Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL I
ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

Disusun oleh :

Golongan I, Kelompok II, Kelas B

1. Indah Permata (FA/08679)

2. Lattifah Pingkan A (FA/08682)

3. Khotik Sri Iryani (FA/08685)

4. Zulva Amalia (FA/08688)

Tanggal Praktikum : 6 April 2012

Dosen Jaga : ????

Asisten Jaga : Bhisma dan Ovik

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

BAGIAN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA

2012
Percobaan 2

ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

I. TUJUAN
Agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah analisis obat dalam cairan hayati

II. DASAR TEORI

Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan makhluk


hidup. Berdasarkan interaksi tersebut, maka farmakologi dibagi menjadi dua yaitu
farmakodinamik dan farmakokinetik. Dalam farmakodinamik dipelajari mengenai
pengaruh (efek) obat terhadap makhluk hidup. Sedangkan farmakokinetika adalah ilmu
yang mempelajari tentang kinetika absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat
dalam tubuh.

Farmakokinetik menentukan kecepatan mulai kerja obat, lama kerja dan


intensitas efek obat. Farmakokinetik sangat tergantung pada usia, seks, genetik, dan
kondisi kesehatan seseorang. Ada 4 fase dalam proses farmakokinetik:

1. Penyerapan (absorbsi) obat


Absorbsi ditentukan oleh bentuk sediaan, bahan pencampur obat, cara pemberian obat.
Absorbsi obat sudah dimulai sejak di mulut, kemudian lambung, usus halus, dan usus
besar. Tapi terjadi terutama di usus halus karena permukaannya yang luas, dan lapisan
dinding mukosanya lebih permeabel. Bioavailability artinya jumlah dan kecepatan
bahan obat aktif masuk ke dalam pembuluh darah, dan terutama ditentukan oleh
dosis dari obat
2. Distribusi obat
Distribusi artinya setelah obat masuk ke dalam sirkulasi darah, kemudian obat
diditribusikan ke dalama jaringan tubuh. Distribusi obat ini tergantung pada rata-
rata aliran darah pada organ target, massa dari organ target, dan karakteristik
dinding pemisah  diantara darah dan jaringan. Di dalam darah obat berada dalam
bentuk bebas atau terikat dengan komponen darah albumin, gliko-protein dan
lipo-protein, sebelum mencapai  organ target. Apabila obat telah terikat dengan
protein maka secara farmakologi obat tersebut tidak mempunyai efek terapetik
dan ditibusinya terbatas. Selain itu obat tidak dapat menembus membran sel
karena merupakan suatu komplek yang besar.
3. Metabolisme
Tempat utama metabolism  obat terjadi di hati, dan pada umumnya obat sudah
dalam bentuk tidak aktif jika sampai di hati, hanya beberapa obat tetap dalam
bentuk aktif sampai di hati. Obat-obatan di metabolisme dengan cara oksidasi,
reduksi, hidrolisis, hidrasi, konjugasi, kondensasi atau isomerisasi, yang tujuannya
supaya sisa obat mudah dibuang oleh tubuh lewat urin dan empedu.  Kecepatan
metabolisme pada tiap orang berbeda tergantung faktor genetik, penyakit yang
menyertai(terutama penyakit hati dan gagal jantung), dan adanya interaksi
diantara obat-obatan.  Dengan bertambahnya umur, kemampuan metabolisme hati
menurun sampai lebih dari 30% karena menurunnya volume dan aliran darah ke
hati.
4. Eksresi
Tempat utama terjadinya eksresi adalah di ginjal. Sedangkan sistem billier
membantu ekskresi untuk obat-obatan yang tidak diabsorbsi kembali dari sistem
pencernaan.  Sedangkan kontribusi dari intestine (usus), ludah, keringat, air susu
ibu, dan lewat paru-paru kecil, kecuali untuk obat-obat anestesi yang dikeluarkan
waktu ekshalasi.  Metabolisme oleh hati membuat obat lebih “polar” dan larut air
sehingga mudah di ekskresi oleh ginjal.  Obat-obatan dengan berat lebih dari 300
g/mol yang  termasuk grup polar dan “lipophilic” di ekskresikan lewat empedu.

Secara lebih jelasnya  Farmakodinamik menggambarkan bagaimana obat


bekerja dan mempengaruhi tubuh, melibatkan reseptor, post-reseptor dan interaksi
kimia. Farmakokinetik dan farmakodinamik membantu menjelaskan hubungan antara
dosis dan efek dari obat. Respon farmakologis tergantung pada ikatan obat pada
target. Konsentrasi obat pada reseptor mempengaruhi efek obat. Farmakodinamik
dipengaruhi oleh perubahan fisiologis tubuh seperti proses penuaan, penyakit atau
adanya obat lain. Penyakit-penyakit yang mempengaruhi farmakodinamik contohnya
adalah mutasi genetik, tirotoksikosis(penyakit gondok), malnutrisi(salah gizi) dll.

Pada hakekatnya supaya bisa diserap oleh tubuh obat harus diubah menjadi
metabolit aktifnya. Biasanya obat-obat yang demikian disebut dengan Pro drug (Pra
obat). Prodrug bersifat labil, tidak mempunyai aktivitas farmakologis, tapi dalam
tubuh akan diubah menjadi aktif. Contoh : Bioavailabilitas parasetamol ditingkatkan
oleh ester propacetamol dan sumacetamol. Kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi obat dieksresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut proses
farmakokinetik dan berjalan serentak di dalam tubuh.

Darah merupakan tumpuan proses absorbsi, distribusi, dan eliminasi. Artinya


tanpa darah, obat tidak dapat menyebar ke lingkungan badan dan dikeluarkan dari
badan. Karena itu, logis bila adanya proses absorbsi dapat ditunjukkan dengan
peningkatan kadar obat dalam darah dan adanya proses distribusi serta eliminasi
ditunjukkan dnegan pengurangan kadar obat dalam darah. Dengan kata lain,
besarnya obat yang ada dalam darah mencerminkan besarnya kadar obat di tempat
absorbsi, distribusi, dan tempat eliminasi.

Penetapan kadar obat di dalam badan dapat dianalisis dari cairan hayati lain
seperti urin, saliva atau lainya. Namun, dalam praktik, uji dengan darah paling
banyak dilakukan. Di samping tempat dominan yang dilalui obat seperti yang
dijelaskan di atas, darah juga menjadi tempat yang paling cepat dicapai oleh obat.
Sedangkan urin merupakan cairan hayati yang biasanya digunakan dalam uji fase
farmakokinetik untuk mempelajari disposisi suatu obat dan menentukan kadar suatu
obat untuk obat-obatan yang dieksresikan lewat urin, minimal 10% nya terdapat
dalam urin dalam bentuk utuh yang belum dimetabolisme.

Hasil analisis dalam farmakokinetika dinyatakan dalam parameter


farmakokinetika. Parameter farmakokinetika didefinisikan sebagai besaran yang
diturunkan secara matematis dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di
dalam cairan hayati (darah, urin,saliva dan lainnya). Parameter farmakokinetika obat
diperoleh berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan metabolitnya.

Terdapat tiga jenis parameter farmakokinetik yaitu parameter primer, sekunder,


dan turunan. Parameter farmakokinetik primer meliputi kecepatan absorbsi, Vd
(volume distribusi), Cl (klirens). Parameter farmakokinetik sekunder antara lain
adalah t 1/2 eliminasi (waktu paruh eliminasi), Ke (konstanta kecepatan eliminasi).
Sedangkan parameter farmakokinetik turunan harganya tergantung dari dosis dan
kecepatan pemberian obat Parameter farmakokinetik meliputi :
1. Parameter pokok
 Tetapan kecepatan absorbsi (Ka)
Menggambarkan kecepatan absorbsi, yaitu masuknya obat ke dalam
sirkulasi sistemik dari absorbsinya (saluran cerna pada pemberian oral,
jaringan otot pada pemberian intramuskular).
 Cl (Klirens)
Klirens adalah volume darah yang dibersihkan dari kandungan obat
persatuan waktu (Neal, 2006).
 Volume distribusi (Vd)
Volume distribusi adalah volume yang menunjukkan distribusi obat (Neal,
2006).
2. Parameter Sekunder
 Waktu paro eliminasi (t 1/2)
Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah jumlah obat
di dalam tubuh menjadi seperdua selama eliminasi (atau selama infus
yang konstan) (Katzung, 2001).
 Tetapan kecepatan eliminasi ( Kel )
Kecepatan eliminasi adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yang
akan tereliminasi dalam satu satuan waktu. Tetapan kecepatan eliminasi
menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik mencapai
keseimbangan (Neal, 2006).
3. Parameter Turunan
 Waktu mencapai kadar puncak ( tmak )
Nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai
puncak.
 Kadar puncak (Cp mak)
Kadar puncak adalah kadar tertinggi yang terukur dalam darah atau serum
atau plasma. Nilai ini merupakan hasil dari proses absorbsi, distribusi dan
eliminasi dengan pengertian bahwa pada saat kadar mencapai puncak
proses-proses tersebut berada dalam keadaan seimbang.
 Luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam sirkulasi sistemik vs waktu
(AUC)
Nilai ini menggambarkan derajad absorbsi, yakni berapa banyak obat
diabsorbsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Area dibawah kurva
konsentrasi obat-waktu (AUC) berguna sebagai ukuran dari jumlah total
obat yang utuh tidak berubah yang mencapai sirkulasi sistemik .

Parameter farmakokinetika sangat penting karena dapat menggambarkan


seberapa besar obat diabsorbsi, seberapa tepat obat dieliminasi, seberapa besar efek
terapeutik dan ketoksisikan suatu obat. Oleh karena itu agar parameter dapat
dipercaya, metode yang digunakan dalam menentukan kadar obat yang digunakan
harus memenuhi criteria sebagai berikut:

1. Selektif atau spesifik


Selektifitas metode adalah kemampuan suatu metode untuk membedakan suatu
obat dari metabolitnya, obat lahir(dalam kasus tertentu yang berkaitan) dan
kandungan endogen cuplikan hayati. Selektifitas metode menempati prioritas
utama karena bentuk obat yang akan ditetapkan dalam cuplikan hayati adalah
dalam bentuk tak berubah atau metabolitnya. Metode analisis yang digunakan
harus memiliki spesifitas yang tinggi terhadap salah satu obat yang akan
ditetapkan tersebut. Spesifik hendaknya diterapkan dengan percobaan melalui
bukti kromatografi bahwa metode spesfik untuk obat.Sebagai tambahan, standar
internal hendaknya dapat dipisahkan secara lengkap dan menunjukkan tidak
adanya gangguan senyawa-senyawa lain. Penetapan kadar secara kalorimetrik dan
spektrofotometrik biasanya kurang spesifik. Gangguan dari zat lain dapat
memperbesar kesalahan hasil (Shargel, 1998).
2. Sensitif atau peka
Sensitifitas metode berkaiatan dengan kadar terendah yang dapat diukur oleh
suatu metode analisis yang digunakan. Pemilihan metode analisis tergantung pada
tingkat sensitifitas yang dimiliki oleh metode tersebut. Hal ini dapat dipahami
karena dalam menghitung parameter farmakokinetika suatu obat, diperlukan
sederetan kadar dari waktu ke waktu. Sehingga metode analisis yang dipilih harus
dapat mengukur kadar obat tertimggi sampai yang terendah yang ada dalam
badan.
Perlu diperhatikan bahwa terdapat keterkaitan antara kespesifikan dan kepekaan
suatu metode analisis. Dalam berbagai kasus,kespesifikan suatu metode dapat
ditingkatkan dengan menurunkan kepekaan, karena dengan cara gangguan
komponen lain dalam sampel dapat ditekan. Akan tetapi, penurunan kepekaan
kadang-kadang mengakibatkan kekeliruan negative yang merugikan dalam
analissi kualitatif. Oleh karena itu, sebelum memilih suatu metode, perlu
dipertimbangkan dengan seksama manakah yang lebih dibutuhkan,kepekaan yang
maksimum atau kespesifikan yang tinggi.
3. Ketelitian (accuracy) dan ketepatan(precision)
Ketelitian(accuracy) ditunjukan oleh kemampuan suatu metode untuk
memberikan hasil pengukuran sedekat mungkin dengan true value (nilai
sesungguhnya). Ketelitian suatu metode dapat dilihat dari perbedaan anatara harga
penetapan kadar rata-rata dengan harga sebenarnya atau konsentrasi yang
diketahui.
Jika tidak ada data nilai sebenarnya atau nilai yang dianggap benar tersebut maka
tidak mungkin untuk menentukan berapa akurasi pengukuran tersebut.Presisi
menyatakan seberapa dekat nilai hasil dua kali atau lebih pengulangan
pengukuran. Semakin dekat nilai‐nilai hasil pengulangan pengukuran maka
semakin presisi pengukuran tersebut.

harga uji
Recovery= x 100 %=P %
harga sesungguhnya

harga sesungguhnya−harga uji


Kesalahan sistemik= x 100 %
harga sesungguhnya

Kesalahan sistematik=100 %−P %

Metode yang baik memberikan hasil recovery yang tinggi yaitu 75-90% atau lebih.
Ketelitian berkaian dengan purata. Bila suatu hasil itu teliti (accurate) berarti purata sama
dengan harga sebenarnya, walaupun penyebarannya lebar (luas). Dalam hubungan ini, adalah
lebih baik hasil yang kurang teliti tapi tepat daripada teliti namun kurang tepat.
Ketepatan(precision) menggambarkan hasil yang berulang-ulang tidak mengalami perbedaan
hasil (reprodusibilitas data). Dengan kata lain, ketepatan menunjukkan kedekatan hasil-hasil
pengukuran berulang. Ketepatan pengukuran hendaknya diperoleh melalui pengukuran
ulang(replikasi) dari berbagai konsentrasi obat dan melalui pengukuran ulang kurva
konsentrasi standar yang disiapkan secara terpisah pada hari yang sama. Ketepatan
berhubungan dengan penyebaran harga terhadapa purata kecil meskipun karena kesalahan
sistematik, purata berbeda agak besar dengan harga sebenarnya. Kemudian dilakukan
perhitungan statistik yang sesuai dengan penyebaran data, sperti datndar deviasi atau
koefisien variasi.

simpangan baku
Kesalahan acak ( CV )= x 100 %
purata

4. Cepat
Kecepatan berkaitan dengan banyaknya cuplikan hayati yang harus dianalisis dalam suatu
macam penelitian farmakokinetika.
5. Efisien
Metode tidak terlalu panjang karena dikhawatirkan akan menimbulkan suatu kesalahan
sistematik.

