KELOMPOK 1
Raihanulkhairi (2108109010030)
LABORATORIUM FARMAKOLOGI
JURUSAN FARMASI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Obat merupakan produk hasil penemuan manusia yang digunakan untuk dapat
memberikan efek terapeutik pada kondisi fisiologis manusia yang sedang mengalami
gangguan fungsi. Obat-obat yang bersifat kimia sintetis pertama kali ditemukan yaitu
aspirin, lalu diikuti dengan perkembangan obat sintetis lainnya yang menampakkan
kemajuan pada abad ke-20. Obat terus berkembang dalam berbagai aspeknya seiring
berjalannya waktu hingga saat ini. Obat akan memberikan efek jika telah dimasukkan ke
dalam tubuh pasien yang sedang mengalami gangguan fisiologis pada tubuhnya. Secara
garis besar, setelah obat dimasukkan ke dalam tubuh, maka obat akan tersedia di dalam
tubuh. Obat kemudian diserap ke dalam sistem sirkulasi lalu didistribusikan hingga
mencapai tempat kerja dari zat aktif pada obat, yang kemudian akan berikatan dengan
reseptor untuk memberikan efek terapeutik pada tubuh.
Ketersediaan obat di dalam tubuh akan memiliki jumlah yang berbeda-beda. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor dan yang paling utama adalah dari faktor
rute pemberian obat tersebut. Rute pemberian obat adalah cara yang digunakan untuk
membuat obat tersedia di dalam tubuh. Rute pemberian obat harus disesuaikan dengan
kebutuhan pengobatan yang memperhatikan berbagai aspek, seperti kondisi pasien,
waktu efek timbul dan lamanya waktu kerja obat yang diinginkan, sifat fisika dan kimia
zat-zat di dalam obat, serta tempat yang diinginkan untuk obat tersebut bekerja. Rute
pemberian obat terbagi menjadi beberapa jalur pemberian, yang memiliki perbedaan
pada karakteristik fisiologis dan biokimianya sehingga akan mempengaruhi jumlah obat
yang berada pada target kerjanya dalam waktu tertentu. Oleh karena itu, rute pemberian
obat sangat mempengaruhi efek yang akan ditimbulkan dari obat yang telah diberikan.
1
Rute pemberian obat akan memengaruhi efek terapeutik yang dihasilkan, yang
terdiri dari efek sistemik dan efek lokal. Efek sistemik adalah efek yang diberikan ketika
obat beredar melalui sistem peredaran darah menuju ke seluruh tubuh. Efek sistemik
tersebut dapat dihasilkan dari rute pemberian obat berupa secara oral, intravena,
intramuskular, subkutan dan inhalasi. Efek lokal adalah efek yang dihasilkan pada
tempat obat tersebut diberikan melalui rute pemberian berupa intraokular, intranasal,
rektal, uretral dan vaginal. Seluruh rute pemberian tersebut akan menghasilkan efek
terapeutik pada waktu yang berbeda-beda dan bekerja dalam waktu yang berbeda-beda
pula (Nuryati, 2017).
Onset dan durasi kerja obat yang dihasilkan dari berbagai rute pemberian akan
diamati dengan menggunakan hewan mencit (Mus musculus L.) pada percobaan ini.
Penggunaan mencit untuk percobaan ini didasari oleh struktur anatomi, fisiolofi dan
genetik yang memiliki kemiripan dengan manusia (Yusuf, et al., 2022). Rute pemberian
obat yang akan digunakan adalah secara oral, intravena, intramuscular dan subkutan
dengan menggunakan bahan obat berupa fenobarbital. Fenobarbital merupakan obat
golongan barbiturat yang memiliki efek sedatif-hipnotik. Fenobarbital digunakan sebagai
bahan dalam percobaan ini dikarenakan efek inhibisi yang dihasilkannya akan
memunculkan gejala-gejala yang sangat tampak (berupa efek sedatif dan hipnotik) pada
mencit sehingga akan mudah untuk mengamati onset dan durasi kerja dari fenobarbital
tersebut. Pemberian fenobarbital dengan variasi rute pemberian bertujuan untuk
mengamati dan membandingkan waktu pada onset dan durasi kerja fenobarbital pada
2
tiap rute pemberian (Wijaya, et al., 2018). Prinsip yang digunakan pada percobaan ini
adalah mencatat waktu pada saat fenobarbital mulai memberikan efek dengan
mengamati gejala-gejala yang muncul pada mencit yang dibandingkan dengan mencit
lain sebagai kontrol positif, serta mengamati durasi kerja fenobarbital dengan melakukan
pengamatan gejala dari awal muncul hingga gejala tersebut berakhir. Hasil dari
percobaan ini akan memberikan informasi mengenai onset dan durasi kerja pada
fenobarbital dari masing-masing rute pemberian dan memberikan pemahaman mengenai
penggunaan rute pemberian yang sesuai untuk kondisi-kondisi tertentu, baik yang
memerlukan onset yang cepat maupun durasi kerja obat yang lebih lama.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Obat yang biasanya beredar di pasaran dan kita kenal secara umum adalah obat
dengan pemakaian melalui oral. Selain melalui oral, rute pemberian obat juga dapat
dilakukan secara intravena, intramuskular dan subkutan. Jalur pemberian obat turut
menetukan kecepatan dan kelengkapan resorpsi obat. Tergantung dari efek yang
4
diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau efek lokal (setempat) keadaan
pasien dan sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih dari banyak cara untuk
memberikan obat.
1. Efek Sistemik
a. Oral
Pemberian obat melalui mulut (per oral) adalah cara yang paling lazim, karena
sangat praktis, mudah dan aman. Namun, tidak semua obat dapat diberikan peroral,
misalnya obat yang bersifat merangsang (emetin,aminofilin) atau yang diuraikan oleh
getah lambung, seperti benzilpenisilin, insulin, oksitosin dan hormone steroida.
Reasorpsi obat setelah pemberian oral biasanya tidak teratur dan tidak lengkap meskipun
formulasinya optimal, misalnya senyawa ammonium kwartener (thiazianium, tetrasiklin,
kloksasilin dan digoksin) (maksimal 80%). Untuk mencapai efek local di usus dilakukan
pemberian oral, misalnya obat cacing atau antibiotik untuk mensterilkan lambung-usus
pada infeksi atau sebelum pembedahan (streptomisin, kanamisin, neomisin, beberapa
sulfonamida). Obat-obat ini justru tidak boleh diserap. Kerugian pemberian per oral
adalah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat karena ada obat-obat
yang tidak semua diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik.
Sebagian akan di metabolisme oleh enzim di dinding usus atau di hati pada lintasan
pertamanya melalui organ-organ tersebut. Eliminasi lintas pertama obat dapat dihindari
atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral, sublingual, rektal, atau
memberikannya bersama makanan.
Larutan obat dapat diberikan secara oral dengan jarum oral yang khas (kateter
untuk kelinci). Untuk tikus dan mencit, hewan tersebut dipegang dengan sempurna dan
jarum oral dimasukkan dalam mulut berdekatan dengan bagian atas langit-langit mulut
(palate). jarum ditolak perlahan-lahan ke 17 esopagus dan bukan dipaksa masuk. Setelah
masuk kedalam mulut (kira-kira dua inci ke bawah) hewan itu akan menunjukkan
keadaan seperti tercekik. Jarum oral dapat disesuaikan besarnya dengan hewan tertentu.
b. Injeksi
5
Pemberian obat secara parenteral (berarti “di luar usus”) biasanya dipilih
bila diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang atau
dirusak oleh getah lambung (hormon), atau tidak direabsorpsi usus (streptomisin).
Begitu pula pasien yang tidak sadar atau tidak mau kerja sama. Keberatannya adalah
cara ini lebih mahal dan nyeri serta sukar digunakan oleh pasien sendiri. Selain itu ada
pula bahaya infeksi kuman (harus steril) dan bahaya merusak pembuluh atau saraf jika
tempat suntikan tidak dipilih dengan tepat.
- Subkutan (hipodermal)
Injeksi dibawah kulit dapat dilakukan hanya dengan obat yang tidak merangsang dan
melarut baik dalam air atau minyak. Efeknya tidak secepat injeksi intramuskular atau
intravena. Injeksi yang mudah dilakukan sendiri, misalnya insulin pada pasien penyakit
gula.
Injeksi subkutan (SC) atau pemberian obat melalui bawah kulit, hanya boleh digunakan
untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsinya biasanya terjadi secara
lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama.
Untuk menyuntik hewan coba secara subkutan letakkan hewan tersebut diatas meja.
Kemudian letakkan telapak tangan kiri perlahan di belakangnya dan pegang kulit
ditengkuknya dengan ibu jari dan telunjuk. Dengan tangan kanan memegang jarum
suntik, cucukkan jarum dalam lipatan kulit dengan cepat. Ujung jarum semestinya bebas
bergerak diantara kulit dan otot. Jika panjang jarum yang digunakan itu sesuai, maka
jarum tidak akan tercucuk terlalu dalam. Gerak-gerakkan jarum dengan jari telunjuk dan
ibu jari untuk menentukan posisi jarum pada tempat yang tepat, kemudian suntiklah.
Tarik jarum dengan tangan kiri, urut bagian yang disuntik tadi.
- Intramuscular
Dengan injeksi di dalam otot, obat yang terlarut bekerjadalam waktu 10-30 menit.
Guna memperlambat reabsorpsi dengan maksud memperpanjang kerja obat, sering kali
digunakan larutan atau suspensi dalam minyak, misalnya suspensi penisilin dan hormon
kelamin. Tempat injeksi umumnya dipilih pada otot bokong yang tidak memiliki banyak
pembuluh dan saraf. Injeksi intramuskular (IM) atau suntikkan melalui otot, kecepatan
dan kelengkapan absorpsinya dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam air. Absorpsi lebih
6
cepat terjadi di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus maksimus (Lilis &
Lukman, 2020).
- Intravena
Injeksi ke dalam pembuluh darah menghasilkan menghasilkan efek tercepat: dalam
waktu 18 detik, yaitu waktu satu peredaran darah, obat sudah tersebar ke seluruh
jaringan. Tetapi lama kerja obat biasanya hanya singkat. Cara ini digunakan untuk
mencapai takaran yang tepat dan dapat dipercaya, atau efek yang sangat cepat dan kuat.
Tidak untuk obat yang tak larut air atau menimbulkan endapan dengan protein atau butir
darah. Bahaya injeksi intravena adalah dapat mengakibatkan terganggunya zat-zat kolida
darah dengan reaksi hebat, karena dengan cara ini “benda asing‟ langsung dimasukkan
ke dalam sirkulasi , misalnya tekanan darah mendadak turun dan timbul shock. Bahaya
ini lebih besar bila injeksi dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat setempat dalam
darah meningkat terlalu pesat. Oleh karena itu, setiap injeksi intravena sebaiknya
dilakukan dengan amat perlahan, antara 50 dan 70 detik lamanya. Infus tetes intravena
dengan obat sering kali dilakukan dirumah sakit pada keadaan darurat atau dengan obat
yang cepat metabolisme dan ekskresinya guna mencapai kadar plasma yang tetap tinggi.
Pemberian intravena (IV) tidak mengalami absorpsi tetapi langsung masuk ke
dalam sirkulasi sistemik, sehingga kadar obat dalam darahdiperoleh secara capat, tepat,
dan dapat disesuaikan langsung denganrespon penderita. Kerugiannya adalah mudah
tercapai efek toksik karenakadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan,
dan obat tidakdapat ditarik kembali.
Cara penyuntikan IV berbeda dari satu spesies ke spesies lainnya. Pada mencit
suntikan intravena dilakukan pada penbuluh darah ekor. Oleh karena itu, pembuluh
darah ekor mencit mudah diketahui sehingga suntikan intravena dapat dilakukan dengan
mudah. Keempat-empat pembuluh darah ekor terletak bilateral, ventral dan dorsal serta
dapat dikembangkan (vasodilatasi) dengan menyentuhkan suhu tertentu pada bahagian
ekor (misalnya dengan meletakkan ekor mencit kedalam air hangat suhu 45-50˚C), dan
penggunaan alkohol atau dengan menekan ujung ekornya untuk mempermudah
penyuntikan. Hewan mula-mula dimasukkan dalam perangkap tikus menyerupai tabung
yang kedua ujungnya terbuka. Pada kedua ujung ditutup dengan gabus yang tengahnya
7
berlubang. Ujung ekor yang keluar dari gabus dipegang dengan jari telunjuk dan ibu jari
tangan kiri dan suntikan dilakukan dengan tangan kanan, lebih baik jika bisa
memberikan cahaya pada ekor, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan penglihatan
pembuluh darah dengan jelas, juga bertujuan untuk memanaskan ekor tikus. Apabila
menyuntik dan terasa tidak ada hambatan, pada tempat penyuntikan ini menunjukkan
jarum telah masuk dengan benar kedalam pembuluh darah dan plunger dapat ditekan
dengan mudah. Jika jarum tidak masuk dengan tepat pada pembuluh darah, suntikan itu
akan memberikan kawasan pucat diujung jarum, lebih baik menggunakan sebatang
jarum yang halus (Gauge 27,1/2 inci) dan suntikan dimulai pada ujung ekor supaya
beberapa percobaan dapat dilakukan.
Pemberian secara injeksi intravena menghasilkan efek yang tercepat karena obat
langsung masuk ke dalam sirkulasi. Efek lebih lambat diperoleh dengan injeksi
intramuskular, dan lebih lambat lagi dengan injeksi subkutan karena obat harus melintasi
banyak membran sel sebelum tiba dalam peredaran darah (Iradiyanti & Erlin, 2013).
8
Berdasarkan jenis kelamin, betina lebih peka terhadap efek obat tertentu daripada jantan
(Dalmasia, et al., 2021).
a. Farmakokinetika
Bereaksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan pada tempat ikatan
9
barbiturat sehingga memperpanjang durasi pembukaan chanel Cl, mengurangi aliran
Na dan K, mengurangi influks Ca dan menurunkan eksitabilitas glutamat
(Lumbantobing, et al., 2018).
Fenobarbital merupakan agen yang efektif untuk kejang umum tonik klonik dan
partial seizure. Fenobarbital banyak digunakan sebagai obat kejang karena kemanjuran,
toksisitas yang rendah dan biaya yang murah. Akan tetapi, penggunaan fenobarbital
sebagai agen primer sebaiknya dikurangi karena efek sedasi dan kecenderungan
pengaruh obat dalam mengganggu perilaku pada anak. Fenobarbital dapat
menimbulkan mialgia, neuralgia, atralgia, terutama pada pasien psikoneuritik yang
menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri dapat menimbulkan gelisah,
eksitasi, bahkan delirium. Fenobarbital juga dapat menyebabkan reaksi alergi berupa
dermatosis, erupsi pada kulit, dan kerusakan degenerasi hati. Efek fenobarbital dapat
menyebabkan kondisi marah dan hipersensitivitas pada anak – anak. Dari sebuah
penelitian ditemukan bahwa anak – anak yang mengguakan fenobarbital secara terus –
menerus, 42% dari kasus yang diteliti akan mengalami gangguan perilaku, yang
tersering adalah hiperaktivitas. Selain itu, anak yang menggunakan fenobarbital
memiliki kemampuan berkonsentrasi rendah dan juga gangguan pusat perhatian
(Fadila, et al., 2014).
10
BAB III
METODE PERCOBAAN
c. Jarum berujung tumpul (untuk per oral) atau oral sonde (one health)
e. Stop watch
Metode yang digunakan pada percobaan ini adalah analisa kualitatif dengan
metode deskriptif. Analisa kualitatif merupakan penelitian bersifat deskriptif dan
cederung menggunakan analisa mendalam. Ciri dan karakter kualitatif pada prinsipnya
lebih mengandalkan pada aspek deskriptif terhadap data-data yang diperoleh dari
lapangan (Kaharuddin, 2021).
11
3.3 CARA KERJA
Mencit
Phenobarbital disuntikan
NaCL 0,9%
Waktu Tidur : - Waktu Tidur : 5 Onset : 29 menit Onset : 15 menit Onset : 5 menit
menit 10 detik 15 detik 47 detik
Waktu Bangun : - Durasi kerja :
Waktu Bangun : Durasi kerja: 9 Durasi kerja : 43 10 jam 57 menit
Onset : - 6 menit 20 detik menit 54 detik menit 53 detik
Waktu tidur : 7
Durasi :-
3.1. PER Onset : 22 menit Waktu tidur: 6 Waktu tidur : 21 jam 38 menit
15 detik menit 15 detik menit 73 detik
Waktu bangun :
Durasi : 36 menit Waktu bangun:3 Waktu bangun : 3 jam 9 menit
23 detik menit 39 detik 16 menit 15detik
12
3.4. HITUNGAN
13
X = 0,40755 mg
10 mg 0,40755 ml
Volume pemberian =
1 ml x
X = 0,04755 ml
0,04755 ml
Skala spuit (spuit 1 ml) =
0,02
= 2,03775 skala
4. Rute intramuskular
Bb mencit = 24,1 gr
Dosis phenobarbital = 150 mg
Konversi dosis 20 gram = 150 x 0,0026
0,39 mg x
Dosis untuk mencit =
20 gram 24,1 gram
X = 0,469 mg
10 mg 0,469 ml
Volume pemberian =
1 ml x
X = 0,0469 ml
0,0469 ml
Skala spuit (spuit 1 ml) =
0,02
= 2,3 skala
5. Rute intravena
Bb mencit = 24,5 gram
Dosis phenobarbital = 150 mg
Konversi dosis 20 gram = 150 x 0,0026
0,39 mg x
Dosis untuk mencit =
20 gram 24,5 gram
X = 0,4775 mg
10 mg 0,4775 ml
Volume pemberian =
1 ml x
14
X = 0,04775 ml
0,04775 ml
Skala spuit (spuit 1 ml) =
0,02
= 2,388 skala
BAB IV
4.1. HASIL
Berikut merupakan tabel data hasil pengamatan percobaan pengaruh rute pemberian
phenobarbital terhadap onset dan durasi kerja obat pada mencit.
Tabel 1. Data hasil pengamatan onset dan durasi kerja obat berdasarkan rute
pemberiannya
4.2. PEMBAHASAN
15
Mencit kontrol yang digunakan memiliki berat badan 26,8 gram dan volume
pemberian larutan NaCl 0,9% sebesar 0,026 ml. Nacl diberikan secara oral. Setelah
diberikan mencit tidak terlihat mengalami perubahan apapun dan memncut tetap bangun.
Hal ini bisa terjadi karena larutan NaCl 0,9% merupakan zat pelarut yang bersifat
isotonis sehingga tidak memberikan efek sedasi ataupun hipnotik. Apabila disuntikan ke
dalam tubuh akan larutan nacl akan seimbang dengan cairan tubuh, tidak akan membuat
sel-sel dari mencit menjadi lisis ataupun mengkerut.
Hasil pengamatan dari kelompok II yang menggunakan rute pemberian oral pada
mencit dengan berat badan 25,4gram dan volume pemberiannya 0,049ml menunjukkan
bahwa onset kerja phenobarbital yaitu 22 menit, 15 detik ditandai dengan adanya efek
sedasi. Hal ini terjadi karena phenobarbital diabsorbsi pada lambung dan usus halus,
obat juga mengalami first pass metabolisme di hati akibatnya onset menjadi lama. Durasi
kerja phenobarbital yang diperoleh yaitu 36 menit 23 detik ditandai dengan adanya efek
hipnotik. Hal ini terjadi karena mencit lama dalam memetabolisme dan mengekresi dosis
serta kondisi fisiologis lainnya mempengaruhi durasi kerja obat.
16
Hasil pengamatan dari kelompok III yang menggunakan rute pemberian
intramuskular pada mencit dengan berat badan 24,1 gram dan volume pemberiannya
0,046ml menunjukkan bahwa onset kerja phenobarbital yaitu 15 menit 47 detik. Hal ini
terjadi karena pada bagian muskular terdapat banyak pembuluh darah sehingga absorbsi
obat ke dalam sistem sistemik menjadi cepat, tetapi tidak secepat intravena. Durasi kerja
phenobarbital yang diperoleh yaitu 43 menit 54 detik, durasi yang diperoleh termasuk
cepat. Hal ini bisa terjadi karena mencit yang digunakan mampu memetabolisme dan
mengekskresi obat dengan cepat. Hasil pengamatan dari kelompok IV yang
menggunakan rute pemberian subkutan pada mencit dengan berat badan 20,9 gram dan
volume pemberiannya 0,040 ml menunjukkan bahwa onset kerja phenobarbital pada rute
pemberian subkutan yaitu 29 menit 25 detik. Hal ini terjadi karena injeksi subkutan
dilakukan ke dalam hipodermis yang memiliki sedikit pembuluh darah, lapisan
hipodermis terdapat banyak lemak sehingga absorbsi obat menjadi lama, selain itu
phenobarbital memiliki kelarutan dalam lemak yang rendah. Durasi kerja yang diperoleh
yaitu 16 menit 15 detik, termasuk cepat. Hal ini bisa terjadi karena mencit yang
digunakan mampu memetabolisme dan mengekresi obat dengan cepat.
17
BAB V
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
Dhiu, D.T., Utami, T., & Ndaong, N.A. (2021). Perbandingan Onset, Durasi Anastesi
dan Masa Pemulihan dari Pemberian Kombinasi Anastesi Acepromasin-
Profpofol Ketamin dan Midazolam-Propofol-Ketamin pada Anjing Lokal. Jurnal
Veteriner Nusantara, 4(1) : 2 – 6.
Fadila, S., Nadjmir, Rahmatini. (2014). Hubungan Pemakaian Fenobarbital Rutin dan
Tidak Rutin pada Anak Kejang Demam dengan Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD). Jurnal Kesehatan Andalas, 3(2) : 221 – 223.
Iradiyanti, W.P., & Erlin, K. (2013). Pemberian Obat Melalui Intravena Terhadap
Kejadian Plebitis pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit. Jurnal STIKES, 3(2) :
109 – 117.
Lumbatobing, H., Arlinda, S.W., & Nasution, P.M.B.D. (2018). Sari Etanol Kangkung
dan Fenobarbital Terhadap Kama Waktu Tidur Mencit. Primari Medical Jurnal,
1(1) : 52– 66.
19
Saputri, W.A. (2013). Efek Antikonvulsi Ekstrak Etanol Daun Inggu (Ruta angustifolia)
pada Mencit Galur BALB/C dengan Induksi Secara In Vivo (Skripsi).
Purwokerto Universitas Muhammadiyah.
Wijaya, C., Sukohar, A., & Soleha, T. U. (2018). Pengaruh Pemberian Dosis Bertingkat
Konsentrat Tart Cherry (Prunus cerasus) Terhadap Perpanjangan Waktu Tidur
Mencit yang Diinduksi Fenobarbital. Majority, 7(2) : 117-121.
Yusuf, M., Rafliansyah, M., Al-Gizar, Rorrong, Y. Y. A., Badaring, D. R., Aswanti, H.,
Ayu, M. S., Nurazizah, Dzalsabila, A., Ahyar, M., Wulan, W., Putri, J. M., &
Arisma, W. F. (2022). Teknik Manajemen dan Pengelolaan Hewan Percobaan.
Makassar : Penerbit Jurusan Biologi FMIPA UNM.
20