Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

RUANG PERAWATAN HEMODIALISA

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Disusun Oleh:

IBNU SYARIFUDIN H

PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
Chronic Kidney Disease (CKD)
A. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan glomerulus
filtration rate (GFR) (Nahas & Levin,2010). CKD atau gagal ginjal kronis (GGK)
didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat,
progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam
mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi
uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009)

B. Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju Filtration
Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2 dengan rumus Kockroft
– Gault sebagai berikut :

Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)


1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

C. Etiologi
Diabetes dan hipertensi baru-baru ini telah menjadi etiologi tersering terhadap proporsi
GGK di US yakni sebesar 34% dan 21% . Sedangkan glomerulonefritis menjadi yang
ketiga dengan 17%. Infeksi nefritis tubulointerstitial (pielonefritis kronik atau nefropati
refluks) dan penyakit ginjal polikistik masing-masing 3,4%. Penyebab yang tidak sering
terjadi yakni uropati obstruktif , lupus eritomatosus dan lainnya sebesar 21 %. (US Renal
System, 2000 dalam Price & Wilson, 2006). Penyebab gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000 menunjukkan glomerulonefritis menjadi
etiologi dengan prosentase tertinggi dengan 46,39%, disusul dengan diabetes melitus
dengan 18,65%, obstruksi dan infeksi dengan 12,85%, hipertensi dengan 8,46%, dan
sebab lain dengan 13,65% (Sudoyo, 2006).

D. Patofisiologi
Terlampirkan

E. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner & Suddart (2002) setiap sistem tubuh pada gagal ginjal kronis
dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan
gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal,
usia pasien dan kondisi yang mendasari. Tanda dan gejala pasien gagal ginjal kronis
adalah sebagai berikut :
a. Manifestasi kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki,tangan,sakrum), edema periorbital,
Friction rub perikardial, pembesaran vena leher.
b. Manifestasi dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis
dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Manifestasi Pulmoner
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan Kussmaul
d. Manifestasi Gastrointestinal
Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia, mual,muntah,
konstipasi dan diare, pendarahan saluran gastrointestinal
e. Manifestasi Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan tungkai, panas
pada telapak kaki, perubahan perilaku
f. Manifestasi Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop
g. Manifestasi Reproduktif
Amenore dan atrofi testikuler
F. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2013) serta
Suwitra (2006) antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

G. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
1. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
b. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
c. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal ginjal pada
usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
d. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem pelviokalises,
dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises dan
ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
e. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler, parenkhim) serta sisa
fungsi ginjal
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
g. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
h. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
j. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
k. Biopsi Ginjal
dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau perlu
untuk mengetahui etiologinya.
l. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
1) Laju endap darah
2) Urin
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada (anuria).
Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio
urine / ureum sering 1:1.
3) Ureum dan Kreatinin
Ureum:
Kreatinin: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga
tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
4) Hiponatremia
5) Hiperkalemia
6) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
7) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
8) Gula darah tinggi
9) Hipertrigliserida
10) Asidosis metabolik

H. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk mempertahankan fungsi
ginjal yang tersisa dan homeostasis tubuh selama mungkin serta mencegah atau
mengobati komplikasi (Smeltzer, 2013; Rubenstain dkk, 2007). Terapi konservatif tidak
dapat mengobati GGK namun dapat memperlambat progres dari penyakit ini karena
yang dibutuhkan adalah terapi penggantian ginjal baik dengan dialisis atau transplantasi
ginjal.
Lima sasaran dalam manajemen medis GGK meliputi :
1. Untuk memelihara fungsi renal dan menunda dialisis dengan cara mengontrol proses
penyakit melalui kontrol tekanan darah (diet, kontrol berat badan dan obat-obatan)
dan mengurangi intake protein (pembatasan protein, menjaga intake protein sehari-
hari dengan nilai biologik tinggi < 50 gr), dan katabolisme (menyediakan kalori
nonprotein yang adekuat untuk mencegah atau mengurangi katabolisme)
2. Mengurangi manifestasi ekstra renal seperti pruritus , neurologik, perubahan
hematologi, penyakit kardiovaskuler;
3. Meningkatkan kimiawi tubuh melalui dialisis, obat-obatan dan diet;
4. Mempromosikan kualitas hidup pasien dan anggota keluarga
(Black & Hawks, 2005)
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan dialisi tetap
atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10 ml/mnt. Dialisis juga
diiperlukan bila :
 Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
 Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
 Overload cairan (edema paru)
 Ensefalopati uremic, penurunan kesadaran
 Efusi perikardial
 Sindrom uremia ( mual,muntah, anoreksia, neuropati) yang memburuk.

Menurut Sunarya, penatalaksanaan dari CKD berdasarkan derajat LFG nya, yaitu:

I. Pengkajian Fokus Keperawatan

Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada
Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti
proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada
siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu
kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan
lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa/
zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius
bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6
bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
4. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah
atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan
reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan
pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru
(rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada
jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refill lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia,
dan terjadi perikarditis.

J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada CKD adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi
cairan dan natrium.
2. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia mual
muntah.
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi ke
jaringan sekunder.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan anemia, retensi produk sampah
dan prosedur dialysis.
6. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus sekunder
terhadap adanya edema pulmoner.
7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan
frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan elektrolit).
K. Rencana Asuhan Keperawatan

NO Diagnosa Keperawatan Tujuan & KH Kode NIC Intervensi Keperawatan


1. Kelebihan volume cairan Tujuan: 4130 Fluid Management :
b.d penurunan haluaran urin Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Kaji status cairan ; timbang berat badan,keseimbangan
dan retensi cairan dan selama 3x24 jam volume cairan masukan dan haluaran, turgor kulit dan adanya edema
natrium. seimbang. 2. Batasi masukan cairan
Kriteria Hasil: 3. Identifikasi sumber potensial cairan
NOC : Fluid Balance 4. Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan
 Terbebas dari edema, efusi, cairan
anasarka 5. Kolaborasi pemberian cairan sesuai terapi.
 Bunyi nafas bersih,tidak adanya
dipsnea 2100 Hemodialysis therapy
 Memilihara tekanan vena sentral, 1. Ambil sampel darah dan meninjau kimia darah
tekanan kapiler paru, output (misalnya BUN, kreatinin, natrium, pottasium, tingkat
jantung dan vital sign normal. phospor) sebelum perawatan untuk mengevaluasi respon
thdp terapi.
2. Rekam tanda vital: berat badan, denyut nadi,
pernapasan, dan tekanan darah untuk mengevaluasi
respon terhadap terapi.
3. Sesuaikan tekanan filtrasi untuk menghilangkan jumlah
yang tepat dari cairan berlebih di tubuh klien.
4. Bekerja secara kolaboratif dengan pasien untuk
menyesuaikan panjang dialisis, peraturan diet,
keterbatasan cairan dan obat-obatan untuk mengatur
cairan dan elektrolit pergeseran antara pengobatan
2 Gangguan nutrisi kurang Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1100 Nutritional Management
dari kebutuhan tubuh b.d selama 3x24 jam nutrisi seimbang dan 1. Monitor adanya mual dan muntah

anoreksia mual muntah. adekuat. 2. Monitor adanya kehilangan berat badan dan perubahan

Kriteria Hasil: status nutrisi.

NOC : Nutritional Status 3. Monitor albumin, total protein, hemoglobin, dan

 Nafsu makan meningkat hematocrit level yang menindikasikan status nutrisi dan
untuk perencanaan treatment selanjutnya.
 Tidak terjadi penurunan BB
4. Monitor intake nutrisi dan kalori klien.
 Masukan nutrisi adekuat
5. Berikan makanan sedikit tapi sering
 Menghabiskan porsi makan
6. Berikan perawatan mulut sering
 Hasil lab normal (albumin, kalium)
7. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet sesuai
terapi

3 Perubahan pola napas Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3350 Respiratory Monitoring
berhubungan dengan selama 1x24 jam pola nafas adekuat. 1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
hiperventilasi paru Kriteria Hasil: 2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan
NOC : Respiratory Status otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan
 Peningkatan ventilasi dan intercostal
oksigenasi yang adekuat 3. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,
 Bebas dari tanda tanda distress hiperventilasi, cheyne stokes
pernafasan 4. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak
 Suara nafas yang bersih, tidak ada adanya ventilasi dan suara tambahan
sianosis dan dyspneu (mampu 3320 Oxygen Therapy
mengeluarkan sputum, mampu 1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
bernafas dengan mudah, tidak ada 2. Ajarkan pasien nafas dalam
pursed lips) 3. Atur posisi senyaman mungkin
 Tanda tanda vital dalam rentang 4. Batasi untuk beraktivitas
normal 5. Kolaborasi pemberian oksigen

4 Gangguan perfusi jaringan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 4066 Circulatory Care
berhubungan dengan selama 3x24 jam perfusi jaringan 1. Lakukan penilaian secara komprehensif fungsi sirkulasi
penurunan suplai O2 dan adekuat. periper. (cek nadi priper,oedema, kapiler refil, temperatur
nutrisi ke jaringan sekunder. Kriteria Hasil: ekstremitas).
NOC: Circulation Status 2. Kaji nyeri
 Membran mukosa merah muda 3. Inspeksi kulit dan Palpasi anggota badan
 Conjunctiva tidak anemis 4. Atur posisi pasien, ekstremitas bawah lebih rendah untuk
 Akral hangat memperbaiki sirkulasi.

 TTV dalam batas normal. 5. Monitor status cairan intake dan output

 Tidak ada edema 6. Evaluasi nadi, oedema


7. Berikan therapi antikoagulan.
PATHWAY
HEMODIALISA

1. PENGERTIAN DAN TUJUAN


Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD ; end-stage renal
disease) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Sehelai
membrane sintetik yang semipermiabel menggantikan glomerulus serat tubulus renal dan
bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya (Smeltzer & Bare, 2013).
Tujuan dari terapi hemodialisis yaitu untuk mengurangi status uremia,
mengeluarkan cairan tubuh yang berlebih dan menjaga keseimbangan asam basa dan
elektrolit.
2. ETIOLOGI
Penyebab PGK pada pasien hemodialisis baru dari data Indonesian Renal Registry
tahun 2011 didapatkan sebagai berikut :
a. Glomerulopati primer/ GNC (14%)
Ditandai dengan tubuh sembab, hipertensi dan bendungan sirkulasi, proteinuria,
hematuria mikroskopik/makroskopik dengan silinder eritrosit, tanpa disertai
penyakit sistemik atau penyakit ginjal lainnya.
b. Nefropati diabetika (27%)
Ditandai dengan riwayat DM (+), proteinuria, pada funduskopi terdapat
mikroaneurisma kapiler, tanpa adanya bukti riwayat penyakit ginjal lain
sebelumnya.
c. Nefropati lupus/SLE (1%)
Adanya gambaran klinik SLE, hasil laboratorium urine terdapat proteinuria
persisten, hematuria, kelainan sedimen aktif, kenaikan titer antinukleus (ANA)
dan DNA-binding antibody (dsDNA).
d. Penyakit ginjal hipertensi (34%)
Adanya riwayat hipertensi, ditandai dengan proteinuria, hematuria mikroskopik,
serta adanya target organ damaged yang lain, seperti LVH/hypertensive heart
disease, retinopathy hypertensive.
e. Ginjal polikistik (1%)
Ditandai dengan pembesaran ginjal pada perabaan dengan salah satu atau semua
gejala: proteinuria, hematuria, ISK berulang, peningkatan tekanan darah dan nyeri
pinggang.
f. Nefropati asam urat (2%)
Terdapat riwayat artritis gout yang berulang serta ISK juga berulang. Hasil
laboratorium kadar asam urat biasanya >13mg% pada laki-laki dan >10mg% pada
perempuan, terdapat proteinuria dengan/ tanpa hematuria tanpa keluhan.
g. Nefropati obstruksi (8%)
Ada riwayat obstruksi saluran kemih pada lithiasis, BPH, vesicouretral reflux, Ca
servix, ditandai dengan ISK berulang, hipertensi dan hidronefrosis.
h. Pielonefritis kronik (6%)
Ditandai dengan proteinuria asimptomatik dengan/ tanpa hematuria, isk berulang,
hipertensi, gambaran USG: kedua ginjal mengisut.
i. Lain-lain (6%)
j. Tidak diketahui (1%)
3. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI HEMODIALISIS
a. Indikasi:
 Gagal ginjal kronik (CKD) dengan syndrome uremik (ureum > 200 mg/dl,
kreatinin > 1,5 mg/dl), asidosis metabolic (pH darah < 7,1), edema, hiperkalemia
(kadar kalium > 5,0 mEq/L)
 Gagal ginjal akut (AKI)
 Pre operatif traktus urinarius
 Keracunan barbiturate
b. Kontraindikasi:
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk terapi dialisis, akan tetapi manfaat terapi
dialisis perlu dipertimbangkan lagi pada pasien dengan sindrom hepato-renal, sirosis
hepatis yang lanjut dengan ensefalopati dan pada keganasan lanjut.

4. KOMPONEN YANG DIPERLUKAN DALAM HEMODIALISIS


a. Akses Vaskuler
Akeses vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek teknik untuk
program HD akut maupun kronik. Tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya
darah dari tubuh penderita menuju dializer dan selanjutnya kembali lagi ketubuh
penderita. Untuk melakukan dialisis intermiten jangka panjang, maka perlu ada jalan
masuk ke sistem vaskular penderita yang dapat di andalkan. Darah harus dapat keluar
dan masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Teknik-teknik akses
vaskuler utama untuk hemodialisis dibedakan menjadi akses eksternal dan akses
internal (Price, 1995). Akses vascular sangat diperlukan oleh karena untuk
hemodialisis yang efektif diperlukan aliran darah yang cukup sampai lebih dari 300
ml/menit dan dapat dipakai berulang kali dalam jangka waktu yang panjang. Ada 2
macam akses vascular yaitu:

1. Akses vascular sementara atau kontemporer


Akses vascular ini biasanya digunakan pada saat pertama kali hemodialisis
sebelum dibuat akses vascular yang permanent. Akses vascular sementara umumnya
dilakukan dengan menggunakan kateter. Kateter adalah suatu pipa berlubang yang
dimasukkan kedalam vena subklavia, jugularis, atau vena femoralis yang memiliki
akses langsung menuju jantung. Kateter ini merupakan akses vaskular sementara.
Akses ini digunakan jika akses internal tidak dapat digunakan untuk pengobatan, dan
pasien membutuhkan dialisis darurat.

 Keuntungan akses vascular sementara adalah :


 Pada vena jugularis interna : dapat digunakan untuk jangka panjang dengan
resiko yang kecil
 Pada vena femoral : pemasangan mudah dengan resiko yang kecil
 Pada vena subclavia: klien merasa lebih nyaman dan penggunaanya lebih lama
 Kerugian akses vascular sementara adalah:
 Pada vena jugularis : pemasangan lebih sulit
 Vena femoral : immobilisasi pasien, resiko infeksi lebih tinggi
 Vena subclavia: komplikasi stenosis vena dan resiko komplikasi pemasangan.
2. Akses vascular menetap / permanent
Akses vascular menetap dilakukan dengan membuat fistula atau hubungan
(shunt) antara arteri dengan vena yang biasa disebut AV shunt. Dapat dilakukan
dengan vena dan arteri pasien sendiri, memakai vena dari tempat lain (native graft)
atau dengan bahan buatan (artificial graft). AV shunt dilakukan dengan cara
menyambung arteri subcutan dengan vena didekatnya. Vena yang berdidnding tipis
dialiri oleh darah arteri yang bertekanan tinggi sehingga aliran darah lebih cepat. Cara
ini sangat sering digunakan dan paling aman, bertahan lama, dan dengan komplikasi
yang minimal (stenosis, infeksi, steal syndrome). Namun ada beberapa kerugian dari
AV shunt yaitu memerlukan waktu cukup lama untuk siap dipakai, cukup sering
kegagalan atau kurang dapat memberikan aliran darah yang cukup pada saat
hemodialisis serta pada klien dengan penyakit vascular yang berat tidak dapat
dilakukan.

Lokasi yang sering digunakan :

- Pergelangan tangan (fistula radio chepalic / Brescia cimino)


- Daerah siku / elbow (fistula brachio chepalic)
Fistula umumnya dilakukan pada tangan yang non dominant dengan maksud tidak
mengeurangi aktivitas klien.

Proses maturasi AV shunt antara 1- 6 bulan dan pada tangan tersebut tidak dapat
dilakukan penekenan berlebihan atau untuk mengambil sampel darah. Periksa suara
bising atau thrill setiap hari dan posisikan tangan lebih tinggi dari badan pada saat
pasca operasi.

b. Membran Semi Permiabel


Membran semipermiabel dibutuhkan untuk mengadakan kontak antara darah
dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi. Sebuah membrane semipermiabel adalah
lapisan material yang tipis yang memiliki pori-pori mikroskopik yang menghilangkan/
mengeluarkan partikel yang lebih kecil dari pada pori-pori untuk lewat saat molekul
yang lebih besar tertahan. Ukuran pori dalam membrane dialiser bervariasi namun
berkisar anatara 50 nefron.

c. Dialiser atau ginjal buatan


Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung sehingga terjadi
pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Komponen ini terdiri dari
membran dialiser semipermiabel dengan lokasi yang tersebar merata yang
memisahkan kompartemen darah dan dialisat. Darah banyak mengandung zat-zat
toksik secara berlebihan sedangkan dialiser tidak mengandung apapun kecuali
elektrolit tertentu.

Ada 3 macam dialiser yaitu:

1. Selulosa yang dibuat dari serat kapas yang diproses


2. Serat selulosa yang dimodifikasi dengan menambah gugus asetat seperti selulosa
diasetat atau triaset
3. Membran sintetis seperti membrane polisulfon, polyacryionitril (PAN),
policarbonat. Dimana membrane ini mempunyai klirens dan filtrasi yang besar.
Berbagai sifat dari dialiser dipengaruhi oleh:

1. Luas permikaan dialiser


2. Ukuran pori-pori atau kemampuan permeabilitas ketipisannya
3. Koefisian ultrafiltrasi
4. Kemampuan untuk mencegah terjadinya clotting sehingga pemakaian
antikoagulasi yang minimal
5. Harga

d. Dialisat
Larutan dialisat biasanya disiapkan dalam bentuk konsentrasi yang mengandung
buffer bikarbonat atau asetat. Asetat masih banyak digunakan untuk dialisat karena dapat
diproduksi dengan mudah dalam kemasan yang mengandung berbagai macam elemen.
Kemudian seiring berkembangnya waktu, larutan bicarbonate lebih banyak digunakan
karena lebih fisiologis, dapat mengontrol asidosis dengan lebih baik, lebih sedikit
menimbulkan efek dan komplikasi.

 Komposisi dialisat
- Natrium = 135 – 145 meg / 1
- Kalium = 0 – 4,0 meg / 1
- Calsium = 2,5 – 3,5 meg / 1
- Magnesium = 0,5 – 2,0 meg / 1
- Khlorida = 98 – 112 meg / 1
- Asetat atau bikarbonat = 33 – 25 meg / 1.
- Dextrose = 2500 mg / 1
e. Antikoagulan
Akibat adanya sirkit ekstrakorporeal pada hemodialisis memungkinkan terjadinya
kontak antara darah dengan permukaan saluran sintetik pada hemodialisis
mengakibatkan terjadinya pembekuan darah sehingga perlu digunakan antikoagulasi
dengan heparin agar memungkinkan hemodialisis berjalan dengan lancar. Heparin
merupakan mukopolisakarida sulat anionic dengan berbagai berat molekul yang
diekstraksi dari paru sapi atau usus babi. Heparin terikat pada antitrombin-III, yang
kemudian membentuk kompleks dengan protease serine mengaktifasi faktor-faktor
koagulasi. Dosis pemberian heparin adalah 2000 unit untuk dosis awal dan 1000
unit/jam untuk dosis pemeliharaan, sehingga total dosis heparin yang diberikan dalam
dialysis adalah 6000 unit. Waktu paruh pada pasien normal dan pasien hemodialisis
adalah 30-120 menit dan dapat lebih panjang lagi dengan disosiasi heparin komplek
AT-III. Menilai koagulasi pada pasien hemodialiss dengan mengamati secara visual
dengan memperhatikan tanda-tanda sebagai berikut:

a. Warna darah gelap sekali


b. Adanya garis-garis hitam atau gelap pada dialiser
c. Busa dan butir bekuan pada venous trap
d. Adanya bekuan darah
Pemeriksaan yang juga sering dipakai adalah memeriksa clotting time.

f. Mesin Hemodialisis
Mesin HD terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat dan sistem
monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat tusukan vaskuler
kepada dializer. Kecepatan dapat diatur biasanya antara 200-300 ml per,33 - 8,33 menit.
Untuk pengendalian ultrafiltrasi diperlukan tekanan negatif. Lokasi pompa darah biasanya
terletak antara monitor tekanan arteri dan monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus
dipanaskan antara 36,2-37,20C sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat
yang terlalu rendah ataupun melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem
monitoring setiap mesin HD sangat penting untuk menjamin efektifitas proses dialisis dan
keselamatan penderita

5. PRINSIP KERJA / MEKANISME HEMODIALISIS


Mekanisme pemisahan zat-zat terlarut pada hemodialisis terjadi secara difusi dan
ultrafiltrasi.

a. Secara difusi
cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat
terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah sampai
konsentrasi zat terlarut sama dikedua kompartemen (dari yang konsentrasi tinggi
kekonsentrasi rendah)

b. Secara ultrafiltrasi
Pemisahan cairan dialisis dan darah dilakukan dengan prinsip perbedaan tekanan.

Tiga tipe dari tekanan yang dapat terjadi pada membrane adalah :

1. Tekanan positif
Tekanan positif merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan dalam
membrane. Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resistensi vena
terhadap darah yang mengalir balik ke fistula. Tekana positif “mendorong” cairan
menyeberangi membrane.

2. Tekanan negative
Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane oleh
pompa pada sisi dialisat dari membrane. Tekanan negative “menarik” cairan keluar
dari darah.

3. Tekanan Osmotik
Tekanan Osmotik merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan dengan
kadar zat terlarut tinggi akan menarik cairan dari larutan lain yang konsentrasinya
lebih rendah sehingga menyebabkan membrane permiabel terhadap air (dari
konsentrasi rendah kekonsentrasi tinggi)

6. PEDOMAN PELAKSANAAN HEMODIALISIS


a. Persiapan
Persiapan Alat
 Dialiser ( ginjal buatan)
 AVBL
 Set Infus
 NaCl (cairan fisiologis) ( 2-3 fflashf)
 Spuit 1 cc,5 cc, 20 cc, 30 cc
 Heparin injeksi ( + 2000 Unit)
 Jarum punksi :
- Jarum metal (AV. Fistula G.16, 15, 14) 1 – 1 ¼ inch.
- Jarum dengan katheter (IV Catheter G.16, 15, 14) 1 – 1 ¼ inchi.
 Penapung cairan ( Wadah)
 Anestesi local (lidocain, procain)
 Kapas Alkohol
 Kassa
 Desinfektan (alcohol bethadin)
 Klem arteri (mosquito) 2 buah.
 Klem desimfektam
 Bak kecil + mangkuk kecil
 Duk (biasa,split, bolong)
 Sarung tangan
 Plester
 pengalas karet atau plastic

Persiapan lingkungan
 Lingkungan disiapkan agar nyaman dan tenang
 Jaga privacy klien
 Atur tempat tidur sesuai dengan kenyamanan pasien

Persiapan Klien
 Jelaskan prosedur tindakan hemodialisis
 Timbang berat badan klien
 Anjurkan pasien mencuci tangan
 Atur posisi klien agar memudahkan tindakan dan nyaman untuk klien
 Observasi tanda-tanda vital dan keadaan umum

Persiapan perawat
 Perawat membaca order atau catatan medik klien
 Perawat mencuci tangan
 Perawat memakai sarung tangan dan masker.

b. Prosedur Tindakan

Penatalaksanaan hemodialisis dibagi dalam tiga tahap yaitu :

1) Perawatan sebelum hemodialisis


Menyiapkan mesin hemodialisis
 Sambungkan slang air dari mesin hemodialisis
 Kran air dibuka
 Pastikan slang pembuang air dari mesin hemodialisis sudah masuk
ke lubang/ saluran pembuangan.

 Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak (sebelumnya periksa


voltage listrik).
 Hidupkan mesin dengan menekan tombol on yang ada dibelakang mesin.
 Jelaskan mesin pada posisi rinse selama + 20 menit (sesuai program penggunaan
mesin).
 Matikan mesin hemodialisis
 Masukkan slang dialisat ke dalam jerigen dialisat pekat.
 Sambungkan slang dialisat dengan konector yang ada pada mesin
hemodialisis

 Hidupkan mesin dengan posisi normal (siapkan)

Menyiapkan sirkulasi darah :


 Bukalah alat-alat dialysis dari setnya.
 Tempatkan dializer pada holder (tempatnya) dengan posisi “inlet” (tanda merah)
diatas dan posisi “outlet” (tanda biru) dibawah.
 Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inlet” dari dializer.
 Hubungkan ujung biru dari VBL dengan ujung “outlet: dari dializer dan
tempatkan bubble trap diholder dengan posisi tegak.
 Set infuse ke botol aCL 0,.9% - 500 CC
 Hubungkan set infuse keselang arteri.
 Bukalah klem NaCl 0.9%, isi selang arteri sampai keujung selang lalu klem.
 Tempatkan ujung biru VBL pada maatkan dan hindakan kontaminasi.
 Memutar letak dializer dengan posisi “inlet” dibawah dan “outlet” diatas,
tujuannya gar dializer bebas dari udara.
 Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
 Buka klem dari infuse set, ABL, VBL
 Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit, kemudian
naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
 Isi bubble trap dengan NaCl 0.9% sampai ¾ bagian
 Memberikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengeluarkan udara dari
dalam dializer, dilakukan sampai dializer bebas udara (tekanan tidak lebih dari
200 mmHg).
 Melakukan pembilasan dan pengisian dengan menggunakan NaCL 0.9% sebanyak
500 CC yang terdapat pada botol (Kolf), sisanya tampung dalam gelas ukur.
 Ganti kolf NaCL 0.9% yang kosong dengan kolf NaCL 0.9% baru.
 Sambung ujung biru VBL dan ujung merah ABL dengan menggunakan konektor.
 Menghidupkan pompa darah selama 10 menit untuk dializer baru, 15-20 menit
untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit, berikan UFR 0.8 – 1.0
 Mengembalikan posisi dializer ke posisi semula, dimana “inlet” dialisat selama 5-
10 menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).

 Punksi Cimino / Graft


Persiapan alat-alat
 1 buah set steril dialysis terdiri dari :
- Kain alas dan set steril kain 1 buah

- Kassa 5 buah, tuffer 1 buah

- 1 buah mangkok kecil berisi NaCL 0.9%

- 1 pasang sarung tangan

- 1 buah 5 CC berisi NaCL 0.9%

- 1 buah spuit insulin isi lidocain 0.5 CC

- 1 buah arteri klem


- 2 buah AV fistula

 2 buah mangkok steril berisi btadin dan alcohol


 Masker dan apron
 Plester / micropore
 1 buah gelas ukur
 Plastic untuk alat kootor
 Trolly

Memulai desinfektan caranya:


 Jepitlah tuffer betrdine dengan arteri klem, oleskan daerah cimino dan vena lain
dengan cara memutar dari dalam ke luar.
 Masukkan tuffer kedalam kantong plastic.
 Jepitlah kassa alcohol dengan arteri kelm, bersihkan daerah cimino dan vena lain
caranya sama seperti diatas.
 Lakukan sampai bersih
 Letakkan kassa kotor pada plastic, sedangkan klem arteri letakkan pada gelas
ukur.
 Letakkan kain alas steril dibawah tangan
 Letakkan kain belah steril diatas tangan.

Memulai fungsi cimino/graft


 Memberikan anestesi lokal pada cimino (tempat keluarnya darah dari tubuh ke
mesin), dengan spuit insulin 1 cc.
 Tusuklah tempat cimino dengan jarak 8-10 cm dari anastomose.
 Tusuklah secara intrakutan dengan diameter 0.5 cm.
 Memberikan anestesi lokal pada tusukan vena lain (tempat masuknya darah dari
mesin ke tubuh, dengan cara yang sama seperti pada no. a).
 Bekas tusukan dipijat sebentar dengan kassa steril.

Memasukkan jarum AV Fistula:


 Masukkan jarum AV Fistula pada tusukan yang telah dibuat pada saat pemberian
anestesi lokal (cimino)
 Setelah darah keluar isaplah dengan spuit 5 ml dan bilas kembali dengan NaCL
0.9% secukupnya.
 AV Fistula diklem, spuit 5 ml dilepaskan, ujung AV Fistula ditutup, tempat
tusukan difikasi dengan micropore/plester.
 Masukkan jarum AV Fistula pada vena lain, sesuai pada tempat pemberian
anestesi lokal caranya sama seperti diatas pada no. a
 Tinggalkan kain alas steril dibawah tangan pasien, sebagai alas dan penutup
selama proses dialysis berlangsung.
 Alat kotor masukkan ke dalam plastic, sedangkan alat-alat yang dapat dipakai
kembali dibawa ke ruang disposal.
 Bedakan dengan alat-alat yang terkontaminasi.
 Bersihkan dari darah, masukkan ke kantong plastik.

2) Memulai Pelaksanaan Hemodialisis


 Lakukan tindakan a dan anti-septik dengan membersihkan tempat yang akan
dilakukan penusukkan dengan betadine 10%, kemudian dibersihkan dengan
alcohol 70%.
 Depper dan kassa yang telah dipakai, dibuang ketempat sampah yang telah
disediakan.
 Cari daerah yang lebih mudah dilakukan penusukkan.
 Jarak penusukkan pertama kali pada daerah vena (outlet) disertai pemberian
loading heparin 1000 IU/sesuai dosis.
 Lakukan penusukan pertama kali pada daerah vena (outlet0 disertai pemberian
loading heparin 1000 IU/sesuai dosis.
 Kemudian dilakukan penusukkan pada daerah “inlet” dengan ABL (arteri blood
line) dan dijalankan blood pump dengan kecepatan mulai dari 100 ml/menit
sampai seluruh blood line (baik ABL maupun VBL) terisi penuh, baru
disambungkan dengan bagian jarum fistula “outlet”.
 Jalankan lagi blood pump perlahan-lahan sampai 200 ml/menit, setelah itu
mulailah pemasangan sensor dan batasan minimal dan maksimal baik pada blood
monitoring maupun dialisat monitoring.
 Kemudian set mesin hemodialisis sesuai program HD masing-masing pasien.
 Matikan (tutup) klem infuse NaCL.
 Sambungkan jarum AV Fistula dengan selang arteri, bersihkan kedua sambungan
dengan kassa betadine.
 Bukalah masing-masing klem pada AV Fistula dengan aterial

Mulai dialysis berjalan:


 Hidupkan pump, mulailah putar dari 100 ml/menit, dinaikkans ecara bertahap
sampai batas maksimal.
 Mengalirkan darah untuk mengisi selang arterial dan dialiser.
 Perhatikan aliran darah pada cimino/graft apakah lancar.
 Jika aliran darah tersendat-sendat, cobalah memutar posisi jarum AV Fistula
secara perlahan-lahan sampai aliran darah lancar.
 Darah pada bubble trap tidak boleh penuh/kosong, sebaiknya ¾ bagian.
 Tekan tombol start heparin
 Mengatur kecepatan pemberian, heparin selama dialysis berlangsung
 Bukalah klem pada selang urea, sebagai venous pressure.
 Tekan tombol start sambil melihat jam, tanda proses dializer dimulai.
 Putar tombol UF, tertekan UF yang dihitung.
 Fiksasi pada sambungan antara AV Fistula dengan selang darah.
Pengawasan selama hemodialisis berlangsung
 Observasi tanda-tanda vital tiap jam, tensi dan nadi, kemungkinan komplikasi
selama HD : mual, kram otot dan keluhan lain. kecuali keadaan pasien jelek,
obersvasi sesuai dengan kebutuhan :
- Jika pasien sesak, hitung pernafasan.
- Jika pasien demam, ukur suhu badan
 Menjaga ketepatan pencatatan dalam lembaran dialysis
 Pengawasan Mesin :
Pengawasan sirkulasi darah diluar ekstrakorporeal blood monitoring:

- Pengawasan kecepatan aliran darah

- Pengawasan terhadap tekanan:

Arteri: bila alarm berbunyi pada aterial druk berarti tekanan darah rendah,
lihat aliran darah pada “inlet”.
Venous pressure: dilihat dari indicator (hati-hati bila tinggi), bila tinggi
periksa “outlet”, bila rendah periksa sensor vena.

 Pengawasan heparin pump.


 Pengawasan terhadap sirkulasi dialisat monitoring
- Low temperature atau high temperature
- Low conductivity atau high conductivity
- Transmembrane pressure
- Positive pressure
- Kebocoran dializer (blood leak)
 Perhatikan kelancaran aliran darah pada cimino/graft.
 Perhatikan sambungan yang terdapat pada :
- AV Fistula dengan selang arteri
- Selang arteri dengan dializer dan sebaliknya, kalau perlu dikembangkan.
 Berikan pasien posisi tidur yang nyaman.
 Perhatikan edema pada : muka, punggung tangan, asites, mata kaki dan daerah
dorsum pedis :
- Jika edema (+) tidak disertai sesak nafas maka lakukan dialysis sesuai dengan
program tarik air (UFG = ultrafiltrasi goal). Cara perhitungan tarik air: selisih
berat badan, dating berat badan standar + jumlah intake yang masuk (minum,
infuse, transfuse dan sonde).
- Jika edema ++ atau lebih, dengan disertai sesak nafas maka lakukan tarik air
(sequential ultrafiltrasi) pada awal dialysis.
 Perhatikan pemakaian oksigen :
- Apakah oksigen masih ada (lihat pada jarum petunjuk)
- Perhatikan bila pada angka petunjuk oksigen, apakah sudah sesuai dengan
kebutuhan pasien.
 Perhatikan gambaran EKG monitor jika ada kelainan direkam dan beritahu pada
dokter yang merawat pasien / dokter jaga.
 Perhatikan rembusan luka fungsi cimino/graft, bersihkan rembesand arah dengan
kassa alcohol.
 Jika rembesan masih ada, beri bubuk anti-biotik hebacitin tepat pada tusukan
fungsi, fiksasi yang kencang pada daerah tusukan.
 Bantu segala kebutuhan pasien termasuk: makanan, minuman, buang air dan
urinaria.
 Kaji keluhan pasien, kalau perlu terapi beritahu dokter.
 Evaluasi hasil tindakan dialysis.
 Tindakan atau obat-obatan yang telah diberikan, catalah dalam catatan
keperawatan.

3) Mengakhiri Dialisis
Prosedur dengan 1 perawat;
 Mengakhiri dialysis :
- Hentikan pump heparin dan lepaskan spuit heparin dari tempatnya.
- Kecilkan pompa darah (BP) sampai 100 cc dan matikan.
- Klem pada AV Fistula dan selang arterial
- Lepaskan sambungan AV Fistula dan selang arterial dengan kassa steril.
 Membilas AV Fistula :
Gunakan spuit 5 cc berisi NaCL, bilas AV Fistula sampai bersih, lalu klem
kembali dan tutup ujung AV Fistula.

 Membilas selang darah dan dialiser :


- Bilas selang darah dan dialiser dengan Na CL sampai darah tidak ada lagi.
- Jika ada obat-obatan injeksi yang akan diberikan, berikan melalui selang vena.
- Selama pembilasan, gunakan pump dengan kecepatan 100 ml/menit.
 Menyelesaikan dialysis
 Selang pada vena diklem, lepaskan dari mesin.
 Lepaskan semua selang darah dan dialiser dari mesin, masukkan ke dalam plastik.
 Melepaskan jarum AV Fistula
- Cabut AV Fistula pada cimino dan AV Fistula pada vena lainnya, masukkan AV
Fistula ke dalam plastik.
- Tekan bekas tusukan dengan kassa betadine sampai darah tidak keluar lagi.
- Berikan masing-masing bekas tusukan dengan band aid dan balutlah sesuai
dengan kebutuhan, lalu difiksasi dengan micropore.
 Mengembalikan alat-alat :
- Alat instrument yang telah digunakan dipisahkan dibawa ke disposal room dan
dipisahkan dengan alat yang terkontaminasi.
- Perawat melepas sarung tangan, masker dan apron.
- Perawat mencuci tangan.

Prosedur dengan 2 perawat:


 Perawat yang satu membantu menekan bekas tusukan cimino dan vena lainnya
dengan kassa betadine.
 Memberikan band aid dan membalut
 Sedangkan perawat yang lain membilas selang darah dan dialiser sampai bersih
sama-sama memakai sarung tangan untuk mencegah terkontaminasi dengan darah
pasien.

Observasi sesudah dialysis meliputi:


 Observasi kesadaran dan KU pasien dan Observsi tanda-tanda vital
 Kaji keluhan pasien
 Berikan tindakan perawatan sesuai kebutuhan dan beritahu dokter sehubungan
dengan pemberian terapi.
 Semua tindakan yang telah diberikan ke pasien, catat dalam catatan dialysis.
 Anjurkan pasien timbang berat badan jika memungkinkan
 Untuk pasien rutin dialysis, jika akan pulang ingatkan jadwal kembali dialysis
berikutnya.
 Jika ada perubahan jadwal, agar segera memberitahukan suster ruang dialysis.
 Untuk pasien rawat (in patient), agar segera memberitahukan jadwal dialysis
berikutnya kepada suster ruangan atau pasiennya.
 Pesanan dicatat dalam catatan dialysis.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Dialisis Pada Diabetes Melitus. http://internis.files.wordpress.com/2011/01/dialisis-


pada-diabetes-melitus.pdf diakses pada tanggal 8 Desember 2019
Anita dkk. Penggunaan Hemodialisis pada Bidang Kesehatan yang Memakai Prinsip Ilmu
Fisika. http://dc128.4shared.com/doc/juzmT0gk/preview.html diakses pada tanggal 8
Desember 2019
Bakta, I Made & I Ketut Suastika,. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.
1999
Black, Joyce M. & Jane Hokanson Hawks. Medical Surgical Nursing Clinical Management
for Positive Outcome Seventh Edition. China : Elsevier inc. 2005
Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard K., Dotcherman, Joanne M. Nursing Intervention
Classification (NIC). USA: Mosby Elsevier. 2008.
Herdinan, Heather T. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC. 2012.
Johnson, M. Etal. Nursing Outcome Classification (NOC). USA: Mosby Elsevier. 2008.
Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA : Oxford University Press. 2010
Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. 2002
Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Jakarta : EGC.
2013
Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2006

Anda mungkin juga menyukai