Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH FARMAKOTERAPI

GAGAL GINJAL KRONIK

Disusun Oleh :
Kelompok IV

Endah Trisanti NIM : F120155035


Sunarni NIM : F120155049
Sa`diah Ayu Wihardini NIM : F120155048
Andinna Eda Meirilina NIM : F120155054

PROGAM STUDI S1 FARMASI (KELAS 2B )


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
KUDUS
2017

BAB I
PENDAHULUAN

A. Epidemiologi
Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat
penting sangat penting dalam mempertahankan kestabilan
lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan
cairan tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara
menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorbsi selektif air,
elektrolit dan non-elektrolit, serta mengekskresi kelebihannya
sebagai kemih. Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan
volume dan komposisi cairan ekstra sel dalam batas-batas
normal.
Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh
filtrasi gomerulus, reabsorbsi ginjal dan sekresi tubulus. Ginjal
dilalui oleh sekitar 1.200 ml darah per menit, suatu volume
yang sama dengan 20 sampai 25 persen curah jantung (5.000
ml per menit). Lebih 90% darah yang masuk ke ginjal berada
pada korteks, sedangkan sisanya dialirkan ke medulla.
Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-
communicable diseases) terutama penyakit kardiovaskuler,
hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit ginjal kronik, sudah
menggantikan penyakit menular (communicable diseases)
sebagai masalah kesehatan masyarakat utama.
Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi
sistem vaskuler sehingga dapat membantu upaya
pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien mengalami
komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung
koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer.
Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal
yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya
yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya desertai berbagai
komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran
napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot
serta anemia.
Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih
mengutamakan diagnosis dan pengobatan terhadap penyakit
ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal
kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi
gagal ginjal. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa komplikasi
penyakit ginjal kronik, tidak bergantung pada etiologi, dapat
dicegah atau dihambat jika dilakukan penanganan secara dini.
Oleh karena itu, upaya yang harus dilaksanakan adalah
diagnosis dini, pencegahan, dan pengobatan yang efektif
terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan
karena berbagai faktor risiko untuk penyakit ginjal kronik
dapat dikendalikan.

B. Definisi
Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau penyakit ginjal tahap
akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat
progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (KMB, Vol 2 hal 1448).
Penyakit gagal ginjal kronis bersifat progresif dan
irreversible dimana terjadi uremia karena kegagalan tubuh
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan serta elektrolit (SmeltzerC, Suzanne, 2002 hal 1448).
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari
kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges,
1999; 626)

C. Etiologi
Gagal ginjal kronik merupakan kelanjutan dari beberapa jenis
penyakit sebagai berikut :
Penyakit jaringan ginjal kronis seperti glomerulonefritis.
Glomerulonefritis atau yang biasa disebut radang pada
glomerulus (unit penyaring ginjal) dapat merusak ginjal,
sehinggaginjal tidak bisa lagi menyaring zat- zat sisa
metabolisme tubuh dan menjadi penyebab gagal ginjal.
Penyakit endokrin misalnya komplikasi diabetes, diabetes
tipe 1 dan tipe 2.
Infeksi kronis, misalnya pielonefritis dan tuberkulosis.
Pielonefritis adalah infeksi bakteri pada salah satu atau
kedua ginjal.
Kelainan bawaan seperti kista ginjal
Obstruksi ginjal, misalnya batu ginjal.
Penyakit vaskuler seperti nefroklerosis dan penyakit darah
tinggi. Nefroklerosis Maligna adalah suatu keadaanyang
berhubungan dengan tekanan darah tinggi (hipertensi
maligna), maligna atau penurunan tekanan darah yang
berlebihan menyebabkan aliran darah ginjal berkurang
sehinga arteri-arteri yang terkecil (arteriola) di dalam ginjal
mengalami kerusakan dan dengan segera terjadi gagal
ginjal.
Penyakit jaringan pengikat misalnya lupus. Lupus ini terjadi
ketika antibodi dan komplemen terbentuk di ginjal yang
menyebabkan terjadinya proses peradangan yang biasanya
menyebabkan sindrom nefrotik (pengeluaran protein yang
besar) dan dapat cepat menjadi penyebab gagal ginjal.
Obat-obatan yang merusak ginjal misalnya pemberian
terapi aminoglikosida dalam jangka panjang.
Semua faktor tersebut akan merusak jaringan ginjal secara
bertahap dan menyebabkan gagalnya ginjal. Apabila
seseorang menderita gag al ginjal kronik.
Penyebab gagal ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk
keperluan klinis dapat dibagi dalam 2 kelompok :
1. Penyakit parenkim ginjal
a. Penyakit ginjal primer : Glomerulonefritis,
Mielonefritis, Ginjal polikistik, Tbc ginjal
b. Penyakit ginjal sekunder : Nefritis lupus,
Nefropati, Amilordosis ginjal, Poliarteritis nodasa,
Sclerosis sistemik progresif, Gout, DM
2. Penyakit ginjal obstruktif : Pembesaran prostat, batu
saluran kemih, refluks ureter. Secara garis besar
penyebab gagal ginjal dapat dikategorikan infeksi yang
berulang dan nefron yang memburuk, obstruksi saluran
kemih, destruksi pembuluh darah akibat diabetes dan
hipertensi yang lama, scar pada jaringan dan trauma
langsung pada ginjal.
D. Gejala dan Tanda
1. Ginjal dan sistem urin : semula perubahan berupa tekanan
darah rendah, mulut kering, tonus kulit hidung, lesu, lelah,
mual dsn terskhir bingung. Kerana ginjal kehilangan
kesanggupan mengekskresikan natrium, penderita akan
mengalami retensi natrium dan mengalami penurunan
serta mempengaruhi komposisi kimianya
2. Jantung dan sirkulasi darah : gagal ginjal menjadi tekanan
darah tinggi, detak jantung menjadi ireguler,
pembengkakan gagal jantung kongesif.
3. Alat pernapasan : paru-paru mengalami perubahan dengan
sangat rentan terhadap infeksi, terjadi akumulasi cairan,
kesakitan pneumonia serta kesulitan bernafas karena
adanya gagal jantung kongesif.
4. Saluran pencernaan : terjadi peradangan dan ulserasi pada
sebagian besar alat saluran pencernaan. Gejala lainnya
adalah terasa metl di mulut, nafas bau amoniak, nafsu
makan menurun, mual dan muntah.
5. Kulit : sangat karakteristik kulit menjadi pucat , coklat
kebiruan, kering dan bersisik. Kuku jari tangan menjadi
tipis, rapuh, rambut kering dan mudah patah, perubahab
warna danmudah rontok.
6. Sistem saraf : sindrome tungkai bergerak-gerak salah satu
pertanda kerusakan saraf, rasa sakit, seperti terbakar,
gatal pada kaki dan tungkai. Dapat dikurangi dengan
menggerakkan-gerakkan atau memutar-mutarnya. Juga
dijumpai otot menjadi kram dan bergerak-gerak, daya
ingat berkurang, perhatian berkurang, mengantuk,
iritabilitas, bingung, koma dan kejang-kejang. Dokter akan
memeriksa gelombang otak guna menunjukkanadanya
kerusakan.
7. Kelenjar endokrin : gagal ginjal kronis memberikan
pertumbuhan lambatpada anak-anak, kurang subur serta
nafsu seksual menurun bagi kedua jenis kelamin,
menstruasi berkurang bahkan dapat berhenti sama sekali,
impotensi dan produksi sperma menurun serta
peningkatan kadar gula dalam darah seperti pada diabetes.
8. Perubahan darah : anemia, penurunan umur sel darah
merah, kehilangan darah sewaktu dialisis dan pendarahan
saluran pencernaan serta gangguan pembekuan darah.

9. Otot dan tulang : ketidakseimbangan mineral dan hormon


menyebabkan otot dan tulang terasa sakit, kehilangan
tulang, mudah patah, deposit kalsium di dalam otak, mata,
gusi, persendian, jantung bagian dalam dan pembuluh
darah klasifikasi arteri akan mengakibatkan penyakit
jantung koroner. Pada anak-anakdijumpai pengapuran
ginjal, persendian, jantung bagian dalam dan pembuluh
darah. Klasifikasi arteri akan mengakibatkan penyakit
jantung koroner. Pada anak-anak dijumpai pengapuran
ginjal.

E. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron
(termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan
yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang
utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai dari nefron
nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah
nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai
retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada
pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas
kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% -
90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai
kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu. (Barbara C Long, 1996, 368).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein
(yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun
dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem
tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala
akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah
dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).

Klasifikasi gagal ginjal kronik dibagi menjadi 5 stadium


:
a. Stadium 1, bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa
akan dikeluarkan lewat ginjal secara berlebihan. Keadaan
ini membuat ginjal hipertrofi dan hiperfiltrasi. Pasien akan
mengalami poliuria. Perubahan ini diyakini dapat
menyebabkan glomerulusklerosis fokal, terdiri dari
penebalan difus matriks mesangeal dengan bahan
eosinofilik disertai penebalan membran basalin kapiler.
b. Stadium 2, insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 %
jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN )
meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
c. Stadium 3, glomerulus dan tubulus sudah mengalami
beberapa kerusakan. Tanda khas stadium ini adalah
mikroalbuminuria yang menetap, dan terjadi hipertensi.
d. Stadium 4, ditandai dengan proteinuria dan penurunan
GFR. Retinopati dan hipertensi hampir selalu ditemui.
e. Stadium 5, adalah stadium akhir, ditandai dengan
peningkatan BUN dan kreatinin plasma disebabkan oleh
penurunan GFR yang cepat.
BAB II
TERAPI

A. Staregi Terapi

Sebagian besar pasien GGK harus menjalani program


terapi simtomatik untuk mencegah atau mengurangi populasi
gagal ginjal terminal (GGT). Banyak faktor perlu dikendalikan
untuk mencegah/memperlambat progresivitas penurunan faal
ginjal (LFG).

Protein hewani, hiperkolesterolemia, hipertensi sistemik,


gangguan elektrolit (hipokalsemia & hipokalemia) merupakan
faktor-faktor yang memperburuk faal ginjal. Kelainan
hemodinamik intrarenal (hipertensi intraglomerulus) seperti
terdapat pada hipertensi essensial dan nefropati diabetik
merupakan faktor yang harus diantisipasi dan dikendalikan
untuk mencegah penyakit ginjal terminal. Intervensi terhadap
perubahan- perubahan patogenesis dan patofisiologi ini
merupakan kunci keberhasilan upaya untuk mencegah/
mengurangi penurunan faal ginjal (LFG) yang berakhir dengan
penyakit

Perubahan faal ginjal (LFG) bersifat individual untuk setiap


pasien GGK, lama terapi konservatif bervariasi dari bulan
sampai tahun.

Tujuan terapi konservatif, yaitu:

1. mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif


2. meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia
3. mempertahankan dan memperbaiki metabolisma secara
optimal
4. memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

Beberapa prinsip terapi konservatif :

1. Mencegah buruknya faal ginjal (LFG)


hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik, hindari
keadaan yang menyebabkan deplesi volume cairan
ekstraseluler dan hipotensi hindari gangguan keseimbngan
elektrolit hindari pembatasan ketat konsumsi protein
hewani hindari proses kehamilan dan pemberian obat
kontrasepsi hindari insttrumentsasi (keteterisasi dan
sistoskopi) tanpa indikasi medik yang kuat hindari
pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa
indikasi medik yang kuat.
2. Program memperlambat penurunan progresif faal ginjal
kendalikan hipertensi sistemik dan
intraglomerularkendalikan terapi ISKdiet protein yang
proporsionalkendalikan hiperfosfatemiaterapi
hiperurikemia bila asam urat serum > 10 mg% terapi
keadaan asidosis metabolik kendalikan keadaan
hiperglikemia
3. Terapi alleviative gejala azotemia
pembatasan konsumsi protein hewani terapi gatal-gatal
terapi keluhan gastrointestinal terapi gejala neuromuskuler
terapi kelainan tulang badan sendi, terapi anemia, terapi
setiap infeksi (bakteri, virus HBV atau HCV)
Penanganan CKD dapat dilakukan melalui terapi
farmakologi dan non farmakologi. Strategi terapi yang
digunakan dipilih berdasarkan ada atau tidak adanya diabetes
pada pasien.

B. Tata Laksana Terapi


1. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi yaitu berupa diet rendah protein
(0,6-0,75 g/kg BB/hari), sehingga dapat mencegah
progesivitas gagal ginjal kronik, pada pasien dengan
diabetes maupun tanpa diabetes, meskipun demikian
keuntungannya relatif kecil.
Terapi yang dilakukan yaitu :

1. Mengurangi makanan yang mengandung garam

2. Banyak minum air putih

3. Hemodialisis 3x per minggu

4. Diet sodium (Na) Diet makanan

5. Berolahraga yang cukup


Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai
terapi pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-
sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah
manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea,
kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran
semi permeable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat
pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis
dan ultra filtrasi.

Tujuan Hemodialisa sebagai terapi pengganti, kegiatan


hemodialisa mempunyai tujuan :
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea,
kreatinin dan asam urat
b. Membuang kelebihan air.

c. Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.

d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit


tubuh.