III. ALAT DAN BAHAN


Alat
1. Labu takar 5 mL
2. Tabung reaksi
3. Mikro pipet
4. Blue tip
5. Skalpel
6. Pipa kapiler
7. Sentrifuge
8. Vortex
9. Spektrofotometer dan cuvet
10. Microcup/ependorf
Bahan
1. Darah tikus
2. Darah kelinci
3. Heparin
4. Natrium nitrit 0,1 %
5. Amonium sulfamat 0,5 %
6. Asam trikloroasetat (TCA)
7. N(1-Naftil) etilendiamin 0,1 %
8. Sulfametoksasol 1 mg/mL
IV. CARA KERJA
1. Pengambilan darah tikus
Tetesi microcup dengan 5 tetes heparin

Masukkan pipa kapiler ke dalam kelopak mata kelinci, tunggu hingga darah mengalir

Tampung darah dengan microcup hingga volume nya ±3 mL


2. Pembuatan kurva baku
Masukkan darah tikus ke dalam 4 tabung reaksi @ 250 µL

Masukkan sulfametoksasol dengan kadar 25, 50, 100, 200 µg/mL ke dalam 4 tabung
reaksi berisi darah yang berbeda @ 250 µL

Masukkan 250 µL aqquadest ke dalam 1 sampel darah dalam tabung reaksi yang tersisa
sebagai blangko

Ke dalam tiap tabung reaksi tambahkan 2 mL TCA 5%, vortex selama 30 detik

Sentrifugasi selama 5 menit (2500 rpm)

Ambil 1,5 mL supernatan, encerkan dengan 2 mL aquadest, vortex selama 30 detik

Tambahkan 0,1 mL larutan NaNO2 0,1 %, vortex 30 detik, diamkan 3 menit

Tambahkan 0,2 mL larutan Ammonium sulfamat 0,5 %, vortex 30 detik, diamkan


selama 2 menit

Tambahkan 0,2 mL larutan N(1-naftil) etilendiamin 0,1 %, vortex 30 detik

Ukur absorbansi pada 545 nm

Hitung regresi linear konsentrasi sulfametoksazol vs absorbansi


Tentukan persamaan kurva baku
3. Perhitungan validasi
Masukkan darah tikus ke dalam 6 tabung reaksi @ 250 µL

Masukkan sulfametoksasol dengan kadar 40 dan 180 µg/mL ke dalam 6 tabung reaksi
berisi darah yang berbeda @ 250 µL, 3 tabung reaksi untuk tiap konsentrasi
sulfametoksazol

tambahkan ke dalam tiap tabung reaksi 2 mL TCA 5%, vortex selama 30 detik

Sentrifugasi selama 5 menit (2500 rpm)

Ambil 1,5 mL supernatan, encerkan dengan 2 mL aquadest, vortex selama 30 detik

Tambahkan 0,1 mL larutan NaNO2 0,1 %, vortex 30 detik, diamkan 3 menit

Tambahkan 0,2 mL larutan Ammonium sulfamat 0,5 %, vortex 30 detik, diamkan


selama 2 menit

Tambahkan 0,2 mL larutan N(1-naftil) etilendiamin 0,1 %, vortex 30 detik

Ukur absorbansi pada 545 nm

Hitung kadar sulfametoksazol terukur dengan persamaan kurva baku yang telah
ditentukan
V. DATA PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN

 Data Kurva Baku

Kadar Obat
Data Sampel Absorbansi
(µg/ml) Kurva Baku (y=bx+a)

25 0,088 a = 0,1106
50* 1,029 b = 0,007
Data Tikus
100 0,415 r = 0,972
200 1,529 y = 0,007x+0,1106
25* 0,207 a = 0,0399
50 0,19 b = 0,0019
Data Kelinci
100* 0,167 r = 0,973
200 0,414 y = 0,0019x + 0,0399
25 0,119 a = 0,0306
50 0,125 b = 0,0018
Data Urin
100 0,188 r = 0,980
200 0,394 y = 0,0018x + 0,0306

Keterangan : λ = 545 nm
* data direject

 Data Absorbansi Sampel Darah (Validasi)

Absorbansi
Data Sampel Kadar (µg/ml)
Replikasi I Replikasi II Replikasi III
Data Tikus 40 0,130 0,046 0,038
180 0,193 0,126 0,146
Data Kelinci 40 0,283 0,292 0,511
180 0,525 0,763 1,188
Data Urin 40 0,147 0,255 0,231
180 0,235 0,326 0,490
 Perhitungan Larutan Stok

V1.M1 = V2.M2

Keterangan:

V1 = Volume sulfametoksazol yang diambil (ml)

V2 = Volume labu takar (ml)

M1 = Konsentrasi/kadar sulfametoksazol stok (g/ml)

M2 = Konsentrasi/kadar yang diinginkan (g/ml)

Kadar stok sulfametoksasol= 1 mg/ml = 1000 g/ml

a. Kadar 25 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 5 ml. 25 g/ml
V1 = 0,125 ml = 125 l
b. Kadar 50 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 5 ml. 50 g/ml
V1 = 0,25 ml = 250 l
c. Kadar 100 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 5 ml. 100 g/ml
V1 = 0,5 ml = 500 l
d. Kadar 200 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 5 ml. 200 g/ml
V1 = 1 ml
e. Kadar 300 g/ml
V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 5 ml. 300 g/ml
V1 = 1,5 ml

f. Kadar 400 g/ml


V1.M1 = V2.M2
V1. 1000 g/ml = 5 ml. 400 g/ml
V1 = 2 ml
 Perhitungan Kadar Sampel Darah Tikus
Kurva baku y = 0,0076x - 0,1106
a. Kadar 40 µg/ml
Replikasi 1  y = 0,130
0,130 = 0,0076x - 0,1106
0, 2406 = 0,0076x
x = 31,658 g/ml
Replikasi 2  y = 0,046
0,046 = 0,0076x - 0,1106
0, 1566 = 0,0076x
x = 20,605 g/ml
Replikasi 3  y = 0,038
0,038 = 0,0076x - 0,1106
0,1486 = 0,0076x
x = 19,553 g/ml
Kadar Rata-Rata = (31,658 + 20,605 + 19,553) g/ml
3
= 23,939 g/ml
SD = 0,051
CV = 0,051 x 100% = 0,213%
23,939

Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100%


kadar diketahui
Replikasi 1 = 31,658 x 100% = 79,145 %
40
Replikasi 2 = 20,605 x 100% = 51,5125 %
40

