Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

STEMI (ST ELEVASI MIOKARD INFARK)

DI RUANG ICU RS BHAYNGKARA LUMAJANG

Disusun oleh :

INDA PERMATASARI

172303101010

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
I. KONSEP PENYAKIT
A. DEFINISI
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung secara
permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif maupun di
pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan nyeri dada, peningkatan enzim
jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG. STEMI adalah cermin dari pembuluh
darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran darahnya benar-benar
terhenti, otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati.
STEMI adalah salah satu dari jenis ACS sehingga patofisiologinya dimulai ketika
terjadi plak aterosklerosis dalam pembuluh koroner yang merangsang terjadinya
agregasi platelet dan pembentukan thrombus. Kemudian thrombus tersebut akan
menyumbat pada pembuluh darah dan menghalangi/mengurangi perfusi miokardial.
(Kristin j.o,2009)

B. ETIOLOGI
Faktor pencetus
Suplai oksigen kemiokard berkurang disebabkan beberapa factor
Faktor pembuluh darah misalnya: aterosklerosis, spasme, arteritis
Faktor sirkulasi misalnya: hipotensi, stenosis aurta, insufisiensi.
Faktor darah misalnya anemia, hipoksemia.
b. Curah jantung yang meningkat
Aktifitas yang berlebih, emosi.
c. Kebutuhan oksigen yang meningkat
Kerusakan miokard, hipertropimiocard, hipertansi.
2. Faktor presdiposisi
a. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah
Usia, jenis kelamin, hereditas, ras.
b. Faktor resiko yang dapat diubah
Merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, obesitas, stress psiklogi.

C. PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri
koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular. Pada sebagian besar
kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan
jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural
pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology
menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai vibrous cap
yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core).
Saat miokardium kekurangan oksigen akibat terhalangnya perfusi, maka terjadi
metabolism anaerob dengan produksi ATP yang sedikit, kegagalan pada system pompa
Natrium-Potassium dan Kalsium dan akumulasi asam laktat dan ion hydrogen sehingga
menyebabkan asidosis. Proses yang terjadi terbagi dalam tiga fase yaitu, fase iskemia,
dimana masih terdapat metabolism aerob disamping terjadinya metabolism anaerob
Jika penurunan perfusi terus terjadi maka metabolism aerob terhenti dan metabolism
anaerob pun semakin berkurang, fase ini dinamakan fase injury (Kristen J.O, 2009).
Selanjutnya, jika perfusi tidak dikembalikan dalam 20 menit maka, akan masuk kefase
berikutnya yaitu fase nekrosis sel miokardium yang irreversible (Kristen J.O, 2009) .
Kegagalan kontraksi miokardium akibat jaringan parut yang terbentuk pada daerah
nekrosis akan mengurangi cardiac output, perfusi ke organ dan jaringan perifer yang
jika semakin berat akhirnya berkontribusi terhadap terjadinya shock. Untuk
mengkompensasinya, saraf simpatis mengeluarkan epinephrine dan norepinephrin
dalam upaya meningkatkan denyut nadi, tekanan darah dan afterload yang akan lebih
meningkatkan kebutuan oksigen miokardium, sementara perfusi koroner terhalang,
maka akan mempercepat daerah iskemia menjadi daerah nekrosis sehingga menjadi
semakin luas. Efek lain adalah ketika penurunan perfusi berlanjut maka penurunan
tekanan darah akan merangsang suatu mekanisme kompensasi pengaktifan sistem
RAA (Renin Angiotensin Aldosteron) yang mengakibatkan vasokonstriksi retensi
natrium dan air yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan beban kerja jantung
(Kristen J.O, 2009) .
PATHWAY STEMI (ST ELEVASI MIOKARD INFARK)

Modify Unmodify
Blok pada arteri koroner
Merokok, alcohol, hipertensi, jantung Congenital
akumulasi lipid

Non Stemi Blok sebagian Blok total STEMI

ALIRAN DARAH KORONER MENURUN ISKEMIA MIOKARD

B1 Breathing B2 Blood B3 Brain B4 Bladder B5 Bowel B6 Bone

Aliran darah ke paru Edema dan bengkak Metabolisme Aliran darah Nyeri Gangguan fungsi
terganggu sekitar miokard anaerob keginjal menurun ventrikel
Mual/muntah
Penurunan aliran
Suplai O2 tidak Jalur hantaran listrik As. Laktat Produksi urin
darah
seimbang dengan terganggu menurun
Anoreksia
kebutuhan tubuh
Menyentuh ujung
Curah jantung
Pompa jantung tidak saraf reseptor Vol. Plasma Resiko ketidakseimbangan menurun
Meningkatnya terkoordinasi nutrisi
kebutuhan O2
Nyeri dada
Aliran balik vena Suplai O2 kejaringan
Vol. Sekuncup Hipoksia, iskemia, menurun
Takipneu turun infark meluas
Nyeri Akut
Beban jantung
Kelemahan
PC:Penurunan Otot rangka kekurangan
Ketidakefektifan Pola Resti kelebihan Retensi Na dan air,
Curah Jantung O2 dan ATP
Nafas volume cairan Intoleransi Aktivitas
eksresi kalium

Sumber: (Darliana, Devi. 2016. Manajemen pasien ST elevasi miokardial infark (STEMI)
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat , seperti rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas,
dipelintir, tertekan yang berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat, gejala yang menyertai : berkeringat,
pucat dan mual, sulit bernapas, cemas, dan lemas.
2. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau obat nitrat.
3. Kelainan lain: di antaranya atrima, henti jantung atau gagal jantung.
4. Bisa atipik:
a. Pada manula: bisa kolaps atau bingung.
b. Pada pasien diabetes: perburukan status metabolik atau atau gagal jantung bisa tanpa disertai nyeri dada.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. CKMB
Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung meningkat antara 4-6 jam kejadian, dan memuncak dalam 12-24 jam. Akan kembali normal
dalam 36-48 jam
2. LDH
Meningkat dalam rentang waktu 12-24 jam dan akan memakan waktu lama untuk kembali normal
3. CTn (CTn I dan CTn T)
Enzim ini akan Meningkat setelah 2 jam bila ada infak miokard dan akan memuncak dalam 10-24 jam dan untuk CTn T masih dapat
terdeteksi 5-14 hari sedangkan CTn I setelah 5-10 hari.
4. Ecg
Pemeriksaan ekg 12 lead harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10
menit sejak kedatangan diIGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Perubahan EKG yang terjadi pada fase
awal adanya gelombang T tinggi dan simetris. Setelah ini terjadi fase segmen ST. perubahan yang terjadi kemudian ialah adanya
gelombang Q/QS yang menandakan adanya nekrosis.EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferio, untuk
mendeteksi kemungkinan infak di ventrikel kanan.
5. Elektrolit.
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan kontraktilitas, missal hipokalemi, hiperkalemi
6. Sel darah putih
Leukosit ( 10.000 – 20.000 ) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah IMA berhubungan dengan proses inflamasi
7. Kecepatan sedimen
Meningkat pada ke-2 dan ke-3 setelah AMI , menunjukkan inflamasi.
8. Kimia
Mungkin normal, tergantung abnormalitas fungsi atau perfusi organ akut atau kronis
9. GDA
Dapat menunjukkan hypoksia atau proses penyakit paru akut atau kronis.
10. Kolesterol atau trigliser
Meningkat, menunjukkan arteriosclerosis sebagai penyebab AMI.
11. Foto thorak
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK atau aneurisma ventrikuler.
12. Ekokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.
13. Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. Biasanya dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan serambi
dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi) Prosedur tidak selalu dilakukan pad fase AMI kecuali mendekati bedah jantung
angioplasty atau emergensi.

F. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan diruang emergensi
1. Tujuan penataaksanaan di IGD adalah mengurangi nyeri pada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi
reperfusisegera, triase pada risiko rendah keruangan yang tepat kerumah sakit dan menghindari pemulangan cepat.
a. Pemberian oksigen : suplai oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen kurang dari 90%. Pada semua pasien
STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selam 6jam pertama
b. Pemberian obat-obatan
i. Nitrogliserin : dapat diberikan dengan dosis 0,4mg dan dapat diberikan sampai 3dosis interval 5 menit.
ii. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyerii dada dan merupakan analgesi piihan pertama dalam tatalaksana pada
kasusu STEMI dengan dosis 2-4mg dan dapat diulang 5-15 menit samapi dosis total 20mg.
iii. Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pda spectrum syndrome coroner
akut dengan dosis diruang emergensi 160-325mg setelah itu dengan dosis peroral dengan dosiis 75-162mg.
2. Penatalaksanaan diruang ICCU
a. Aktivitas : pasien harus istiraat dalam 12 jam pertama
b. Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam karena
resiko muntah dan aspirasi segera setelah infak miokard.
c. Sedasi : diberikan sedasi untuk mempertahankan periode inaktivitas degan penenang.
Diazepam 5mg, oksazepam 15-30mg, atau lorazepam 0,5-2mg, diberikan 3-4kali.
d. Saluran pencernaan : dapat diberikan pencahar ringan agar tidak terjadi konstipasi, diit
tinggi serat.

G. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi yang terjadi pada pasien STEMI, adalah:
a. Disfungsi ventrikuler
Setelah STEMI, ventrikel kiri akan mengalami perubahan serial dalam bentuk, ukuran, dan ketebalan pada segmen yang
mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling ventikuler dan umumnya mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami
dilatasi.Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al ; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya
jaringan dalam zona nekrotik.
Selanjutnya, terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan yang didisprosional dan elongasi
zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi
tersebar pasca infark pada apeks ventikrel kiri yang yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering
terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi
inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi < 40 % tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor
ACE harus diberikan.
b. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan ( puump failure ) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan
nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal ( 10 hari infark )
dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
c. Gagal jantung
d. Syok kardiogenik
e. Perluasan IM
f. Emboli sitemik/pulmonal
g. Perikarditis
h. Kelainan septal ventrikel
i. Disfungsi katup
j. Aneurisma ventrikel
k. Sindroma infark pascamiokarditis

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Identitas pasien
a. Nama:
b. Umur:
c. Alamat:
d. Pendidikan
e. Perkerjaan:
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat masuk. Berapa jam sesak sebelum masuk RS; Onset 12 jam
b. Riwayat kesehatan saat ini keluhan pasien, seperti:
Sesak
odema
Nyeri dada
c. Riwayat kesehatan keluarga: tanyakan pada angota keluarganya adakah anggota keluarganya yang mengalami penyakit yang
sama dengan pasien saat ini. Serta riwayat penyakit lainnya seperti:
Darah tinggi
Diabetes
Penyakit jantung
d. Riwayat kesehatan masa lalu: tanyakan pada pasien apakah pernah mengalami penyakit yang sama dengan yang dialami saat
ini atau penyakit lain seperti:
Riwayat asma
Diabetes
Stroke
Alergi
3. Pengkajian fisik
a. Keadaan umum: Pasien tampak lemah
b. Kesadaran: Pasien bisa jatuh dalam keadaan penurunan kesadaran
c. Pemeriksaan fisik baik head to toe ataupun b1-b6.
B1 Breathing
Terdapat keluhan sesak nafas, adanya otot bantu napas, dyspnea
B2 Blood
Terdapat tanda disfungsi ventricular, s3 dan s4 gallop, murmur, hipotensi dan takikardi
B3 Brain
Klien ditemukan penurunan kesadaran, mual muntah, dan gelisah
B4 Bledder
Klien mengalami masalah seperti oliguria
B5 Bowel
Klien biasanya mengalami mual-mua,l nyeri, dan distensi abdomen
B6 Bone
Terdapat tanda kelemahan pada otot dan persendian

