Definisi :
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
terdiri dari silent, Infeksi Laten, progresif, serta TB Aktif. (Dipiro 9Th,Chapter 49)
Etiologi/ Penyebab :
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif
tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah
kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi
melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB.
Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil
kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks
positif adalah 17%. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung
percik renik dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. (Pedoman Nasional TB kemenkes 2014)
Patofisiologi :
Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru, terjadi karena kelainan patologik
pada saluran pernapasan akibat kuman M.tuberculosis. Kuman tersebut bersifat sangat aerobik,
sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di daerah apeks karena O 2 alveolus paling tinggi.
Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi jaringan yang
karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel makrofag. Respons awal pada
jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa sebukan sel radang, baik sel leukosit
polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit mononukleus. Kuman berproliferasi dalam sel, dan
akhirnya mematikan sel fagosit. Sementara itu sel mononukleus bertambah banyak dan
membentuk agregat. Kuman berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman)
mati, sel fagosit mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru terlepas. Jadi
terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan berkesinambungan. Sel monosit
semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya bertambah banyak dan tampak
pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok padat mirip sel epitel tanpa jaringan
diantaranya, namun tidak ada ikatan interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel
Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian sel datia ini
berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa sel datia
benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma). ( Konsensus Kedokteran Paru Indonesia,2006)
Infeksi primer diinisiasi oleh implantasi organisme di alveolar melalui droplet yang sangat kecil,
bila melalui saluran nafas , mikroorganisme akan membelah diri dan dicerna oleh makrofag
pulmoner, dimana pembelahan diri akan terus berlangsung walaupun lebih pelan, Nekrosis
jaringan dan kalsifikasi pada daerah yang terinfeksi dan nodus limfe regional dapat terjadi,
menghasilkan pembentukan radiodense area menjadi kompleks ghon. Makrofag yang teraktivasi
dalam jumlah besar akan mengelilingi daerah yang ditumbuhi M. Tuberkulosis yang padat
seperti keju (daerah nekrotik), sebagai bagian dari imunitas yang dimediasi oleh sel.
((Isofarmakoterapi, 2009)
Manifestasi Klinis
Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk dan berdahak terus-menerus
selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk darah. Adapun gejala-gejala lain dari
TB pada orang dewasa adalah sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat
badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam, walaupun tanpa kegiatan,
demam meriang lebih dari sebulan
Pada anak-anak gejala TB terbagi 2, yakni gejala umum dan gejala khusus.
1. Gejala umum, meliputi :
Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam
1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik.
Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau
infeksi saluran nafas akut) dapat disertai dengan keringat malam.
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering di daerah leher, ketiak
dan lipatan paha.
Gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain
dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.
Pasien mengeluh :
Sesak nafas, nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan menurun, rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari
sebulan. Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan
pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam abdomen.
Gejala Utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih, batuk dapat
diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di
Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala
tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung. (Pedoman Nasional TB kemenkes 2014).
Pemeriksaan dahak :
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan
menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
• S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke
fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung
dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
• S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb) dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu,
misal:
• Pasien TB ekstra paru.
• Pasien TB anak.
• Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk
memanfaatkan tes cepat tersebut.
Uji tuberkulin
Uji ini dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan dengan cara intra kutan) Bila uji tuberkulin
positif, menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan ada TB aktif pada anak. Namun, uji
tuberkulin dapat negatif pada anak TB berat dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat,
pemberian imunosupresif, dan lain-lain).
Guidline Terapi
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi
paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang
bioavailabilitinya telah diketahui.
Fase awal harus terdiri dari isoniazid, rifampisin, piranzinamin, dan etambutol.
Fase lanjutan yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan selama 4 bulan.
Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif yang pada fase lanjutan
yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan tetapi hal ini berisiko
tinggi untuk gagal dan kambuh, terutama untuk pasien yang terinfeksi HIV.
Dosis OAT yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional. Kombinasi
dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2 obat (RH), 3 obat (RHZ), dan 4 obat (RHZE)
sangat direkomendasikan terutama jika menelan obat tidak diawasi.
(ADD) Pada TB ektraparu ( Meningitis TB, TB Tulang, TB milier, TB Kulit dan lain - lain)
secara umum terapi TB diberikan minimal 9 bulan (9-12 bulan) dengan paduan OAT yang
lebih lengkap sesuai dengan derajat penyakitnya.
(ADD) Khusus untuk anak, rejimen yang diberikan terdiri atas RHZ, ditambah E bila
penyakitnya berat (BTA positip, TB HIV,.TB paru dengan lesi Luas, TB ektra paru berat
seperti : TB Milier, TB tulang, TB Meningitis dll), secara umum terapi TB pada anak
diberikan selama 6 bulan, namun pada keadaan tertentu bisa lebih lama (9 -12 Bulan),
seperti pada meningitis, TB Tulang, MDR TB dll
(International standars for TB Care, Ed 3 2014, Standar 8)
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. (Pedoman Nasional
TB kemenkes 2014).
Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang
lebih lama Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
2. Kombinasi
dosis tetap (Fixed dose combination)
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam
seminggu selama 4 bulan.
Obat ini diberikan untuk:
Penderita baru TB Paru BTA Positif.
Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit berat”
Penderita TB Ekstra Paru berat
KATEGORI -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari.
Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan
selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati, yaitu:
• Penderita kambuh (relaps)
• Penderita gagal (failure)
• Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
KATEGORI-3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan
tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu.
Obat ini diberikan untuk:
• Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan,
• Penderita TB ekstra paru ringan.
Prinsip dasar pengobatan TB pada anak tidak berbeda dengan pada orang dewasa, tetapi ada
beberapa hal yang memerlukan perhatian:
• Pemberian obat baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan diberikan setiap hari.
• Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak
Susunan paduan obat TB anak adalah 2HRZ/4HR:
Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z) selama 2 bulan
diberikan setiap hari (2HRZ). Tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
selama 4 bulan diberikan setiap hari (4HR).
Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Tetap (FDC)
saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose Combination(FDC), Paduan pengobatan
OAT-FDC yang tersedia saat ini di Indonesia terdiri dari:
2(HRZE)/4(HR)3 untuk Kategori 1 dan Kategori 3
2(HRZE)S/1(HRZE)/5(HR)3E3 untuk Kategori 2
Dosis Pengobatan
1. Isoniazide
Isoniazid menghambat sintesis asam mycoloic yang merupakan komponen penting untuk
membangun dinding sel bakteri. Pada tingkat terapeutik, isoniazid bersifat bakteriosidal
melawan infeksi Mycobacterium tuberculosis secara intraseluler dan ekstraseluler
Organisme. (Drug Fact and Comparison Pocket Edition, 2007, Page 1711)
(Drugs Information Handbook,2014 Hal. 1021)
Berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding
bakteri (Pharmaceuticalcare TB, Depkes 2005 hal: 42)
2. Rifampicin
Rifampisin menghambat aktivitas RNA polimerase yang bergantung pada DNA di Sel yang rentan.
Secara khusus, ia berinteraksi dengan bakteri RNA polimerase, tetapi tidak tidak menghambat enzim
mamalia. Rifampisin pada tingkat terapeutik telah menunjukkan bakterisida Aktivitas melawan
organisme mikrobakteri Mycobacterium tuberculosis intraseluler dan ekstraselular (Drug Fact and
Comparison Pocket Edition, 2007, Page 1715)
Menghambat sintesis RNA bakteri dengan mengikat subunit dari DNA - RNA polimerase dependen,
menghalangi transkripsi RNA (Drugs Information Handbook,2014 Hal. 1622)
Berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri Ribose Nukleotida Acid (RNA)-
polimerase sehingga sintesis RNA terganggu. (Pharmaceuticalcare TB, Depkes 2005 hal:
46)
3. Pirazinamide
Pyrazinamide, analog pyrazine nikotinamida, mungkin bakteriostatik atau bakterisida
terhadap Mycobacterium tuberculosis tergantung pada konsentrasi obat mencapai di
tempat infeksi. Mekanisme aksi tidak diketahui. (Drug Fact and Comparison Pocket Edition,
2007, Page 1715)
Pyrazinamide dikonversi ke asam pirazinoat pada strain mycobacterium yang rentan yang
menurunkan pH lingkungan, mekanisme yang tepat belum dapat dijelaskan
(Drugs Information Handbook,2014 Hal. 1567)
4. Ethambutol Tab
Etambutol berdifusi menjadi sel mycobacterium yang tumbuh secara aktif Sebagai tubercle
bacilli. Ini menghambat sintesis minimal 1 metabolit, sehingga menyebabkan Gangguan
metabolisme sel, penangkapan multiplikasi, dan kematian sel. Tidak Resistensi silang
dengan agen lain telah ditunjukkan. (Drug Fact and Comparison Pocket Edition, 2007, Page
1719)
Berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang membelah, juga
menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel (Pharmaceuticalcare TB,
Depkes 2005 hal: 52)
5. Ethionamide
Ethionamide mungkin bakteriostatik atau bakterisida dalam tindakan, tergantung pada
konsentrasi obat mencapai di tempat infeksi dan kerentanan menularkan organisme.
Mekanisme yang tepat dari tindakan ethionamide tidak telah sepenuhnya
dipahami, tetapi obat tampaknya menghambat peptida sintesis dalam organisme rentan.
(Drug Fact and Comparison Pocket Edition, 2007, Page 1724)
7. Cycloserine
Menghambat sintesis dinding sel pada strain bakteri gram positif dan gram negatif yang
rentan dan pada Mycobacterium tuberculosis. (Drug Fact and Comparison Pocket Edition, 2007,
Page 1725)
8. Capreomycin
Antibiotik polipeptida diisolasi dari Streptomyces capreolus
9. Moxifloxacin
Golongan Fluoroquinolones yang merupakan agen antibakteri spektrum luas sintetis yang
menghambat girase DNA dan topoisomerase IV. DNA gyrase adalah enzim penting yang
terlibat dalam replikasi, transkripsi, dan perbaikan DNA bakteri. Topoisomerase IV adalah
enzim yang diketahui memainkan peran kunci dalam partisi DNA kromosom selama
pembelahan sel bakteri. (Drug Fact and Comparison Pocket Edition, 2007, Page 1570)
(Drugs Information Handbook,2014 Hal. 1267)
Berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman dengan jalan pengikatan pada RNA
ribosomal (Pharmaceuticalcare TB, Depkes 2005 hal: 52)
Menghambat sintesis protein bakteri dengan mengikat langsung ke sub unit Ribosomal 30 s yang
menyebabkan kesalahan urutan peptida terbentuk dalam rantai protein (Drugs Information
Handbook,2014 Hal. 1742)
11. Rifapentine
Rifapentine adalah antibiotik derivatif rifamycin dan memiliki profil aktivitas mikrobiologis
yang serupa terhadap rifampisin. (Drug Fact and Comparison Pocket Edition, 2007, Page 1733)
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat,
serta evaluasi keteraturan berobat. (Pedoman TB Nasional 2014 Bab III Hal 35), Guidelines Treatmen of
Tuberculosis 4 th WHO)
1. Evaluasi Klinik :
Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1bulan
Evaluasi terdiri dari evaluasi terhadap respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta ada tidaknya komplikasi penyakit, evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan,
pemeriksaan fisik.
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan
mikroskopik dilakukan :
Sebelum pengobatan dimulai
Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
Pada akhir pengobatan
Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)
Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan
Pada akhir pengobatan
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , asam
urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan.
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang
paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada
evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah keteraturan berobat.
Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita,
keluarga dan lingkungan, ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama
setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah mikroskopik
BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan setelah dinyatakan
sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh
Tidak ada nafsu makan, H, R, Z OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila
mual, sakit perut keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan sedikit
makanan Apabila keluhan semakin hebat
disertai muntah, waspada efek samping berat
dan segera rujuk ke dokter.
Flu sindrom (demam, menggigil, R dosis Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi
lemas, sakit kepala, nyeri tulang) intermiten setiap hari
2. Efek samping berat OAT
(Pedoman TB Nasional 2014 Bab III Hal 36), Guidelines Treatmen of Tuberculosis 4 th WHO)
Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan untuk
memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab kulit. Pengobatan TB
tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila kemudian terjadi rash, semua OAT
harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan. Mengingat perlunya
melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes rujukan dapat dilakukan upaya
mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya reaksi dikulit dengan cara ”Drug
Challengin ”:
Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap satu persatu dimulai
dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H atau R) pada dosis
rendah misal 50 mg Isoniazid.
Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila tidak timbul
reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT lagi.
Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT yang
diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut.
Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan dapat dilanjutkan
tanpa OAT penyebab tersebut.
OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z. Sebagai
tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti gangguan fungsi hati. Penting
untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab lain sebelum menyatakan gangguan
fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan OAT.
Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB tergantung dari:
• Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan
• Berat ringannya gangguan fungsi hati
• Berat ringannya TB
• Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat
1. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena OAT, pemberian semua
OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan yang diberikan Streptomisin dan
Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik. Bila fungsi hati normal atau mendekati normal,
berikan Rifampisin dengan dosis bertahap, selanjutnya Isoniasid secara bertahap.
2. TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien, dapat diberikan paduan
pengobatan non hepatatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu OAT dari golongan fluorokuinolon.
3. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati kembali normal dan
keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai pengobatan kembali.
4. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu sampai 2
minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati sudah tidak teraba
sebelum memulai kembali pengobatan.
5. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat, paduan pengobatan non
hepatotoksik terdiri dari: S, E dan salah satu golongan kuinolon dapat diberikan (atau dilanjutkan)
sampai 18-24 bulan.
6. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan OAT semula dapat dimulai kembali satu
persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala gangguan fungsi hati kembali muncul atau hasil
pemeriksaan fungsi hati kembali tidak normal, OAT yang ditambahkan terakhir harus dihentikan.
Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat
ditambahkan. Pada pasien yang pernah mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali
pengobatan dengan H dan R, sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid.
7. Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan fungsi hati. Apabila R
sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2HES/10HE. Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan
: 6-9 RZE. Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap awal, total lama
pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9 bulan. Apabila H maupun R tidak dapat
diberikan, paduan pengobatan OAT non hepatotoksik terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan
kuinolon harus dilanjutkan sampai 18-24 bulan.
8. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap awal dengan H,R,Z,E
(paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, berikan kembali pengobatan yang
sama namun Z digantikan dengan S untuk menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan
pemberian H dan R selama 6 bulan tahap lanjutan.
9. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap lanjutan (paduan
Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali pemberian H dan R selama
4 bulan lengkap tahap lanjutan.
Daftar Pustaka :