e. Memperbaiki status kesehatan penderita


Proses Dialisis menurut Naibaho (2002), proses dalam
dialisis yaitu :
a) Akses Vaskuler (AV)
Seluruh dialisis membutuhkan akses ke sirkulasi darah.
Pasien kronik memiliki akses permanen berupa fistula
atau graft sementara. AV sangat diperlukan karena
untuk Hemodialisa yang efektif memerlukan aliran
darah yang cukup, sampai lebih dari 300 ml/menit dan
dapat dipakai berulang kali dalam jangka panjang.
b) Membran semipermiabel
Membran semipermiabel berupa lapisan material yang
tipis dan memiliki pori-pori mikroskopik yang
mengeluarkan partikel yang kecil dan menahan molekul
yang lebih besar. Membran semipermiabel ditetapkan
dengan dialiser aktual dan dibutuhkan untuk
mengadakan kontak antara darah dan dialisat sehingga
dialisis dapat terjadi.
c) Proses difusi
Proses difusi adalah proses yang menyebabkan
pemindahan zat terlarut. Substansi berpindah dari area
yang konsentrasinya tinggi ke area dengan konsentrasi
rendah.
d) Proses konveksi (konduksi)
Proses konveksi adalah proses pergeseran secara
bersamaan antara zat terlarut (solute) dan pelarut
(solvent) dari kompartemen darah ke dalam
kompartemen dialisat (dan sebaliknya) melalui
membran semipermiabel.
e) Proses ultrafiltrasi
Proses ultrafiltasi adalah proses ketika cairan
dipindahkan saat dialisis. Pada proses ultrafiltasi terjadi
pergerakan dari cairan akibat beberapa bentuk tekanan.
Ada tiga tipe tekanan pada membran yaitu : tekanan
positif, tekanan negatif dan tekanan osmotik.
Bagaimana haemodialis dilakukan:
Pada proses hemodialisa, darah dialirkan ke luar
tubuh dan disaring di dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah
yang telah disaring kemudian dialirkan kembali ke dalam
tubuh. Rata rata manusia mempunyai sekitar 5,6 s/d 6,8
liter darah, dan selama proses hemodialisa hanya sekitar
0,5 liter yang berada di luar tubuh. Untuk proses
hemodialisa dibutuhkan pintu masuk atau akses agar
darah dari tubuh dapat keluar dan disaring oleh dialyzer
kemudian kembali ke dalam tubuh. Terdapat 3 jenis akses
yaitu arteriovenous (AV) fistula, AV graft dan central
venous catheter. AV fistula adalah akses vaskular yang
paling direkomendasikan karena cenderung lebih aman dan
juga nyaman untuk pasien. Sebelum melakukan proses
hemodialisa (HD), perawat akan memeriksa tanda tanda
vital pasien untuk memastikan apakah pasien layak untuk
menjalani Hemodialysis.
Selain itu pasien melakukan timbang badan untuk
menentukan jumlah cairan didalam tubuh yang harus
dibuang pada saat terapi. Langkah berikutnya adalah
menghubungkan pasien ke mesin cuci darah dengan
memasang blood line (selang darah) dan jarum ke akses
vaskular pasien, yaitu akses untuk jalan keluar darah ke
dialyzer dan akses untuk jalan masuk darah ke dalam
tubuh. Setelah semua terpasang maka proses terapi
hemodialisa dapat dimulai. Pada proses hemodialisa, darah
sebenernya tidak mengalir melalui mesin HD, melainkan
hanya melalui selang darah dan dialyzer. Mesin HD sendiri
merupakan perpaduan dari komputer dan pompa, dimana
mesin HD mempunyai fungsi untuk mengatur dan
memonitor aliran darah, tekanan darah, dan memberikan
informasi jumlah cairan yang dikeluarkan serta informasi
vital lainnya. Mesin HD juga mengatur cairan dialisat yang
masuk ke dialyzer, dimana cairan tersebut membantu
mengumpulkan racun racun dari darah. Pompa yang ada
dalam mesin Hd berfungsi untuk mengalirkan darah dari
tubuh ke dialyzer dan mengembalikan kembali ke dalam
tubuh.
Komplikasi pada Hemodialisa
Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang
sering terjadi pada saat dilakukan terapi adalah :
1. HipotensiKram otot
2. Mual atau muntah
3. Sakit kepala
4. Sakit dada
5. Gatal-gatal
6. Demam dan menggigil
7. Kejang ( Lumenta, 1996 )
Keuntungan Hemodialisa
Dialisa membersihkan darah dengan efektif dalam
waktu singkat, waktu dialisis cepat dan resiko kesalahan
teknik kecil, tidak usah menyiapkan peralatan HD sendiri,
Kondisi pasien lebih terpantau karena prosedur HD
dilakukan di rumah sakit oleh tenaga kesehatan terlatih
dan Jumlah protein yang hilang selama pada proses HD
lebih sedikit.
Kerugian Hemodialisa
Fungsi ginjal yang tersisa cepat menurun,
Ketergantungan pasien dengan mesin hemodialisa,
Kehilangan darah selama hemodialisa, Akses vaskuler
dapat menyebabkan infeksi dan trombosis, sering terjadi
hipotensi dan kram otot, pembatasan asupan cairan dan
diet lebih ketat, kadar hemoglobin lebih rendah, , sehingga
kebutuhan akan eritropoietin lebih tinggi.
2. Terapi Farmakologi
Komplikasi pada gagal ginjal kronis dapat dicegah atau
ditunda dengan menggunakan phosphate-binding agent,
suplemen kalsium, obat antihipertensi, dan eritropoietin
(Epogen).
1) Penanganan hiperfosfatemia
Hiperfosfatemia pada pasien GGK dapat ditangani dengan
menggunakan obat yang dapat mengikat fosfat dalam
traktus GI. Pengikat seperti kalsium karbonat (Os-Cal) atau
kalsium asetat (PhosLo) dapat diberikan, tapi ada risiko
mengalami hiperkalsemia. Jika level kalsium tinggi atau
produk kalsium-fosfor melebihi 55 mg/dL, pengikat fosfat
polimer seperti sevelamer hidroklorida (Renagel) dapat
digunakan (Zonderman & Doyle, 2006). Obat-obat tersebut
mengikat fosfor dalam traktus intestinal. Semua agens-
pengikat harus diberikan bersama dengan makanan agar
bisa efektif.
2) Penanganan hipertensi dan kelebihan volume cairan
Hipertensi ditangani dengan 2 cara, yaitu mengontrol volume
cairan intravaskular dengan menggunakan diuretik seperti
furosemid dengan dosis 300-500 mg serta menggunakan
agens antihipertensi seperti cataprex atau propanolol. Gagal
jantung dan edema pulmoner mungkin membutuhkan
penanganan berupa pembatasan cairan, diet rendah sodium,
diuretik, agens inotropik seperti digoxin atau dobutamine dan
dialisis. ACE-inhibitor dapat diberikan tapi harus dengan
pengawasan ketat.
3) Penanganan anemia
Anemia yang berkaitan dengan GGK ditangani dengan
pemberian eritropoietin manusia rekombinan (Epogen).
Pasien dengan anemia biasanya datang dengan keluhan yang
tidak spesifik seperti malaise, kelelahan dan penurunan
toleransi terhadap aktivitas. Terapi eritropoietin diberikan
agar pasien dapat mencapai nilai hematokrit antara 33%-
38% dan hemoglobin sekitar 12 mg/dL.
Eritropoietin diberikan secara IV atau subkutan 3 kali
seminggu pada pasien GGK. Perlu waktu 2-6 minggu sampai
nilai hematokrit naik; oleh karena itu, terapi ini tidak
diindikasikan pada pasien yang perlu penanganan segera
untuk anemia berat.
4) Penanganan Hiperkalemia dan Asidosis Metabolik
Untuk mengatasi kegawatan akibat hiperkalemia dan asidosis
metabolik dapat diberikan obat-obatan di bawah ini :
- Kalsium glukonas 10%, 10 mL dalam waktu 10 menit
intravena
- Bikarbonas natrikus 50-150 mEq intravena dalam
waktu 15-30 menit
- Insulin dan glukosa : 6 unit insulin dan glukosa 50 g
dalam waktu 1 jam
- Kayexalate (resin pengikat kalium) 25-50 gr oral atau
rektal

Jika terapi farmakologi diatas tidak menunjukkan hasil yang


signifikan, maka jalan terakhir adalah dengan melakukan
dialisis.
Medikasi yang harus diawasi untuk pasien dengan
kerusakan ginjal :
1. ACE inhibitor
Jangan diberikan pada pasien dengan stenosis arteri
renal. Aliran darah ke ginjal tergantung pada denyut
arteriol efferen, dan penurunan denyut arteriol efferen
oleh ACE inhibitor dapat menyebabkan kerusakan fungsi
ginjal yang kadang tidak dapat disembuhkan; obat ini
berisiko menyebabkan hipotensi pada pasien dengan
gagal jantung atau deplesi volume.
2. Aminoglikosida
Aminoglikosida berpotensi menyebabkan risiko
ototoksisitas dan nefrotoksisitas pada pasien dengan
kerusakan ginjal
NSAID (Non-steroidal Antiinflammatory Drugs)
Dapat menimbulkan nefrotoksisitas dan risiko ulkus
peptikum pada pasien dengan sindrom uremik
3. Tetrasiklin
4. Obat ini memiliki efek antianabolik sehingga dapat
meningkatkan kadar urea dalam darah harus dihindari
oleh pasien dengan kerusakan ginjal.
Tabel I. Algoritma tatalaksana terapi untuk mencegah laju
penyakit ginjal pada individu dengan diabetes

Hiperlipidemia Hipertensi

Modifikasi gaya hidup tiap JNC VII


Pembatasan Asupan Kolesterol
Penurunan Bobot Tubuh
Olahraga

Penurunan tekanan darah 130/80

Obat obat penurun kadar lemak Diabetes

Kontrol metabolisme yang buruk


Pembatan Asupan protein 0,6/kgBB/hari

Proteinurea
Intensifikasi kontrol glikemik (Tujuan : Glukosa darah puasa normal 70

Skrining UAE sekali setahun

Injeksi beragamLanjutkan
insulin harian
infus Insulin SC Infus dengan p
roalbuminurea x 2 (30 300
Albuminurea
mg/hari) x 1 (>300 mg/ hari)

Inisiasi terapi dengan ACEI (atau ARB)


Minimalisasi hipoglikemia Monitor glukosa darah sampai empat kali

Titrasi terapi untuk memperoleh efek maksimal pada UAE

Monitor kadar K+, Cr serum dan UAE


Tabel II. Algoritma tatalaksana terapi untuk mencegah laju
penyakit ginjal pada individu non diabetes.

Individu non diabetes

Pengaturan tekanan darah


Pengaturan nutrisi (pembatasan asupan protein)

Hasil yang diharapkan BP <130/80 mmHg

Scr 1,2-2,5 mg/dL GFR 25-55 mL/ menit

Modifikasi gaya hidup JNC VII


Scr<1,2 mg/ dL GFR > 55 mL/
Scr>2,5
menit
mg/ dL GFR 13-24 mL/ menit

Raih target TD secara perlahan


Lanjutkan asupan Batasi
proteinasupan protein sampai 0,6 g/kg/hari
Seleksi inisiasi farmakologi berdasarkan rekomend

Scr atau GFR stabil


Tingkatkan Scr dan atau turunkan GFR
Berikan diuretik retensi cairan terbukti :
Clcr 30 mL/ menit diuretik loop
Diuretik loop + tiazid atau metolazon
Lanjutkan asupan Batasi
proteinasupan protein sampai 0,8 g/kg/hari

Berikan a-bloker, klonidin, minodiksil, atau b-blo

Tabel III. Algoritma tatalaksana hipertensi

TEKANAN DARAH > 130/80 mmHg


APABILA TD >15 20/10 mmHg MELEBIHI TUJUAN, KOMBINASI TAHAP 1
DAN 2 TUJUAN TD = < 130/80 mmHg, atau 125/75 mmHg untuk pasien
dengan proteinuria
TAHAP 1
Cek kembali Scr dan K+ dalam 1 minggu. Apabila Scr atau K+ >30%, h
Mulai dengan inhibitor ACE atau ARB

Tujuan TD tetap tidak tercapai


(<130/80 mmHg, atau < mmHg untuk pasien dengan proteinuria)

TAHAP 2
Tambahkan diuretik

Apabila Clcr 30 mL/ menit, tambahkan


Apabila
diuretik
Clcr < tiazid
30 mL/ menit, tambahkan diuretik ion

Tujuan TD tetap tidak tercapai

TAHAP 3
mbangkan penambahan B-bloker dosis rendah dibandingkan CCB apabila pasien membutuhkan dan mengala

Tujuan TD tetap tidak tercapai

Baseline pulse 84 Baseline pulse 84

TAHAP 4 TAHAP 4
hidropiridin
. Catatan: Penggunaan
CCB apabila-bloker
golongan
dannon-dihidropiridin
nonhidropiridin CCB
sedang
perludigunakan).
dihindari pada
Catatan
lansia: Penggunaan
dan mereka dengan
-bloker dan
abnon

Tujuan TD tetap tidak tercapai

TAHAP 5
au vasodilatar. NOTE : Aganis sentral (seperti klonidin) jangan digunakan bersamaan dengan -bloker karena
BAB III
DESKRIPSI KASUS

Data Gagal Ginjal Kronik


Ibu R (45 th, BB 58 kg), datang ke RS pada tanggal 17 Mei
2015 dengan keluhan nyeri pada abdomen, mual-muntah,
punggung nyeri, tidak nafsu makan, banyak minum, 5 hari
tidak BAB, BAK lancar. Pasien didiagnosa menderita Chronic
Renal Failure (CRF/gagal ginjal kronik)
Data Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan Hasil
Laboratorium Pemeriksaan
15-05-15 Hb 10,5 g/Dl
Ureum darah 387 mg/dL
Kreatinin darah 16,3 mg/dL
Asam urat 17,5mg/dL
17-05-15 Hb 9,4 g/dL
Leukosit 32.600/UI
Htc 27%
Eritrosit 3,18 jt/L
Trombosit 361.000 L
MCV 86,0 fl
MCH 29,6 pgf
MCHC 34,4 g/dl
LED 105 mm/jam
Hitung jenis
Eusinofil 1%
Basofil 0 %
Batang 0%
Segmen 91 %
Limfosit 6%
Monosit 2%
Tanggal Pemeriksaan Hasil
Laboratorium Pemeriksaan
19-05-15 Protein total 7,83 g/dL
Albumin 3,32 g/dL
Globulin 4,60 g/dL
Bilirubin total 0,5 mg/dL
Bilirubin direct 0,22 mg/dL
Bilirubin indirect 0,28 mg/dL
SGOT 9 UI/L
SGPT 10 UI/L
Gamma GT 25 UI/L
Ureum darah 299,8 mg/dL
Kreatinin darah 17,24 mg/dL
Asam urat 15,8 mg/dL
Glukosa sewaktu 149 mg/dL
Elektrolit
Na+ 126 mmol/L
K+ 4,4 mmol/L
Cl- 90 mmol/L
Ca2+ 8,5 mg/Dl
22-05-15 Hb 10,5 g/dL
Htc 32

Catatan perkembangan pasien

Riwayat Penyakit dan


Tanggal Pemeriksaan Fisik (S : subyektif, Tatalaksana
O : obyektif)
17-05-15 S: nyeri pada abdomen, mual, D5% 10 tts/mnt
muntah, punggung nyeri, tidak Ampicillin 3x1 g i.v
nafsu makan, minum banyak, 5 Rantin 2x1 i.v.
hari tidak BAB, sering BAK Impugan 2x1 i.v.
O: TD: 130/80 mmHg,
Riwayat Penyakit dan
Tanggal Pemeriksaan Fisik (S : subyektif, Tatalaksana
O : obyektif)
Nadi: 98x/menit, RR: 22x/menit,
S: 37,4C
Diagnosa:CRF
18-5-15 S: mual, perut bagian bawah D5%
sakit, pinggang sakit Ampicillin 3x1 g i.v
O: TD: 130/80mmHg, Ranitidin 3x1 i.v
Nadi: 80x/menit, RR: 18x/menit, Prorenal 3x1 tab
S: afebris Furosemide 3x1 i.v
Diagnosa: CRF Calos 3x1 tab
Bic. Nat 3x1 tab
19-5-15 S: pusing, mual, perut bagian Ampicillin 3x1 g i.v
bawah sakit Prorenal 3x1 tab
O: TD: 130/70 mmHg, Furosemide 3x1 i.v
Nadi: 80x/menit, RR: 18x/menit, Calos 3x1 tab
Suhu : afebris Bic. Nat 3x1 tab
Diagnosa: CRF D5%
22-5-15 - Pasien menjalani
dialysis
23-5-15 S: perut kanan atas sakit, mual. Ampisilin 3x1 g i.v.
O: TD: 130/80 mmHg, Furosemid 3x1 i.v.
Nadi: 80x/menit, RR: 24x/menit, D5%
S: 36,7C
Diagnosa: CRF
24-5-15 S: Perut kanan atas sakit, mual
O: TD: 130/80 mmHg
Nadi: 80x/menit, S: 36,7oC
Diagnosa: CRF, nefrolithiasis
25-5-15 S: Perut sebelah kanan sakit, Ampisilin 3x1 g i.v.
sakit di pinggang. Furosemide 3x1
O: TD: 110/70 i.v.
Nadi : 80x/menit D5%
Riwayat Penyakit dan
Tanggal Pemeriksaan Fisik (S : subyektif, Tatalaksana
O : obyektif)
o
S: 36,5 C

BAB IV
ANALISA SOAP

Analisa kasus dengan metode SOAP (Subjective,


Objective, Assesment and Plain)
1. Subjective
Nama pasien : Ibu R
Jenis kelamin : Wanita
Umur : 45 tahun
Berat badan : 58 kg
Keluhan : nyeri pada abdomen, mual-muntah, punggung nyeri,
tidak nafsu makan, banyak minum, 5 hari tidak BAB, BAK lancar.
Diagnosa : Chronic Renal Failure (CRF/gagal ginjal kronis).
Pemeriksaan fisik :
nyeri pada abdomen, mual, muntah, punggung nyeri, tidak
nafsu makan, minum banyak,5 hari tidak BAB, sering BAK
pusing, perut bagian bawah sakit, pinggang sakit
perut kanan atas sakit, mual.

Perut sebelah kanan sakit, sakit di pinggang.

2. Objective
Dari data laborat yang diperoleh dibandingkan nilai normal

Hasil Hasil Hasil


Nama Hasil
tanggal tanggal tanggal Nilai
tes tanggal Ket.
15-05- 17-05- 20-05- normal
laborat 19-05-15
15 15 15
Tak
10,5 9,4 10,5 14,0 -
Hb Norm
g/dL g/dL g/dL 18,0
al
Tak
Ureum 387 299,8 11,0-
norma
darah mg/dL mg/dL 55,0
l
Hasil Hasil Hasil
Nama Hasil
tanggal tanggal tanggal Nilai
tes tanggal Ket.
15-05- 17-05- 20-05- normal
laborat 19-05-15
15 15 15
Tak
Kreatin 16,3 17,24mg/
0,6-1,36 norma
darah mg/dL dL
l
Tak
Asam
17,5mg/ 15,8 2,6-7,2 norma
urat
dL l
Tak
32.600/
Leukosit 4,0-12,0 Norm
UI
al
Tak
Htc 27 % 40-52 Norm
32 % al
Tak
3,18
Eritrosit 4,5-5,9 Norm
jt/L
al
Trombos 361.00 Norm
150-400
it 0 L al
79,0- Norm
MCV 86,0 fl
99,0 al
29,6 27,0- Norm
MCH
pgf 31,0 al
33,0- Norm
MCHC 34,40%
37,0 al
105 Tak
LED mm/ja Norm
m al
Hitung
-
jenis
Norm
Eusinofil 1% 1,0-3,0
al
Norm
Basofil 0% 0,0-1,0
al
Hasil Hasil Hasil
Nama Hasil
tanggal tanggal tanggal Nilai
tes tanggal Ket.
15-05- 17-05- 20-05- normal
laborat 19-05-15
15 15 15
Tak
Batang 0% 2,0-6,0 Norm
al
Tak
50,0-
Segmen 91% Norm
70,0
al
Tak
20,0-
Limfosit 6% Norm
40,0
al
Norm
Monosit 2,0-8,0
2% al
Protein Norm
7,83 g/dL 6,0-8,0
total al
Tak
Albumin 3,23 g/dL 3,5-5,2 Norm
al
Tak
Globulin 4,51 g/dL 1,3-3.3 norma
l
Bilirubin 0,5 0,20- Norm
total mg/dL 1,20 al
Bilirubin 0,22 Norm
0,0-0,40
direct mg/dL al
Bilirubin 0,28 Norm
0-0,75
indirect mg/dL al
Norm
SGOT 9 UI/L 0-50
al
Norm
SGPT 10 UI/L 0-50
al
Tak
Gamma
25 UI/L Norm
GT
< 24 al
Hasil Hasil Hasil
Nama Hasil
tanggal tanggal tanggal Nilai
tes tanggal Ket.
15-05- 17-05- 20-05- normal
laborat 19-05-15
15 15 15
Glukosa 149mg/d Norm
70-150
sewaktu L al
Elektro
-
lit
126 Norm
Na+ 35-155
mmol/L al
4,4 Norm
K+ 3,6-5,5
mmol/L al
90 Norm
Cl- 75-108
mmol/L al
8,5 8,08- Norm
Ca2+
mg/dL 10,40 al

Pengukuran tekanan darah dan suhu tubuh


TD: 130/80mmHg,
Nadi: 98x/menit, RR: 22x/menit,
S: 37,4C
TD: 130/80mmHg
Nadi: 80x/menit,RR: 18x/menit
S: afebris
TD: 130/70 mmHg,
Nadi: 80x/menit, RR: 18x/menit,
Suhu : afebris
-
TD: 130/80 mmHg,
Nadi: 80x/menit, RR: 24x/menit,
S: 36,7C
TD: 130/80 mmHg
Nadi: 80x/menit
S: 36,7oC
TD: 110/70
Nadi : 80x/menit
S: 36,5oC

3. Assesment

- Berdasarkan hasil pemeriksaan


10,5 9,4 10,5 14,0 - Tak
Hb
g/dL g/dL g/dL 18,0 Normal
Kesimpulan : kadar Hb dibawah normal hal ini disebabkan
karena gangguan pencernaan, sehingga sari makanan tidak
bisa sempurna diserap oleh tubuh
Ureum 387 299,8 11,0- Tak
darah mg/dL mg/dL 55,0 normal
Kreatin 16,3 17,24mg/ Tak
0,6-1,36
darah mg/dL dL normal
Kesimpulan : kadar Ureum dan Kreatin diatas normal , pasien
di diagnosa mengalami gagal ginjal kronik . Gagal ginjal
kronik yang dialami pasien dikarenakan adanya kerusakan
nefron-nefron ginjal
Tak
Asam 2,6-
17,5mg/ 15,8 norma
urat 7,2
dL l
Kesimpulan : kadar asam urat diatas nilai normal disebabkan
gangguan pencernakan dan asupan makanan. Dapat
memperparah fungsi organ ginjal
Tak
Leukosi 32.600/ 4000-
Norm
t UI 12000
al
Htc 27 % 32 40-52 Tak
% Norm
al
Tak
Eritrosi 3,18 4,5-
Norm
t jt/L 5,9jt/L
al
Kesimpulan :
- Leukosit, hasil diatas normal dimungkinkan adanya infeksi
di dalam tubuh
- Eritrocit, hasil dibawah normal. Karena kadar ureum diatas
normal dapat menyebabkan rusaknya eritrocit
- Htc, hasil dibawah normal, karena hasil eritrocit dibawah
normal, hasil leukosit diatas normal, namun tidak banyak
berpengaruh terhadap hasil Htc.
Protein 7,83 6,0-
Normal
total g/dL 8,0
3,23 3,5-
Albumin Tak Normal
g/dL 5,2
4,51 1,3-
Globulin Tak normal
g/dL 3.3
Kesimpulan :
- Albumin, hasil dibawah normal disebabkan karena
gangguan fungsi pencernakan dan kurangnya asupan
makanan dan minuman.
- Globulin, hasil diatas normal terjadi karena hasil protein
total dikurangi albumin
- Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pasien yaitu
130/80 mmHg maka pasien di diagnosa tidak menderita
hipertensi

- Berdasarkan keluhan :
Nyeri pada abdomen, mual, muntah, punggung nyeri,
tidak nafsu makan ,minum banyak,5 hari tidak BAB,
sering BAK
Pusing, perut bagian bawah sakit, pinggang sakit
Perut kanan atas sakit, mual.
Perut sebelah kanan sakit, sakit di pinggang.
keluhan ini merupakan manifestasi dari berlebihnya kadar
ureum di dalam darah.
- Berdasarkan pemeriksaan suhu : afebris (tidak mengalami
demam) suhu 36,7oC sampai 37,4C
- Berdasar obat yang di dapat

D5% 10 tts/mnt
Ampicillin 3x1 g i.v
Rantin 2x1 i.v.
Impugan 2x1 i.v.
Ranitidin 3x1 i.v
Prorenal 3x1 tab
Furosemide 3x1 i.v
Calos 3x1 tab
Bic. Nat 3x1 tab

D5 % menunjukkan kadar gula pasien tidak tinggi / tidak DM


Ampicillin (antibiotik ) untuk pengobatan adanya infeksi
dalam tubuh
Rantin / ranitidin untuk pengobatan adanya gangguan
lambung
Impugan / furosemid untuk mengatasi adanya udem
Prorenal untuk pengobatan ginjal
Calos karena kurangnya kadar calcium

Bic natric karena adanya ganguan lambung (kembung)

4. Planning

Tujuan Terapi :
Tujuan Terapi Jangka Pendek.
Mengatasi symptom (keluhan) yang dirasakan pasien
yaitu mual, lemas dan sakit di ulu hati.
Mengatasi infeksi saluran kemih.
Meningkatkan kadar albumin pasien untuk mengatur
tekanan osmotik di dalam darah (mempertahankan
volume darah).
Tujuan Terapi Jangka Panjang :
Mempertahankan fungsi ginjal agar dapat berfungsi
seoptimal mungkin.
Meningkatkan kualitas hidup pasien.
Sasaran Terapi :
- Mengobati infeksi saluran kemih
- Mengatasi symptom mual, lemas dan sakit di ulu hati
- Mempertahankan fungsi ginjal.
Strategi Terapi :
a. Terapi Farmakologi
- D5% 10 tts/mnt
- Ampicillin 3x1 g i.v tiap 8 jam
- Rantin 2x1/ ranitidin i.v. tiap 12 jam
- Impugan/ furosemid 2x1 i.v. tiap 12 jam
- Prorenal 3x1 tab
- Calos 3x1 tab

- Bic. Nat 3x1 tab

Ampicilin (ISO volume 49 halaman 92 tahun 2014-


2015)
a. Nama obat : ampisilin
b. Indikasi : infeksi saluran pernafasan
broncopneuminia, otitis
media, infeksi saluran nafas,saluran
kemih, infeksi
alat kelamin wanita.
c. Mekanisme aksi : menghambat sintesa dinding sel
bakteri
d. Dosis : dewasa dan anak berat 20 kg : sehari 3-
4 x 250mg
500mg ; anak BB<20 kg:50-
100mg/kgBBtiap 6 jam. Diberikan 1 jam
sebelum makan
e. Kontraindikasi : hipersensitifitas terhadap penicillin
f. Efeksamping : ruam kulit, urtikaria, hangguan GI
g. Interaksiobat : ampisilin jika diberikan bersamaan
dengan
allopurinol dapat meningkatkan reaksi
hipersensitivitas, obat antikoagulan
warfarin dan obat probenezid dapa
tmeningkatkan kadar ampisilin dalam
plasma sehingga meningkatkan efek
farmakologi ampisilin, ampisilin dapat
menurunkan efektivitas obat kontrasepsi
oral.
h. Analisisbiaya : kemasandus 10 x 10 Rp. 37.000

Rantin (ISO volume 49 halaman 428 tahun 2014-2015)


a. Nama obat : ranitidine HCl setara ranitidine 150mg
b. Indikasi : ulkus lambung termasuk yang sudah
resisten
terhada psimetidin, ulkus duodenum,
hipersekresi asam lambung pada
sindrom Zollinger Ellison
c. Mekanismeaksi : mengurangi produksi asam
lambung
d. Dosis :dewasa : sehari 2x 1 tablet pagi dan malam
sebelum tidur.
Pada sindrom Zollinger Ellison : dosis
dapat ditingkatkan sampai 900mg/hari.
Bila ada gangguan ginjal :sehari 1x
tablet pada malam hari. Pada lansia
dosis dikurangi.
e. Kontraindikasi : hipersensitif
f. Efeksamping : sakit kepala
g. Interaksi obat : pemberian ranitidine bersamaan
dengan warfarin
dapat meningkatkan atau menurunkan
protrombin.
h. Analisis biaya : kemasandus 10 x 10 tablet 150mg Rp.
420.000,
5 ampul 2ml Rp. 95.000

Impugan (ISO volume 49 halaman 245 tahun 2014-


2015)
a. Nama obat : furosemide 10mg/ml injeksi, 40mg/tab
b. Indikasi : edema jantung, paru, ginjal, hepar,
hipertensi
c. Mekanismeaksi : menghambat penyerapan kembali
natrium oleh
sel tubuli ginjal
d. Dosis : inj awal : IM atau IV : 2-4ml ; edema
paru : IV
4ml dapat diulang setelah 20 menit
kemudian ; tablet : dosis awal : -1
tablet sehari, dosis dapat dinaikkan
secara bertahap (interval antara 6-8
jam) sampai diperoleh hasil yang
memuaskan ; bila telah dicapai dosis
harian optimal, maka dosis ini dapat
dibagi dua, pagi dan siang hari ; dosis
optimal dalam sehari berkisar antara -
6 tablet.
e. Kontraindikasi : pasien dengan gangguan defisiensi
kalium,
glumerolunefritis akut, insufisiensi ginjal
akut, wanita hamil dan pasien yang
hipersensitif terhadap furosemide.
Anuria. Ibu menyusui.
f. Efeksamping : gangguan fungsi ginjal, hematologi, SSP
sertakulit
g. Interaksi obat : penggunaan bersamaan antara
furosemide dan
ACE inhibitor menyebabkan hipotensi
berat dan penurunan fungsi ginjal.
h. Analisisbiaya : kemasandus 5 ampulRp. 37.000 ; 10 x
10 tablet
Rp. 172.000

Ranitidin (ISO volume 49 halaman 428 tahun 2014-


2015)
a. Nama obat : ranitidine 150mg/tablet, 25mg/ampul
b. Indikasi : pengobatan jangka pendek tukak
duodenum aktif,
tukak lambung aktif, mengurangi gejala
refluksesophagitis. Terapi pemeliharaan
setelah penyembuhan tukak duodenum
dan lambung, sindroma Zollinger-Ellison.
c. Mekanismeaksi : mengurangi produksi asam
lambung
d. Dosis : dewasa : sehari 2x 1 tablet pagi dan
malam
sebelum tidur. Padasindrom Zollinger
Ellison : dosis dapat ditingkatkan sampai
900 mg/hari. Bila ada gangguan ginjal
:sehari 1x tablet pada malam hari.
Pada lansia dosis dikurangi.
e. Kontraindikasi : hipersensitiv
f. Efek samping : sakit kepala
g. Interaksi obat : pemberian ranitidine bersamaan
dengan warfarin
dapat meningkatkan atau menurunkan
protrombin.
h. Analisis biaya : kemasandus 10 x 10 tablet Rp. 20.000

Prorenal (ISO volume 49 halaman 368 tahun 2014-


2015)
a. Nama obat : DL-3-metil-2-okso-asam valerat 67mg,
4-metil-2
okso-asam valerat 101mg, 2-okso-3-
fenil-asampropionat 68mg, 3-metil-2-
okso-asam butriat 86mg, DL-2-hidrosi-4-
metiltio-asam butirat 59mg, L-
lisinmonoasetat 105mg, L-treonin 52mg,
L-tirosin 30mg.
b. Indikasi : insufisiensi ginjal kronik dalam
hubungan dengan
diet tinggi kalori rendah protein pada
retensi yang terkompensasi atau tidak
terkompensasi.
c. Mekanismeaksi : melibatkan dalam proses
metabolism tubuh.
d. Dosis : dewasa dengan BB 70kg. Insufisiensi
ginjal kronik
: sehari 3x 4-8 tablet ; retensi yang
terkompensasi : sehari 3x 4-6 tablet
dengan nutrisi tinggi kalori rendah
protein.
e. Kontraindikasi : hipersensitif
f. Efek samping : hiperkalsemia
g. Interaksi obat : jika mengkonsumsi obat lain secara
bersamaan,
efek dari Prorenal dapat berubah. Ini
dapat meningkatkan resiko untuk efek
samping atau menyebabkan obat tidak
bekerja dengan baik. Propenal dapat
berinteraksi dengan obat dan produk
seperti acetaminophen, amitriptyline,
arginine, aspirin, clonazepam,
fluoxetine.
h. Analisisbiaya : kemasan 10 x 10 tablet salut selaput
Rp. 600.000

Calos (ISO volume 49 halaman 288 tahun 2014-2015)


a. Nama obat : Cakarbonat (setaradengan 500mg Ca)
b. Indikasi : pencegahan dan pengobatan defisiensi
atau
ganguan metbolisme Casptriketsia,
osteoporosis
c. Mekanisme aksi :-
d. Dosis : sehari 1-2 kapsul
e. Kontraindikasi : hiperkalsemia berat, hiperkalsiuria,
infusiensi
ginjal
f. Efek samping : jarang terjadi, flaturen, diare, atau
konstipasi
g. Interaksiobat : -
h. Analisis biaya : kemasan dus kaplet chewable Rp.
48.000

Bic. Nat
a. Nama obat : natrium bicarbonat
b. Indikasi : mengendalikan asidosis metabolic
c. Mekanismeaksi : bekerja dengan menetralkan
kelebihan asam di
dalam darah
d. Dosis : 1-5 gram obat bubuk natrium
bicarbonate yang
perlu dilarutkan dalam segelas air lalu di
minum setiap 4-6 jam sekali.
e. Kontraindikasi : hipersensitiv
f. Efek samping : reaksialergi, kejangotot
g. Interaksi obat : -
h. Analisis biaya : -

b. Terapi Non Farmakologi

Dialisis (cuci darah) dilakukan dengan frekuensi minimal


2-3 kali seminggu, lamanya cuci darah minimal 4-5 jam
untuk setiap kali tindakan. Dialisis dilakukan pada gagal
ginjal kronis pada stadium akhir dimana GFR nya < 15
ml/menit.
Cukup asupan cairan (cukup minum) menurut keadaan
ginjal dan jumlah produksi air seni. Biasanya cairan yang
diperlukan tubuh berkisar antara 1500-2000 ml per hari.
Jika jumlah air seni berkurang, pemberian cairan dilakukan
berdasarkan jumlah urine ditambah kehilangan air yang
tidak terlihat seperti melalui tinja, keringat dan paru-paru.
Diet tinggi protein untuk pasien yang menjalani cuci darah
secara kontinue. Menghitung asupan protein bisa
dilakukan dengan berat badan yang sebenarnya atau BB
tanpa edema dikalikan dengan 1,2 g protein/hari (untuk
pasien cuci darah).
Pengaturan keseluruhan asupan energi dari makanan.
Orang normal komposisi makanannya 60 KH: 20 lemak:
20 protein. Bila pasien cuci darah maka komposisi
makanan dengan perbandingan 55 KH: 30 lemak: 15
protein. Bila pasien tidak cuci darah perbandingannya
adalah 60 KH: 30 lemak: 10 protein.
Dianjurkan untuk menggunakan protein hewani. Karena
pada protein hewani banyak mengandung asam amino
essensial yang penting untuk tubuh namun tubuh tidak
bisa memproduksi sendiri, contoh : glutamine.
Membatasi asupan natrium (garam). Asupan Na yang
dianjurkan bagi pasien yang menjalani cuci darah adalah
800-100 mmol (1840-2300 mg Na) atau 4,5-5,8 g NaCl.
contoh makanannya adalah margarine, coklat, susu,
daging dan ikan.
Membatasi asupan kalium hingga 50-60 mmol/hari atau
sekitar 3 g per hari. Untuk pasien yang menjalani cuci
darah adalah 1 mmol (39 mg kalium). Contoh
makanannya adalah : havermut, kentang, singkong,
kacang hijau, kacang kedelai, bayam, daun pepaya muda,
cokelat, teh dan susu.
Meningkatkan kadar kalsium hingga 9-11 mg/dl., kadar
kalsium dalam cairan dialisat harus disesuaikan dengan
kebutuhan pasien.
Membatasi asupan magnesium hingga 300 mg per hari.
Membatasi asupan fosfor hingga 8-12 mg/KgBB/hari.
Sedangkan pada pasien yang menjalani cuci darah,
asupan fosfor dapat sedikit dinaikkan menjadi 17
mg/KgBB/hari. Contohnya makanannya adalah jenis
serelia (beras, ketan hitam, beras jagung), kacang-
kacangan (kacang mete, kacang hijau, kedelai), telur
(telur ayam kampung, telur bebek), makanan laut
(kerang, telur ikan, terasi, teri kering, teri segar, udang
kering) dan susu.
Dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang
mengandung zat besi sekitar 15 mg seperti protein
hewani (daging merah dan hati).
Menghindari stress fisik dan mental karena dapat
meningkatkan tekanan darah dan gula darah.
Melakukan olahraga rutin yang ringan seperti jalan di pagi
hari selama jam.
BAB V
PEMBAHASAN

Penderita CKD perlu mendapatkan penatalaksanaan secara


khusus sesuai dengan derajat penyakit CKD, bukan hanya
penatalaksanaan secara umum. Menurut Suwitra (2006), sesuai
dengan derajat penyakit CKD dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 2.1
Derajat CKD
Sumber : Suwitra 2006.
LFG
Deraj
(ml/mnt/1,87 Perencanaan Pelaksanaan Terpi
at
3 m2 )
1 >90 Dilakukan terapi pada penyakit
dasarnya,
kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan
2 60 89 (progresion) fungsi ginjal, memperkecil
resiko
3 0 59 kardiovaskuler.
Menghambat pemburukan
4 15 29 (progresion) fungsi
5 <15 ginjal.
Mengevaluasi dan melakukan terapi
pada
komplikasi.
Persiapan untuk pengganti ginjal
(dialisis).
Dialysis dan mempersiapkan terapi
penggantian
ginjal (transplantasi ginjal).

Menurut Suwitra (2006) penatalaksanaan untuk CKD


secara umum antara lain adalah sebagai berikut :
1. Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar
CKD adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga
peningkatan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal
yang masih normal secara ultrasono grafi, biopsi serta
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan
indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya bila
LFG sudah menurun sampai 2030 % dari normal terapi
dari penyakit dasar sudah tidak bermanfaat.
2. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan
penurunan LFG pada pasien penyakit CKD, hal tersebut
untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini
antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
yang tak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obatobat nefrotoksik, bahan radio
kontras, atau peningkatan aktifitas penyakit dasarnya.
Pembatasan cairan dan elektrolit pada penyakit CKD
sangat diperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk
mencegah terjadinya edema dan komplikasi
kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang antara
masukan dan pengeluaran urin serta Insesible Water Loss
(IWL). Dengan asumsi antara 500-800 ml/hari yang sesuai
dengan luas tubuh. Elektrolit yang harus diawasi dalam
asupannya adalah natrium dan kalium. Pembatasan kalium
dilakukan karena hiperkalemi dapat mengakibatkan aritmia
jantung yang fatal. Oleh karena itu pembatasan obat dan
makanan yang mengandung kalium (sayuran dan buah)
harus dibatasi dalam jumlah 3,5- 5,5 mEg/lt. sedangkan
pada natrium dibatasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi dan edema. Jumlah garam disetarakan dengan
tekanan darah dan adanya edema.
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal.
Penyebab turunnya fungsi ginjal adalah hiperventilasi
glomerulus yaitu :
a. Batasan asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60
ml/mnt, sedangkan diatas batasan tersebut tidak
dianjurkan pembatasan protein. Protein yang dibatasi
antara 0,6-0,8/kg sebesar 30-35 kkal/ kg BB/hr dalam
pemberian diit. Protein perlu dilakukan pembatasan
dengan ketat, karena protein akan dipecah dan
diencerkan melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat.
Namun saat terjadi malnutrisi masukan protein dapat
ditingkatkan sedikit, selain itu makanan tinggi protein
yang mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan ion
anorganik lain yang diekresikan melalui ginjal. Selain itu
pembatasan protein bertujuan untuk membatasi asupan
fosfat karena fosfat dan protein berasal dari sumber
yang sama, agar tidak terjadi hiperfosfatemia.
b. Terapi farmakologi untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Pemakaian obat anti hipertensi
disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko
komplikasi pada kardiovaskuler juga penting untuk
memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan
cara mengurangi hipertensi intraglomerulus dan
hipertrofi glomerulus. Selain itu pemakaian obat
hipertensi seperti penghambat enzim konverting
angiotensin (Angiotensin Converting Enzim / ACE
inhibitor) dapat memperlambat perburukan fungsi
ginjal. Hal ini terjadi akibat mekanisme kerjanya sebagai
anti hipertensi dan anti proteinuri.
4. Pencegahan dan terapi penyakit kardio faskuler merupakan
hal yang penting, karena 40-45 % kematian pada penderita
CKD disebabkan oleh penyakit komplikasinya pada
kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk pencegahan dan
terapi penyakit vaskuler adalah pengendalian hipertensi,
DM, dislipidemia, anemia, hiperfosvatemia, dan terapi pada
kelebian cairan dan elektrolit. Semua ini terkait dengan
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi CKD secara
keseluruhan.
5. CKD mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan LFG.
Seperti anemia dilakukan penambahan / tranfusi
eritropoitin. Pemberian kalsitrol untuk mengatasi
osteodistrasi renal. Namun dalam pemakaiannya harus
dipertimbangkan karena dapat meningkatkan absorsi
fosfat.
6. Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada
tahap CKD derajat 4-5. Terapi ini biasanya disebut dengan
terapi pengganti ginjal.

1. Monitoring dan Follow up


Dimonitor kadar glukosa darah untuk mencegah
morbiditas (komplikasi ) dan mortaitas. Pada pasien
Ibu R ( 45 th) kadar glukosa darah normal. Tetapi
sebaiknya dites glukosa darah puasa dan tes dua jam
setelah puasa untuk diagnosa diabetes melitusnya.
Karena glukosa darah sewaktu tidak dapat
menetukan ada atau tidaknya diabetik.
Dimonitor tekanan darah pasien. Tujuan terapi
antihipertensi adalah untuk memelihara tekanan
darah arteri di bawah 140/90 mmHg untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
Tetapi pada pasien Ibu R (45th) tekanan darah
normal jadi tidak memerlukan terapi tambahan untuk
hipertensinya.
Dimonitor keluhan nyeri pada pasien. Analgetik perlu
ditambahkan karena keluhan pasien nyerinya. Karena
itu merupakan vital sign ke lima dan harus
diselesaikan keluhan nyerinya dan sebaiknya
dilakukan USG abdomen untuk menegakkan
nefrolitiasis atau bukan.
Dimonitor kadar Ureum darah dan Kreatinin darah
karena dari data hasil laboratorium diatas normal ,
pasien di diagnosa mengalami gagal ginjal kronik .
Gagal ginjal kronik yang dialami pasien dikarenakan
adanya kerusakan nefron-nefron ginjal. Dan pasien
sudah harus melakukan dialisis. Terapi obat yang
diberikan yaitu bic. Nat, furosemid dan pro renal
sudah cukup.
Dimonitor kadar leukosit. Dari data hasil laboratrium,
leukositnya diatas normal dimungkinkan adanya
infeksi di dalam tubuh. Leukosit tinggi sudah indikasi
antibitika. Antibiotik dapat diberikan adalah
broadspektrum golongan sefalosporin.
Dimonitor kadar hemoglobin. Dari data hasil
laobratorium, Hb dibawah normal. Terapi eritropoietin
perlu diberikan agar pasien dapat mencapai nilai
hematokrit antara 33%-38% dan hemoglobin sekitar
12 mg/dL. Eritropoietin diberikan secara IV atau
subkutan 3 kali seminggu pada pasien GGK. Perlu
waktu 2-6 minggu sampai nilai hematokrit naik oleh
karena itu, terapi ini tidak diindikasikan pada pasien
yang perlu penanganan segera untuk anemia berat.
Suplemen nutrisi yang dapat diberikan pada pasien
anemia pada gagal ginjal kronik adalah asam folat,
piridoksin, dan vitamin B12 (dan vitamin lain). Asam
Folat dan vitamin B12 merupakan dua komponen
adjuvant yang berperan dalam pembentukan sel
darah merah. Defisiensi asam folat dan vitamin B12
merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya
target terapi eritropoietin (Drueke, 2001; Teschner
dkk., 2002). Hal ini disebabkan karena defisiensi
asam folat dan vitamin B12 mengakibatkan
gangguan/terhentinya sintesis asam nukleat DNA
(Teschner dkk., 2002), sehingga terbentuk sel darah
merah yang besar (megaloblastik) dengan selaput
sel darah merah yang tipis serta umur sel darah
merah yang pendek (Guyton dan Hall, 1997).
Defisiensi asam folat danvitamin B12 umumnya tidak
terjadi pada pasien gagal ginjal tahap awal, tapi
banyak terjadi pada pasien yang menjalani dialisis,
karena asam folat dan vitamin B12 hilang/tercuci
pada saat dialisis (Teschner dkk., 2002; Hudson,
2008). Multivitamin dan asam folat ini biasanya
diberikan setiap hari untuk mencegah defisiensi
karena dialisis (Wilson dan Price, 2002).
2. Komunikasi, edukasi, dan informasi

Pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi cukup


asupan cairan (cukup minum) menurut keadaan
ginjal dan jumlah produksi air seni. Biasanya cairan
yang diperlukan tubuh berkisar antara 1500-2000 ml
per hari. Jika jumlah air seni berkurang, pemberian
cairan dilakukan berdasarkan jumlah urine ditambah
kehilangan air yang tidak terlihat seperti melalui
tinja, keringat dan paru-paru.
Pasien dianjurkan untuk menggunakan protein
hewani. Karena pada protein hewani banyak
mengandung asam amino essensial yang penting
untuk tubuh namun tubuh tidak bisa memproduksi
sendiri, contoh : glutamine
Pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan
yang mengandung zat besi sekitar 15 mg seperti
protein hewani (daging merah dan hati).
Pasien dianjurkan untuk diet garam karena jika
natrium turun glomeruli, maka air akan lebih banyak
dikeluarkan untuk menormalisasi kadar garam dalam
darahsehingga tekanan turun darah turun.
Pasien dianjurkan menghindari stress fisik dan
mental karena dapat meningkatkan tekanan darah
dan gula darah.
Pasien dianjurkan melakukan olahraga rutin yang
ringan seperti jalan di pagi hari selama jam.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan
cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerular (LFG) kurang
dari 50 mL/menit.
Gangguan ginjal dalam tahap ringan masih dapat diatasi dengan minum
banyak air putih. Kurang minum air putih ternyata dapat mengganggu fungsi
ginjal. Namun, kalau sudah gagal ginjal, hanya bisa diatasi dengan cuci
darah ataua cangkok ginjal yang biayanya sangat mahal.
Organ ginjal meskipun ukurannya kecil bersifat sangat vital. Ginjal
berfungsi untuk menjaga keseimbangan serta mengatur konsentrasi dan
komposisi cairan didalam tubuh. Ginjal juga berfungsi untuk membersihkan
darah dan berbagai zat hasil metabolisme serta racun didalam tubuh. Sampah
dari dalam tubuh tersebut akan diubah menjadi air seni (urin). Air seni
diproduksi terus menerus diginjal, lalu dialirkan melalui saluran kemih
dikandung kemih. Bila cukup banyak urin didalam kandung kemih, maka
akan timbul rangsangan untuk buang air kecil. Jumlah urin yang dikeluarkan
setiap hari sekitar 1-2 liter. Selain itu, ginjal juga berperan untuk
mempertahankan volume dan tekanan darah, mengatur kalsium pada tulang,
mengatur produksi sel darah merah, dan menghasilkan hormon seperti
erytropoetin, renin, dan vitamin D.
Gagal ginjal dapat diterapi dengan jalan hemodialisis (cuci darah).
Dialisis adalah proses pemisahan (penyaringan) sisa-sisa metabolisme
melalui selaput semipermiabel dalam mesin dialiser. Darah yang sudah
bersih kemudian dipompa kembali kedalam tubuh. Cuci darah bisa dilakukan
dirumah sakit atau klinik yang memilki unit hemodialisis. Frekuensi cuci
darah bergantung pada kondisi klien.
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kerusakan faal ginjal yang hampir
selalu tak dapat pulih, dan dapat disebabkan berbagai hal. Istilah uremia telah
dipakai sebagai nama keadaan ini selama lebih dari satu abad, walaupun
sekarang kita sadari bahwa gejala gagal ginjal kronik tidak seluruhnya
disebabkan retensi urea dalam darah.
Adapun kriteria penyakit ginjal kronik adalah :
Kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih, berupa
kelainan struktur ataufungsi ginjal, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus (LGF), berdasarkan :

- Kelainan patologik atau


- Pertanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada komposisi darah
atau urin, atau kelainan pada pemerikasaan pencitaraan.
LFG <60 ml/menit/1,73 m2 yang terjadi selama 3 bulan
atau lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Banyak hal yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronik.


Banyak penyakit ginjal yang mekanisme patofisiologinya
bermacam-macam tetapi semuanya sama-sama
menyebabkan destruksi nefron yang progresif

B. Saran
Sebagai tindakan pencegahan sebaiknya kita banyak
melakukan olahraga, menjaga asupan nutrisi yang adekuat
serta istirahat yang teratur.
Semoga dengan pembelajaran ini kita sebagai mahasiswa
keperawatan, akan lebih mudah mengetahui seluk beluk
penyakit Gagal Ginjal Kronik, bagaimana gejala hingga
komplikasinya sehingga kita mampu memberikan asuhan
keperawatan yang tepat untuk pasien penderita gagal ginjal
kronik kelak.
DAFTAR PUSTAKA

Mubin, Halim. 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan
Terapi Edisi 2. EGC. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 4. Balai Penerbitan Dep. IPP.
FKUI. Jakarta
Sukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Pusat
Informasi Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK.UNPAD. Bandung.
Tim penyusun Ikatan Apoteker Indonesia. 2011. ISO Farmakoterapi Edisi 2.
Jakarta
Tim penyususn Ikatan Apoteker Indonesia. 2015. Informasi Spesialite Obat
Indonesia Volume 49. Jakarta
Aru W Sudoyo, dkk. 2009. Jilid 3. Edisi V. Penyakit Ginjal Kronik. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai