Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

RUANG PERAWATAN HEMODIALISA

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Disusun Oleh:

IBNU SYARIFUDIN H

PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
Chronic Kidney Disease (CKD)
A. Definisi
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan glomerulus
filtration rate (GFR) (Nahas & Levin,2010). CKD atau gagal ginjal kronis (GGK)
didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal mengalami penurunan fungsi secara lambat,
progresif, irreversibel, dan samar (insidius) dimana kemampuan tubuh gagal dalam
mempertahankan metabolisme, cairan, dan keseimbangan elektrolit, sehingga terjadi
uremia atau azotemia (Smeltzer, 2009)

B. Klasifikasi
Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju Filtration
Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2 dengan rumus Kockroft
– Gault sebagai berikut :

Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)


1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

C. Etiologi
Diabetes dan hipertensi baru-baru ini telah menjadi etiologi tersering terhadap proporsi
GGK di US yakni sebesar 34% dan 21% . Sedangkan glomerulonefritis menjadi yang
ketiga dengan 17%. Infeksi nefritis tubulointerstitial (pielonefritis kronik atau nefropati
refluks) dan penyakit ginjal polikistik masing-masing 3,4%. Penyebab yang tidak sering
terjadi yakni uropati obstruktif , lupus eritomatosus dan lainnya sebesar 21 %. (US Renal
System, 2000 dalam Price & Wilson, 2006). Penyebab gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000 menunjukkan glomerulonefritis menjadi
etiologi dengan prosentase tertinggi dengan 46,39%, disusul dengan diabetes melitus
dengan 18,65%, obstruksi dan infeksi dengan 12,85%, hipertensi dengan 8,46%, dan
sebab lain dengan 13,65% (Sudoyo, 2006).

D. Patofisiologi
Terlampirkan

E. Manifestasi Klinis
Menurut Brunner & Suddart (2002) setiap sistem tubuh pada gagal ginjal kronis
dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan
gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal,
usia pasien dan kondisi yang mendasari. Tanda dan gejala pasien gagal ginjal kronis
adalah sebagai berikut :
a. Manifestasi kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki,tangan,sakrum), edema periorbital,
Friction rub perikardial, pembesaran vena leher.
b. Manifestasi dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis
dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Manifestasi Pulmoner
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan Kussmaul
d. Manifestasi Gastrointestinal
Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia, mual,muntah,
konstipasi dan diare, pendarahan saluran gastrointestinal
e. Manifestasi Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan tungkai, panas
pada telapak kaki, perubahan perilaku
f. Manifestasi Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop
g. Manifestasi Reproduktif
Amenore dan atrofi testikuler
F. Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2013) serta
Suwitra (2006) antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

G. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
1. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
b. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
c. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal ginjal pada
usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
d. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem pelviokalises,
dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises dan
ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
e. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler, parenkhim) serta sisa
fungsi ginjal
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
g. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
h. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
j. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
k. Biopsi Ginjal
dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau perlu
untuk mengetahui etiologinya.
l. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
1) Laju endap darah
2) Urin
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada (anuria).
Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio
urine / ureum sering 1:1.
3) Ureum dan Kreatinin
Ureum:
Kreatinin: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga
tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
4) Hiponatremia
5) Hiperkalemia
6) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
7) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
8) Gula darah tinggi
9) Hipertrigliserida
10) Asidosis metabolik

H. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk mempertahankan fungsi
ginjal yang tersisa dan homeostasis tubuh selama mungkin serta mencegah atau
mengobati komplikasi (Smeltzer, 2013; Rubenstain dkk, 2007). Terapi konservatif tidak
dapat mengobati GGK namun dapat memperlambat progres dari penyakit ini karena
yang dibutuhkan adalah terapi penggantian ginjal baik dengan dialisis atau transplantasi
ginjal.
Lima sasaran dalam manajemen medis GGK meliputi :
1. Untuk memelihara fungsi renal dan menunda dialisis dengan cara mengontrol proses
penyakit melalui kontrol tekanan darah (diet, kontrol berat badan dan obat-obatan)
dan mengurangi intake protein (pembatasan protein, menjaga intake protein sehari-
hari dengan nilai biologik tinggi < 50 gr), dan katabolisme (menyediakan kalori
nonprotein yang adekuat untuk mencegah atau mengurangi katabolisme)
2. Mengurangi manifestasi ekstra renal seperti pruritus , neurologik, perubahan
hematologi, penyakit kardiovaskuler;
3. Meningkatkan kimiawi tubuh melalui dialisis, obat-obatan dan diet;
4. Mempromosikan kualitas hidup pasien dan anggota keluarga
(Black & Hawks, 2005)
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan dialisi tetap
atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10 ml/mnt. Dialisis juga
diiperlukan bila :
 Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
 Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
 Overload cairan (edema paru)
 Ensefalopati uremic, penurunan kesadaran
 Efusi perikardial
 Sindrom uremia ( mual,muntah, anoreksia, neuropati) yang memburuk.

Menurut Sunarya, penatalaksanaan dari CKD berdasarkan derajat LFG nya, yaitu:

I. Pengkajian Fokus Keperawatan

Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada
Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti
proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada
siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu
kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan
lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa/
zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius
bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6
bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
4. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah
atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan
reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan
pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru
(rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada
jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refill lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia,
dan terjadi perikarditis.

J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada CKD adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi
cairan dan natrium.
2. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia mual
muntah.
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi ke
jaringan sekunder.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan anemia, retensi produk sampah
dan prosedur dialysis.
6. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus sekunder
terhadap adanya edema pulmoner.
7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan
frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan elektrolit).
K. Rencana Asuhan Keperawatan

NO Diagnosa Keperawatan Tujuan & KH Kode NIC Intervensi Keperawatan


1. Kelebihan volume cairan Tujuan: 4130 Fluid Management :
b.d penurunan haluaran urin Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Kaji status cairan ; timbang berat badan,keseimbangan
dan retensi cairan dan selama 3x24 jam volume cairan masukan dan haluaran, turgor kulit dan adanya edema
natrium. seimbang. 2. Batasi masukan cairan
Kriteria Hasil: 3. Identifikasi sumber potensial cairan
NOC : Fluid Balance 4. Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan
 Terbebas dari edema, efusi, cairan
anasarka 5. Kolaborasi pemberian cairan sesuai terapi.
 Bunyi nafas bersih,tidak adanya
dipsnea 2100 Hemodialysis therapy
 Memilihara tekanan vena sentral, 1. Ambil sampel darah dan meninjau kimia darah
tekanan kapiler paru, output (misalnya BUN, kreatinin, natrium, pottasium, tingkat
jantung dan vital sign normal. phospor) sebelum perawatan untuk mengevaluasi respon
thdp terapi.
2. Rekam tanda vital: berat badan, denyut nadi,
pernapasan, dan tekanan darah untuk mengevaluasi
respon terhadap terapi.
3. Sesuaikan tekanan filtrasi untuk menghilangkan jumlah
yang tepat dari cairan berlebih di tubuh klien.
4. Bekerja secara kolaboratif dengan pasien untuk
menyesuaikan panjang dialisis, peraturan diet,
keterbatasan cairan dan obat-obatan untuk mengatur
cairan dan elektrolit pergeseran antara pengobatan
2 Gangguan nutrisi kurang Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1100 Nutritional Management
dari kebutuhan tubuh b.d selama 3x24 jam nutrisi seimbang dan 1. Monitor adanya mual dan muntah

anoreksia mual muntah. adekuat. 2. Monitor adanya kehilangan berat badan dan perubahan

Kriteria Hasil: status nutrisi.

NOC : Nutritional Status 3. Monitor albumin, total protein, hemoglobin, dan

 Nafsu makan meningkat hematocrit level yang menindikasikan status nutrisi dan
untuk perencanaan treatment selanjutnya.
 Tidak terjadi penurunan BB
4. Monitor intake nutrisi dan kalori klien.
 Masukan nutrisi adekuat
5. Berikan makanan sedikit tapi sering
 Menghabiskan porsi makan
6. Berikan perawatan mulut sering
 Hasil lab normal (albumin, kalium)
7. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet sesuai
terapi

3 Perubahan pola napas Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3350 Respiratory Monitoring
berhubungan dengan selama 1x24 jam pola nafas adekuat. 1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
hiperventilasi paru Kriteria Hasil: 2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan
NOC : Respiratory Status otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan
 Peningkatan ventilasi dan intercostal
oksigenasi yang adekuat 3. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,
 Bebas dari tanda tanda distress hiperventilasi, cheyne stokes
pernafasan 4. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak
 Suara nafas yang bersih, tidak ada adanya ventilasi dan suara tambahan
sianosis dan dyspneu (mampu 3320 Oxygen Therapy
mengeluarkan sputum, mampu 1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
bernafas dengan mudah, tidak ada 2. Ajarkan pasien nafas dalam
pursed lips) 3. Atur posisi senyaman mungkin
 Tanda tanda vital dalam rentang 4. Batasi untuk beraktivitas
normal 5. Kolaborasi pemberian oksigen

4 Gangguan perfusi jaringan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 4066 Circulatory Care
berhubungan dengan selama 3x24 jam perfusi jaringan 1. Lakukan penilaian secara komprehensif fungsi sirkulasi
penurunan suplai O2 dan adekuat. periper. (cek nadi priper,oedema, kapiler refil, temperatur
nutrisi ke jaringan sekunder. Kriteria Hasil: ekstremitas).
NOC: Circulation Status 2. Kaji nyeri
 Membran mukosa merah muda 3. Inspeksi kulit dan Palpasi anggota badan
 Conjunctiva tidak anemis 4. Atur posisi pasien, ekstremitas bawah lebih rendah untuk
 Akral hangat memperbaiki sirkulasi.

 TTV dalam batas normal. 5. Monitor status cairan intake dan output

 Tidak ada edema 6. Evaluasi nadi, oedema


7. Berikan therapi antikoagulan.
PATHWAY
HEMODIALISA

1. PENGERTIAN DAN TUJUAN


Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD ; end-stage renal
disease) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Sehelai
membrane sintetik yang semipermiabel menggantikan glomerulus serat tubulus renal dan
bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya (Smeltzer & Bare, 2013).
Tujuan dari terapi hemodialisis yaitu untuk mengurangi status uremia,
mengeluarkan cairan tubuh yang berlebih dan menjaga keseimbangan asam basa dan
elektrolit.
2. ETIOLOGI
Penyebab PGK pada pasien hemodialisis baru dari data Indonesian Renal Registry
tahun 2011 didapatkan sebagai berikut :
a. Glomerulopati primer/ GNC (14%)
Ditandai dengan tubuh sembab, hipertensi dan bendungan sirkulasi, proteinuria,
hematuria mikroskopik/makroskopik dengan silinder eritrosit, tanpa disertai
penyakit sistemik atau penyakit ginjal lainnya.
b. Nefropati diabetika (27%)
Ditandai dengan riwayat DM (+), proteinuria, pada funduskopi terdapat
mikroaneurisma kapiler, tanpa adanya bukti riwayat penyakit ginjal lain
sebelumnya.
c. Nefropati lupus/SLE (1%)
Adanya gambaran klinik SLE, hasil laboratorium urine terdapat proteinuria
persisten, hematuria, kelainan sedimen aktif, kenaikan titer antinukleus (ANA)
dan DNA-binding antibody (dsDNA).
d. Penyakit ginjal hipertensi (34%)
Adanya riwayat hipertensi, ditandai dengan proteinuria, hematuria mikroskopik,
serta adanya target organ damaged yang lain, seperti LVH/hypertensive heart
disease, retinopathy hypertensive.
e. Ginjal polikistik (1%)
Ditandai dengan pembesaran ginjal pada perabaan dengan salah satu atau semua
gejala: proteinuria, hematuria, ISK berulang, peningkatan tekanan darah dan nyeri
pinggang.
f. Nefropati asam urat (2%)
Terdapat riwayat artritis gout yang berulang serta ISK juga berulang. Hasil
laboratorium kadar asam urat biasanya >13mg% pada laki-laki dan >10mg% pada
perempuan, terdapat proteinuria dengan/ tanpa hematuria tanpa keluhan.
g. Nefropati obstruksi (8%)
Ada riwayat obstruksi saluran kemih pada lithiasis, BPH, vesicouretral reflux, Ca
servix, ditandai dengan ISK berulang, hipertensi dan hidronefrosis.
h. Pielonefritis kronik (6%)
Ditandai dengan proteinuria asimptomatik dengan/ tanpa hematuria, isk berulang,
hipertensi, gambaran USG: kedua ginjal mengisut.
i. Lain-lain (6%)
j. Tidak diketahui (1%)
3. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI HEMODIALISIS
a. Indikasi:
 Gagal ginjal kronik (CKD) dengan syndrome uremik (ureum > 200 mg/dl,
kreatinin > 1,5 mg/dl), asidosis metabolic (pH darah < 7,1), edema, hiperkalemia
(kadar kalium > 5,0 mEq/L)
 Gagal ginjal akut (AKI)
 Pre operatif traktus urinarius
 Keracunan barbiturate
b. Kontraindikasi:
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk terapi dialisis, akan tetapi manfaat terapi
dialisis perlu dipertimbangkan lagi pada pasien dengan sindrom hepato-renal, sirosis
hepatis yang lanjut dengan ensefalopati dan pada keganasan lanjut.

4. KOMPONEN YANG DIPERLUKAN DALAM HEMODIALISIS


a. Akses Vaskuler
Akeses vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek teknik untuk
program HD akut maupun kronik. Tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya
darah dari tubuh penderita menuju dializer dan selanjutnya kembali lagi ketubuh
penderita. Untuk melakukan dialisis intermiten jangka panjang, maka perlu ada jalan
masuk ke sistem vaskular penderita yang dapat di andalkan. Darah harus dapat keluar
dan masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Teknik-teknik akses
vaskuler utama untuk hemodialisis dibedakan menjadi akses eksternal dan akses
internal (Price, 1995). Akses vascular sangat diperlukan oleh karena untuk
hemodialisis yang efektif diperlukan aliran darah yang cukup sampai lebih dari 300
ml/menit dan dapat dipakai berulang kali dalam jangka waktu yang panjang. Ada 2
macam akses vascular yaitu:

1. Akses vascular sementara atau kontemporer


Akses vascular ini biasanya digunakan pada saat pertama kali hemodialisis
sebelum dibuat akses vascular yang permanent. Akses vascular sementara umumnya
dilakukan dengan menggunakan kateter. Kateter adalah suatu pipa berlubang yang
dimasukkan kedalam vena subklavia, jugularis, atau vena femoralis yang memiliki
akses langsung menuju jantung. Kateter ini merupakan akses vaskular sementara.
Akses ini digunakan jika akses internal tidak dapat digunakan untuk pengobatan, dan
pasien membutuhkan dialisis darurat.

 Keuntungan akses vascular sementara adalah :


 Pada vena jugularis interna : dapat digunakan untuk jangka panjang dengan
resiko yang kecil
 Pada vena femoral : pemasangan mudah dengan resiko yang kecil
 Pada vena subclavia: klien merasa lebih nyaman dan penggunaanya lebih lama
 Kerugian akses vascular sementara adalah:
 Pada vena jugularis : pemasangan lebih sulit
 Vena femoral : immobilisasi pasien, resiko infeksi lebih tinggi
 Vena subclavia: komplikasi stenosis vena dan resiko komplikasi pemasangan.
2. Akses vascular menetap / permanent
Akses vascular menetap dilakukan dengan membuat fistula atau hubungan
(shunt) antara arteri dengan vena yang biasa disebut AV shunt. Dapat dilakukan
dengan vena dan arteri pasien sendiri, memakai vena dari tempat lain (native graft)
atau dengan bahan buatan (artificial graft). AV shunt dilakukan dengan cara
menyambung arteri subcutan dengan vena didekatnya. Vena yang berdidnding tipis
dialiri oleh darah arteri yang bertekanan tinggi sehingga aliran darah lebih cepat. Cara
ini sangat sering digunakan dan paling aman, bertahan lama, dan dengan komplikasi
yang minimal (stenosis, infeksi, steal syndrome). Namun ada beberapa kerugian dari
AV shunt yaitu memerlukan waktu cukup lama untuk siap dipakai, cukup sering
kegagalan atau kurang dapat memberikan aliran darah yang cukup pada saat
hemodialisis serta pada klien dengan penyakit vascular yang berat tidak dapat
dilakukan.

Lokasi yang sering digunakan :

- Pergelangan tangan (fistula radio chepalic / Brescia cimino)


- Daerah siku / elbow (fistula brachio chepalic)
Fistula umumnya dilakukan pada tangan yang non dominant dengan maksud tidak
mengeurangi aktivitas klien.

Proses maturasi AV shunt antara 1- 6 bulan dan pada tangan tersebut tidak dapat
dilakukan penekenan berlebihan atau untuk mengambil sampel darah. Periksa suara
bising atau thrill setiap hari dan posisikan tangan lebih tinggi dari badan pada saat
pasca operasi.

b. Membran Semi Permiabel


Membran semipermiabel dibutuhkan untuk mengadakan kontak antara darah
dan dialisat sehingga dialysis dapat terjadi. Sebuah membrane semipermiabel adalah
lapisan material yang tipis yang memiliki pori-pori mikroskopik yang menghilangkan/
mengeluarkan partikel yang lebih kecil dari pada pori-pori untuk lewat saat molekul
yang lebih besar tertahan. Ukuran pori dalam membrane dialiser bervariasi namun
berkisar anatara 50 nefron.

c. Dialiser atau ginjal buatan


Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung sehingga terjadi
pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Komponen ini terdiri dari
membran dialiser semipermiabel dengan lokasi yang tersebar merata yang
memisahkan kompartemen darah dan dialisat. Darah banyak mengandung zat-zat
toksik secara berlebihan sedangkan dialiser tidak mengandung apapun kecuali
elektrolit tertentu.

Ada 3 macam dialiser yaitu:

1. Selulosa yang dibuat dari serat kapas yang diproses


2. Serat selulosa yang dimodifikasi dengan menambah gugus asetat seperti selulosa
diasetat atau triaset
3. Membran sintetis seperti membrane polisulfon, polyacryionitril (PAN),
policarbonat. Dimana membrane ini mempunyai klirens dan filtrasi yang besar.
Berbagai sifat dari dialiser dipengaruhi oleh:

1. Luas permikaan dialiser


2. Ukuran pori-pori atau kemampuan permeabilitas ketipisannya
3. Koefisian ultrafiltrasi
4. Kemampuan untuk mencegah terjadinya clotting sehingga pemakaian
antikoagulasi yang minimal
5. Harga

d. Dialisat
Larutan dialisat biasanya disiapkan dalam bentuk konsentrasi yang mengandung
buffer bikarbonat atau asetat. Asetat masih banyak digunakan untuk dialisat karena dapat
diproduksi dengan mudah dalam kemasan yang mengandung berbagai macam elemen.
Kemudian seiring berkembangnya waktu, larutan bicarbonate lebih banyak digunakan
karena lebih fisiologis, dapat mengontrol asidosis dengan lebih baik, lebih sedikit
menimbulkan efek dan komplikasi.

 Komposisi dialisat
- Natrium = 135 – 145 meg / 1
- Kalium = 0 – 4,0 meg / 1
- Calsium = 2,5 – 3,5 meg / 1
- Magnesium = 0,5 – 2,0 meg / 1
- Khlorida = 98 – 112 meg / 1
- Asetat atau bikarbonat = 33 – 25 meg / 1.
- Dextrose = 2500 mg / 1
e. Antikoagulan
Akibat adanya sirkit ekstrakorporeal pada hemodialisis memungkinkan terjadinya
kontak antara darah dengan permukaan saluran sintetik pada hemodialisis
mengakibatkan terjadinya pembekuan darah sehingga perlu digunakan antikoagulasi
dengan heparin agar memungkinkan hemodialisis berjalan dengan lancar. Heparin
merupakan mukopolisakarida sulat anionic dengan berbagai berat molekul yang
diekstraksi dari paru sapi atau usus babi. Heparin terikat pada antitrombin-III, yang
kemudian membentuk kompleks dengan protease serine mengaktifasi faktor-faktor
koagulasi. Dosis pemberian heparin adalah 2000 unit untuk dosis awal dan 1000
unit/jam untuk dosis pemeliharaan, sehingga total dosis heparin yang diberikan dalam
dialysis adalah 6000 unit. Waktu paruh pada pasien normal dan pasien hemodialisis
adalah 30-120 menit dan dapat lebih panjang lagi dengan disosiasi heparin komplek
AT-III. Menilai koagulasi pada pasien hemodialiss dengan mengamati secara visual
dengan memperhatikan tanda-tanda sebagai berikut:

a. Warna darah gelap sekali


b. Adanya garis-garis hitam atau gelap pada dialiser
c. Busa dan butir bekuan pada venous trap
d. Adanya bekuan darah
Pemeriksaan yang juga sering dipakai adalah memeriksa clotting time.

f. Mesin Hemodialisis
Mesin HD terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat dan sistem
monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat tusukan vaskuler
kepada dializer. Kecepatan dapat diatur biasanya antara 200-300 ml per,33 - 8,33 menit.
Untuk pengendalian ultrafiltrasi diperlukan tekanan negatif. Lokasi pompa darah biasanya
terletak antara monitor tekanan arteri dan monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus
dipanaskan antara 36,2-37,20C sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat
yang terlalu rendah ataupun melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem
monitoring setiap mesin HD sangat penting untuk menjamin efektifitas proses dialisis dan
keselamatan penderita

5. PRINSIP KERJA / MEKANISME HEMODIALISIS


Mekanisme pemisahan zat-zat terlarut pada hemodialisis terjadi secara difusi dan
ultrafiltrasi.

a. Secara difusi
cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat
terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi kearah konsentrasi yang rendah sampai
konsentrasi zat terlarut sama dikedua kompartemen (dari yang konsentrasi tinggi
kekonsentrasi rendah)

b. Secara ultrafiltrasi
Proses ultrafiltrasi adalah proses pergeseran zat terlarut dan pelarut secara simultan
dari kompartemen darah kedalam kompartemen dialisat melalui membran
semipermiabel. Proses ultrafiltrasi ini terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan osmotik.
a. Ultrafiltrasi hidrostatik
1. Transmembrane pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan kompartemen
dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut didalamnya berpindah dari darah ke
dialisat melalui membran semipermiabel adalah akibat perbedaan tekanan
hidrostatik antara kompertemen darah dan kompartemen dialisat. Kecepatan
ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan tekanan yang melewati membran.
2. Koefisien ultrafiltrasi (KUf)
Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air bervariasi tergantung
besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah cairan (ml/jam) yang
berpindah melewati membran per mmHg perbedaan tekanan
(pressure gradient) atau perbedaan TMP yang melewati membran.
b. Ultrafiltrasi osmotik
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran semipermiabel, bila
larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel dibanding “A” maka
konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding konsentrasi larutan “A”. Dengan
demikian air akan berpindah dari “A” ke “B” melalui membran dan sekaligus akan
membawa zat -zat terlarut didalamnya yang berukuran kecil dan permiabel terhadap
membran, akhirnya konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.

Observasi sesudah dialysis meliputi:


 Observasi kesadaran dan KU pasien dan Observsi tanda-tanda vital
 Kaji keluhan pasien
 Berikan tindakan perawatan sesuai kebutuhan dan beritahu dokter sehubungan
dengan pemberian terapi.
 Semua tindakan yang telah diberikan ke pasien, catat dalam catatan dialysis.
 Anjurkan pasien timbang berat badan jika memungkinkan
 Untuk pasien rutin dialysis, jika akan pulang ingatkan jadwal kembali dialysis
berikutnya.
 Jika ada perubahan jadwal, agar segera memberitahukan suster ruang dialysis.
 Untuk pasien rawat (in patient), agar segera memberitahukan jadwal dialysis
berikutnya kepada suster ruangan atau pasiennya.
 Pesanan dicatat dalam catatan dialysis.

6. Adekuasi Hemodialisa
Keberhasilan hemodialisis berhubungan dengan adekuatnya suatu tindakan hemodialisis
disebut adekuasi hemodialisis.Banyak parameter yang berpengaruh dalam hal ini. Menurut
The Renal Physicians Associations (RPA) di tahun 1993 membuat acuan parameter sebagai
berikut :
 Umur lebih dari 18tahun.
 Hemodialisis dilakukan 3 kali per minggu selama 3 hingga 4 jam
 Residual fungsi tidak diperhitungkan
 Kt/v diukur tiap bulan minimal 1,2; Urea Reduction Ratio (URR) lebih dari 65%
 Perlu persamaan pengambilan sampel darah
 Pemberian dosis saat hemodialisis
 Dializer re-use
 Kenyamanan / kepatuhan pasien
Sedangkan menurut National Kidney Foundation-Dialisys Outcomes Quality
Initiative (NKF – DOQI) pada tahun 1995, membuat tujuan hemodialisis untuk :
 Kepentingan klinik
 Perbaikan pelayanan
 Hasil yang lebih baik
Secara klinis hemodialisis reguler dikatakan adekuat jika keadaan umum dan nutrisi
penderita dalam keadaan baik, tidak ada menifestasi uremi serta diupayakan rehabilitasi
penderita kembali pada aktivitas seperti sebelum menjalani hemodialisis.Adapun kriteria
klinis adekuasi hemodialisis adalah sebagai berikut:
1. Keadaan umum dan nutrisi yang baik
2. Tekanan darah normal.
3. Tidak ada gejala akibat anemia.
4. Tercapai keseimbangan air, elektrolit dan asam basa.
5. Metabolisme Ca, dan P terkendali serta tidak terjadi osteodistrofi renal.
6. Tidak didapatkan komplikasi akibat uremia.
7. Tercapai rehabilitasi pribadi, keluarga dan profesi.
8. Kualitas hidup yang memadai.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi adekuasi hemodialisis adalah :
 Aliran larutan dengan molekul besar dengan High Flux
 Membran biocompatibility
 Inisiasi HD
 Dosis HD / Nutrisi
 Pemeriksaan Kt/v; URR rutin (minimal setiap bulan)
 Kualitas hidup
Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitungUreaReductionRatio(URR)dan(Kt/
V).Kt/Vurea digunakan untuk merencanakan peresepan hemodialisis serta menilai adekuasi
hemodialisis, sedangkanUrea reduction ratio(URR) atau Rasio Reduksi Urea (RRU)
merupakan pedoman yang sederhana dan praktis untuk menilai adekuasi hemodialisis.
National Cooperative Dialysis Study (NCDS), merupakan penelitian prospektif skala
luas pertama yang menilai adekuasi hemodialisis.Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa
urea merupakan pertanda yang memadai untuk penilaian adekuasi hemodialisis, dan tingkat
kebersihan ureadapat dipakai untuk prediksi keluaran (outcome) dari penderita. Lowrie dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa blood urea-nitrogen (BUN) yang tinggi menyebabkan
meningkatnya morbiditas.

6.1 Menghitung Adekuasi Hemodialisis


6.1.2 Rumus Logaritma Natural Kt/V
RRU dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar urea predialisis
dibagi kadar urea pasca dialisis. RRU adalah prosentase dari urea yang dapat dibersihkan
dalam sekali tindakan hemodialisis.RRU merupakan cara paling sederhana dan praktis untuk
menilai adekuasi hemodialisis, tetapi tidak dapat dipakai untuk merencanakan dosis
hemodialisis.
Kt pada Kt/V urea adalah jumlah bersihan urea dari plasma per satuan waktu dan V
merupakan volume distribusi dari urea dalam satuan liter.K adalah klearensi dalam satuan
L/menit, diperhitungkan dari KoA dializer serta kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran
dialisat, t adalah waktu tindakan hemodialisis dalam satuan menit. Kt/V akan bernilai lebih
dari 1,2 saat evaluasi menandakan bahwa sudah mencukup syarat normal. Kt/V menjadi
metode pilihan untuk mengukur dosis dialisis yang diberikan karena lebih akurat
menunjukkan penghilangan urea, bisa dipakai untuk mengkaji status nutrisi pasien dengan
memungkinkan perhitungan angka katabolisme protein yang dinormalisir, dan bisa dipakai
untuk peresepan dialisis untuk penderita yang memiliki fungsi renal residual.5,20. Dalam
menggunakan rumus ini diasumsikan bahwa konsep yang dipakai adalah model single-pool
urea kinetik. Cara ini merupakan penyederhanaan dari perhitungan Model Kinetic Ureum
(MKU), dimana Kt merupakan jumlah bersihan ureadari plasma dan V merupakan volume
distribusi dari urea. K dalam satuan L/menit,diperhitungkan dari KoA dializer serta kecepatan
aliran darah dan kecepatan alirandialisat, t adalah waktu tindakan HD dalam satuan me nit,
sedangkan V dalam satuanliter. Rumus yang dianjurkan oleh NKF-DOQI adalah generasi
kedua yang dikemukakanoleh Daugirdas.

Kt/V = -Ln (R - 0,008 x t) + (4 - 3,5 x R) x UF/W

Dimana :
1. Ln adalah logaritma natural.
2. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis
3. t adalah lama waktu dialisis dalam jam.
4. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
5. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kg.
Penghitungan dilakukan sesuai dengan Rumus Linier Daugirdas yang lebih sederhana
berupa:
Kt/V=2,2 – 3,3 (R-0,03) - UF/W)
Dimana :
1. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis.
2. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
3. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kilogram.
4. Re-evaluasi dari data NCDS menunjukkan bahwa Kt/V kurang dari 0,8
dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas, sedangkan Kt/V1,0-1,2
dihubungkan dengan mortalitas yang rendah. Batasan minimal Kt/V ialah lebih
dari 1,2 untuk penderita yang menjalani hemodialisis 3 kali seminggu. Sedangkan
untuk kelompok penderita diabetes, Collins menganjurkan menaikkan Kt/V
menjadi 1,4.Hemodialisis 2 kali seminggu hanya dilakukan untuk sementara dan
hanya untuk penderita yang masih mempunyai klirensia > 5 ml/menit.
Rumus-rumus sebelumnya :
- Kt/V = Ln(BUN sebelum HD/BUN sesudah HD) (Gotch,1985)
- Kt/V = 0,04 PRU-1,2 (Jindal,1987)
BUN sebelum HD – BUN sesudahHD
- Kt/V = (Barth, 1988)
BUN mid

- Kt/V = -ln(R-0,008t)- UF/W) (Daugirdas, 1989)


- Kt/V = -ln(R-0,03-UF/W) (Manahan, 1989)
- Kt/V = 0,026PRU-0,46 (Dugirdas, 1990)
- Kt/V = 0,023PRU-0,284 (Basile,1990)
- Kt/V = 0,062PRU-2,97 (Kerr, 1993)
PRU=Percent Reduction Urea = (BUN sebelum HD-BUN sesudah HD) x
100/BUNsebelum HD

2.1.2 Rasio Reduksi Urea (RRU).


Cara lain untuk mengukur adekuasi hemodialisis adalah dengan mengukur RRU.
Rumus yang dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai berikut :
RRU (%) = 100 x (1-Ct/Co)
Keterangan : Ct adalah BUN setelah hemodialisis dan Co adalah BUN sebelum hemodialisis.
Cara ini paling sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran AHD.
Banyak dipakai untuk kepentingan epidemiologi, dan merupakan prediktor terbaik untuk
mortalitas penderita HD reguler. Kelemahan cara ini karena tidak memperhitungkan faktor
ultrafiltrasi, protein catabolic rate (PCR) dan sisa klirens yang masih ada. Cara ini juga tidak
dapat dipakai untuk merencanakan dosis HD. NKF-DOQI memakai batasan bahwa HD harus
dilakukan dengan RRU > 65%. Dalam sebuah penelitian dengan menggunakan RRU untuk
mengukur dosis dialisis, telah ditunjukkanbahwa penderita yang menerima RRU ³60%
memiliki mortalitas yang lebih rendah dari yang menerima RRU 50%.

6.1.3 Cara alternatif untuk menilai AHD.


1. Percent Reduction Urea (PRU).
Perhitungan Kt/V dengan menggunakan PRU tidak dianjurkan oleh NKF-DOQI
karena dapat menyebabkan penyimpangan sampai 20%. Jika batasan kesalahan terhadap
MKU yang dapat ditoleransi sampai 5%, maka rumus dari Jindal hanya akurat untuk
Kt/V=0,9-1,1. Sedangkan untuk rumus dari Basile hanya akurat untuk Kt/V= 0,6 sampai
1,3.
2. Total Dialysate Collection.
Pengumpulan dialisat total, sebenarnya cara ini dapat menjadi standar baku
pengukuran HD, akan tetapi pengumpulan dialisat yang mencapai 90-150 liter tidak
praktis.
3. Waktu tindakan HD.
Waktu tindakan HD dapat dipakai sebagai pengukur AHD, independen dari Kt/V
ataupun RRU. Makin lama tindakan HD, klirens dari molekul yang lebih besar dari urea
diperkirakan akan lebih baik. Juga akan terjadi intravaskuler euvolemia yang lebih baik
dimana hal ini akan mengurangi komplikasi kardiovaskuler. Meskipun data penunjang
secara klinis belum lengkap, lama HD yang dianjurkan minimal adalah 2,5jam.
4. Urea removal indek (URI).
Adalah indek pembersihan dari urea merupakan cara baru untuk mengukurAHD, dan
masih sangat sedikit pengalaman klinis dalam penggunaannya.
Waktu tindakan hemodialisis dapat dipakai sebagai pengukur analisis hemodialisis,
independen dari Kt/V ataupun RRU. Semakin lama tindakan hemodialisis, klirens dari
molekul yang lebih besar dari ureum diperkirakan akan lebih baik. Selain itu juga akan
mengakibatkan terjadinya intravaskuler euvolemia yang lebih baik dan dapat mengurangi
komplikasi kardiovaskuler.Hemodialisis dianggap adekuat, jika :
 Morbiditas / mortalitas menurun jangka pendek / panjang
 Pelaksanaan secara rutin
 Kualitas hidup baik
 Parameter :
Kt/v: 0,7 – 1,2
URR: 55 – 75% (rata-rata 65%)

Dosis adekuasi hemodialisis adalah sebagai berikut :


1. Setiap pasien diberi catatan program perkembangan dari awal hemodialisis
2. Penentukan Kt/v, dosis HD (Delivery Dose)
3. Target Kt/v 1,2; URR 65% dengan HD 3 kali per minggu selama 4 jam atau HD 2 kali per
mingguselama 4 hingga 5 jam
4. Kt/v URR setiap bulan

Untuk peritoneal dialisis :


1. Nilai Clearance
2. Target Kt/v minimal 1,7 per minggu
3. Target Creatinin Clearance 60L per minggu padahigh average. Sedangkan pada low
average50L per minggu

Ketika hemodialisis berlangsung, dilakukan pemantauan sebagai berikut:


1) Pengukuran Kt/v total mingguan Creatinin Clearance tiap 4minggu setelah dialisis
2) Pengukuran Creatinin Clearance dan Kt/v, residual function harus diulang tiap 2 bulan
pada APD dan tiap 4 – 6 bulan pada CAPD, bila :
 Volume urine menurun tajam
 Overload cairan
 Perburukan uremia secara klinis / biokemis.

6.1.4 Mengukur KT/V yang Diberikan


Secara individual semestinya kita harus selalu merencanakan dosis HD yang akan
dilakukan dalam setiap tindakan HD, adapun target minimal yang ditentukan untuk Kt/V
=1,2 atau setara dengan RRU ³65% (NKF- DOQI).
Dalam merencanakan dosis HD sebaiknya diperhitungkan Kt/V 1,3 atau setara dengan
RRU 70%, karena terdapatnya hal-hal yang berpengaruh :
a. Yang dilakukan lebih rendah dari yang direncanakan .
1. Aliran darah sebenarnya lebih lambat dari yang tertera dipanel.
2. Aliran darah dilambatkan karena alasan tertentu.
3. Resirkulasi.
4. Waktu tindakan HD yang sesungguhnya lebih pendek dari yang direncanakan.
5. KoA dializer lebih rendah dari yang tertera dalam spesifikasi pabrik.
6. V penderita lebih besar dari pada yang tertera dalam normogram.
b. Yang dilakukan lebih tinggi dibanding yang direncanakan.
1. Blood urea-nitrogen (BUN) paska-HD lebih rendah karena tidak tepatnya
pengambilan sample seperti resirkulasi kardiopulmonari.
2. V dari penderita lebih kecil dari pada yang tertera dalam normogram.
3. Dializer lebih efisien, waktu tindakan HD lebih panjang.
Pada umumnya kita akan memberikan jumlah dialisis maksimum yang bisa diterima
penderita dalam waktu tertentu. Idealnya memakai dializer dengan nilai KoA tinggi untuk
seluruh penderita, bahkan untuk penderita kecil dan untuk wanita. Pemakaian dializer KoA
tinggi dan penggunaan larutan dialisis bikarbonat tidak akan mengakibatkan peningkatan efek
samping.
Dializer KoA tinggi biasanya relatif lebih mahal.Di beberapa tempat dimana pemakaian
ulang tidak tersedia, dan biaya yang tinggi melemahkan pemakaian dialyzer ini.Juga
dibeberapa tempat yang masih menggunakan larutan dialisis asetat, pemakaian dializer KoA
tinggi bisa meningkatkan efek samping.Terlepas dari biaya, dializer KoA tinggi (KoA >700)
perlu dipakai pada pasien besar, terutama penderita pria yang besar yang padanya V yang
ditafsirkan >45 liter. Pada penderita besar dialysis selama 4 jam, memakai dializer KoA
rendah, walaupun kecepatan aliran darah tinggi tidaklah mungkin memadai.11 Dializer KoA
tinggi juga perlu dipakai dalam dialysis singkat (<3,5 jam). Kecepatan aliran darah yang
tinggi dan menggunakan dialiser KoA rendah tidak akan memberikan dialisis yang memadai.
Pemakaian kecepatan aliran darah yang tinggi, dialiser KoA tinggi, dan durasi dialisis
pendek bisa memberikan penghilangan ureum yang memadai tetapi tidak selalu menjamin
klearensi yang memuaskan dari bahan berat molekul yang lebih besar, karena penghilangan
bahan ini tidak meningkat dengan kecepatan aliran darah yang tinggi. Pada saat ini banyak
pusat dialisis yang memakai dializer besar dengan membran fluks tinggi, yang memiliki
klearensi molekul tengah yang lebih tinggi dari pada dialiser yang lama. Beberapa pusat
dialisis masih mendukung pendekatan dialysis yang lama dan lambat dengan memakai
dializer KoA rendah serta kecepatan arus darah relatif rendah, dan lama dialisis 4 jam atau
lebih dan memberikan Kt/V ³1,0.
Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa perlunya pemberian dosis HD yang
maksimum agar tercapai target AHD, seperti penelitian Port FK dkk melaporkan bahwa
penderita dengan RRU >75% dibanding RRU 70-75% mempunyai resiko relatif lebih rendah
daripada RRU 70-75% pada penderia berat badan rendah dan sedang. Wood HF dkk
membandingkan membran high-flux dan membran low-flux polysulfone, mendapatkan
bahwa membran high-flux menurunkan resiko mortalitas pada penderita non diabetetes.

6.2 Penggunaan 2 Dializer Paralel Atau Seri Meningkatkan AHD.


Terjadinya peningkatan mortalitas dan morbiditas penderita HD reguler padasaat ini
masih menjadi masalah.Dari penelitian dilaporkan bahwa salah satu penyebab mortalitas
yang tinggi dan tidak produktifnya penderita tersebut karena tindakan HDyang tidak
adekuat.Seperti pada penelitian Ifudu dkk mendapatkan bahwa dosishemodialisis standard
pada penderita dengan berat badan lebih dari 68,2 kg tidakmendapatkan hasil yang adekuat.
Penelitian Wolfe dkk mengenai luas permukaantubuh, dosis HD dan mortalitas mendapatkan
luas permukaan tubuh berhubungandengan mortalitas serta berkorelasi langsung dengan dosis
HD. Menyatakan bahwadosis HD yang diberikan merupakan keadaan individual. Penelitian
Kuhlmannmelaporkan bahwa penderita dengan volume distribusi urea >42,0 liter atau
luaspermukaan tubuh >2,0 m2 merupakan pasien yang mempunyai risiko dosis hemodialysis
yang tidak adekuat.Penelitian Salahudeen dkk pada penderita HD berat badan
lebihmendapatkan hasil Kt/V lebih rendah dan berpengaruh negatif terhadap
survival.Penelitian Elangovan dkk melaporkan bahwa walaupun menggunakan dializer
yangluas, kec epatan aliran darah dan aliran dialisat yang tinggi penderita berat badan ³80kg
atau volume distribusi urea >46 liter tidak satupun yang mencapai Kt/V 1,45 setaradengan
RRU >70%, penelitian tersebut menganjurkan perlu terobosan HD pada penderita berat
badan besar.
Oleh karena hal tersebut berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan AHD.Telah
diketahui bahwa untuk meningkatkan AHD dapat dilakukan dengan memperlama waktu
dialisis, meningkatkan kecepatan aliran darah dan atau aliran dialisat,meningkatkan luas
permukaan membran dializer dengan memakai dializer KoA tinggi.
Akhir-akhir ini meningkatkan AHD dapat dilakukan dengan meningkatkan luas
permukaan membran dializer dengan memakai memakai 2 dializer yang dihubungkan secara
paralel atau secara seri.
Ari dalam penelitiannya melaporkan bahwa penggunaan 2 coil dializer secara seri dapat
mempersingkat lama waktu HD.
Nolph dkk penelitiannya menggunakan 2 dializer paralel mendapatkan total klearens
berat molekul rendah (ureum) yang menurun, menyimpulkan terdapatnya efikasi dialisis.
Sridhar dkk penelitian pada penderita berat badan ³95 kg membandingkan penggunaan
2 dializer paralel dan dializer tunggal melaporkan 2 dializer paralel dapat meningkatkan
Kt/V.
Powers dkk menggunakan 2 dializer dihubungkan secara paralel pada penderita dengan
berat badan besar mendapatkan RRU meningkat bermakna.
Denninson menggunakan 2 dializer yang dihubungkan secara seri untuk meningkatkan
AHD mendapatkan perbaikan RRU dari 52% menjadi 64%, dan menyimpulkan bahwa 2
dializer seri tersebut dapat meningkatkan RRU 23 %.
Fritz dkk membandingkan 2 dializer yang dihubungkan secara paralel dan 2 dializer
yang dihubungkan secara seri mendapatkan bahwa Kt/V dan RRU dari penderita tersebut
tidak mempunyak perbedaan yang bermakna dan juga melaporkan 83% penderta
mendapatkan target adekuasi hemodialisis dari 2 dializer yangdihubungkan secara paralel
ataupun 2 dializer yang dihubungkan secara seri.
Pada penelitian lainnya dikatakan tidak ada perbedaan 2 dializer seri dan 2 dializer
paralel, tetapi 2 dializer seri mempunyai keuntungan lebih praktis dan mudah dalam
pelaksanaanya. Gerhartd dkk. Penelitiannya membandingkan 2 dializer paralel dan 2 dializer
seri, pada 167 penderita masing-masing 112 penderita menggunakan 2 dializer paralel dan 55
penderita menggunakan 2 dializer seri menyimpulkan bahwa efektifitas kedua alat tersebut
hampir sama, tetapi hubungan seri lebih mempunyai keuntungan praktis.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Dialisis Pada Diabetes Melitus. http://internis.files.wordpress.com/2011/01/dialisis-


pada-diabetes-melitus.pdf diakses pada tanggal 8 Desember 2019
Anita dkk. Penggunaan Hemodialisis pada Bidang Kesehatan yang Memakai Prinsip Ilmu
Fisika. http://dc128.4shared.com/doc/juzmT0gk/preview.html diakses pada tanggal 8
Desember 2019
Bakta, I Made & I Ketut Suastika,. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.
1999
Black, Joyce M. & Jane Hokanson Hawks. Medical Surgical Nursing Clinical Management
for Positive Outcome Seventh Edition. China : Elsevier inc. 2005
Bulechek, Gloria M., Butcher, Howard K., Dotcherman, Joanne M. Nursing Intervention
Classification (NIC). USA: Mosby Elsevier. 2008.
Herdinan, Heather T. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC. 2012.
Johnson, M. Etal. Nursing Outcome Classification (NOC). USA: Mosby Elsevier. 2008.
Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA : Oxford University Press. 2010
Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. 2002
Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth. Jakarta : EGC.
2013
Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2006

Anda mungkin juga menyukai