Anda di halaman 1dari 9

FITOTERAPI DASAR

RHINITIS ALERGI DAN NON ALERGI

Disusun Oleh :

Iqlima Swandi ( 1408010131 )

Farida Romandhani ( 1408010168 )

Nolarisa Yuliasetiati ( 1408010169 )

Iffa Felasyifa ( 1408010173 )

Laxmita Permata Winardi ( 1408010176 )

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERT

2016
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

1.2 GEJALA DAN TANDA

1.3 Tujuan terapi

1.4 Fitoterapi yang digunakan untuk rhinitis :

1. Kunyit (Curcuma longa Linn.)

2. Meniran (Phyllanthus niruri L.)

3. Teh hijau (Camellia sinensis L.)

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang
berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti
radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir (mukosa hidung) hidung
(Von Pirquet, 1986). Rhinitis terdiri dari beragam jenis, yaitu; rhinitis alergika,
rhinitis vasomotor. Salah satu yang cukup sering terjadi adalah rhinitis
alergika. Penyakit ini masih sering terjadi di dalam masyarakat, bukan
penyakit yang fatal namun gejala yang ditimbulkan sangat mengganggu
yang berakibat penurunan kualitas hidup seseorang.
Rhinitis alergika merupakan salah satu penyakit yang
pengobatannya tidak mudah dan menghabiskan biaya yang tinggi. Rhinitis
juga memiliki potensi untuk mengalami komplikasi sebab rhinitis mengalami
hubungan dengan penyakit atopik seperti asma dan dermatitis (Von Pirquet,
1986). Rhinitis alergika adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopik yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).
WHO melalui International Rhinitis Management Working Group dan
Allergic Rhinitis and Impact of Asthma (ARIA) pada tahun 2001
mendefinisikan rhinitis alergika adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin, rhinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantai IgE. Gejala dan tanda rhinitis alergika ini adalah
hidung gatal, bersin, pilek, hidung tersumbat, bahkan disertai juga dengan
rasa malas, lelah, nyeri kepala. Gejala dan tanda ini menyebabkan
penurunan kualitas hidup seseorang (WHO, 2001).
Pengobatannya tergolong tidak mudah dan membutuhkan biaya
mahal. Pengobatan yang sering diberikan para dokter adalah terapi
simptomatik. Pencegahannya antara lain menghindari alergen (WHO, 2001).
Rhinitis alergika memiliki potensi komplikasi yang tersering, seperti
polip nasi, sinusitis, dan disfungsi tuba (WHO, 2001). Prevalensi rhinitis
alergika di Amerika Utara 10-20%, di Eropa sekitar 1015%, Thailand sekitar
20%, Jepang sekitar 10%, sedangkan di Indonesia, sekitar 1026%
pengunjung poliklinik THT di beberapa rumah sakit besar datang dengan
keluhan rhinitis alergika (Rusmono N, 1993).
Rhinitis Non-Alergika disebabkan oleh infeksi saluran nafas ( Rhnitis
Viral dan rhinitis bakterial, masuknya benda asing kedalam hidung,
deformitas struktural, neoplasma, dan masa, penggunaan kronik
dekongestanasal, penggunaan kontrasepsi oral, kokain dan anti hipertensif.
Seiring berkembangnya waktu, penggunaan obat-obat herbal makin
sering digunakan untuk menghadapi berbagai penyakit yang ada saat ini.
Sebab obat kimia membutuhkan biaya tinggi dan sulit menyembuhkan
rhinitis alergika. Obat herbal yang digunakan untuk mengatasi rhinitis
alergika adalah meniran, sambiloto, kunyit, temulawak, pegagan, Urtica
Dioica, Euphrasia officinalis, Horseradish. Obat herbal yang digunakan kali ini
adalah meniran, kunyit dan Teh hijau.