Replikasi 3 = 19,553 x 100% = 48,8825 %


40
Rata-Rata Recovery= (79,145% + 51,5125% + 48,8825%) = 59,847%
3

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery


Replikasi 1 = 100% - 79,145% = 20,855%
Replikasi 2 = 100% - 51,5125% = 48,4875%
Replikasi 3 = 100% - 48,8825% = 51,1175%
Rata-rata kesalahan sistemik = (20,855%) + (48,4875%) + (51,1175%)
3
= 40,153%
b. Kadar 180 µg/ml
Replikasi 1  y = 0,193
0,193 = 0,0076x - 0,1106
0,3036 = 0,0076x
x = 39,947 g/ml
Replikasi 2  y = 0,126
0,126 = 0,0076x - 0,1106
0,2366 = 0,0076x
x = 31,132 g/ml
Replikasi 3  y = 0,146
0,146 = 0,0076x - 0,1106
0,2566 = 0,0076x
x = 33,763 g/ml
Kadar Rata-Rata = (39,947+31,132+33,763 ) g/ml
3
= 34,947 g/ml
SD = 0,034
CV = 0,034 x 100% = 0,097%
34,947
Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100%
kadar diketahui
Replikasi 1 = 39,947 x 100% = 22,193%
180
Replikasi 2 = 31,132 x 100% = 17,296%
180
Replikasi 3 = 33,763 x 100% = 18,757%
180
Rata-Rata Recovery= (22,193%+17,296%+18,757%) = 19,415%
3

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery


Replikasi 1 = 100% - 22,193% = 77,807%
Replikasi 2 = 100% - 17,296% = 82,704%
Replikasi 3 = 100% - 18,757% = 81,243%
Rata-rata kesalahan sistemik = 77,807% + 82,704% 81,243%
3
= 80,585%
 Perhitungan Kadar Sampel Darah Kelinci
Kurva baku y = 0,0019x + 0,0399
a. Kadar 40 µg/ml
Replikasi 1  y = 0,283
0,283 = 0,0019x + 0,0399
0,2431 = 0,0019x
x = 127,947g/ml
Replikasi 2  y = 0,292
0,292 = 0,0019x + 0,0399
0,2521= 0,0019x
x = 132,684g/ml
Replikasi 3  y = 0,511
0,511 = 0,0019x + 0,0399
0,4711= 0,0019x
x = 247,947g/ml
Kadar Rata-Rata = ( 127,947 + 132,684 + 247,947)g/ml
3
= 169,526 g/ml
SD = 0,129

CV = 0,129 x 100% = 0,076%


169,526
Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100%
kadar diketahui
Replikasi 1 = 127,947 x 100% = 319,868%
40
Replikasi 2 = 132,684 x 100% = 331,71%
40
Replikasi 3 = 247,947 x 100% = 619,868%
40
Rata-Rata Recovery= 319,868% + 331,71% +619,868%
3
= 423,815%
Kesalahan Sistemik = 100% - recovery
Replikasi 1 = 100% - 319,868% = -219,868%
Replikasi 2 = 100% - 331,71% = -231,71%
Replikasi 3 = 100% - 619,868% = -519,868%
Rata-rata kesalahan sistemik = -219,868% + (-231,71%) + (-519,868%)
3
= -323,815%
b. Kadar 180 µg/ml
Replikasi 1  y = 0,525
0,525 = 0,0019x + 0,0399
0,4851 = 0,0019x
x = 255,316 g/ml
Replikasi 2  y = 0,763
0,763 = 0,0019x + 0,0399
0,7231 = 0,0019x
x = 380,579 g/ml
Replikasi 3  y = 1,188
1,188 = 0,0019x + 0,0399
1,148 = 0,0019x
x = 604,263 g/ml
Kadar Rata-Rata = (255,316 + 380,579 + 604,263) g/ml
3
= 413,386 g/ml

SD = 0,336

CV = 0,336x 100% = 0,081%


413,386
Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100%
kadar diketahui
Replikasi 1 = 255,316 x 100% = 141,842%
180
Replikasi 2 = 380,579 x 100% = 211,433%
180
Replikasi 3 = 604,263 x 100% = 335,702%
180
Rata-Rata Recovery = 141,842% + 211,433% + 335,702%
3
= 229,659%

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery


Replikasi 1 = 100% - 141,842% = -41,842%
Replikasi 2 = 100% - 211,433% = -111,433%
Replikasi 3 = 100% - 335,702% = -235,702%
Rata-rata kesalahan sistemik = -41,842% + (-111,433%) + (-235,702%)
3
= -129,659%
 Perhitungan Kadar Sampel Urine
Kurva baku y = 0,0018x + 0,0306
a. Kadar 40 µg/ml
Replikasi 1  y = 0,147
0,147 = 0,0018x + 0,0306
0,1164 = 0,0018x
x = 64,667g/ml
Replikasi 2  y = 0,255
0,255 = 0,0018x + 0,0306
0,224 = 0,0018x
x = 124,667 g/ml
Replikasi 3  y = 0,231
0,231 = 0,0018x + 0,0306
0,2004= 0,0018x
x = 111,333 g/ml
Kadar Rata-Rata = ( 64,667 + 124,667 + 111,333)g/ml
3
= 100,222 g/ml
SD = 0,057

CV = 0,057 x 100% = 0,057%


100,222
Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100%
kadar diketahui
Replikasi 1 = 64,667 x 100% = 161,668%
40
Replikasi 2 = 124,667 x 100% = 311,668%
40
Replikasi 3 = 111,333 x 100% = 278,333%
40
Rata-Rata Recovery= 161,668% + 311,668% +278,333%
3
= 250,556%

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery


Replikasi 1 = 100% - 161,668% = -61,668%
Replikasi 2 = 100% -311,668% = -211,668%
Replikasi 3 = 100% - 278,333% = -178,333%
Rata-rata kesalahan sistemik = -61,668% + (-211,668%) + (-178,333%)
3
= -150,556%

b. Kadar 180 µg/ml


Replikasi 1  y = 0,235
0,235 = 0,0018x + 0,0306
0,204 = 0,0018x
x = 113,333 g/ml
Replikasi 2  y = 0,326
0,326 = 0,0018x + 0,0306
0,295 = 0,0018x
x = 163,889 g/ml
Replikasi 3  y = 0,490
0,490 = 0,0018x + 0,0306
0,459 = 0,0018x
x = 255 g/ml
Kadar Rata-Rata = (113,333+ 163,889 + 255) g/ml
3
= 177,407 g/ml

SD = 0,129

CV = 0,129 x 100% = 0,073%


177,407
Perolehan Kembali (Recovery) = kadar terukur x 100%
kadar diketahui
Replikasi 1 = 113,333 x 100% = 62,963%
180
Replikasi 2 = 163,889 x 100% = 91,049%
180
Replikasi 3 = 255 x 100% = 141,667%
180
Rata-Rata Recovery = 62,963% + 91,049% + 141,667%
3
= 98,560%

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery


Replikasi 1 = 100% - 62,963% = 37,037%
Replikasi 2 = 100% - 91,049% = 8,951%
Replikasi 3 = 100% - 141,667% = -41,667%
Rata-rata kesalahan sistemik = 37,037% + 8,951% + (-41,667%)
3
= 1,440%

Kurva Baku Sulfametoksazol dalam


Darah Tikus
1.8
1.6
1.4
f(x) = 0.00761393548387097 x − 0.110632258064516
Kurva Baku Sulfametoksazol
1.2 R² = 0.945108493683708 dalam Darah Tikus
Absorbansi

1 Linear (Kurva Baku Sulfame-


0.8 toksazol dalam Darah Tikus)
0.6
0.4
0.2
0
0 50 100 150 200 250
Kadar (µg/mL)
Kurva Kadar Sulfametoksazol dalam
Darah Kelinci
0.45
0.4 f(x) = 0.00193692307692308 x + 0.0399230769230769
0.35 R² = 0.946391596233255
Kurva Kadar Sulfametoksazol
0.3 dalam Darah
Absorbansi

0.25 Linear (Kurva Kadar Sulfame-


0.2 toksazol dalam Darah )
0.15
0.1
0.05
0
0 50 100 150 200 250
Kadar (µg/mL)

Kurva Baku Sulfametoksazol dalam Urine


0.45
0.4
0.35 f(x) = 0.001795 x + 0.030575
R² = 0.959955393107919
0.3
Kurva Baku Sulfametoksazol
Absorbansi

0.25 dalam Urine


0.2 Linear (Kurva Baku Sulfame-
toksazol dalam Urine)
0.15
0.1
0.05
0
0 50 100 150 200 250
Kadar (µg/mL)
VI. PEMBAHASAN
Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah
analisis obat dalam cairan hayati. Obat yang dianalisis dalam praktikum kali ini adalah
sulfametoksazol dengan menggunakan metode Bratton-Marshall. Metode Bratton-
marshall merupakan cara umum untuk penetapan kadar senyawa yang mempunyai
amina aromatis primer.
Analisis ini bertujuan untuk menguji seberapa besar ketepatan dan keteliian
metode yang digunakan, maka ditetapkan beberapa parameter farmakokinetika yang
berhubungan dengan metode penetapan kadar suatu obat dalam cairan hayati, seperti
recovery dan kesalahan sistematik sebagai parameter ketelitian serta perhitungan
standar deviasi (SD) dan kesalahan acak (CV) sebagai parameter ketepatan. Parameter
farmakokinetik ini merupakan besaran yang diturunkan secara metematis dari hasil
pengukuran kadar obat atau metabolitnya dalam darah atau urin. Analisis ini dilakukan
dengan membuat seri kadar obat tertentu dalam darah dan urin yang kemudian diproses
lebih lanjut sehingga dapat dibaca absorbansinya dan dibuat kurva bakunya.
Cairan hayati yang digunakan sebagai media obat adalah darah dan urine.
Digunakan darah karena darah merupakan tempat yang paling cepat dicapai dan dilalui
obat dalam proses absorpsi dan distribusi baik ke jaringan target maupun ke organ
eliminasi, sehingga kadar obat di dalam sirkulasi sistemik ini paling mencerminkan
kadar obat sebenarnya di dalam tubuh. Proses absorbsi ditunjukkan dengan adanya
peningkatan kadar obat dalam darah, sedangkan proses distribusi dan eliminasi
ditunjukkan dengan adanya penurunan kadar obat dalam darah pada waktu tertentu.
Urin merupakan cairan hayati yang sering digunakan dalam analisis farmakokinetik
untuk mempelajari disosiasi obat dan untuk menentukan kadar obat. Digunakan data
urin apabila tidak mungkin menganalisis dengan data darah dan jika level darah pada
pemberian dosis normal sangat rendah dan tidak ada metode penetapan kadar obat
dalam darah yang tersedia.
Obat yang dianalisis dalam praktikum ini ialah sulfametoksazol. Struktur
sulfametoksazol :
C10H11N3O3S BM 253,28
Nama lain : N1-(5-metil-3-isoksazolil)sulfanilamida
Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih; praktis tidak berbau.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, dalam eter dan dalam kloroform;
mudah larut dalam aseton dan dalam larutan natrium hidroksida
encer; agak sukar larut dalam etanol
(Anonim, 1995)
Mekanisme Kerja Sulfonamida yang analog struktural dan antagonis
kompetitif dari para aminobenzoic acid (PABA). Mereka menghambat pemanfaatan
bakteri normal PABA untuk sintesis asam folat , suatu metabolit penting
dalam sintesis DNA. Para efek terlihat biasanya bakteriostatik di alam. Asam folat
tidak disintesis pada manusia, tetapi bukan merupakan persyaratan diet. Hal ini
memungkinkan untuk toksisitas selektif untuk sel-sel bakteri (atau setiap sel
tergantung pada sintesis asam folat) atas sel-sel manusia. Resistensi bakteri terhadap
sulfametoksazol disebabkan oleh mutasi pada enzim asam folat yang menghambat
PABA dari sintesis asam folat mengikat dan blok.
(Anonim, 2011)
Yang paling umum efek samping dari sulfametoksazol / trimetoprim adalah
gangguan pencernaan. Alergi terhadap sulfa berbasis obat biasanya menyebabkan
ruam kulit, gatal-gatal, atau kesulitan bernapas atau menelan dan penghentian surat
perintah langsung dari pengobatan dan kontak dengan dokter segera. Sulfametoksazol
/ trimetoprim juga dikenal untuk meningkatkan konsentrasi darah obat warfarin (US
nama merek: Coumadin). dan dapat menyebabkan peningkatan tak terduga dalam
waktu pembekuan dan perdarahan yang tidak terkontrol Neutropenia
dan trombositopenia juga efek samping jarang terjadi akan dimonitor jika pasien
ditempatkan pada terapi jangka panjang. Sulfametoksazol juga merupakan sindrom
Stevens-Johnson (SJS) menginduksi substansi. Sulfametoksazol juga dapat
menyebabkan mual, perut yang parah, atau nyeri perut. Sakit kepala umumnya terjadi
saat mengambil sulfametoksazol. Nyeri otot kadang-kadang terjadi saat mengambil
obat ini. Jika gejalanya menetap, salah satu harus menghubungi nya / dokternya. Jika
kesulitan bernapas atau pembengkakan pada wajah, mulut, atau lidah terjadi, orang
harus menghentikan obat dan mendapatkan bantuan medis darurat. Ini sering gejala-
gejala reaksi alergi yang parah. Sulfametoksazol/trimethoprim dapat menyebabkan
anemia megaloblastik pada beberapa pasien karena merupakan antagonis folat.
(Anonim, 2011)
Sulfametoksazol merupakan derivat dari Sulfisoxasol yang mempunyai
absorbsi dan ekskresi yang lebih lambat. Bersifat tidak larut dalam air, tetapi larut
dalam NaOH encer. Dari sifat-sifat itu, larutan obat ini dibuat dengan melarutkan
terlebih dahulu SMZ dalam NaOH kemudian diencerkan dengan menggunakan
aquadest hingga konsentrasi yang dikehendaki. Obat ini biasa digunakan dalam
bentuk sediaan tablet, injeksi, suspensi, tetes mata, dan salep mata. Waktu paruh
plasma Sulfametoksazol adalah 11 jam.
Sulfametoksazol: absorbsi dalam saluran cerna cepat dan sempurna dan ± 20 G terikat
oleh protein plasma. Dalam darah, 10-20 obat terdapat dalam bentuk terasetilasi.
Kadar plasma tertinggi dicapai dalam 4 jam setelah pemberian secara oral, dengan
waktu paro 10-12 jam. Dosis oral awal 2 g diikuti lagi 2-3 dd sampai infeksi terjadi.
Fungsi: untuk infeksi sistemik, untuk infeksi saluran seni.
Metode yang digunakan dalam praktikum kali ini ialah metode Bratton-
Marshall. Metode ini didasarkan pada prinsip kolorimetri yaitu terbentuknya senyawa
berwarna yang intensitasnya dapat ditentukan secara spektrofotometri visibel. Metode
ini melalui 3 tahap yaitu :
1. Pembentukan Senyawa Diazo
Salah satu syarat reaksi diazotasi adalah senyawa harus memiliki gugus amina
aromatik primer. Sulfametoksazol memiliki struktur standar amina aromatik primer,
sehingga reaksi diazotasi dapat berlangsung. Dengan reaksi sebagai berikut:

