Anda di halaman 1dari 6

Diare merupakan buang air besar (defekasi) dengan tinja, berbentuk cairan

atau setengah cairan (setengah padat), dengan kandungan air pada tinja lebih banyak
dari biasanya, normalnya 100–200 ml/tinja (Hendarwanto, 1996). Pada diare, tinja
mengandung lebih banyak air dibandingkan yang normal. Tetapi apabila mengeluarkan
tinja normal secara berulang tidak disebut diare (Andrianto,1995). Dengan kata lain,
diare merupakan keadaan buang air besar dengan banyak cairan (mencret) dan
merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan lainnya (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Diare sebenarnya adalah proses fisiologis tubuh untuk mempertahankan diri
dari serangan mikroorganisme (virus, bakteri, parasit dan sebagainya) atau bahan-
bahan makanan yang dapat merusak usus agar tidak menyebabkan kerusakan
mukosa saluran cerna. Diare dikatakan meningkat ketika frekuensi meningkat dengan
konsentrasi tinja lebih lembek atau cair, bersifat mendadak dan berlangsung dalam
waktu 7-14 hari (Sunoto, 1996).
Secara normal makanan yang terdapat di dalam lambung dicerna menjadi bubur
(chymus), kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh enzim-
enzim. Setelah terjadi resorpsi, sisa chymus tersebut yang terdiri dari 90% air dan sisa-
sisa makanan yang sukar dicernakan, diteruskan ke usus besar (colon). Bakteri-bakteri
yang biasanya selalu berada di colon mencerna lagi sisa-sisa (serat-serat) tersebut,
sehingga sebagian besar dari sisa-sisa tersebut dapat diserap pula selama perjalanan
melalui usus besar. Airnya juga diresorpsi kembali sehingga akhirnya isi usus menjadi
lebih padat (Tjay dan Rahardja, 2002).

Beberapa klasifikasi diare antara lain adalah:


1. Klasifikasi berdasarkan pada jenis infeksi gastroenteritis (diare dan
muntah), diklasifikasikan menurut dua golongan:
a. Diare infeksi spesifik: titis abdomen dan poratitus, disentri bani
(Shigella).
b. Diare non spesifik.
2. Klasifikasi lain diadakan berdasarkan organ yang terkena infeksi:
a. Diare infeksi enternal atau diare karena infeksi di usus (bakteri, virus,
parasit).
b. Diare infeksi parenteral atau diare karena infeksi di luar usus (otitis, media,
infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin, dan lainnya) (Andi, 2010).
3. Klasifikasi diare berdasarkan lamanya diare:
a. Diare akut atau diare karena infeksi usus yang bersifat mendadak, dan bisa
berlangsung terus selama beberapa hari. Diare ini disebabkan oleh karena
infeksi usus sehingga dapat terjadi pada setiap umur dan bila menyerang
umumnya disebut gastroenteritis infantile.
b. Diare kronik merupakan diare yang berlangsung lebih dari dua
minggu, sedangkan diare yang sifatnya menahun diantara diare akut dan
diare kronik disebut diare sub akut (Andrianto, 1995).

Patogenesis terjadinya proses diare kronik sangat kompleks dan multiple


(Andrade et al., 2000). Patogenesis utama pada diare kronik adalah kerusakan mukosa
usus yang menyebabkan gangguan digesti dan transportasi nutrien melalui
mukosa. Faktor penting lainnya adalah faktor intraluminal yang menyebabkan
gangguan proses digesti saja misalnya akibat gangguan pankreas, hati, dan membran
brush border enterosit. Biasanya kedua faktor tersebut terjadi bersamaan sebagai
penyebab diare kronik (Ghishan, 2008).
Pada tahap awal kerusakan mukosa usus disebabkan oleh etiologi diare akut
yang tidak mendapat penanganan dengan baik. Akhirnya berbagai faktor melalui
interaksi timbal balik mengakibatkan lingkaran setan. Keadaan ini tidak hanya
menyebabkan perbaikan kerusakan mukosa tidak efektif tetapi juga
menimbulkan kerusakan mukosa yang lebih berat dengan segala komplikasinya
(Suraatmaja, 2005).
Enteropatogen misalnya infeksi bakteri/infestasi parasit yang sudah
resisten terhadap antibiotik/anti parasit, disertaiov ergrowth bakteri non-patogen
seperti Pseudomonas, Klebsiella, Streptococcus, Staphylococcus, dan sebagainya akan
memprovokasi timbulnya lesi di mukosa usus. Kerusakan epitel usus
menyebabkan kekurangan enzim laktase dan protease yang mengakibatkan
maldigesti dan malabsorpsi karbohidrat dan protein. Pada tahap lanjut, setelah terjadi
malnutrisi, terjadi atrofi mukosa lambung, usus halus disertai penumpulan vili, dan
kerusakan hepar dan pankreas yang mengakibatkan terjadinya maldigesti dan
malabsorpsi seluruh nutrien. Makanan yang tidak dicerna dengan baik akan
meningkatkan tekanan koloid osmotik dalam lumen usus sehingga terjadilah diare
osmotik. Ov ergrowth bakteri yang terjadi mengakibatkan dekonjugasi dan
dehidroksilasi asam empedu. Dekonjugasi dan dehidroksilasi asam empedu
merupakan zat toksik terhadap epitel usus dan menyebabkan gangguan
pembentukan ATP-ase yang sangat penting sebagai sumber energi dalam absorpsi
makanan (Suraatmaja, 2005).
Usus merupakan organ utama untuk pertahanan tubuh. Defisiensi sekretori IgA
(SigA) dan cell mediated immunity akan menyebabkan individu tidak mampu
mengatasi infeksi bakteri/virus/jamur atau infestasi parasit dalam usus, akibatnya
kuman akan berkembang biak dengan leluasa, terjadiovergrowth dengan akibat lebih
lanjut berupa diare kronik dan malabsorpsi makanan yang lebih berat
(Suraatmaja, 2005).

Kelompok obat yang sering kali digunakan pada diare adalah:


1. Kemoterapeutik untuk terapi kausal, yakni memberantas bakteri penyebab diare,
seperti antibiotika, sulfonamida, kinolon, dan funazolidon.
2. Obstipansia untuk terapi simtomatis, yang dapat menghentikan diare dengan
beberapa cara, yakni:
a. Zat-zat penekan peristaltik (antimotilitas) sehingga memberikan lebih
banyak waktu untuk resorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus: candu dan
alkaloidnya, derivat-derivat petidin (difenoksilat dan loperamida), dan
antikolinergik (atropin, ekstra belladonna). Adapun mekanisme kerja obat-
obatan ini adalah menstimulasi aktivasi reseptor μ pada neuron menterikus
dan menyebabkan hiperpolarisasi dengan meningkatkan konduktansi
kaliumnya. Hal tersebut menghambat pelepasan asetilkolin dari pleksus
mienterikus dan menurunkan motilitas usus. Loperamid merupakan opioid
yang paling tepat untuk efek lokal usus karena tidak menembus sawar otak.
Oleh karena itu loperamid hanya menimbulkan sedikit efek sentral dan
tidak menimbulkan efek ketergantungan (Tjay dan Rahardja, 2002).
b. Adstringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam semak
(tanin) dan tannalbumin, garam-garam bismut, dan aluminium (Tjay dan
Rahardja, 2002).
c. Adsorbensia, misalnya yang pada permukaannya dapat menyerap
(adsorpsi) zat-zat beracun (toksin) yang dihasilkan oleh bakteri atau yang
adakalanya berasal dari makanan (udang, ikan) (Tjay dan Rahardja, 2002).
3. Spasmolitika,yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang
seringkali mengakibatkan nyeri perut pada diare, antara lain papaverin dan
oksifenonium (Tjay dan Rahardja, 2002).
Pengobatan simtomatik dengan opiat atau loperamid bermanfaat untuk
mengurangi hebatnya diare. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa obat- obat
ini dapat menimbulkan efek samping seperti distensi abdominal, dll (Neal,2005).
Obat antimotilitas secara luas digunakan sebagai simtomatis pada diare akut
ringan sampai sedang. Opioid seperti morfin, difenoksilat, dan kodein menstimulasi
aktivasi reseptor µ pada neuron mienterikus dan menyebabkan hiperpolarisasi
dengan meningkatkan konduktansi kaliumnya. Hal tersebut menghambat
pelepasan asetilkolin dari pleksus mienterikus dan menurunkan motilitas usus
(Neal, 2005).
Loperamid adalah opioid yang paling tepat untuk efek local pada usus karena tidak
menembus ke dalam otak. Oleh karena itu, loperamid hanya mempunyai
sedikit efek sentral dan tidak mungkin menyebabkan ketergantungan (Neal, 2005).
Loperamid merupakan derivat difenoksilat dengan khasiat obstipasi yang dua
sampai tiga kali lebih kuat tetapi tanpa khasiat terhadap susunan saraf pusat sehingga
tidak menimbulkan ketergantungan. Zat ini mampu menormalkan keseimbangan
resorpsi-sekresi dari sel-sel mukosa, yaitu memulihkan sel-sel yang berada dalam
keadaan hipersekresi ke keadaan resorpsi normal kembali (Tjay dan Rahardja, 2002).
Loperamid tidak diserap dengan baik melalui pemberian oral dan
penetrasinya ke dalam otak tidak baik, sifat-sifat ini menunjang selektifitas
kerjanya. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 4 jam sesudah minum obat.
Masa laten yang lama ini disebabkan oleh penghambatan motilitas saluran cerna dan
karena obat mengalami sirkulasi enterohepatik (Andi, 2010).
Loperamid memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot
sirkuler dan longitudinalis usus. Obat ini berikatan dengan reseptor opioid sehingga
diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan loperamid dengan reseptor tersebut.
Waktu paruh 7-14 jam (Andi, 2010).
Terapi Rehidrasi : Larutan oral yang mengandung elektrolit dan glukosa diberikan
untuk mengoreksi dehidrasi berat yang dapat diakibatkan oleh infeksi akibat organisme
toksigenik. Terapi ini lebih penting daripada terapi dengan obat, terutama pada bayi
dan pada diare karena infeksi (Neal, 2005).
Antibiotik : Berguna hanya untuk infeksi tertentu, misalnya kolera dan disentri
basiler berat, yang diterapi dengan tetrasiklin (antibiotic spectrum luas). Kuinolon,
tampaknya efektif melawan patogen diare yang paling penting (Neal, 2005).
Andi Prastowo. 2010. Menguasai Teknik-teknik Koleksi Data Penelitian Kualitatif. Jogjakarta

Andrianto, P.1995. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut, Edisi II, 21-32, EGC,
Jakarta.

Andrianto, P.1995. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut, Edisi II, 21-32, EGC,
Jakarta.

Hendarwanto., 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi III. Cetakan I. Gaya Baru.
Jakarta. Hal. 417-426.

Neal, M. J., 2005, Medical Pharmacology at a Glance, Edisi Kelima, 46-47, Erlangga, Jakarta.

Sunoto,1996, Peran Obat dalam Tatalaksana Diare, Majalah Kesehatan Masyarakat


Indonesia,

Suraatmaja, 2005. KAPITA SELEKTA GASTROENTEROLOGI. Jakarta. CV. Sagung Seto

Tjay dan Rahardja, 2002, Obat-obat Penting, Khasiat, Pengunaaan dan Efek Sampingnya,
Edisi V, PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai