Anda di halaman 1dari 4

Hewan Coba Diabetes Mellitus

Aloksan (ALS) (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 2,4,5,6-pyrimidinetetrone) adalah suatu


substrat yang secara struktural merupakan derivat pirimidin sederhana (Lenzen, 2008).
Nama ALS diperoleh dari penggabungan kata allantoin dan oksalurea atau asam oksalurik.
Allantoin adalah produk asam urat yang diekskresikan oleh janin dalam alantois dan asam
oksalurik diturunkan dari asam oksalat dan urea yang ditemukan dalam air seni (Rohilla
and Ali, 2012). Struktur molekul aloksan dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur molekul ALS


Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi binatang percobaan
untuk menghasilkan kondisi diabetik eksperimental (hiperglikemik) secara cepat. Aloksan dapat
diberikan secara intravena, intraperitoneal, atau subkutan pada binatang percobaan. Pada
larutan dalam air, aloksan akan terdekomposisi menjadi senyawa asam aloksanat yang
tidak bersifat diabetogenik dalam hitungan menit. Oleh sebab itu, aloksan harus dapat
terakumulasi dengan cepat di sel , dan menjadi tidak efektif jika aliran darah menuju
pankreas terganggu selama beberapa menit pertama setelah injeksi aloksan (Lenzen, 2008).
Aloksan dapat menyebabkan diabetes melitus tergantung insulin pada hewan coba
(aloksan diabetes) dengan karakteristik mirip dengan diabetes melitus tipe 1 pada manusia
(Yuriska, 2009). Setelah pemberian aloksan, akan terlihat 4 fase dari fluktuasi kadar
glukosa darah sebagai berikut (Lenzen, 2008):
a) Fase pertama yaitu fase hipoglikemia yang terjadi dalam waktu 30 menit setelah injeksi
aloksan. Hal ini terjadi karena penghambatan glukokinase yang menyebabkan
penghambatan fosforilasi glukosa. Penghambatan ini akan menyebabkan penurunan
konsumsi dan peningkatan ketersediaan ATP yang kemudian akan menyebabkan stimulasi
sekresi insulin.

b) Fase kedua dimulai dengan peningkatan dari kadar glukosa darah dan penurunan dari kadar
insulin plasma. Fase hiperglikemia pertama ini terjadi sekitar satu jam setelah pemberian
diabetogen dan bertahan kurang lebih 24 jam.
c) Terjadi fase hipoglikemia kembali. Biasanya terjadi 48 jam setelah pemberian dan akan
bertahan selama beberapa jam. Keadaan hipolikemia ini terkadang sangat parah sampai
menyebabkan kejang dan bahkan fatal tanpa pemberian glukosa. Keadaan hipoglikemia
transisi ini dihasilkan akibat dari keluarnya insulin dari dalam sel Langerhans pankreas
akibat kerusakan sel-sel tersebut.
d) Fase ini merupakan fase hiperglikemia diabetik. Secara morfologis, telah terjadi degranulasi
yang sempurna dan hilangnya integritas dari sel Langerhans pankreas. Fase ini dapat terlihat
pada 1248 jam setelah pemberian aloksan.
Pemberian ALS dengan dosis 120 mg/kg bb pada tikus jantan strain Wistar secara intra
peritoneal selama 5 hari mampu meningkatkan kadar glukosa darah puasa (Sharma et al., 2010;
Chitra et al., 2010). Pemberian ALS pada mencit jantan (Mus musculus) strain Swiss albino
dengan dosis 150 mg/kgBB dalam larutan 0,9% NaCl secara intra peritoneal mampu
menyebabkan keadaan hiperglikemia pada hewan coba selama 5 hari sampai satu minggu setelah
penyuntikan (Sharma et al., 2010). Studiawan dan Santosa (2005) menyatakan, pemberian ALS
dengan dosis 100 mg/kg bb mencit jantan galur Wistar setiap 4 hari sekali selama 8 hari
menunjukkan kenaikan kadar glukosa darah hewan coba yang berarti. Pemberian aloksan pada
tikus wistar jantan dengan dosis tunggal 120 mg/kgBB dalam larutan NaCl 0,9% mampu
menaikkan kadar glukosa darah setelah 48 jam injeksi aloksan dan menimbulkan komplikasi
berupa neuropati diabetik (Morani and Bodhankar, 2007).
Streptozotosin

(STZ,

2-deoksi-2-(3-(methyl-3-nitrosoureido)-D-glucopyranosa,

disintesis oleh streptomycetes achromogenes dan digunakan untuk menginduksi insulin


dependent dan non insulin dependent diabettes mellitus (IDDM dan NIDDM). Rumus kimia
STZ adalah C8H15N3O7. STZ digunakan untuk menginduksi diabetes dengan menggunakan
model binatang, tikus, anjing dan kera. STZ masuk ke dalam ke dalam sel pankreas melalui
glucose transporter-2 (GLUT-2). Aksi STZ intraseluler menghasikan perubahan DNA sel
pankreas. Alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan kerusakan pada sel
pankreas. STZ merupakan donor NO (nitric oxide) yang mempunyai kontribusi terhadap
kerusakan sel tersebut melalui peningkatan aktivitas guanilil siklase dan pembentukan cGMP.
NO dihasilkan sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel. Selain itu, STZ juga mampu

membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai peran tinggi dalam kerusakan sel
pankreas. Pembentukan anion superoksida karena aksi STZ dalam mitokondria dan peningkatan
aktivitas xantin oksidase. Dalam hal ini, STZ menghambat siklus Krebs dan menurunkan
konsumsi oksigen mitokondria. Produksi ATP mitokondria yang terbatas selanjutnya
mengakibatkan pengurangan secarea drastis nukleotida sel pancreas.
Peningkatan defosforilasi ATP akan memacu peningkatan substrat untuk enzim xantin
oksidase (sel pankreas mempunyai aktivitas tinggi terhadap enzim ini), lebih lanjut
meningkatkan produksi asam urat. Xantin oksidase mengkatalisis reaksi pembentukan anion
superoksida aktif. Dari pembangkitan anion superoksida, terbentuk hidrogen peroksida dan
radikal superoksida. NO dan oksigen reaktif tersebut adalah penyebab utama kerusakan sel
pankreas. Perusakan DNA sel pankreas yang diinduksi oleh STZ mengaktivasi poli ADPribosilasi. Proses ini menyebabkan pengurangan NAD intrasel secara drastis, penurunan jumlah
ATP dan kemudian diikuti oleh hambatan sintesis dan sekresi insulin. (Szkudelski, 2001).
Dosis STZ yang digunakan tergantung spesies seperti pada tabel 2.3. Diabetes akan
terjadi secara bertahap dalam beberapa hari, biasanya dapat terjadi dalam waktu 4 hari pada
mencit dan 7 hari pada tikus. Induksi diabetes berhasil ditandai dengan kadar glukosa darah
antara 180-500 mg/dL. Pada dosis rendah STZ dapat menginduksi apoptosis dan pada dosis
tinggi menyebabkan nekrosis sel beta (Javia et al , 2012).
Tabel 2.3 Dosis streptozotosin pada beberapa spesies (Javia et al., 2012)

Zat diabetogenik aloksan dan streptozotocin bersifat toksik terhadap sel beta pancreas
dan digunakan secara luas untuk membuat hewan model diabetes. Streptozotosin lebih sering
digunakan disbanding aloksan dengan beberapa alasan yaitu (1) STZ lebih spesifik bekerja

terhadap sel beta, (2) hubungan dosis STZ dan respon diabetes yang ditimbulkan lebih jelas, STZ
memiliki rentang dosis luas untuk membuat diabetes derajat sedang sampai dengan berat.
Kondisi diabetes dapat dicapai dengan menaikkan dosis 4 kali dosis untuk membuat toleransi
glukosa abnormal dengan mortalitas lebih rendah. Pada aloksan untuk membuat derajat diabetes
berat diperlukan dosis 20% lebih tinggi dan dapat menyebabkan kematian. (3) STZ memiliki
waktu paruh yang lebih lama dan durasi hiperglikemia lebih lama dan stabil dengan
kemungkinan terjadi ketosis atau mortalitas lebih rendah (8% dibandingkan aloksan
mortalitasnya 37%), peningkatan dosis aloksan untuk (4) STZ dapat digunakan pada hewan
coba babi, tetapi tidak bisa digunakan untuk kelinci. Pemilihan agen diabetogenik ini tidak
berdasar kemampuan mereka untuk menginduksi jenis DM tertentu, tetapi lebih digunakan untuk
mempelajari mekanisme komplikasi DM, sebagai alat untuk menguji respon suatu obat atau
respon fisiologis. Berbagai metode digunakan untuk membuat hewan model yang diinduksi agen
diabetogenik untuk mendekati patogenesis diabetes pada manusia (Chatzigeorgiou, 2009).

Anda mungkin juga menyukai