1.2. Gejala dan Tanda Alergi


Bersin berulangkali
Hidung berair (rhinorrhea)
Tenggorokan, hidung, kerongkongangatal
Mata merah, gatal, berair
Post-nasal drip

Gejala dan Tanda Non Alergi

Hidung tersumat
Hidung berair
Lendir ( dahak ) dalam tenggorokan
Tidak menyebabkan hidung, mata, atau tenggorokan menjadi gatal

1.3. Tujuan Terapi


Untuk mengurangi gejala pasien dan Meminimalkan gejala pasien
seperti :
1. Mengurangi Rhinorrhea, Bersin dan Hidung gatal
2. Mengurangi hidung tersumbat
3. Meningkatkan kualitas hidup
4. Meningkatkan produktifitas
5. Mencegah Komplikasi
6. Mencegah kejadian rhinitis
7. Menghilangkan gejala rhinitis
8. Menghilangkan penyebab rhinitis alergi

1.4. Fitoterapi dengan mengutamakan tumbuhan obat indonesia :


1. Kunyit (Curcuma longa Linn.)
Kunyit mempunyai sinonim Curcuma domestica Val. Bagian dari
tanaman kunyit yang biasa dimanfaatkan adalah rimpang atau akarnya.
Selain digunakan sebagai bumbu makanan kunyit juga digunakan sebagai
pengawet makanan, pewarna dan obat tradisional diberbagai negara
seperti India, China dan beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia. Selain sebagai bumbu makanan, di Indonesia kunyit
dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan jamu.
Kandungan aktif kunyit yang memberi warna kuning pada kunyit
adalah pigmen polifenol kurkuminoid, yang terdiri dari tiga komponen
yaitu curcumin (77%), demethoxycurcumin (18%), dan
bisdemethoxycurcumin (5%). Kadar kurkuminoid berkisar antara 2-4% dari
rimpang kunyit kering. Selain komponen kurkuminoid tersebut kunyit juga
mengandung minyak atsiri, protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan lain-
lain.Kurkuminoid menunjukan berbagai macam aktivitas biologis, tetapi
curcumin yang merupakan komponen aktif utamalah yang paling banyak
diteliti dan mempunyai aktivitas biologi sebagai antiinflamasi, antikanker,
antioksidan, antidislipidemia dan antidiabetes.
Ekstrak Kunyit sebagai Antiinflamasi pada Alergi. Mekanisme
antiinflamasi ekstrak kunyit pada reaksi alergi yaitu dengan menurunkan
produksi sitokin IL-4, IL-5, dan IL-13 dari TH2 dan meningkatkan produksi
IFN- dari TH1 yang menghambat aktivitas sitokin TH2. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ekstrak kunyit dapat meregulasi respon imun pada
alergi dari TH2 dominan menjadi TH1 dominan.
Curcumin dapat mempengaruhi jalur MAPK dengan menekan
moleku lMitogen-Activated Protein Kinase (MAPK) antara lain ERK, p38, JNK
dan NF-JB p65, yaitu faktor transkripsi yang penting dalam pengendalian
sintesis dan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast yang diaktifkan
selama inflamasi alergi. Selain itu protein tirosin kinase Fyn, Lyn dan Syk
yang berperan dalam produksi mediator dalam sel mast juga dihambat
dengan pemberian curcumin. Sehingga curcumin berpotensi menghambat
reaksi inflamasi pada alergi dengan menekan produksi dan pelepasan
mediator inflamasi.
Regimen Terapinya:
Pemberian ekstrak curcumin per oral dengan dosis 100 mg/kgBB dan 200
mg/kgBB dan intranasal dengan dosis 2,5 mg/kgBB dan 5,0 mg/kgBB
mempunyai efek antiinflamasi pada reaksi alergi dengan menurunkan
gejala rinitis alergi, menghambat sekresi mediator dan sitikin inflamasi.

2. Meniran (Phyllanthus niruri L.)


Meniran (Phyllanthus niruri L.) tumbuh di tempat yang lembab dan
berbatu, seperti di sepanjang saluran air, semak-semak, dan tanah
diantara rerumputan. Meniran tumbuh liar juga di tanah datar dan daerah
pegunungan hingga tinggi 1 mm sampai 1000 m dari permukaan laut.
Tumbuhan ini tumbuh liar di tempat terbuka pada tanah gembur, berpasir
di ladang, tepi sungai dan di pantai, bahkan tumbuh liar di sekitar
pekarangan rumah. Tanaman ini menyebar luas hampir ke setiap daerah
tropis ataupun subtropis seperti India, Cina, Malaysia, Filipina, dan
Australia (Dalimarta, 2000).
Meniran memiliki kandungan di dalamnya memiliki efek
immunodulator. Kandungan meniran yang berefek antiinflamasi
diharapkan juga dapat mengurangi reaksi inflamasi termasuk pada
penderita rhinitis alergika. Salah satu bahan komponen flavonoid yaitu
Quercetin, merupakan komponen aktif dapat mengurangi ekspresi mRNA
enzim siklooksigenase dengan akibat pengurangan pembentukan
prostaglandin yang berasal dari asam arakhidonat, sehingga mengurangi
reaksi inflamasi (Leary & William, 2003).
Quercetin menghambat enzim histidin dekarboksilase yang
mengurangi sintesis histamin (Budi Prakorso, 2006). Quercetin juga
memiliki aktivitas sebagai antioksidan dengan memberikan elektron
kepada radikal bebas agar lebih stabil dan mengurangi inducible nitric
oxide synthase (iNOS) yang berperan dalam pembentukan nitric oxide
(NO) yang berasal dari L-Arginine (Sam, 2004). NO merupakan faktor
kemotaktik bagi sel-sel radang yang akan menambah reaksi inflamasi
(Robbins & Kummar, 1995). Dengan demikian, pemberian herbal meniran
diharapkan mengurangi jumlah sel radang dan gejala rhinits alergika.
Regimen Terapi :
Bagian herba yang digunakan adalah seluruh tumbuhan dengan dosis 150
gr 300 gr herba meniran perhari dalam bentuk infusa.

3. Teh hijau (Camellia sinensis L.)


Teh hijau adalah salah satu dari hasil perkebunan Indonesia yang
memiliki manfaat sangat besar. Teh hijau dengan nama Latin Camelia
sinensis ini dapat tumbuh didaerah beriklim tropis dengan ketinggian 200-
2000 meter diatas permukaan laut. Teh hijau banyak digunakan sebagai
alternatif pengobatan secara herbal. Besarnya efek samping yang
ditimbulkan oleh terapi farmakologis, membuat pengobatan secara
alternatif ini sangat banyak dilakukan.
Teh hijau dikenal mengandung antioksidan sangat tinggi yang
mampu memberikan perlawanan terhadap radikal bebas. Selain itu, teh
hijau juga dikenal sebagai antikanker, antimikroba, menurunkan kolesterol
darah, mengurangi gula darah, mencegah arthritis, mencegah kerusakan
hati, mencegah gigi berlubang, mencegah resiko keracunan makanan dan
sebagai penurunan berat badan.
Teh Hijau memiliki kandungan polifenol yang berfungsi sebagai
imunomodulator pada pasien rinitis alergika. Polifenol teh hijau juga
mempunyai aktivitas sebagai antiinflamasi dan antialergi. Salah satu
komponen polifenol adalah epigallocatechingallate (EGCG) yang berperan
dalam menstimulasi produksi interleukin-1 alpha (IL-1), interleukin-1 beta
(IL-1), tumor necrosis factor alpha (TNF- ). EGCG juga dapat membantu
proses fagositosis, meningkatkan ketahanan limfosit, proliferasi limfosit,
sekresi IL-12 makrofag, meningkatkan IFN-, dan menghambat
pengeluaran histamin. EGCG juga berperan menghambat ikatan antara
FcRI dan IgE sehingga akan menghambat pengeluaran histamin. FcRI
berperan penting dalam penginduksi dan juga mempertahankan respons
alergi yang diperantarai oleh IgE seperti pada rinitis alergika.9 FcRI juga
berfungsi sebagai reseptor IgE yang menempel pada permukaan sel mast
atau basofil dan berperan dalam menghambat IL-2 yang bersumber dari
sel T. Hambatan IL-2 akan memberi efek terhadap fungsi IL-2 yang secara
normal merespons sel B untuk mengeluarkan antibodi dan salah satu
antibodi yang dihambat pengeluarannya adalah IgE sehingga akhirnya
akan mengurangi kadar IgE pada pasien rinitis alergika.
Regimen Terapi :
Mengkonsumsi ekstra teh hijau sebanyak 1,5 gr teh hijau yang
mengndung 8,5 mg EGCG dan 43,5 mg EGCG selama 11 minggu.

4. Cabai (Capsicum annum)


Rhinitis adalah penyakit multifaktorial ditandai dengan gejala
bersin-bersin, rhinorrhea, postnasal drip, dan hidung tersumbat.
rhinitis non-alergi ditandai dengan gejala rinitis tanpa sensitisasi
sistemik etiologi infeksi. Berdasarkan endotypes, kita dapat
mengkategorikan rhinitis non-alergi menjadi endotype inflamasi
dengan peradangan biasanya eosinophilic meliputi setidaknya LPN
dan LAR dan bagian dari rhinitis obat diinduksi (misalnya, aspirin
intoleransi) dan endotype neurogenik meliputi rhinitis idiopatik,
rhinitis gustatory, dan rhinitis dari orang tua. Pasien dengan rhinitis
idiopatik memiliki ekspresi TRPV1 awal yang lebih tinggi di mukosa
hidung dari kontrol yang sehat. Capsaicin (8-metil-N-vanillyl-6-
nonenamide) adalah komponen aktif dari cabai, tanaman dari genus
Capsicum. Capsaicin adalah unik di antara senyawa iritan alami
karena eksitasi neuronal awal ditimbulkan oleh itu diikuti oleh
periode refrakter tahan lama, di mana neuron bersemangat
sebelumnya tidak lagi responsif terhadap berbagai rangsangan.
Pasien dengan idiopathic manfaat rhinitis dari pengobatan
intranasal dengan capsaicin. Ekspresi TRPV1 berkurang pada pasien
dengan rhinitis idiopatik setelah perawatan capsaicin. Baru-baru ini,
dalam tinjauan Cochrane, efektivitas capsaicin dalam pengelolaan
rhinitis idiopatik dievaluasi dan penulis menyimpulkan bahwa
mengingat bahwa banyak pilihan lain tidak bekerja dengan baik
dalam rhinitis non-alergi, capsaicin adalah pilihan yang wajar untuk
mencoba di bawah pengawasan dokter. Capsaicin belum terbukti
efektif dalam rhinitis alergi atau dalam bentuk lain dari rhinitis non-
alergi seperti endotypes inflamasi atau endotypes neurogenic lain
seperti rhinitis dari rhinitis tua atau merokok diinduksi.
saraf sensorik yang berasal bentuk ethmoidal dan cabang
nasopalatinus dari saraf trigeminal mengirimkan masukan sensorik
aferen dari epitel hidung, pembuluh darah, dan kelenjar sekresi.
ujung saraf ini memperpanjang dekat dengan permukaan epitel
hidung dan antara persimpangan ketat dari sel epitel. serabut saraf
ini menanggapi iritasi lingkungan seperti asap rokok, nyeri, dan
variasi suhu. Aktivasi saraf aferen hidung oleh faktor aspecific hasil
tanggapan eferen defensif, seperti bersin, dan kelenjar dan / atau
aktivasi pembuluh darah, yang mengarah ke rhinorrhea dan hidung
tersumbat. Kedua reseptor transient potensial ankyrin 1 (TRPA1)
dan vanilloid 1 (TRPV1) reseptor berlimpah dinyatakan dalam saraf
sensorik C-serat ini dan dapat diaktifkan oleh sejumlah mediator
inflamasi endogen. serat C sering didefinisikan sebagai jatuh dalam
dua kategori besar, peptidergic dan non-peptidergic. The
peptidergic C serat juga dapat secara lokal melepaskan
neuropeptida (antidromic jalur) seperti substansi P atau gen
kalsitonin terkait-peptide (CGRP) setelah stimulasi reseptor TRP. Rilis
neuropeptida ini menimbulkan vasodilatasi, ekstravasasi dan
hipersekresi mengakibatkan gejala rhinitis. Pasien dengan rhinitis
idiopatik dibandingkan dengan kontrol yang sehat telah terbukti
overexpress TRPV1 di mukosa hidung, dan mereka telah
meningkatkan tingkat SP di sekret hidung .
Regimen terapi : gunakan semprotan capcaisin selama kurang dari
2 minggu.
Daftar Pustaka

Curr Allergy Asthma Rep. 2016. Capsaicin for Rhinitis. US National Library
of Medicine
National Institutes of Health
Dalimarta, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Trubus, Agriwidya: Bogor

Partomuan Simanjuntak. 2012. STUDI KIMIA DAN FARMAKOLOGI TANAMAN KUNYIT (Curcuma
longa L) SEBAGAI TUMBUHAN OBAT SERBAGUNA. Bogor : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI)

Von Pirquet, G., 1986. Allergy. Munchen Med. Wschr. 53 : 1479

WHO, 2001, Quality control methods for medicinal plant materials, Geneva:
World Health Organization

Yusni dkk, Jurnal Aktivitas Polifenol Teh Hijau (Camellia sinensis (L) O.Kuntze)
Sebagai Imunomodulator melalui Respons Supresi Imunoglobulin E
(Ig E) pada Rinitis Alergika.

Anda mungkin juga menyukai