Anda di halaman 1dari 31

FARMAKOTERAPI TERAPAN

STUDI KASUS III


(GAGAL GINJAL KRONIK)

Disusun oleh :

1. Atika Najma Furaida (202211101067)


2. Ikhar Ridho Dayli (202211101068)
3. Sofyan Dimas N (202211101069)
4. Ajeng Merdeka Putri (202211101070)
5. Vinda Aisya Vira (202211101071)
6. Intan Mauren O.S (202211101072)

Dosen Pengampu : Ema Rachmawati, M.Sc., Apt.

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB I. TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi dan Patofisiologi

Crhonic Kidney Disease (CKD) atau penyakit Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan
suatu penyakit erupakan perkembangan gagal ginjal yang bersifat progresif dan lambat, dan
biasanya berlangsung selama satu tahun. Ginjal kehilangan kemampuan untuk
mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan
normal (Wilson, 2006). Kelainan struktural pada GGK antara lain albuminuria >30mg/hari,
hematuria pada sedimen urin, riwayat transplantasi ginjal, atau lain sebagainya. GGK stadium
V atau disebut dengan gagal ginjal terjadi apabila GFR turun di bawah 15 mL/menit / 1,73 m2
(<0,14 mL/detik/m2) atau pada pasien yang menerima terapi penggantian ginjal (RRT) dalam
hal ini yaitu pasien yang menerima dialisis. Prognosis tergantung pada penyebab penyakit
ginjal, derajat albuminuria, laju filtrasi glomerulus (GFR) saat diagnosa, dan kondisi
komorbiditas lainnya (DiPiro dkk., 2015).
Penentuan kadar kreatinin serum merupakan salah satu metode paling umum dan murah
untuk mengetahui fungsi ginjal. Kadar kreatinin akan meningkat apabila kemampuan filtrasi
kreatinin menurun akibat dari disfungsi renal. Peningkatan kadar kreatinin serum dua kali
lipat mengindikasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 50%, demikian juga
peningkatan kadar kreatinin serum tiga kali lipat merefleksikan penurunan fungsi ginjal
sebesar 75% (Alfonso dkk., 2016).

Patofisiologi penyakit ini meliputi :


a. Faktor rentan yang dapat meningkatkan resiko penyakit ginjal namun tidak langsung
menyebabkan penyakit ginjal seperti berat badan lahir, lanjut usia, massa ginjal
berkurang, riwayat keluarga, ras/etnis tertentu, dislipidemia, dll
b. Faktor inisiasi yang secara langsung dapat menyebabkan penyakit ginjal dan dapat
dimodifikasi dengan terapi obat seperti diabetes mellitus, glomerulonefritis,
hipertensi, nefropati HIV, dll
c. Faktor perkembangan yang mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah inisiasi
kerusakan ginjal seperti glikemia pada pasien diabetes, hipertensi,proteinuria,
obesitas, hiperlipidemia, dan merokok
d. Hilangnya massa nefron, hipertensi kapiler glomerulus, dan proteinuria yang
menyebabkan kerusakan parenkim ginjal yang tidak dapat disembuhkan dan stadium
akhir penyakit ginjal. (DiPiro dkk., 2015).

Inisiasi dari penyakit tambahan seperti Diabetes mellitus dapat meningkatan glukosa
pada pasien diabetes yang menahun (glukotoksisitas) sehingga menjadi faktor yang
melandasi timbulnya nefropati yang berujung kerusakan ginjal. CKD diabetes ditandai
dengan ekspansi mesangial glomerulus dan nefrosklerosis hipertensi, arteriol ginjal memiliki
hyalinosis arteriol. Glukotoksisitas meningkatkan AGE’s (advance glycosilation endproducts)
yang memicu kerusakan pada glomerulus ginjal dan gangguan osmolaritas membran basal.
Faktor penyakit klinis lain seperti hipertensi dan hiperlipidemia memang tidak berhubungan
langsung dengan terjadinya nefropati, tetapi keduanya mempercepat progesivitas ke arah
GGK. Hipertensi akan mempengaruhi proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal
glomeruli, sedangkan hiperlipidemia mempengaruhi ekspansi mesangial glomerulus.
Berdasarkan DiPiro (2015), patofisiologi CKD dapat dilihat lebih lanjut pada Gambar
dibawah ini

1.2 Faktor Risiko


Faktor risiko dari suatu penyakit dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor risiko yang
dapat diubah dan tidak dapat diubah.
1.2.1 Gagal Ginjal Kronik (GGK)

GGK memiliki faktor risiko yang dapat diubah meliputi diabetes, hipertensi,
proteinuria tinggi, infeksi saluran kemih, penyakit autoimun. Sedangkan fator risiko
yang tidak dapat diiubah adalah riwayat keluarga dengan kerusakan ginjal, dan faktor
usia (Foundation, 2002).

1.2.2 Hipertensi

Faktor risiko pada hipertensi yang tidak dapat diubah meliputi faktor keturunan,
usia, jenis kelamin. Sedangkan yang bisa diubah adalah dislipidemia, pola makan, dan
stres (Dipiro, J.T., Tabert, R.J., and Yee, G.C., Martzke, G.R., and Possey, L.M., 2015)

1.3 Gejala Klinis


1.3.1 GGK
Tanda-tanda klinis pada penyakit GGK yaitu :
a) Pasien GGK stadium 1 atau 2 biasanya tidak tampak gejala atau gangguan
metabolisme yang terlihat seperti yang tampak pada stadium 3 sampai 5, seperti
anemia, hiperparatiroidisme sekunder, penyakit kardiovaskular, malnutrisi, dan
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang umum terjadi sebagai tanda
fungsi ginjal yang memburuk.
b) Kelelahan, lemas, napas pendek, kebingungan, mual, muntah, perdarahan, dan
anoreksia biasanya tidak nampak pada stadium 1 dan 2. Gejala tersebut terjadi
minimal pada stadium 3 dan 4 dan umum terjadi pada stadium 5 yang juga
mengalami gatal-gatal, intoleransi dingin, penambahan berat badan, dan neuropati
perifer.
c) Perubahan Data Laboratorium:
 BUN dan SCr
 Stadium 1-2 : BUN dan SCr normal, terjadi sedikit penurunan GFR
 Stadium 3-5 : BUN dan SCr meningkat, GFR menurun.
 Elektrolit
Stadium 5 : peningkatan kalium, magnesium, fosfat, dan penurunan bikarbonat
 Albumin
Mengalami penurunan pada stadium 5
 Hematologi
Penurunan sel darah merah (RBC), Hb, Hct, iron stores (serum ferritin, total ion
binding capacity (TIBC), transferin satuation (Tsat) (Joseph T. DiPiro, Barbara G.
Wells, 2015).

1.3.2 Hipertensi
Tanda-tanda klinis hipertensi pada penyakit gagal ginjal kronis yaitu :
a) Pasien dengan hipertensi primer tanpa komplikasi biasanya tidak menunjukkan
gejala di awal.
b) Pasien dengan hipertensi sekunder memiliki gejala lain. Pasien dengan
Feokromositoma akan merasakan gejala seperti sakit kepala, berkeringat, takikardi,
palpitasi, dan hipotensi ortostatik. Pasien dengan Cushing sindrom akan menglamai
gejala penambahan berat badan, poliuri, edema, ketidakteraturan menstruasi, jerawat
kambuhan, lemah otot (Joseph T. DiPiro, Barbara G. Wells, 2015).

1.3.3. Edema peritoneal


Edema merupakan tanda dan gejala yang umum pada kelebihan volume
cairan. Edema merujuk kepada penimbunan cairan di jaringan subkutis dan
menandakan ketidak seimbangan gaya-gaya starling (kenaikan tekanan intravaskuler
atau penurunan tekanan intravaskuler) yang menyebabkan cairan merembes ke
dalam ruang interstisial. Edema akan terjadi pada keadaan hipoproteinemia dan
gagal ginjal yang parah seperti gagal ginjal kronis (Thomas & Tanya, 2012). Edema
peritoneal merupakan penumpukan cairan di rongga peritoneal. Penumpukan cairan di
rongga peritoneal akan menyebabkan perut membesar. Pada keadaan normal, jumlah
cairan peritoneal tergantung pada keseimbangan antara aliran plasma ke dalam dan
keluar dari darah dan pembuluh limfa. Apabila keseimbangan tersebut terganggu
maka terbentuklah ascites. Ketidakseimbangan kadar plasma mungkin disebabkan
oleh peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan tekanan vena, penurunan
protein (tekanan onkotik), atau peningkatan obstruksi limfa (Huang et al., 2014).

1.4 Tatalaksana Terapi


1.4.1 Terapi Farmakologi GGK
Pada terapi farmakologi untuk pasien GGK bertujuan untuk memperlambat
progress dari penyakit dan mengatasi kondisi komplikasi pada GGK. Sehingga pada
penangannya perlu dilakukannya modifikasi faktor penyebab meliputi hipertensi dan
diabetes serta mengatasi kondisi komplikasi pada pasien GGK seperti anemia,
gangguan ellektrolit, gangguan asam-basa, azotema dan komplikasi pada sistem
pencernaan (Cecily v dkk., 2009).

Strategi terapi untuk mencegah perkembangan penyakit ginjal pada individu non
diabetes
1.4.2 Terapi Non Farmakologi GGK
Pada terapi non-farmakologi meliputi pengelolaan nutrisi tubuh yang baik dengan
mengurangi asupan protein, yaitu dengan dilakukannya diet rendah protein berikisar 0,6
hingga 0,75 g / kg / hari. sehingga dapat menunda perkembangan penyakit gagal ginjal
pada pasien dengan atau tanpa diabetes, walaupun manfaatnya relatif kecil. Sedangkan
untuk pasien yang menerima dialisis menjaga asupan protein dari 1,2 g/kg/hari sampai
1,3g/kg/hari (Cecily v dkk., 2009).

1.4.3. Terapi farmakologi DM pada GGK

Pasien diabetes harus diskrining setiap tahun untuk CKD mulai saat diagnosis
diabetes tipe 2 dan 5 tahun setelah diagnosis diabetes tipe 1 dengan memesan serum
kreatinin, eGFR, dan rasio albumin-kreatinin urin (ACR).
Penatalaksanaan diabetes pada pasien CKD meliputi penurunan proteinuria
dan pencapaian tekanan darah yang diinginkan dan HbA1c. Target HbA1c pada
populasi pasien ini harus 7% (0,07; 53 mmol / mol Hb); Namun, dokter dapat
mempertimbangkan target yang lebih besar dari 7% (0,07; 53 mmol / mol Hb) jika
ada risiko hipoglikemia atau harapan hidup terbatas (Peringkat bukti: 1A). Perlu
dicatat bahwa pengukuran HbA1C didasarkan pada asumsi rentang hidup sel darah
merah selama 90 hari. Pada CKD, rentang hidup sel darah merah menurun, sehingga
nilai HbA1c mungkin salah rendah. Oleh karena itu, pada pasien dengan CKD,
HbA1c harus diinterpretasikan bersama dengan pembacaan glukosa darah pasien
sebelum membuat penentuan kontrol diabetes. Penting juga untuk dicatat bahwa
pasien dengan CKD 3 dan 4 berisiko lebih tinggi mengalami hipoglikemia karena
penurunan metabolisme insulin oleh ginjal karena penurunan GFR. Akibatnya,
pasien ini mungkin memerlukan pengurangan dosis agen hipoglikemik oral atau
injeksi. Metformin dapat dilanjutkan pada pasien dengan eGFR lebih dari atau sama
dengan 45 mL/menit/1,73 m2; ditinjau pada mereka yang memiliki eGFR 30 hingga
44 mL/ menit /1,73 m2, dan dihentikan pada individu dengan eGFR kurang dari 30
mL/menit/1,73 m2 (Tingkat bukti: tidak dinilai). Penyesuaian dosis atau
menghindari hipoglikemik yang mungkin diperlukan. (DiPiro, 2017)
1.4.4 Terapi hipertensi pada GGK

Penurunan tekanan darah pada pasien gagal ginjal akut berhubungan dengan
penurunan proteinuria. Berdasarkan KDOQI merekomendasikan untuk target
penurunan tekanan darah sebesar <140/90 mmHg pada pasien dengan proteinuria <
30mg/hari atau tekanan darah <130/90 mmHg pada pasien dengan proteinuria >30
mg/hari (Cecily v dkk., 2009).
Pada terapi penggunaan antihipertensi dapat dapat menurunkan tekanan
kapiler dan volume pada glomerulus sehingga dapat mengurangi jumlah protein
yang disaring melalui glomerulus. Hal tersebut akan mengurangi perkembangan
gangguan ginjal kronis.Penggunaan antihipertensi diantaranya (Cecily v dkk., 2009)
 ACEI (Angiotensin Converting Enzym Inhibitor), ARB (Angiotensin Reseptor
Blocker), CCB (Calcium Channel Blocker) non dihidropiridin
 Jika tujuan tekanan darah belum tercapai digunakan Beta blocker, Hidralazin,
Furosemide (jika terdapat udema)
BAB 2. ANALISIS SOAP STUDI KASUS GGK

Ny. ATM usia 56 tahun, BB 67 kg, TB 159 cm MRS ke IGD dengan keluhan sesak
nafas, mual-muntah, lemas, tidak nafsu makan. Sesak nafas yang sudah dirasakan sejak 2
bulan yang lalu. Pasien juga mengeluhkan perutnya kembung dan terasa penuh seperti terisi
cairan. BAB normal, BAK keluar hanya sedikit meskipun pasien minum banyak. Pasien juga
mengeluh gatal-gatal di seluruh tubuh dan muncul bentol kemerahan pada seluruh tubuh.
Pasien memiliki riwayat DM (14 tahun), Hipertensi (28 tahun). Pasien mengaku rutin
menggunakan glibenklamid dan HCT.

Hasil pemeriksaan TTV saat MRS TD 170/90, Nadi 92x/menit, RR 27x/menit, Suhu 36ºC.
Pemeriksaan fisik GCS 456, sesak nafas (+++), muntah (++), gatal (+++), bentol merah
(+++), udema peritoneal (++), udema kaki (++). Data laboratorium GDA 262 mg/dL,
GD2JPP 209 mg/dL, GDP 190 mg/dL, HbA1C 8,9%, Hb 8,6 g/dL, Hct 25%, BUN 32
mg/dL, Scr 5,6 mg/dL, Albumin 3,1 g/dL, proteinuria (3+).

Diagnosa pasien : CKD stage V, udema peritoneal, HT stage 2

Terapi hari kesatu :


MRS : NS 500cc 12 tpm, O2 2L/menit, Furosemid 2x40mg (iv), Metoklopramid 3x10 mg
(iv), Amlodipin 1x10 mg (iv), Glibenklamid 1x5 mg (po), Metformin 3x500 mg (po),
Clonidin 2x0,15 mg (po), CTM 1x2 mg (po)

Pemeriksaan hari kedua :


 TTV : TD 160/90, Nadi 92x/menit, RR 26x/menit, suhu 36,5ºC
 Pemeriksaan fisik : fisik GCS 456, sesak nafas (++), muntah (+-), gatal (++), bentol
merah (++), udema peritoneal (++), udema kaki (++)
 Data laboratorium : Asam urat 8,8 mg/dL, Na, 143 mg/dL, K 5,7 mg/dL, Cl 95 mg/dL,
Ca 7,9 mg/dL, GDA 233 mg/dL
Terapi hari kedua :
NS 500cc 12 tpm, O2 2L/menit, Furosemid 2x40mg (iv), Metoklopramid 3x10 mg (iv),
Amlodipin 1x10 mg (iv), Glibenklamid 1x5 mg (po), Metformin 3x500 mg (po), Clonidin
2x0,15 mg (po), CTM 1x2 mg (po), Metilprednisolon 1x6,25 mg (iv), Novorapid 10iu +
D40% 50 ml (iv), Allopurinol 3x200 mg (po)

Pemeriksaan hari ketiga :


 TTV : TD 170/80, Nadi 92x/menit, RR 26x/menit, suhu 36,5ºC
 Pemeriksaan fisik : fisik GCS 456, sesak nafas (++), muntah (+-), gatal (+-), bentol
merah (++), udema peritoneal (++), udema kaki (+-)
 Data laboratorium : Na, 145 mg/dL, K 5,1 mg/dL, Cl 98 mg/dL, Ca 7,9 mg/dL, GDA
245 mg/dL, BUN 30 mg/dL, Scr 5,8 mg/dL.

Terapi hari ketiga :


NS 500cc 12 tpm, O2 2L/menit, Furosemid 2x40mg (iv), Metoklopramid 3x10 mg (iv),
Amlodipin 1x10 mg (iv), Glibenklamid 1x5 mg (po), Metformin 3x500 mg (po), Clonidin
2x0,15 mg (po), CTM 1x2 mg (po), Metilprednisolon 1x6,25 mg (iv), Allopurinol 3x200 mg
(po), Novorapid 3x8 iu (sc)
Pharmaceutical Care Plan
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. ATM
Umur : 56 tahun BB: 67 kg TB: 159 cm
Tanggal MRS :-
Tanggal KRS :-
Diagnosis : CKD stage V, Udema Peritoneal, HT stage 2, DM 2
II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
- Sesak nafas (Sejak 2 bulan lalu)
- Mual-muntah, lemas, tidak nafsu makan.
- Perut kembung dan terasa penuh seperti terisi cairan.
- BAK keluar hanya sedikit meskipun sudah minum banyak.
- Gatal-gatal dan muncul bentol kemerahan pada seluruh tubuh.

