Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses penuaan diyakini sebagai proses normal dimulai dari saat

pembuahan yang secara teoritis berakhir pada kematian seseorang. Sepanjang

kehidupan manusia tubuh telah mengalami banyak perubahan, ada konstruksi

dan kehancuran. Selama pertumbuhan, proses konstruksi lebih muncul dari

pada proses penghancuran. Itu tumbuh normal sampai mencapai usia dewasa,

proses kehancuran secara bertahap akan melebihi proses konstruksi, pada saat

ini manusia mengalami proses penuaan (Almatsier et al., 2011).

Menua atau menjadi tua adalah suatu kedaaan yang terjadi didalam

kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak

hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan

kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang

telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho,

2006) dalam kutipan (Retnaningsih 2018).

Lansia seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua

bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur

mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya

tahan tubuh dalam menghadapi rasangan dari dalam dan luar tubuh, seperti di

dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1998 yang isinya meyatakan bahwa

pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat


adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang 1945, telah

menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan usia

harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin

bertambah. Banyak diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu

berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya

merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa

(Retnaningsih, 2018).

Demensia adalah sindrom penurunan kognitif dan fungsional, biasanya

terjadi di kemudian hari sebagai akibat neurodegenarif dan proses

serebrosvaskuler (Killin, 2016). Sedangkan menurut Stuard Laria cit.

Purwanto (2015), Demensia adalah gangguan fungsi kognitif yang ditandai

oleh penurunan fungsi intelektual yang berat disertai kerusakan daya ingat,

pemikiran abstrak dan daya nilai, emosi dan kepribadian. Demensia terjadi

pada segala usia, tetapi yang paling sering terjadi pada usia lansia. Tidak

seperti delirium pada demensia proses terjadi perlahan-lahan. Kemampuan

berbahasa individu tidak selalu terganggu, namun pada dimensia yang berat

klien dapat mengalami gangguan bicara. Perubahan kepribadian dan

gangguan aktivitas motorik biasanya terjadi.

Selanjutnya demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan

intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognitif dan fungsional,

sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas

sehari-hari. Demensia memiliki gejala klinis berupa kemunduran dalam hal


pemahaman seperti hilangnya kemampuan untuk memahami pembicaraan

yang cepat, percakapan yang kompleks atau abstrak, humor yang sarkastis

atau sindiran. Dalam kemampuan bahasa dan bicara terjadi kemunduran pula

yaitu kehilangan ide apa yang sedang dibicarakan, kehilangan kemampuan

pemrosesan bahasa secara cepat, kehilangan kemampuan penamaan (naming)

dengan cepat. Dalam bidang komunikasi sosial akan terjadi kehilangan

kemampuan untuk tetap berbicara dalam topik, mudah tersinggung, marah,

pembicaraan bisa menjadi kasar dan terkesan tidak sopan. Namun tidak

disertai gangguan derajat kesadaran (Legowo, 2015). World Health

Organisation (WHO) melaporkan bahwa prevalensi penurunan fungsi

kognitif meningkat sejalan bertambahnya usia, kurang dari 3 % terjadi pada

kelompok usia 65-75 dan lebih dari 25 % terjadi pada kelompok usia 85

tahun ke atas (Putra, dkk, 2014).

Data dari World Health Organization dan Alzheimer’s Disease

International Organization melaporkan jumlah total orang dengan demensia

di seluruh dunia pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 47,5 juta dan

sebanyak 22 juta jiwa di antaranya berada di Asia. Di Negara maju seperti

Amerika Serikat saat ini ditemukan lebih dari 4 juta orang usia lanjut

penderita Penyakit Demensia Alzheimer. Angka ini diperkirakan akan

meningkat hampir 4 kali pada tahun 2050. Di antara mereka, 58% hidup di

negara- negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan proporsi ini

diproyeksikan meningkat menjadi 71% pada tahun 2050. Jumlah total kasus

demensia baru setiap tahun di seluruh dunia hampir 7,7 juta, artinya bahwa
setiap 4 detik terdapat 1 kasus demensia yang baru. Jumlah orang dengan

demensia diperkirakan akan meningkat menjadi 75,6 juta pada tahun 2030

dan 135,5 juta pada tahun 2050 (WHO, 2015).

Di Indonesia sendiri,Kementerian Kesehatan mencatat estimasi jumlah

lansia dengan demensia jenis Alzheimer pada tahun 2013 sebanyak satu juta

orang.Hasil survei yang pernah dilakukan pada tahun 2016 di Provinsi D.I.

Yogyakarta mendapatkan prevalensi demensia pada penduduk berusia 60

tahun keatas sebesar 20,1%. Adapun suatu penelitian di Unit Rehabilitasi

Sosial “Pucang Gading” Kota Semarang menemukan adanya sebagian besar

lansia dengan keadaan kognitif terganggu (Riskesdas, 2013).

Berdasarkan data yang diperoleh dari UPTD Pusat Pelayanan Sosial

Lanjut Usia (PPSLU) Mappakasunggu ParePare pada tanggal 28 Oktober

2019,  di dapatkan jumlah lansia keseluruhan yang dirawat yaitu 75 orang,

yang terdiri dari 33 (44%) laki-laki dan 42 (56%) perempuan. Menurut

perawat/pendamping lansia menyatakan bahwa sebagian besar lansia rata-rata

mengalami demensia.

Dengan bertambahnya usia seseorang, secara otomatis mempengaruhi

kinerja beberapa fungsi tubuh, yang, misalnya, penurunan fungsi otak yang

mempengaruhi aspek kognitif, hal yang paling umum memicu Demensia,

seseorang dengan Demensia. Tahun demi tahun, itu akan kehilangan

kemampuan untuk merawat diri sehingga mereka akan semakin bergantung

pada pengasuh mereka untuk melakukan segalanya dalam kehidupan sehari-

hari mereka, termasuk menjaga kebersihan pribadi. Untuk mencegah


hilangnya semua kemampuan perawatan diri ketika mengalami demensia

dapat dilakukan dengan pelatihan di rumah di panti jompo. Pelatihan ini

dilakukan dengan merestrukturisasi kegiatan sehari-hari, seperti menulis

daftar lengkap kegiatan sehari-hari di papan tulis, papan tulis, atau kardus

yang semuanya dipasang atau ditempel di dinding, menempatkan tanda-tanda

tanda yang mudah dikenali, seperti kamar tidur, kamar mandi , dapur dan

lainnya, karena pasien dengan demensia dapat pergi ke tempat yang salah

karena sejumlah kondisi (Asrori, 2014).

Demensia dapat mempengaruhi pemenuhan Activity Day Living (ADL)

Lansia seperti penelitian mengenai demensia dengan kemampuan pemenuhan

kebutuhan ADL di Desa Kalirejo menyebutkan bahwa kemampuan Lansia

demensia dalam memenuhi kebutuhan ADL didapatkan hasil 59,0% atau

lebih dari setengah adalah mandiri dengan alat bantu. Masalah lain yang

terjadi pada Lansia dengan demensia adalah gangguan komunikasi. Penelitian

tentang komunikasi pada percakapan Lansia dengan demensia menyebutkan

bahwa pada tahap awal demensia, komunikasi Lansia tidak signifikan

terganggu dalam perilaku ucapan dan penyajian informasi verbal baru.

Selanjutnya pada tahap pertengahan, Lansia akan mengalami gangguan pada

perhatian dalam berbicara, keterlibatan dalam interaksi, berbicara dengan

bahasa yang lancar, dan pemahaman gerak tubuh dari suatu objek (Istiqomah,

2017).

Beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan demensia adalah aktivitas

kognitif, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, riwayat penyakit (hipertensi,


diabetes mellitus), riwayat demensia keluarga, dan aktivitas fisik. Seseorang

yang banyak beraktivitas fisik termasuk berolahraga cenderung memiliki

memori yang lebih tinggi dari pada yang jarang beraktivitas, misalnya

kegiatan yang harus melibatkan fungsi kognitif seperti berjalan kaki, senam

atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, aktivitas fisik ringan seperti

berjalan kaki dapat membantu tubuh mencegah penurunan daya kerja otak

pada lansia. Aktivitas fisik dapat menstimulasi faktor pertumbuhan neuron

yang memungkinkan faktor-faktor ini yang menghambat terjadinya demensia.

Banyak perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, diantaranya

perubahan-perubahan tubuh, otot, tulang dan sendi, sistem kardiovaskular,

respirasi, dan kognisi (Ambardini, 2016).

Manusia memiliki kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi untuk

mempertahankan keseimbangan fisiologis dan psikologis agar dapat

mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Kebutuhan dasar ini bersifat

heterogen, artinya pada dasar manusia memiliki kebutuhan yang sama, tetapi

karena terdapat perbedaan budaya, kebutuhan itupun ikut berbeda (Saputra,

2013).

Menurut Maslow (1950) dalam Saputra (2013), teori tentang kebutuhan

dasar manusia yang dikenal dengan istilah Herarki Kebutuhan Dasar Manusia

Maslow. Teori ini membagi kebutuhan dasar manusia menjadi lima

kelompok, yaitu (1) kebutuhan fisiologis (Physiologic needs), (2) kebutuhan

keselamatan dan rasa aman (Safety security needs), (3) kebutuhan rasa cinta

serta rasa memiliki dan dimiliki (Love and belonging needs), (4) kebutuhan
harga diri (self-esteem needs), (5) kebutuhan aktualisasi diri (Need for self

actualization).

Berdasarkan uraian diatas maka saya peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Faktor Hubungan Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Manusia Pada Lansia Yang Mengalami Demensia Di UPTD Pusat Pelayanan

Sosial Lanjut Usia (PPSLU) Mappakasunggu ParePare”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut “Faktor apa sajakan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan

dasar pada lansia yang mengalami demensia Di UPTD Pusat Pelayanan

Sosial Lanjut Usia (PPSLU)?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan pemenuhan

kebutuhan dasar pada lansia yang mengalami demensia.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan faktor penyakit (Kondisi Fisik) dengan

pemenuhan kebutuhan dasar pada lansia yang mengalami demensia.

b. Untuk mengetahui hubungan faktor tahap perkembanagan (Usia)

dengan pemenuhan kebutuhan dasar pada lansia yang mengalami

demensia.
c. Untuk mengetahui hubungan faktor yang berarti (dukungan sosial)

dengan pemenuhan kebutuhan dasar pada lansia yang mengalami

demensia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Semoga hasil penelitian ini memberikan sumbangan bagi peningkatan

ilmu pengetahuan khususnya tentang pemenuhan kebutuhan dasar pada

lansia yang mengalami demensia di UPTD Pusat Pelayanan Sosial

Lanjut Usia (PPSLU).

2. Manfaat Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan berfungsi sebagai bahan pertimbangan

bagi institusi pendidikan dalam menyusun program pendidikan terutama

dalam aplikasi asuhan keperawatan jiwa, khususnya pemenuhan

kebutuhan dasar pada lansia yang mengalamu demensia.

3. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan kepada

masyarakat tentang pemenuhan kebutuhan dasar pada lansia yang

mengalami demensia.

Anda mungkin juga menyukai