Anda di halaman 1dari 21

ABSORPSI DAN EKSRESI OBAT

KELOMPOK 1

Dea Azzura Putri Rizaldy (2108109010009)

Raihanulkhairi (2108109010030)

Asyifa Mauliza (2108109010040)

Ladis Vacfherly Alsa (2108109010042)

Farah Azzahra (2108109010050)

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN


ALAM

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG PERCOBAAN

Dalam istilah yang paling sederhana, farmakokinetik menggambarkan apa


yang dilakukan tubuh terhadap senyawa. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu
proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.Absorbsi adalah proses
pepindahan senyawa obat dari tempat absorpsinya ke dalam sirkulasi sistemik.
Proses ini bergantung pada anatomi serta fisiologi tempat absorbsi, sifat fisikokimia
obat dan bentuk sediaan dan faktor lain-lain (usia, makanan yang dikonsumsi,
interaksi obat dengan senyawa lainnya) (Siswandono, 2016).

Obat akan mampu menghasilkan efek terapeutik bila dicapai konsentrasi


yang sesuai pada site of action obat tersebut , maka absorpsi yang cukup menjadi
syarat untuk suatu efek terapeutik, pengecualian terhadap obat yang bekerja lokal
dan juga antasida.Bentuk sediaan dan cara pemberian obat merupakan penentu dalam
memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat
menentukan efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan
bioavaibbilitas (total obat yang dapat diserap ) cepat atau lambatnya obat mulai
bekerja Onset of action, lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas kerja
obat, respons farmakologis yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan
respon tertentu. Beberapa jenis obat dapat di eksresikan melalui urin. Sistem urin
merupakan suatu sistem saluran dalam tubuh manusia, meliputi ginjal dan saluran
keluarnya yang berfungsi untuk membersihkan tubuh dari zat-zat yang tidak
diperlukan (Sheerwood, 2013).

Pemberian obat yang terpenting harus mencapai biovailabilitas yang


menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorbsi sekaligus metabolisme obat
sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Beberapa yang dapat mempengaruhi absorpsi
obat dalam tubuh antara lain sifat fisik dan kimia obat, bentuk obat, formulasi obat,
konsentrasi obat, luas permukaan kontak obat , cara pemberian obat dan sirkulasi
tempat absorpsi. Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikon keseluruh tubuh
melaku sirkulasi darah, karena selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat
juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi Obat merupakan proses suatu
obat yang secara reversible meninggalkan aliran darah dan masuk ke cairan eksternal
atau sel-sel jaringan (Ethel, 2021). Distribusi obat merupakan tahapan
famakokinetika selanjutnya setelah molekul obat diabsorpsi dalam plasma.

Ekskresi obat merupakan pembersihan obat dari dalam tubuh , obat akan
melalui ginjal menuju kandung kemih dan akan berakhir dikeluarkan dari dalam
tubuh bersama urine. Selain urine, obat juga dapat diekskresikan melalui empedu dan
air liur ke dalam usus bersama tỉnja, melalui keringat, melalui kulit dan air susu ibu.
Obat-obat yang kurang larut dalam air, sulit untuk diekskresi melalui jalur di atas,
obat- obat tersebut dimetabolisme lebih dahulu sehingga berubah menjadi bentuk
polar dan selanjutnya diekskresikan. Ginjal adalah organ yang paling penting untuk
ekskresi obat dan metabolitnya. Terdapat 3 mekanisme ekskresi ginjal yaitu filtrasi
glomerulus, sekresi aktif tubuler, dan reabs orpsi tubuler. Rute utama dari eliminasi
obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi enmpedu, feses, paru-paru, saiva,
keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak berikatan, yang larut dalam air, dan
obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang berikatan dengan
protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatannya dengan
protein, maka obat menjadi bebas dan akhimya akan diekskres ikan melalui urin. pH
urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang
asam meningkatkan eliminasi obat – obat yang ersifat basa lemah (Indah et al.,
2021).

Komposisi untuk urin terdiri dari 95% air dan mengandung zat terlarut.
Didalam urin terkandung bermacam-macam zat antara lain (1) zat sisa
pembongkaran protein seperti Urea asam urat, dan ammoniak (2) Zat warna empedu
yang memberikan warna kuning pada urin, (3) garam terutama Nacl, dan (4) zat-zat
yang berlebihan dikonsumsi, misalnya vitamin C dan obat-obatan serta kelebihan zat
yang dapat diproduksi sendiri oleh tubuh misalnya hormon (Ethel,2021). Semua obat
absorbsi, distribus, disposisi metabolisme dan eksresi berjalan melewati membrane
dari obat ditentukan oleh mekanisme obat terhadap membrane dan sifat fisikokimia
dari molekul dapat mempengaruhi pemindahan obat ke jaringan. Pergerakan obat dan
availability obat tergantung pada ukuran dan bentuk molekul, derajat ionisasi,
kelarutan relative lipid dari bentuk ionic dan nonionik ada yang mengikat protein
serum dan jaringan Organ terpenting untuk ekskresi adalah ginal. Obat di eksresikan
melalui ginjal dalam bentuk utuh maupan bentuk metabolitnya ekstresi dalam bentuk
utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat meram gigal. Ekspres melalui
ginjal melibatkan 3 proses yaitu filtrasi glomerulus, setres arti ditubulus proksimal
dan reabsorpsi pane disepanjang tubulus (Gunawan, 2015).

Obat yang digunakan pada percobaan kali ini adalah Kalium Iodida yang
termasil sebagai senyawa kimia suplemen makanan maupun obat – obatan yang
digunakan pada penderita penyakit hipertiroidisme. Obat ini untuk melindungi
kelenjar tiroid pada saat berbagai jenis radiofarmaka digunakan. Untuk saat ini
potassium iodide digunakan dalam mengobati sporotrikosis maupun fikomikosis
pada bagian kulit. Berdasarkan teori kalium iodida merupakan garam elektrolit
sehingga akan cepat mengalami absorpsi yaitu melalui difusi pasif dan konsentrasi
maksimum, kemudian obat masuk ke darah dan berikatan dengan protein plasma dan
dibawa oleh darah ke seluruh tubuh. Obat bebas akan keluar ke jaringan, ke hati
sebagai metabolit yang dikeluarkan oleh empedu dan di ginjal sebagai metabolit
yang dieksresikan melalui urin. Pada praktikum ini absorpsi dan eksresi obat akan
dilihat dari urin dan juga saliva dari probandus yang meminum Kalium Iodida.

1.2 TUJUAN PERCOBAAN

Tujuan dari percobaan ini adalah :

 Memperlihatkan variasi kecepatan absorpsi obat yang diberikan secara oral


pada manusia melalui saliva
 Memperlihatkan variasi kecepatan eksresi obat yang diberikan secara oral
pada manusia melalui urin.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FARMAKOKINETIKA OBAT

Farmakokinetika saat ini didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari proses


perjalanan obat mulai dari absorpsi, distribusi, metabolise sampai obat diekskresikan
oleh tubuh.Farmakokinetika merupakan bagian dari farmakologi,farmakologi adalah
ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat
kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan nasibnya dalam
organisme hidup. Dan untuk menyelidiki semua interaksi antara obat dan tubuh
manusia khususnya, serta penggunaannya pada pengobatan penyakit disebut
farmakologi klinis.Studi farmakokinetika yang fokus mempelajari perjalanan obat
pada tingkat individu disebut farmakokinetika klinis. Tujuan utama farmakokinetika
klinis yaitu menerapkan prinsip farmakokinetika untuk memanajemen terapeutik
obat yang aman dan efektif pada pasien individu.

Pada prinsipnya penerapan farmakokinetik klinis bertujuan untuk


meningkatkan efektivitas terapi dan menurunkan efek samping atau toksisitas obat
pada pasien. Efek obat selalu dihubungkan dengan konsentrasi obat pada tempat
aksinya atau disebut juga reseptornya. Sedangkan tempat aksi obat dapat berada
secara luas di dalam tubuh misalnya di jaringan, oleh karena itu tidak mungkin
mengukur langsung konsentrasi obat dalam jaringan. Pengukuran konsentrasi obat
biasanya dilakukan menggunakan plasma, urine, saliva, dan cairan tubuh yang
mudah pengambilannya, diupayakan untuk menggambarkan prediksi hubungan
antara konsentrasi obat dalam plasma dengan konsentrasi obat pada reseptornya.Ada
beberapa faktor yang dapat menyebabkan perbedaan tercapainya konsentrasi obat
dalam plasma yang berakibat pada perbedaan respon farmakologinya.

1. Perbedaan dalam proses absorbsi,distribusi, metabolisme dan ekskresi


atau eliminasi.
2. Status penyakit/patofisiologis/fisiologis
3. Interaksi obat
Farmakokinetika juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
hubungan kuantitatif antara dosis obat yang diberikan dengan konsentrasi di dalam
plasma atau darah maupun jaringan yang diamati. Aspek teoritis farmakokinetika
melibatkan pengembangan model farmakokinetika yang memprediksi hubungan
dosis obat dan konsentrasinya di dalam plasma setelah pemberian obat. Model
farmakokinetika juga dapat digunakan untuk memperkirakan waktu paruh eliminasi
yang memberikan informasi tentang sifat dasar obat dan memprediksi hubungan
konsentrasi dan waktu obat pada dosis yang berbeda. Melalui pertimbangan
farmakokinetika dokter dapat menentukan pilihan obat, dosis, rute, frekuensi
administrasi dan durasi terapi untuk mencapai tujuan terapeutik tertentu (Indriani,
2021).

2.2 PROSES DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


ABSORBSI OBAT

Proses absorpsi suatu obat untuk mencapai sirkulasi sistemik, terlebih dahulu harus


melewati satu atau lebih membran sel. Permeabilitas suatu obat dari tempat absorpsi
menuju sirkulasi sistemik berhubungan erat dengan sifat fisika dan biokimia suatu
membran sel dan struktur molekul obat itu sendiri

Proses absorpsi dan transport zat ke dalam sel dapat terjadi secara :

1. Trans seluler.
Absorpsi obat secara transseluler terjadi dengan menembus membran sel.
Barrier fisik dari transport secara transseluler ini adalah lapisan lipid
membran sel, sehingga menyebabkan molekul-molekul hidrofilik sulit untuk
menembusnya
2. Paraseluler.
Absorpsi obat secara paraseluler terjadi melalui pori-pori tight junction antar
sel. Barrier utama dari transport secara paraseluler ini adalah poripori tight
junction. Diameter pori-pori tight junction ± 4 Å. Sebagian pengaruh
penambahan besar obat mempunyai diameter lebih besar dari luas
permukaan. Jalur paraseluler ini jauh lebih kecil dibandingkan jalur
transeluler (0,01 % : 99,9 %), maka transport secara paraseluler ini kurang
berperan penting dalam transport molekul obat.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap laju absorpsi obat, antara lain :

1. Bentuk sediaan

Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan absorpsi obat dan secara
tidak langsung mempengaruhi sifat intensitas tanggapan farmakologis bahan obat.
Bentuk larutan, serbuk, suspensi, emulsi, kapsul, tablet dan pil masing-masing
memerlukan waktu yang berbeda-beda untuk dapat pecah, melarut dan diabsorpsi.

2. Kecepatan melarut obat

Kecepatan melarut obat tergantung kepada ukuran partikel, sifat fisiko kimia bahan
obat, dan bentuk sediaan. Makin kecil ukuran partikel, luas yang bersinggungan
dengan pelarut makin besar sehingga kecepatan melarut makin besar pula. Sifat
fisiko kimia yang mempengaruhi antara lain bentuk kristal atau amorf, kelarutan obat
dalam lemak/ air, adanya ionisasi, dan bentuk garam, basa, asam atau kompleks akan
memberikan kecepatan melarut yang berbeda-beda. Pengaruh penambahan

3. Rute pemberian obat

Obat yang diberikan secara oral dan per rektal melibatkan faktor absorpsi melalui
suatu sistem biotransformasi. Pemberian injeksi secara subkutan, intramuskular,
intradermal, intraperitonial dan intratekal obat tidak langsung masuk cairan tubuh
tetapi terlebih dahulu membentuk depo-depo, setelah itu obat akan dilepaskan sedikit
demi sedikit, dalam hal ini faktor absorpsi ikut berperan. Pemberian injeksi secara
intravena, intraarterial, intraspinal dan intraserebral tidak melibatkan proses absorpsi,
obat langsung masuk aliran darah dan kadar obat tertinggi dalam darah akan segera
tercapai.

4. Faktor-faktor biologis

Faktor biologis tergantung dari masing-masing individu, yang termasuk dalam faktor
biologis antara lain variasi keasaman dari saluran cerna, lambung pH 1-3,5, usus
halus (duodenum pH 5-7, ileum pH 6-7), usus besar pH 8. Faktor lainnya adalah
volume sekresi cairan lambung, motilitas dari saluran pencernaan, kosong tidaknya
lambung, dan sirkulasi darah pada saat absorpsi (Putra, 2010).

Setelah diabsorbsi obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi


darah karena selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh
sifat fisikokimia obat. Distribusi obat adalah proses suatu obat yang secara reversibel
meninggalkan aliran darah untuk kemudian masuk ke cairan ekstrasel atau ke dalam
sel-sel jaringan. Pengiriman obat dari plasma darah ke interstisium terutama
tergantung pada aliran darah,permeabilitas kapiler, derajat ikatan obat tersebut
dengan protein plasma atau jaringan dan hidrofobisitas dari obat tersebut.Setelah
obat mengalami proses distribusi, obat kemudian akan mengalami biotransformasi.
biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh dan dikataliskan oleh enzim pada proses ini molekul obat
diubah menjadi lebih polar atau lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam
lemak sehingga mudah diekskresikan melalui ginjal.

2.3 PROSES DAN CARA EKSKRESI OBAT

Ekskresi atau eliminasi obat sebagian besar melalui hati dan ginjal, meskipun
masih ada beberapa jalur eliminasi lainnya misalnya secara bilier. Obat dikeluarkan
dari tubuh sebagai senyawa induk atau metabolit.. Ekskresi obat dan metabolitnya
melibatkan tiga proses, yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubular pasif dan
reabsorpsi tubular aktif. Jumlah obat yang memasuki tubulus ginjal tergantung pada
laju filtrasi glomerulus dan fraksi obat yang terikat protein plasma (Indriani, 2021).

Ekskresi adalah pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama


dilakukan oleh ginjal melalui air seni, dan dikeluarkan dalam bentuk metabolit
maupun bentuk asalnya. Disamping itu ada pula beberapa cara lain, yaitu:

1. Kulit, bersama keringat, misalnya paraldehide dan bromida


2. Paru-paru, dengan pernafasan keluar, misalnya pada anestesi umum, anestesi
gas / anestesi terbang seperti halotan dan siklopropan.
3. Hati, melalui saluran empedu, misalnya fenolftalein, obat untuk infeksi
saluran empedu, penisilin, eritromisin dan rifampisin.
4. Air susu ibu (ASI), misalnya alkohol, obat tidur, nikotin dari rokok dan
alkaloid lain. Harus diperhatikan karena dapat menimbulkan efek
farmakologi atau toksis pada bayi.

5. Usus, bersama tinja, misalnya sulfa dan preparat besi(Nila & Halim , 2013).

2.4 FUNGSI URIN DALAM EKSKRESI OBAT

Tetapan laju eliminasi obat dapat dihitung dari data ekskresi obat melalui
urin.Bioavailabilitas (BA) adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam produk
obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif,
setelah pemberian obat diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari
ekskresinya dalam urin. Dalam penghitungan laju ekskresi obat dengan data urin,
farmakokinetika obat mengikuti orde satu. Cuplikan urin dapat dikumpulkan segera
setelah pemberian obat. Pengumpulan urin dapat dilaku

Urine sendiri merupakan hasil penyaringan darah oleh ginjal yang


dikeluarkan tubuh melalui saluran kemih, yaitu salah satu bagian dari sistem urinaria.
Urine dikeluarkan untuk membuang sisa-sisa metabolisme, misalnya urea dan racun
dari dalam tubuh.kan pada jarak waktu tertentu kemudian konsentrasi obat
dianalisisProses pembentukan urine yang terjadi di dalam ginjal diawali dengan
proses filtrasi atau penyaringan. Pada tahap ini, ginjal akan menerima aliran darah
yang membawa air dan zat sisa metabolisme dari dalam tubuh.Selanjutnya, nefron
akan menyaring darah yang mengalir masuk ke dalam ginjal untuk memisahkan
racun dan zat sisa metabolisme tubuh.

Penggunaan sampel urin dalam penetuan parameter farmakokinetika obat


memberikan banyak keuntungan. Keuntungan tersebut antara lain sampel urin sangat
mudah dikumpulkan dan sederhana dalam hal preparasi sampel. Dalam praktek
klinis, keuntungan sampel urin yang paling penting adalah tidak adanya interfensi
terhadap pasien sehingga tidak mengganggu dan membahayakan pasien. Hal yang
terpenting adalah dengan menggunakan data urin dapat diperoleh tetapan laju
eliminasi, laju ekskresi obat melalui ginjal dan nilai laju ekskresi nonrenal (Suardi, et
al.,2013).
BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1. ALAT DAN BAHAN PERCOBAAN


Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah :
a. Tabung reaksi (pyrex)
b. Gelas ukur (pyrex)
c. Pipet tetes (pyrex)
d. Labu ukur (pyrex iwaki)

Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah :

a. Kalium iodida (Emsure)


b. Larutan kalium iodida 1% (Emsure)
c. Larutan natrium nitrit 10% (Emsure)
d. Larutan asam sulfat dilutus 10% (Emsure)
e. Larutan amilum 1%

3.2. METODE KERJA


Metode yang digunakan pada percobaan ini adalah analisa kualitatif dengan
metode deskriptif. Kualitatif merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan
cenderung menggunakan analisis mendalam. Ciri dan karakter kualitatif pada
prinsipnya lebih mengandalkan pada aspek deskripsif terhadap data-data yang
diperoleh dari lapangan (Kaharuddin, 2021).

3.3. CARA KERJA


Tabung I

Dimasukkan 1 ml Kalium iodida 1% dan 1 ml amilum 1%

Diamati perubahan yang terjadi

Kuning pucat
Tabung II

Dimasukkan 1 ml Kalium iodida 1% + 1 ml amilum 1% dan 3 tetes


H2SO4 dilutus

Diamati perubahan yang terjadi

Larutan bening dan membentuk


sedikit endapan biru

Tabung III

Dimasukkan 1 ml Kalium iodida 1% + 1 ml amilum 1% + 3 tetes NaNO2


10% dan 3 tetes H2SO4 dilutus

Diamati perubahan yang terjadi

Larutan bewarna coklat, muncul gelembung


dan membentuk endapan hitam

Tabung IV A

Dimasukkan 1 ml urin kontrol + 1 ml amilum 1% + 3 tetes NaNO2 10%


dan 3 tetes H2SO4 dilutus

Diamati perubahan yang terjadi

Larutan bewarna kuning dan muncul


gelembung gas

Tabung IV B

Dimasukkan 1 ml saliva kontrol + 1 ml amilum 1% + 3 tetes NaNO2 10%


dan 3 tetes H2SO4 dilutus

Diamati perubahan yang terjadi

Terbentuk 2 fasa bewarna putih keruh dan


bening Praktikan
Diminum kapsul kalium iodida

Urin saliva

Ditampung urin pada menit 30 Ditampung urin pada menit 30

Ditampung urin pada menit 60 Ditampung urin pada menit 60

Ditampung urin pada menit 90 Ditampung urin pada menit 90

Tabung V Tabung VI Tabung VII Tabung VIII Tabung IX Tabung X


(30 menit) (30 menit) (60 menit) (60 menit) (90 menit) (90 menit)
1 ml urin + 1 ml saliva 1 ml urin + 1 ml saliva + 1 ml urin + 1 ml saliva +
+ 3 tetes + + 3 tetes + 3 tetes + 3 tetes + 3 tetes + 3 tetes
Natrium Natrium Natrium Natrium Natrium Natrium
Nitrit 10% Nitrit 10% Nitrit 10% Nitrit 10% + Nitrit 10% Nitrit 10% +
+ 3 tetes + 3 tetes + 3 tetes 3 tetes + 3 tetes 3 tetes
H2SO4 H2SO4 H2SO4 H2SO4 H2SO4 H2SO4
dilutus + 1 dilutus + 1 dilutus + 1 dilutus + 1 dilutus + 1 dilutus + 1
ml Amilum ml Amilum ml Amilum ml Amilum ml Amilum ml Amilum
1% 1% 1% 1% 1% 1%

Bewarna Ada 2 Ada 2 Ada 2 Ada 2


Ada 2
kuning fasa fasa fasa fasa
fasa
pekat dan endapan banyak sedikit sedikit
endapan
bergelemb biru dan endapan endapan endapan
biru dan
ung larutan biru dan biru dan biru dan
larutan
kuning larutan larutan larutan
kuning
keruh kuning bening jingga
pekat pudar

3.4. PERHITUNGAN
Perhitungan dosis maksimum kalium iodida :
Kalium iodida yang digunakan sebanyak 300 mg.
N
 DM = x dosis dewasa
20
19
= x 500 mg
20
= 175 mg
300 mg
 % 1 kali pakai = x 100%
475 mg
= 63,15% (aman)
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. DATA HASIL PENGAMATAN

Tabung Perlakuan Pengamatan


I 1 mL KI 1% + 1 mL amylum Larutan berwarna kuning pucat
1%
II 1 mL KI 1% + 1 mL amylum Larutan bening dan terdapat
1% + 2-5 tetes H2SO4 dilutus endapan biru
III 1 mL KI 1% + 1 mL amylum Terbentuk 2 fasa, terdapat
1% + 2-3 tetes NaNO2 10% + 2- gelembung udara, larutan
5 tetes H2SO4 dilutus berwarna coklat dan ada
endapan hitam
IV-A 1 mL urin kontrol + 1 mL Larutan berwarna kuning dan
amylum 1%+ 2-3 tetes NaNO2 terdapat gelembung udara
10% + 2-5 tetes H2SO4 dilutus
IV-B 1 mL saliva kontrol + 1 mL Terbentuk 2 fasa yaitu larutan
amylum 1%+ 2-3 tetes NaNO2 yang berwarna putih keruh dan
10% + 2-5 tetes H2SO4 dilutus bening
V (30’) 1 mL urin subjek coba yang Larutan berwarna kuning pekat
mengkonsumsi KI + 1 mL dan terdapat gelembung udara
amylum 1%+ 2-3 tetes NaNO2
10% + 2-5 tetes H2SO4 dilutus
VI (30’) 1 mL saliva subjek coba yang Larutan berwarna kuning keruh
mengkonsumsi KI + 1 mL dan terdapat endapan biru
amylum 1%+ 2-3 tetes NaNO2 keunguan
10% + 2-5 tetes H2SO4 dilutus
VII (60’) 1 mL urin subjek coba yang Larutan berwarna kuning dan
mengkonsumsi KI + 1 mL terdapat endapan biru keunguan
amylum 1%+ 2-3 tetes NaNO2
10% + 2-5 tetes H2SO4 dilutus
VIII (60’) 1 mL saliva subjek yang Larutan berwarna kuning pekat
mengkonsumsi KI + 1 mL dan terdapat banyak endapan
amylum 1%+ 2-3 tetes NaNO2 biru
10% + 2-5 tetes H2SO4 dilutus
IX (90’) 1 mL urin subjek coba yang Larutan berwarna bening dan
mengkonsumsi KI + 1 mL terdapat sedikit endapan biru
amylum 1%+ 2-3 tetes NaNO2
10% + 2-5 tetes H2SO4 dilutus
X (90’) 1 mL saliva subjek coba yang Terbentuk dua fasa, sedikit
mengkonsumsi KI + 1 mL endapan biru, dan larutan
amylum 1%+ 2-3 tetes NaNO2 berwarna bening dan jingga.
10% + 2-5 tetes H2SO4 dilutus

4.2 PEMBAHASAN

Percobaan berjudul absorbsi dan ekskresi obat dilakukan dengan


menggunakan kalium iodida sebagai zat yang akan ditentukan kecepatan absorbsi
dan ekskresinya pada tubuh 2 orang subjek coba yang telah ditentukan. Sebelum
memulai percobaan, subjek coba diminta untuk mengosongkan kandung kemih
selama minimal 3 jam. Urin dan saliva dari masing-masing subjek coba kemudian
diambil sebelum memulai percobaan dan dijadikan sebagai urin dan saliva kontrol.
Selanjutnya, subjek coba diminta untuk meminum 1 kapsul yang berisi kalium iodida
sebanyak 300 mg dengan segelas air. Setelah subjek coba meminum kapsul tersebut,
urin dan saliva masing-masing subjek coba diambil pada interval waktu 30 menit, 60
menit, dan 90 menit untuk diuji menggunakan beberapa bahan kimia berupa larutan
amylum 1%, larutan H2SO4 dilutus, dan larutan natrium nitrit 10%. Larutan amylum
1% berfungsi sebagai indikator untuk menunjukkan adanya kalium iodida pada urin
dan saliva pada probandus. Larutan H2SO4 dilutus berfungsi sebagai katalisator
untuk reaksi yang dilakukan. Larutan natrium nitrit berfungsi sebagai oksidator untuk
memutuskan ikatan pada senyawa kalium iodida agar rantai kalium dan iodida dapat
diputuskan sehingga iodida dapat berikatan dengan amylum membentuk kompleks
berwarna biru.
Pengujian dan pengamatan dilakukan dengan menggunakan 11 tabung reaksi.
Tabung reaksi I diisi dengan 1 ml larutan kalium iodida 1% yang ditambahkan
dengan 1 ml larutan amylum 1%. Hasil dari campuran tersebut adalah terbentuk
larutan berwarna putih keruh dengan sedikit warna kuning. Tabung reaksi II diisi
dengan 1 ml larutan KI 1% yang ditambahkan dengan 1 ml larutan amylum 1% dan 3
tetes larutan H2SO4 dilutus. Hasil dari campuran tersebut adalah larutan menjadi
bening dengan endapat biru keunguan dalam jumlah yang sangat sedikit. Tabung
reaksi III diisi dengan 1 ml larutan KI 1% yang ditambahkan dengan 1 ml larutan
amylum 1%, 3 tetes larutan H2SO4 dilutus dan 3 tetes larutan NaNO2. Hasil dari
campuran tersebut adalah larutan menjadi berwarna coklat, terdapat gelembung-
gelembung gas dan endapan berwarna hitam. Tabung reaksi IV-A diisi dengan 3 ml
urin kontrol, kemudian ditambahkan dengan 1 ml larutan amylum 1%, 3 tetes
H2SO4 dilutus dan 3 tetes NaNO2 10%. Hasil dari campuran tersebut adalah larutan
menjadi berwarna kuning dan terbentuk gelembung-gelembung gas. Tabung reaksi
IV-B diisi dengan 3 ml saliva kontrol, kemudian ditambahkan dengan 1 ml larutan
amylum 1%, 3 tetes H2SO4 dilutus dan 3 tetes NaNO2 10%. Hasil dari campuran
tersebut adalah terbentuk larutan dengan 3 fasa yang berbeda warna yaitu keruh,
bening dan berwarna biru keunguan. Pengujian pertama pada urin dan saliva yang
telah diberi perlakuan dilakukan setelah interval waktu 30 menit. Tabung V diisi
dengan 1 ml urin subjek coba yang mengonsumsi kalium iodida setelah interval
waktu 30 menit, kemudian ditambahkan dengan 1 ml larutan amylum 1%, 3 tetes
H2SO4 dilutus dan 3 tetes NaNO2 10%. Hasil yang terbentuk adalah larutan menjadi
berwarna kuning pucat dan terbentuk gelembung-gelembung gas yang banyak.
Tabung reaksi VI diisi dengan 1 mL saliva subjek coba yang mengkonsumsi kalium
iodida setelah interval waktu 30 menit dengan 1 mL amylum 1%, 3 tetes NaNO 2, dan
3 tetes H2SO4 dilutus. Hasil yang diperoleh dari tabung keenam adalah larutan
berwarna kuning keruh dan terdapat endapan biru keunguan. Pengujian kedua pada
urin dan saliva yang telah diberi perlakuan dilakukan pada interval waktu 60 menit.
Tabung reaksi VII diisi dengan 1 mL urin subjek coba yang mengkonsumsi kalium
iodida setelah interval waktu 60 menit dengan ditambahkan 1 mL amylum 1%, 3
tetes NaNO2, dan 3 tetes H2SO4 dilutus. Hasil yang diperoleh dari tabung ketujuh
adalah larutan berwarna kuning dan terdapat endapan biru keunguan. Tabung reaksi
VIII diisi dengan 1 mL saliva subjek coba yang mengonsumsi kalium iodida setelah
interval waktu 60 menit dengan 1 mL amylum 1%, 3 tetes NaNO 2, dan 3 tetes H2SO4
dilutus. Hasil yang diperoleh dari tabung kedelapan adalah larutan berwarna kuning
pekat dan terdapat banyak endapan biru. Pengujian terakhir pada urin dan saliva yang
telah diberi perlakuan dilakukan dilakukan setelah interval waktu 90 menit. Tabung
reaksi IX diisi dengan 1 mL urin subjek coba yang mengkonsumsi kalium iodida
setelah interval waktu 90 menit dengan ditambhakan 1 mL amylum 1%, 3 tetes
NaNO2, dan 3 tetes H2SO4 dilutus. Hasil yang diperoleh dari tabung kesembilan
adalah larutan berwarna bening dan terdapat sedikit endapan biru. Tabung reaksi X
diisi dengan 1 mL saliva subjek coba yang mengkonsumsi kalium iodida setelah
interval waktu 90 menit dengan 1 mL amylum 1%, 3 tetes NaNO 2, dan 3 tetes H2SO4
dilutus. Hasil yang diperoleh dari tabung kesepuluh adalah terbentuk dua fasa, sedikit
endapan biru, dan larutan berwarna bening dan jingga.

Hasil pada tabung reaksi I menunjukkan bahwa reaksi antara larutan kalium
iodida 1% dengan amylum 1% belum terjadi. Hal ini disebabkan karena konsentrasi
kalium iodida yang sangat sedikit dan tidak terdapat oksidator dan katalisator pada
reaksi tersebut, sehingga reaksi berlangsung sangat lambat. Hasil pada tabung reaksi
II menunjukkan bahwa terjadi reaksi yang berlangsung cepat antara larutan kalium
iodida 1% dengan larutan amylum 1% yang ditandai dengan adanya endapan biru.
Hal ini disebabkan karena adanya peran katalisator sehingga reaksi dapat
berlangsung dengan cepat. Hasil pada tabung III menunjukkan bahwa reaksi
berlangsung sangat cepat yang ditandai dengan terbentuk 2 fasa, terdapat gelembung
udara, larutan berwarna coklat dan ada endapan hitam. Hal ini disebabkan karena
adanya penambahan oksidator yang berperan memutuskan ikatan antara kalium dan
iodida sehingga iodida dapat dengan cepat bereaksi dengan amylum. Hasil pada
tabung IV-A dan IV-B yang berisi urin dan saliva kontrol menujukkan bahwa kedua
larutan pada tabung tidak terdapat adanya warna biru. Hal ini disebabkan karena urin
dan saliva kontrol tersebut belum mengandung kalium iodida karena subjek masih
dalam keadaan berpuasa dan belum mengonsumsi kalium iodida.

Pengamatan ekskresi kalium iodida melalui urin pada waktu 30 menit (tabung
reaksi V) menunjukkan bahwa tahap ekskresi belum terjadi. Hal ini dikarenakan
belum adanya perubahan warna larutan menjadi biru, yang disebabkan oleh jumlah
iodium yang terlalu kecil saat diekskresikan sehingga tidak terbaca dan tidak terlalu
terlihat pada pengamatan, serta tingkat kelarutan yang sangat kecil pada kompleks
iodium dan amilum sehingga membutuhkan kecepatan mata untuk mengamati
adanya perubahan warna. Pengamatan ekskresi kalium iodida pada saliva terjadi
lebih cepat yaitu telah terjadi pada menit ke-30. Hal ini ditandai dengan adanya
endapan biru pada larutan karena kompleks antara iodium dan amilum. Sementara
itu, ekskresi kalium iodida pada urin mulai terjadi pada menit ke-60 yang ditandai
dengan adanya endapan biru pada larutan. Percobaan ekskresi kalium iodida
memperlihatkan hasil bahwa ekskresi kalium iodida melalui saliva lebih cepat
dibandingkan ekskresi kalium iodida dalam urin.

Berdasarkan percobaan tersebut, dapat dilihat bahwa semakin lama interval


waktu yang digunakan, maka semakin pekat warna larutan yang diperoleh dari hasil
pengamatan. Iodium dan amilum akan menghasilkan reaksi dengan timbulnya warna
biru yang merupakan penanda untuk mengetahui adanya kandungan iodium pada
urin dan saliva yang diekskresikan. Iodium memiliki kecepatan yang sama apabila
diekskresikan melalui saliva dan urin. Kalium iodida yang dieksresikan melalui urin
dan saliva telah menunjukkan bahwa kalium iodida sudah diekskresi pada menit ke-
30. Oleh karena itu, semakin banyak Kalium Iodida yang diekskresikan pada menit
ke-60 dan menit ke-90 yang ditandai dengan warna larutan yang menjadi semakin
keruh dan endapan semakin pekat. Hal ini menandakan bahwa semakin lama interval
waktu pada percobaan ini maka semakin banyak kalium iodida yang diabsorpsi dan
dieksresi melalui saliva dan urin.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan yang telah didapatkan, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa :

1. Pengamatan kecepatan absorbsi dan ekskresi dari zat kalium iodida melalui
urin dari salah satu subjek coba menunjukkan hasil absorbsi dan ekskresi
yang telah terjadi saat menit ke-60.
2. Pengamatan kecepatan absorbsi dan ekskresi dari zat kalium iodida melalui
saliva dari salah satu subjek coba menunjukkan hasil absorbsi dan ekskresi
yang telah terjadi saat menit ke-30.
3. Hasil pengamatan kandungan kalium iodida yang telah diekskresikan melalui
urin dan saliva subjek coba berdasarkan interval waktu tersebut menunjukkan
adanya perbedaan waktu ekskresi antara melalui saliva dan melalui urin serta
terdapat variasi kecepatan absorbsi dan ekskresi kalium iodida yang diberikan
secara oral antara kedua subjek coba.
DAFTAR PUSTAKA

Ethel, S. (2021). Anatomi dan Fisiologi Manusia untukPemula. Jakarta:


ECG Penerbit Buku Kedokteran.

Ganiswara, S. G., Setiabudi, R., Suryatna. (2013). Farmakologi dan Terapi. Jakarta:

EGC Penerbit Buku Kedokteran.

Gunawan, S. (2013). Farmakologi dan Terapi, Edisi ke-5. Jakarta: Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Indah, Y. W., & Woro, S. (2021). Gambaran Penggunaan Obat Pasien Penyakit
Ginjal

Kronik Di Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Gamping. Jurnal

Farmagazine, 8 (2): 37-43.

Kaharuddin.(2021). Kualitatif Ciri dan Karakter sebagai Metodelogi. Jurnal

Pendidikan, 9(1): 1-8.

Shargel, L & Andrew. (2013). Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics. New

York: McGraw-Hill Companies.

Sherwood,. L. (2013). Fisiologi Manusia, Edisi ke-6. Jakarta: Buku Kedokteran.

Siswandono. (2016). Kimia Medisinal,Edisi ke-1. Surabaya: Airlangga University

Press.

Anda mungkin juga menyukai