2.2. Riwayat Penyakit :


- Diabetes Melitus (14 tahun)
- Hipertensi (28 tahun)

2.3. Riwayat Pengobatan :


- Glibenklamid
- HCT (Hidroklortiazid)

2.4. Riwayat Keluarga/Sosial : -

2.5. Alergi Obat : -


III. OBJEKTIF
A. Tanda-tanda vital
Nilai Tanggal
Parameter
Normal H-1 H-2 H-3
Suhu (C) 37 36 36,5 36,5
Tekanan darah
120/80 170/90 160/90 170/80
(mmHg)
Nadi (x/menit) 60 - 100 92 92 92
RR (x/menit) 14 - 20 27 26 26

B. Tanda-tanda klinik
Tanggal
Gejala fisik
H-1 H-2 H-3
GCS 456 456 456
Sesak Nafas +++ ++ ++
Muntah ++ +- +-
Gatal +++ ++ +-
Bentol Merah +++ ++ ++
Udema Peritoneal ++ ++ ++
Udema Kaki ++ ++ +-
C. Data laboratorium
Nilai Tanggal
Parameter
Normal H-1 H-2 H-3
GDA (mg/dL) <200 262 233 245
GD2JPP (mg/dL) <200 209 - -
GDP (mg/dL) <135 190 - -
HbA1C (%) 7 8,9 - -
Hb (g/dL) 13 - 16 8,6 - -
Hct (%) 33 - 43 25 - -
BUN (mg/dL) 6 - 23 32 -- 30
Scr (mg/dL) 0,6 - 1,2 5,6 - 5,8
Albumin (g/dL) 3,5 - 4,5 3,1 - -
Proteinuria - 3+ - -
Asam Urat (mg/dL) 2-8 - 8,8 -
Na (mg/dL) 135 - 145 - 143 145
K (mg/dL) 3,5 - 5 - 5,7 5,1
Cl (mg/dL) 95 - 105 - 95 98
Ca (mg/dL) 8,8 - 10,8 - 7,9 7,9
IV. TERAPI PASIEN
Tanggal
Nama Obat Dosis & rute
H-1 H-2 H-3
NS 500cc 12 tpm (iv)   
O2 2L/menit   
Furosemid 2 x 40mg (iv)   
Metoklopramid 3 x 10mg (iv)   
Amlodipin 1 x 10mg (iv)   
Glibenklamid 1 x 5mg (po)   
Metformin 3 x 500mg (po)   
Clonidine 2 x 0,15mg (po)   
CTM 1 x 2mg (po)   
Metilprednisolon 1 x 6,25mg (iv) -  
10iu (iv) + D40% 50mL
-  -
Novorapid (iv)
3 x 8iu (sc) - - 
Allopurinol 3x200mg (po) -  
V. Analisis SOAP

Problem Medis Subjektif/Objektif Terapi Analisis Obat DRP Plant and Monitoring
Plan:
- Merupakan antihistamin
Subyektif : Terapi dilanjutkan
CTM - Dapat mengurangi efek
- BAK sedikit senyawa histamin alami dalam dengan penambahan
1x2 mg (p.o)
meski minum tubuh. dosis CTM menjadi 1
Dosis to Low
banyak - Histamin dapat memberikan x 4 mg secara peroral
- Gatal gatal efek bersin, gatal-gatal, mata Monitor:
diseluruh tubuh berair, dan hidung berair Monitor bentol merah
GGK stadium V
- Muncul bentol (Drugs.com). dan gatal-gatal
kemerahan di
seluruh tubuh - Merupakan obat golongan
kortikosteroid
Methilprednisolon - mencegah pelepasan senyawa Unnecessary drug therapy Plan : Terapi
Obyektif : -
1x6,25 mg (iv) dalam tubuh yang dihentikan
menyebabkan inflamasi
(Drugs.com).

Subyektif/ Plan &


Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP
Obyektif Monitoring
Plan:
Terapi NS 500cc
Subyektif: -
dihentikan dan
- Infus NS mengandung NaCl
digantikan dengan
Obyektif: - Infus NS digunakan untuk
terapi RL
K (mg/dL) menjaga keseimbangan Ineffective Drug:
Ketidakseimban NS 500cc
-H2 : 5,7 kada elektrolit tubuh More effective drug
gan elektrolit 12 tpm (iv) Monitoring:
-H3 : 5,1 - Natrium merupakan available
Memonitoring
Ca (mg/dL) elektrolit yang mengatur
udema peritoneal
-H2 : 7,9 jumlah air didalam tubuh
dan kaki
-H3 : 7,9
Memonitoring
kadar K dan Ca
Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Subyektif: - Obat golongan Calcum - Adverse Drug
Riwayat Channel blocker (CCB) Reaction:
Plan:
penyakit pasien (Medscape.com) Penggunaan
Mengganti
Hipertensi (28 - Bekerja dengan melebarkan amlodipin memiliki
Amlodipin (golongan
tahun) (memperlebar pembuluh efek samping udema
CCB) dengan obat
darah dan meningkatkan perifer sehingga
golongan ARB
Obyektif: aliran darah (Drugs.com) menyebabkan udema
(Losartaan 1 x 25mg
TD (mmHg) Amlodipin - Digunakan untuk peritoneal pasien
(po)) (DIH 17th,
-H1 : 170/90 1 x 10mg (iv) mengobati hipertensi, terapi (MIMS)
2009)
-H2 : 160/90 gejala stabil angina kronik, - Manajemenhipertemsi
-H3 : 170/80 vasospastic angina (DIH, pada CKD komplikasi
Monitoring:
K (mg/dL) Pharmacotherapy of DM dapat digunakan
Memonitoring
-H2 : 5,7 Handbook 9) ACEI/ARB sebagai
tekanan darah dan
-H3 : 5,1 - Dosis perhari 5mg dengan first line therapy
Hipertensi Stage udema
Ca (mg/dL) maksimal dosis 10mg (Dennisonhimmerfarb
2
-H2 : 7,9 perhari (Lacy dkk, 2009) C dkk, 2014)
-H3 : 7,9 Plan:
Udema Terapi dilanjutkan
- Obat golongan Central Alfa
peritoneal karena penghentian
Agonist (Dipiro Ed 9th)
-H1 : ++ tiba-tiba akan
- Digunakan sebagai terapi
-H2 : ++ menyebabkan
tambahan (adjunct therapy)
-H3 : ++ terjadinya rebound
Clonidine pada pasien hipertensi
Udema kaki hypertension
2 x 0,5mg (po) untuk membantu
-H1 : ++ (peningkatan tekanan
menurunkan tekanan darah
-H2 : ++ darah yang sehingga
pada pasien CKD dengan
-H3 : +- dapat menimbulkan
hipertensi (Sica Domenic
Asam urat stroke hemoragik)
MD, 2008)
(mg/dL) (BNF, 2019)
-H2 : 8,8 mendadak dan
dilakukan
penyesuaian dosis
jika pasien
disarankan untuk
hemodialisis

Monitoring:
Memonitoring
tekanan darah
- Obat antihipertensi
golongan Loop Diuretik
yang memiliki onset lebih
cepat dan efek diuretiknya
lebih kuat dibandingkan
dengan Thiazid Plan:
(Medscape.com) - Adverse Drug Terapi dilanjutkan
- Bekerja dengan Reaction:
mengeluarkan atau Penggunaan Monitoring:
Furosemid
meringankan udema Furosemid memiliki Memonitoring
2 x 40mg (iv)
(Medscape.com) efek samping tekanan darah,
- Dosis awal 20-40mg, dosis meningkatkan kadar udema, kadar asam
dapat ditingkatkan 20mg asam urat urat, Na, Ca, dan K
setiap interval 2 jam hingga
efek tercapai. Pemberian
intravena harus perlahan
dengan kecepatan tidak
melebihi 4mg/menit
(Evaria, 2018)
Subyektif/
Problem Medis Terapi Analisis Obat DRP Plan & Monitoring
Obyektif
Objektif Glibenklamid 1x5 Merupakan obat golongan Ineffective Drug: Plan: Terapi
Diabetes Melitus -hari ke 1 GDA : mg (po) sulfonil urea yang memiliki Metabolit aktif dari dihentikan.
262 mg/dL efek utama meningkatkan glibenklamid
G2JPP : 209 sekresi insulin sel beta diekskresikan melewati Monitoring: Kadar
mg/dL GDP : pankreas. Dosisnya 2,5-20 mg ginjal sehingga gula darah (GDA,
190 mg/dL perhari dan dosis maksimalnya pemberian glibenklamid GD2JPP, GDP) dan
HA1C : 8,9% 20 mg perhari. (Lacy dkk, pada kondisi CKD tidak HbA1C (ADA, 2018)
2009) direkomendasikan
-hari ke 2 GDA (ADA, 2017)
: 233 mg/dL Kontra indikasi : hindari jika
pasien kemungkinan
-hari ke 3 GDA : mengalami porpirias akut.
245 mg/dL Dosis awal untuk pasien
dewasa 5 mg sehari,
diturunkan respon pasien.
Diberikan dengan atau sesaat
setah makan. Dosis maksimal
15 mg per hari. (BNF 73,
2017)
Antidiabetes Obat golongan antidiabetes Ineffective Drug & Plan: Terapi
Metformin 3 x yang pemberiannya harus Adverse Drug Reaction: dihentikan.
500 mg (po) diberikan bersamaan dengan Pemberian metformin
makanan. Perhatian: efek aditif pada pasien CKD dengan Monitoring: Kadar
dengan sulfonilurea. Diuretic DM tidak boleh gula darah (GDA,
tiazid, OC, Simpatomimetik, diberikan dengan kadar GD2JPP, GDP) dan
niacin, ca-kanal bloker dan serum pada perempuan HbA1C (ADA, 2018)
isoniazid dapat memperburuk ≥1,4 mg/dl (ADA, 2017).
hilangnya kontrol glikemik. Penggunaan metformin
ACEI dapat mengurangi pada gangguan ginjal
konsentrasi glukosa darah juga meningkatkan
puasa, dapat meningkatkan resiko asidosis laktat
kadar serum dengan simetidin. dengan meningkatkan
akumulasi metformin
KI: ketoasidosis, serum karena diekskresi dalam
kreatinin ≥1,5mg/dl. hindari bentuk tidak berubah
jika pasien kemungkinan (Koda Kimble, 2013)
mengalami porpirias akut.
Dosis awal untuk pasien
dewasa 5 mg sehari,
diturunkan respon pasien.
Diberikan dengan atau sesaat
setah makan. Dosis maksimal
15 mg per hari. (BNF 73,
2017)

Novorapid 10 IU Analog insulin manusia yang Incorrect drug choice: Plan :


+ D40% bertindak cepat dan biosintetik Pemberian Novorapid Terapi Novorapid
Novorapid 3x8 IU yang dibuat menggunakan harusnya dilakukan diganti dengan
sc teknologi DNA rekombinan setelah pengobatan Insulin basal dengan
dan dimodifikasi secara menggunakan insulin dosis awal (inisiasi)
genetik. Novorapid merupakan basal bersama 10 IU/hari atau 0,1-
insulin aspart yang digunakan antidiabetik oral tidak 0,2 IU/kg/hari hingga
untuk mengendalikan efektif dalam didapatkan nilai
hiperglikemia dalam menurunkan kadar HbA1C <7%.
penatalaksanaan diabetes HbA1C (>7%). Pasien Kemudian dilakukan
mellitus 1. (Lacy dkk, 2009). harusnya diberikan terapi titrasi dosis dengan
awal insulin basal (long- menaikkan dosis
Pemberian Novorapid 10IU acting insulin). sebanyak 2 Unit
dalam Dekstrosa 40% secara (PERKENI, 2019 dan setiap 3 hari untuk
infus pada hari kedua ditujukan ADA, 2020) mencapai target GDP
untuk menghindari terjadinya (80-130 mg/dL). Bila
hipoglikemik iatrogenic akibat target penurunan
pemberian kombinasi HbA1C tidak
antidiabetes dan menangani tercapai, maka
kondisi hyperkalemia pada diberikan
pasien (Koda Kimble, 2013 penambahan insulin
dan BNF 74, 2018) prandial (rapid-acting
insulin)dengan dosis
Pemberian Novorapid secara awal 4IU/hari atau
subkutan pada hari ketiga 10% dari dosis
dengan dosis 3x8IU. insulin basal (ADA,
Pengobatan ini diberikan pada 2020)
pasien DM2 dengan gagal
ginjal kronis stage 4-5 yang
sering mengalami penundaan Monitoring: Kadar
pengosongan lambung. gula darah (GDA,
(Clinical Diabetes and GD2JPP, GDP) dan
Endrocinology, 2015) HbA1C (ADA, 2018)
Hiperurisemia Objektif: Metilprednisolon Metilprednisolon merupakan Unnecessary drug Plan:
H(2): 8,8mg/dL 1 x 6,25 mg (iv) kortikosteroid kerja panjang therapy: Terapi dihentikan
untuk pengobatan pada gout Pasien tidak mengalami
akut yang diberikan secara gejala gout arthritis akut
inyramuskular dalam dosis (tidak mengalami gejala
100-150 mg sekali sehari untuk nyeri berat dan
1-2 hari atau dalam sediaan pembengkakan pada
oral berbentuk paket dosis sendi). Pemeriksaan
untuk 6 hari yang terdiri dari laboratorium hanya
21 tablet (4 mg/tablet). menunjukkan adanya
(Dipiro 10th, 2017 dan peningkatan pada kadar
Pharmacotherapy Principles asam urat yang
and Practice 4th, 2013). menandakan pasien
sedang mengalami
hiperurisemia.
(Pharmacotherapy
Principles and Practice
4th, 2013)

Adverse Drug Reaction:


Metilprednisolon
(kortikosteroid) dapat
memicu diabetes karena
dapat mengurangi
sensitivitas insulin oleh
jaringan, meningkatkan
gluconeogenesis hepatik,
dan pendistribusian
insulin subselular
(PERKENI, 2019).
Allopurinol Allopurinol merupakan Dosage too High: Plan:
3x200 mg (po) golongan obat inhibitor xantin Pemberian dosis Menurunkan dosis
oksidase yang dapat allopurinol pada pasien allopurinol menjadi
mengurangi kadar asam urat terlalu tinngi. Dosis awal 50 mg/hari dengan
pada pasien dengan untuk pasien dengan pemberian secara
menghambat konversi fungsi ginjal normal peroral, lalu
hipoksantin menjadi xantin, adalah 100 mg/hari, dan dilakukan titrasi
dan xantin menjadi asam urat. dosis awal pada pasien dosis tiap 2-5 minggu
Pengobatan allopurinol yang mengalami CKD hingga mencapai
direkomendasikan pada pasien stage 4 atau lebih parah dosis maksimum 800
CKD stage 2 atau lebih parah dosis yang digunakan mg/hari untuk
sebagai terapi profilaksis yang secara peroral yaitu tidak mencapai kadar asam
aman dan telah digunakan lebih dari 50 mg/hari urat <6 mg/dL
secara luas. (Dipiro 10th, 2017 untuk menghindari (Dipiro 10th, 2017
dan BNF 74, 2018) hipersensitivitas dan Pharmacotherapy
allopurinol dan Principles and
mencegah terjadinya Practice 4th, 2013).
serangan gout akut
selama pemberian dosis Monitoring:
awal. (Dipiro 10th, 2017 Kadar asam urat dan
dan Pharmacotherapy potensi terjadinya
Principles and Practice serangan gout akut.
4th, 2013) (Pharmacotherapy
Principles and
Practice 4th, 2013)

Anemia Subjektif: Belum diberikan Needs Additional Drug Plan:


Lemas dan tidak terapi Therapy: Diberikan terapi ESA
nafsu makan Kondisi anemia pada secara subkutan atau
CKD harus segera intravena. Terapi
Objektif: ditangani karena akan ESA ini dapat
Hari pertama: berdampak pada emnggunakan
Hb= 8,6 g/dL penurunan distribusi epoetin alfa atau
(<12 g/dL) oksigen ke seluruh tubuh darbepoetin alfa.
Hct= 25% yang dapat menyebabkan Untuk terapi
peningkatan cardiac menggunakan
output dan hipertrofi epoetin alfa diberikan
ventrikel kiri (LVH), pada dosis awal
sehingga dapat sebesar 50-100
meningkatkan resiko unit/kg sebanyak 2
kardiovaskular dan sampai 3 kali dalm
mortalitas pasien. seminggu, sedangkan
Menurut KDIGO terapi darbepoetin
guidelines, pasien alfa diberikan pada
dengan CKD stage 5 dosis awal 0,45
yang memiliki kadar Hb mcg/kg sekali dalam
< 10 g/dL perlu seminggu.
diberikan terapi ESA
(Erythropoiesis- Monitoring:
Stimulating Agent) Kadar Hb tiap bulan
(KDIGO, 2012 dan dan kadar besi tiap 3
Pharmacotherapy bulan apabila target
Principles and Practice Hb sudah tercapai.
4th, 2013) (KDIGO, 2012 dan
Pharmacotherapy
Principles and
Practice 4th, 2013)

Mual dan NS 500cc - Infus NS mengandung NaCl - Plan : terapi


Muntah (12 tpm) - Natrium adalah elektrolit diteruskan
yang mengatur jumlah air
didalam tubuh
- Infus NS digunakan untuk
menjaga keseimbangan
kadar elektrolit tubuh
- Infus NS Sebagai pengganti
cairan yang hilang karena
mual dan muntah.

