b) Fase kedua dimulai dengan peningkatan dari kadar glukosa darah dan penurunan dari kadar
insulin plasma. Fase hiperglikemia pertama ini terjadi sekitar satu jam setelah pemberian
diabetogen dan bertahan kurang lebih 24 jam.
c) Terjadi fase hipoglikemia kembali. Biasanya terjadi 48 jam setelah pemberian dan akan
bertahan selama beberapa jam. Keadaan hipolikemia ini terkadang sangat parah sampai
menyebabkan kejang dan bahkan fatal tanpa pemberian glukosa. Keadaan hipoglikemia
transisi ini dihasilkan akibat dari keluarnya insulin dari dalam sel Langerhans pankreas
akibat kerusakan sel-sel tersebut.
d) Fase ini merupakan fase hiperglikemia diabetik. Secara morfologis, telah terjadi degranulasi
yang sempurna dan hilangnya integritas dari sel Langerhans pankreas. Fase ini dapat terlihat
pada 1248 jam setelah pemberian aloksan.
Pemberian ALS dengan dosis 120 mg/kg bb pada tikus jantan strain Wistar secara intra
peritoneal selama 5 hari mampu meningkatkan kadar glukosa darah puasa (Sharma et al., 2010;
Chitra et al., 2010). Pemberian ALS pada mencit jantan (Mus musculus) strain Swiss albino
dengan dosis 150 mg/kgBB dalam larutan 0,9% NaCl secara intra peritoneal mampu
menyebabkan keadaan hiperglikemia pada hewan coba selama 5 hari sampai satu minggu setelah
penyuntikan (Sharma et al., 2010). Studiawan dan Santosa (2005) menyatakan, pemberian ALS
dengan dosis 100 mg/kg bb mencit jantan galur Wistar setiap 4 hari sekali selama 8 hari
menunjukkan kenaikan kadar glukosa darah hewan coba yang berarti. Pemberian aloksan pada
tikus wistar jantan dengan dosis tunggal 120 mg/kgBB dalam larutan NaCl 0,9% mampu
menaikkan kadar glukosa darah setelah 48 jam injeksi aloksan dan menimbulkan komplikasi
berupa neuropati diabetik (Morani and Bodhankar, 2007).
Streptozotosin
(STZ,
2-deoksi-2-(3-(methyl-3-nitrosoureido)-D-glucopyranosa,
membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai peran tinggi dalam kerusakan sel
pankreas. Pembentukan anion superoksida karena aksi STZ dalam mitokondria dan peningkatan
aktivitas xantin oksidase. Dalam hal ini, STZ menghambat siklus Krebs dan menurunkan
konsumsi oksigen mitokondria. Produksi ATP mitokondria yang terbatas selanjutnya
mengakibatkan pengurangan secarea drastis nukleotida sel pancreas.
Peningkatan defosforilasi ATP akan memacu peningkatan substrat untuk enzim xantin
oksidase (sel pankreas mempunyai aktivitas tinggi terhadap enzim ini), lebih lanjut
meningkatkan produksi asam urat. Xantin oksidase mengkatalisis reaksi pembentukan anion
superoksida aktif. Dari pembangkitan anion superoksida, terbentuk hidrogen peroksida dan
radikal superoksida. NO dan oksigen reaktif tersebut adalah penyebab utama kerusakan sel
pankreas. Perusakan DNA sel pankreas yang diinduksi oleh STZ mengaktivasi poli ADPribosilasi. Proses ini menyebabkan pengurangan NAD intrasel secara drastis, penurunan jumlah
ATP dan kemudian diikuti oleh hambatan sintesis dan sekresi insulin. (Szkudelski, 2001).
Dosis STZ yang digunakan tergantung spesies seperti pada tabel 2.3. Diabetes akan
terjadi secara bertahap dalam beberapa hari, biasanya dapat terjadi dalam waktu 4 hari pada
mencit dan 7 hari pada tikus. Induksi diabetes berhasil ditandai dengan kadar glukosa darah
antara 180-500 mg/dL. Pada dosis rendah STZ dapat menginduksi apoptosis dan pada dosis
tinggi menyebabkan nekrosis sel beta (Javia et al , 2012).
Tabel 2.3 Dosis streptozotosin pada beberapa spesies (Javia et al., 2012)
Zat diabetogenik aloksan dan streptozotocin bersifat toksik terhadap sel beta pancreas
dan digunakan secara luas untuk membuat hewan model diabetes. Streptozotosin lebih sering
digunakan disbanding aloksan dengan beberapa alasan yaitu (1) STZ lebih spesifik bekerja
terhadap sel beta, (2) hubungan dosis STZ dan respon diabetes yang ditimbulkan lebih jelas, STZ
memiliki rentang dosis luas untuk membuat diabetes derajat sedang sampai dengan berat.
Kondisi diabetes dapat dicapai dengan menaikkan dosis 4 kali dosis untuk membuat toleransi
glukosa abnormal dengan mortalitas lebih rendah. Pada aloksan untuk membuat derajat diabetes
berat diperlukan dosis 20% lebih tinggi dan dapat menyebabkan kematian. (3) STZ memiliki
waktu paruh yang lebih lama dan durasi hiperglikemia lebih lama dan stabil dengan
kemungkinan terjadi ketosis atau mortalitas lebih rendah (8% dibandingkan aloksan
mortalitasnya 37%), peningkatan dosis aloksan untuk (4) STZ dapat digunakan pada hewan
coba babi, tetapi tidak bisa digunakan untuk kelinci. Pemilihan agen diabetogenik ini tidak
berdasar kemampuan mereka untuk menginduksi jenis DM tertentu, tetapi lebih digunakan untuk
mempelajari mekanisme komplikasi DM, sebagai alat untuk menguji respon suatu obat atau
respon fisiologis. Berbagai metode digunakan untuk membuat hewan model yang diinduksi agen
diabetogenik untuk mendekati patogenesis diabetes pada manusia (Chatzigeorgiou, 2009).