Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktikum Biofarmasetika dan
Farmakokinetika
Dosen Pengampu :
1. Drs. Umar Mansur, M.Sc.
2. Apt. Marvel, M.Farm.
3. Apt. Suci Ahda Novitri, S.Farm., M.Si.
4. Apt. Mita Restiani, M.Farm.
Disusun oleh :
Kelompok 2 C
DAFTAR ISI.…………………………………...……………...……...……………………... i
BAB I: PENDAHULUAN..……………………………………...…………………………...1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………. .1
1.2 Tujuan Praktikum……………………………………………………………………...2
BAB II: LANDASAN TEORI..……………………………………...……………..………..3
BAB III: PROSEDUR KERJA..……………………………………...……………..………6
3.1 Alat dan Bahan………………………………………………………………………...6
3.2 Prosedur Kerja…………………………………………………………………………6
BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN..……………………………………...……………8
4.1 Hasil…………………………………………………………………………………...8
4.1.1 Persamaan Kurva Kalibrasi ….... ..……………………………………………...8
4.1.2 Data Hasil Pengukuran Absorbansi Parasetamol .................................................9
4.1.3 Perhitungan Kadar Terukur …………………………………………………….9
4.1.4 Perhitungan Perolehan Kembali (Recovery) ……….…………………………...9
4.1.5 Perhitungan Kesalahan Sistematik (Akurasi) .………………………………....10
4.1.6 Perhitungan Kesalahan Acak (Presisi) .………………………………………..10
4.2 Pembahasan…………………………………………………………………………..12
BAB V: KESIMPULAN..……………………………………...……………..……………..16
DAFTAR PUSTAKA..……………………………………...……………..………………...17
LAMPIRAN ………………………………...……………...……………..………………...18
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan Praktikum
Mengetahui langkah-langkah analisis obat dalam cairan.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Parasetamol
3
2.2 Plasma Darah
Darah terdiri atas plasma dan sel-sel darah. Sebagian besar sel darah merupakan sel
darah merah atau eritrosit, sedangkan jumlah sel darah putih atau leukosit relatif sangat
sedikit, yaitu 0,2% dari jumlah eritrosit. Disamping eritrosit dan leukosit, ada partikel lain
yang disebut trombosit. Trombosit sangat berguna pada proses penggumpalan darah
(Pudjiadi, 1994). Apabila darah yang sebelumnya telah diberi antikoagulan dilakukan
sentrifugasi, maka sel-sel darah merah akan mengendap sedangkan plasma akan berada
dalam bentuk cairan bening atau supernatan di atasnya (Pudjiadi, 1994).
Volume rata-rata plasma pada pria adalah 55%, pada wanita 58% dari volume darah
(Sherwood, 1996). Plasma manusia mengandung 90-92% air. Peranan air dalam darah sangat
besar, sebab disamping sebagai pelarut zat - zat, air diperlukan untuk menjaga tekanan darah,
kondisi osmotik, dan pengatur suhu tubuh dengan meratakan panas tubuh (Pudjiadi, 1994).
Zat-zat yang terdapat dalam plasma diantaranya adalah protein darah; garam-garam
mineral (garam kalsium, kalium, natrium, dan lain- lain) yang berguna dalam metabolisme
dan juga mengadakan osmotik; zat makanan (asam amino, glukosa, lemak, mineral, dan
vitamin); hormon; dan antibodi/ antitoksin (Syaifuddin, 2006). Protein adalah zat padat yang
paling banyak terdapat di dalam plasma, yaitu antara 6-8% dari plasma. Protein yang terdapat
di dalam plasma antara lain adalah fibrinogen, globulin, dan albumin. Albumin dan globulin
merupakan protein yang paling banyak terdapat dalam plasma yang berfungsi sebagai zat
yang menentukan besarnya tekanan osmotik (Pudjiadi, 1994). Adapun fibrinogen merupakan
suatu protein darah yang sangat berguna dalam peristiwa penggumpalan darah. Plasma masih
terdapat fibrinogen di dalamnya, hal ini disebabkan fibrinogen tidak berubah menjadi fibrin
karena penambahan antikoagulan (Sadikin, 2001).
4
Terdapat beberapa teknik penyiapan sampel yang biasa digunakan untuk analisis
dalam matriks plasma, antara lain :
a. Pengendapan protein
Pada metode ini digunakan asam atau pelarut organik yang bercampur dengan
air untuk menghilangkan protein dengan cara denaturasi atau presipitasi. Asam seperti
asam trikloroasetat (TCA) dan asam perklorat merupakan pengendap protein yang
sangat efisien untuk mengendapkan protein pada konsentrasi 5-20%. Pelarut organik
seperti metanol, asetonitril, aseton, dan etanol meskipun kurang efisien dalam
mengendapkan protein namun telah digunakan secara luas untuk bioanalisis karena
kompatibel dengan fase gerak KCKT serta dapat mengekstraksi senyawa berdasarkan
prinsip kepolaran. Pelarut organik dapat menurunkan solubilitas protein sehingga
protein akan mengendap (Evans, 2004).
b. Ekstraksi cair-cair
Ekstraksi cair-cair berguna untuk memisahkan analit dari pengotor dengan
menyekat sampel diantara 2 fase larutan yang tidak tercampurkan. Fase pertama
umumnya berupa fase aqueous, sedangkan fase kedua berupa fase organik. Prinsip
ekstraksi ini adalah senyawa yang bersifat lebih hidrofobik akan cenderung mudah
ditemukan di fase organik. Analit yang terekstraksi ke dalam fase organik akan mudah
diperoleh kembali melalui penguapan, sedangkan analit yang terekstraksi ke dalam
fase aqueous dapat langsung disuntikkan ke dalam kolom KCKT fase terbalik.
Kelemahan metode ini adalah tidak dapat diaplikasikan ke semua analit, contohnya
analit yang bersifat sangat polar akan sulit menggunakan metode ini (Evans, 2004).
c. Ekstraksi fase padat
Prinsip mekanisme pemisahan dan isolasi yang digunakan dalam ekstraksi fase
padat adalah fase terbalik, fase normal, dan ion exchange. Prinsip umum ekstraksi
fase padat yaitu adsorbsi obat dari larutan ke dalam adsorben atau fase diam.
Adsorben yang digunakan pada ekstraksi ini terdiri dari partikel silika ukuran 40-60
µm yang berikatan membentuk fase hidrokarbon. Ekstraksi fase padat adalah suatu
teknik yang dapat mengatasi beberapa masalah yang ditemui pada ekstraksi cair-cair.
Ektraksi fase padat secara umum melalui 5 tahap proses, diantaranya pengkondisian
(conditioning), penyeimbangan fase diam (equlibration), memasukkan sampel
(loading), pencucian dan elusi sampel (washing dan elution). (Evans, 2004 ; Harahap,
Y., 2010).
5
BAB III
PROSEDUR KERJA
6
4. Setelah di sentrifuge, diambil 0,1 mL dari tiap seri konsentrasi lalu dimasukkan
ke dalam tabung reaksi yang berisi 3,9 mL air. Dibaca didalam spektro.
D. Menetapkan Panjang Gelombang Larutan Parasetamol dengan Serapan Maksimum (λ
max)
1. Intensitas warna larutan obat diukur serapannya pada panjang gelombang 243 nm
E. Membuat Kurva Kalibrasi Parasetamol
1. Membuat kurva kalibrasi dengan larutan parasetamol dengan seri konsentrasi 6,
8, 10, 12, dan 14
2. Tiap seri konsentrasi dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometri UV
- vis
3. Dibuat kurva kalibrasi parasetamol dengan data konsentrasi terhadap
absorbansinya
4. Dibuat persamaan garis menggunakan persamaan kuadrat terkecil Y= ax + b dan
dihitung nilai r dari plot tersebut
F. Menentukan Perolehan Kembali, Kesalahan Acak dan Kesalahan Sistemik
1. Disediakan larutan parasetamol dalam supernatan : 100, 200, 300, 400, 600 dan
800 ppm.
2. Masing-masing diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 3,9
ml aquades
3. Berdasarkan persamaan garis, ditentukan kadar masing-masing dan dihitung
kadar rata-rata simpangan baku
7
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
1. Persamaan kurva kalibrasi menggunakan data praktikum pertemuan pertama
Tabel Absorbansi
1 2 3
● Grafik Absorbansi
● Regresi Linear
y = bx + a
y = 0,0534 x + 0,0083
r² = 0,9996
8
2. Data Hasil Pengukuran Absorbansi Paracetamol
Pertanyaan:
9
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑘𝑢𝑟
𝑃𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖 (%𝑃) = 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑡𝑎ℎ𝑢𝑖
×100%
y = 0,0534 x + 0,0083
300 0,718 13,29026
10
3. Hitunglah Kesalahan Sistematik (Akurasi) ! Apa tujuannya?
Tujuan : Untuk mengetahui kesalahan yang berasal dari pengaruh-pengaruh yang
dapat diketahui dengan pasti
Rumus Kesalahan Sistematik:
11
892,1 -177,9 13900,41
= 202,802
808,4 -201,6 40642,56
= 82,690
4.2 PEMBAHASAN
Pada laporan praktikum ini, akan membahas mengenai “Uji Analisis Kadar
Parasetamol dalam cairan hayati”. Analisis kadar obat dalam cairan hayati dilakukan
dengan tujuan untuk pemantauan kadar obat yang dimana berkaitan dengan optimalisasi
efek obat serta penyesuaian dosis obat secara individu dengan cara mengukur konsentrasi
obat dalam cairan tubuh. Pemantauan kadar obat meliputi pengukuran konsentrasi obat
pada berbagai cairan biologis dan menginterpretasikan makna relevan konsentrasi secara
klinis. Pemantauan kadar obat biasanya dilakukan terhadap beberapa jenis obat dengan
indeks terapi sempit untuk menghindari kondisi kekurangan dosis atau kelebihan dosis
(Dewi 2019). Dalam analisis kadar obat ini menggunakan Parasetamol yang dimana
banyak dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya.
Parasetamol merupakan obat analgesic non narkotik yang bekerja dengan cara
menghambat sintesis prostaglandin terutama pada sistem saraf pusat (SSP). Analgesic
merupakan senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri,
tanpa memiliki kerja anestesi umum (Indriatmoko, Rudiana and Saefullah 2019).
Untuk menguji kadar parasetamol dalam cairan hayati terdapat beberapa prosedur
pengujian yang dapat dilakukan, namun karena beberapa pertimbangan dari pengujian
yang telah dilakukan sebelumnya, maka dalam analisis kadar parasetamol dalam cairan
hayati menggunakan cara yang sudah tertera pada BAB III prosedur kerja.
Dalam praktiknya, komponen non-seluler dari darah (plasma) paling banyak
digunakan untuk menganalisis kadar obat. Plasma darah terdiri dari air, protein,
karbohidrat, lipid, asam amino, vitamin, mineral, fibrinogen dan lain sebagainya.
Komponen tersebut ikut mengalir dalam sirkulasi bersama darah, baik bebas atau
diperantarai molekul lain agar dapat terlarut di dalam plasma (Nugraha, 2015).
12
Cairan hayati dalam pengujian ini menggunakan darah yang didapatkan melalui
Palang Merah Indonesia (PMI). Penggunaan darah yang didapatkan dari PMI lebih
efisien karena sudah dalam bentuk plasma darah yang didalamnya terkandung
antikoagulan. Darah tersebut akan diambil dan dimasukan kedalam tube centrifuge
kemudian akan disentrifugasi selama 7 menit dengan 5000 rpm, hal tersebut dilakukan
untuk memisahkan plasma darah dengan pengotor lainnya sehingga akan terbentuk
supernatan. Namun perlu dicatat bahwa supernatan yang terbentuk masih mengandung
protein.
Kebanyakan senyawa obat berinteraksi dengan protein plasma darah (albumin),
membentuk suatu kompleks obat-makromolekul yang disebut dengan ikatan obat-protein
(Shargel, 2005). Obat yang terikat protein merupakan suatu kompleks besar yang tidak
dapat melewati membran sel dengan mudah sehingga memiliki distribusi yang terbatas
serta tidak aktif secara farmakologis. Sedangkan, obat dalam bentuk fraksi bebas yang
tidak terikat dengan protein dapat melewati membran dan aktif secara farmakologis
(Shargel, 2005). parasetamol merupakan salah satu obat yang dapat berikatan dengan
protein plasma, namun afinitasnya terhadap protein plasma rendah, sehingga dapat aktif
secara farmakologis didalam tubuh (DrugBank, 2005). Akan tetapi dalam melakukan
analisis kadar obat dalam plasma, protein plasma dapat mengganggu hasil analisis ketika
hendak dibaca menggunakan instrumen spektrofotometer. Oleh karena itu, untuk
menghindari hal tersebut dapat ditambahkan senyawa asam organik, salah satunya adalah
TCA (trichloroacetic acid). TCA (trichloroacetic acid) mampu membantu
mengendapkan atau mendenaturasi protein plasma tanpa memecah protein menjadi asam
amino penyusunnya.
Supernatan yang terbentuk dipindahkan kedalam tube baru. Larutan parasetamol
yang sudah dibuat dengan berbagai konsentrasi berbeda dimasukan kedalam tube yang
terdapat supernatant. Dikarenakan supernatan masih mengandung protein yang dapat
mengganggu hasil pengujian maka ditambahkan Trichloroacetic Acid (TCA) sama
banyak. Trichloroacetic Acid (TCA) berfungsi untuk mengendapkan protein yang
terdapat didalam plasma. Penambahan TCA sama banyak dengan supernatan dimaksud
untuk memaksimalkan pengendapan protein sehingga tidak terdapat protein yang dapat
mengganggu hasil pengujian dan hasil. Campuran supernatan, larutan parasetamol, dan
TCA divortex selama 15 detik kemudian disentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan
15000 rpm. Campuran divortex agar bercampur dengan baik kemudian disentrifuge
13
dengan kecepatan 15000 untuk memaksimalkan pemisahan antara plasma yang
mengandung larutan parasetamol dengan protein.
Setelah di sentrifuge, diambil 0,1 ml plasma bebas protein dan mengandung
parasetamol dari masing – masing konsentrasi berbeda pada setiap tubenya. Kemudian
dipindahkan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan aquades sebanyak 3,9 ml.
Penambahan aquades bertujuan untuk mengencerkan plasma agar tidak terlalu pekat
sehingga dapat terbaca oleh spektrofotometer. Plasma yang sudah diencerkan diambil
beberapa ml dan dimasukan ke dalam kuvet, kemudian dianalisis menggunakan
spektrofotometer.
Sebelum menganalisis hasil yang telah didapat, perlu dicari kurva kalibrasi dari
konsentrasi 6, 8, 10, 12, dan 14 ppm pada pertemuan sebelumnya, dimana dari
konsentrasi tersebut didapatkan persamaan regresi linier y = 0,0534 x + 0,0083. Dari
persamaan regresi yang didapat, perlu diperhitungkan kembali kadar yang terukur
dengan konsentrasi yang baru serta perlu dilakukannya perhitungan Perolehan Kembali
(Recovery), Kesalahan Sistematik (Akurasi) dan Kesalahan Acak (Presisi) sebagai
parameter untuk dapat mengukur kadar obat dalam cairan hayati.
Nilai recovery menunjukkan kemampuan metode untuk memberikan ketepatan
pengukuran terhadap analit berdasarkan angka perolehan kembali. Dari hasil perhitungan
recovery, konsentrasi kadar berturut – turut 100;200;300;400;600;800 ppm didapatkan %
recovery berturut – turut sebesar 213%; 250%; 177%; 160%; 85%; 91%. Menurut (Nurul
and Sujana 2020), persen perolehan kembali memenuhi syarat akurasi jika rentang
rata-rata hasil persen perolehan kembali adalah 80 – 110%. Dari % recovery menunjukan
bahwa hanya kadar 600 dan 800 ppm yang termasuk ke dalam rentang syarat
keberterimaan %recovery.
Setelah diketahui %recovery, maka perlu diperhitungkan kesalahan sistematik
(akurasi). Kesalahan sistematik merupakan tolak ukur akurasi penetapan kadar.
Kesalahan ini dapat terjadi karena kesalahan dalam pengukuran, pemakaian alat yang
kurang tepat walaupun alatnya sendiri baik. Berdasarkan perhitungan, kesalahan
sistematik hanya pada kadar 800 ppm dengan kesalahan sistematik sebesar 8% yang
memenuhi syarat dikarenakan syarat dari nilai kesalahan sistematik kurang dari 10%.
Setelah mengetahui nilai kesalahan sistematik, parameter selanjutnya yang perlu
diperhatikan dalam analisis kadar obat dalam cairan hayati adalah kesalahan acak,
dimana perhitungan kesalahan acak dilakukan untuk memperhitungkan kesalahan yang
timbul dari besaran pengaruh yang tidak terduga. Dari hasil perhitungan, kesalahan acak
14
(Presisi) dari berbagai kadar obat hanya kadar 600 dan 800 ppm yang sesuai dengan
persyaratan dimana didapatkan hasil 4%, tidak lebih dari rentang persyaratan yaitu
maksimal 10%.
Dari berbagai hasil yang didapat sesuai dengan parameter, maka dapat
disimpulkan bahwa parasetamol dengan kadar 800 ppm yang memenuhi persyaratan baik
%recovery, %Kesalahan Sistematik dan %Kesalahan Acak. Terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi hasil pengujian menggunakan spektrofotometer, diantaranya :
1. Kesalahan personal dalam melakukan pengujian seperti salah dalam prosedur
2. Kesalahan alat dan pereaksi, hal tersebut dapat terjadi jika alat atau bahan yang
digunakan tidak steril atau terdapat suatu pengotor tertentu
3. Kesalahan penggunaan blanko atau spectrophotometer, kesalahan dalam pembacaan
data dapat terjadi karena salah pengaturan maupun hal lainnya.
15
BAB V
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Ni Made Amelia Ratnata. "Aplikasi Analisis Kimia Kuantitatif Untuk Pemantauan
Kadar Obat (Therapeutic Drugs Monitoring)." Ar-Raniry Chemistry Journal - AMINA
Vol.1 No.1, 2019: 6 - 10.
Food and Drug Administration. (2001). Bioanalytical Method Validation. Rockville: Center
for Veterinary Medicine.
Harahap, Y. (2010). Peran Bioanalisis dalam Penjaminan Kualitas Obat dan Peningkatan
Kualitas Hidup Pasien. Depok: UI Press.
Indriatmoko, Dimas Danang, Tarso Rudiana, and Asep Saefullah. "Analisis Kandungan
Parasetamol Pada Jamu Pegal Linu yang Diperoleh dari Kawasan Industri Kecamatan
Kibin Kabupaten Serang." Jurnal ITEKIMA Vol.5 No.1, 2019: 33 - 47.
Nurul, and Dani Sujana. "Validation Method For Determination Of Niclosamide
Monohydrate In Veterinary Medicine Using UV-Vis Spectrophotometry." Jurnal Ilmiah
Farmako Bahari Vol.11 No.2, 2020: 153 - 160.
Pachla, L.A, Wright. DS dan Reynolds, Dl : (1986) Bioanalytics Consideration for
Pharmacokinetic and Biopharmaceutic Studies, J.Clin Pharmacol 26 : 332-335.
Shargel, L., dan Yu, A. B. C., 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan
diterjemahkan oleh Siti Sjamsiah, Edisi Kedua, Airlangga University Press, Surabaya
17
LAMPIRAN
18
Dibuat seri konsentrasi dari
larutan induk pct (100, 200,
300, dan 400 ppm dari
5.
larutan A ; 600 dan 800
ppm dari larutan B) ke
dalam tube sentrifuge
Setelah di sentrifuge,
diambil 0,1 mL dari tiap
seri konsentrasi lalu
8. dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang berisi
3,9 mL air. Dibaca didalam
spektro.
19
9. Hasil kurva kalibrasi pct
20