Disusun Oleh :
Bryant Idham Probokusuma, S.Kep
LEMBAR PEGESAHAN
Laporan pendahuluan, asuhan keperawatan dan resume keperawatan ini dibuat dalam
rangka Praktik Profesi Ners mahasiswa S1 keperawatan Universitas Muhammadiyah
Malang di Unit Hemodialisa RS dr. Soepraoen Malang mulai tanggal 7 November 11
November 2016
Malang, November 2016
Nama Mahasiswa (Ners Muda)
Mengetahui
Pembimbing Institusi
Pembimbing Lahan
(.......)
(.....)
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Sedangkan gangguan
fungsi ginjal
glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer,
2007).
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan
ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan glomerulus filtration rate
(GFR) (Nahas & Levin,2010).
CKD atau gagal ginjal kronis (GGK)didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal
mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius)
dimana kemampuan tubuh gagal dalammempertahankan
metabolisme,
cairan,
dan
ini
telah
menjadi
etiologi
merupakan
suatu
kelompok
penyakit
metabolik
dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduaduanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi
lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala
tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut
pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 2008).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).
e. Manifestasi
Neurologi
Kelemahan
dan
keletihan,
konfusi,
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Price & Wilson (2006) pemeriksaan penunjang untuk gagal
ginjal kronik adalah sebagai berikut :
a. Radiologi : ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat
komplikasi ginjal.
1. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal
dan adanya massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan
bagianatas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa.
b. Foto Polos Abdomen : menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah
batu atau obstruksi lain.
perikarditis,
aritmia
karena
gangguan
elektrolit
(hiperkalemia).
k. Biopsi Ginjal : dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik
gagal ginjal kronis atau perlu untuk mengetahui etiologinya.
l. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal :
1. Laju endap darah
2. Urinaria
a. Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada
(anuria).
b. Warna
Secara
disebabkanoleh
pus
normal
/
perubahan
nanah,bakteri,
urine
mungkin
lemak,
partikel
(menetap
pada
mOsm/kg
m. Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar
-
(anuria)
Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya
berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
natrium.
Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
78 g/dL
SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan utama
penatalaksanaan
pasien
GGK
adalah
untuk
selama
mungkin
serta
mencegah
atau
mengobati
komplikasi
1. T
erapi konservatif
adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhankeluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal
dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan
keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d.
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis
metabolik
harus
dikoreksi
karena
meningkatkan
serum
kalium
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena
dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint)
dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari
mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis
adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN)
> 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal
buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel
(hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur
yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang
mahal (Rahardjo, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
B. Tujuan CAPD
Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta limbah metabolic,
mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan mengeluarkan cairan yang
berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.
C. Indikasi CAPD
-
Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang
cepat (hemodinamik yang tidak stabil)
Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak
responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.
D. Kontraindikasi CAPD
-
Adhesi abdominal
Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada
discus intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialisis
dalam abdomen yang kontinyu
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat
melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai alat
penyaring, proses perpindahan ini disebut Difusi.
2. Memasukkan cairan
2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya memakan
waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui
kateter.
3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-6
jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam ruang peritoneum untuk
kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan untuk pengeluaran. Setelah itu, 2 L
cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap jam untuk 36 jam atau lebih lama bila perlu.
Suatu catatan, keseimbangan kumulatif dari cairan yang mengalir ke dalam dan keluar
harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam. Suatu kateter Tenchoff yang fleksibel dapat
dipakai juga dapat ditinggal secara permanen untuk CAPD dari penderita yang mengalami
gagal ginjal tahap akhir.
Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4 kali
sehari), 7 hari dalam seminggu.
F. Prinsip-prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis
lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan terapi dialisis yang
kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil.
Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari, dan
kecepatan produk limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada
CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten
karena proses dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada
dalam kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang semakin baik.
Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan. Dengan
CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti
ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran
sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama
hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai
dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus
tersedia dengan bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml
sehingga memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh
dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar
gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara
memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung secara
kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien
melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari (misalnya,
pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00 malam). Dan dapat tidur
pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau
lebih; lamanya proses ini tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh
dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan
cairan dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu rentensi
selama 10 menit, 30 menit atau lebih.
G. Efektifitas CAPD, Keuntungan serta Kerugian
1. Efektifitas CAPD
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih
hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih tersisa
dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara
penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui rongga
peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah selaput/membran.
Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam rongga perut melalui
selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini memanfaatkan selaput
rongga perut untuk menyaring dan membersihkan darah. Ketika cairan dialisis berada
dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air akan
ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di rumah oleh pasien
bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa
lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat
bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).
2. Keuntungan CAPD dibandingkan HD :
Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
a) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui sebenarnya
saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk
membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah
mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon
seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsifungsi tersebut.
b) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis
pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai
usia juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis
peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
c) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas
kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Hemodialisa (HD)
Segi
kepraktisan
Biaya
Sekali cuci darah Rp. 500 ribu-1 juta, Satu kantong dialisat (cairan
seminggu bisa 2-3 kali. Total biaya per pencuci darah) Rp. 40 ribu sehari
bulannya akan mencapai akan mencapai Rp. penggantian dialisat. Biaya per
4-5 juta
bulannya mencapai Rp. 5,5 juta.
Pantangan
Resiko
komplikasi
Fungsi ginjal dan jantung dapat menurun Fungsi ginjal, jantung, dan darah
karena dipaksa bekerja lebih keras selama relatif
aman
karena
tidak
proses pencucian darah. Dengan pengeluaran terganggu. Kadar Hb relativ lebih
darah, darah tidak cukup aman dari resiko tinggi
dibandingkan
dengan
kontaminasi.
Butuh
terapi
hormon hemodialis, sehingga dibutuhkan
eritropoetin untuk mengimbangi penurunan lebih sedikit eritroprotein. Namun,
kadar Hb
CAPD rawan infeksi sehingga
pasien perlu dilatih untuk menjaga
kebersihan badannya
d. Cairan keruh dengan atau tanpa sakit atau demam bias berarti peritonitis. Setelah
pengambilan specimen untuk pewarnaan dan biakan gram, dokter dapat menambah
antibiotic spektrum luas pada dialisat.
e. Darah dalam dialisat, sejumlah kecil sering terdapat pada awalnya, perdarahan
kemudian kadang-kadang terjadi. Untuk mengentikannya dengan menambah heparin
dan melanjutkan dialysis. Perdarahan hebat sangat jarang.
I. Komplikasi CAPD
-
Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial Ambulatory Continous
adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis. Gejala yang muncul seperti cairan
menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau demam. Peritonitis merupakan komplikasi
yang paling sering dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini terjadi pada 60% hingga
80% pasien yang menjalani dialysis peritoneal. Sebagian besar kejadian peritonitis
disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus epidermis yang bersifat aksidental. Kejadian
ini mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya baik. Meskipun demikian, peritonitis
akibat staphylococcus aureus menghasilkan angka morbiditas yang lebih tinggi,
mempunyai prognosis yang lebih serius dan berjalan lebih lama. Mikroorganisme gram
negative dapat berasal dari dalam usus, khususnya bila terdapat lebih dari satu macam
mikroorganisme dalam cairan peritoneal dan bila mikroorganisme tersebut bersifat
anaerob. Manifestasi peritonitis mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh
dan nyeri abdomen yang difus. Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika
staphylococcus merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan
drainase dilakukan untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan
kultur untuk mengenali mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk mencegah
komplikasi seperti ini, sangatlah penting penderita selalu:
-
penukaran cairan)
Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan penukaran cairan
dialisat tersebut
Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya sentra-sentra
dialisa di kota tujuan
Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan menginstruksikan untuk
menambah obat pada cairan pencuci (dialisat) tersebut. Hal ini bisa dilakukan sendiri
oleh pasien.
Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter dapat
segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut berhenti
spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk menyembuhkan luka
insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini, factor-faktor yang dapat
memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas abdomen yang tidak semestinya
atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran melalui tempat pemasangan
kateter atau ke dalam dinding abdomen dapat terjadi spontan beberapa bulan atau tahun
setelah pemasangan kateter tersebut.
Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang dapat
terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini sering dijumpai
selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian darah akibat prosedur
tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada banyak kasus penyebab terjadinya
perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis kadang-kadang disertai
dengan perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan cairan drainase dialisat yang
berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma ringan.
Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua hari sehingga tidak memerlukan
intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang lebih sering dilakukan selama waktu ini
mungkin diperlukan untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.
Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen yang terus
menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional, inguinal, diafragmatik
dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara persisten meningkat juga akan
memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
Hipertrigliseridemia
b. Tanda-tanda vital : tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea,
nadimeningkat dan reguler.
c. Antropometri : penurunan
berat
badan
selama
bulan
terahir
B. Diagnosa
N
E.
C. Tujuan & KH
D. (NIC = Nursin
Keperawatan
F. Kelebihan
Inte
volume
H. Tujuan:
I. Setelah
L.
dilakukan
natrium.
J. Kriteria Hasil:
G.
dari
edema,
efusi,
anasarka
Bunyi nafas bersih,tidak adanya
dipsnea
Memilihara tekanan vena sentral,
tekanan
kapiler
paru,
Fluid Management
output
cairan
Kolaborasi pemberian cai
M.
Hemodialysis the
vita
panj
keterbatasan cairan
N.
O. Gangguan
kurang
nutrisi
dari
Q. Setelah
dilakukan
asuhan
X. Perubahan pola
napas berhubungan
dengan
hiperventilasi paru
T.
W.
4.
5.
6.
7.
dilakukan
asuhan
AB.
Respirator
AD. AE.
4
perfusi
normal
AG.
Gangguan
jaringan
penurunan suplai O2
adekuat.
nutrisi
AK.
Circulator
ke
AH.
jaringan sekunder.
Kriteria Hasil:
K. Patofisiologi
dilakukan
berhubungan dengan
dan
AF.
Setelah
ekstremitas).
2. Kaji nyeri
3. Inspeksi kulit dan Palp
4. Atur posisi pasien, eks
memperbaiki sirkulasi
5. Monitor status cairan i
6. Evaluasi nadi, oedema
7. Berikan therapi antiko
AL.
AM.
DAFTAR PUSTAKA
1. Black, Joyce M. & Jane Hokanson Hawks. 2005.Medical Surgical Nursing Clinical
Management for Positive Outcome Seventh Edition. China : Elsevier inc.
2. Brunner dan Suddarth. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Volume
14. Sudoyo. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
15. Suyono, Slamet. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.:
Balai Penerbit FKUI
16. Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.
AN.
AO.