Mual dan Metoklopramid - Metoklopramid digunakan - Plan :


Muntah ( 3 x 10 mg ) iv dalam berbagai gangguan GI, Terapi diteruskan
terutama untuk pengelolaan
gangguan motilitas GI yang
Monitoring :
bertujuan untuk pencegahan
mual dan muntah yang Diamati efek
diinduksi oleh kemoterapi samping
kanker, dan untuk
pencegahan mual pasca
operasi. (Lacy dkk, 2009)
- Efek samping, dapat
menyebabkan tardive
dyskinesia (gangguan otot).
Resiki lebih besar terjadi
pada pasien geriatri dan
menderita DM (Drugs.com)
Sesak Nafas Subyektif : O2 2L/menit Saturasi oksigen dilakukan - Plan:
Sesak nafas sebagai presentasi turunya Hb Terapi oksigen O2
- H1= +++ yang berkaitan dengan jumlah diteruskan
- H2= ++ atau kadar O2 dalam arteri. O2
- H3= ++
ditunjukkan untuk sesak nafas Monitoring:
Obyektif : atau kesadaran yang menurun respirasi dan status
RR (pionas.pom.go.id) O2
- H1= 27
x/menit
- H2= 26
x/menit
- H3= 26
x/menit
Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan &
Medis Obyektif Monitoring
1. Udema Subyektif : Furosemid 20-40 mg / dosis, dapat diulang Need additional Plan :
 Udema 2x40 mg (iv) dalam 1-2 jam sesuai kebutuhan therapy Penggunaan
Peritoneal dan ditingkatkan 20 mg/dosis Penggunaan Furosemid tetap
dengan masing-masing dosis Furosemide 2x40 mg dilanjutkan dengan
H1= ++
berikutnya hingga 1000 mg/hari; (iv) belum dapat mengombinasikan
H2= ++
interval pemberian dosis biasa: mengatasi udema dengan
H3= ++
6-12 jam (DIH edisi 17) peritoneal sehingga spironolakton
 Udema Kaki
Furosemid merupakan golongan perlu adanya (P.O) yaitu 50 mg,
H1= ++ loop diuretik disarankan untuk penambahan obat lain sebanyak 2 kali
H2= ++ pasien gagal ginjal kronis untuk mengatasi udema sehari.
H3= +- dengan nilai e-GFR kurang dari
 Perut kembung 30 mL/min/1.73 m2 Monitoring :
dan terasa penuh (Pharmacotherapy handbook)
seperti terisi • Monitoring
cairan kadar BUN, serum
 Sesak nafas kreatinin, dan
kalium.
Obyektif :
• Disarankan
- BUN
dilakukan
H1=5,6
H3= 5,8 dialisis/parasintesi
- SCr s abdominal pada
H1= 32 pasien jika
H3=30 kombinasi dengan
- spironolakton dan
furosemid tidak
memperbaiki
kondisi udemanya
O2 2L/menit Saturasi oksigen dilakukan Plan:
sebagai representasi turunya Hb Terapi oksigen O2
yang berkaitan dengan jumlah dilanjutkan sampai
atau kadar O2 dalam arteri. O2 nilai saturasi
ditunjukkan untuk sesak nafas normal yaitu
karena terjadinya udema >95%
peritoneal yang mengakibatkan
diafragma tertekan sehingga Monitoring:
terjadi sesak nafas respirasi dan nilai
saturasi O2
BAB 3. PEMBAHASAN

Nyonya ASM usia 56 tahun, masuk rumah sakit tanggal 13 Agustus. Diagnosa pasien
yaitu Gagal Ginjal Kronis dengan nilai GFR sebesar 8 yang mana jika Merujuk pada KDIGO
(2017) mengungkapkan bahwa pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis yang memiliki
nilai GFR < 15 maka masuk dalam kategori stage 5. Monitoring yang dapat dilakukan kepada
pasien antara lain monitoring volume urine, monitoring kadar gula dalam darah dan tekanan
darah, monitoring kadar kreatinin, BUN, dan albumin. Nilai GFR sebesar <30 ml/min juga
mengindikasikan bahwa pasien menderita DM yang mana dilakukan terapi menggunakan
metformin dan glibenklamid. Menurut American Diabetes Assosiation (2018) terapi
metformin dikontraindikasikan untuk pasien gagal ginjal dengan nilai eGFR < 45 ml/min.
Oleh karena itu penggunaan metformin disarankan untuk dihentikan dan melakukan
monitoring kadar gula darah dalam darah. Glibenclamid tidak disarankan digunakan pada
pasien DM dengan CKD sehingga terapi dihentikan (ADA 2014; ADA 2018). Terapi
pemberian insulin (Novorapid) tetap dilanjutkan tetapi diganti dengan Insulin basal dengan
dosis awal (inisiasi) 10 IU/hari atau 0,1- 0,2 IU/kg/hari hingga didapatkan nilai HbA1C <7%.
Kemudian dilakukan titrasi dosis dengan menaikkan dosis sebanyak 2 Unit setiap 3 hari
untuk mencapai target GDP (80-130 mg/dL). Bila target penurunan HbA1C tidak tercapai,
maka diberikan penambahan insulin prandial (rapid-acting insulin)dengan dosis awal
4IU/hari atau 10% dari dosis insulin basal (ADA, 2020).

Pasien juga mengeluhkan gatal dan bentol merah, hal ini dimungkinkan akibat gagal
ginjal yang menyebabkan kadar histamine dalam darah meningkat. Hingga hari ketiga gatal
gatal dan bentol kemerahan masih dirasakan oleh pasien sehingga terapi menggunakan CTM
secara peroral tetap dilanjutkan namun dilakukan peningkatan dosis menjadi 1x4 mg p.o
untuk mengatasi gatal gatal yang masih dialami pasien. Metilprednisolon dirasa tidak perlu
digunakan lagi sehingga terapi dihentikan karena terdapat DRP unnecessary drug therapy.