NaNO2
+

TCA

N + H2O
+
(garam diazonum dari sulfametoksazol)
2. Penghilangan sisa asam nitrit dengan penambahan asam sulfamat
Pada proses terbentuknya garam diazonium yang dihasilkan dari reaksi antara
amina aromatik primer dengan asam Nitrit (HNO 2) yang berasal dari natrium nitrit,
pada tahap ini terjadi kelebihan asam nitrit yang harus di hilangkan dengan
penambahan asam sulfamat, karena kalau tidak dihilangkan, senyawa yang sudah
berwarna akan dirusak (dioksidasi) oleh asam nitrit sehingga kembali lagi menjadi
tidak berwarna. Reaksi penghilangan sisa asam nitrit sebagai berikut:
HNO2 + HSO3NH2 N2 + H2SO4 + H2O

3. Pengkoplingan garam diazonium-NED


Pada proses ini, garam diazonium yang sudah terbentuk segera direaksikan
dengan reagen kopling membentuk senyawa kopling yang memiliki gugus kromofor
yang lebih panjang sehingga dapat dideteksi oleh spektrofotometri UV-Vis. Reagen
kopling yang khas dalam metode Bratton-Marshall adalah N-(1-Naftil) etilen diamin
(NED).Dengan demikian pergeseran bathokromik sehingga λ lebih panjang,
sementara intensitas warnanya lebih tajam. Hasilnya senyawa menjadi lebih mudah
dideteksi oleh spektrofotometri UV-Vis.
Pada praktikum kali ini kelompok kami mengambil darah dari vena ocularis
pada mata tikus (Rattus Novergicus/mus muculus bacterianus) sedangkan kelompok
lain mengambil darah dari vena auricularis pada telinga kelinci. Pengambilan darah
dari vena ocularis pada mata tikus menggunakan pipa kapiler yang dimasukkan
kedalam bagian bawah kelopak mata dengan sedikit pemutaran untuk melancarkan
aliran darah. Kemudian darah ditampung pada eppendorf yang sudah diberi heparin.
Heparin (dari bahasa Yunani Kuno ηπαρ (hepar), hati), juga dikenal
sebagai heparin tak terpecah, yang sangat-sulfat glikosaminoglikan, secara luas
digunakan sebagai injeksi antikoagulan, dan memiliki tertinggi negatif densitas muatan
dari setiap dikenal molekul biologis. Ini juga dapat digunakan untuk membentuk
permukaan antikoagulan dalam pada peralatan eksperimen dan berbagai medis
seperti tabung tes dan dialisis ginjal mesin. Heparin mempunyai struktur sebagai
berikut :
Gambar 1. Struktur Heparin
Meskipun digunakan terutama dalam pengobatan untuk antikoagulasi, peran
fisiologis yang benar di dalam tubuh masih belum jelas, karena darah anti-koagulasi
dicapai kebanyakan oleh heparan sulfat proteoglikan yang berasal dari endotel
sel. Heparin biasanya disimpan dalam butiran yang keluar dari sel mast dan dirilis
hanya ke dalam pembuluh darahdi situs dari cedera jaringan. Telah diusulkan bahwa,
daripada antikoagulasi, tujuan utama dari heparin adalah pertahanan di situs tersebut
terhadap bakteri dan benda asing lainnya.  Selain itu, dilestarikan di sejumlah spesies
yang sangat berbeda, termasuk beberapa invertebrata yang tidak memiliki sistem
pembekuan darah yang sama. (Anonim, 2011)
Heparin merupakan anti koagulansia langsung yang mengandung gugus
karboksil dan sisa sulfat, sehingga heparin merupakan salah satu asam terkuat dalam
tubuh. Heparin bekerja dengan menghambat pembekuan darah yang kerjanya
tergantung adanya anti-trombin III (suatu 2-globulin dan kofaktor dari heparin dan
memperkuat kerja heparin) sehingga membentuk kompleks heparin-antitrombin yang
mampu mengaktifkan faktor-faktor IXa, Xa, Xia, XIIa sehingga menghambat
pembentukan trombin. Pada konsentrasi tinggi heparin menghambat juga agregrasi
trombosit. Secara ringkasnya, heparin mempunyai sifat antikoagulan dengan
menghambat pengubahan protrombin menjadi trombin dengan proses penggumpalan
darah.
Heparin + Antitrombin III + Faktor Penggumpalan kompleks(I)
kompleks
Protrombin x Trombin
Ca2+
Apabila sampel darah mengalami koagulasi, maka ketika dilakukan proses
sentrifuge yang akan keluar adalah serum bukan plasma darah. Padahal yang
dimaksudkan untuk digunakan sebagai sampel hayati dalam percobaan ini adalah
plasma darah, karena sulfadiazin akan berikatan dengan protein plasma membentuk
kompleks obat makromolekul yang disebut kompleks obat-protein. Heparin dapat
mencegah koagulasi darah selama 3-4 jam. Heparin bereaksi dengan mengikat
antitrombin III membentuk kompleks, yang berafinitas lebih besar terhadap beberapa
faktor pembekuan darah, daripada antitrombin itu sendiri. Heparin juga menginaktivasi
faktor IIIa (AHg) dan mencegah terbentuknya fibrin yang stabil, sehingga heparin dapat
mempecepat inaktivasi faktor pembekuan darah.
Darah yang telah dikumpulkan kemudian di masukkan ke dalam 10 tabung
reaksi dengan volume masing-masing 250 µL. Sampel darah digunakan untuk
pembuatan kurva baku dan perhitungan validasi. Pembuatan seri kadar larutan baku
sulfametoksazol dengan cara mengencerkan stok larutan sulfametoksazol 1,0 mg/ml
menggunakan pelarut aquadest dengan labu takar 5,0 ml. Sehingga didapatkan
konsentrasi sulfametoksazol: 25; 50; 100; 200 µg/ml. Untuk blanko digunakan
aquadest. Penggunaan blanko bertujuan untuk mengoreksi aborbansi senyawa yang
terbentuk.
Pembuatan kurva baku bertujuan untuk menghitung persamaan regresi linier
hubungan kadar sulfametoksazol pada sampel darah tikus dan kelinci. Pembuatan kurva
baku membutuhkan 6 sampel darah yang telah dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
Lima dari sampel darah tersebut ditambahkan sulfametoksazol sebanyak 250 µl
dengan kadar yang berbeda untuk tiap tabung reaksi. Satu sampel darah yang tersisa
ditambahkan 250 µl aquadest sebagai blanko dalam perhitungan absorbansi. Ke dalam
tiap tabung reaksi ditambahkan 2 ml TCA 5 % dan kemudian divortex selama 30 detik
agar terbentuk cmpuran yang homogen.
TCA merupakan asam organik yang sangat kuat, dimana di dalam 0,1 M
larutan ini mempunyai pH sebesar 1,2. TCA dapat dibuat dengan oksidasi kloralhidrat
dan asam nitrit. TCA mempunyai fungsi sebagai pemberi suasana asam, sehingga dapat
menghentikan kerja enzim pemetabolisme obat sekaligus menyebabkan denaturasi
protein plasma tanpa memecah protein menjadi asam amino penyusunnya. Dengan
demikian, protein yang terdapat dalam darah akan mengedap dan memisah dengan
plasma darah. Adanya suasana asam pada larutan juga akan mendukung terjadinya
proses diazotasi sehingga nantinya akan didapatkan gambaran konsentrasi
sulfametoksazol sebenarnya.
Campuran darah dan larutan sulfametoksazol disentrifugasi selama 5 menit
dengan kecepatan 2500 rpm. Sentrifugasi ini bertujuan untuk memisahkan endapan
protein dengan supernatan yang mengandung sejumlah sulfametoksazol yang tidak ikut
mengendap bersama protein. Supernatan yang dihasilkan diambil sebanyak 1,5 ml dan
dipindahkan ke tabung reaksi yang lain untuk selanjutnya diencerkan dengan 2 ml
aquades dan divortex selama 30 detik.
Selanjutnya dilakukan penambahan 0,1 ml NaNO2 0,1 %, divortex, dan
didiamkan selama 3 menit untuk menyempurnakan reaksi diazotasi, yaitu pembentukan
garam diazonium yang sangat reaktif. NaNO2 bersifat sebagai oksidator , maka asam
nitrit yang terbentuk tidak boleh berlebih. Setelah ditambah NaNO2, dilanjutkan dengan
penambahan Ammonium Sulfamat 0,5 % sebanyak 0,2 ml. Kemudian larutan divortex
dan didiamkan selama 2 menit. Penambahan ammonium sulfamat bertujuan untuk
menghilangkan kelebihan asam nitrit yang terbentuk. Pada penambahannya harus
dilakukan dengan berhati-hati untuk menghindari pembentukan gelembung gas yang
sangat banyak. Ammonium sulfamat merupakan reduktor sehingga akan bereaksi
redoks dengan asam nitrit. Hilangnya kelebihan nitrit ditandai dengan tidak adanya gas
nitrogen lagi, yaitu dapat diamati dengan hilangnya gelembung gas dalam larutan.
Selanjutnya ditambah NED 0,1 % sebanyak 0,2 ml. Vortex dan diamkan
selama 5 menit di tempat gelap. Penambahan NED membuat garam diazonium kembali
terionkan sehingga terjadi reaksi pengkoplingan antara garam diazonium dengan NED
sehingga terbentuk sulfametoksazol (semula tidak berwarna menjadi senyawa
berwarna) dan serapannya bisa dibaca pada λ 545 nm.
Dari data berupa kadar sulfametoksazol yang digunakan dan nilai absorbansi
yang dihasilkan, dapat ditentukan persamaan kurva baku yang dapat digunakan dalam
langkah selanjutnya, yaitu perhitungan validasi. Dari perhitungan regresi linier
konsentrasi sulfametoksazol vs absorbansi, didapatkan persamaan kurva baku:
Untuk sampel darah tikus y = 0,007x - 0,1106
Untuk sampel darah kelinci y = 0,0019x + 0,0399
Untuk sampel urine y = 0,0018x + 0,0306
Pada bagian awal pembahasan telah disebutkan bahwa sampel darah yang
disiapkan sebanyak 10 tabung reaksi masing-masing 250 µl. Empat tabung reaksi telah
digunakan untuk penetapan kurva baku, sedangkan enam tabung yang tersisa digunakan
untuk perhitungan validasi.
Perhitungan validasi dilakukan dengan langkah kerja yang hampir sama
dengan lengkah kerja dalam penentuan kaurva baku. Yang membedakan keduanya
adalah konsentrasi sulfametoksazol yang digunakan, yaitu 50 µg/ml; 100 µg/ml; dan
300 µg/ml. Percobaan ini dilakukan dengan 2 kali replikasi sehingga akan didapatkan 3
data untuk tiap konsentrasi sulfametosazol.
Data berupa absorbansi dapat digunakan untuk perhitungan kadar
sulfametoksazol yang terlarut dalam supernatan, dengan menggunakan persamaan
kurva baku yang telah ditetapkan.
Kemudian nilai absorbansi pada validasi diplotkan ke dalam kurva baku
tersebut, sehingga di dapat kadar. Selanjutnya dapat dihitung beberapa parameter
statistika yaitu recovery, kesalahan sistematik, dan kesalahan acaknya.
Nilai Perolehan Kembali / Recovery
Semakin tinggi nilai recovery maka semakin tinggi akurasi dan efisiensi
analisis. Recovery yang baik berada dalam rentang kadar 75 – 90%. Harga recovery tiap
sampel hayati sebagai berikut:

Sampel darah tikus


 Kadar 40 µg/ml = 59,847%
 Kadar 180 µg/ml = 19,415%
Untuk sampel darah kelinci
 Kadar 40 µg/ml = 423,815%
 Kadar 180 µg/ml = 229,659%
Untuk sampel urine
 Kadar 40 µg/ml = 250,556%
 Kadar 180 µg/ml = 98,560%

Dari hasil tersebut hampir tidak ada yang memenuhi syarat. Hanya kadar 40
µg/ml pada darah tikus dan 180 µg/ml pada urine yang mendekati syarat tetapi
keduanya tetap tidak memenuhi syarat. Untuk harga recovery yang lebih besar dari
100 % dapat disebabkan :
 senyawa endogen atau metabolit yang ikut terukur. Kemungkinan disebabkan karena
terdapat molekul-molekul pengganggu atau protein dalam darah yang dapat
meningkatkan nilai absorbansi
 ketidaktelitian praktikan dalam penambahan analit ataupun larutan pereaksi
 perbedaan dalam penentuan operating time sehingga pembacaan absorbansi pada
pembuatan kurva baku dan pembacaan pada percobaan tidak sama selang waktunya.
Sedangkan pada sampel yang memiliki nilai recovery lebih rendah dari nilai
minimum, kemungkinan disebabkan masalah alat atau proses, misal:
 Pengambilan supernatan yang tidak tepat
 Kondisi diazotasi yang belum sempurna, karena kondisi keasaman ataupun suhu yang
terlalu tinggi.

Untuk menghindari kesalahan dalam parameter nilai perolehan kembali / recovery


dapat dilakukan :
 Sentrifugasi yang dilakukan harus mampu mengendapkan protein plasma dan tidak
menyebabkan hemolisis, untuk sampel darah, yaitu pecahnya sel darah merah
sehingga komponen-komponen intrasel keluar tercampur dalam plasma sehingga
tidak menggangu proses absorbansi sampel.
 Saat pengambilan supernatan hasil sentrifugasi, jangan sampai endapan ikut terambil.
 Pengukuran sampel ataupun larutan harus tepat.

