kelinci adalah 135, dan
pada mata kiri adalah 22. Hal ini menunjukkan bahwa anastesi yang digunakan masih
memberikan respon positif yang nilainya masih dalam range antara 13 sampai 800.
Pada pemberian obat lidokain, refleks berkedip pada mata kelinci lebih lama
dibandingkan dengan pemberian obat tetrakain. Hal ini membuktikan bahwa potensi
anastesi lokal pada lidokain lebih besar daripada tetrakain, karena lidokain merupakan
anastesi golongan amida yang mempunyai masa kerja yang lebih panjang yang berkaitan
dengan onset dan durasi kerja yang pendek, hal tersebut dapat dilihat pada mata kelinci
yang setelah diberi rangsang berupa ketukan pada menit ke 15 mulai berkedip kembali.
Sedangkan pada tetrakain merupakan anastesi lokal golongan ester yang memiliki onset
sekitar 15 menit dan mempunyai durasi kerja yang panjang yaitu 200 menit.
Sesuai prinsipnya anestetika lokal dapat dikatakan tercapai jika refleks okuler tidak
terjadi sampai penyentuhan 100 kali pada kornea kelinci uji. Kemungkinan hal ini terjadi
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penetesan obat yang tidak tepat kedalam
konjungtiva mata kelinci, kondisi fisiologis kelinci yang berbeda-beda sehingga respon
yang ditunjukkan pun berbeda, dosis yang diberikan masih belum tepat untuk
menimbulkan efek anestetika lokal pada hewan uji, pengamatan praktikan yang tidak
tepat atau waktu pengamatan juga mempengaruhi hasil pengamatan tersebut.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, Bertram. 1997. Farmakologi Dasar dan Terapi. Jakarta : EGC.


Mardjono, M. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru.
Gunawan. 2007. Farmakologi Dan Terapi. Jakarta : Gaya Gon.
Goodman & Gilman. 2008. Farmakologi Terapi. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai