Disusun oleh :
Tri Handayani (I1C015018)
Intenas Dasih (I1C015036)
Dwi Wahyuni (I1C015050)
Alfiani Nur A (I1C015066)
Mia Nur Utami (I1C015068)
Reva Medina (I1C015104)
1
A. KASUS
TTV TD (mmHg) 120/70 120/70 100/70 120/70 120/80 Menurun tgl 23/11
2
Suhu (oC) 36,7 36,5 36,4 36,5 36,3-37 Normal
3
Cisplatin (180 Dalam D5% - - 13:00 -
mg) 250 cc
selama 60
menit
Data Laboratorium
4
(sel/ mm3)
B. DASAR TEORI
1. Patofisiologi
a. NPC (Nasopharyngeal Carcinoma)
Patofisiologi karsinoma nasofaring merupakan munculnya keganasan
berupa tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan
nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring
yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi
yang paling sering menjadi awal terbentuknya karsinoma nasofaring adalah pada
fosa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya
kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya.
Penyebaran karsinoma nasofaring dapat berupa (Averdi Roezin, 2001) :
1) Penyebaran ke atas Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fosa
medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen
laserum, kemudian ke sinus kavernosus, fosa kranii media dan fosa kranii
anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N. I dan N. VI). Kumpulan
gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis
5
tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah
diplopia dan neuralgia trigeminal (parese N. II - N.VI).
2) Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia
faringobasilaris yaitu sepanjang fosa posterior (termasuk di dalamnya
foramen spinosum, foramen ovale dan sebagainya), di mana di dalamnya
terdapat N. IX dan XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena
adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N. VII dan N. XII beserta
nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX
dan N. XII disebut Sindrom Retroparotidean/Sindrom Jugular Jackson.
Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena
letaknya yang tinggi dalam sistem anatomi tubuh.
3) Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama
sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada karsinoma
nasofaring, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat
banyaknya stroma kelenjar getah bening pada lapisan submukosa nasofaring.
Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik
yang terletak di lateral retrofaring yaitu Nodus Rouvierre. Di dalam kelenjar
ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi
besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini
dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya
sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai
otot di bawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan.
Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati
servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.
4) Metastasis jauh sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening
atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang
sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan
prognosis sangat buruk.
6
Gambar 2. Patofisiologi Karsinoma Nasofaring
7
Gambar 3. Sitostatika merangsang CTZ dan VC melalui reseptor 5- HT3 sehingga
menyebabkan keluhan mual muntah
8
(Kemenkes,2015)
(Kemenkes, 2015)
9
radiasi yang lebih banyak dibandingkan tumor yang diameteraya 1 cm (109 sel).
Atas dasar pertimbangan ini maka untuk KNF stadium loko-regional lanjut
diberikan radiasi dengan dosis yang lebih besar daripada KNF stadium dini
(Kentjono, 2003).
Menurut Kemenkes (2015) kemoradiasi konkuren PTV (Planning Target
Volume) termasuk ke dalam risiko tinggi biasanya 70 - 70,2 Gy (1,8-2,0
Gy/fraksi) yang dilakukan setiap hari Senin - Jumat dalam 7 minggu. Menurut
NCCN (2015) pemberian regimen kemoradiasi diikuti dengan kemoterapi
adjuvant pada kanker nasofaring adalah sebanyak 6 siklus dimana siklus 1-3 (total
7 minggu) diberikan cisplatin sebesar 100 mg/m2 pada minggu ke-1, 4 dan 7
bersamaan dengan radioterapi (setiap 3 minggu sekali). Pasien sudah pernah
menjalankan 2 siklus kemoterapi dan mulai masuk rumah sakit tanggal 21/11/15
yang akan direncanakan untuk melakukan siklus ke 3 kemoterapi atau sudah
memasuki minggu ke-7 dalam pemberian konkruen kemoradioterapi. Sehingga,
kami mengindikasikan pasien berada dalam siklus ke 3 pada tanggal 21/11/135.
Minggu ke-7 atau pada tanggal 21/11/15 pasien diberikan cisplatin 100 mg/m2 IV
karena masih masuk kedalam pengobatan kemoradioterapi konkuren dimana
cisplatin diberikan bersamaan dengan radioterapi hingga 7 hari yang dperkirakan
pemberian radioterapi akan dihentikan pada tanggal 27/11/15.
Perhitungan dosis :
Luas Permukaan Tubuh Pasien :
Setelah tanggal 27/11/15 pasien akan menjalani siklus ke-4. Satu bulan
setelah kemoradioterapi konkuren pasien akan dilanjutkan dengan kemoterapi
adjuvant yang dihitung menjadi siklus 4 – 6 dimana rentang dari setiap siklus
memiliki interval 4 minggu. Siklus ke-4 hingga 6 diberikan cisplatin pada hari
pertama atau hanya 1 hari setiap siklus (4 hingga 6) dengan dosis 80 mg/m2 IV
selama 1 jam dan 5-FU diberikan (NCCN, 2015; UHN, 2015).
Menurut Crona (2017) Hidrasi sangat penting bagi semua pasien untuk
mencegah nefrotoksisitas pada pasien yang menerima cisplatin mengenai jenis
hidrasi yang tepat, volume / durasi, suplementasi, dan penggunaan diuresis.
Menurut BCCA (2016) Hidrasi diperlukan untuk meminimalkan nefrotoksisitas
yang merekomendasikan hidrasi pra-terapi dengan 1 atau 2 L cairan yang diinfus
8-12 jam sebelum dosis cisplatin diberikan. Hidrasi dengan NS, infus salin
hipertonik, dan mannitol, atau pemberian diuresis yaitu furosemid digunakan
untuk secara efektif dalam mengurangi nefrotoksisitas yang diinduksi oleh
cisplatin. Menurut Jones, Tracy Parry (2018), efek samping yang ditimbulkan
terhadap pemberian cisplatin pada fungsi ginjal dapat dicegah dengan pemberian
10
hidrasi, baik pre-hidrasi maupun post-hidrasi pemberian kemoterapi cisplatin.
Dosis cisplatin sebelum di kalian dengan luas permukaan tubuh sebesar 100
mg/m². Menurut Jones (2018), dosis cisplatin > 80 mg/m² hidrasi yang diberikan
sebelum dan sesudah pemberian kemoterapi cisplatin antara lain, 1000 ml sodium
chlorid 0,9%, 20 mmol KCL, dan 10 mmol MgSO4 secara infus atau intravena
selama lebih dari 2 jam.
(Jones, 2018)
(Ripamonti, 2011)
11
(Ripamonti, 2011)
(Ripamonti, 2011)
(NCCN, 2017)
(NCCN, 2017)
13
Pasien terdiagnosa NPC dan akan melakukan kemoterapi siklus III yang
disertai radioterapi. Terapi tersebut dapat menyebablan mual dan muntah yang
biasa disebut CINV (Chemotherapy-induced nausea and vomiting). Pasien
dikemoterapi dengan cisplatin yang merupakan agen antineoplastic dengan high
emetic risk. Menurut NCCN (2017), untuk pencegahan mual muntah acute dan
delayed pada pasien dengan kemoterapi resiko tinggi emetic (HEC) dapat diterapi
dengan 4-regimen obat yaitu dengan NK1-antagonis (aprepintant atau
fosaprepitant), 5-HT3 RA, Dexamethasone, olanzapine. Berdasarkan penelitian
Navari et al. (2016), 4 regimen terapi dengan Olanzapine secara signifikan
menunjukan hasil yang lebih baik dalam mencegah mual dan meningkatkan
Complate Response rate (tidak ada muntah, dan tidak memerlukan terapi
perbaikan) pada pasien HEC dibandingkan dengan 3-regimen terapi (tanpa
olanzapine). NCCN merekomendasikan 4 regimen terapi dengan olamzapine
sebagai first-line option dalam mencegah CNIV. NK1 antagonis yang digunakan
adalah fosaprepitant IV, aprepitant per-oral dan fosaprepitant memiliki potensi
pencegahan CINV yang sama pada pasien dengan HEC, namun karena pasien
susah makan dan sudah mengalami mual muntah maka lebih baik menggunakan
obat Fosaprepitant secara intravena dibandingkan dengan aprepitant per-oral (Yang
et al., 2017). Pada kasus ini, pasien mendapatkan terapi antiemetic 5-HT3 RA
setrovel (tropisetron). Namun berdasarkan NCCN (2017), antiemetic 5-HT3 RA
yang bisa dijadikan pilihan untuk pasien dengan HEC diantaranya polasetron,
ondasetron, granisetron dan dolasetron. Tropisetron memiliki efektifitas yang sama
dengan ondasetron dan granisetron pada pencegahan CINV pasien dengan HEC
dan MEC, dan Dolasetron memiliki efikasi yang lebih rendah dari ondasetron.
Sedangakan Polasetron menunjukan efikasi yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan ondasetron dalam mengurangi kejadian mual muntah tipe akut dan delayed
pada pasien kemoterapi (Simino, 2016). Polasetron lebih efektif dibandingkan
dengan antagonis 5-HT3 generasi sebelumnya seperti ondasetron, granisetron,
dolasetron, khususnya untuk CINV tipe delayed. Frekuensi episode muntah juga
kurang dijumpai pada kelompok terapi dengan Plasetron dibandingkan antagonis 5-
HT3 generasi sebelumnya selama fase akut dan secara keseluruhan fase. Selain itu
kejadian efek samping polasetron juga lebih rendah (CDK, 2014). Dosis intravena
tunggal Polasetron 0,25 mg kemungkinan sudah cukup untuk memulai kemoterapi
selama 3 hari dibandingkan dengan dosis ganda dari antagonis 5-HT3 oral atau iv
lainnya (NCCN, 2017).
Antiemetik diberikan sebelum pasien mendapatkan kemoterapi cisplatin atau
radioterapi, untuk Fosprepitant diberikan secara intravena 150 mg sekali pada hari
pertama, Palonosetron diberikan 0,25 mg intravena sekali pada hari pertama,
Dexamethasone diberikan secara IV 12 mg (3 A) pada hari pertama dan 8 mg (2 A)
pada hari 2-4, dan Olanzapine 10 mg secara per oral dari hari 1-4 (NCCN, 2014).
S : Mual NPC Pro Terapi Pasien menerima terapi Pasien diberikan obat
dan muntah Kemoterap kurang Cisplatin 180 mg dan cisplatin dengan radioterapi
i III tepat 5-FU 180 mg. Menurut tanpa 5-FU, karena pasien
O:- Kemenkes (2015), sudah mau memasuki siklus
pasien termasuk ke ke-3 dan 1 bulan setelah
dalam golongan NPC siklus 3 yaitu siklus 4
stadium lokal lanjut diberikan cisplatin dengan 5-
stage III, IVA dan IV B FU tanpa radioterapi (NCCN,
(T3-4, N0-3, M0) 2015). Dosis cisplatin yang
karena dilihat dari diberikan pada siklus ke-3
pemberian regimen adalah 100 mg/m2 IV
berupa Cisplatin, 5FU dilarutkan dalam 1000 mL
dan radioterapi (disebut normal saline, dan mannitol
sebagai regimen Al- 20 g selama 2 jam (UHN,
saraf). Menurut NCCN 2016). Pemberian dosis
(2015), pemberian radiasi adalah 70 Gy (2
cisplatin dan Gy/fraksi) dengan
radioterapi diberikan kemoterapi konkruen yang
pada siklus 1-3, dilakukan setiap hari Senin -
sedangkan siklus 4-6 Jumat dalam 7 minggu,
diberikan cisplatin dan dimana berdasarkan
5-FU untuk setiap pengobatan pasien,
siklus diulang selama 4 radioterapi sudah diberikan
minggu untuk 3 siklus pada minggu ke-7 atau 1
(siklus 4-6). . minggu terakhir karena sudah
termasuk ke siklus ke-3
(Kemenkes, 2015; Simo,
2016). 5-FU yang diberikan
sebagai kemoterapi adjuvant
(1000 mg/m2 IV secara
kontinyu setiap hari pada hari
1-4 pada siklus ke-4
dilarutkan dalam 1 L D5W
selama 24 jam durasi
pemakaian 4 hari) (BCCA,
2013).
15
kemoterapi ciplatin menjadi 210 mg IV,
dengan dosis 180 mg diberikan tanggal
IV. Dosis tersebut 21/11/2015.
termasuk underdose
untuk pasien Tn.X.
Berdasarkan NCCN
(2015), dosis cisplatin
untuk kemoterapi
konkuren siklus III
yaitu 100 mg/m2 IV.
Maka jika dihitung
berdasarkan data BB
dan TB pasien,
didapatkan luas
permukaan tubuh
2
pasien 2,1m sehingga
dosis cisplatin yang
harus diberikan yaitu
sebanyak 210 mg IV.
16
(Ripamonti, 2011).
17
(2017), untuk RA generasi sebelumnya (
pencegahan mual Kalbemed, 2014).
muntah acute dan Dexamethasone diberikan
delayed pada pasien secara IV 12 mg (3 A) pada
dengan kemoterapi hari pertama dan 8 mg (2 A)
resiko tinggi emetic pada hari 2-4, dan
(HEC) dapat diterapi Olanzapine 10 mg secara per
dengan 4-regimen obat oral dari hari 1-4 (NCCN,
yaitu dengan NK1- 2014).
antagonis (aprepintant Pengunaan ranitidin
atau fosaprepitant), 5- dihentikan karena pada
HT3 RA, dasarnya pemberian ranitidin
Dexamethasone, sebagai antiemetik harus
olanzapine. disertai dengan indikasi
Berdasarkan penelitian gastritis sebagai salah satu
Navari et al. (2016), 4 penyebab mual muntah
regimen terapi dengan tersebut (Kemenkes, 2015).
Olanzapine secara Sedangkan pasien tidak
signifikan menunjukan menderita gastritis.
hasil yang lebih baik
dalam mencegah mual
dan meningkatkan
Complate Response
rate (tidak ada muntah,
dan tidak memerlukan
terapi perbaikan) pada
pasien HEC
dibandingkan dengan
3-regimen terapi (tanpa
olanzapine). NCCN
merekomendasikan 4
regimen terapi dengan
olanzapine sebagai
first-line option dalam
mencegah CNIV.
18
- Mengatasi nyeri yang dirasakan pasien
- Mengatasi mual dan muntah akibat kemoterapi
- Mempertahankan urin output >100 ml/jam
- Meningkatkan kualitas hidup pasien
5.2. Terapi Non-Farmakologis
- NCP Pro Kemoterapi III : menerapkan pola makan yang sehat, tinggi buah,
sayuran dan biji-bijian serta rendah lemak dan menghindari alkohol.
Menurunkan berat badan hingga ideal dengan melakukan aktivitas fisik
selama kemoterapi (Kemenkes, 2015).
- Mual dan muntah : intervensi behavioral seperti relaksasi dan hipnotis (Dipiro,
2015).
5.3. Monitoring
19
adjuvant (1000 jauh (Pan, 2012). (Medscape, 2018).
mg/m2 IV secara
kontinyu setiap
hari pada hari 1-4
pada siklus ke-4
dilarutkan dalam 1
L D5W selama 24
jam durasi
pemakaian 4 hari)
(BCCA, 2013).
20
hari pada siklus
ke-4 yaitu 1 bulan
setelah siklus ke-3)
(UHN, 2016)
5.5. KIE
21
(1000 mg/m2 IV penggunaan 5-FU
secara kontinyu karena dapat
setiap hari pada hari mengurangi bakteri
dan jamur sehingga
1-4 pada siklus ke-4
meminimalkan risiko
dilarutkan dalam 1 infeksi, mengurangi
L D5W selama 24 nyeri, dan perdarahan
jam durasi (Fuwa, 2001) .
pemakaian 4 hari)
(BCCA, 2013).
22
setiap siklus 1-3 hidup untuk terjadinya gagal ginjal
diulang 3 minggu pasien (Ng, 2018; (Kemenkes, 2015)
setiap siklus 1-3) Pan, 2012).
(UHN, 2016).
Kemoterapi
adjuvant (Cisplatin
80 mg/m2 IV hari
pertama hanya 1
hari pada siklus ke-
4 yaitu 1 bulan
setelah siklus ke-3)
(UHN, 2016)
a. NPC
KIE untuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya
Melakukan penilaian pada pasien Nasopharyngeal Carcinoma (NPC)
dengan nasendoskopi rigid dan fiber-optic, biopsi nasofaring yang sebaiknya
dilakukan secara endoskopi, Multislice Computed Tomographic (CT) kepala,
leher, dan dada, Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga perlu dilakukan
untuk mengoptimalkan stadium yang dimiliki pasien, karena data yang
diperoleh tidak terdapat tanda-tanda pasti dalam menentukan stadium NPC
(Simo, 2016).
Leukopenia ringan yang diderita oleh pasien merupakan efek samping
kemoterapi. Terkadang diperlukan pemberian jeda kemoterapi untuk
memberikan waktu tubuh memproduksi sel darah kembali. Jumlah sel darah
akan otomatis meningkat saat masa interval antara siklus kemoterapi atau
ketika kemoterapi/radiasi selesai. Waktu tubuh mencukupi sel darah putih
bervariasi antara satu orang dengan lainnya. Terapi untuk pengobatan
leukopenia didasarkan atas tipe sel darah putih yang berkurang dan
penyebabnya, dalam kasus ini pasien memiliki nilai ANC (Absolute
Neutrophil Count) 1020 sel/mm3 yang menandakan neutropenia ringan
sehingga diperlukan monitoring nilai neutrofil untuk memutuskan apakah
diperlukan terapi untuk leukopenia pasien (McDowell, 2017).
23
KIE untuk pasien
Penggunaan masker wajah khusus sangat diperlukan untuk
menghindari/mengurangi efek samping radioterapi yang berat. Selain itu,
selama terapi sangat penting untuk mengedukasi penderita agar
mempertahankan asupan makanan dan cairan dalam jumlah yang cukup untuk
mengurangi risiko terjadinya mukositis yang berat. Pemasangan selang
nasogastrik sejak awal perlu dipertimbangkan untuk mempertahankan asupan
makanan dan minuman. Guna menghindari infeksi fokal dari gigi dan mulut,
perlu dilakukan konsultasi perawatan kesehatan gigi dan mulut sebelum terapi
kemoradiasi dimulai. Selama menjalani kemoradiasi, higiene oral perlu dijaga
dengan cara menggunakan obat kumur secara teratur. Jenis obat kumur yang
dapat digunakan adalah obat kumur yang mengandung salin, fluoride, dan
larutan analgetik. Sukralfat topikal, dan nystatin topikal juga dapat dipakai
untuk mengurangi derajat mukositis. Penderita disarankan untuk banyak
mengunyah permen karet tanpa gula guna mengurangi beratnya xerostomia
kronik pasca radiasi (Kemenkes, 2015).
24
DAFTAR PUSTAKA
Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi
(Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi kelima. Jakarta:
FKUI. Hal.146-50.
BCCA. 2013. BCCA Protocol Summary for Treatment of Advanced Squamous Cell
Carcinoma of the Head and Neck Cancer Using Fluorouracil and Platinum. BC
Cancer Agency Protocol Summary HNAVFUP.
______. 2016. DRUG NAME : Cisplatin. BC Cancer Agency Cancer Drug Manual.
Crona ,D. J., Faso, A., Nishijima, T.F., McGraw, K.A, Galsky, M. D. dan Milowsky, M. I.
2017. A Systematic Review of Strategies to Prevent Cisplatin-Induced
Nephrotoxicity. The Oncologist. Vol 22 : 609–619.
Dipiro, Joseph T., Barbara G. Wells, Terry L. Schwinghammer dan Cecily V. Dipiro.
Pharmacotheraphy: A Pathophysiologic Approach. 2015. McGraw-Hill: United
States of America.
Di Maso, M., Bosetti, C., La Vecchia, C., Garavello, W., Montella, M., Libra, M., Serraino,
D., Polesel, J., 2015. Regular aspirin use and nasopharyngeal cancer risk: A case-
control study in Italy. Cancer Epidemiol. 39, 545–547.
https://doi.org/10.1016/j.canep.2015.04.012
Fuwa, Nobukazu., Ito,Y., Kodaira, T., Matsumoto, A., Kamata, M., Furutani, K., Tatibana,
H.,Sasaoka, M., dan Morita, K. 2001. Therapeutic Results of Alternating
Chemoradiotherapy for Nasopharyngeal Cancer using Cisplatin and 5-Fluorouracil :
Its Usefulness and Controversial Points. Jpn J Clin Oncol. Vol 31 (12) : 589-595.
Janelsins MC, Tejani M, Kamen C, Peoples A, Mustian KM, Morrow GR. 2013. Current
pharmacotherapy for chemotherapy-induced nausea and vomiting in cancer patients.
Expert Opin Pharmacother. 14.p.757-66.
Jones, Tracy Parry. 2018. Hydration Protocol for Cisplatin Chemoteraphy. Journal of Betsy
Cadwaladr University Health. Inggris.
Kalbemed, 2014, Palonosetron Dibandingkan Antagonis 5HT3 Generasi Sebelumnya untuk
Mengontrol CINV, Cermin Dunia Kedokteran-222,Vol 41(11) :845
Kemenkes. 2015. Panduan Penatalaksanaan Kanker Nasofaring. Komite Penanggulan
Kanker Nasional.
Kentjono, W. A. 2003. Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring.
Majalah Kedokteran Tropis Indonesia. Volume 14 (2) : 1 - 39.
25
McDowell, Sandy. 2017. Leukopenia : Symptoms, Causes and Treatment.
http://www.healthline.com/leukopenia. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2018.
26
Simino et al., 2016, Efficay, Safety and Effectiveness of Ondasetron Compared to other
Serotonin-3 receptor antagonist (5-HT3 RA) Used to Control Chemotherapy-Induced
Nausea and Vomiting: Systematic Review and Meta-Analysis, Expert Review of
Clinical Pharmacology.
Simo, R., Robinson, M., Lei, M., Sibtain, A., dan Hickey. 2016. Nasopharyngeal
carcinoma: United Kingdom National Multidisciplinary Guidelines. The Journal of
Laryngology & Otology. 130 (Suppl. S2) : 97 – 103.
UHN. 2015. Princess Margaret Cancer Centre Clinical Practice Guidelines.
Wang, Jun et al., 2014, Olanzapine-Induced Weight Gain Plays a Key Role in the Potential
Cardiovascular risk: Evidence from Heart Rate Variability Analysis, Scientific Report,
4 : 7394
27