Anda di halaman 1dari 98

Obat dengan Rute Intranasal

dan Intrapulmonal
Kelompok 3 - Biofarmasetika A
Eza Muthia S. 1706078610
Jihan Namirah 1706974460
Marvella Nethania 1706034413
Nabila Junita P. 1706974523
R. Zulfa ‘Alawiyyah 1706974561
Shabrina Assafrina 1706027811
Syahilda Siti Jamadilla 1706974593
● Tujuan Terapi
● Faktor Fisiologis

Outline
● Sifat Fisikokimia Zat Aktif
● Rate-Limiting Step
● Bentuk Sediaan
● Eksipien dan Formulasi
● Evaluasi Sediaan
Rute Intranasal
Jurnal
Jurnal
Tujuan Terapi
● Obat peroral dengan presystemic
elimination tinggi, akan menjadi tidak
efektif jika bioavailabilitasnya rendah ➞
solusi: intranasal
● Perlu diabsorbsi dulu ke sirkulasi
sistemik baru kemudian berdifusi atau
ditransfer ke situs aksi
● Prinsip dan absorpsi kinetik sama
seperti peroral, tetapi fisiologi situs
administrasi berbeda
Tujuan Terapi
● Bioavailabilitas:
○ Absorbsi cepat, tetapi dosis total yang diabsorbsi bervariasi
● Keuntungan:
○ Dapat untuk efek lokal maupun sistemik
● Kerugian:
○ Ukuran partikel obat menentukan penempatan anatomik pada jalur
pernapasan
○ Dapat menstimulasi refleks batuk
○ Beberapa obat dapat tertelan
○ Luas permukaan rongga hidung kecil
Anatomi dan Faktor Fisiologis
A = Nasal Vestibule

B = Inferior Turbinate

C = Middle Turbinate

D = Superior Turbinate
Anatomi dan Faktor Fisiologis
A = Nasal Vestibule

● Area terkecil → 0,3 cm2


● Mulai dari lubang hidung
(terdapat vibrissae (rambut
hidung) sampai ujung anterior
inferior turbinates
● Dinding vestibule berubah dari
kulit, menjadi epitel skuamosa,
lalu epitel columnar secretory
bersilia pada turbinates
Anatomi dan Faktor Fisiologis
B = Inferior Turbinate dan C = Middle
Turbinate dan D = Superior Turbinate

● Dinding berbentuk mengerucut


agar dapat berfungsi sebagai
ruang udara
● Lebar: 0,5-1,0 mm
● Pada middle dan inferior:
terdapat jaringan erektil untuk
mengecilkan atau melebarkan
rongga udara
Anatomi dan Faktor Fisiologis
● Udara terinhalasi akan mengalami kontak
dengan permukaan mukosal → udara
menjadi lembab dan bersuhu panas
● Udara terinhalasi: 23oC dan 40%
kelembapan relatif → Proses pada hidung:
32oC dan 98% kelembapan relatif
● Ukuran partikel:
○ >10 μm: akan terfiltrasi oleh
vibriassae
○ 5-10 μm: terdeposit pada nasal
passage dan akan mengalami
klirens mukosiliari
○ <2 μm: lanjut ke paru-paru
Anatomi dan Faktor Fisiologis
● Laju sekresi nasal dan pergerakan siliari
○ Berbeda pada setiap orang
○ Bergantung pada kondisi tubuh
○ Semakin besar laju sekresi nasal dan semakin cepat pergerakan
siliari ➞ bioavailabilitas akan semakin kecil
■ Solusi: formulasi sediaan
● Konsentrasi dan karakteristik mukus
● Kecepatan klirens mukosiliari
● Karakter dan ketebalan membran mukosiliari
● Enzim, makrofag, dan sel lain
● Rongga hidung banyak interaksi dengan mikroba (alveoli steril)
Anatomi dan Faktor Fisiologis
● Metabolisme oleh enzim
○ Efek tidak terlalu signifikan terhadap absorpsi (kecuali peptida)
○ Bukti: bioavailabilitas propanolol, naloxone, estradiol, butorphanol
■ Peroral: 20-30%
■ Intranasal: 100%
○ Kemungkinan absorpsi 100%:
■ Laju absorpsi sangat cepat
■ Jumlah (level) enzim
Sifat Fisikokimia Zat Aktif
Butorphanol Tartarate

Nama IUPAC :
(1S,9R,10S)-17-(cyclobutylmethyl)-17-azatetracyclo[7.5.3.01,10.02,7]heptadec
a-2(7),3,5-triene-4,10-diol

Rumus Molekul : C21H29NO2

BM : 327.5 g/mol

Suhu Lebur : 216.0 °C

Each milliliter (mL) contains Butorphanol tartrate 1 or 2 mg; sodium citrate,


dihydrate, 6.4 mg; citric acid hydrous 3.3 mg; sodium chloride 6.4 mg. The pH is 4.5
(3.0 to 5.5).

In patients using a nasal vasoconstrictor (oxymetazoline) the fraction of the dose absorbed
was unchanged, but the rate of absorption was slowed. (Drug Bank)
(A.A. Hussain, 1998)
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Butorphanol#section=Springer-Nature-References
Sifat Fisikokimia Zat Aktif
● Ionisasi dan lipofilisitas senyawa dapat memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap laju penyerapan melalui membran. Berdasarkan pengamatan
penelitian disimpulkan bahwa studi in-vivo penyerapan senyawa molekul
secara rute nasal dengan berat kurang dari 300, tidak dipengaruhi secara
signifikan oleh sifat fisiko-kimia dari obat.
● Faktor-faktor seperti ukuran molekul dan kemampuan senyawa (dalam kasus
peptida) untuk membentuk ikatan hidrogen dengan komponen dari membran
lebih penting daripada lipofilisitas
● Model ini juga dapat digunakan untuk memprediksi dan keadaan ionisasi.
Misalnya, laju absorbsi in-vivo dari berat molekul kurang dari 300

(A.A. Hussain, 1998)


Sifat Fisikokimia Zat Aktif
Fexofenadine
Fexofenadine Hydrochloride
Air <1031> : Metode Ic Bentuk monohidrat: Tidak lebih dari 0,5%.
Bentuk hidrat: Antara 6,0% dan 10,0%. [Catatan Hidrat ditujukan
untuk bentuk campuran dihidrat dan trihidrat dari feksofenadin
hidroklorida].
Sisa pemijaran <301> : Tidak lebih dari 0,1%.
Logam berat <371> : Metode III Tidak lebih dari 20 bpj.
Senyawa sejenis B feksofenadin : Tidak lebih dari 0,2%. Lakukan
penetapan dengan cara Kromatografi cair kinerja tinggi seperti tertera
pada Kromatografi <931>.
Senyawa sejenis Senyawa sejenis A : feksofenadin tidak lebih dari
0,2%; hasil urai terdekarboksilasi tidak lebih dari 0,15%; cemaran lain
yang tidak diketahui tidak lebih dari 0,1% dan total cemaran tidak
lebih dari 0,5%
Wadah dan penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat tidak
tembus cahaya, pada suhu ruang terkendali.
Penandaan : Pada etiket harus dinyatakan jika dalam bentuk hidrat.

(Farmakope Indonesia Ed.V) (piao,2010)


Sifat Fisikokimia Zat Aktif
1. Berat dan ukuran molekul
Molekul ukuran 1 kDa dengan bioavailabilitasnya hanya 0,5 - 5 %
2. Kelarutan
Faktor utama penentu absorbsi, obat harus dapat terdisolusi terlebih dahulu
sebelum diabsorbsi.
3. Lipofilisitas
Permeasi obat akan meningkat seiring dengan meningkatnya lipofilisitas.
4. pKa dan koefisien partisi
Molekul yang tak terion akan terabsorbsi lebih mudah dibandingkan molekul yang
terion.

Appasaheb, Pagar Swati. (2013). A Review on Intranasal Drug Delivery System. Maharashtra, India: Departement of Pharmaceutics
Sifat Fisikokimia Zat Aktif
5. Polimorfisme
sangat berpengaruh terhadap nasal dds karena bentuk partikulatnya.
6. Chemical state of drug
Perubahan kimia molekul obat dengan menambahkan bio-cleavable lipophilic
untuk memperbaiki absorbsi obat.
7. Physical state of drug
Ukuran < 5 mikron harus dihindari karena akan inhale ke paru-paru.
Umumnya, ukuran partikel berkisar 5-10 mikron.

Appasaheb, Pagar Swati. (2013). A Review on Intranasal Drug Delivery System. Maharashtra, India: Departement of Pharmaceutics
Zat aktif untuk Spray Nasal
Kandidat ZA Nasal yang ideal harus memiliki persyaratan berikut:

● Produk obat nasal spray mengandung bahan aktif terapeutik


(zat obat) dilarutkan atau tersuspensi dalam larutan atau
campuran eksipien (mis. pengawet, viscosity modifiers,
pengemulsi, zat penyangga) dalam nonpressurized dispensers
tidak bertekanan yang dapat disemprot dan berisi zat aktif
● Kelarutan dalam air yang tepat untuk memberikan dosis yang
diinginkan dalam volume formulasi 25-150 ml.
● Tidak mengiritasi hidung
● Penghantaran klinis yang cocok untuk dosis formulasi nasal,
mis. onset aksi yang cepat.
● Dosis rendah. Umumnya, di bawah 25 mg per dosis.
● Bukan metabolit hidung yang beracun.
● Dapat diabsorbsi pada hidung dengan optimal Tambahan :
DOI: 10.21276/sjams.2016.4.8.48
Zat aktif untuk Spray Nasal
● Bahan aktif yang tersuspensi dalam sediaan lebih disukai dari zat obat yang kelarutan
dalam air yang buruk, atau peka terhadap degradasi hidrolitik, atau keduanya.
● Bahan aktif dalam jumlah yang efektif secara terapi.
● senyawa aktif dipilih dari zat-zat obat yang kelarutannya buruk yang sebaliknya sulit
untuk diformulasikan untuk penggunaan opthalmic atau injeksi. Suatu senyawa tidak
larut dalam air jika menunjukkan kelarutan "sparingly soluble", "slightly soluble",
"sangat sedikit larut", atau "praktis tidak larut" (menurut Ph. Eur. Ke-6 Ed.). Pada
sediaan nasal, bahan aktif yang lebih disukai “sangat sedikit larut” atau “praktis tidak
dapat larut”. Maka dari itu, bahan aktif yang disukai memiliki kelarutan air kurang dari
sekitar 1 mg per mL, sebagaimana diukur pada suhu kamar (antara 15 dan 25 ° C)
dan pada pH netral (pH 6,0 dan pH 8,0).

Tambahan : https://patents.google.com/patent/US20130266652A1/en
Rate-Limiting Step
Bentuk Sediaan
Intranasal
Fexofenadine HCl
● Saat ini yang tesedia hanya formulasi oral dengan dosis 30-180 mg/hari
● Dosis untuk Fexofenadine nasal 1-5 mg/nostril
● Termasuk BCS III (Solubilitas tinggi, Permeabilitas rendah)
● Untuk meningkatkan absorpsi diperlukan absorption enhancers atau
meningkatkan residence time obat di rongga hidung
O/W Microemulsion
● Keuntungan : Bersifat lipofilik dan memiliki ukuran globul yang kecil sehingga
meningkatkan penyerapan di mukosa
● Menggunakan bahan GRAS sehingga mencapai onset aksi yang cepat dan
bioavailabilitas lebih tinggi dengan toksisitas rendah
Eksipien dan Formulasi
Eksipien & Formulasi
Eksipien & Formulasi

Lauraglycol 90 dipilih menjadi fase minyak. Labrasol digunakan sebagai surfaktan dengan
Plurol Oleique CC497 sebagai co-surfaktan untuk F1 dan untuk F2 menggunakan campuran
Plurol Oleique CC497 dan PEG 400 dengan rasio 1:1 sebagai co-surfaktan
Alasan Pemilihan Eksipien
● Di antara surfaktan yang diteliti, Labrasol menunjukkan kelarutan tertinggi
untuk fexofenadine. Dengan demikian, Labrasol, suatu surfaktan dengan
panjang rantai alkil menengah (HLB 14), dipilih sebagai surfaktan. Selain itu,
telah teliti dapat meningkatkan efek pada penyerapan obat oral, transdermal
dan intranasal (Rhee et al., 2001; Zhang et al., 2004; Balakrishnan et al.,
2009a, b).
● Lauroglycol 90 dipilih sebagai fase minyak agar mencapai kelarutan obat
yang baik (Tabel 1) dan kemampuan membentuk emulsi dengan Labrasol
(Balakrishnan et al., 2009a, b).
Evaluasi Sediaan
Solubilitas

● Formulasi mikroemulsi yang terdiri dari minyak, surfaktan, co-surfaktan dan obat harus
berupa cairan bening dan isotropik di suhu sekitar dan harus memiliki sifat pelarut yang
baik untuk memungkinkan penyajian obat dalam larutan
● Penggunaan HLB yang baik untuk surfaktannya berada pada HLB 14 untuk meningkatkan
penyerapan obat oral, transdermal dan intranasal. Pada sediaan dipilih Labrasol sebab
dapat melarutkan baik itu zat hidrofobik maupun hidrofilik yang penyerapannya kurang
● Lauroglycol 90 dipilih sebagai fase berminyak karena kelarutan obatnya yang baik
● Plurol Oleique CC 497 dipilih sebagai co-surfaktan karena dilaporkan bahwa pelarutan
obat lebih mudah dalam sistem yang mengandung campurannya dengan Labrasol
Pembuatan Diagram Fase Pseudo-Ternary
Dilakukan pembuatan diagram fase untuk memudahkan
mengetahui kisaran konsentrasi komponen untuk kisaran
keberadaan mikroemulsi. Dilakukan untuk menentukan
perbandingan antara surfaktan:ko-surfaktan dalam pembuatan
mikroemulsi o/w yang optimal

Result: dibandingkan dengan surfaktan / ko-surfaktan sistem


2: 1, area keberadaan mikroemulsi o / w menjadi membesar
dan lebih tinggi pada surfaktan / ko-surfaktan sistem 3: 1.
Dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan, jumlah maksimal
air dan zat aktif yang dilarutkan dalam mikroemulsi meningkat.

Penggunaan PEG dapat meningkatkan kebasahan untuk


mengoptimalkan laju disolusi dan secara signifikan mengurangi
ukuran partikel.
● Deteksi morfologi menggunakan elektron transmisi mikroskopi
Morfologi mikroemulsi diperiksa oleh mikroskop elektron Transmisi Energi-Filtering (TEM) dengan
tegangan percepatan 80 kV. Mikroemulsi diwarnai secara negatif oleh 2% natrium fosfotungstat (pH 7)
dan ditempatkan pada kisi-kisi tembaga berlapis 400 mesh yang diikuti dengan pengeringan pada suhu
kamar sebelum pengukuran.
● Penentuan ukuran tetesan
Ukuran tetesan mikroemulsi yang dimuat dengan fexofenadine diukur dengan spektrofotometer
penghambur cahaya elektroforetik (ELS-8000, OTSUKA Electronics Co. Ltd., Jepang). Mikroemulsi
dipindahkan ke kuvet kuarsa standar, dan ukuran tetesan mikroemulsi ditentukan melalui laser He-Ne
dinamis (10mW) hamburan cahaya pada sudut 90◦ pada 25 ◦C. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan paket perangkat lunak (perangkat lunak ELS-8000) yang disediakan oleh pabrikan.
● Viskositas mikroemulsi
Viskositas mikroemulsi diukur dengan DV-E Viscometer (BROOKFIELD, USA) menggunakan spindle
16 pada kecepatan 100 rpm pada suhu kamar.
Karakteristik Fisikokimia
● Kelarutan obat harus tinggi
agar sesuai dengan volume
kecil rongga hidung
● Ukuran partikel dianalisis
dengan TEM, hasilnya
menunjukkan ukuran droplet
dibawah 100nm
(F1 tanpa PEG; F2 dengan kombinasi PEG pada cosurfaktan)

● Pada formulasi F2, kelarutannya lebih tinggi namun viskositasnya lebih rendah
dibanding dengan formulasi F1. Viskositas yang terlalu tinggi dapat memperkecil
luas permukaan tersebarnya sediaan pada nasal
● Viskositas sediaan berpengaruh terhadap aplikasi pada intranasal, formulasi
dengan viskositas tinggi lebih disukai untuk meningkatkan resident-time rata-rata
di rongga hidung.
● Tingkat penetrasi formulasi ke dalam lendir menurun seiring dengan
meningkatnya viskositas formulasi, hal ini menyebabkan obat lama untuk
mencapai permukaan sel
Analisis in vitro
Emulsi, berukuran nano, harus memiliki profil pelepasan obat yang dapat
diprediksi. Metode yang digunakan adalah metode transpor sel difusi side-by-side.

Teknik The bulk equilibrium reverse dialysis bag yang dipilih dalam studi disolusi
mengatasi kekurangan metode sel difusi berdampingan side-by-side dan teknik
bulk equilibrium dialysis bag dengan mengencerkan emulsi berukuran submikron
di ruang donor dan dengan meningkatkan luas permukaan membran meresap.
Untuk meniru kondisi fisiologi di rongga hidung (pH sekresi hidung biasanya di
wilayah 5,5-6,5), dipilih buffer pH 6,5 fosfat .
1. Profil pelepasan in vitro fexofenadine dari mikroemulsi ditentukan oleh teknik
tas dialisis terbalik kesetimbangan massal menggunakan alat disolusi USP II
(ELECTROLAB TDT-08L, India).
2. Dayung dijalankan pada kecepatan 100 rpm. Media adalah 500 mL buffer
fosfat (pH 6,5), dan suhu dijaga pada 37 ± 0,5 ◦C. Kantung dialisis menahan
medium disolusi 10 mL dan diseimbangkan selama 30 menit sebelum
percobaan.
3. Mikroemulsi (5 mL) yang mengandung jumlah fexofenadine (10 mg / mL)
yang sama dibuat berdasarkan studi kelarutan secara langsung dimasukkan
ke dalam media disolusi di luar kantong dialisis.
4. Pada interval waktu yang telah ditentukan (1, 2, 3, 4, 6, 8, 12 jam), 0,1 mL
sampel ditarik dari dalam kantong dialisis dan segera diganti dengan volume
media segar yang sama. Konsentrasi fexofenadine dalam sampel ditentukan
dengan menggunakan HPLC.
Analisis in vitro
Profil pelepasan bifasik diperoleh dengan
menggunakan teknik reverse dialysis bag.
Kecepatan awal yang lebih cepat disebabkan oleh
pelepasan obat yang dilarutkan secara bebas dan
misel dari fase kontinu donor ke ruang resipien.

Tingkat yang lebih lambat dibagian akhir terjadi


karena pelepasan obat dari tetesan minyak ke
ruang penerima melalui fase kontinu dari ruang
donor. Pada formulasi, sediaan mikroemulsi lebih
cepat dilepaskan dibandingkan dengan sediaan
serbuk.
Analisis in vivo
● Menggunakan tikus Sprague-Dawley
● Pemberian intravena → larutan fexofenadine (1 mg/mL) diberikan melalui
vena femoralis dengan dosis 1mg/kg.
● Pemberian oral → larutan fexofenadine diberikan secara oral dengan
dosis 10 mg/kg.
● Administrasi intranasal → mikroemulsi F1 dan F2 (10mg/mL) dengan
dosis 1mg/kg dan fexofenadine powder 1 mg/kg
● Sampel darah (0,25 mL) diambil dari arteri femoral pada interval waktu
yang telah ditentukan selama 4 jam (kelompok pemberian intravena dan
intranasal) atau 8 jam (kelompok pemberian oral)
Analisis in vivo
● Menggunakan tikus Sprague-Dawley ➝ memiliki volume rongga hidung yang cukup
untuk aplikasi zat aktif intranasal.
● Absorbsi in vivo fexofenadine setelah pemberian intranasal F1 dan F2 dibandingkan
dengan pemberian intravena larutan fexofenadine
● Administrasi intranasal F1 dan F2 menunjukkan bioavailabilitas relatif yang hampir sama ➝
62-68% terhadap pemberian IV; pemberian oral ➝ bioavailabilitas relatif 6,6%
● Administrasi intranasal memiliki Tmax lebih cepat dan Cmax lebih besar dari peroral
● Cmax fexofenadine dari F2 secara signifikan lebih tinggi (p <0,05) dibandingkan dengan F1
● Kadar plasma obat pada setiap waktu pengambilan sampel dari F2 sedikit lebih tinggi
daripada F1
● T1/2 pemberian intranasal mirip dengan IV ➝ penyerapan obat pemberian intranasal cepat
● T1/2 pemberian oral lebih panjang dari intranasal dan IV ➝ penyerapan obat peroral lambat
● Formulasi mikroemulsi menunjukkan profil plasma obat yang lebih tinggi dibandingkan
dengan formulasi bubuk.
Dibandingkan dengan bioavailabilitas oral, bioavailabilitas formulasi intranasal
fexofenadine (F1 dan F2) secara signifikan lebih tinggi dan cepat (sekitar 10 kali
lipat).

Kemungkinan dipengaruhi oleh:

● Luas permukaan spesifik yang besar dari tetesan mikroemulsi,


● Peningkatan permeasi fexofenadine karena keberadaan surfaktan, yang
mengurangi tegangan antar muka hingga hampir 0,
● Efek penghambatan dari P-gp atau efek peningkat permeasi.

Mempertimbangkan sifat pelarutan, analisis ukuran partikel, dan absorpsi in vivo,


formulasi mikroemulsi diyakini sebagai formulasi intranasal yang potensial untuk
administrasi fexofenadine intranasal dengan onset cepat.
Uji Histopatologi
● Studi sitotoksisitas hidung dilakukan dengan menggunakan tikus Sprague-Dawley
jantan.
● Formulasi mikroemulsi (F1 dan F2) yang mengandung fexofenadine 10mg/mL
diberikan secara intranasal dengan dosis 1,0 mg/kg setelah tikus dianestesi
dengan injeksi ketamin intra-peritoneal (45 mg/kg) dan acepromazine (1 mg/kg).
● Mukosa hidung dari dasar meatus inferior dibedah setelah 2 atau 24 jam
pemberian obat intranasal.
● Jaringan direndam dalam formalin netral 10% semalaman dan didehidrasi dengan
alkohol 100%, 95%, 80%, 70%, kemudian diwarnai dengan hematoxylin-eosin.
● Sampel diperiksa untuk tanda-tanda disorganisasi epitel, hilangnya silia dan
sedikit perubahan displastik.
Uji Histopatologi
● Digunakan untuk mengevaluasi perubahan
aktivitas silia pada mukosa hidung yang
diinduksi oleh formulasi mikroemulsi
fexofenadine F1 dan F2 ➝ pergantian sel
hidung dapat dipengaruhi oleh konsentrasi
dan lamanya paparan obat.
● Hasil ➝ kehilangan ciliary, adhesi, atau
pemendekan dan pelepasan sel epitel
setelah 2 jam pengobatan untuk F1 dan F2
dibandingkan dengan kondisi normal.
Namun, epitel yang rusak pulih dalam 24
jam ➝ kerusakan bersifat sementara dan
dapat dipulihkan dalam waktu singkat.
Uji Histopatologi
● Bahan yang digunakan dalam formulasi berpotensi mengakibatkan iritasi
hidung
● Solusi ➝ mengoptimalkan formulasi cairan intranasal yang mengandung
lebih dari 10% (b / b) air, lebih sedikit surfaktan dan bebas alkohol.
● Karena formulasi yang dioptimalkan mengandung 55% air, bebas dari
alkohol dan lebih sedikit surfaktan ➝ lebih sedikit iritasi hidung
● Berdasarkan kapasitas solubilisasi, ukuran tetesan dan ciliotoxicity
hidung, mikroemulsi F1 dan F2 merupakan formulasi yang optimal untuk
administrasi fexofenadine melalui hidung.
Rute Intrapulmonal
Jurnal
Jurnal
Jurnal
Tujuan Terapi
● Untuk pengobatan pada gangguan pernapasan
● Pemberian efek local langsung ke situs aksi ➝ menurunkan dosis yang
diperlukan untuk memberi efek farmakologis
● Konsentrasi rendah pada sirkulasi sistemik ➝ menurunkan efek samping
Tujuan Terapi
● Bioavailabilitas:
○ Absorbsi cepat, tetapi dosis total yang diabsorbsi bervariasi
● Keuntungan:
○ Dapat untuk efek lokal maupun sistemik
○ Lokal: onset of action cepat
○ Sistemik: luas permukaan besar, permeabilitas terhadap banyak
senyawa tinggi, protein dan peptide sedikit
● Kerugian:
○ Ukuran partikel obat menentukan penempatan anatomik pada jalur
pernapasan
○ Kesulitan menggunakan alat
Anatomi & Faktor Fisiologis
● Luas permukaan absorpsi: 70
2
m
● Ketika senyawa obat
diinhalasi: senyawa terekspos
ke membran pada mulut,
hidung, faring, trakea,
bronkus, bronkiolus, kantung
alveolus, dan alveoli ➝
decreasing diameter and
length
Anatomi & Faktor Fisiologis
Inertial Impaction
● Upper tracheobronchial regions
● Partikel dengan momentum
besar ➝ tidak dapat mengikuti
perubahan aliran udara dari
inhalasi ➝ bertabrakan dengan
dinding saluran pernapasan
● Sedimentasi ➝ deposisi
partikel karena pengaruh
gravitasi
Anatomi & Faktor Fisiologis
Brownian diffusion
● >10 μm
○ Upper airways
○ Tidak efektif
● 8 μm
○ 30 L/menit
○ 50% kemungkinan akan terjadi impaction pada
tenggorokan
● 0,5 - 5 μm
○ Tidak terjadi impaction pada NP
○ Terdeposit pada TB dan AV
○ 3 - 5 μm: TB region
○ <3 μm: AV region
● Submicron
○ Tidak mencapai situs aksi
Anatomi & Faktor Fisiologis
Terdapat 2 sel epitelial pada Alveolar Region:
● Type I pneumocytes
○ Sel tipis untuk difusi gas dan molekul obat
○ Terdapat pada 93% luas permukaan alveolar sacs
● Type II pneumocytes
○ Cuboidal cells
○ Menyimpan dan mensekresikan surfaktan
○ Mengandung 4 non-serum apoprotein (SP-A, SP-B, SP-C, SP-D):
memetabolisme sintesis lung surfactant
■ Lung surfactant: menurunkan tegangan permukaan untuk menjaga
morfologi dan fungsi penting respirasi
Anatomi & Faktor Fisiologis
● Pulmonary Barrier and Pulmonary Absorption
○ Jumlah, ketebalan, dan karakteristik mukus
○ Jumlah dan kecepatan klirens mukosiliari
○ Karakteristik dan ketebalan lapisan alveolus, epitel alveolus, dan
membran pelindung
○ Enzim
○ Makrofag
● Setalah mencapai alveoli: protein didegradasi oleh protease atau dikeluarkan
oleh makrofag menjadi sekret
Sifat Fisikokimia Zat Aktif
INSULIN

Pemerian Serbuk : putih atau hampir putih.

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, etanol, kloroform dan eter; larut dalam larutan encer
asam-asam mineral dan larutan alkali hidroksida diikuti dengan penguraian.

Baku pembanding Insulin BPFI : Insulin Sapi BPFI.

Serapan cahaya : Serapan larutan 0,05% dalam asam klorida 0,01 N menunjukkan maksimum pada
276 nm, dan serapan 0,48 sampai 0,56. Serapan cahaya Serapan larutan 0,05% dalam asam klorida
0,01 N menunjukkan maksimum pada 276 nm, dan serapan 0,48 sampai 0,56.

Susut pengeringan <1121> : Tidak lebih dari 10,0%

Sisa pemijaran <301> : Metode II Tidak lebih dari 2,0% dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan;
lakukan penetapan menggunakan 200 mg zat. Wadah dan penyimpanan : Dalam wadah kedap
udara, terlindung cahaya, pada suhu tidak lebih dari -20°. (Farmakope Indonesia Ed. V)

When administered in an inhaled form (as the product Afrezza), the time to maximum
serum insulin concentration ranges from 10-20 minutes after oral inhalation of 4 to 48
units of human insulin. (Drug Bank)
(R. I. Henkin, M.D., Ph.D., 2009)
Ukuran Partikel Zat Aktif
Penyerapan partikel oleh paru telah terbukti memiliki diameter aerodinamis
optimal dari 1 hingga 5 mm. Untuk menargetkan wilayah alveolar secara khusus,
diameter tetesan aerosol telah ditentukan tidak lebih dari 3 mm dengan partikel >
6 mm diendapkan dalam orofaring tetapi <1 mm dihembuskan selama
pernapasan pasut normal

(R. I. Henkin, M.D., Ph.D., 2009)


Sifat Fisikokimia Zat Aktif
Salbutamol sulfate (BCS CLASS 1)

Nama lain: Albuterol Sulfat, Garam a’-[(tert-butilamino)nmetil]-4-hidroksi-m-xilena-a,a’-diol sulfat (2:1)

Rumus Molekul : (C13H21NO3)2H2SO4

BM : 576,70

Salbutamol sulfat mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 101,0%
(C13H21NO3)2.H2SO4. Dihitung terhadap zat anhidrat

Pemerian : Serbuk, putih atau hampir putih

Kelarutan : Mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol, kloroform, dan eter

Air <1031> : Metode 1 tidak lebih dari 0,5%

Sisa Pemijaran <301> : Tidak lebih dari 0,1 %

Wadah dan Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, tidak tembus cahaya
Daman et al. DARU Journal of Pharmaceutical
Sciences 2014,
Sifat Fisikokimia Zat Aktif
1. Ukuran Partikel dan Ukuran Molekul
● Deposisi partikel besar di conducting airways dan mouth-throat
region dengan mekanisme impaksi inersia
● Deposisi partikel yang lebih kecil di bronkiolus dan alveolar dengan
mekanisme gravitasi terhirup
● Deposisi partikel yang sangat kecil di alveoli dengan mekanisme
difusi brownian
● Ukuran molekul yang idela <40 kDa

Borghardt, J., Kloft, C., & Sharma, A. (2018). Inhaled Therapy in Respiratory Disease: The Complex Interplay of Pulmonary Kinetic Processes. Canadian Respiratory Journal, 2018,
1-11. doi: 10.1155/2018/2732017
Dhand, et al. (2014). Role of size of drug delivery carriers for pulmonary and intravenous administration with emphasis on cancer therapeutics and lung-targeted drug delivery.
Sifat Fisikokimia Zat Aktif
2. Kelarutan
Obat harus dapat terdisolusi terlebih dahulu sebelum diabsorbsi dan saat obat
berada dalam bentuk bebas, obat dapat berdifusi dengan cepat ke dalam lung lining
fluid.

3. Lipofilisitas
Absorbsi obat akan meningkat seiring dengan meningkatnya lipofilisitas.

4. Koefisien partisi
Koefisien partisi jaringan paru tinggi berperngaruh pada afinitas terhadap jaringan
paru tinggi sehingga Retensi paru yang panjang .

Borghardt, J., Kloft, C., & Sharma, A. (2018). Inhaled Therapy in Respiratory Disease: The Complex Interplay of Pulmonary Kinetic Processes. Canadian Respiratory Journal, 2018, 1-11.
doi: 10.1155/2018/2732017
Sifat Fisikokima Zat Aktif
5. pKa obat
Cairan paru memiliki pH sekitar 6-7.

6. Higroskopisitas
Lumen alveolar memiliki kelembaban tinggi, sehingga ukuran partikel dapat
meningkat.

7. Polimorfisme dan amorf


Perubahan suatu bentuk kristal dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban.

Borghardt, J., Kloft, C., & Sharma, A. (2018). Inhaled Therapy in Respiratory Disease: The Complex Interplay of Pulmonary Kinetic Processes. Canadian Respiratory Journal, 2018,
1-11. doi: 10.1155/2018/2732017
Rate-Limiting Step
● Deposisi droplets
● Kelarutan
● Klirens:
- Mucociliary
clearance
- Klirens makrofag
● Absorpsi
Deposisi droplets

● Partikel harus terdeposisi di paru-paru untuk selanjutnya bisa di disolusi


● Diameter partikel yang memiliki potensi lebih tinggi untuk terdeposisi di
paru-paru adalah 0.5–5 µm
● Ukuran partikel yg lebih kecil biasanya lebih terdeposisi di perifer paru-paru,
seperti di tempat alveolar, sedangkan partikel yang lebih besar terdeposisi
lebih sentral, seperti di conducting airways
● Partikel yang lebih besar dari 5  µm terdeposisi di area mouth-throat yang
akan mengurangi lung dose → lung dose merupakan total fraksi yang
terdeposisi di paru-paru
Kelarutan

● Setelah terdeposisi → harus terdisolusi pada lapisan cairan paru-paru


● Disolusi obat yang lambat sebagai RLS bisa diinginkan untuk
memperpanjang retensi paru-paru dan efek durasi, namun secara
bersamaan meningkatkan kemungkinan obat untuk diklirenskan oleh
mucociliary clearance.
● Cara meningkatkan kelarutan:
- Solvent/kombinasi solvent : antara 30%-50%.
- Memperkecil ukuran partikel
Clearance

● Bioavailabilitas dari partikel obat yang terdeposisi bergantung pada lung dose
yang terdeposisi dan proses klirens paru-paru
● Absorpsi yang cepat dari molekul obat ke darah juga bisa dianggap sebagai
klirens
● Klirens : mucociliary clearance dan klirens makrofag
- Semakin tebal lapisan mukus atau makin tinggi viskositas mukus →
mucociliary clearance menurun
- Klirens partikel juga bisa terjadi di alveoli dimana partikel yang
terdeposisi bisa difagositosis oleh makrofag alveolar.
- Klirens makrofag lebih lambat daripada mucociliary clearance
Absorpsi

● Tergantung efek obat yang diinginkan : lokal atau sistemik.


● Sistemik: perlu absorpsi yang cepat → menurunkan durasi efek lokal
● Lebih cepat terabsorpsi bila berada dalam bentuk molekul
● Absorpsi dari obat yang terdisolusi lebih cepat di alveolar dan lambat
di conducting airways akibat perbedaan luas area permukaan, perfusi,
dan ketebalan epitel.
Cara memperpanjang aksi obat di paru - paru

● Mikropartikel
Mikropartikel mempunyai ukuran berkisar dari diameter 1-1000 mikron →
menaikkan potensi penyerapan bahan obat
● Nanopartikel → partikel berukuran 1-100 nanometer
● Liposom
Liposom adalah vesikel sederhana dimana suatu volume cairan seluruhnya
diselubungi oleh membran yang tersusun atas molekul lipid (biasanya fosfolipid).
Liposom terbentuk secara spontan ketika lipid tersebut didispersikan ke dalam
media cair, yang kemudian membentuk vesikel dengan ukuran diameter mulai dari
puluhan nanometer hingga puluhan mikron
● Modifikasi kimia
Bentuk Sediaan Intrapulmonal
Pulmonary Drug Delivery Larutan Nebulizer

Aerosol padat (Dry


Powder Inhaler)

Aerosol
Aerosol Cair (Pressured
Metered-Dose Inhalers)
Nebulizer
Kelebihan :

- Untuk sediaan cair


- Untuk formulasi obat dalam volume besar
- Untuk anak-anak

Kekurangan:

- Tidak efisien
- Membutuhkan energi
- Tidak portable
Pressured Metered-Dose Inhalers / MDIs

Kelebihan:
● Efek kerja obat lebih cepat
● Lebih portable dan tidak membutuhkan energi
Kekurangan :
● Menggunakan propelan yang cenderung tidak
ramah lingkungan
● Efektifitas penggunaan tergantung keterampilan
pasien (butuh koordinasi antara actuation dan
inhalation)
● Hanya sedikit fraksi obat yang dapat keluar dari
inhaler dan masuk ke paru-paru
Dry Powder Inhalers / DPIs

Kelebihan :
● Tidak menggunakan propelan
● Tidak teralu membutuhkan koordinasi antara
actuation-inhalation
● Lebih stabil (hanya 1 fase)

Kekurangan
● Deposisi di baling-baling
● Aglomerasi
● Obat beragregasi: ukuran besar tidak terhirup
● Hanya mengandalkan hirupan
Sustained Release
● Obat aktif dalam jangka waktu yang lama sehingga meningkatkan
kepatuhan pasien
● SR ke saluran pernapasan menggunakan bisa dengan formulasi
liposom
● Formulasi SR yang dapat dihirup adalah untuk menghasilkan solid
lipid microparticles (SLmPs) → lebih menguntungkan
Eksipien dan Formulasi
Eksipien & Formulasi
● SLmP dibuat dengan menggunakan dua sistem pelarut yang berbeda (etanol
dan air-etanol) -> pembawa lipid yang berbeda
(dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) dan kolesterol) -> dengan / tanpa
L-leusin dalam proses spray drying.
● Mikropartikel hasil spray drying secara fisik dicampur dengan laktosa
monohidrat untuk membuat formulasi DPI akhir
● Kemudian dilakukan evaluasi dari segi karakteristik fisik serta profil pelepasan
obat in vitro dan perilaku aerosolisasi.
● SLmPs ->spherical shapes, mengurangi kecenderungan aglomerasi dan fine
particle fraction (FPF) yang tinggi
Alasan pemilihan eksipien
● Fosfolipid dan kolesterol sebelumnya telah digunakan dalam formulasi
inhalasi sebagai pembawa atau pengisi lipid padat untuk meningkatkan
penargetan obat ke paru-paru.
● Eksipien DPPC dan kolesterol dapat digunakan untuk obat yang larut dalam
air maupun yang tidak larut dalam air, serta memberikan pelepasan obat lokal
yang berkepanjangan
● Jenis sistem pelarut dan eksipien lipid memiliki efek langsung pada sifat
aerosolisasi serbuk
● Laktosa berfungsi untuk meningkatkan dispersibilitas dengan cara mengatur
agregasi yang terkait dengan gaya kohesi
● L-leusin berguna untuk membantu dispersibilitas dengan meningkatkan
dispersi bubuk dan dapat meningkatkan fraksi partikel yang dapat dihirup
Evaluasi Sediaan
Pengukuran ukuran partikel
Distribusi ukuran mikropartikel ditentukan dengan metode difraksi laser
menggunakan Malvern Mastersizer X (UK) setelah formulasi telah didispersikan
dalam medium yang sesuai (larutan jenuh SS dalam air) dan disonikasi selama 2
menit. Diameter geometris dinyatakan sebagai volume median diameter (D50%).
Juga nilai Span formulasi didefinisikan sebagai (D90% −D10%)/D50%, yang
mewakili luasnya distribusi partikel. Setiap pengukuran diulang triplo

Memindai mikroskop elektron

Morfologi partikel diamati dengan pemindaian mikroskop elektron (SEM)


menggunakan peralatan Philips XL30. Sampel dilapisi dengan emas di bawah
vakum relatif melalui Bal-Tec / SCDOOS sputter coater (Swiss) dan diperiksa di
bawah tegangan percepatan 25 kv.
Penentuan kepadatan sebenarnya
Kepadatan dinilai dengan Quantachrome helium pycnometer (USA). Dasar dari metode
ini adalah menempatkan sampel dari massa yang diketahui ke dalam sel dengan
volume yang diketahui. Secara singkat, ketika helium menembus ke dalam sel pada
ruang hampa, ia menempati seluruh volume sel, sehingga volume aktual sampel dapat
ditentukan karena volume sel diketahui. Jadi, kepadatan sebenarnya dari sampel
dihitung secara akurat. Setiap sampel dianalisis tiga kali.
Faktor fisikokimia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk komposisi lipid dan pelarut yang sama dari
formulasi (kolesterol dalam etanol), persentase SS dalam suspensi yang digunakan untuk
pengeringan semprot tidak memiliki efek yang signifikan pada ukuran SLmP yang dihasilkan
(p> 0,05). Selain itu, D50% dari formulasi semprotan kering yang diperoleh dari suspensi
etanol obat terbukti tergantung pada jenis komponen lipid, yang jauh lebih kecil untuk
mikropartikel berbasis DPPC daripada kolesterol (p <0,05).
Mengubah pelarut dari etanol menjadi air-etanol (30:70 v / v) (membentuk
kosolven) menghasilkan peningkatan nilai D50% dari DPPC dan partikel berbasis
kolesterol (p <0,05)

Peningkatan suhu inlet dari proses pengeringan semprotan berkontribusi pada


pembesaran ukuran partikel, seperti yang sebelumnya terbukti bahwa
penambahan suhu akan menyebabkan peningkatan diameter partikel

Selanjutnya, analisis ukuran partikel difraksi laser menunjukkan bahwa


pengeringan semprot bersama L-leusin dengan DPPC dan SS tidak secara
signifikan mengubah distribusi ukuran partikel terhadap sampel counterpart tanpa
L-leucine (p> 0,05).
Gambar 1a-1c → Mengubah pelarut dalam larutan umpan tidak mengubah bentuk sferis dari SLmP
berbasis kolesterol yang biasanya diperoleh melalui teknik pengeringan semprotan

Gambar 1d → Pemrosesan obat dan DPPC dalam etanol menghasilkan partikel yang mirip dengan
sampel berbasis kolesterol

pada Gambar 1e, menerapkan larutan campuran air-etanol (30:70 v / v) dalam formulasi yang terdiri dari
DPPC menghasilkan produksi partikel keriput yang sebagian besar berbentuk bola ketika etanol murni
diaplikasikan sebagai pelarut.
Gambar 1f → Diperkirakan bahwa kejenuhan kelarutan komponen formulasi pada
penguapan sebelumnya dari pelarut yang lebih mudah menguap (etanol)
mengarah pada pembentukan cangkang padat primer yang kemudian runtuh
ketika kadar air inti menguap

DPPC surface-active dapat berkontribusi pada pembentukan cangkang padat


primer ini selama tahap pembentukan partikel

Lebih banyak kecenderungan L-leusin kepada air daripada etanol dan lokalisasi
berikutnya dalam inti partikel primer menghambat kulit untuk benar-benar hancur
setelah penguapan air
Gambar 2 menunjukkan perlekatan SLmP yang diperoleh dari air-etanol (30:70 v /
v) larutan DPPC dan SS ke permukaan laktosa besar. Faktanya, pencampuran
fisik formulasi dengan laktosa monohidrat sebagai pembawa kasar mendorong
adhesi SLmP ke permukaannya. Proses ini diharapkan untuk membantu
pemisahan dan dispersi partikel dalam aliran respirator
Menggunakan komponen lipid bersama dengan obat dapat menghasilkan
pengurangan kepadatan sebenarnya dari serbuk spray-drying

Diameter aerodinamis partikel (da) adalah fungsi dari diameter geometris partikel
(d), kepadatan (ρ) dan morfologi (χ, faktor bentuk) sesuai dengan persamaan
berikut:

Partikel dengan kepadatan rendah memiliki diameter aerodinamik yang lebih kecil
daripada diameter geometrisnya. Dapat menjadi nilai yang besar untuk
mengurangi densitas dan mempengaruhi diameter aerodinamik partikel dengan
mengubah komposisi formulasi DPI
Kinerja Aerosol
● Karakteristik aerodinamis diukur
menggunakan Twin Stage Impinger
(TSI) pada laju aliran 60 L/menit
● Recovery Salbutamol Sulfat dari inhaler
dan bagian-bagian TSI yang berbeda
→ 90,1 - 95,2% dari total obat yang
dimuat.
● Jenis sistem pelarut dan eksipien lipid
memiliki efek langsung pada sifat
aerosolisasi serbuk.
● Formulasi yang menggunakan kolesterol dan etanol:
○ Peningkatan kandungan obat (F1 → F2) → tidak membuat perubahan signifikan
pada nilai FPF (P> 0,05)
○ F3 memiliki FPF lebih tinggi (%) daripada yang lain (P <0,05).
○ Pengubahan jenis pelarut kolesterol menjadi air-etanol (F5) → pengurangan FPF
yang disebabkan oleh pembesaran ukuran partikel dari SLmP
● Formulasi DPPC → Pengubahan pelarut dari etanol murni menjadi air-etanol →
meningkatkan nilai FPF (P <0,05).
● DPPC + etanol memiliki FPF rendah → agregasi dari ukuran partikel kecil
● Penambahan L-leusin ke F6 → peningkatan FPF yang tidak signifikan (P> 0,05).
● Campuran SLmP + laktosa monohidrat kasar → peningkatan FPF, dibandingkan
dengan nilai-nilai FPF dari SLmP yang tidak dikombinasi.
● Penyerapan SLmPs ke permukaan laktosa, peningkatan dalam dispersibilitas dan
deagregasi dalam aliran udara mengakibatkan peningkatan deposisi obat pada tahap 2
TSI
● Formulasi terbaik untuk SS dalam hal kinerja aerosol ➞ co-spray DPPC/L-leucine,
yang dicampur dengan laktosa kasar (dalam perbandingan 1: 9 b/b) → F12
Analisis in vitro
● Metode → dispersi
● Prosedur:
○ 10 mg dari masing-masing formulasi disuspensikan secara individual
dalam 10 mL larutan buffer salin fosfat dan diinkubasi.
○ Pada interval waktu tertentu 0,25, 0,5, 1, 2, 4, 8, dan 12 jam, tiga
tabung diambil dan masing-masing diuji untuk SS setelah disaring.
○ Nilai rata-rata 3 tabung untuk setiap interval waktu dihitung, dan
diplotkan sebagai jumlah kumulatif SS yang dilepaskan selama 12
jam.
Analisis in vitro
● Pelepasan Salbutamol Sulfat
murni cepat karena hampir semua
jumlah obat dilepaskan dalam
waktu kurang dari 30 menit
● Inhalasi mikrosfer yang
memberikan profil obat sustained
release (SR):
○ F3 (Kolesterol dalam etanol)
→ 50%
○ F6 (DPPC dalam air-etanol)
→ 35%
● Obat memiliki sifat hidrofilik, terionisasi, dan tidak larut dalam etanol → pelarut
air-etanol → obat berpartisi ke fase air selama tahap pembentukan partikel dalam
ruang spray dried → terakumulasi pada permukaan partikel saat air menguap.
● Kolesterol-etanol → SS terperangkap dalam inti SLmP karena tidak larut dalam etanol
→ tidak bermigrasi ke permukaan lipid mikropartikel.
● DPPC cenderung ditempatkan pada permukaan partikel, sementara obat sebagian
besar tetap berada dalam inti berair dari partikel primer dalam ruang spray dried
sebelum semua kadar air mengalami penguapan.
● Dengan demikian, dimungkinkan bagi DPPC untuk digunakan sebagai pembawa SS
dalam formulasi yang dapat dihirup.
● SLmP dengan FPF tinggi menunjukkan bahwa SLmP memiliki potensi untuk
menembus cukup jauh ke dalam paru-paru dan menghindari pembersihan mukosiliar di
saluran udara. Jadi durasi efek SS yang berkepanjangan bisa diharapkan dengan
bantuan SLmP ini.
Referensi
● Daman, Z., Gilani, K., Rouholamini Najafabadi, A., Eftekhari, H., & Barghi, M. (2014). Formulation of
inhalable lipid-based salbutamol sulfate microparticles by spray drying technique. DARU Journal of
Pharmaceutical Sciences, 22(1), 50. doi:10.1186/2008-2231-22-50
● Henkin, R. I. (2010). Inhaled insulin—Intrapulmonary, intranasal, and other routes of administration:
Mechanisms of action. Nutrition, 26(1), 33–39. doi:10.1016/j.nut.2009.08.001
● Hussain, A. A. (1998). Intranasal drug delivery. Advanced Drug Delivery Reviews, 29(1-2), 39–49.
doi:10.1016/s0169-409x(97)00060-4
● Piao, Hong-Mei & Balakrishnan, Prabagar & Cho, Hyun-Jong & Kim, Hyunjun & Kim, You & Chung,
Suk-Jae & Shim, Chang & Kim, Dae-Duk. (2010). Preparation and evaluation of fexofenadine
microemulsion for intranasal delivery. International journal of pharmaceutics. 395. 309-16.
10.1016/j.ijpharm.2010.05.041.
● Shargel, L., Wu-Pong, S., Yu, A. (2016). Applied biopharmaceutics: pharmacokinetics (7th ed.). New
York: Appleton. Lange Reviews/McGraw-Hill, Medical Pub. Division.
● Hillery, Anya M., et al. (2001). Drug Delivery and Targeting for Pharmacists and Pharmaceutical
Scientist. New York: Taylor & Francis.

Anda mungkin juga menyukai