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Perubahan pola napas berhubungan dengan infark ditandai dengan sesak.
Nyeri berhubungan dengan iskemia dan infark jaringan miokard ditandai dengan keluhan nyeri dada.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan kelemahan dalam
aktivitas .
Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan/kematian ditandai dengan ketakutan, gelisah dan perilaku takut.

C. INTERVENSI

1. Intervensi untuk diagnose gangguan nyeri.


Tujuan: Menyatakan nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil:
Menyatakan nyeri dada terkontrol dalam waktu 3 hari.
Mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi dalam waktu 1 hari.
Menunjukkan menurunnya tegangan, rileks dan mudah bergerak dalam waktu 3 hari.
Intervensi:
1) Kaji lokasi, karakter, durasi, dan intensitas, nyeri, dengan menggunakan skala nyeri 0 (tidak nyeri) sampai 10 (nyeri hebat). Kaji
gejala berkaitan, seperti mual.
2) Kaji dan catat TD dengan episode nyeri. TD dapat meningkat karena rangsang simpatis atau menurun karena iskemia dan fungsi
jantung menurun.
3) Berikan obat nyeri yang diprogramkan (biasanya morfin sulfat): catat kualitas pengurangan nyeri dengan menggunakan skala nyeri,
dan tentukan interval waktu dari pemberian sampai penghilangan nyeri.
4) Tenangkan pasien selama episode nyeri; temani pasien bila mungkin.
5) Observasi dan laporkan efek samping dari obat nyeri: hipotensi, FP lambat, sulit miksi.
6) Berikan O2 sesuai program, biasanya 2-4 L/menit per kanula nasal.
7) Siapkan pasien untuk pindah UPK. (Unit Perawatan Kritis)
2. Intervensi dari intoleransi aktivitas:
Tujuan: mendemontrasikan peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur.
Kriteria hasil: melaporkan tidak adanya angina/terkontrol dalam rentang waktu selama pemberian obat.
Intervensi:
1) Pantau pasien terhadap tanda intolenransi aktivitas, dan minta pasien untuk merentang aktivitas dan yang diprogramkan.
2) Laporkan gejala-gejala curah jantung menurun atau gagal jantung: TD menurun, ekstremitas dingin, oliguria, nadi perifer
menurun, FJ meningkat.
3) Pantau output dan input, waspadai haluaran urine <30 ml/jam. Auskultasi lapang paru setiap dua jam terhadap krekels, yang
dapat terjadi pada retensi cairan dengan gagal jantung.
4) Palpasi nadi perifer pada interval sering. Waspadai ketidakteraturan dan penurunan amplitude, yang merupakan sinyal gagal
jantung.
5) Berikan O2 dan obat-obatan sesuai program.
6) Selama periode akut dari curah jantung menurun dan sesuai program, dukung pasien dalam mempertahankan tirah baring
dengan mempertahankan barang-barang milik pribadi dalam jangkauan, memberkan situasi yang tenang, dan batasi
pengunjung untuk memastikan periode istirahat tanpa gangguan.
7) Bantu pasien untuk menggunakan pispot bila ke kamar mandi diizinkan.
8) Bantu pasien melakukan latihan rentang gerak pasif atau dibantu seperti ditentukan oleh toleransi aktivitas dan keterbatasan
aktivitas. Konsul dengan dokter tentang tipe dan jumlah latihan di tempat tidur yang dapat dilakukan bila kondisi pasien
membaik
9) Pastikan pasien menjalani istirahat tanpa gangguan ≥90 menit. Rencanakan aktivitas yang sesuai.

Anda mungkin juga menyukai