Nilai Kesalahan Sistematik


Kesalahan sistematik pada percobaan seharusnya kurang dari 10 % agar
metode yang digunakan mencapai akurasi yang tinggi. Kesalahan ini bersifat konstan
dan mengakibatkan penyimpangan tertentu dari rata-rata. Pada percobaan diperoleh
nilai kesalahan sistematik sebagai berikut.
Sampel darah tikus
 Kadar 40 µg/ml = 40,153%
 Kadar 180 µg/ml = 80,585%
Untuk sampel darah kelinci
 Kadar 40 µg/ml = -323,815%
 Kadar 180 µg/ml = -129,659%
Untuk sampel urine
 Kadar 40 µg/ml = -150,556%
 Kadar 180 µg/ml = 1,440%
Nilai kesalahan sistemik yang diperoleh 3 diantaranya melebihi 10 % dan 3
yang lain mempunyai nilai minus (di bawah nol), artinya hasil percobaan tidak
memiliki akurasi yang baik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesalahan
sistemik antara lain:
 Kesalahan personel dan operasi. Dalam percobaan ini kemunkinan kesalahan pada
ketidaktelitian praktikan dalam pengukuran volume sampel maupun reagen. Dapat
diminimalisir dengan peningkatan ketrampilan analisis. Makin terampil, makin kecil
kesalahan personel.
 Kesalahan alat dan pereaksi, dapat disebabkan oleh pereaksi yang kurang valid atau
telah terkontaminasi atau pemakaian alat yang kurang tepat walaupun alatnya baik.
 Kesalahan metode, dapat disebabkan kesalahan pengambilan sampel dan kesalahan
reaksi kimia yang tidak sempurna. Kemungkinan dalam percobaan ini reaksi diazotasi
belum sempurna, yaitu masih adanya gelembung udara saat pengukuran absorbansi
sehingga mempengaruhi serapan.
Sedangkan data yang memiliki kesalahan sistemik bernilai negatif dapat
disebabkan oleh:
 Sensitifitas peralatan yang digunakan kurang (spektrofotometer maupun pipet
volume) dalam pembacaan absorbansi atau pengukuran
 Sampel mengandung banyak pengotor

Nilai Kesalahan Acak / Coefisien Varian (CV)


Kesalahan acak pada percobaan seharusnya kurang dari 10 % agar metode
yang digunakan mencapai ketepatan yang tinggi. Pada percobaan diperoleh nilai
kesalahan acak / CV sebagai berikut.
Untuk sampel darah tikus
 Kadar 40 µg/ml = 0,213%
 Kadar 180 µg/ml = 0,097%
Untuk sampel darah kelinci
 Kadar 40 µg/ml = 0,076%
 Kadar 180 µg/ml = 0,081%
Untuk sampel urine
 Kadar 40 µg/ml = 0,057%
 Kadar 180 µg/ml = 0,073%
Kesalahan acak umumnya disebabkan masalah-masalah pengukuran berulang
termasuk alat yang digunakan kurang sensitif. Semua nilai CV yang diperoleh kurang
dari 10 %, artinya metode tersebut memiliki presisi yang cukup baik tetapi masih
terdapat variasi dari tiap-tiap penghitungan. Kemungkinan faktor-faktor penyebabnya
variasi pengukuran setiap praktikan yang berbeda seperti pembacaan meniskus labu
takar dan pipet, kurang tepatnya alat yang digunakan. Untuk mengatasinya, alat yang
digunakan harus dikalibrasi terlebih dahulu. Sebelum penggunaan alat dibersihkan
dan dikeringkan terlebih dahulu agar kontaminasi alat dapat diminimalisir. Dan
adapun ada beberapa nilai CV yang diperoleh tidak terdefinisi yang berarti metode
tersebut tidak memiliki presisi yang baik.
Melihat keseluruhan nilai parameter yang didapat, percobaan yang dilakukan
sensitivitas, akurasi maupun presisinya rendah. Banyak kemungkinan faktor
penyebabnya baik dari praktikan, cara pengerjaan, alat maupun metode yang
digunakan.

VII. KESIMPULAN
1. Metode Bratton-Marshal dapat digunakan untuk menganalisis obat-obat yang
memiliki gugus amina aromatik primer dengan pembentukan senyawa coupling
berwarna dari garam diazonium.
2. Metode pengukuran harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya efiesiensi
(perolehan kembali atau recovery), presisi dan akurasi.
3. Berdasarkan teori, metode Bratton-Marshal dapat digunakan untuk menetapkan kadar
sulfametoksazol, karena sulfametoksazol memiliki gugus amina aromatis primer.
4. Pada sampel darah tikus:
 Kadar 40 µg/ml, berdasarkan analisis hasil percobaan memiliki kadar rata-rata =
23,939 µg/ml, recovery = 59,847% dan kesalahan acak 0,213%.
 Kadar 180 µg/ml, berdasarkan analisis hasil percobaan memiliki kadar rata-rata =
34,947 µg/ml, recovery = 19,415% dan kesalahan acak 0,097%.
5. Pada sampel darah kelinci:
 Kadar 40 µg/ml, berdasarkan analisis hasil percobaan memiliki kadar rata-rata =
169,526 µg/ml, recovery = 423,815% dan kesalahan acak 0,076%.
 Kadar 180 µg/ml, berdasarkan analisis hasil percobaan memiliki kadar rata-rata =
413,386 µg/ml, recovery = 229,659% dan kesalahan acak 0,081%.
6. Pada sampel urine:
 Kadar 40 µg/ml, berdasarkan analisis hasil percobaan memiliki kadar rata-rata =
100,222 µg/ml, recovery = 250,556% dan kesalahan acak 0,057%.
 Kadar 180 µg/ml, berdasarkan analisis hasil percobaan memiliki kadar rata-rata =
177,407 µg/ml, recovery = 98,560% dan kesalahan acak 0,073%.
7. Berdasarkan hasil percobaan, metode Bratton-Marshal kurang memenuhi syarat
(kurang spesifik dan selektif) karena kurang memenuhi parameter, yaitu tidak kurang
efisien, akurat dan presisi dalam penetapan kadar sulfametoksazol dalam darah tikus
dan kelinci.
VIII. Daftar Pustaka
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Anonim, 2011, Heparin, http://en.wikipedia.org/wiki/Heparin, diakses pada 20 Oktober
2011, pukul 23:11.
Anonim, 2011, Sulfamethoxazole, http://en.wikipedia.org/wiki/Sulfamethoxazole,
diakses pada 20 Oktober 2011, pukul 22:12.
Mursyidi, Achmad dan Rohman, Abdul , Editor. 2006. Volumetri dan Gravimetri.
Yogyakarta : Yayasan Farmasi Indonesia.
Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bandung : Penerbit ITB.
Shargel, Leon. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya :
Airlangga University Press.
Siswandono. 2000. Kimia Medisinal. Surabaya : Airlangga University Press.

Yogyakarta, 2 Mei 2012


Asisten, Praktikan,

1. Indah Permata (FA/08679)

2. Lattifah Pingkan A (FA/08682)

3. Khotik Sri Iryani (FA/08685)

4. Zulva Amalia (FA/08688)

Anda mungkin juga menyukai