Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Susana Fajar Wati


116164

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI


ILMU KESEHATAN TELOGOREJO SEMARANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC KIDNEY DEASE (CKD)

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) atau Gagal Ginjal Kronik (GGK)
adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung
≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai penurunan glomerular filtration rate
(GFR). Selain itu, CKD dapat pula didefinisikan sebagai suatu keadaan
dimana GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa
disertai kerusakan ginjal. Dimana yang mendasari etiologi yaitu kerusakan
massa ginjal dengan sklerosa yang irreversibel dan hilangnya nephrons ke
arah suatu kemunduran nilai dari GFR. Tahapan penyakit gagal ginjal
kronis berlangsung secara terus-menerus dari waktu ke waktu (National
Kidney Foundation, 2015).
Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ
ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja
sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga
keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium
didalam darah atau produksi urin. Penyakit gagal ginjal berkembang
secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali
tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia
kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan
gagal ginjal kronis (Price & Wilson, 2007). Menurut Brunner & Suddarth
(2010), gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel. Dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah).
The Renal Association (2013) mengklasifikasikan gagal ginjal
kronis sebagai berikut:
a. Stadium 1: fungsi ginjal normal, tetapi temuan urin, abnormalitas
struktur atau cirri genetic menunjukkan adanya penyakit ginjak (GFR
>90 mL/min/1.73 m2).
b. Stadium 2: penurunan ringan fungsi ginjal, dan temuan lain (seperti
pada stadium 1) menunjukkan adanya penyakit ginjal (GFR 60-89
mL/min/1.73 m2).
c. Stadium 3: penurunan sedang fungsi ginjal (GFR 30-59 mL/min/1.73
m2).
d. Stadium 4: penurunan fungsi ginjal berat (GFR 15-29 mL/min/1.73
m2).
e. Stadium 5: gagal ginjal terminal (GFR <15 mL/min/1.73 m2)
Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-
tanda kerusakan ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau
urin yang abnormal. Nilai GFR menunjukkan seberapa besar fungsi
ginjal yang dimiliki oleh pasien sekaligus sebagai dasar penentuan terapi
oleh dokter. Semakin parah CKD yang dialami, maka nilai GFRnya akan
semakin kecil (National Kidney Foundation, 2015).
2. Etiologi
Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah
tinggi, yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney
Foundation, 2015). Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh
Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan
etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes
melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Sudoyo, dkk
2009).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit
ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum
memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus.
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit
dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis
sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain
seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma
multipel, atau amiloidosis (Roesli, 2008).
b. Diabetes melitus
Menurut Soegondo (2008) diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator,
karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan
menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi.
Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien
tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi
lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan,
sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya.
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik≥ 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat
antihipertensi (Mansjoer, 2008).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi
cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista.
Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua
ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan
genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit.
Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena
sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata
kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga
istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit
ginjal polikistik dewasa (Arikunto, dkk 2010).
3. Manifestasi Klinik
Pada gagal ginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh
kondisi uremia, oleh karena itu pasien akan memperlihatkan sejumlah
tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala tergantung pada bagian dan
tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari adalah usia pasien.
Berikut merupakan tanda dan gejala gagal ginjal kronis (Brunner &
Suddarth, 2010):
a. Kardiovaskuler yaitu yang ditandai dengan adanya hipertensi, pitting
edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, friction rub
pericardial, serta pembesaran vena leher.
b. Integumen yaitu yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat,
kulit kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta
rambut tipis dan kasar.
c. Pulmoner yaitu yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat,
napas dangkal seta pernapasan kussmaul.
d. Gastrointestinal yaitu yang ditandai dengan napas berbau ammonia,
ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah,
konstipasi dan diare, serta perdarahan dari saluran GI.
e. Neurologi yaitu yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan,
konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada
telapak kaki, serta perubahan perilaku.
f. Muskuloskletal yaitu yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot
hilang, fraktur tulang serta foot drop.
g. Reproduktif yaitu yang ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler.
4. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare
(2010) antara lain adalah :
1) Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata
bolisme, dan masukan diit berlebih.
2) Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
rennin angiotensin aldosteron.
4) Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5) Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal
dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
6) Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7) Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8) Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9) Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

5. Patofisiologi dan Pathway


Menurut Smeltzer dan Bare (2010) proses terjadinya CKD adalah
akibat dari penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang
normalnya diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga
terjadi uremia yang mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah, maka setiap gejala semakin meningkat.
Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak masalah pada
ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi,
sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk
pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus atau akibat
tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin
serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (NUD)
biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif
dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh
tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi
juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti
steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada
retensi cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol
dikarenakan ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau
mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon
ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit
sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh
yang meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal jantung kongesti, dan
hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin
angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam,
mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare
menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk
status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal
mensekresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama
akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3)
dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3). Penurunan sekresi fosfat
dan asam organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal pada CKD juga
menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai
sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat
memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan karena setatus pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin
sendiri adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Abnormalitas utama yang lain pada CKD menurut Smeltzer, dan
Bare (2010) adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang
memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang
lain menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat
serum dan sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan
sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh
tidak berespon secara normal terhadap peningkatan sekresi parathormon,
dan akibatnya kalsium di tulang menurun, menyebabkan perubahan pada
tulang dan menyebabkan penyakit tulang, selain itu metabolik aktif
vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat didalam
ginjal menurun, seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit
tulang uremik dan sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal
terjadi dari perubahan komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan
parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal juga berkaitan dengan
gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin, dan adanya hipertensi.
Pasien yang mengekresikan secara signifikan sejumlah protein atau
mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburuk
dari pada mereka yang tidak mengalimi kondisi ini.
Kelebihan
Volume
Cairan

Kerusakan
integritas
kulit

Penurunan curah
Ketidakefektifan
jantung
Pola Nafas

Anoreksia, Ketidakseimbangan
mual muntah nutrisi:kurang dari
kebutuhan tubuh

Sumber: Smeltzer dan Bare (2010)


6. Penatalaksanaan (Medis dan Keperawatan)
a. Penatalaksanaan Medis
1) Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolic. Asidosis metabolik harus dikoreksi karena
meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah
dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen
alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan
intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia. Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC)
merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan
efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena
dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal. Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,
merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan
gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint)
dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi
mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus
dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-
obatan simtomatik.
d. Kelainan neuromuscular. Beberapa terapi pilihan yang dapat
dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat,
medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
e. Hipertensi. Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
f. Kelainan sistem kardiovaskular. Tindakan yang diberikan
tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
(Brunner & Suddart, 2010).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya
faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal
dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Brunner &
Suddart, 2010).
a. Peranan diet. Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan
untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk
jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan
negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori. Kebutuhan jumlah kalori (sumber
energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu
mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara
status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan. Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan
harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral. Kebutuhan jumlah mineral dan
elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit
ginjal dasar (underlying renal disease).
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan
dengan stadium penyakit pasien tersebut (National Kidney
Foundation, 2015). Perencanaan tatalaksana pasien CKD dapat dilihat
pada tabel berikut ini:

Stadium GFR (mL/menit/1,73m2) Rencana Tatalaksana


Observasi, kontrol tekanan
1 ≥ 90
darah
Observasi, kontrol tekanan
2 60-89
darah danfaktor risiko
Observasi, kontrol tekanan
3 30-59
darah dan faktor risiko
4 5-29 Persiapan untuk RRT
5 <15 RRT

A. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat
Riwayat keluarga yang memiliki penyakit gagal ginjal kronik.
b. Pola Gordon
1) Pola persepsi kesehatan: adakah riwayat penyakit sebelumnya,
persepsi pasien dan keluarga mengenai pentingnya kesehatan bagi
anggota keluarganya.
2) Pola nutrisi dan cairan : pola makan dan minum sehari-hari,
jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi, jenis makanan
dan minuman, waktu berapa kali sehari, nafsu makan menurun /
tidak, jenis makanan yang disukai, penurunan berat badan.
3) Pola eliminasi : mengkaji pola BAB dan BAK sebelum dan selama
sakit , mencatat konsistensi,warna, bau, dan berapa kali sehari,
konstipasi, beser.
4) Pola aktivitas dan latihan : reaksi setelah beraktivitas (muncul
keringat dingin, kelelahat/ keletihan), perubahan pola nafas setelah
aktifitas, kemampuan pasien dalam aktivitas secara mandiri.
5) Pola tidur dan istirahat : berapa jam sehari, terbiasa tidur siang,
gangguan selama tidur (sering terbangun), nyenyak, nyaman.
(Brunner & Suddart, 2010)
c. Pemeriksaan Fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan
yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia,
etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat
memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum
klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat
penurunan faal ginjal.

d. Pemeriksaaan Penunjang (Diagnostik/ Laboratorium)


Pemeriksaan laboratorium meliputi:
1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG). Pemeriksaan ureum, kreatinin
serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji
saring untuk faal ginjal (LFG).
2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK). Analisis urin rutin,
mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.
3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit. Progresivitas
penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk
faal ginjal (LFG).
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos
perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde,
pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG) (Brunner & Suddart, 2010).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipervolemia (D.0022) berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi (gagal ginjal kronis)
b. Nausea (D.0076) berhubungan dengan gangguan biokimiawi (uremia)
c. Nyeri akut (D.0077) berbuhungan dengan agen pencedera fisiologis
d. Perfusi perifer tidak efektif (D.0009) berhubungan dengan
hiperglikemia
e. Pola nafas tidak efektif (D.0005) berhubungan dengan hambatan
upaya nafas
f. Intoleransi aktivitas (D.0056) berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
g. Gangguan integritas kulit (D.0129) berhubungan dengan kekurangan/
kelebihan volume cairan

3. Perencanaan Keperawatan

No dx Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Hipervolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hypervolemia (I.


(D.0022) keperawatan selama 3x24 03114)
berhubungan jam maka keseimbangan
1. Observasi tanda gejala
dengan gangguan cairan meningkat dengan
hypervolemia
mekanisme kriteria hasil:
2. Monitor status hemodinamik (HR
regulasi (gagal
Keseimbangan cairan (L. dan TD)
ginjal kronis)
03020) 3. Monitor intake dan output cairan
4. Batasi asupan cairan dan garam
1) Tidak adanya edema
5. Tinggikan kepala tempat tidut
2) Tekanan darah dan nadi
30-40
dalam batas normal
6. Ajarkan cara membatasi asupan
3) Turgor kulit baik
cairan
7. Kolaborasi pemberian diuretik

Nausea (D.0076) Setelah dilakukan tindakan Manajemen mual (I. 03117)


berhubungan keperawatan selama 3x24
Manajemen muntah (I. 03118)
dengan gangguan jam maka mual berkurang
biokimiawi dengan kriteria hasil: 1) Monitor mual, karakteristik dan
(uremia) volume muntahan
Tingkat nausea (L. 08065)
2) Berikan makanan dalam jumlah
1) Nafsu makan meningkat kecil dan menarik
2) Perasaan mual dan muntah 3) Anjurkan teknik
berkurang nonfarmakologis untuk
3) Wajah pasien tidak pucat mengatasi mual
4) Kolaborasi pemberian
antiemetik

Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (I. 08238)


(D.0077) keperawatan selama 3x24
1) Observasi nyeri secara
berbuhungan jam maka keluhan nyeri
komprehensif (lokasi,
dengan agen bekurang dengan kriteria
karakteristik, durasi, frekuansi,
pencedera hasil:
kualitas, dan intensitas nyeri)
fisiologis
Tingkat nyeri (L. 08066) 2) Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi nyeri
1) Skala nyeri berkurang
3) Jelaskan penyebab nyeri
2) Ekspresi wajah tidak
4) Ajarkan teknik nonfarmakologis
menunjukan nyeri
untuk mengurangi rasa nyeri
3) Nafsu makan meningkat
5) Kolaborasi pemberian analgetik
4) Pasien dapat tidur
5) Tekanan darah dan nadi
dalam batas normal

Perfusi perifer Setelah dilakukan tindakan Perawatan sirkulasi (I.02079)


tidak efektif keperawatan selama 3x24
1) Periksa sirkulasi perifer
(D.0009) jam maka perfusi perifer
2) Monitor panas, kemerahan,
berhubungan meningkat dengan kriteria
dengan hasil: nyeri atau bengkak pada
hiperglikemia ekstremitas
Perfusi perifer (L.02011)
3) Lakukan pencegahan infeksi
1) Edema perifer (5) 4) Anjurkan perawatan kulit
menurun (1) meningkat Manajemen sensasi perifer
2) Tekanan darah sistolik (5) (I.06195)
cukup membaik (1)
1) Monitor perubahan kulit
memburuk
2) Identifikasi penyebab
3) Tekanan darah diastolik
perubahan sensasi
(5) cukup membaik (1)
memburuk

Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan nafas


efektif (D.0005) keperawatan selama 3x24 (I.01011) :
berhubungan jam maka pola nafas 1. Monitor frekuensi pola nafas
dengan hambatan membaik dengan kriteria 2. Posisikan semi fowler atau
upaya nafas hasil: fowler
3. Kolaborasi pembeian terapi
Pola nafas (L.01003)
oksigen
1. Dispneu (5) Dukungan Ventilasi (I. 01002)
2. Pengunaan otot bantu
1. Identifikasi adanya kelelahan
nafas (5)
otot bantu nafas
3. Frekuensi nafas (5)
Ajarkan melakukan relaksasi
nafas dalam

Intoleransi Setelah dilakukan tindakan


aktivitas (D.0056) keperawatan selama 3x24
berhubungan jam maka toleransi aktivitas
dengan meningkat dengan kriteria
ketidakseimbangan hasil:
antara suplai dan
Toleransi aktivitas (L.05047)
kebutuhan oksigen
1) Dyspnea saat aktivitas (5)
menurun
2) Tekanan darah membaik (5)
3) Frekuensi nafas membaik (5)
4) Jarak berjalan (1) menurun
(5) meningkat

Gangguan Setelah dilakukan tindakan Perawatan integritas kulit


integritas kulit keperawatan selama 3x24 (I.11353)
(D.0129) jam maka integritas kulit
1) Identifikasi penyebab gangguan
berhubungan meningkat dengan kriteria
integritas kulit
dengan hasil:
2) Gunakan produk berbahan
kekurangan/
Integritas kulit (L.14125) petroleum atau minyak pada
kelebihan volume
kulit kering
cairan 1) Elastisitas meningkat(5)
3) Hindari produk berbahan dasar
2) Perfusi jaringan meningkat
alkohol pada kulit kering
(5)
4) Anjurkan pasien untuk
3) Suhu kulit membaik (5)
menggunakan pelembab

4. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan.
Kegiatan evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai
setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam
perencanan. Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh
mana tujuan tercapai :
a) Berhasil : Perilaku pasien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau
tanggal yang ditetapkan di tujuan
b) Tercapai sebagian : Pasien menunjukan prilaku baik tetapi tidak
sebaik yang ditentukan dalam pernyataan tujuan.
c) Belum tercapai : Pasien tidak mampu sama sekali menunjukan
perilaku yang diharapkan sesuai dengan pernyataan tujuan.
Komponen catatan perkembangan, antara lain sebagai berikut :
S (Subjektif) :data subjektif yang diambil dari keluhan klien, kecuali
pada  klien yang afasia.
O (Objektif) :data objektif yang diperoleh dari hasil observasi perawat,
misalnya tanda-tanda akibat penyimpanan fungsi fisik,
tindakan keperawatan, atau akibat pengobatan.
A (Analisis) : masalah dan diagnosis keperawatan klien yang
dianalisis/dikaji dari data subjektif dan data objektif. Karena
status klien selalu berubah yang mengakibatkan informasi/data
perlu pembaharuan, proses analisis/assessment bersifat
diinamis. Oleh karena itu sering memerlukan pengkajian ulang
untuk menentukan perubahan diagnosis, rencana, dan tindakan.
P (Planning) : perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan
keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang
(hasil modifikasi rencana keperawatan) dengan tujuan
memperbaiki keadaan kesehatan klien. Proses ini berdasarkan
kriteria tujaun yang spesifik dan periode yang telah ditentukan.
I (Intervensi) : tindakan keperawatan yang digunakan untuk memecahkan
atau menghilangkan masalah klien. Karena status klien selalu
berubah, intervensi harus dimodifikasi atau diubah sesuai
rencana yang telah ditetapkan.
E  (Evaluasi) : penilaian tindakan yang diberikan pada klien dan analisis
respons klien terhadap intervensi yang berfokus pada kriteria
evaluasi tidak tercapai, harus dicari alternatif intervensi yang
memungkinkan kriteria tujuan tercapai.
R (Revisi) :tindakan revisi/modifikasi proses keperawatan terutama diagnosis
dan tujuan jika ada indikasi perubahan intervensi atau pengobatan
klien. Revisi proses asuhan keperawatan ini untuk mencapai
tujuan yang diharapkan dalam kerangka waktu yang telah
ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, dkk. (2010). Tindakan Penanganan Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: Bumi
Aksara.

Docterman, Bullecheck. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC) Edition


4. United States of America: Mosby Elsevier Academic Press

Herdman, T. Heather. (2015). Diagnosa Keperawatan (Definisi dan Klasifikasi)


2015-2017. Jakarta : EGC

Mansjoer. (2008). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi ke 3. Jakarta: FKUI


press.

Moorhead, Sue, dkk. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). United


States of America : Mosby Elseveir Academic Press

National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, 2014

National Kidney Foundation. 2015. About chronic Kidney Disease. Diakses dari
https://www.kidney.org/kidneydisease/aboutckd. diunduh pada 5
Desember 2017.

Price, S.A., & Wilson, L.M. (2007). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. volume 1. Jakarta : EGC.Roesli, 2008

Smeltzer, Suzane C, and Brenda G. Bare. (2010). Brunner and Suddarth: Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Sudoyo, dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna
Publising.

The Renal Association. (2013). CKD Stages. Diakses dari


http://www.renal.org/information-resources/the-uk-eckd-guide/ckd-
stages.dpbs. Diunduh pada 5 Desember 2017

Anda mungkin juga menyukai