KELOMPOK 1
Raihanulkhairi (2108109010030)
LABORATORIUM FARMAKOLOGI
JURUSAN FARMASI
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Ekskresi obat merupakan pembersihan obat dari dalam tubuh , obat akan
melalui ginjal menuju kandung kemih dan akan berakhir dikeluarkan dari dalam
tubuh bersama urine. Selain urine, obat juga dapat diekskresikan melalui empedu dan
air liur ke dalam usus bersama tỉnja, melalui keringat, melalui kulit dan air susu ibu.
Obat-obat yang kurang larut dalam air, sulit untuk diekskresi melalui jalur di atas,
obat- obat tersebut dimetabolisme lebih dahulu sehingga berubah menjadi bentuk
polar dan selanjutnya diekskresikan. Ginjal adalah organ yang paling penting untuk
ekskresi obat dan metabolitnya. Terdapat 3 mekanisme ekskresi ginjal yaitu filtrasi
glomerulus, sekresi aktif tubuler, dan reabs orpsi tubuler. Rute utama dari eliminasi
obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi enmpedu, feses, paru-paru, saiva,
keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak berikatan, yang larut dalam air, dan
obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan dengan
protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatannya dengan
protein, maka obat menjadi bebas dan akhimya akan diekskres ikan melalui urin. pH
urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang
asam meningkatkan eliminasi obat – obat yang ersifat basa lemah (Indah et al.,
2021).
Komposisi untuk urin terdiri dari 95% air dan mengandung zat terlarut.
Didalam urin terkandung bermacam-macam zat antara lain (1) zat sisa
pembongkaran protein seperti Urea asam urat, dan ammoniak (2) Zat warna empedu
yang memberikan warna kuning pada urin, (3) garam terutama Nacl, dan (4) zat-zat
yang berlebihan dikonsumsi, misalnya vitamin C dan obat-obatan serta kelebihan zat
yang dapat diproduksi sendiri oleh tubuh misalnya hormon (Ethel,2021). Semua obat
absorbsi, distribus, disposisi metabolisme dan eksresi berjalan melewati membrane
dari obat ditentukan oleh mekanisme obat terhadap membrane dan sifat fisikokimia
dari molekul dapat mempengaruhi pemindahan obat ke jaringan. Pergerakan obat dan
availability obat tergantung pada ukuran dan bentuk molekul, derajat ionisasi,
kelarutan relative lipid dari bentuk ionic dan nonionik ada yang mengikat protein
serum dan jaringan Organ terpenting untuk ekskresi adalah ginal. Obat di eksresikan
melalui ginjal dalam bentuk utuh maupan bentuk metabolitnya ekstresi dalam bentuk
utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat meram gigal. Ekspres melalui
ginjal melibatkan 3 proses yaitu filtrasi glomerulus, setres arti ditubulus proksimal
dan reabsorpsi pane disepanjang tubulus (Gunawan, 2015).
Obat yang digunakan pada percobaan kali ini adalah Kalium Iodida yang
termasil sebagai senyawa kimia suplemen makanan maupun obat – obatan yang
digunakan pada penderita penyakit hipertiroidisme. Obat ini untuk melindungi
kelenjar tiroid pada saat berbagai jenis radiofarmaka digunakan. Untuk saat ini
potassium iodide digunakan dalam mengobati sporotrikosis maupun fikomikosis
pada bagian kulit. Berdasarkan teori kalium iodida merupakan garam elektrolit
sehingga akan cepat mengalami absorpsi yaitu melalui difusi pasif dan konsentrasi
maksimum, kemudian obat masuk ke darah dan berikatan dengan protein plasma dan
dibawa oleh darah ke seluruh tubuh. Obat bebas akan keluar ke jaringan, ke hati
sebagai metabolit yang dikeluarkan oleh empedu dan di ginjal sebagai metabolit
yang dieksresikan melalui urin. Pada praktikum ini absorpsi dan eksresi obat akan
dilihat dari urin dan juga saliva dari probandus yang meminum Kalium Iodida.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Trans seluler.
Absorpsi obat secara transseluler terjadi dengan menembus membran sel.
Barrier fisik dari transport secara transseluler ini adalah lapisan lipid
membran sel, sehingga menyebabkan molekul-molekul hidrofilik sulit untuk
menembusnya
2. Paraseluler.
Absorpsi obat secara paraseluler terjadi melalui pori-pori tight junction antar
sel. Barrier utama dari transport secara paraseluler ini adalah poripori tight
junction. Diameter pori-pori tight junction ± 4 Å. Sebagian pengaruh
penambahan besar obat mempunyai diameter lebih besar dari luas
permukaan. Jalur paraseluler ini jauh lebih kecil dibandingkan jalur
transeluler (0,01 % : 99,9 %), maka transport secara paraseluler ini kurang
berperan penting dalam transport molekul obat.
1. Bentuk sediaan
Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat dan secara
tidak langsung mempengaruhi sifat intensitas tanggapan farmakologis bahan obat.
Bentuk larutan, serbuk, suspensi, emulsi, kapsul, tablet dan pil masing-masing
memerlukan waktu yang berbeda-beda untuk dapat pecah, melarut dan diabsorpsi.
Kecepatan melarut obat tergantung kepada ukuran partikel, sifat fisiko kimia bahan
obat, dan bentuk sediaan. Makin kecil ukuran partikel, luas yang bersinggungan
dengan pelarut makin besar sehingga kecepatan melarut makin besar pula. Sifat
fisiko kimia yang mempengaruhi antara lain bentuk kristal atau amorf, kelarutan obat
dalam lemak/ air, adanya ionisasi, dan bentuk garam, basa, asam atau kompleks akan
memberikan kecepatan melarut yang berbeda-beda. Pengaruh penambahan
Obat yang diberikan secara oral dan per rektal melibatkan faktor absorpsi melalui
suatu sistem biotransformasi. Pemberian injeksi secara subkutan, intramuskular,
intradermal, intraperitonial dan intratekal obat tidak langsung masuk cairan tubuh
tetapi terlebih dahulu membentuk depo-depo, setelah itu obat akan dilepaskan sedikit
demi sedikit, dalam hal ini faktor absorpsi ikut berperan. Pemberian injeksi secara
intravena, intraarterial, intraspinal dan intraserebral tidak melibatkan proses absorpsi,
obat langsung masuk aliran darah dan kadar obat tertinggi dalam darah akan segera
tercapai.
4. Faktor-faktor biologis
Faktor biologis tergantung dari masing-masing individu, yang termasuk dalam faktor
biologis antara lain variasi keasaman dari saluran cerna, lambung pH 1-3,5, usus
halus (duodenum pH 5-7, ileum pH 6-7), usus besar pH 8. Faktor lainnya adalah
volume sekresi cairan lambung, motilitas dari saluran pencernaan, kosong tidaknya
lambung, dan sirkulasi darah pada saat absorpsi (Putra, 2010).
Ekskresi atau eliminasi obat sebagian besar melalui hati dan ginjal, meskipun
masih ada beberapa jalur eliminasi lainnya misalnya secara bilier. Obat dikeluarkan
dari tubuh sebagai senyawa induk atau metabolit.. Ekskresi obat dan metabolitnya
melibatkan tiga proses, yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubular pasif dan
reabsorpsi tubular aktif. Jumlah obat yang memasuki tubulus ginjal tergantung pada
laju filtrasi glomerulus dan fraksi obat yang terikat protein plasma (Indriani, 2021).
5. Usus, bersama tinja, misalnya sulfa dan preparat besi(Nila & Halim , 2013).
Tetapan laju eliminasi obat dapat dihitung dari data ekskresi obat melalui
urin.Bioavailabilitas (BA) adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam produk
obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif,
setelah pemberian obat diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari
ekskresinya dalam urin. Dalam penghitungan laju ekskresi obat dengan data urin,
farmakokinetika obat mengikuti orde satu. Cuplikan urin dapat dikumpulkan segera
setelah pemberian obat. Pengumpulan urin dapat dilaku
METODE PERCOBAAN
Kuning pucat
Tabung II
Tabung III
Tabung IV A
Tabung IV B
Urin saliva
3.4. PERHITUNGAN
Perhitungan dosis maksimum kalium iodida :
Kalium iodida yang digunakan sebanyak 300 mg.
N
DM = x dosis dewasa
20
19
= x 500 mg
20
= 175 mg
300 mg
% 1 kali pakai = x 100%
475 mg
= 63,15% (aman)
BAB IV
4.2 PEMBAHASAN
Hasil pada tabung reaksi I menunjukkan bahwa reaksi antara larutan kalium
iodida 1% dengan amylum 1% belum terjadi. Hal ini disebabkan karena konsentrasi
kalium iodida yang sangat sedikit dan tidak terdapat oksidator dan katalisator pada
reaksi tersebut, sehingga reaksi berlangsung sangat lambat. Hasil pada tabung reaksi
II menunjukkan bahwa terjadi reaksi yang berlangsung cepat antara larutan kalium
iodida 1% dengan larutan amylum 1% yang ditandai dengan adanya endapan biru.
Hal ini disebabkan karena adanya peran katalisator sehingga reaksi dapat
berlangsung dengan cepat. Hasil pada tabung III menunjukkan bahwa reaksi
berlangsung sangat cepat yang ditandai dengan terbentuk 2 fasa, terdapat gelembung
udara, larutan berwarna coklat dan ada endapan hitam. Hal ini disebabkan karena
adanya penambahan oksidator yang berperan memutuskan ikatan antara kalium dan
iodida sehingga iodida dapat dengan cepat bereaksi dengan amylum. Hasil pada
tabung IV-A dan IV-B yang berisi urin dan saliva kontrol menujukkan bahwa kedua
larutan pada tabung tidak terdapat adanya warna biru. Hal ini disebabkan karena urin
dan saliva kontrol tersebut belum mengandung kalium iodida karena subjek masih
dalam keadaan berpuasa dan belum mengonsumsi kalium iodida.
Pengamatan ekskresi kalium iodida melalui urin pada waktu 30 menit (tabung
reaksi V) menunjukkan bahwa tahap ekskresi belum terjadi. Hal ini dikarenakan
belum adanya perubahan warna larutan menjadi biru, yang disebabkan oleh jumlah
iodium yang terlalu kecil saat diekskresikan sehingga tidak terbaca dan tidak terlalu
terlihat pada pengamatan, serta tingkat kelarutan yang sangat kecil pada kompleks
iodium dan amilum sehingga membutuhkan kecepatan mata untuk mengamati
adanya perubahan warna. Pengamatan ekskresi kalium iodida pada saliva terjadi
lebih cepat yaitu telah terjadi pada menit ke-30. Hal ini ditandai dengan adanya
endapan biru pada larutan karena kompleks antara iodium dan amilum. Sementara
itu, ekskresi kalium iodida pada urin mulai terjadi pada menit ke-60 yang ditandai
dengan adanya endapan biru pada larutan. Percobaan ekskresi kalium iodida
memperlihatkan hasil bahwa ekskresi kalium iodida melalui saliva lebih cepat
dibandingkan ekskresi kalium iodida dalam urin.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan yang telah didapatkan, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa :
1. Pengamatan kecepatan absorbsi dan ekskresi dari zat kalium iodida melalui
urin dari salah satu subjek coba menunjukkan hasil absorbsi dan ekskresi
yang telah terjadi saat menit ke-60.
2. Pengamatan kecepatan absorbsi dan ekskresi dari zat kalium iodida melalui
saliva dari salah satu subjek coba menunjukkan hasil absorbsi dan ekskresi
yang telah terjadi saat menit ke-30.
3. Hasil pengamatan kandungan kalium iodida yang telah diekskresikan melalui
urin dan saliva subjek coba berdasarkan interval waktu tersebut menunjukkan
adanya perbedaan waktu ekskresi antara melalui saliva dan melalui urin serta
terdapat variasi kecepatan absorbsi dan ekskresi kalium iodida yang diberikan
secara oral antara kedua subjek coba.
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara, S. G., Setiabudi, R., Suryatna. (2013). Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
Gunawan, S. (2013). Farmakologi dan Terapi, Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit Fakultas
Indah, Y. W., & Woro, S. (2021). Gambaran Penggunaan Obat Pasien Penyakit
Ginjal
Press.