Pada kasus ini pasien mengalami GGK disertai dengan hipertensi stage 2. Pada hari
ketiga tekanan darah pasien belum mencapai target terapi yang diinginkan yaitu sebesar
<140/90 mmHg seperti yang tertera dalam JNC 8. Pemberian amlodipine yang merupakan
obat golongan CCB dirasa kurang tepat karena obat golongan tersebut bukan merupakan first
line terapi untuk hipertensi pada pasien GGK disertai dengan DM, selain itu amlodipin
memiliki efek samping terjadinya udema pulmonari dan obat ini tidak memiliki efek
mengurangi proteinuria, sehingga disarankan pemakaian amlodipin dihentikan dan diganti
dengan obat golongan ACEI atau ARB sebagai first line terapi hipertensi pada pasien CKD
dengan DM (JNC 8; Chasanah dan Muti 2016). Melihat dari studi kasus yang terjadi, tekanan
darah pasien belum mengalami penurunan hingga hari ke 3 sehingga untuk membantu
mencapai target terapi tekanan darah yang diinginkan diberikan obat golongan ARB yaitu
Losartan dengan dosis 1x25 mg (DIH). Losartan sudah sesuai dengan guideline terapi untuk
pasien GGK disertai dengan hipertensi karena firstline terapinya menggunakan ACEI/ARB,
selain itu Losartan juga efektif karena tidak ada DRP dengan obat lain maupun kondisi
pasien. Selain itu terapi clonidine tetap dilanjutkan, clonidine merupakan obat golongan
central alfa agonist yang dapat digunakan sebagai terapi tambahan (adjunct therapy) pada
pasien hipertensi untuk membantu mencapai target terapi yang diinginkan dengan
menurunkan tekanan darah pada pasien CKD dengan hipertensi (Sica Domenic MD, 2008).
Obat ini efektif untuk pasien hipertensi dengan atau tanpa gagal ginjal. Clonidine juga efektif
untuk pasien hipertensi dibawah kondisi dialisis kronis, namun diperlukan penyesuaian dosis
dikarenakan obat disekresikan melalui ginjal (Itskovitz H, 1980). Selain itu apabila dilakukan
penghentian tiba-tiba akan menyebabkan terjadinya rebound hypertension (peningkatan
tekanan darah yang sehingga dapat menimbulkan stroke hemoragik) (BNF, 2019)

Penggunaan terapi furosemide diberikan selain untuk mengkontrol tekanan darah juga
untuk mengurangi udema peritoneal dan udema kaki yang terjadi pada pasien. Terdapat DRP
pada kasus udema peritoneal yaitu Need additional therapy .Penggunaan Furosemide 2x40
mg (iv) belum dapat mengatasi udema peritoneal sehingga perlu adanya penambahan obat
lain untuk mengatasi udema. Keparahan udema juga dapat terjadi karena penggunaan
amlodipin yang memiliki efek samping memicu terjadinya peningkatan edema (DIH 17th,
2009). Plan yang diberikan yaitu penghentian terapi amlodipin dan penggunaan Furosemid
tetap dilanjutkan dengan mengombinasikan dengan spironolakton (P.O) dosis rendah yaitu
25 mg, sebanyak 2 kali sehari.

Selain itu pasien juga mengeluhkan sesak nafas dengan nilai respiration rate (RR)
diatas normal, terapi oksigen diberikan untuk mengatasi sesak nafas yang ada pada pasien.
Dilakukan monitoring terhadap kondisi vital pasien dan tingkat saturasi oksigennya.
DAFTAR PUSTAKA

 ADA (American Diabetic Asssociations). 2018. Diabetes Care: Standars of Medical


Care in Diabetes. Suplement 1.
 ADA (American Diabetic Asssociations). 2020. Diabetes Care: Standars of Medical
Care in Diabetes. Suplement 1
 Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A.,Kradjan,
W.A., 2013, Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics The Clinical Use of
Drugs, 10th ed., Lippincott Williams & Wilkins, Pennsylvania, United States of
America.
 BNF, 2018, British National Formulary 74th Edition, BMJ Publishing Group,
London.
 Chisholm-Burns M.A., et al., 2013, Pharmacotherapy Principles and Practice 4th Ed.,
McGraw-Hill Companies, New York.
 Dipiro, J. T., B. G. Welss, T. L. Schwingammeer, dan C. V. Dipiro. 2015.
Pharmacotherapy Handbook. Edisi 9. Inggris: McGraw-Hill Education.
 Dipiro, J.T; Talbert, G.C.; Yee, G.R.; Matzke, B.G.; Wells, L. M. P. 2017.
Pharmacotherapy: a pathophysiology approach, 10th edition. Mc-Graw Hill Medical.
6007–6048.
 KDIGO, 2012. KDIGO Clinical Practise Guideline for the Management of Blood
Pressure in Chronic Kidney Disease, Official Journal of the International Society of
Nephrology, Vol. 2: Issue 5.
 Lacy, C. F., L. L. Armstrong, M. P. Goldman, dan L. L. Lance. 2009. Drug
Information Handbook, 17th Edition.
 PERKENI, 2019, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia,
PERKENI, Jakarta.
 Alfonso, A. A., A. E. Mongan, dan M. F. Memah. 2016. Gambaran kadar kreatinin
serum pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 non dialisis. Jurnal E-Biomedik
(eBm)
 Cecily v, D., W. Barbara G., D. Joseph T., dan S. Terry L. 2009. Pharmacotherapy
Handbook. Edisi 7 th. South California: McGraw-Hil medical.
 DiPiro, J. T., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer, dan C. V. DiPiro. 2015.
Pharmacotherapy Handbook. Edisi Ninth Edit. Inggris: McGraw-Hill Education.
 Foundation, K. national. 2002. Clinical Practice Guidelines. New york.
 Joseph T. DiPiro, Barbara G. Wells, T. L. S. 2015. Pharmacoterapy Handbook 9th
Edition. 8. Laser Focus World.
 Wilson, S. A. P.-L. M. 2006. Patofisiologi vol.1 Edisi 6 (Pricea Wilson). Edisi Sixth
edit. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai