Oleh:
1. Hilmi Himatul Aliyah (611710040)
2. Iman Nurjaman (611710044)
3. Nehemia Immanuel Blessing (611710059)
4. Siti Aisyah Ratna Putri (611710070)
4. Pemilihan dosis
Sekurang-kurangnya ada 4 peringkat dosis yang diuji dan masing-masing
dosis terdiri dari sekurang-kurangnya 3 ekor hewan uji, namun untuk
mendapatkan data yang akurat umumnya jumlah peringkat dosis dan/atau
hewan uji harus ditambah. Dosis awal (Y1) dapat diawali dari 5,50, 300,
2000 mg/kg BB sedangkan dosis selanjutnya (YN) dapatdilakukan
menggunakan persamaan
YN = Y1× 𝑅 N−l
Dimana N = dosis ke-N dan R = faktor perkalian (sedikit lebih besar dari 1
sampai 3:eth, 1,5 atau 2).
5. Volume pemberian
Volume pemberian mempunyai pengaruh terhadap toksisitas. Oleh karena
itu, sebaiknya volume pemberian dibuat sama untuk semua dosis pemerian
pada rentang yang aman.
2.1.1 Farmakokinetik
Farmakokinetik bertujuan meneliti jalannya obat, mulai dari obat masuk
kedalam tubuh dan sampai obat di absorbsi di usus, transpor dalam darah, dan
distribusi ke jaringan lain. Farmakokinetik adalah aspek farmakologi yang
mencakup nasib obat didalam tubuh, obat yang masuk kedalam tubuh akan
mengalami absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya (ADME). Obat yang
masuk ke dalam tubuh akan melalui berbagai macam cara masuknya, proses
ADME akan menimbulkan efek, baik efek samping maupun efek yang positif.
1. Absorbsi
Absorpsi adalah proses masuknya obat ke dalam pembuluh darah.
Kecepatan absorbsi (Bioavailabilitas) tergantung dari kelarutan obat yang
masuk kedalam tubuh. Proses kelarutan obat dipengaruhi oleh 3 faktor,
yaitu masuk bersama dengan makanan, karena ukuran partikel, dan adaya
kadar pH. Obat akan diabsorbsi dikulit, membran mukosa, dan usus halus.
Obat oral absorbsi terjadi di usus halus karena luas permukaannya. Obat
inhalasi, diabsorbsi dengan cepat karena di dalam epitelium paru-paru ada
ruang yang cukup luas. Jumlah obat yang diabsorbsi dan lama kerja
konsentrasi terapeutik di urin akan meningkat jika obat dikonsumsi bersama
dengan makanan dan minuman, karena setiap obat yang masuk ke dalam
tubuh manusia sisa pembuangan obat tersebut akan melalui jalanya.
Bentuk partikel yang besar seperti bentuk makropartikel, akan
menyebabkan penurunan kecepatan absorbsi di saluran pencernaan dan
memperpanjang ekskresi di urin. Keuntungan jika absorbsi lambat akan
memperkecil terjadinya. Hailey dan Glascock, melaporkan bahwa bentuk
makropartikel dapat memperkecil masalah secara langsung dibandingkan
bentuk mikropartikel tanpa mempengaruhi konsentrasi obat di saluran
kemih. Kadar pH mempunyai peranan penting dalam absorbsi. Absorbsi
akan meningkat apabila dalam suasana lingkungan yang asam. Reabsorbsi
dipengaruhi oleh kadar pH. Jika saat urin dalam keadaan basa, kebersihan
obat meningkat. Namun ketika urin dalam keadaan suasana asam (pH ≤
5,5), kebersihan obat kan semakin berkurang derastis, tetapi reabsorbsi dan
aktivitas akan meningkat.
2. Distribusi
Distribusi adalah proses yang terjadi setelah proses absorpsi, obat
setelah di distribusi akan disalurkan ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah. Selain distribusi melalui aliran darah, distribusi obat juga ditentukan
oleh sifat kimianya. Distribusi dibedakan menjadi 2 fase yaitu penyerapan
yang terjadi pada proses distribusi. Pertama, pada bagian organ yang
fungsinya sangat berprean penting dan sangat baik contohnya jantung, hati,
ginjal dan otak. Kedua, distribisi terjadi pada bagian tubuh yang tidak begitu
berperan penting dan baik misalnya otot, kulit, dan jaringan lemak. Proses
distribus akan berjalan secara jangka waktu yang panjang. Obat yang sudah
masuk dalam tubuh akan mudah larut dalam lemak dan akan distribusikan
ke dalam oragan otak, sedangkan obat yang sudah masuk kedalam tubuh
tetapi susah larut dalam lemak akan sulit untuk menembus membran sel.
Ikatan obat akan membatasi distribusi, hanya obat-obat bebas saja yang bisa
mencapai keseimbangan. Ikatan obat dengan protein ditentukan obat
terhadap protein dan kadar obat.
3. Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme adalah proses perubahan struktur
kimia obat. Proses molekul obat diubah menjadi lebih polar, berarti obat
akan lebih mudah larut dalam air dan obat akan sukar larut dalam lemak.
Sehingga biotransformasi sangat penting dalam mengakhiri kerja obat.
Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi. Enzim yang berperan
dalam biotransformasi obat akan dibedakan berdasarkan letaknya, yaitu
enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus, dan
enzim non-mikrosom. Kedua enzim terdapat dalam sel hati, namun terdapat
di dalam sel jaringan lain misalnya di ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan
plasma.
4. Ekskrei
Ekskresi adalah sisa obat yang dikeluarkan dari dalam tubuh melalui organ
ekskresi atau dalam bentuk asalnya. Obat yang setelah diproses ekskresi
akan lebih cepat larut dalam lemak, kecuali melalui pada paru. Ginjal
merupakan organ tubuh dimana tempat ekskresi yang terpenting. Ekskresi
dibagi menjadi 3 jenis. Pertama, proses filtrasi yang terjadi di glomerulus.
Kedua, proses sekresi aktif yang terjadi di dalam tubuli proksimal. Ketiga,
rearbsorpsi pasif yang terjadi di dalam tubuli proksimal dan distal. Obat
yang sudah melalui organ ginjal akan menurun efektisitasnya pada
gangguan fungsi ginjal sehingga dosis yang diberikan perlu diturunkan.
Patokan utamanya adalah kebersihan kreatinin untuk menyesuaikan dosis
yang diberikan. Obat yang sudah diekskresi oleh akan berjalan melalui
keringat, air liur, air mata, air susu dan rambut, tetapi obat dalam jumlah
yang kecil tidak akan mempengaruhi pengakhiran efek obat. Air liur
berfungsi sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obatyang akan
diberikan. Rambut berfungsi untuk menemukan logam racun dalam obat,
misalnya arsen.
Interaksi obat terjadi ketika efek suatu obat akan berubah karena adanya
obat lain atau berupa makanan dan minuman. Interaksi obat akan menghasilkan
efek yang tidak dikehendaki oleh pasien, yang seharusnya menyebabkan efek
samping obat atau efek toksisitas karena terjadi meningkatnya kadar obat di dalam
plasma darah atau sebaliknya yang akan menurunkannya kadar obat dalam plasma
darah yang menyebabkan hasil dari terapi menjadi tidak optimal atau menjadi tidak
sesuai seperti apa yang diinginkan. Sebagian besar obat baru yang akan dilepas dan
di pasarkan setiap tahunnya akan menjadikan munculnya interaksi baru antara obat
yang satudenan obat yang lainya.
2.1.4 Fenitoin
1. Farmakokinetik
a) Absorbsi
Asorbsi fenitoin yang diberikan per oral berlangsung lambat, dan
sesekali tidak lengkap. Pemberian 10% dosis yang diberikan per
oral diekskresi bersama tinja dalam bentuk yang utuh. Absorbsi
maksimal terjadi diduodenum sedangkan jejunum ileum lebih
lambat, lalu dikolon sangat sedikit,dan di rektum tidak terjadi
absrobsi. Fenitoin didistribusi ke berbagai jaringan tubuh dalam
kadar yang berbeda-beda, setelah suntikan intravena, kadar yang
terdapat dalam otak, otot skelet dan jaringan lemak lebih rendah
dari pada kadar yang berbeda di dalam hati, ginjal dan kelenjar
ludah.
b) Distribusi
Obat ini terikat kuat ada saraf sehingga kerjanya dapat bertahan
lebih lama, tetapi mulaibekerja lebih lambat dari pada fenobarbital.
Biotrasformasi terutama berlangsung dengan cara hidroksilasi oleh
enzim mikrosom hati.
c) Metabolisme
Hasil metabolitnya berupa prahidrobutanil yang sudah tidak
mempunyai khasiat antiepilepsi. Obat ini mempunyai sifat
enzimatice inducer, sehingga mengakibatkan penurunan aktifitas
fenitoin, salah satu kerugian pemberianpoli terapi yang dikatakan
menurunkan kadar fenitoin adalah karbamazepin dan valproad.
d) Ekskresi
Metabolit fenitoin diekskresi bersama empedu, kemudian
mengalami reabsorbsi lanjutan dan diekskresi melalui ginjal.
Ekskresi di ginjal, metabolit utamanya mengalami sekresi oleh
tubuli, sedangkan bentuk utuhnya mengalami reabsorbsi. Metabolit
akhir sifatnya larut dalam air. Ekskresi melalui feses
hanyasebagian saja. Ekskresi lengkap dari fenitoin terjadi setelah
72-120 jam.
2. Interaksi obat
Fenitoin dapat meningkatkan atau menurunkan kadar obat, interaksi yang
tidak terprediksi (dapat meningkatkan atau menurunkan kadar obat) atau
mengganggu fungsi obat.
BAB III
3.1 Alat dan Bahan
Alat
1) Spuit injeksi
2) Jarum oral
3) Labu ukur
4) Gelas Ukur
5) Batang pengaduk
6) Neraca Ohaus
Bahan
1) Fenitoin-Na 50mg dalam aqua pro injection
2) Fenitoin –Na 100 mg dalam aqua pro injection
3) Fenitoin –Na 200 mg dalam aqua pro injection
4) Fenitoin –Na 400 mg dalam aqua pro injection
Hewan Uji
Mencit berumur 8-12 minggu dengan berat 20-30 gram
1) Mencit kelompok A sebanyak 4 ekor
2) Mencit kelompok B sebanyak 4 ekor
3) Mencit kelompok C sebanyak 6 ekor
4) Mencit kelompok D sebanyak 4 ekor
3.2 Skema Kerja
Dilakukan Perhitungan
LD50 dan buat kurva
3.3 Perhitungan Volume dengan Dosis yang sudah ditentukan
Kelompok A
Larutan Fenitoin-Na 50 mg
Mencit 1 0,5 ml
Mencit 2 0,5 ml
Mencit 3 0,5 ml
Mencit 4 0,4 ml
Kelompok B
Larutan Fenitoin-Na 100 mg
Mencit 1 0,5 ml
Mencit 2 0,5 ml
Mencit 3 0,4 ml
Mencit 4 0,4 ml
Kelompok C
Larutan Fenitoin-Na 200 mg
Mencit 1 0,3 ml
Mencit 2 0,3 ml
Mencit 3 0,5 ml
Mencit 4 0,5 ml
Kelompok D
Larutan Fenitoin-Na 400 mg
Mencit 1 0,5 ml
Mencit 2 0,4 ml
Mencit 3 0,4 ml
Mencit 4 0,5 ml
BAB IV
Analisis Data
4.1 Data
Pada percobaan LD 50, digunakan obat phenitoin dengan pembagian 4
kelompok dosis yaitu 50 mg, 100 mg, 200 mg, dan 400 mg. Setiap
kelompok memiliki 4 mencit sebagai hewan uji, dan setiap hewan uji. Setiap
hewan uji diberi obat secara oral dengan takaran dosis yang sudah
ditentukan kemudian diamati reaksinya setelah 24 jam pemberian obat.
Pertamanya, dalam masing masing kelompok, ke4 mencit tersebut
ditimbang satu persatu.
Berat Mencit
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
I.A = II.A = III.A = 17 gr IV.A = 19 gr
I.B = II.B = III.B = 16 hr IV.B = 13 gr
I.C = II.C = III.C = 27 gr IV.C = 14 gr
I.D = II.D = III.D = 24 gr IV.D = 17 gr
25%
Persentase Rasio Kematian
20%
15%
10%
5%
0%
50 100 200 400
Dosis Fenitoin
25%
Respon Hewan Uji (%)
20%
15%
10%
5%
0%
1,699 2 2.301 2.602
Log Dosis
BAB V
Penutup
5.1 Pembahasan
Dalam pengujian untuk menentukan dan mengetahui nilai LD50 dan
dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi hewan uji dilakukan uji
toksisitas. Untuk mengetahui uji toksisitas ini dilakukan perhitungan
rasio kematian yang didapatkan dari pemberian obat fenitoin dengan
dosis 50 mg, 100 mg, 200 mg, dan 400 mg setelah 24 jam pemberian.
Dari pemberian obat tersebut didapatkan data yang selanjutnya
dilakukan perhitungan rasio kematian hewan uji dengan menggunakan
kurva yaitu dengan membandingkan log dosis obat denga rasio kematian
hewan uji. pengujian yang dilakukan untuk mengetahui nilai LD50 dan
dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi hewan uji. Rasio kematian
hewan uji ini diketahui dari jumlah hewan uji dibagi dengan jumlah
hewan uji dalam kelompok kemudian dikalikan 100% untuk mengetahui
persentasi rasio kematian hewan uji. LD 50 adalah dosis yang dapat
mengakibatkan kematian pada 50% hewan uji.
Pada dosis 50 mg tidak ditemukan adanya hewan uji yang mati
dikarenakan dosis yang diberikan merupakan dosis yang masih lazim
digunakan dan merupakan dosis yang masih dapat ditolerir oleh hewan
uji.Pada dosis 100 mg, juga tidak ditemukan adanya hewan uji yang mati
yang disebabkan karena mekanisme kerja fenitoin yang bekerja pada sel
saraf khususnya pada bagian kanal natrium. Pada dosis tingkat 200 mg
ditemukan 1 hewan uji yang mati sementara 5 lainnya hidup dengan
rasio kematian hewan uji sebesar 16,67%. Pada dosis 400 mg juga
ditemukan 1 hewan uji yang mati,sedangkan 1 lainnya hidup, dan
menimbulkan gejala toksik pada 2 yang lainnya yang mengakibatkan
kejang pada hewan uji dengan rasio kematian hewan uji sebesar 25%.
Hal ini memnandakan bahwa hasil penelitian ini berjalan sesuai dengan
teori yaitu semakin tinggi dosis maka akan meenyebabkan semakin
banyak kematian pada hewan uji. Pada dosis yang tinggi fenitoin dapat
menyebabkan penghambatan pelepasan serotonin dan norepinefrin,
serta memacu pengambilan dopamin dan menghambat kerja
monoaminoksidase.
5.2 Simpulan
Praktikum LD 50 yang kami lakukan dengan menguji keempat
kelompok mencit yaitu memberikan obat fenitoin dengan dosis 50 mg,
100mg, 200 mg, dan 400 mg. Setelah diberikan obat dengan takaran
dosis tersebut kemudian amati setelah 24 jam maka diperoleh hasil yaitu
pada dosis 50 mg tidak ditemukan kematian pada hewan uji, pada dosis
100 mg tidak ditemukan kematian pada hewan uji, pada dosis 200 mg
ditemukan 1 kematian pada hewan uji dengan rasio kematian 16,67%,
dan pada dosis 400 mg ditemukan 1 kematian pada hewan uji dengan
rasio kematian sebesar 25%. Hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin
tinggi dosis maka akan meenyebabkan semakin banyak kematian pada
hewan uji. Walaupun begitu, praktikum yang telah dijalani belum tentu
valid dan belum pasti dikarenakan ada beberapa kesalahan yang
mungkin dibuat seperti salah memberikan obat atau salah
memperlakukan hewan uji dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Tripathi,KD.2003.Essential of medical pharmacology.5th edition.New
Delhi:Jaypee