Anda di halaman 1dari 22

PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP ONSET

DAN DURASI KERJA OBAT

KELOMPOK 1

Dea Azzura Putri Rizaldy (2108109010009)

Raihanulkhairi (2108109010030)

Asyifa Mauliza (2108109010040)

Ladis Vacfherly Alsa (2108109010042)

Farah Azzahra (2108109010050)

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SYIAH KUALA


2023

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG PERCOBAAN

Obat merupakan produk hasil penemuan manusia yang digunakan untuk dapat
memberikan efek terapeutik pada kondisi fisiologis manusia yang sedang mengalami
gangguan fungsi. Obat-obat yang bersifat kimia sintetis pertama kali ditemukan yaitu
aspirin, lalu diikuti dengan perkembangan obat sintetis lainnya yang menampakkan
kemajuan pada abad ke-20. Obat terus berkembang dalam berbagai aspeknya seiring
berjalannya waktu hingga saat ini. Obat akan memberikan efek jika telah dimasukkan ke
dalam tubuh pasien yang sedang mengalami gangguan fisiologis pada tubuhnya. Secara
garis besar, setelah obat dimasukkan ke dalam tubuh, maka obat akan tersedia di dalam
tubuh. Obat kemudian diserap ke dalam sistem sirkulasi lalu didistribusikan hingga
mencapai tempat kerja dari zat aktif pada obat, yang kemudian akan berikatan dengan
reseptor untuk memberikan efek terapeutik pada tubuh.

Ketersediaan obat di dalam tubuh akan memiliki jumlah yang berbeda-beda. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor dan yang paling utama adalah dari faktor
rute pemberian obat tersebut. Rute pemberian obat adalah cara yang digunakan untuk
membuat obat tersedia di dalam tubuh. Rute pemberian obat harus disesuaikan dengan
kebutuhan pengobatan yang memperhatikan berbagai aspek, seperti kondisi pasien,
waktu efek timbul dan lamanya waktu kerja obat yang diinginkan, sifat fisika dan kimia
zat-zat di dalam obat, serta tempat yang diinginkan untuk obat tersebut bekerja. Rute
pemberian obat terbagi menjadi beberapa jalur pemberian, yang memiliki perbedaan
pada karakteristik fisiologis dan biokimianya sehingga akan mempengaruhi jumlah obat
yang berada pada target kerjanya dalam waktu tertentu. Oleh karena itu, rute pemberian
obat sangat mempengaruhi efek yang akan ditimbulkan dari obat yang telah diberikan.

1
Rute pemberian obat akan memengaruhi efek terapeutik yang dihasilkan, yang
terdiri dari efek sistemik dan efek lokal. Efek sistemik adalah efek yang diberikan ketika
obat beredar melalui sistem peredaran darah menuju ke seluruh tubuh. Efek sistemik
tersebut dapat dihasilkan dari rute pemberian obat berupa secara oral, intravena,
intramuskular, subkutan dan inhalasi. Efek lokal adalah efek yang dihasilkan pada
tempat obat tersebut diberikan melalui rute pemberian berupa intraokular, intranasal,
rektal, uretral dan vaginal. Seluruh rute pemberian tersebut akan menghasilkan efek
terapeutik pada waktu yang berbeda-beda dan bekerja dalam waktu yang berbeda-beda
pula (Nuryati, 2017).

Pemberian suatu obat untuk digunakan kepada manusia diharapkan akan


memiliki efek dan bekerja dalam waktu tertentu secara optimal. Efek obat yang muncul
yang dengan ditandai adanya gejala-gejala tertentu setelah pemberian obat dikatakan
sebagai onset. Lamanya gejala-gejala yang muncul dari efek obat tersebut hingga
berakhir dikatakan sebagai durasi kerja obat. Onset dan durasi kerja pada setiap obat
memiliki waktu yang berbeda. Onset dan durasi kerja dari suatu obat sangat penting
untuk diperhatikan, agar dalam penentuan rute pemberian obat dapat memberikan
pengobatan yang lebih optimal sesuai dengan kebutuhan pada keadaan pasien.

Onset dan durasi kerja obat yang dihasilkan dari berbagai rute pemberian akan
diamati dengan menggunakan hewan mencit (Mus musculus L.) pada percobaan ini.
Penggunaan mencit untuk percobaan ini didasari oleh struktur anatomi, fisiolofi dan
genetik yang memiliki kemiripan dengan manusia (Yusuf, et al., 2022). Rute pemberian
obat yang akan digunakan adalah secara oral, intravena, intramuscular dan subkutan
dengan menggunakan bahan obat berupa fenobarbital. Fenobarbital merupakan obat
golongan barbiturat yang memiliki efek sedatif-hipnotik. Fenobarbital digunakan sebagai
bahan dalam percobaan ini dikarenakan efek inhibisi yang dihasilkannya akan
memunculkan gejala-gejala yang sangat tampak (berupa efek sedatif dan hipnotik) pada
mencit sehingga akan mudah untuk mengamati onset dan durasi kerja dari fenobarbital
tersebut. Pemberian fenobarbital dengan variasi rute pemberian bertujuan untuk
mengamati dan membandingkan waktu pada onset dan durasi kerja fenobarbital pada
2
tiap rute pemberian (Wijaya, et al., 2018). Prinsip yang digunakan pada percobaan ini
adalah mencatat waktu pada saat fenobarbital mulai memberikan efek dengan
mengamati gejala-gejala yang muncul pada mencit yang dibandingkan dengan mencit
lain sebagai kontrol positif, serta mengamati durasi kerja fenobarbital dengan melakukan
pengamatan gejala dari awal muncul hingga gejala tersebut berakhir. Hasil dari
percobaan ini akan memberikan informasi mengenai onset dan durasi kerja pada
fenobarbital dari masing-masing rute pemberian dan memberikan pemahaman mengenai
penggunaan rute pemberian yang sesuai untuk kondisi-kondisi tertentu, baik yang
memerlukan onset yang cepat maupun durasi kerja obat yang lebih lama.

1.2 TUJUAN PERCOBAAN

Tujuan dari percobaan ini adalah :

1. Memperlihatkan variasi onset dari fenobarbital melalui rute pemberian oral,


intravena, intramuskular dan subkutan.
2. Memperlihatkan variasi durasi dari fenobarbital melalui rute pemberian oral,
intravena, intramuskular dan subkutan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 RUTE PEMBERIAN OBAT


Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat,
karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada
daerah kontak mula obat dan tubuh. Karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah
yang berbeda struktur anatomi dan lingkungan kontak antara obat-tubuh yang berbeda
(enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut berbeda).
Hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam
jangka waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian obat. Rute
pemberian obat yang berbeda akan mempengaruhi onset of action, intensitas of action
dan duration of action. Rute pemberian obat dibagi dua yaitu: intravaskular dan
ekstravaskular. Untuk melakukan suatu suntikan, jarum harus tajam dan ukurannya
sesuai. Ukuran jarum yang sesuai dan volume yang maksimum untuk berbagai cara
pemberian dapat dilihat pada Tabel 1.

Obat yang biasanya beredar di pasaran dan kita kenal secara umum adalah obat
dengan pemakaian melalui oral. Selain melalui oral, rute pemberian obat juga dapat
dilakukan secara intravena, intramuskular dan subkutan. Jalur pemberian obat turut
menetukan kecepatan dan kelengkapan resorpsi obat. Tergantung dari efek yang
4
diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau efek lokal (setempat) keadaan
pasien dan sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih dari banyak cara untuk
memberikan obat.

1. Efek Sistemik
a. Oral
Pemberian obat melalui mulut (per oral) adalah cara yang paling lazim, karena
sangat praktis, mudah dan aman. Namun, tidak semua obat dapat diberikan peroral,
misalnya obat yang bersifat merangsang (emetin,aminofilin) atau yang diuraikan oleh
getah lambung, seperti benzilpenisilin, insulin, oksitosin dan hormone steroida.
Reasorpsi obat setelah pemberian oral biasanya tidak teratur dan tidak lengkap meskipun
formulasinya optimal, misalnya senyawa ammonium kwartener (thiazianium, tetrasiklin,
kloksasilin dan digoksin) (maksimal 80%). Untuk mencapai efek local di usus dilakukan
pemberian oral, misalnya obat cacing atau antibiotik untuk mensterilkan lambung-usus
pada infeksi atau sebelum pembedahan (streptomisin, kanamisin, neomisin, beberapa
sulfonamida). Obat-obat ini justru tidak boleh diserap. Kerugian pemberian per oral
adalah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat karena ada obat-obat
yang tidak semua diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik.
Sebagian akan di metabolisme oleh enzim di dinding usus atau di hati pada lintasan
pertamanya melalui organ-organ tersebut. Eliminasi lintas pertama obat dapat dihindari
atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral, sublingual, rektal, atau
memberikannya bersama makanan.
Larutan obat dapat diberikan secara oral dengan jarum oral yang khas (kateter
untuk kelinci). Untuk tikus dan mencit, hewan tersebut dipegang dengan sempurna dan
jarum oral dimasukkan dalam mulut berdekatan dengan bagian atas langit-langit mulut
(palate). jarum ditolak perlahan-lahan ke 17 esopagus dan bukan dipaksa masuk. Setelah
masuk kedalam mulut (kira-kira dua inci ke bawah) hewan itu akan menunjukkan
keadaan seperti tercekik. Jarum oral dapat disesuaikan besarnya dengan hewan tertentu.
b. Injeksi

5
Pemberian obat secara parenteral (berarti “di luar usus”) biasanya dipilih
bila diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang atau
dirusak oleh getah lambung (hormon), atau tidak direabsorpsi usus (streptomisin).
Begitu pula pasien yang tidak sadar atau tidak mau kerja sama. Keberatannya adalah
cara ini lebih mahal dan nyeri serta sukar digunakan oleh pasien sendiri. Selain itu ada
pula bahaya infeksi kuman (harus steril) dan bahaya merusak pembuluh atau saraf jika
tempat suntikan tidak dipilih dengan tepat.
- Subkutan (hipodermal)
Injeksi dibawah kulit dapat dilakukan hanya dengan obat yang tidak merangsang dan
melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak secepat injeksi intramuskular atau
intravena. Injeksi yang mudah dilakukan sendiri, misalnya insulin pada pasien penyakit
gula.
Injeksi subkutan (SC) atau pemberian obat melalui bawah kulit, hanya boleh digunakan
untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsinya biasanya terjadi secara
lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama.
Untuk menyuntik hewan coba secara subkutan letakkan hewan tersebut diatas meja.
Kemudian letakkan telapak tangan kiri perlahan di belakangnya dan pegang kulit
ditengkuknya dengan ibu jari dan telunjuk. Dengan tangan kanan memegang jarum
suntik, cucukkan jarum dalam lipatan kulit dengan cepat. Ujung jarum semestinya bebas
bergerak diantara kulit dan otot. Jika panjang jarum yang digunakan itu sesuai, maka
jarum tidak akan tercucuk terlalu dalam. Gerak-gerakkan jarum dengan jari telunjuk dan
ibu jari untuk menentukan posisi jarum pada tempat yang tepat, kemudian suntiklah.
Tarik jarum dengan tangan kiri, urut bagian yang disuntik tadi.
- Intramuscular
Dengan injeksi di dalam otot, obat yang terlarut bekerjadalam waktu 10-30 menit.
Guna memperlambat reabsorpsi dengan maksud memperpanjang kerja obat, sering kali
digunakan larutan atau suspensi dalam minyak, misalnya suspensi penisilin dan hormon
kelamin. Tempat injeksi umumnya dipilih pada otot bokong yang tidak memiliki banyak
pembuluh dan saraf. Injeksi intramuskular (IM) atau suntikkan melalui otot, kecepatan
dan kelengkapan absorpsinya dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam air. Absorpsi lebih
6
cepat terjadi di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus maksimus (Lilis &
Lukman, 2020).
- Intravena
Injeksi ke dalam pembuluh darah menghasilkan menghasilkan efek tercepat: dalam
waktu 18 detik, yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar ke seluruh
jaringan. Tetapi lama kerja obat biasanya hanya singkat. Cara ini digunakan untuk
mencapai takaran yang tepat dan dapat dipercaya, atau efek yang sangat cepat dan kuat.
Tidak untuk obat yang tak larut air atau menimbulkan endapan dengan protein atau butir
darah. Bahaya injeksi intravena adalah dapat mengakibatkan terganggunya zat-zat kolida
darah dengan reaksi hebat, karena dengan cara ini “benda asing‟ langsung dimasukkan
ke dalam sirkulasi , misalnya tekanan darah mendadak turun dan timbul shock. Bahaya
ini lebih besar bila injeksi dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat setempat dalam
darah meningkat terlalu pesat. Oleh karena itu, setiap injeksi intravena sebaiknya
dilakukan dengan amat perlahan, antara 50 dan 70 detik lamanya. Infus tetes intravena
dengan obat sering kali dilakukan dirumah sakit pada keadaan darurat atau dengan obat
yang cepat metabolisme dan ekskresinya guna mencapai kadar plasma yang tetap tinggi.
Pemberian intravena (IV) tidak mengalami absorpsi tetapi langsung masuk ke
dalam sirkulasi sistemik, sehingga kadar obat dalam darahdiperoleh secara capat, tepat,
dan dapat disesuaikan langsung denganrespon penderita. Kerugiannya adalah mudah
tercapai efek toksik karenakadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan,
dan obat tidakdapat ditarik kembali.

Cara penyuntikan IV berbeda dari satu spesies ke spesies lainnya. Pada mencit
suntikan intravena dilakukan pada penbuluh darah ekor. Oleh karena itu, pembuluh
darah ekor mencit mudah diketahui sehingga suntikan intravena dapat dilakukan dengan
mudah. Keempat-empat pembuluh darah ekor terletak bilateral, ventral dan dorsal serta
dapat dikembangkan (vasodilatasi) dengan menyentuhkan suhu tertentu pada bahagian
ekor (misalnya dengan meletakkan ekor mencit kedalam air hangat suhu 45-50˚C), dan
penggunaan alkohol atau dengan menekan ujung ekornya untuk mempermudah
penyuntikan. Hewan mula-mula dimasukkan dalam perangkap tikus menyerupai tabung
yang kedua ujungnya terbuka. Pada kedua ujung ditutup dengan gabus yang tengahnya
7
berlubang. Ujung ekor yang keluar dari gabus dipegang dengan jari telunjuk dan ibu jari
tangan kiri dan suntikan dilakukan dengan tangan kanan, lebih baik jika bisa
memberikan cahaya pada ekor, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan penglihatan
pembuluh darah dengan jelas, juga bertujuan untuk memanaskan ekor tikus. Apabila
menyuntik dan terasa tidak ada hambatan, pada tempat penyuntikan ini menunjukkan
jarum telah masuk dengan benar kedalam pembuluh darah dan plunger dapat ditekan
dengan mudah. Jika jarum tidak masuk dengan tepat pada pembuluh darah, suntikan itu
akan memberikan kawasan pucat diujung jarum, lebih baik menggunakan sebatang
jarum yang halus (Gauge 27,1/2 inci) dan suntikan dimulai pada ujung ekor supaya
beberapa percobaan dapat dilakukan.

Pemberian secara injeksi intravena menghasilkan efek yang tercepat karena obat
langsung masuk ke dalam sirkulasi. Efek lebih lambat diperoleh dengan injeksi
intramuskular, dan lebih lambat lagi dengan injeksi subkutan karena obat harus melintasi
banyak membran sel sebelum tiba dalam peredaran darah (Iradiyanti & Erlin, 2013).

2.2 ONSET OF ACTION DAN DURATION OF ACTION


Rute pemberian obat akan berpengaruh pada kinerja obat yang dapat diamati dari
onset dan durasi obat. Onset of Action adalah waktu yang dibutuhkan oleh obat untuk
menimbulkan efek. Onset dihitung saat munculnya kerja obat hingga dimulai munculnya
efek pada pasien atau hewan percobaan. Duration of Action adalah lamanya obat bekerja
di dalam tubuh. Durasi dapat diamati mulai saat munculnya efek hingga hilangnya efek
pada pasian atau hewan percobaan. Onset dan durasi dari suatu obat tidak hanya
ditentukan dari rute pemberian. Jenis kelamin, berat badan, usia, dan spesies hewan
percobaan yang digunakan juga berpengaruh pada kedua hal tersebut. Usia hewan
memiliki pengaruh yang nyata terhadap kerja obat. Hewan yang berusia lebih muda
tentu saja membutuhkan dosis yang lebih sedikit dibanding yang lebih tua. Berat badan
juga merupakan suatu faktor yang berhubungan terhadap kerja obat.
Hewan yang bobotnya lebih besar memerlukan dosis yang lebih banyak daripada dosis
rata-rata untuk menghasilkan suatu efek tertentu dan begitu juga sebaliknya.

8
Berdasarkan jenis kelamin, betina lebih peka terhadap efek obat tertentu daripada jantan
(Dalmasia, et al., 2021).

2.3 PENGGUNAAN FENOBARBITAL PADA PERCOBAAN

Fenobarbital merupakan derivat barbiturat yang berdurasi lama (long acting)


karena berada dalam darah antara 2–7 hari. Fenobarbital merupakan senyawa organik
pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Mekanisme kerja dari
fenobarbital yaitu dengan cara membatasi penjalaran aktivitas, bangkitan dan
menaikkan ambang rangsang. Penggunaan fenobarbital dalam jangka waktu yang lama
dapat menyebabkan efek toksik, kematian, indeks terapi yang sempit dan efek samping
yang tidak menyenangkan.

Gambar 2.2. Struktur Kimia 5-phenyl-5-ethylbarbituric acid

a. Farmakokinetika

Bioavailibilitas fenobarbital adalah sekitar 90 %. Konsentrasi obat dalam


plasma terjadi beberapa jam setelah pemberian dosis tunggal. 40-60% terikat dengan
protein plasma dan mempunyai efek pada jaringan ikat, termasuk otak. Kadar puncak
dalam waktu 1-3 jam dengan durasi kerja 10-12 jam. Waktu paruh eliminasi
fenobarbital adalah 75-120 jam. Obat ini dimetabolisme di hati dan diekskresikan
melalui ginjal. Lebih dari 25% fenobarbital diekskresi di urin dalam bentuk utuh.
b. Mekanisme Kerja

Bereaksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan pada tempat ikatan

9
barbiturat sehingga memperpanjang durasi pembukaan chanel Cl, mengurangi aliran
Na dan K, mengurangi influks Ca dan menurunkan eksitabilitas glutamat
(Lumbantobing, et al., 2018).

c. Efek Terapi dan Non-terapi

Fenobarbital merupakan agen yang efektif untuk kejang umum tonik klonik dan
partial seizure. Fenobarbital banyak digunakan sebagai obat kejang karena kemanjuran,
toksisitas yang rendah dan biaya yang murah. Akan tetapi, penggunaan fenobarbital
sebagai agen primer sebaiknya dikurangi karena efek sedasi dan kecenderungan
pengaruh obat dalam mengganggu perilaku pada anak. Fenobarbital dapat
menimbulkan mialgia, neuralgia, atralgia, terutama pada pasien psikoneuritik yang
menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri dapat menimbulkan gelisah,
eksitasi, bahkan delirium. Fenobarbital juga dapat menyebabkan reaksi alergi berupa
dermatosis, erupsi pada kulit, dan kerusakan degenerasi hati. Efek fenobarbital dapat
menyebabkan kondisi marah dan hipersensitivitas pada anak – anak. Dari sebuah
penelitian ditemukan bahwa anak – anak yang mengguakan fenobarbital secara terus –
menerus, 42% dari kasus yang diteliti akan mengalami gangguan perilaku, yang
tersering adalah hiperaktivitas. Selain itu, anak yang menggunakan fenobarbital
memiliki kemampuan berkonsentrasi rendah dan juga gangguan pusat perhatian
(Fadila, et al., 2014).

d. Alasan Penggunaan Fenobarbital dalam Penelitian


Percobaan ini menggunakan fenobarbital sebagai obat antikonvulsi karena obat
ini merupakan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif dan dosis efektifnya relatif
rendah. Selain itu fenobarbital relatif murah dan mudah didapat dibandingkan golongan
barbiturat lainnya (Lumbantobing et al., 2018).

10
BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1. ALAT DAN BAHAN PERCOBAAN

Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah :

a. Timbangan hewan (ohaus)

b. Spuit injeksi 1 ml (one health)

c. Jarum berujung tumpul (untuk per oral) atau oral sonde (one health)

d. Sarung tangan (Sensi lotex gloves)

e. Stop watch

f. Alat-alat gelas (pyrex)

Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah:

a. Natrium phenobarbital larutan 5 mg/ml, 10 mg/ml, 50 mg/ml dalam NaCL 0,9%


(phapros)

b. Alkohol 70% (cosmo med)

c. Larutan kontrol NaCL 0,9% (widatra bhakti/generik)

3.2 METODE KERJA

Metode yang digunakan pada percobaan ini adalah analisa kualitatif dengan
metode deskriptif. Analisa kualitatif merupakan penelitian bersifat deskriptif dan
cederung menggunakan analisa mendalam. Ciri dan karakter kualitatif pada prinsipnya
lebih mengandalkan pada aspek deskriptif terhadap data-data yang diperoleh dari
lapangan (Kaharuddin, 2021).

11
3.3 CARA KERJA

Mencit

Mencit ditimbang sebanyak 5 ekor


Diperhitungkan volume phenobarbital dengan
dosis 75 mg dan 150 mg/kg BB (mencit)
Dikonversi dosis 20 gram berat badan mencit
Dihitung volume penyuntikan dan skala spuit
yang digunakan.

Phenobarbital disuntikan
NaCL 0,9%

Kelompok 2 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 1

Kontrol Rute oral Rute Rute Intravena


subkutan intramuskular
BB mencit : BB mencit : BB mencit :
26,8 gr 25, 4 gram BB mencit : BB mencit : 24,5 gr
20,9 gr 24,1 gr
Volume Volume Volume
pemberian: pemberian : Volume Volume pemberian:
0,026 ml 0.049 ml pemberian: pemberian: 0,047 ml
0,040 ml 0.046 ml

Waktu Tidur : - Waktu Tidur : 5 Onset : 29 menit Onset : 15 menit Onset : 5 menit
menit 10 detik 15 detik 47 detik
Waktu Bangun : - Durasi kerja :
Waktu Bangun : Durasi kerja: 9 Durasi kerja : 43 10 jam 57 menit
Onset : - 6 menit 20 detik menit 54 detik menit 53 detik
Waktu tidur : 7
Durasi :-
3.1. PER Onset : 22 menit Waktu tidur: 6 Waktu tidur : 21 jam 38 menit
15 detik menit 15 detik menit 73 detik
Waktu bangun :
Durasi : 36 menit Waktu bangun:3 Waktu bangun : 3 jam 9 menit
23 detik menit 39 detik 16 menit 15detik
12
3.4. HITUNGAN

3.4.1 Perhitungan dosis mencit


1. Larutan kontrol (oral)
Bb mencit = 26,8 gr
Dosis phenobarbital = 150 mg
Konversi dosis 20 gram = 150 x 0,0026
0,2 ml x
Volume pemberian =
20 gram 26,8 gram
X = 0,268 ml
0,268 ml
Skala spuit (spuit 1 ml) =
0,02
= 13,4 skala
2. Rute oral
Bb mencit = 25,4 gr
Dosis phenobarbital = 150 mg
Konversi dosis 20 gram = 150 x 0,0026
0,39 mg x
Dosis untuk mencit =
20 gram 25,4 gram
X = 0,4953 mg
10 mg 0,4953 ml
Volume pemberian =
1 ml x
X = 0,04953 ml
0,04953 ml
Skala spuit (spuit 1 ml) =
0,02
= 2,4765 skala
3. Rute subkutan
Bb mencit = 20,9 gr
Dosis phenobarbital = 150 mg
Konversi dosis 20 gram = 150 x 0,0026
0,39 mg x
Dosis untuk mencit =
20 gram 20,9 gram

13
X = 0,40755 mg
10 mg 0,40755 ml
Volume pemberian =
1 ml x
X = 0,04755 ml
0,04755 ml
Skala spuit (spuit 1 ml) =
0,02
= 2,03775 skala

4. Rute intramuskular
Bb mencit = 24,1 gr
Dosis phenobarbital = 150 mg
Konversi dosis 20 gram = 150 x 0,0026
0,39 mg x
Dosis untuk mencit =
20 gram 24,1 gram
X = 0,469 mg
10 mg 0,469 ml
Volume pemberian =
1 ml x
X = 0,0469 ml
0,0469 ml
Skala spuit (spuit 1 ml) =
0,02
= 2,3 skala

5. Rute intravena
Bb mencit = 24,5 gram
Dosis phenobarbital = 150 mg
Konversi dosis 20 gram = 150 x 0,0026
0,39 mg x
Dosis untuk mencit =
20 gram 24,5 gram
X = 0,4775 mg

10 mg 0,4775 ml
Volume pemberian =
1 ml x
14
X = 0,04775 ml
0,04775 ml
Skala spuit (spuit 1 ml) =
0,02
= 2,388 skala

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL

Berikut merupakan tabel data hasil pengamatan percobaan pengaruh rute pemberian
phenobarbital terhadap onset dan durasi kerja obat pada mencit.

Tabel 1. Data hasil pengamatan onset dan durasi kerja obat berdasarkan rute
pemberiannya

Kelom Perlaku Berat Volume Waktu Waktu Onset Durasi


pok an (gram) pemberi tidur bangun (jam) (jam)
an (ml) (jam) (jam)
Kontrol 26,8 gr 0,026 ml - - - -
I Intravena 24,5 gr 0,047 ml 7 jam 38 3 jam 9 5 menit 10 jam
menit menit 57 menit
II Oral 25,4 gr 0,049 ml 5 menit 6 menit 22 menit 36 menit
10 detik 20 detik 15 detik 23 detik
III Intramus 24,1 gr 0,046 ml 21 menit 16 menit 15 menit 43 menit
kular 73 detik 15 detik 47 detik 54 detik
IV Subkutan 20,9 gr 0,040 ml 6 menit 3 menit 29 menit 9 menit 4
15 detik 39 detik 15 detik detik

4.2. PEMBAHASAN

15
Mencit kontrol yang digunakan memiliki berat badan 26,8 gram dan volume
pemberian larutan NaCl 0,9% sebesar 0,026 ml. Nacl diberikan secara oral. Setelah
diberikan mencit tidak terlihat mengalami perubahan apapun dan memncut tetap bangun.
Hal ini bisa terjadi karena larutan NaCl 0,9% merupakan zat pelarut yang bersifat
isotonis sehingga tidak memberikan efek sedasi ataupun hipnotik. Apabila disuntikan ke
dalam tubuh akan larutan nacl akan seimbang dengan cairan tubuh, tidak akan membuat
sel-sel dari mencit menjadi lisis ataupun mengkerut.

Hasil pengamatan kelompok I yang menggunakan rute pemberian intravena pada


mencit dengan berat badan 24,5gram dan volume pemberiannya 0,047ml menunjukkan
bahwa onset kerja phenobarbital yaitu 5 menit. Ditandai dengan adanya efek sedasi yaitu
saat mencit mulai berjalan secara sempoyongan kemudian terdiam. Onset kerja yang
singkat terjadi karena obat tidak diabsorbsi pada saluran pencernaan dan tidak
mengalami first pass metabolisme di hati, tetapi obat langsung masuk melalui sistem
sistemik. Durasi kerja phenobarbital yaitu 10 jam 57 menit dimulai dari mencit tertidur
hingga bangun dalam kondisi normal dan stabil. Durasi kerja obat lebih lama dari pada
rute pemberian yang lain. Hal ini terjadi karena pengaruh fisiologis mencit, selain itu
berat mencit dan dosis yang digunakan juga mempengaruhi durasi akibatnya
metabolisme dan ekskresi obat menjadi lambat dan efek obat pun menjadi bertahan
lama.

Hasil pengamatan dari kelompok II yang menggunakan rute pemberian oral pada
mencit dengan berat badan 25,4gram dan volume pemberiannya 0,049ml menunjukkan
bahwa onset kerja phenobarbital yaitu 22 menit, 15 detik ditandai dengan adanya efek
sedasi. Hal ini terjadi karena phenobarbital diabsorbsi pada lambung dan usus halus,
obat juga mengalami first pass metabolisme di hati akibatnya onset menjadi lama. Durasi
kerja phenobarbital yang diperoleh yaitu 36 menit 23 detik ditandai dengan adanya efek
hipnotik. Hal ini terjadi karena mencit lama dalam memetabolisme dan mengekresi dosis
serta kondisi fisiologis lainnya mempengaruhi durasi kerja obat.

16
Hasil pengamatan dari kelompok III yang menggunakan rute pemberian
intramuskular pada mencit dengan berat badan 24,1 gram dan volume pemberiannya
0,046ml menunjukkan bahwa onset kerja phenobarbital yaitu 15 menit 47 detik. Hal ini
terjadi karena pada bagian muskular terdapat banyak pembuluh darah sehingga absorbsi
obat ke dalam sistem sistemik menjadi cepat, tetapi tidak secepat intravena. Durasi kerja
phenobarbital yang diperoleh yaitu 43 menit 54 detik, durasi yang diperoleh termasuk
cepat. Hal ini bisa terjadi karena mencit yang digunakan mampu memetabolisme dan
mengekskresi obat dengan cepat. Hasil pengamatan dari kelompok IV yang
menggunakan rute pemberian subkutan pada mencit dengan berat badan 20,9 gram dan
volume pemberiannya 0,040 ml menunjukkan bahwa onset kerja phenobarbital pada rute
pemberian subkutan yaitu 29 menit 25 detik. Hal ini terjadi karena injeksi subkutan
dilakukan ke dalam hipodermis yang memiliki sedikit pembuluh darah, lapisan
hipodermis terdapat banyak lemak sehingga absorbsi obat menjadi lama, selain itu
phenobarbital memiliki kelarutan dalam lemak yang rendah. Durasi kerja yang diperoleh
yaitu 16 menit 15 detik, termasuk cepat. Hal ini bisa terjadi karena mencit yang
digunakan mampu memetabolisme dan mengekresi obat dengan cepat.

Berdasarkan percobaan tersebut dapat diperoleh bahwa onset kerja obat


phenobarbital pada mencit yang paling cepat adalah intravena dan paling lama adalah
subkutan. Namun, berdasarkan rute seharusnya yang paling lama onsetnya adalah secara
oral. Hal ini bisa terjadi karena obat yang digunakan yaitu phenobarbital memiliki sifat
sukar larut dalam lemak sehingga kecepatan absorbsi dan distribusi pada rute subkutan
menjadi lebih lambat dari pada oral. Durasi kerja phenobarbital pada mencit berdasarkan
percobaan yang paling lama adalah rute pemberian intravena dan yang paling cepat
adalah subkutan. Namun, seharusnya yang paling cepat adalah intravena karena obat
langsung masuk ke dalam saluran sitemik sehingga saat metabolisme dan ekskresi
menjadi cepat juga dan yang paling lama adalah subkutan akibat injeksi dilakukan pada
daerah jaringan lemak sehingga obat sulit diserap dan akan dilepaskan secara perlahan-
lahan hal ini akan berpengaruh terhadap kecepatan eleminasi obat.

17
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Onset phenobarbital dari rute intravena yaitu 5 menit, rute intramuskular 15


menit 47 detik, rute subkutan 29 menit 15 detik, dan rute oral 22 menit 15 detik.
2. Durasi phenobarbital dari rute intravena yaitu 10 jam 57 menit, rute
intramuskular 43 menit 53 detik, rute subkutan 9 menit 54 detik, dan rute oral 22
menit 15 detik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Dhiu, D.T., Utami, T., & Ndaong, N.A. (2021). Perbandingan Onset, Durasi Anastesi
dan Masa Pemulihan dari Pemberian Kombinasi Anastesi Acepromasin-
Profpofol Ketamin dan Midazolam-Propofol-Ketamin pada Anjing Lokal. Jurnal
Veteriner Nusantara, 4(1) : 2 – 6.

Fadila, S., Nadjmir, Rahmatini. (2014). Hubungan Pemakaian Fenobarbital Rutin dan
Tidak Rutin pada Anak Kejang Demam dengan Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD). Jurnal Kesehatan Andalas, 3(2) : 221 – 223.

Iradiyanti, W.P., & Erlin, K. (2013). Pemberian Obat Melalui Intravena Terhadap
Kejadian Plebitis pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit. Jurnal STIKES, 3(2) :
109 – 117.

Kaharuddin.(2021). Kualitatif Ciri dan Karakter sebagai Metodelogi, Jurnal Pendidikan,


9(1) : 1-8.

Lumbatobing, H., Arlinda, S.W., & Nasution, P.M.B.D. (2018). Sari Etanol Kangkung
dan Fenobarbital Terhadap Kama Waktu Tidur Mencit. Primari Medical Jurnal,
1(1) : 52– 66.

Nuryati. (2017). Farmakologi. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Ridwan, E. (2013). Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan.


Jurnal Indon Medical Assoc, 63(3) : 112-116.

19
Saputri, W.A. (2013). Efek Antikonvulsi Ekstrak Etanol Daun Inggu (Ruta angustifolia)
pada Mencit Galur BALB/C dengan Induksi Secara In Vivo (Skripsi).
Purwokerto Universitas Muhammadiyah.

Suryani, L.,& Permana, L. (2020). Peningkatan Perilaku Perawat dalam Menjalankan


Prinsip Pemberian Obat Dua Belas Benar. Jurnal Ilmu Kesehatan, 5(2) : 79 – 85.

Wijaya, C., Sukohar, A., & Soleha, T. U. (2018). Pengaruh Pemberian Dosis Bertingkat
Konsentrat Tart Cherry (Prunus cerasus) Terhadap Perpanjangan Waktu Tidur
Mencit yang Diinduksi Fenobarbital. Majority, 7(2) : 117-121.

Yusuf, M., Rafliansyah, M., Al-Gizar, Rorrong, Y. Y. A., Badaring, D. R., Aswanti, H.,
Ayu, M. S., Nurazizah, Dzalsabila, A., Ahyar, M., Wulan, W., Putri, J. M., &
Arisma, W. F. (2022). Teknik Manajemen dan Pengelolaan Hewan Percobaan.
Makassar : Penerbit Jurusan Biologi FMIPA UNM.

20

Anda mungkin juga menyukai