Anda di halaman 1dari 17

BAB I.

PENDAHULUAN

1. Gagal Ginjal Kronis (GGK)


1.1 Definisi
Penyakit ginjal kronis (CKD) didefinisikan sebagai kelainan pada struktur atau
fungsi dari ginjal, yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, dengan implikasi bagi
kesehatan (K/DOQI, 2002). Kelainan struktural termasuk albuminuria lebih dari 30 mg /
hari, terjadinya hematuria atau adanya sel darah merah dalam sedimen urin, elektrolit dan
kelainan lain karena gangguan tubular, deteksi kelainan oleh histologi, atau adanya
riwayat transplantasi ginjal. CKD stadium 5, sebelumnya disebut sebagai penyakit ginjal
stadium akhir, terjadi ketika GFR turun di bawah 15 ml / min / 1.73 m 2 (<0,14
mL/s/m2) atau pada pasien yang menerima terapi pengganti ginjal (Dipiro, 2015).
Klasifikasi gagal ginjal juga dapat dibedakan berdasarkan stage nya yang ditunjukkan
pada Tabel 1 . Klasifikasi tersebut didasarkan pada nilai GFR dengan merujuk KDIGO.

Tabel 1. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis (Dipiro et al., 2015)


1.2 Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi
penyebab penyakit ginjal kronik diantaranya adalah :
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif dan difus
yang sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon imunologik
dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara
garis besar dua mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune complex dan
terbentuknya deposit kompleks imun secara in-situ. Glomerulonefritis ditandai dengan
proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal dan perubahan eksresi garam dengan
akibat edema, kongesti aliran darah dan hipertensi (K/DOQI, 2002).
b. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Diabtes tipe 1 adalah penyakit kronis yang dimana tubuh
tidak memiliki kemampuan memproduksi insulin yang dikarenakan autoimun dimana
pertahanan tubuh merusak sel beta pankreas. Sedangkan, diabetes tipe 2 adalah
terjadinya beberapa disfungsi yang ditandai oleh hiperglikemia yang disebabkan oleh
resistensi insulin, inadequate sekresi insulin dan sekresi glukagon secara berlebihan
(Dipiro ed. 6. 1999) . Etiologi terjadinya diabetes tipe 1 adalah terjadinya kerusakan
pada β-pankreas, terkadang mengalami defisiensi insulin, idiopatik dan autoimun.
Etiologi terjadinya diabetes tipe 2 adalah terjadinya resistensi insulin sehinga tidak
aduequate insulin (Dipiro ed. 9).
c. Hipertensi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia,
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90
mmHg. (Smeltzer,2001). Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau
diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
Dari beberapa penyakit tersebut, penyebab utama dari penyakit ginjal kronik
adalah diabetes mellitus dan hipertensi. Tingginya kadar gula dalam darah akan
menyebabkan kerja ginjal meningkat sehingga jika dalam jangka waktu yang lama akan
menimbulkan kerusakan pada ginjal. Sedangkan pada pasien hipertensi, ketika terjadi
peningkatan tekanan darah yang berkepanjangan dapat menimbulkan kerusakan
pembuluh darah disebagian besar tubuh, salah satunya adalah ginjal (IRR, 2017).

1.3 Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik dapat disebabkan karena beberapa faktor
(Dipiro 9th) , yaitu :
1. Susceptibility factors
Faktor ini dapat meningkatkan resiko kerusakan ginjal tetapi tidak secara
langsung. Yang termasuk kedalam faktor ini yaitu usia, penurunan massa ginjal dan
berat badan rendah, etnik, riwayat keluarga, tingkat pendapatan atau pendidikan
rendah, inflamasi sistemik, dan dislipidemia.
2. Initiation factors
Dapat menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung yang disebabkan karena
penggunaan modifikasi terapi. Faktor-faktor tersebut antara lain diabetes mellitus,
hipertensi, glomerulonefritis, polycystic kidney disease, Wegener granulomatosis,
penyakit vaskuler, dan HIV.
3. Progession factors
Faktor ini dapat mempercepat penurun fungsi ginjal setelah terjadi kerusakan
ginjal akibat inisiasi. Faktor-faktor tersebut antara lain penderita diabetes mellitus,
hipertensi, proteinuria, hiperlipidemia, obesitas, dan merokok.
4. Progressive nephrophaties
Sebagian besar nefropati progresif menyebabkan kerusakan ginjal secara
permanen, dalam hal ini dapat disebabkan karena hilangnya massa nefron, hipertensi
kapiler glomerulus, dan proteinuria.
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme
protein yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
buangan, maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal
menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh
ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR) mengakibatkan penurunan
klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan
gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea
maupan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi kerja,
mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood
Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir
urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko
gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium
dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan
volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor keseimbangan cairannya.
Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat ginjal
mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar
serum kalsium. Penurunan kadar serum kalsium menyebabkan sekresi para-hormon
dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal
kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan
adanya hipertensi (Brunner dan Suddarth, 2001). Hal tersebut sesuai dengan
identifikasi yang dilakukan oleh Brenner dkk. yang mengidentifikasi hipertensi
glomerulus dan hiperfiltrasi merupakan kontributor utama dalam perkembangan
penyakit ginjal kronik. Hipertensi sistemik di transfer ke glomerulus dan hipertensi
glomerulus yang dihasilkan dari perubahan lokal dalam hemodinamik glomerular
dapat menyebabkan cedera terhadap glomerulus. Dimana biasanya ginjal dilindungi
oleh autoregulasi dari tekanan darah tinggi. Hipertensi dalam jangka waktu lama
dapat menyebabkan vasokontriksi arteri dan sklerosis yang mengakibatkan sklerosis
sekunder dan atrofi pada glomerulus dan tubulointerstisial (Matovinović, 2009).

1.4 Algoritma Terapi


Tujuan terapi gagal ginjal adalah untuk menunda perkembangan CKD,
meminimalkan pengembangan atau keparahan komplikasi. Sehingga terapi CKD
bergantung pada penyakit penyertanya seperti Diabetes melitus, Hipertensi dan Anemia.
Algoritma terapi diabetes melitus ditunjukkan pada Bagan 1, algoritma terapi hipertensi
dengan CKD ditunjukkan Bagan 2 dan algoritma terapi anemia dan CKD ditunjukkan
Bagan 3.
a. Diabetes militus dan CKD

Bagan 1. Algoritma terapi Diabetes Melitus dengan CKD(Dipiro et al., 2015)


Pada pasien diabetes melitus dengan kondisi CKD terapi yang dapat dilakukan
yaitu mengontrol kadar gula pasien untuk menurunkan microalbuminia. Target
penurunan gula darahnya yaitu 90-130 mg/dL (gula darah preprandial) dan gula darah
postprandial <180 mg/dL, dan nilai HbA1C < 1% (KDIGO, 2012). Agen antidiabetes
yang dapat digunakan yaitu antidiabetes oral dengan dilakukan penyesuaian dosis dan
insulin. Alogaritma terapi pasien DM dengan CKD dapat dilihat pada gambar dibawah
ini.
b. Hipertensi dan CKD
Kondisi hipertensi pada pasien CKD perlu diterapi dengan obat antihipertensi
untuk menurunkan proteinurea. Target penurunan tekanan darah pada pasien CKD
tergantung dari jumlah yang diekskresikan di urin. arget penuruan tekanan darah yang
disarnkan oleh KDOQI (2012) yaitu tekanan darah <149/90 mmHg pada pasien yang
mengekskresikan protein < 30 mg/ hari, dan <130/80 mmHg pada pasien yang
mengekskresikan protein ≥30 mg/hari. Agen antihipertensi yang dapat diberikan yaitu
agen hipertensi yang memiliki benefit dapat menurukan proteinurea. Agen hipertensi
first line therapy yang dapat digunakan yaitu ACEI, ARB, dan thiazide diuretik yang
dikombinasikan dengan ARB. Selain itu juga dapat digunakan CCD non dihidropiridin
jika kontraindikasi dengan ACEI/ARB. Apabila tekanan darah target belum tercapai bisa
digunakan furosemide jika pasien mengalami udema, beta bloker dan hidralazin (Dipiro
ed. 15, 2015).

Bagan 2. Algoritma terapi Hipertensi dengan CKD(Dipiro et al., 2015)


c. Anemia dan CKD
Dikategorikan anemia pada CKD apabila nilai Hb < 13 g/dL pada laki-laki
dan Hb<12 g/dL pada perempuan. Penyebab anemia pada CKD disebabkan karena
adanya penurunan produksi eritropoetin, kondisi uremia yang menyebabkan waktu
hidup sel darah memerah memendek dan, defisiensi zat besi dan perdarahan. semakin
parah kerusakan ginjal, produksi eritropoetin semakin rendah sehingga terjadi
penurunan Hb, hematokrit dan oksigenasi jaringan. Alogritma terapi anemia pada
CKD dapat dilihat pada gambar dibawah ini (Dipiro ed.9, 2015):

Bagan 3. Algoritma terapi Anemia dengan CKD(Dipiro et al., 2015)


d. Anemia dan CKD
Dislipidemia merupakan salah satu faktor yang menurunkan eGFR pada
pasien CKD dan berhubungan meningkatkan resiko terjadinya penyakit
kardiovaskular. Pasien dewasa berusia ≥ 50 tahun dengan eGFR <60ml/menit/1,73
m2 tanpa dialysis/ transplanntasi direkomendasikan pemberian statin atau kombinasi
statin dengan ezetimibe, sedangkan pada pasien dengan eGFR ≥60ml/menit/1,73 m2
direkomendasikan dengan penggunaan statin. Satin yang direkomendasikan yaitu
atorvastatin 20 mg, fluvastatin 80 mg, rosuvastatin 10 mg, simvastatin 20 mg. Terapi
lipid powering agent yang digunakan disesuaikan dengan profil lipid pasien, jika
kolestrol yang tinggi maka dapat digunakan golongan statin, dan apabila trigliserida
yang meningkat dapat digunakan golongan fibrat. Akan tetapi penggunaan fibrat perlu
berhati-hati pada pasien CKD karena diekskresikan melalui ginjal dan ESO
rabdomiolisis, agen fibrat yang cukup aman digunakan yaitu gemfibrozil (KDIGO,
2013).
e. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit pada CKD
Pada kondisi CKD, fungsi neuron akan menurun sehingga sekresi air dan
elektrolit menurun dan menyebabkan peningkatan retensi air dan elektrolit. problem
medik terkait gangguan elektrolit antara lain yaitu retensi Na dan air, asidosis
metabolik, dan hiperkalemia. Terapi yang dapat diberikan pada pasien yang
mengalami retensi air dan Na yaitu batasi intake Na dan air, diuretik (thiazid diuretik,
loop diuretik jika udema). Terapi untuk hiperkalemia yang dapat diberikan yaitu
batasi konsumsi makanan yang mengandung kalium, diuretik, dextrose 10% atau 50%
+ insulin iv, Ca gluconas iv, jika tiadak adequat maka harus dilakukan
hemodialisis.Terapi untuk asidosis metabolik yaitu Na bicarbonat tab/iv dan jika tidak
adequat maka dilakukan hemodialisis (Kimmel dkk., 2015).
2. Edema
2.1 Definisi
Edema atau sembab adalah meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan
ekstravaskuler (cairan interstitium) yang disertai dengan penimbunan cairan abnormal
dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa (jaringan ikat longgar dan rongga-rongga
badan). Edema dapat bersifat setempat (lokal) dan umum (general). Edema juga diartikan
sebagai penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam
berbagai rongga tubuh.
Berdasarkan kembali atau tidaknya edema apabila dipencet atau ditekan, maka
edem dibedakan menjadi 2, yaitu :
a. Edema pitting
Pada oedema ini, apabila daerah yang mengalami edema dipencet, maka akan
timbul cekungan pada derah yang ditekan, bentuknya sesuai dengan bentuk benda yang
kita gunakan untuk menekan. Sebenarnya cekungan yang tebentuk ini dapat kembali
seperti semula, membutuhkan waktu yang cukup lama. Edema dengan keadaan sperti ini
disebut edema pitting. Edema pitting ini biasanya terjadi pada kasus edem sistemik.
b. Edema non pitting
Edema non pitting adalah kedaaan edema dimana apabila dipencet atau ditekan
pada bagian edema, maka dengan segera cekungan itu akan kembali ke seperti semula,
bahkan tidak akan timbul bekas bahwa bagian yang terkena edem sudah ditekan. Edema
non pitting ini biasanya terjadi pada kasus edema yang disebabkan karena inflamasi,
obstruksi pembuluh limfe, dll.
2.2 Etiologi
a. Adanya kongesti
Pada kondisi vena yang terbendung (kongesti), terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik intra vaskula (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskula oleh
kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang
interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan
rongga badan (terjadi edema)(Pringgoutomo et al., 2002).
b. Obstruksi limfatik
Apabila terjadi gangguan aliran limfe pada suatu daerah
(obstruksi/penyumbatan), maka cairan tubuh yang berasal dari plasma darah dan hasil
8iuretic8s yang masuk ke dalam saluran limfe akan tertimbun (limfedema). Limfedema
ini sering terjadi akibat mastek-tomi radikal untuk mengeluarkan tumor ganas pada
payudara atau akibat tumor ganas menginfiltrasi kelenjar dan saluran limfe. Selain itu,
saluran dan kelenjar inguinal yang meradang akibat infestasi 8iuretic dapat juga
menyebabkan edema pada scrotum dan tungkai (penyakit filariasis atau kaki
gajah/elephantiasis)(Pringgoutomo et al., 2002).
c. Permeabilitas kapiler yang bertambah
Endotel kapiler merupakan suatu 8iuretic semi 8iuretic8 yang dapat dilalui oleh air
dan elektrolit secara bebas, sedangkan protein plasma hanya dapat melaluinya sedikit atau
terbatas. Tekanan osmotic darah lebih besar dari pada limfe. Daya permeabilitas ini
bergantung kepada substansi yang mengikat sel-sel endotel tersebut. Pada keadaan
tertentu, misalnya akibat pengaruh toksin yang bekerja terhadap endotel, permeabilitas
kapiler dapat bertambah. Akibatnya ialah protein plasma keluar kapiler, sehingga tekanan
osmotic koloid darah menurun dan sebaliknya tekanan osmotic cairan interstitium
bertambah. Hal ini mengakibatkan makin banyak cairan yang meninggalkan kapiler dan
menimbulkan edema. Bertambahnya permeabilitas kapiler dapat terjadi pada kondisi
infeksi berat dan reaksi anafilaktik (Pringgoutomo et al., 2002).
a. Hipoproteinemia
Menurunnya jumlah protein darah (hipoproteinemia) menimbulkan rendahnya daya
ikat air protein plasma yang tersisa, sehingga cairan plasma merembes keluar vaskula
sebagai cairan edema. Kondisi hipoproteinemia dapat diakibatkan kehilangan darah
secara kronis oleh cacing Haemonchus contortus yang menghisap darah di dalam
mukosa lambung kelenjar dan akibat kerusakan pada ginjal yang menimbulkan gejala
albuminuria (proteinuria, protein darah albumin keluar bersama urin) berkepanjangan.
Hipoproteinemia ini biasanya mengakibatkan edema umum
b. Tekanan osmotic koloid
Tekanan osmotic koloid dalam jaringan biasanya hanya kecil sekali, sehingga tidak
dapat melawan tekanan osmotic yang terdapat dalam darah. Tetapi pada keadaan
tertentu jumlah protein dalam jaringan dapat meninggi, misalnya jika permeabilitas
kapiler bertambah. Dalam hal ini maka tekanan osmotic jaringan dapat menyebabkan
edema. Filtrasi cairan plasma juga mendapat perlawanan dari tekanan jaringan (tissue
tension). Tekanan ini berbeda-beda pada berbagai jaringan. Pada jaringan subcutis
yang renggang seperti kelopak mata, tekanan sangat rendah, oleh karena itu pada
tempat tersebut mudah timbul edema.
c. Retensi natrium dan air
Retensi natrium terjadi bila eksresi natrium dalam kemih lebih kecil dari pada yang
masuk (intake). Karena konsentrasi natrium meninggi maka akan terjadi hipertoni.
Hipertoni menyebabkan air ditahan, sehingga jumlah cairan ekstraseluler dan
ekstravaskuler (cairan interstitium) bertambah. Akibatnya terjadi edema.

2.3 Patofisiologi
Pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan interstisium dikenal sebagai edema.
Penyebab edema dapat dikelompokan menjadi empat kategori umum (Himawan,1990) :
1. Penurunan konsentrasi protein plasma menyebabkan penurunan tekanan osmotic
plasma.penurunan ini menyebabkan filtrasi cairan yang keluar dari pembuluh lebih
tinggi, sementara jumlah cairan yang direabsorpsi kurang dari normal ; dengan
demikian terdapat cairan tambahan yang tertinggal diruang –ruang interstisium.
2. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler menyebabkan protein plasma yang keluar
dari kapiler ke cairan interstisium disekitarnya lebih banyak.
3. Peningkatan tekanan vena , misalnya darah terbendung di vena , akan disertai
peningkatan tekanan darah kapiler, kerena kapiler mengalirkan isinya kedalam vena.
Peningkatan tekanan kearah dinding kapiler ini terutama berperan pada edema yang
terjadi pada gagal jantung kongestif.
4. Penyumbatan pembuluh limfe menimbulkan edema,karena kelebihan cairan yang
difiltrasi keluar tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat dikembalikan ke darah
1.6 Algoritma Terapi Udem
Berdasarkan journal review Loop Diuretics in Clinical Practice pada tahun 2015
penggunaan loop diuretic direkomendasikan dalam mengatasi edema pada pasien CKD
yang memilik e GFR < 30, serta memiliki efek yang lebih baik jika dibandingkan
diuretic lain yang kurang efektif pada pasien CKD. Untuk dosis Furosemide pada pasien
CKD 80 mg-160 mg per hari. Berdasarkan Journal Edema Diagnosist and Management
tahun 2013 penatalaksanaan edema itu didasarkan pada penyebab dari edema tersebut.
Seperti tabel 2 berikut :
2. Hipertensi
3.1 Definisi
Hipertensi lebih dikenal dengan penyakit tekanan darah tinggi. Batas tekanan
darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau tidaknya
tekanan darah adalah tekanan darah sistolik dan diastolik. Berdasarkan JNC (Joint
National Comitte) VII, seseorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan sistolik
140 mmhg atau lebih dan diastolik 90 mmhg atau lebih (Chobanian, 2003). JNC7
mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa (diatas umur 18 tahun)
berdasarkan rata-rata dari 2 atau lebih pengukuran tekanan darah pasien, dimana terdapat
beberapa kategori klasifikasi, antara lain adalah normaal, prehipertensi, hipertensi stage
1, dan hipertensi stage 2, yang ditunjukkan oleh Tabel berikut

Klasifikasi Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik


(mmHg) (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 90-99

Hipertensi stage 2 ≥160 ≥100

Prehipertensi belum termasuk dalam kategori penyakit hipertensi, namun orang


dengan tekanan darah dalam kategori prehipertensi memiliki resiko mengalami
hipertensi. Hipertensi krisis merupakan situasi klinis dimana tekanan darah naik hingga
180/120 mmHg. Hipertensi krisis dikategorikan dalam 2 kategori, yaitu hipertensi
emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi merupakan hipertensi krisis yang
disertai dengan kerusakan organ. Sedangkan hipertensi urgensi merupakan hiprtensi
krisis tanpa disertai kerusakan organ (dipiro 9th)
3.2 Etiologi
1. Hipertensi essensial
Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar
patofisiologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial. Penyebab
hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi
kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah
terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud
dengan faktor lingkungan antara lain kebiasan merokok, stress emosi dan obesitas
(Nafrialdi, 2009).
2. Hipertensi Sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakankasus,disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering(Oparil, 2003). Hipertensi
yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit
misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan system saraf pusat (Oparil,
2003).
3.3 Patofisiologi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia,
hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90
mmHg. (Smeltzer,2001). Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas
160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Mekanisme yang mengontrol konstriksi
dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari
pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda
spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak
ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion
ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah. Berbagai factor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu
dengan hipertensi sangat sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui
dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf
simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal
juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal
mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi
kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh
darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan
pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah
menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air
oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini
cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
Perubahan struktural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggung
jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut
meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi
otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan
daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume sekuncup, mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan
perifer (Brunner & Suddarth, 2002).
3.7 Terapi farmakologi
ACE (Angiotensin-converting enzyme) inhibitors, angiotensin II receptor blockers
(ARBs), calcium channel blockers (CCBs) dan tiazid diuretik digunakan sebagai terapi
pertama antihipertensi (Dipiro et al., 2015). Beta bloker digunakan untuk terapi pada
adanya indikasi tambahan yang dikombinasikan dengan terapi utama antihipertensi
(Dipiro et al., 2015). Obat antihipertansi alternatif lain digunakan untuk pasien tertentu
setelah penggunakan terapi pertama antihipertensi.

1. Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis (Dipiro et al.,
2015). Tiazid diuretik dipilih untuk menangani hipertensi. Golongan ini
menghambat reabsorbsi Natrium di tubulus distal sehingga berkontribusi dalam
penurunan tekanan darah. Contoh obat tiazid diuretik : chlortaridone, indopamide,
hydrochlorhiazide, metolazone. Loop diuretik lebih poten untuk menginduksi
diuresis tetapi tidak dapat digunakan pada pasien dengan edema (Dipiro et al., 2015).
Golongan ini lebih efektif dibandingkan tiazid diuretik dengan kondisi CKD dengan
GFR kurang dari 30 mL/min/1,73m2. Contoh obat : furosemide, bumetanide,
torsemide. Diuretik hemat kalium merupakan golongan antihipertensi yang tidak
adekuat jika digunakan tunggal dan digunakan untuk mengatasi kekurangan kalium
dan natrium yang disebabkan oleh diuretik lainnya(Dipiro et al., 2015). Contoh obat :
Amiloride, triamterene. Antagonis aldosteron juga merupakan diuretik hemat kalium
yang lebih poten dengan onset lambat. Contoh obat : spironolaktone.
2. ACEI
ACEI digunakan sebagai terapi pilihan pertama dengan mekanisme menghambat
angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah perifer(Dipiro et al., 2015). Batuk kering dapat terjadi hingga pada 20% pasien
dan hal ini disebabkan karena pemecahan bradikinin. ACEI dikontraindikasikan pada
ibu hamil. Contoh obat kaptopril, enalapril, fosinipril.
3. ARB
ARB memiliki mekanisme antagonis dari reseptor angiotensin II (Dipiro dkk., 2015).
ARB tidak menyebabkan hambatan bradikinin. ARB memiliki efek samping yang
kecil dan seperti ACEI dapat menyebabkan gagal ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
ortotastik. ARB kontraindikasi pada ibu hamil. Contoh obat : Losartan, Vasartan,
Irbesartan.
4. CCB
CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat masuknya
kalsium dalam otot polos vaskuler maupun miokardium selama proses depolarisasi
(Dipiro et al., 2015). Dihidropiridin dapat menyebabkan aktivasi refleks simpatetik,
dihidropiridin pada umumnya tidak menurunkan kondisi nodus AV. Contoh obat
:Nondihidrypiridin (Diltiazem, verapamil), Dihydripiridine (Amilodipine, felodipine).
5. Beta blocker
Mekanisme beta bloker yaitu dengan menurunkan curah jantung melalui kronotropik
negatif dan dan efek inotropik jantung serta inhibisi pelepasan renin dari ginjal
(Dipiro et al., 2015). Penghentian terapi dengan beta bloker yang cepat dapat
menyebabkan angina tidak stabil, infark miokard. Asetubutolol, carteolol, penbutolol
dan pindolol memiliki aktivitas intrinsik simpatomimetik (ISA) mampu menurunkan
tekanan darah dan resisten vaskular sistemik sementra denyut jantung dan curah
jantung tetap dipelihara. Beta blocker dengan aktivitas ISA tidak tirekomendasikan
untuk pasien post penyakit jantung koroner.
6. Renin Inhibitor
Mekanisme aksi yaitu dengan menghambat renin secara lansung sehingga
menurunkan plasme renin activity (PRA) (Dipiro et al., 2015). Contoh obat yaitu
aliskiren.
7. Alfa Blocker
Prazosin, terazosin dan doxazosin merupakan alfa blocker yang menghambat
pengambilan katekolamin pada sel otot polos perifer sehingga menyebabkan
vasodilatasi (Dipiro et al., 2015). Jika digunakan untuk menurunkan tekanan darah,
golongan ini sebaiknya digunakan dengan kombinasi terapi antihipertensi pertama.
8. Alfa-2-Agonist
Digunakan pada kasus hipertensi resisten apabila terapi dengan antihipertensi
konvesional tidak adekuat (Dipiro et al., 2015). Penghentian mendadak dapat
menimbulkan hipertensi balik atau peningkatan tekanan darah ke nilai yang lebih
tinggi dari sebelum penanganan. Contoh obat : Clonidine, methyldopa, reserpine
9. Direct vasodilator
Penderita yang mendapatkan terapi ini sebaiknya mendapatkan terapi utama dengan
diuretik dan blocker beta andrenergik (Dipiro et al., 2015). Vasodilator lansung
menyebabkan angina pada penderia arteri koroner kecuali mekanisme refleks
baroreseptor dihambat secara sempurna oleh inhibitor simpatetik.
Daftar Pustaka

BNF. 2017. British National Formulary 74th Edition. London: Pharmaceutical Press.

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC

DFA. 2015. Australian and International Guidelines on Diabetic Foot Disease. Donkin :
Diabetic Foot Australia.

Dipiro, J.T., et.Al. (2008), Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition.


Mc-Graw Hill. Hal 268

Dipiro, J.B., Wells & Schwinghammer, T., 2015. Pharmacotherapy Handbook Ed 9th. New
York: Mc Graw Hill.

James PA, Ortiz E, et al. 2014. Evidence-based guideline for the management of high blood
pressure in adults: (JNC8). JAMA. 2014 Feb 5;311(5):507-20

Koda Kimble and Aldredge, B.K., 2009, Applied Therapeutics the Clinical Use of Drugs,
9thedition, New York : Lippicont Williams & Wilkin, Hal 777, 895

Handbook. Edisi 9. Inggris: McGraw-Hill Education.

IRR. 2017. 9 th report of indonesian renal registry. 1–46.

KDIGO. 2012a. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the evaluation and management
of chronic kidney disease. Kidney International Supplements. 3(1):4–4.

KDIGO. 2012b. KDIGO clinical practice guideline for the management of blood pressure in
chronic kidney disease. Kidney International. Supp:2(5):337–414.

KDIGO. 2013. Clinical practice guideline for lipid management in chronic kidney disease.
Kidney International. 3(3):182–189.

Kimmel, P. L. dan M. E. Rosenberg. 2015. Chronic Renal Disease. Amsterdam: Elsevier Inc.
Matovinović, M. S. 2009. PATHOPHYSIOLOGY and classification of kidney diseases. The
Journal of The International Federation Clinical Chemistry and Laboratory
Medicine. 20(December 2004):2–11.

Pringgoutomo, S., Hiwaman, S. & Tjarta, A., 2002. Patologi (I) Umum. Jakarta: Sagung Seto.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta EGC.

Anda mungkin juga menyukai