Anda di halaman 1dari 20

TUGAS UAS

FORMULASI TEKNOLOGI SEDIAAN PADAT

“RANCANGAN FORMULA TABLET BUKAL SALBUTAMOL SULFATE”

OLEH

NAMA : SERLY

NIM : O1A118140

KELAS :C

DOSEN : Apt. Suryani, S.Farm ., M.Sc.

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNUVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
A. FORMUA ASLI
R/ Salbutamol Sulfate
B. Rancangan Formula

Tiap 3 100 mg tablet buccal mengandung

Salbutamol Sulfate

Gelatin /Pengikat 4%

Crosspovidone/ penghancur 3%

Explotab/ penghancur 4%

Laktosa/pengisi ad 100%

Mg Stereat/pelicin 6,8%

Aduades q.s

C. Alasan Pemilihan Bentuk Sediaan

Tablet merupakan sediaan obat yang paling banyak digunakan serta digemari
masyarakat. Hal ini disebabkan karena mudah dalam penggunaannya, stabil dalam
penyimpanan dengan jangka waktu yang cukup lama, ketepatan dosis yang lebih terjamin
serta harganya yang relatif murah (Voight, 1994). Salbutamol dalam penelitian dibuat
dalam bentuk sediaan tablet. Tablet merupakan sediaan obat yang paling banyak
digunakan serta digemari masyarakat. Hal ini disebabkan karena mudah dalam
penggunaannya, stabil dalam penyimpanan dengan jangka waktu yang cukup lama,
ketepatan dosis yang lebih terjamin serta harganya yang relatif murah (Voight, 1994).

Tablet Bukal, tablet kempa biasa berbentuk oval yang ditempatkan diantara gusi
dan pipi. Biasanya keras dan berisis hormon. Bekerja sistemik, tererosi atau terdisolusi di
tempat tersebut dalam waktu yang lama (secara perlahan) (Sulaiman, 2007).
Tablet bukal digunakan dengan cara meletakkan tablet di antara pipi dan gusi
dan tablet sublingual digunakan dengan cara meletakkan tablet di bawah lidah,
sehingga zat aktif diserap secara langsung melalui mukosa mulut (Anonim 1995).

D. Zat Aktif
1. Alasan Pemilihan Zat Aktif
Salbutamol merupakan obat asma yang sangat efektif untuk mencegah maupun
meniadakan serangan asma. Salbutamol salah satu derivate isoprenalin yang
merupakan adrenergic pertama dengan daya lebih kurang spesifik reseptor β2 pada
dosis biasa. Waktu paruh salbutamol relatif pendek yaitu 4-6 jam, maka pasien harus
mengkonsumsi obat tersebut dengan frekuensi yang cukup sering. Dosis oral
salbutamol 3-4 kali sehari 2-4 mg (Tjay dan Rahrdja, 1978).
Salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati asma saat ini adalah
salbutamol sulfat. Salbutamol sulfat merupakan golongan agonis adrenoseptor β2-
selektif dengan efek kerja pendek yang paling aman dan paling efektif, serta
digunakan sebagai pilihan pertama dalam penanganan penyakit asma Salbutamol
sulfat memiliki waktu paruh yang relatif pendek dan bioavailabilitas yang rendah
(Burns dkk., 2008).
Salbutamol sulfat merupakan obat simpatomimetik yang digunakan sebagai
bronkodilator, larut dalam air, dan diabsorpsi di sepanjang lambung hingga bagian
atas usus halus. Waktu paruh plasma berada antara 4 - 6 jam. Studi urinari
mengindikasikan bahwa waktu paruh eliminasinya ± 4 jam. Salbutamol diberikan
secara per oral dengan dosis 2 – 4 mg, dengan pemberian 3 - 4 kali sehari. Salbutamol
memerlukan dosis berulang untuk mempertahankan kadar obat dalam plasma,
sehingga obat ini memiliki kriteria yang sesuai untuk sediaan obat sistem floating
lepas terkendali dalam sistem retensi di lambung (Moffat, dkk., 2011).
Salbutamol merupakan suatu senyawa yang selektif merangsang reseptor B2
adrenergik terutama pada otot bronkus. Golongan B2 agonis ini merangsang produksi
AMP siklik dengan cara mengaktifkan kerja enzim adenil siklase. Efek utama setelah
pemberian peroral adalah efek bronkodilatasi yang disebabkan terjadinya relaksasi
otot bronkus. Dibandingkan dengan isoprenalin, salbutamol bekerja lebih lama dan
lebih aman karena efek stimulasi terhadap jantung lebih kecil maka bisa digunakan
untuk pengobatan kejang bronkus pada pasien dengan penyakit jantung atau tekanan
darah tinggi.

2. Farmakologi Zat Aktif

Nama resmi     : Salbutamol

Nama lain        : Mesoprostol

RM/BM             : C13H21NO3/239,3

Pemerian         : Putih, hampir putih, bentuk Kristal.

Kelarutan        : Larut dalam alcohol, sedikit larut dalam air Salbu

Mekanisme Kerja : bekerja dengan cara melemaskan otot-otot di sekitar saluran


pernapasan yang menyempit, sehingga udara dapat mengalir
lebih lancar ke dalam paru-paru.

Interaksi obat : Obat dengan obat: Efek salbutamol dihambat oleh β2 antagonis,
pemberian bersamaan dengan MAO dpat menimbulkan
hipertensi berat. Salbutamol dan obat-obatan β bloker non
selektif seperti propanolol tidak dapat diberikan bersamaan.

E. Alasan Pemilihan Zat Tambahan

1. Crosspovidone (sebagai penghancur)

Crosspovidone mempunyai aksi kapiler ( capillary action ) yang sangat


tinggi sehingga ketika tablet bersinggungan dengan air, dengan cepat air akan
berpenetrasi masuk kedalam pori- pori tablet, akibatnya ikatan antar partikel
menjadi lemah dan tablet akan pecah ( Sulaiman, 2007). Menurut HPE
(Handbook Of Pharmaceutical Excipients) penggunaan crosspovidone sebagai
bahan pengahancur memiliki rentang antara 2-5%
. Selain itu, proses kompresi menyebabkan partikel croospovidone
mengalami deformasi, tetapi ketika bersentuhan dengan air, partikel tersebut
dengan cepat kembali ke bentuk normal dan kemudian membengkak, sehingga
memberikan tekanan hidrostatik yang menyebabkan tablet hancur
(Balasubramaniam et al, 2008).

2. Explotab (Sebagai penghancur)

Bahan penghancur kedua yang digunakan adalah explotab. USP (1945)


menjelaskan bahwa explotab merupakan bahan penghancur yang berwarna putih,
tidak berbau, tidak berasa dan merupakan serbuk yang mudah mengalir (free
flowing). Explotab mempunyai kelarutan 2% b/v, dalam air dingin membentuk
disperse dan tidak larut dalam alcohol (Triyono,2012).

Explotab dipilih sebagai bahan penghancur karena explotab merupakan


suatu salah satu super disintegrant yang efektif dalam pembuatan tablet secara
granulasi basah. Explotab juga mempunyai kemampuan mengembang yang cukup
besar sehingga dapat membantu proses pecahnya tablet (Edge and Miller, 2006).
Menurut HPE (Handbook Of Pharmaceutical Excipients) penggunaan explotab
sebagai bahan pengahancur memiliki rentang antara 2-8%

3. Gelatin (Pengikat)

Gelatin adalah protein yang diperoleh dari bahan kolagen. gelatin ini berupa
lembaran, kepingan, serbuk atau butiran, tidak berwarna atau kekuningan pucat,
bau dan rasa lemah. mengembang dan menjadi lunak jika direndam dalam
air(Anonim, 1979).

Gelatin sebagai bahan pengikat menghasilkan tablet yang kekerasannya


relatif besar, kerapuhannya kecil dan waktu hancurnya lama (Ariswati,2010).

4. Mg stearate (Pelicin)

Bahan pelicin adalah bahan untuk meningkatkan daya alir granul pada
corong pengisi, mencegah melekatnya massa pada punch dan die, mengurangi
gesekan antara butir-butir granul dan mempermudah pengeluaran tablet dari die
(Voigt, 1995).

Mg stearate merupakan senyawa magnesium dengan campuran asam-


asam organik padat yang diperoleh dari lemak, terutama terdiri dari magnesium
stearat dan magnesium palmitat dalam berbagai perbandingan. (Depkes RI, 1995).

5. Laktosa (Pengisi)

Laktosa merupakan gula yang diperoleh dari susu dalam bentuk anhidrat
atau mengandung satu molekul anhidrat (Depkes RI, 1995).

Laktosa dalam formulasi tablet berfungsi sebagai bahan bahan pengisi


yang baik karena dapat memadatkan masa granul dalam granulasi basah atau
metode kempa langsung (Edge, 2006). Laktosa adalah bahan yang bersifat
kompersibel, sifat alirnya kurang baik, dapat menyebab kelembapan dari udara
sehingga kemungkinan dapat berpengaruh pada sifat fisik tablet (Sulaiman, 2007)

F. Metode yang digunakan

Metode yang digunakan adalah metode granulasi basah, Metode granulasi basah
adalah proses penambahan cairan pada serbuk atau campuran serbuk dalam suatu
wadah yang dilengkap dengan pengadukan yang akan menghasilkan granul dengan
sifat fisik yang baik (Charles,2010). Zat aktif salbutamol. Tablet salbutamol dibuat
dengan metode granulasi basah, karena dengan metode ini tidak merusak kandungan
senyawa kimia dari salbutamol serta dapat memperbaiki sifat alir granul dan
kompresibilitasnya dan juga metode granulasi basah bisa untuk zat aktif yang tahan
panas dan tahan lembap.
DAFTAR PUSTAKA

Ariswati, Widya C., Agus Siswanto, dan Dwi Hartanti. 2010. Pengaruh Gelatin, Amilum
dan PVP sebagai bahan Pengikat terhadap Sifat Fisik Tablet Ekstrak Temulawak
(Curcuma Xanthorrhiza, Rxob). Pharmacy. 07(02): 58-66.

Anief, M., 1997, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta

Burns, M.A.C., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M.,
Rotschafer, J.C., dan DiPiro, J.T. 2008. Pharmacotherapy Principles & Practice.
The McGraw-Hill Companies. New York.

Banker dan Anderson, 1994. Teori dan praktek farmasi industry II. Jakarta: Universitas
Indonesia Press

Banker, G.S., and Anderson, N.R. 1986. Tablet In Lachman. L, Lieberman, H.A.,
Kaning, J.L. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Diterjemahkan oleh Sutami, S.,
Aisyah L. Vol II. Edisi III. University Press. Jakarta: Hlm 231- 235, 241-244.

Moffat CA, Osselton MD, Widdop B. Clarke’s Analysis Of Drugs And Poisons In
Pharmaceuticals, Body Fluids And Postmortem Material, 4th ed, USA:
Pharmaceutical Press. 2011.

Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Hlm 6-7.

Edge and Miller.2006. sodium starch glycolate. In rowe, RC Sheskey, PJ and owen
SC(Eds), Handbook of pharmaceutical Exipients. 5th Ed. London :
Pharmaceuticsl Press. Hal 701- 703.

Siregar CJP, Wikarsa S. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar- Dasar Praktis,
Cetakan 2. Jakarta : EGC. Hlm: 33-34, 417, 273, 257.
Sulaiman TNS, Syukri Y, Utami R. 2007. Profil pelepasan propranolol HCL dari tablet
lepas lambat dengan system floating mrnggunakan matriks Methocel K15M. Maj.
Farn. Indonesia. 18(1) : 48-55.

Tjay H.T, Dn Raharja,K. 2002, Obat-Obat Penting. Edisi IV. Jakarta: Hlm 638- 651.

Tjay H.J., Kirana R. 1978. Obat-Obat Penting. EdIsi IV. Jakarta: Hlm 638-651.

Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah


Mada. Hlm. 165-167, 201-210, 215-218.

Voigt, 1994, Buku Teknologi Farmasi, Edisi V. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Pres
TUGAS UAS

FORMULASI TEKNOLOGI SEDIAAN PADAT

“RANCANGAN FORMULA SUPPOSITORIA ASPIRIN”

OLEH

NAMA : SERLY

NIM : O1A118140

KELAS :C

DOSEN : Apt. Suryani, S.Farm ., M.Sc.

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNUVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
A. FORMUA ASLI
R/ Aspirin
Suppositoria Analgetik-Antipiretik
B. RANCANGAN FORMULA

Tiap 3 g  mengandung

Aspirin                  21,66 %

Cera Flava            5 %

Tokoferol            0,05  %

Ol. Cacao              67,72%

C. Alasan Pemilihan Bentuk Sediaan


Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang
diberikan melalui rectal, vagina atau uretra. (Farmakope Indonesia Edisi IV)
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya
berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh. ( Farmakope
Indonesia Edisi III)
Suppositoria adalah sediaan padat, melunak, melumer dan larut pada suhu tubuh,
digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam rectum, berbentuk sesuai dengan maksud
penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo. (Formularium Nasional)
Jadi, suppositoria dapat didefinisikan sebagai suatu sediaan padat yang berbentuk
torpedo yang biasanya digunakan melalui rectum dan dapat juga melalui lubang di area
tubuh, sediaan ini ditujukan pada pasien yang mudah muntah, tidak sadar atau butuh
penanganan cepat.

D.  Zat Aktif
1. Alasan Pemilihan zat aktif
Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar. Derivatnya
yang dapat dipakai secara sistemik adalah ester salisilat dari asam organik dengan
substitusi pada gugus hidroksil misalnya asetosal. Sehingga zat aktif yang digunakan
yaitu Asetosal. (Farmakologi terapi :  234)

Aksi sistemik sering digunakan sebagai tempat absorpsi. Obat yang digunakan
melalui rektum dalam bentuk suppositoria untuk mendapatkan efek sistemiknya
terdiri dari aspirin untuk aktivitas analgetik dan antipiretik. (Ansel: 578)

Adapun alasan pemilihan konsentrasi zat aktif yaitu aspirin dapat diberikan
secara rektal dengan supositoria. Diulang setiap 4 sampai 6 jam sesuai dengan
kebutuhan klinis, untuk maksimal 4 g sehari. Dosis sebagai supositoria adalah 450-
900 mg setiap 4 jam sampai maksimal 3,6 g sehari (Martindale 36: 23 ) dan
suppositoria rektum zat aktif aspirin dalam satu suppositoria 65, 130, 162, 195, 325,
650, 975 mg dan 1,3 g. Sehingga zat aktif yang digunakan yaitu 650 mg sesuai
dengan dosis suppositoria menurut mantindal.(Ansel : 593)

2. Farmakologi Zat Aktif


Aspirin (Martindale 36 Hal 20-25)
1. Indikasi 
Antipiretik, Dosis salisilat untuk dewasa ialah 325 mg-650 mg, diberikan secara
oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 15-20 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam.
Berdasarkan asosiasi penggunaan aspirin dengan Sindroma Reye, aspirin
dikonsentrasikan sebagai antipiretik pada anak di bawah 12 tahun.

Analgesik, salisilat bermanfaat untuk mengobati nyeri tidak spesifik misalnya


sakit kepala, nyeri sendi, nyeri haid, neuralgia dan mialgia. Dosis sama seperti
pada penggunaan untuk antipiretik.

2. Dosis        
Aspirin dapat diberikan secara rektal dengan supositoria. Dosis lisan biasa aspirin
sebagai analgesik dan antipiretik adalah 300-900 mg, diulang setiap 4 sampai 6
jam sesuai dengan kebutuhan klinis, untuk maksimal 4 g sehari. Dosis sebagai
supositoria adalah 450-900 mg setiap 4 jam sampai maksimal 3,6 g sehari.
(Martindale : 23)
3. Mekanisme kerja
Aspirin adalah asam organik lemah yang unik diantara OAINS, yaitu aspirin
mengasetilasi secara ireversibel (sehingga menginaktifkan) siklooginase. OAINS
lainnya, termasuk salisilat, merupakan penghambat siklooksigenase reversibel.
Aspirin di-deasetilasi secara cepat oleh esterase dalam tubuh yang menghasilkan
salisilat, yang berefek ati inflamasi, antipireti, dan analgesik. Efek antipiretik dan
antiinflamasi salisilat terutama dihasilkan karena penghambatan sintesis
prostaglandin termoreguasi pada hipotalamus dan lokasi target perifer lebih lanjut,
dengan menurunkan sintesis prostaglandin, salisilat juga mencegah sensitisasi
reseptor nyeri terhadap rangsangan mekanis dan kimia. Aspirin juga dapat
menekan rangsangan nyeri pada area subkorteks (talamus dan hipotalamus)
(Farmakologi ulasan bergambar ed 4 : 598-599)

4. Farmakokinetik                
Aspirin dan salisilat lainnya diserap cepat dari saluran pencernaan bila diambil
secara lisan, dan penyerapan setelah dosis dubur dapat diandalkan. Aspirin dan
lainnya salisilat juga dapat diserap melalui kulit. Setelah dosis oral, penyerapan
aspirin non-terionisasi terjadi dalam lambung dan usus. Beberapa aspirin
dihidrolisis menjadi salisilat dalam dinding usus. (Martindale 36 : 23)
5.  Farmakodinamik  
Salisilat, khususnya asetosal merupakan obat yang banyak digunakan sebagai
analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dari
efektif sebagai antipiretik. Dosis toksik obat ini justru memperlihatkan efek
piretik sehingga pada keracunan berat ddemam dan hiperhidrosis. Untuk
memperoleh efek anti-inflamasi yang baik kadar plasma perlu dierhatikan antara
250-300 L. Kadar ini tercapai dengan dosis aspirin oral 4 gram per hari untuk
orang dewasa. (Farmakologi dan Terapi Ed 5 : 234).
E. Alasan Pemilihan Zat Tambahan
1. Basis Oleum Cacao
Oleum cacao digunakan karenamerupakan basis suppositoria yang ideal yang
dapat melumer pada suhu tubuh dan tetap padat pada suhu kamar ( Ansel, 1989 : 582-
583 ).
Faktor fisika kimia basis melengkapi kemampuannya melebur, melunak, atau
melarut pada suhu tubuh, pada ukuran partake l untuk obat dalam suppositoria yang
tidak larut maka ukuran partikelnya akan mempengaruhi jumlah obat yang dilepaskan
dan melarut untuk absorpsi. (Ansel : 580)
2. Tokofero
Alpa tokoferol diakui sebagai sumber vitamin E. Alpha-tokoferol adalah senyawa
yang sangat lipofilik, dan meruaka pelarut yang sangat baik untuk banyak obat yang
sukar larut. Alpha-tokoferol merupkan prduk farmasi berbasis lemak dan biasanya
digunakan konsentrasi berkisar 0,001-0,05 % v/v. Sehingga digunakan 0,05 % 
karena dilihat dari efek sistemik yang dgunakan (Exp : 31)
3. Cera flava
Apabila dipaaskan pada suhu tinggi, lemak coklat akan mencair seperti minyak,
tetapi akan kehilangan inti konstannya yang berguna untuk memadat, lemak coklat
akan mengkristal dalm bentuk kristal menstabil seperti minyak. Jika didinginkan
dibawah suhu 15  untuk menaikkan titik lelehnya kedalam lemak coklat
dapatditambahkan cera flava atau cetasium. Penambahan cea flava dapat
menambahnkan daya serap lemak coklat terhadap lemak air coklat cepat membeku
saat pengisian massa suppositoria kedalam cetakan suppo dan menyusutkan pada saat
penddinginan sehingga terbentuk pendinginan sehingga terbentuk lubang di atas
massa akan ditambahkan cera flava dengan konsentrasi 5 % agar tidak menjadi
lemak. Penambahan cera flava tidak boleh lebih dari 6 % karena akan menghasilkan
campuran yang memiliki titik lebur diatas 37  dan apabila diatas 4 % akan
menghasilkan titik lebur dibawah 33
F. Uraian Zat Aktif
a. Aspirin (FI  Ed III :  43)

Nama Resmi            : ACIDUM ACETYLSALICYLICUM

Nama Lain               : Asam asetilsalisilat, asetosal, aspirin

Rumus Molekul       : C9H8O4

Berat Molekul          : 180,16 g/mol


Pemerian                  : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tida berbau
atau hampr tidak berbau, rasa asam.

Kelarutan                 : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95 %) P,
larut dalam kloroform  P dan dalam eter P.

Inkampabilitas         : Dapat membentuk basa untuk massa pucat ketika triturated


dengan asetanilida, acetophenetidin, antipyrine, aminopyrine,
methenamine, fenolatausalol, serbuk yang mengandung aspirin
dengan garam alkali.seperti natrium bikarbonat dapat menjadi
gummi pada kontak dengan kelembapan atmosfir karena solusi
parsial dan idrlisis selanjutnya aspirin. Hidrolisis juga terjadi
dalam campuran dengan garam yang mengandung air kristal.
Larutan alkali asetat dan sitrat, serta alkali sendiri, melarutkan
obat ini tetapi solusi yang dihaslkan menghidrolisis cepat
membentuk garam asam asetat dan salisislat. Gula dan gliserin
telah terbukti menghambat komposisi. Sangan lambat
membebaskan kalium asam hidriodic atau natrium iodida.
Oksidasi selanjutnya oleh udara menghasilkan iodium bebas.

Penyimpanan           : Dalam wadah tertutup baik

Dosis                        : Sekali 1 gram sehari 8 gram

Khasiat                     : Analgetikum, Antipiretikum

G. Uraian Zat Tambahan


1. Tokoferol (Exp : 31)

Nama Resmi                : TOCOPHEROLUM

Nama Lain                  : Tokoferol, vitamin E

Rumus Molekul           : C29H50O2

Berat Molekul             : 430,72 g/mol


Pemerian                     : Alpha tokoferol merupakan produk alami. Tidak berwarna
atau   kuning-coklat, kental, cairan berminyak.

Kelarutan                    : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95 %)
P, larut dalam kloroform  P dan dalam eter P.

Penyimpanan               : harus disimpan dalam gas inert, dalam kedap udara wadah di
tempat yang sejuk dan kering terlindung dari cahaya

Dosis                           : 0,001 % - 0,05 %

Khasiat                        : Antioksidan

2. Oleum cacao (FI Edisi III : 453)

Nama Resmi                : OLEUM CACAO

Nama Lain                  : Lemak coklat

Pemerian                     : lemak padat, putih kekuninga, bau khas aromatik, rasa khas
lemak, agak rapuh.

Kelarutan                    : Sukar larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam kloroform
p, dalam eter p dan dalam eter minyak tanah p.

Penyimpanan               : Dalam wadah tertutup baik

Khasiat                        : Analgetikum, Antipiretikum

3. Cera flava (FI Ed III : 140)

Nama Resmi                : CERA FLAVA

Nama Lain                  : Malam kuning

Rumus Molekul           : C11H12C12N2O5

Berat Molekul             : 680,8 g/mol


Pemerian                     : Zat padatt, coklat kekuningan, bau enak seerti madu, agak
rapuh jika dingin, menjadi elastik jika hangat dan bekas
patahan buram dan berbutir-butir.

Kelarutan                    : Praktis tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol (95%),
larut dalam kloroform p, dalam eter p hangat, dalam minyak
lemak dan dalam minyak atsiri.

Penyimpanan               : Dalam wadah tertutup baik

Khasiat                        : Zat tambahan (pengeras suppositoria).

H. Metode kerja

1. Disiapkan alat dan bahan

2. Ditimbang Cera flava 0,3 g

3. Ditimbang oleum cacao diatas cawan porselin 4,57 g

4. Dimasukkan cera flava bersama oleum cacao lalau dilebur

5. Ditimbang aspirin 1,3 g, masukkan bersama bahan lainnya hingga homogen,


biarkan hingga agak dingin.

6.  Ditimbang alfa tokoferor 0,003 g dicampur dengan bahan lan hingga homogeny

7. Dicetak dalam ccetakan suppo

8. Dimasukkan dalam wadah

9. Masukkan dalam kulkasSuppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui


dubur, berbentuk torpedo, dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu tubuh.
I. Evaluasi Sediaan

Pengujian sediaan supositoria yang dilakukan sebagai berikut:

1. Uji homogenitas

Uji homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah bahan aktif dapat tercampur
rata dengan bahan dasar suppo atau tidak, jika tidak dapat tercampur maka akan
mempengaruhi proses absorbsi dalam tubuh. Obat yang terlepas akan memberikan
terapi yang berbeda. Cara menguji homogenitas yaitu dengan cara mengambil 3 titik
bagian suppo (atas-tengah-bawah atau kanan-tengah-kiri) masing-masing bagian
diletakkan pada kaca objek kemudian diamati dibawah mikroskop, cara selanjutnya
dengan menguji kadarnya dapat dilakukan dengan cara titrasi.

2. Bentuk
Bentuk suppositoria juga perlu diperhatikan karena jika dari bentuknya tidak seperti
sediaan suppositoria pada umunya, maka seseorang yang tidak tahu akan mengira
bahwa sediaan tersebut bukanlah obat. Untuk itu, bentuk juga sangat mendukung
karena akan memberikan keyakinan pada pasien bahwa sediaa tersebut adalah
suppositoria. Selain itu, suppositoria merupakan sediaan padat yang mempunyai
bentuk torpedo.
3. Uji waktu hancur
Uji waktu hancur ini dilakukan untuk mengetahui berapa lama sediaan tersebut dapat
hancur dalam tubuh. Cara uji waktu hancur dengan dimasukkan dalam air yang di set
sama dengan suhu tubuh manusia, kemudian pada sediaan yang berbahan dasar PEG
1000 waktu hancurnya ±15 menit, sedangkan untuk oleum cacao dingin 3 menit. Jika
melebihi syarat diatas maka sediaan tersebut belum memenuhi syarat untuk
digunakan dalam tubuh. Mengapa menggunakan media air? Dikarenakan sebagian
besar tubuh manusia mengandung cairan.
4. Keseragaman bobot
Keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah bobot tiap sediaan sudah
sama atau belum, jika belum maka perlu dicatat. Keseragaman bobot akan
mempengaruhi terhadap kemurnian suatu sediaan karena dikhawatirkan zat lain yang
ikut tercampur. Caranya dengan ditimbang saksama 10 suppositoria, satu persatu
kemudian dihitung berat rata-ratanya. Dari hasil penetapan kadar, yang diperoleh
dalam masing-masing monografi, hitung jumlah zat aktif dari masing-masing 10
suppositoria dengan anggapan zat aktif terdistribusi homogen. Jika terdapat sediaan
yang beratnya melebihi rata-rata maka suppositoria tersebut tidak memenuhi syarat
dalam keseragaman bobot. Karena keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui
kandungan yang terdapat dalam masing-masing suppositoria tersebut sama dan dapat
memberikan efek terapi yang sama pula.
5. Uji titik lebur
Uji ini dilakukan sebagai simulasi untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan sediaan
supositoria yang dibuat melebur dalam tubuh. Dilakukan dengan cara menyiapkan air
dengan suhu ±37°C. Kemudian dimasukkan supositoria ke dalam air dan diamati
waktu leburnya. Untuk basis oleum cacao dingin persyaratan leburnya adalah 3
menit, sedangkan untuk PEG 1000 adalah 15 menit.
6. Kerapuhan
Supositoria sebaiknya jangan terlalu lembek maupun terlalu keras yang
menjadikannya sukar meleleh. Untuk uji kerapuhan dapat digunakan uji elastisitas.
Supositoria dipotong horizontal. Kemudian ditandai kedua titik pengukuran melalui
bagian yang melebar, dengan jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang
datar, kemudian diberi beban seberat 20N (lebih kurang 2kg) dengan cara
menggerakkan jari atau batang yang dimasukkan ke dalam tabung.
7. Volume Distribusi
Volume distribusi (Vd) merupakan parameter untuk untuk menunjukkan volume
penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. Volume distribusi ini
hanyalah perhitungan volume sementara yang menggambarkan luasnya distribusi
obat dalam tubuh.
Daftar Pustaka

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 822, Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta.

Ariswati, Widya C., Agus Siswanto, dan Dwi Hartanti. 2010. Pengaruh Gelatin,
Amilum dan PVP sebagai bahan Pengikat terhadap Sifat Fisik Tablet Ekstrak
Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza, Rxob). PHARMACY. 07(02): 58-66.

Edge, S. dan Miller, R.W., 2006, Sodium starch glycolate, dalam Rowe, R. C.,
Sheskey, P. J., dan Oven, S. C., (Eds.), Handbook of Pharmaceutical
Excipients, 5th Ed., Pharmaceutical Press, London 701-704.

Lachman L., Herbert AL., and Joseph L.K. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi
Industri. Ed ke-3. Terjemahan Siti Suyatmi. Jakarta: UI Press.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Owen, S.C. 2009. Pharmaceutical Excipients. Edisi 5.
London: Pharmaceutical Press.
Sulaiman, T.N.S. 2007. Teknologi dan Formulasi Sediaan Tablet. Yogyakarta:
Laboratorium Teknologi Farmasi UGM.

Siregar, C.J.P., dan Wikarsa, S., 2010, Teknologi Farmasi Sediaan Tablet
DasarDasar Praktis, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 54 – 55, 98 –
115.

Voigt R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi ke- 5, diterjemahkan oleh
Soewandhi, S. N., Universitas Gadjah Mada Press,: 163- 224.

Anda mungkin juga menyukai