Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN DIARE DAN KONSTIPASI

KELOMPOK 1
A2

Disusun oleh :
Amalia Solihah Eka Mas Supartini
Amila Sholihat Endani Sri Handayani
Angga Miftahur Rahma Erlina Apriliyani
Anisa Maisavitri Erlita Kusuma Dewi
Bastian Ardy Saputra Erni Indrawat
Budhi Kusuma Gina rihandayani
Desi Irma Maryana Haerunisa Sholihah
Desi Nur Alfi Yani
Destyaneu Dwi H O
Desy Adtriani

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG
ANGKATAN XVII
2017
DIARE
1. Definisi
Diare adalah Peningkatan Frekuensi dan likuiditas buang air besar (BAB) yang
abnormal. Sebagai contoh : Individu mengalami defekasi dengan frekuensi lebih dari 4x
dalam sehari dengan konsistensi feses cair (Dipiro et al, 2013)
Diet Barat biasanya menghasilkan tinja harian dengan bobot antara 100 dan 300 g,
tergantung pada jumlah bahan nonabsorbable (terutama karbohidrat) yang dikonsumsi.
Pasien dengan diare serius mungkin memiliki berat tinja harian melebihi 300 gram, namun
suatu kondisi dari pasien sering mengalami keadaan dimana mengeluakan feses yang berair
(Dipiro, 2015)
Diare dapat berhubungan dengan penyakit tertentu dari usus atau diagnosa sekunder
terhadap penyakit di luar usus. Misalnya, disentri basiler langsung mempengaruhi usus,
sedangkan diabetes mellitus menyebabkan keadaan diare neuropatik. Selain itu, diare dapat
dianggap sebagai penyakit akut atau kronis. Infeksi sering menyebabkan diare  akut dan
diabetes dapat menyebabkan diare kronis (Dipiro, 2015).
Diare akut didefinisikan sebagai diare berlangsung selama 14 hari atau kurang. Diare
berlangsung lebih dari 30 hari disebut diare kronis. Diare yang berlangsung selama 15 sampai
30 hari adalah disebut diare persisten.

2. Epidemiologi

Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2015


Penyebab diare akut tidak menular termasuk obat-obatan dan racun, penyalahgunaan
laksatif, intoleransi makanan, irritable bowel syndrome (IBS), penyakit radang
usus, ischemic bowel disease, defisiensi laktase, penyakit Whipple, pernicious anemia,
diabetes melitus, malabsorpsi, impaksi tinja, diverticulosis, dan sariawan (Burns, 2008).
3. Etiologi
Non spesifik dan spesifik
4. Patofisiologi
Empat mekanisme umum patofisiologi diare mengganggu keseimbangan air dan
elektrolit, dan akhirnya menyebabkan diare. Mekanisme ini merupakan dasar dari diagnosis
dan terapi. Mekanisme tersebut yaitu : 
-    perubahan transpor ion aktif dengan baik penurunan penyerapan natrium atau peningkatan
sekresi klorida,
-     perubahan motilitas usus,
-     peningkatan osmolaritas luminal, dan
-     peningkatan tekanan hidrostatik jaringan.
Mekanisme ini telah berhubungan dengan empat kelompok besar diare klinis:
sekretorik, osmotik, eksudatif, dan perubahan transit intestinal (Dipiro, 2015).
Sekretori diare terjadi ketika terdapat zat yang  merangsang  kenaikan atau penurunan
penyerapan jumlah besar air dan elektrolit. Zat yang menyebabkan sekresi berlebih termasuk
peptida usus vasoaktif (VIP) dari kelenjar pankreas, lemak dari makanan yang tidak terserap
di daerah steatorrhea, pencahar, hormon (seperti secretin), toksin bakteri, dan garam empedu
yang berlebihan. Banyak dari agen merangsang adenosin monofosfat siklik intraseluler dan
menghambat Na + / K +-ATPase, yang menyebabkan peningkatan sekresi. Juga, banyak dari
mediator menghambat penyerapan ion secara bersamaan. Secara klinis, diare sekretori
ditandai oleh volume tinja yang besar (> 1 L / hari) dengan kandungan ionik normal dan
osmolalitas kurang lebih sama dengan plasma (Dipiro, 2015).
Puasa tidak mengubah volume tinja. Terjadi sedikit penyerapan untuk 
mempertahankan cairan usus, hal ini menyebabkan diare osmotik. Proses ini terjadi dengan
sindrom malabsorpsi, intoleransi laktosa, administrasi ion divalen (misalnya,
magnesiumcontaining antasida), atau konsumsi karbohidrat  yang sukar larut (misalnya,
laktulosa). Pengangkutan karbohidrat yang sukar larut menyebabkan usus menyesuaikan
osmolalitas agar sesuai dengan plasma,  dengan demikian, air dan elektrolit terdistribusi ke
dalam lumen. Secara klinis, diare osmotik ini dapat dibedakan dari jenis lain, karena berhenti
jika pasien sedang dalam keadaan puasa (Dipiro, 2015).
Inflamasi pada saluran cerna menyebabkan pelepasan lendir, protein serum, dan darah
ke usus. Kadang-kadang ketika buang air besar hanya terdiri dari lendir, eksudat, dan darah.
Exudative diare mungkin mempengaruhi fungsi absorpsi, sekresi, atau motilitas yang
menyebabkan besarnya volume feses (Dipiro, 2015).
Perubahan motilitas usus menyebabkan diare melalui tiga mekanisme yaitu :
penurunan waktu kontak dalam pengosongan usus halus, pengosongan kolon yang terlalu
cepat, dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan.  Chyme harus menyentuh epitel usus untuk
jangka waktu yang cukup untuk memungkinkan penyerapan normal dan proses sekresi. Jika
waktu kontak dikurangi, maka akan menyebabkan diare. Reseksi usus  atau operasi dan obat-
obatan (seperti metoclopramide) menyebabkan dapat menyebabkan diare jenis ini. Di sisi
lain, peningkatan waktu pemaparan memungkinkan bakteri fecal tumbuh dengan cepat. Pola
karakteristik diare ini adalah cepat, deras, kecil,  Gelombang ini tidak efisien, tiada ada
mekanisme penyerapan, dan cepat mengalirkan chyme ke kolom (Dipiro, 2015).
5.  Tanda-Tanda dan Gejala
       a. Tanda-tanda dan gejala diare, antara lain :
Untuk diare akut, antara lain:
-   Tinja mendadak encer dan berair
-    Perut kram dan nyeri, urgensi rektal, mual, kembung, dan demam mungkin terjadi.
-    Berlangsung 3 sampai 4 hari.
-    Jika berasal dari infeksi akut tinja mungkin berdarah dan mengalami sakit perut
yang sangat parah’
(Burns, 2008)
Untuk diare kronis, antara lain:
-   Penurunan berat badan dan lemah.
-   Dehidrasi yang ditunjukan dengan buang air kecil menurun, urin berwarna gelap,
membran mukosa kering, takikardi, rasa haus meningkat.
b. Pemeriksaan fisik
Biasanya menunjukkan hyperperistalsis dengan kelembutan borborygmi dan
umum atau lokal (Dipiro, 2015)
       c. Tes laboratorium
-   Studi analisis feses mencakup pemeriksaan untuk mikroorganisme, darah, lendir,
lemak, osmolalitas, pH, elektrolit dan konsentrasi mineral, dan jaringan.
-   Alat tes feses sangat  berguna untuk mendeteksi virus GI, khususnya rotavirus.
-   Pengujian serologi Antibodi menunjukkan kenaikan titer lebih dari 3 - 6 hari, tetapi
tes ini tidak praktis dan spesifik.
-   Kadang-kadang, total volume tinja harian juga ditentukan.
-   Pemeriksaan dengan  endoskopi dan biopsi usus besar dapat dilakukan untuk
menilai adanya kondisi seperti kolitis atau kanker.
-   Penelitian radiografi sangat membantu dalam kondisi neoplastik dan inflamasi.
(Dipiro, 2015).
6.  Terapi Diare
a. Terapi Non-Farmakologi
• Meliputi : Mengatur asupan makanan
• Menghindari makanan yg memicu timbul diare
• Menjaga Hygine
• Memberi asupan cairan dan elektrolit
Pembuatan ORALIT dari bahan yang ada di rumah tangga (dapur) ;
1. Campurkan 1 gelas (200 ml) air putih, 1 sendok teh besar gula (gula pasir atau gula
merah), dan 1 ujung pisau garam dapur.
2. Campurkan 1 gelas (200 ml) air tajin, 1 sendok teh besar gula (gula pasir atau gula
merah), dan satu ujung pisau garam dapur.
3. Campurkan 1 gelas (200 ml) air kelapa dan 1 sendok teh besar gula.

Manajemen diet adalah prioritas utama dalam penanganan diare. Dianjurkan untuk
menghentikan konsumsi makanan padat dan produk susu selama 24 jam.  Meskipun
demikian, cara perawatan dengan puasa masih dipertanyakan karena belum banyak dipelajari.
Puasa dapat mengendalikan diare osmotik tetapi tidak untuk diare sekretori.
Apabila pasien mengalami mual dan atau muntah, harus diberikan makanan yang
mudah dicerna selama 24 jam. Jika muntah tidak dapat dikontrol dapat diberikan antiemetik
dan tidak boleh diberikan secara oral. Setelah pergerakan usus berkurang, mulai dapat
diberikan diet makanan lunak. Pemberian makanan harus dilanjutkan pada anak-anak dengan
diare bakterial akut karena dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas, apakah mereka
menerima cairan rehidrasi oral ataupun tidak. Belum dilakukan studi untuk menentukan
pengaruh pemberian makanan berkelanjutan untuk diare bakterial terhadap orang tua atau
kelompok dengan risiko tinggi lainnya (Dipiro, 2015).
Tujuan terapi diare adalah memanajemen diet, mencegah kehilangan air, elektrolit,
dan keseimbangan asam-basa, meredakan gejala, dan mengobati penyebab diare. Tenaga
kesehatan harus paham bahwa diare, seperti juga batuk, mungkin merupakan mekanisme
pertahanan tubuh dari substansi yang berbahaya atau patogen ( Dipiro, 2015).

b. Terapi Farmakologi
Berbagai obat telah digunakan untuk mengobati serangan diare. Obat ini
dikelompokkan menjadi beberapa kategori: antimotilititas, adsorben, senyawa antisekretori,
antibiotik, enzim, dan mikroflora usus. Biasanya obat ini tidak menyembuhkan tetapi
meringankan penyakit saja.
Adapun penggolongan obat yang digunakan meliputi :
a. Adsorbents dan Bulk Agents
b. Antiperistaltic (Antimotility) Agents
c. Antisecretory Agents
d. Anti-Infectives
e. Probiotics
(Burns, 2008)
Berikut adalah tabel nama obat dan dosis yang digunakan untuk terapi diare.

Tabel 1. Nama Obat dan Dosis (Dipiro, 2015)


Preparat Lactobacillus digunakan untuk menggantikan koloni mikroflora sehingga
dapat mengembalikan fungsi intestinal serta menekan pertumbuhan mikroorganisme
patogenik. Produk susu yang mengandung 200-400 gram laktosa atau dekstrin efektif untuk
merekolonisasi flora normal (Dipiro, 2015).
Berikut adalah bagan untuk terapi diare akut:

                                            Gambar 1. Bagan terapi diare akut (Dipiro, 2015)


Berikut adalah langkah – langkah yang direkomendasikan untuk pengobatan diare akut:
1.       Lakukan pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit.
2.       Apakah diarenya akut atau kronik?
3.     Jika diarenya akut, periksa apakah ada demam atau gejala- gejala sistemik (misal
keracunan). Jika terjadi gejala sistemik (demam, anoreksia, kehilangan cairan tubuh), periksa
sumber infeksi. Jika positif diare disebabkan oleh infeksi, gunakan terapi antibiotik atau
antelmintik. Jika negatif, lakukan pengobatan gejala saja.
4. Jika tidak ditemukan gejala sistemik, lakukan terapi untuk mengatasi hilangnya cairan
tubuh, berikan cairan elektrolit oral/parenteral, agen antidiare. (Dipiro, 2015)
  
6.  Evaluasi Hasil Terapi
Secara umum, langkah-langkah  terapi diarahkan terhadap gejala, tanda, dan studi
laboratorium. Konstitusi gejala biasanya membaik dalam waktu 24 hingga 72 jam.
Monitoring untuk perubahan frekuensi dan karakter buang air besar setiap hari dalam
hubungannya dengan tanda-tanda vital dan perbaikan nafsu makan adalah sangat penting.
Selain itu, dokter perlu memantau berat badan, osmolalitas serum, elektrolit serum, jumlah
sel darah, dan urine (Burns. 2008)
Untuk diare akut, dengan tidak adanya dehidrasi sedang hingga berat, demam tinggi,
dan darah atau lendir dalam tinja, penyakit ini biasanya sembuh dalam waktu 3 sampai 7 hari.
Diare akut yang ringan sampai sedang biasanya diobati secara rawat jalan dengan rehidrasi
oral, pengobatan simtomatik, dan diet. Orang-orang tua dengan penyakit kronis dan bayi
mungkin memerlukan rawat inap untuk rehidrasi parenteral dan monitoring yang ketat.
Untuk diare  kronis, dalam situasi yang mendesak, pemulihan status volume pasien
adalah hasil yang paling penting. Pasien  dengan demam dehidrasi, hematochezia, atau
hipotensi memerlukan rawat inap, infus cairan elektrolit, dan terapi antibiotik sambil
menunggu hasil kultur dan sensitivitas. Dengan manajemen yang tepat waktu, pasien
biasanya dapat sembuh dalam beberapa hari (Dipiro, 2015).
Preventif (Pencegahan)
Diare akut akibat virus  sering terjadi di tempat penitipan anak. Virus disebarkan
melalui kontak langsung dengan orang sehingga, untuk menghindarinya harus dilakukan
isolasi. Untuk mencegah infeksi akibat bakteri, parasit, dan protozoa, dilakukan pengolahan
makanan dan air yang ketat, sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. Apabila diare
yang terjadi diakibatkan oleh penyakit lain, kontrol terhadap penyakit tersebut harus
dilakukan. Antibiotik dan bismut subsalisilat disarankan untuk mencegah diare untuk orang-
orang yang akan berpergian (Dipiro, 2015).

IRRITABLE BOWEL SYNDROME (IBS)


Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah gangguan sistem gastrointestinal yang ditandai
dengan kembung dan perubahan pola defekasi (diare atau konstipasi). Perjalanan penyakit ini
dipengaruhi faktor psikologis. Sering terjadi missed diagnosis karena keluhan bersifat non-
spesifi k. Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mengeksklusi gangguan organik berat.
Penatalaksanaan komprehensif secara farmakologis dan non-farmakologis dibutuhkan untuk
mencapai tujuan terapi yaitu meningkatkan kualitas hidup pasien..
KLASIFIKASI Menurut kriteria karakteristik feses, IBS dibagi menjadi 3 subkelas :
1. IBS dengan diare (IBS-D) :
- Feses lembek/cair ≥25% waktu dan feses padat/bergumpal <25% waktu
- Lebih umum ditemui pada laki-laki
- Ditemukan pada satu pertiga kasus

2. IBS dengan konstipasi (IBS-C) :


- Feses padat/bergumpal ≥25% dan feses
lembek/cair <25% waktu
- Lebih umum ditemui pada wanita
- Ditemukan pada satu pertiga kasus

3. IBS dengan campuran kebiasaan buang


air besar atau pola siklik (IBS-M)
- Feses padat/bergumpal dan lembek/cair
≥25% waktu
- Ditemukan pada satu pertiga kasus
• Catatan: 25% waktu adalah 3 minggu dalam 3 bulan
Terapi Farmakologi IBS dengan keluhan kembung dan kelebihan produksi gas

1. Manajemen IBS-C (Predominan Konstipasi)


Diet tinggi serat direkomendasikan bagi pasien IBS-C. Konsumsi serat 12
gram/ hari efektif mengurangi keluhan. Namun, konsumsi serat juga dapat
meningkatkan kejadian kembung. Laksatif osmotik sering digunakan untuk
konstipasi, penggunaan jangka panjang terbukti aman dan efektif. Magnesium, fosfat,
dan emolien mengandung polietilen glikol juga efisien. Anti depresan efektif
mengatasi nyeri abdomen. SSRI menstimulasi sekresi endorfi n endogen dan
memblokade ambilan norepinefrin yang memicu berkurangnya sensasi nyeri. Pada
IBS-C SSRI (misal fluoksetin 20 mg/hari) dapat membantu mengatasi keluhan nyeri
perut. Sertralin 100 mg/hari dapat mengatasi depresi. Penggunaan imipramine dan
amitriptilin pada IBS-C harus diawasi ketat. Tegaserod merupakan agonis reseptor 5-
HT4 pada penelitian klinis dilaporkan mengurangi gejala umum pasien IBS, namun
tegaserod meningkatkan risiko ischemic heart disease, sehingga sejak Juli 2007 hanya
diresepkan pada wanita.
2. Manajemen IBS-D (Predominan Diare)
Agen antidiare secara umum efektif mengatasi diare. Konsumsi agen antidiare
dosis rendah (misalnya loperamide setiap pagi) terbukti efektif pada sebagian pasien.
Penelitian double blind alosetron (antagonis reseptor 5-HT3) 2 kali 1 mg selama 12
minggu mengurangi frekuensi dan urgensi defekasi, selain itu juga mengurangi nyeri
abdomen, yang meningkatkan kualitas hidup pasien. FDA (Food and Drug
Administration) telah membatasi penggunaan obat ini pada wanita dengan IBS karena
efek sampingnya ileus obstruksi, obstruksi intestinal, impaksi fekal, perforasi
intestinal, dan kolitis iskemik. Antidepresan efektif mengontrol nyeri abdomen dan
mengatasi keluhan diare pada IBS. TCA dapat meningkatkan waktu transit di kolon
lewat stimulasi efek antikolinergik yang dapat berguna pada pasien diare. Probiotik
dapat diberikan pada IBS-D.
3. Manajemen IBS dengan kembung
Kembung merupakan gejala yang sering dijumpai pada pasien IBS-C.
Kemungkinan mekanisme kembung meliputi masalah psikososial, kelemahan otot
abdominal, relaksasi paradoksal otot abdomen, dan perubahan sensitivitas viseral.
Pada beberapa kasus dengan pertumbuhan bakteri berlebih, terapi antibotik sangat
efektif mengatasi gejala kembung. Antibotik jangka pendek direkomendasikan untuk
mengatasi kembung pada IBS. Penggunaan antibotik nonabsorben seperti rifaksimin
mengatasi sensasi tidak nyaman abdomen, namun penggunaan rifaksimin jangka
pendek menunjukkan relaps tinggi. Pada penelitian dengan plasebo, SSRI (seperti
fluoksetin) dapat meringankan gejala kembung. Obat jenis ini memberikan efek
antidepresi dan antiansietas. Coriandrum sativum dan Mentha spicata memperbaiki
gejala IBS dibandingkan plasebo karena efek antispasmodiknya.

IBS merupakan penyakit yang perlu diperhatikan oleh penyedia layanan medis,
diagnosis dapat ditegakkan setelah eksklusi penyakit organik serius. Perlu pendekatan
komprehensif untuk dapat mendiagnosis IBS yang memiliki gejala tidak spesifi k dan
sangat bervariasi. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk membantu mengeksklusi
penyakit organik yang lebih serius. Penatalaksanaan medikamentosa tidak dapat berdiri
sendiri, diperlukan pendekatan psikososial dan modifi kasi gaya hidup untuk dapat mem
perbaiki kualitas hidup pasien IBS.
KONSTIPASI
1.1  Definisi
Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan dimana seseorang mengalami
pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan
dan dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya. Konstipasi sendiri
sebenarnya bukanlah suatu penyakit, tetapi lebih tepat disebut gejala yang dapat menandai
adanya suatu penyakit atau masalah dalam tubuh (Dipiro et al., 2008). Seseorang dikatakan
mengalami konstipasi apabila frekuensi BAB kurang dari 3 kali dalam seminggu disertai
konsistensi feses yang keras, kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses besar-besar
maupun akibat terjadinya gangguan refleks defekasi), serta mengalami sensasi rasa tidak puas
pada saat buang air besar.
1.2  Etiologi
Beberapa penyakit dan penggunaan obat tertentu merupakan salah satu faktor yang
berkaitan dengan timbulnya konstipasi. Gangguan saluran gastrointestinal (sindrom iritasi
usus atau diverticulitis), gangguan metabolik (diabetes), atau gangguan endokrin
(hipotiroidisme) dapat terlibat dalam timbulnya konstipasi. Konstipasi umumnya disebabkan
karena rendahnya asupan serat atau dari penggunaan obat-obatan seperti opiat yang dapat
menginduksi terjadinya konstipasi (Burns et al., 2008). Pada orang tua konstipasi yang sering
terjadi dapat disebabkan karena hasil dari diet yang tidak tepat (rendah serat dan cairan),
kekuatan otot pada dinding abdomen berkurang, serta karena berkurangnya aktivitas fisik.
Namun frekuensi buang air besar tidak menurun dengan penuaan normal (Dipiro et al.,
2008). Daftar penyebab umum konstipasi pada kondisi penyakit tertentu ditampilkan dalam
tabel 1.1.
Tabel 1.1 Daftar Penyebab Umum Konstipasi
Kondisi Etiologi yang Berpotensi Menyebabkan Konstipasi
Gangguan GI          Irritable Bowel Syndrome (IBS)
         Diverticulitis
         Penyakit saluran pencernaan atas
         Penyakit anal dan rektal
         Wasir
         Ulcerative proctitis
         Tumor
         Hernia
         Volvulus usus
         Sifilis
         Tuberkulosis
         Infeksi cacing
Gangguan          Diabetes melitus dengan neuropati
metabolisme          Hipotiroidisme
dan endokrin          Panhypopituitarism
         Pheochromocytoma
         Hiperkalsemia
         Kelebihan glukagon enterik
Kehamilan          Motilitas usus tertekan
         Peningkatan penyerapan cairan dari usus
         Penurunan aktivitas fisik
         Perubahan pola makan
         Asupan cairan yang tidak memadai
         Asupan serat rendah
         Penggunaan garam besi
Penyebab          Penyakit SSP
Neurogenik          Trauma otak (terutama medula)
         Cedera tulang belakang
         Tumor SSP
         Kecelakaan serebrovaskular
         Parkinson
Penyebab          Mengabaikan keiginan untuk buang air besar
psikogenik          Penyakit kejiwaan
Induksi Obat          Analgesik (inhibitor sintesis prostaglandin, opiat)
         Antikolinergik (antihistamin, agen
antiparkinsonian, Phenothiazines,Tricyclic antidepressant)
         Antasida yang mengandung CaCO3 atau Al(OH)3
         Barium sulfat
         Calcium channel blockers
         Clonidine
         Diuretik (tidak hemat kalium)
         NSAID
                                                                                                        (Dipiro et al., 2008)

1.3  Fisiologi Normal
Fungsi sistem pencernaan adalah memproses makanan menjadi bentuk molekulernya
yang kemudian akan diserap dan didistribusikan ke sel melalui sistem sirkulasi. Dalam proses
pencernaan, terdapat sisa pencernaan yang harus diekskresikan, yaitu feses. Feses
mengandung material yang tidak dapat dicerna dan tidak dapat diserap sehingga dikeluarkan
melalui proses defekasi (Vander et al., 2001).
Gambar 1.1 Saluran cerna manusia (lambung dan usus)

Mekanisme yang berperan dalam proses defekasi sangat kompleks. Defekasi


dirangsang oleh gerakan peristaltik akibat adanya massa feses di dalam rektum (Endyarni dan
Syarif, 2004). Sebelum memasuki rektum, makanan yang bercampur dengan enzim-enzim
pencernaan (chyme) memasuki cecum (bagian awal dari kolon) melalui ileocecal
sphincter. Sfingter ini secara normal tertutup, tetapi setelah makan, refleks gastroileal
meningkatkan kontraksi ileum, sfingter mengalami rileks ketika bagian terminal ileum
berkonstraksi, diikuti oleh masukknya chyme ke dalam kolon. Di sisi lain, penggelembungan
kolon menghasilkan refleks kotraksi pada sfingter, mencegah material yang ada
di fecal kembali ke usus kecil (Vander et al., 2001).
Kurang lebih 1500 mL chyme memasuki kolon setiap harinya. Material ini berasal
dari sekresi dari bagian bawah usus kecil, karena sebagian besar makanan yang dicerna telah
diabsorbsi sebelum melalui kolon. Absorbsi cairan oleh kolon secara normal, hanya
merupakan bagian kecil dari cairan yang memasuki saluran gastrointestinal tiap harinya.
Proses absorbsi primer pada kolon adalah transport aktif sodium dari lumen menuju darah,
yang diikuti absorbsi osmotik air. Jika material fecal masih berada di kolon dalam waktu
yang lama, hampir semua air tersebut diabsorbsi dan dihasilkan feses yang keras. Terdapat
perpindahan potasium total yang normal dari darah menuju lumen kolon dan pengurasan total
potasium dalam tubuh dapat terjadi bila cairan dalam jumlah besar diekskresikan melalui
feses. Terdapat pula perpindahan total ion bikarbonat menuju lumen. Kehilangan bikarbonat
(basa) pada pasien dengan diare yang panjang dapat menyebabkan darah menjadi asam
(Vander et al., 2001).
Kontraksi dari otot polos sirkular pada kolon menghasilkan gerak segmentasi dengan
ritme yang jauh lebih lambat (sekali setiap 30 menit) dibandingkan di dalam usus kecil.
Karena lambatnya dorongan dari konten pada kolon, dibutuhkan waktu 18-24 jam untuk
dapat memasukkan makanan dari usus kecil menuju kolon. Tiga sampai empat kali sehari,
bisanya diikuti oleh makanan, gelombang kontraksi usus (perpindahan massa) menyebar
dengan cepat melalui segmen melintang dari kolon menuju rektum. Hal ini biasanya
bertepatan dengan gastroileal refleks. Tidak seperti gelombang peristaltik, di mana otot polos
pada setiap titik mengalami rileks setelah gelombang kontraksi terjadi, otot polos kolon tetap
berkontraksi untuk beberapa saat setelah perpindahan massa terjadi (Vander et al., 2001).
Anus biasanya ditutup oleh sfingter anal internal (terdiri dari otot polos) dan sfingter
anal eksternal (terdiri dari otot rangka) yang dapat dikontrol secara sadar. Penggelembungan
tiba-tiba dinding rektum yang akibat gerakan massa feses ke dalam rektum, memulai refleks
buang air besar yang dimediasi oleh mekanoreseptor. Respon refleks terdiri dari kontraksi
rektum, relaksasi sfingter anal internal, tetapi terjadi kontraksi sfingter anal eksternal (pada
awalnya) dan meningkatnya aktivitas peristaltik di kolon sigmoid. Akhirnya, tekanan tercapai
dalam rektum yang memicu refleks relaksasi dari sfingter anal eksternal, yang memungkin-
kan kotoran harus dikeluarkan. Otak dapat mengatur hal tersebut, namun, melalui jalur balik
saraf somatik ke sfingter anal eksternal, menimpa sinyal refleks yang akhirnya akan
mengendurkan sfingter, dengan demikian menjaga sfingter eksternal ditutup dan
memungkinkan seseorang untuk menunda buang air besar. Pada kasus ini, penggelembungan
berkepanjangan rektum menginisiasi peristaltik balik yang mendorong isi rektum kembali ke
kolon sigmoid. Dorongan untuk defekasi kemudian mereda sampai gerakan massa yang ada
di depannya mendorong tinja ke rektum, meningkatkan volume, dan memulai lagi refleks
buang air besar. Kerusakan sumsum tulang belakang dapat menyebabkan hilangnya kontrol
sadar untuk melakukan defekasi (Vander et al., 2001).
Defekasi biasanya dibantu oleh inspirasi dalam, diikuti dengan penutupan glotis dan
kontraksi otot-otot perut dan dada, menghasilkan peningkatan tekanan perut yang
ditransmisikan pada massa yang ada pada kolon dan rektum. Manuver ini (manuver Valsava)
juga menyebabkan peningkatan tekanan intratoraks, yang mengarah pada peningkatan
tekanan darah yang sementara, kemudian diikuti oleh penurunan tekanan karena aliran balik
vena ke jantung berkurang. Perubahan kardiovaskular akibat regangan berlebihan saat buang
air besar dapat memicu stroke atau serangan jantung, terutama pada orang tua sembelit
dengan penyakit jantung (Vander et al., 2001).
1.4  Patofisiologi Penyakit
Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan gejala dari adanya
suatu penyakit atau masalah dalam tubuh. Pengobatan pada konstipasi harus diawali dengan
usaha untuk menetapkan penyebabnya. Gangguan pada saluran pencernaan, gangguan
metabolisme atau gangguan sistem endokrin dapat menjadi hal-hal yang terkait dengan
timbulnya konstipasi. Konstipasi umumnya hasil dari diet rendah serat atau penggunaan obat-
obat yang menyebabkan konstipasi seperti obat-obat golongan opiat. Di samping itu, hal-hal
yang berawal dari gangguan psikis juga dipercaya menyebabkan konstipasi, penurunan
kekuatan otot dinding abdomen dan kemungkinan penurunan aktifitas fisik. Bagaimana pun
juga, frekuensi pergerakan usus tidak berkurang pada usia produktif. Selain itu, penyakit-
penyakit yang dapat menyebabkan konstipasi, seperti kanker kolon dan diverticulitis, akan
meningkat kemungkinannya seiring dengan bertambahnya umur. Contoh faktor penyebab
konstipasi telah dijelaskan pada sub bab etiologi. Penggunaan obat-obatan (tabel 1.1) yang
menghambat fungsi neurologis atau otot saluran cerna (terutama usus besar) juga merupakan
penyebab konstipasi (Dipiro et al., 2008).

1.5  Manifestasi Klinis
A Tanda dan Gejala
Pasien mengeluh tentang rasa tidak nyaman dan kembung pada perut, kelelahan, sakit
kepala, mual dan muntah, pergerakan usus yang hilang, feses dengan ukuran kecil, perasaan
penuh, kesulitan, dan sakit saat mengeluarkan feses (Dipiro et al., 2008; Sukandar dkk.,
2008)
Implikasi dari konstipasi dapat bervariasi mulai dari rasa tidak nyaman sampai gejala
kanker usus besar atau penyakit serius lainnya (Sukandar dkk., 2008).
Konstipasi menunjukan gejala yang parah apabila ditandai dengan gejala berlangsung
lebih dari 3 minggu, terdapat darah dalam tinja, penurunan berat badan, demam,
anoreksia, mual, dan muntah atau setiap kali terjadi perubahan kebiasaan buang air besar
yang biasa terjadi secara signifikan (Burns et al., 2008).
B. Tes Laboratorium
Pada tes laboratorium, terdapat serangkaian pemeriksaan, termasuk proktoskopi,
sigmoidoskopi, kolonoskopi, dan barium enema yang mungkin diperlukan untuk menentukan
adanya kolorektal patologi.
Studi mengenai fungsi tiroid dapat dilakukan untuk menentukan adanya metabolik
dan gangguan endokrin yang berhubungan dengan konstipasi. (Dipiro et al., 2008).
1.6   Tata Laksana Terapi dan Farmakologi Obat
Pada pasien dengan konstipasi, tujuan utama terapi adalah untuk mengidentifikasi dan
mengobati penyebab sekunder, mengurangi gejala, serta mengembalikan fungsi normal usus
(Chisholm-Burns et al., 2008). Tindakan umum yang diyakini bermanfaat dalam mengatasi
konstipasi adalah modifikasi diet untuk meningkatkan jumlah serat yang dikonsumsi tiap
hari, olahraga, penyesuaian pola buang air besar sehingga teratur dan waktu yang memadai
dibuat untuk merespon dorongan untuk buang air besar, dan meningkatkan asupan cairan.
Jika yang mendasari penyebab konstipasi adalah penyakit lain, maka lakukan upaya untuk
menyembuhkannya.Gangguan GI yang berbahaya bisa dihilangkan melalui bedah reseksi.
Penyakit pada endokrin dan metabolik harus ditangani dengan metode yang tepat. Obat yang
berpotensi menyebabkan konstipasi harus diidentifikasi dan dipertimbangkan diganti dengan
agen lainnya. Jika tidak ada alternatif yang rasional untuk menggantinya, maka dapat
dipertimbangkan untuk menurunkan dosis dari obat tersebut (Dipiro et al., 2008).
Satu atau lebih laksatif dapat diberikan untuk mengobati gejala. Jika
apoteker merasa bahwa pasien hanya perlu diberikan saran diet, maka akan masuk akal
untuk melihat terlebih dahulu keadaan pasien sekitar 2 minggu untuk melihat
apakah konstipasi menetap sebelum pasien dirujuk ke dokter (Blenkinsopp et al., 2005).
a. Algoritma Terapi Konstipasi
Riwayat
a. frekuensi feses
b. konsistensi feses
c. Kesulitan buang air besar

Kemungkinan penyebab
a.  Diet makanan tinggi serat yang kurang dan terutama terdiri dari makanan yang sangat
halus
b.  Gangguan GI
c.  Gangguan metabolisme dan endokrin
d.  Kehamilan
e.  Neurogenik
f.   Psikogenik
g.  Diinduksi oleh penggunaan obat
h.  Penyalahgunaan laksatif
Gejala yang terlihat pada sembelit kronis
a. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (hipokalemia)
b. Protein-losing gastroenteropathy dengan hipoalbuminemiak. Sindrom yang me- nyerupai
kolitis

Pilih uji diagnostik yang tepat


a. Proktoskopi
b. Sigmoidoskopi
c. Kolonoskopi
d. Barium enema

Diagnosa
1. Mengobati penyebab spesifik
2. Tidak ada diagnosis, terapi simtomatis :
a. Bulk-forming agent
b. Modifikasi diet
c. Perubahan gaya hidup (olahraga)
d. Asupan cairan
e. Hentikan obat yang berpotensial menginduksi konstipasi

Sebelum memulai terapi, pasien harus ditanyakan tentang frekuensi pergerakan usus
dan tingkat keparahan konstipasi. Pasien juga  harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan
yang berkaitan tentang kebiasaan diet dan regimen laksatif yang dikonsumsi. Pasien juga
harus ditanyakan dengan seksama tentang kebiasaan diet dan regimen pencahar yang
diterima. Ditanyakan apakah pasien memiliki diet tetap dengan mengurangi makanan yang 
berserat tinggi, terutama yang berserat halus serta obat pencahar (laksatif atau katartik) apa
yang pernah dicoba oleh pasien untuk menghilangkan konstipasi/sembelitnya. Selain itu,
pasien juga harus ditanyakan tentang kombinasi pengobatan yang dilakukan secara
bersamaan, yang mungkin dapat menyebabkan sembelit (Dipiroet al., 2008).
Dasar dari perawatan dan pencegahan konstipasi harus terdiri dari usaha pemberian agen
yang membentuk bulk disamping modifikasi diet untuk meningkatkan serat. Untuk beberapa
penderita konstipasi akut yang tidak dirawat di rumah sakit, penggunaan produk laksatif
dapat diterima. Namun sebelum pasien diberikan laksatif ataupun katartik yang lebih poten,
sebaiknya dicobakan terlebih dahulu langkah-langkah pengobatan yang lebih sederhana.
Misalnya, konstipasi akut dapat dihilangkan dengan penggunaan tap-water enema (agen
yang menyebabkan terjadinya pemasukan air ke dalam usus atau kolon melalui anus untuk
merangsang buang air besar) atau suppositoria gliserin. Jika tidak efektif, penggunaan
sorbitol oral, bisakodil atau senna dalam dosis rendah atau saline laksatif (misalnya susu
magnesium) dapat diberikan sebagai pembantu perawatan. Jika pengobatan laksatif
diperlukan untuk lebih dari 1 minggu, orang tersebut dianjurkan untuk berkonsultasi dengan
dokter untuk menentukan apakah ada penyebab lain yang mendasari konstipasi sehingga
diperlukan pengobatan dari agen lain selain laksatif (Dipiro et al., 2008).

b. Terapi Non Farmakologi


Modifikasi gaya hidup perlu dilakukan sebelum penggunaan laksatif pada konstipasi.
Konstipasi biasanya berhubungan dengan rendahnya asupan serap, kurangnya cairan dan
olahraga. Peningkatan konsumsi serat seperti kacang-kacangan, biji-bijian, sereal, buah-
buahan segar dan sayuran seperti asparagus, kol dan wortel sebanyak 20-35 gram/hari dan
menghindari konsumsi makanan yang rendah serat seperti keju dan es krim. Asupan cairan
yang cukup juga penting (6-8 gelas perhari). Berjalan atau latihan aerobik lain dapat
membantu melatih otot di daerah abdominal yang mendorong propulsi dalam usus. Selain itu,
pasien sebaiknya membiasakan untuk tidak menunda keinginan untuk buang air besar
(Chisholm-Burns et al., 2008).

c. Terapi Farmakologi
1. Laksatif Stimulan (Stimulant Laxative)
Derivatif difenilmetana (bisacodyl) dan antrakuinon (senna) memiliki aksi yang
selektif pada saraf pleksus otot polos usus yang menyebabkan peningkatan motilitas usus
(Chisholm-Burns et al., 2008). 
Semua obat laksatif stimulan dapat menghasilkan kram nyeri. Disarankan untuk
memulai dengan dosis paling rendah dari kisaran dosis yang dianjurkan, kemudian dosis
dapat ditingkatkan jika diperlukan. Intensitas efek laksatif berhubungan dengan dosisyang
digunakan. Laksatif stimulan bekerja dalam 6-12 jam bila digunakan secara oral. Harus
digunakan maksimum 1 minggu. Bisacodyl  tablet yang dilapisi salut enterik
harus ditelanutuh karena bisacodyl dapat mengiritasi lambung. Jika diberikan
sebagai supositoria, efeknyabiasanya terjadi dalam 1 jam dan kadang-kadang 15
menit setelah insersi (Blenkinsopp et al., 2005).
Natrium Docusate tampaknya memiliki efek stimulan dan efek melembutkan tinja,
bertindak dalam waktu 12 hari. Penggunaan dari senna dan cascara yang tidak terstandar-
disasi, harus digunakan secara hati-hati, karena dosis dan mekanismenya tidak bisa
ditebak. Minyak jarak adalah obat tradisional untuk konstipasi, yang tidak lagi dianjurkan
karena adanya sediaan lain lebih baik. Penggunaan laksatif stimulan secara terus menerus
dapat mengakibatkan hilangnya aktivitas otot di dinding usus dan nantinya menyebabkan
konstipasi (Blenkinsopp et al., 2005).

2. Pembentuk Massa Feses (bulk laksative)


Bulk laksatif seperti ispaghula, metilselulosa dan sterculia memiliki mekanisme yang
paling mendekati dengan fisiologis normal yang terlibat dalam evakuasi usus dan dianggap
oleh banyak orang sebagai obat pencahar pilihan. Agen ini sangat berguna ketika pasien tidak
bisa atau tidak mau meningkatkan asupan serat makanan. Bulk laksatif bekerja dengan cara
mengembang di usus dan meningkatkan massa feses sehingga peristaltik usus dirangsang.
Efek laksatif dapat memakan waktu beberapa hari (Blenkinsopp et al., 2005).
Kandungan natrium pada bulk laksatif (sebagai natrium bikarbonat) harus
dipertimbangkan pada mereka yang memerlukan pembatasan asupan natrium. Ketika
merekomendasikan penggunaan bulk laksatif, apoteker harus menyarankan bahwa
peningkatan asupan cairan akan diperlukan. Sebelum mengkonsumsi bulk laksatif, karena
sediaannya dalam bentuk butiran atau bubuk, sediaan harus dicampur dengan segelas penuh
cairan (misalnya jus buah atau air). Jus buah dapat menutupi rasa hambar sediaan. Obstruksi
usus mungkin timbul dari asupan cairan yang tidak memadai pada pasien yang memakai bulk
laksatif, terutama yang ususnya tidak berfungsi dengan baik sebagai akibat dari
penyalahgunaan obat laksatif stimulant (Blenkinsopp et al., 2005).
3. Laksatif Osmotik (Osmotic Laxatives)
Laktulosa bekerja dengan menjaga volume cairan dalam usus. Laksatif
osmotik mungkin memerlukan waktu 1-2 hari untuk bekerja. Laktitol secara kimiawi
berhubungan dengan laktulosa dan tersedia dalam sachet. Isi sachet itu ditaburkan pada
makanan atau dicampurkan dengan cairan (misalnya jus buah atau air). Laktulosa dan
laktitol dapat menyebabkan perut kembung, kram dan ketidaknyamanan
perut. Garam Epsom (magnesium sulfat)  merupakan pengobatan tradisional yang sementara
ini tidak lagi direkomendasikan, namun masih diminta oleh beberapa pasien yang usianya
sudah tua. Obat ini bekerja dengan menarik air ke dalam usus sehingga
menghasilkan peningkatan tekanan motilitas di usus dan biasanya menghasilkan gerakan
usus dalam beberapa jam. Penggunaan berulang dapat menyebabkan
dehidrasi (Blenkinsopp et al., 2005).
Gliserin biasanya diberikan sebagai suppositoria dengan bobot sekitar 3 g dan
menimbulkan efek berupa aksi osmotik di dalam rektum. Seperti kebanyakan agen yang
diberikan dalam bentuk suppositoria, efek biasanya terjadi dalam waktu kurang dari 30 menit.
Kadar yang tinggi dalam suppositoria dapat menimbulkan iritasi lokal. Gliserin dianggap
sebagai pencahar yang aman, meskipun terkadang dapat menyebabkan iritasi pada dubur.
Penggunaannya dapat diterima untuk konstipasi yang sifatnya berselang (kadang-kadang),
terutama pada anak-anak (Dipiro et al., 2008). Membasahi supositoria sebelum
digunakanakan membuat penggunaannya lebih mudah (Blenkinsopp et al., 2005)

Anda mungkin juga menyukai